bab ii tinjauan pustaka 2.1 pandan wangi (pandanus...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.)
Pandan wangi tumbuh di daerah tropis dan banyak ditanam di halaman atau
di kebun. Pandan kadang tumbuh liar di tepi sungai, tepi rawa dan di tempat-tempat
yang agak lembap, tumbuh subur dari daerah pantai sampai daerah dengan
ketinggian 500 mdpl. Helai daunnya berbentuk pita, tipis, licin, ujung runcing, tepi
rata, bertulang sejajar, panjang 40 – 80 cm, lebar 3 – 5 cm, berduri tempel pada ibu
tulang daun permukaan bawah bagian ujung-ujungnya dan berwarna hijau
(Dalimartha, 1999). Berikut ini merupakan kenampakan tanaman pandan wangi
pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Pandan Wangi
(Sumber: Dalimartha, 1999)
Klasifikasi Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) menurut Van
Steenis (2008) adalah sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Divisio : Spermatophyta
9
Classis : Monocotyledonae
Ordo : Pandanales
Familia : Pandanaceae
Genus : Pandanus
Spesies : Pandanus amaryllifolius Roxb
Komponen penting yang terkandung dalam daun pandan adalah zat
volatilnya. Zat volatil yang terbanyak adalah 2-acetyl-1-pyrrolin dan 3-methyl-2-
(5H)-furanon, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah 3-hexanol, 4-
methylpentanol, 3-heksanon, dan 2-heksanon (Katzer, 2012). Daun pandan juga
mengandung alkaloid, saponin, flavonoida, tanin, polifenol dan zat warna (Hidayat
dan Rodame, 2015). Menurut Dalimartha (1999), daun pandan wangi merupakan
salah satu tanaman yang digunakan sebagai tonikum, penambah nafsu makan,
penenang, penyedap, pewangi dan pemberi warna hijau pada masakan.
2.2 Minyak Atsiri
2.2.1 Tinjauan Umum Minyak Atsiri
Minyak atsiri disebut juga minyak eteris, minyak terbang, minyak esensial,
serta minyak aromatik merupakan minyak nabati yang berwujud cair kental pada
suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas.
Minyak atsiri terdiri dari beberapa komposisi dengan titik didih yang berbeda-beda.
Minyak atsiri tersusun oleh berbagai macam komponen senyawa, memiliki bau
khas, mudah menguap dan pada umumnya memiliki karakteristik indeks bias yang
tinggi dan tidak dapat bercampur dengan air tetapi mudah larut dalam pelarut
organik (Ketaren, 1985).
Sumber minyak atsiri terdapat pada bagian tertentu tanaman. Bagian ini
antara lain akar, biji, buah, bunga, daun, kulit kayu, ranting dan rimpang atau akar.
Bahkan ada jenis tanaman yang seluruh bagiannya mengandung minyak atsiri.
Kandungan minyaknya tidak akan sama antara bagian yang satu dengan bagian
yang lainnya. Minyak yang dihasilkan dengan cara ekstraksi lebih baik
dibandingkan dengan minyak hasil sulingan karena penggunaan panas selama
10
penyulingan akan merusak sebagian komponen minyak sehingga mengubah sifat-
sifat dan bau alamiah (Guenther, 1948).
2.2.2 Komponen Minyak Atsiri
Minyak atsiri biasanya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia
yang terbentuk dari unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O). Pada
umumnya komponen kimia minyak atsiri dibagi menjadi dua golongan yaitu: 1)
Hidrokarbon, yang terutama terdiri dari persenyawaan terpen dan 2) Hidrokarbon
teroksigenasi (Ketaren, 1985).
1. Golongan hidrokarbon
Persenyawaan yang termasuk golongan ini terbentuk dari unsur Karbon (C)
dan Hidrogen (H). Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri sebagian
besar terdiri dari monoterpen (2 unit isopren), sesquiterpen (3 unit isopren), diterpen
(4 unit isopren) dan politerpen.
2. Golongan hidrokarbon teroksigenasi
Komponen kimia dari golongan persenyawaan ini terbentuk dari unsur
Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Persenyawaan yang termasuk dalam
golongan ini adalah persenyawaan alkohol, aldehid, keton, ester, eter dan fenol.
Ikatan karbon yang terdapat dalam molekulnya dapat terdiri dari ikatan tunggal,
ikatan rangkap dua, dan ikatan rangkap tiga. Terpen mengandung ikatan tunggal
dan ikatan rangkap dua.
Golongan hidrokarbon teroksigenasi merupakan senyawa yang penting
dalam minyak atsiri karena umumnya aroma yang lebih wangi dan mempunyai
kelarutan yang tinggi dalam alkohol encer, serta lebih tahan dan stabil terhadap
proses oksidasi dan resinifikasi. Sebaliknya, senyawa terpen lebih mudah
mengalami proses oksidasi dan resinifikasi di bawah pengaruh cahaya dan udara
atau pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, sehingga dapat merusak aroma
dan menurunkan nilai kelarutan minyak dalam alkohol. Fraksi terpen perlu
dipisahkan untuk tujuan tertentu, misalnya untuk pembuatan parfum, sehingga
didapatkan minyak atsiri yang bebas terpen (Guenther, 1948).
11
2.2.3 Sifat Minyak Atsiri
Menurut Ketaren (1985), sifat-sifat minyak atsiri adalah sebagai berikut:
1. Memiliki aroma yang khas. Umumnya aroma ini mewakili aroma tanaman
penghasilnya. Aroma minyak atsiri satu dengan lainnya berbeda-beda.
2. Mempunyai rasa getir.
3. Mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi.
4. Tersusun komponen senyawa hidrokarbon atau terpen dan kelompok
persenyawaan yang mengandung oksigen (oxygenated compound atau
terpen-O).
5. Tidak tahan disimpan lama untuk minyak atsiri dari bahan bunga dan daun
sedangkan minyak atsiri dari bahan berupa biji, kulit, akar dan kayu lebih
tahan disimpan lama.
6. Sangat mudah larut dalam pelarut organik.
7. Tidak larut dalam air.
2.2.4 Karakteristik Fisiko-Kimia Minyak Atsiri
Mutu minyak atsiri ditentukan oleh karakteristik alamiah masing-masing
minyak tersebut dan bahan-bahan asing yang tercampur di dalamnya. Menurut
Stahl (1985), mutu minyak atsiri ini dapat dinyatakan dalam sifat organoleptik atau
sifat fisiko-kimia. Karakteristik fisiko-kimia ini meliputi warna, bobot jenis, indeks
bias, kelarutan dalam alkohol, bilangan asam serta kandungan utama minyak atsiri.
1. Warna
Mengacu pada SNI 06-2385-2006, minyak atsiri berwarna kuning muda
hingga coklat kemerahan, namun setelah dilakukan penyimpanan minyak berubah
warna menjadi kuning tua hingga coklat muda. Menurut Ketaren (1985), minyak
akan berwarna gelap oleh penuaan, bau dan flavornya tipikal rempah, aromatik
tinggi, kuat dan tahan lama.
2. Bobot jenis
Menurut Guenther (1948), bobot jenis minyak atsiri didefinisikan sebagai
perbandingan antara bobot minyak atsiri dengan bobot air dengan volume yang
sama pada suhu yang sama. Bobot jenis minyak atsiri pada suhu 15oC umumnya
12
berkisar 0,696 – 1,188. Bobot jenis juga sering dihubungkan dengan fraksi berat
komponen-komponen yang terkandung di dalamnya. Semakin besar fraksi berat
yang terkandung dalam minyak tersebut, maka semakin besar pula nilai bobot
jenisnya.
3. Indeks Bias
Indeks bias merupakan perbandingan antara kecepatan cahaya di dalam
udara dengan kecepatan cahaya di dalam minyak atsiri pada suhu tertentu. Suhu
yang biasa digunakan untuk menyatakan nilai indeks bias adalah pada suhu 20oC
(Guenther, 1948). Menurut Ketaren (1985), indeks bias minyak atsiri berguna untuk
mengidentifikasi suatu komponen dan mendeteksi kemurnian minyak atsiri. Sama
halnya dengan bobot jenis, menurut Guenther (1948), komponen penyusun minyak
atsiri dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya. Nilai indeks bias salah satunya
dipengaruhi dengan adanya air di dalam minyak atsiri. Semakin banyak kandungan
air dalam minyak atsiri, maka semakin kecil nilai indeks biasnya. Hal ini terjadi
karena sifat air yang mudah untuk membiaskan cahaya yang datang.
4. Kelarutan dalam alkohol
Minyak atsiri dapat larut dalam alkohol dengan perbandingan konsentrasi
tertentu. Dengan demikian dapat diketahui jumlah dan konsentrasi alkohol yang
dibutuhkan untuk melarutkan secara sempurna sejumlah minyak atsiri (Ketaren,
1985). Menurut Guenther (1948), menentukan kelarutan minyak atsiri tergantung
pada kecepatan daya larut dan kualitas minyak. Umumnya minyak atsiri yang kaya
akan komponen teroksigenasi lebih mudah larut dalam alkohol daripada komponen
yang kaya akan terpen. Semakin tinggi kandungan terpen maka semakin rendah
daya larutnya atau semakin sukar larut, karena senyawa terpen non teroksigenasi
merupakan senyawa non polar yang tidak mempunyai gugus fungsional. Minyak
yang tidak mengandung terpen larut dalam 3 – 10 bagian alkohol 70%. Nilai
kelarutan minyak akan berkurang karena pengaruh umur minyak atsiri, hal ini
terjadi karena akibat dari proses polimerisasi minyak selama penyimpanan.
Semakin rendah nilai kelarutan minyak atsiri dalam alkohol maka kualitas minyak
atsiri semakin baik.
13
5. Bilangan Asam
Bilangan asam menunjukkan kadar asam bebas dalam minyak atsiri.
Menurut Guenther (1948), bilangan asam adalah jumlah miligram Kalium
Hidroksida (KOH) yang dibutuhkan untuk menetralkan asam bebas dalam 1 gram
minyak. Bilangan asam suatu minyak atsiri bertambah bila umur simpan minyak
bertambah, terutama bila cara penyimpanan minyak kurang baik, proses seperti
oksidasi aldehida dan hidrolisis ester akan menambah bilangan asam. Bilangan
asam yang semakin tinggi dapat mempengaruhi terhadap mutu minyak atsiri yaitu
senyawa-senyawa asam tersebut dapat mengubah bau khas dari minyak atsiri.
Sebagian komponen minyak jika kontak dengan udara atau berada pada kondisi
lembab akan mengalami reaksi oksidasi dengan udara dan dikatalisasi oleh cahaya,
sehingga membentuk senyawa asam bebas. Jika penyimpanan minyak tidak
diperhatikan, maka akan semakin banyak pula senyawa asam bebas yang terbentuk.
Minyak yang telah dikeringkan dan dilindungi dari udara dan sinar matahari
memiliki jumlah asam bebas yang relatif rendah (Ketaren, 1985). Semakin tinggi
bilangan asam maka kualitas minyak atsiri semakin rendah.
6. Kadar Sisa Pelarut
Kadar sisa pelarut merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya
pelarut yang tertinggal pada minyak atsiri. Kadar sisa pelarut yang masih terdapat
dalam minyak atsiri akan mempengaruhi mutunya, dimana semakin rendah kadar
sisa pelarut pada minyak atsiri maka mutunya semakin baik. Guenther (1948)
menyatakan, bahwa minyak atsiri merupakan campuran yang kompleks, sehingga
sulit untuk menentukan dengan pasti sisa pelarut yang tidak menguap. Hal ini
dikarenakan lilin dan bahan tidak menguap yang memiliki titik didih tinggi
cenderung mengikat komponen yang bertitik didih rendah sehingga pelarut yang
bertitik didih rendah masih terdapat pada absolute daun pandan wangi.
2.2.5 Minyak Daun Pandan Wangi
Minyak daun pandan wangi merupakan salah satu dari berbagai jenis
minyak atsiri yang diperoleh dari daun pandan wangi yang diekstraksi
menggunakan pelarut. Minyak tersebut tersusun dari banyak senyawa kimia di
14
dalamnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Adiyasa et al. (2014), kandungan
senyawa kimia yang terdapat pada minyak atsiri daun pandan wangi tersusun atas
36 jenis senyawa, terdiri dari 20 senyawa teridentifikasi dan 16 senyawa tidak
teridentifikasi. Dari 36 jenis senyawa tersebut digolongkan ke dalam golongan-
golongan senyawa kimia. Hasil dari penggolongan senyawa kimia tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggolongan Senyawa Kimia pada Minyak Atsiri Daun Pandan Wangi
Penggolongan Senyawa Konsentrasi
Relatif (%)
Alkana Cyclododecane, Eicosane, Octadecane,
Cyclotetracosane, Tetracosane, Nonadecane 46,66
Alkena Cetene, 2-Tetradecene, 1-eicosene,1-docosene 31,22
Aldehid E-15-Heptadecenal 11,13
Tidak teridentifikasi 10,89
(Sumber: Adiyasa et al., 2014)
2.3 Ekstraksi
2.3.1 Tinjauan Umum Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan dari dua atau lebih fasa
dengan menggunakan suatu pelarut. Pelarut merupakan bahan yang ditambahkan
untuk membentuk fasa yang berbeda dari sumber fasa tersebut (Toledo, 2007).
Menurut Harborne (1987), alkohol adalah pelarut serba guna yang baik untuk
ekstraksi pendahuluan. Proses pemisahan dapat tercapai apabila senyawa yang akan
dipisahkan larut dalam pelarut, sedangkan komponen lainnya tetap pada tempat
semula. Dua fasa yang dimaksud dapat berupa padat-cair, cair-cair atau padat-gas
(Toledo, 2007).
Menurut Utami et al. (2009), prinsip dasar ekstraksi adalah berdasarkan
kelarutan. Untuk memisahkan zat terlarut yang diinginkan atau menghilangkan
komponen zat terlarut yang tidak diinginkan dari fasa padat, maka fasa padat
dikontakkan dengan fasa cair. Pada kontak kedua fasa tersebut, zat terlarut terdifusi
dari fasa padat ke fasa cair sehingga terjadi pemisahan dari komponen padat.
15
Ekstraksi padat-cair dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti ekstraksi
dengan bantuan gelombang mikro, sonikasi dan tekanan tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi padat-cair diantaranya
adalah :
1. Lama Waktu Ekstraksi
Lamanya waktu ekstraksi akan mempengaruhi minyak yang dihasilkan.
Menurut Wuryantoro et al. (2014), semakin lama ekstraksi maka akan memberikan
kesempatan bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar sehingga
komponen bioaktif dalam larutan akan meningkat hingga mencapai titik jenuh.
2. Suhu Ekstraksi
Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi rendemen yang diperoleh (Fuadi,
2012). Menurut Handajani et al. (2010), pada suhu yang rendah diduga masih
banyak minyak yang terperangkap dalam sel sehingga minyak lebih sedikit yang
terekstrak. Namun pada ekstraksi daun pandan wangi, suhu yang digunakan tidak
boleh terlalu tinggi karena akan menyebabkan rusaknya komponen minyak atsiri
yang terkandung di dalam daun pandan wangi.
3. Pengadukan
Menurut Artati dan Fadilah (2007), semakin cepat putaran pengadukan
maka akan menaikkan turbulensi (tumbukan) sehingga kontak antara bahan dengan
pelarut semakin sering, akibatnya difusi dan koefisien transfer massa dari
permukaan padatan ke pelarut semakin besar.
4. Banyaknya Pelarut yang Digunakan
Menurut Earle (1983), pelarutan fasa padat pada suatu zat pelarut
dipengaruhi oleh konsentrasi komponen fasa cair dalam keadaan jenuh.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bustan et al. (2008) tentang pengaruh
waktu ekstraksi dan ukuran partikel terhadap berat oleoresin jahe yang diperoleh
dalam berbagai jumlah pelarut organik (methanol), menunjukkan bahwa semakin
banyak pelarut yang digunakan terhadap berat bahan dasar, maka berat oleoresin
yang dihasilkan semakin besar, hal ini dikarenakan semakin banyak pelarut yang
berpenetrasi ke dalam bubuk jahe, yang memperbesar permukaan kontak.
Pernyataan ini diperkuat oleh Jayanudin et al. (2014) bahwa banyaknya pelarut
16
mempengaruhi luas kontak bahan dengan pelarut, semakin banyak pelarut maka
luas kontak akan semakin besar. Meratanya distribusi pelarut ke bahan akan
memperbesar rendemen yang dihasilkan. Banyaknya pelarut akan mengurangi
tingkat kejenuhan pelarut, sehingga komponen minyak atsiri akan terekstrak secara
sempurna.
2.3.2 Ultrasound-Assisted Extraction (UAE)
Metode ultrasonik biasa dikenal sebagai Ultrasound-Assisted Extraction
(UAE) merupakan metode ekstraksi dengan dibantu gelombang ultrasonik. Menurut
Keil (2007), metode ultrasonik merupakan metode ekstraksi non termal yang efektif
dan efisien. Teknik ini juga dikenal dengan sonokimia yaitu pemanfaatan efek
gelombang ultrasonik untuk mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi pada
proses kimia (Garcia dan Castro, 2004). Menurut Wardiyati (2004), gelombang
bunyi yang dihasilkan oleh tenaga listrik (lewat transduser), diteruskan oleh media
cair ke medan yang dituju melalui fenomena kavitasi. Fenomena kavitasi yaitu
terbentuknya gelembung kecil pada media perantara, yang lama kelamaan
gelembung-gelembung akan bertambah besar dan akhirnya akan pecah dan
mengeluarkan tenaga besar, tenaga inilah yang digunakan untuk proses kimia.
Fenomena kavitasi dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Fenomena Kavitasi
(Sumber: Suslick, 1994)
17
Menurut Garcia dan Castro (2004), keuntungan utama ekstraksi gelombang
ultrasonik antara lain efisiensi lebih besar, waktu operasi lebih singkat dan biasanya
laju perpindahan massa lebih cepat jika dibandingkan dengan ekstraksi
konvensional menggunakan soxhlet. Efek mekanik dari gelombang ultrasonik yang
ditimbulkan akan meningkatkan penetrasi dari cairan menuju dinding membran sel,
mendukung pelepasan komponen sel dan meningkatkan transfer massa (Keil,
2007). Selain itu, metode ini juga lebih sedikit mengkonsumsi energi, dan
memungkinkan pengurangan pelarut, sehingga menghasilkan produk yang lebih
murni (Ardianti dan Joni, 2014). Menurut Wang et al. (2013), Ultrasound-Assisted
Extraction (UAE) telah terbukti menjadi metode ekstraksi yang sangat efektif untuk
mengurangi suhu ekstraksi dan jumlah pelarut serta memperpendek waktu
ekstraksi, yang sangat berguna untuk ekstraksi senyawa yang sensitif terhadap suhu
dan tidak stabil. Kekurangan metode ini yaitu sel biologis dapat terganggu oleh
daya ultrasonik yang memfasilitasi pelepasan isi sel (Brennan, 2006). Metode ini
telah diterapkan untuk mengekstrak komponen makanan seperti aroma (Xia et al.,
2006), antioksidan (Han et al., 2011), dan antibakteri (Lou et al., 2011).
1. Jenis-jenis Ultrasonik
Menurut Brennan (2006), ekstraksi dengan bantuan gelombang ultrasonik
dapat dilakukan dengan 2 jenis ultrasonik, yaitu:
a. Ultrasonic Baths
Transduser biasanya dipasang di bagian bawah tangki, beroperasi pada
frekuensi sekitar 40 kHz dan menghasilkan intensitas tinggi pada tingkat yang tetap
karena perkembangan gelombang berdiri yang diciptakan oleh pantulan gelombang
suara pada permukaan cairan atau udara. Transduser terikat ke dasar atau sisi tangki
dan energi ultrasonik dikirim langsung ke cairan di tangki. Kedalaman cairan
penting untuk menjaga intensitas tinggi ini dan tidak boleh kurang dari setengah
panjang gelombang ultrasonik dalam cairan (Brennan, 2006).
b. Ultrasonic Probes
Sistem ini menggunakan tanduk (probe) yang bisa dilepas untuk memperkuat
sinyal. Tanduk biasanya memiliki panjang setengah dari panjang gelombang atau
18
kelipatannya. Besarnya perolehan amplitudo tergantung pada bentuk dan perbedaan
diameter tanduk antara bagian yang digerakkan dan bagian pemancar (Brennan,
2006).
Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk melakukan ekstraksi pada
daun pandan wangi adalah sonikator jenis probes dengan merk Qsonica-Q500
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Ultrasonic Processor (Qsonica-Q500)
(Sumber: Qsonica Operation Manual)
Berikut spesifikasi alat Qsonica-Q500 ditunjukkan pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Spesifikasi Qsonica-Q500
Generator
Input Voltage 100 VAC – 120 VAC @
50/60 Hz
220 VAC – 240 VAC @
50/60 Hz
Rated Current 10 Amps max. 5 Amp max.
Fuse Rating 15 Amp (slo-blo) 8 Amp (slo-blo)
Weight 15lbs (6,8 kg)
Dimensions 8”W x 15,25”L x 8,5”H
203 mm x 387 mm x 216 mm
Output Voltage 1000 V rms (max.)
Output Frequency 20 kHz
Conventer
Weight 2lbs. (900 g)
Dimensions 7,25”L x 2,5”Dia.
(183 mm x 63,5 mm)
Materials Alumunium Alloy
19
Tabel 2. Spesifikasi Qsonica-Q500 (Lanjutan)
Standard ½” Horn
Weight 0,75lbs. (340 g)
Dimensions 5,375”L x 0,5”Dia.
(136 mm x 13 mm)
Materials Titanium Alloy
Enviromental
Polution Degree 2
Installation Category II
Operating Limits
Temperature : (5 – 40)oC
Relative Humidity 10 – 95% (Non
Condensing)
Altitude: 6,651 ft. (2000)
Shipping/Storage
Temperature : (2 – 49)oC
Relative Humidity 10 – 95% (Non
Condensing)
Ambient Pressure Extremes : 40,000 ft
(12,192 m)
Restriction of Hazardous Substances
(ROHS)
Relative Humidity
Maximum relative humidity 80% for
temperatures up to 31oC decreasing
linearly to 50% relative humidity to
40oC
Other For indoor use only (Sumber: Qsonica Operation Manual)
Prinsip operasi dari Qsonica-Q500 ini yaitu generator elektronik ultrasonik
mengubah daya garis AC menjadi sinyal frekuensi 20 kHz yang menggerakkan
konventer piezoelectric/tranduser. Sinyal listrik ini diubah oleh transduser menjadi
getaran mekanis karena karakteristik internal kristal piezoelectric. Getaran
diperkuat dan dipancarkan sepanjang tanduk/probe dimana ujungnya memanjang
dan berkontraksi secara longitudinal. Lama waktu proses dan besar amplitudo dapat
diatur besarnya oleh pengguna melalui tombol layar sentuh. Saat pengguna
meningkatkan pengaturan amplitudo, intensitas sonikasi akan meningkat dalam
sampel.
Selain itu, pemilihan diameter ujung probe yang tepat merupakan faktor penting
dalam proses sonikasi sampel. Volume sampel yang akan diproses harus sesuai
dengan diameter ujung probe. Jika diameter ujung (Microtip probe) lebih kecil,
20
maka akan memberikan intensitas sonikasi tinggi namun energi yang terfokus pada
volume sampel kecil. Jika diameter ujung lebih besar, maka dapat memproses
volume sampel yang lebih besar namun intensitas sonikasi menjadi lebih rendah.
Berikut ukuran probe yang disesuaikan berdasarkan volume sampek ditunjukkan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Ukuran Probe dan Volume Sampel
Tip Diameter Volume Sampel
1/16” (2mm) 0,2 ml – 5 ml
1/8” (3mm) 1 ml – 15 ml
1/4” (6mm) 5 ml – 50 ml
1/2” (12mm) 20 ml – 250 ml
3/4” (19mm) 50 ml – 500 ml
1” (25mm) 100 ml – 1000 ml
1” dengan booster 750 ml – 1500 ml (Sumber: Qsonica Operation Manual)
2. Faktor-faktor Proses UAE
Menurut Wardiyati (2004) hal-hal yang mempengaruhi kemampuan ultrasonik
untuk menimbulkan efek kavitasi pada proses ekstraksi antara lain:
a. Frekuensi
Meningkatnya frekuensi akan memperkecil tekanan minimum sehingga energi
lebih banyak diperlukan untuk pembentukan kavitasi dalam sistem. Sebagai contoh,
energi yang diperlukan untuk membuat kavitasi dalam air sepuluh kali lebih besar
dengan menggunakan frekuensi 400 kHz dibandingkan dengan menggunakan
frekuensi 10 kHz. Dengan alasan inilah frekuensi yang biasa digunakan pada
sonokimia berkisar antara 20 – 40 kHz.
b. Viskositas pelarut
Viskositas pelarut berpengaruh terhadap terjadinya proses kavitasi. Semakin
kental pelarut maka kavitasi semakin sulit terbentuk sehingga efisiensi proses
berkurang.
c. Tegangan permukaan dan tekanan uap
Tegangan permukaan dan tekanan uap berpengaruh terhadap terjadinya proses
kavitasi. Semakin rendah tegangan permukaan pelarut kavitasi akan semakin sulit
21
terjadi. Pelarut yang lebih volatil sering digunakan dalam proses sonokimia karena
pelarut ini mempunyai tekanan uap tinggi yang bisa memudahkan terbentuknya
gelembung. Uap pelarut ini akan mengisi gelembung tadi sehingga energi yang
diperlukan untuk terbentuknya kavitasi lebih kecil.
d. Tekanan luar
Kenaikan tekanan luar berarti kenaikan fase reaction (indeks bias) yang
diperlukan untuk mengawali terjadinya kavitasi. Lebih penting lagi bahwa kenaikan
tekanan luar akan menyebabkan bertambah besarnya intensitas untuk menimbulkan
fenomena pecahnya kavitasi dan secara konsekuensi akan meningkatkan pengaruh
sonokimia.
e. Suhu
Suhu memiliki pengaruh besar pada proses sonokimia. Pada suhu yang tinggi
tekanan uap dalam medium akan naik sehingga gelembung-gelembung kavitasi
akan mudah terbentuk. Gelembung kavitasi yang semakin membesar akhirnya
pecah dalam peristiwa ledakan kavitasi. Kenaikan suhu yang terlalu tinggi disertai
dengan pengurangan kekentalan dan tegangan permukaan mengakibatkan
gelembung yang pecah hanya sedikit. Pada suhu mendekati titik didih, gelembung
kavitasi timbul secara bersamaan dalam jumlah yang besar. Hal ini akan
menghalangi transmisi suara dan mengurangi efektivitas energi yang masuk ke
media cairan sehingga proses sonokimia kurang efisisien.
f. Intensitas amplitudo
Intensitas secara langsung sebanding dengan kuadrat amplitudo vibrasi sumber
ultrasonik. Tinggi rendahnya amplitudo dipengaruhi oleh tenaga ultrasonik yang
digunakan di dalam sistem. Secara umum, bertambahnya intensitas sonikasi akan
meningkatkan proses sonokimia, akan tetapi hal ini dibatasi oleh energi ultrasonik
yang masuk pada sistem.
2.4 Pelarut Organik
Pelarut umumnya adalah zat yang berada pada larutan dalam jumlah yang
besar sedangkan zat lainnya dianggap sebagai zat terlarut (Brady, 1987). Untuk
membedakan antara pelarut dengan zat yang dilarutkan, pelarut biasanya terdapat
22
dalam jumlah yang lebih besar (Guenther, 1948). Pelarut biasanya memiliki titik
didih yang rendah dan lebih mudah menguap. Sifat-sifat umum pelarut dapat dilihat
pada Tabel 4. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi padat-cair atau leaching
adalah proses pengambilan komponen terlarut dalam suatu padatan dengan
menggunakan pelarut (Treyball, 1981).
Tabel 4. Sifat-sifat Umum Pelarut
(Sumber: Smallwood, 1996)
Semakin besar konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin polar
pelarut tersebut. Kepolaran senyawa organik akan meningkat dengan bertambahnya
gugus fungsi dan menurun dengan bertambahnya atom karbon (Gritter et al., 1991).
Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama
kepolarannya. Menurut Ketaren (1986), suatu zat dapat larut dalam pelarut jika
mempunyai nilai polaritas yang sama, yaitu zat polar akan larut dalam pelarut polar
dan tidak larut dalam pelarut non polar.
Beberapa hal yang menunjukkan kepolaran suatu pelarut yaitu momen
dipol, konstanta dielektrik, dan kelarutan dalam air. Semakin tinggi nilai momen
dipol dan konstanta dielektrik maka pelarut semakin polar. Besarnya tetapan
dielektrik dapat diatur dengan penambahan pelarut lain (Moore, 2008). Tetapan
dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan
Pelarut Rumus
Kimia
Titik
Didih (oC)
Titik Beku
(oC)
Konstanta
Dielektrik
(20oC)
Bobot
Jenis
Kloroform CHCl3 61 -23 4,8 1,480
Aseton C3H6O 56 -95 20,6 0,790
Dietil Eter C4H10O 34,5 -116 4,3 0,715
Air H2O 100 0 79,7 1
Etil Asetat CH3-C(=O)-
CH2-CH3 77 -84 6,0
0,894
n-Heksan C6H14 69 -59 1,9 0,659
Benzena C6H6 80 5,5 2,28 0,879
Toluena C7H8 110,6 -95 2,38 0,867
Etanol C2H6O 78 -114 22,4 0,789
Metanol CH4O 64 -98 32,6 0,792
23
dielektrik masing-masing pelarut yang sudah dikalikan persentase (%) volume
masing-masing komponen pelarut.
Salah satu faktor yang paling menentukan berhasilnya proses ekstraksi
adalah mutu dari pelarut yang digunakan (Guenther, 1948). Pelarut yang ideal,
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bersifat selektif
Pelarut dapat melarutkan semua zat yang akan diekstrak dengan cepat dan
sempurna.
2. Titik didih pelarut
Pelarut harus mempunyai titik didih yang cukup rendah, sehingga pelarut
mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi pada proses pemurnian dan
jika diuapkan tidak tertinggal dalam eksrak.
3. Pelarut tidak larut dalam air
Jika pelarut larut dalam air maka air dalam daun akan ikut terekstraksi
sehingga menyebabkan minyak hasil ekstraksi mudah teroksidasi.
4. Pelarut bersifat inert
Artinya pelarut tidak bereaksi dengan komponen lain.
5. Pelarut harus mempunyai titik didih yang seragam dan jika diuapkan tidak
akan tertinggal dalam ekstrak setelah proses penguapan.
6. Harga murah, tidak beracun dan tidak mudah terbakar.
Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut yang memenuhi syarat-
syarat di atas. Namun tidak ada pelarut yang benar-benar ideal (Ketaren, 1985).
Masing-masing pelarut mempunyai efisiensi dan selektivitas yang berbeda-beda
dalam melarutkan senyawa-senyawa tertentu. Semakin banyak jumlah pelarut yang
digunakan semakin banyak pula rendemen minyak atsiri daun pandan wangi yang
dihasilkan, hal ini dikarenakan luas kontak semakin besar, sehingga distribusi
pelarut ke bahan akan semakin besar (Jayanudin et al., 2014).
24
Jenis-jenis bahan pelarut yang banyak digunakan untuk ekstraksi antara lain
(Guenther, 1948) :
1. Petroleum Eter
Merupakan pelarut non polar hasil penyulingan dengan titik didih 30 –
70oC, bersifat stabil dan mudah menguap, maka sangat baik untuk ekstraksi.
Penggunaan petroleum eter sangat menguntungkan karena bersifat selektif dalam
melarutkan zat, tapi mempunyai kelemahan yaitu kehilangan pelarut cukup besar
selama proses berlangsung. Petroleum eter bersifat toksik dan mudah terbakar. Eter
sulit untuk diperoleh sehingga menyebabkan harga pelarut ini relatif mahal.
2. Benzene
Adalah senyawa aromatik yang paling sederhana dengan rumus C6H6.
Merupakan pelarut non polar yang baik setelah eter. Benzene tidak hanya
melarutkan minyak atsiri tetapi juga melarutkan lilin, albumin, dan zat warna
sehingga minyak atsiri hasil ekstraksi dengan benzene berwarna lebih gelap dan
lebih kental. Biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak yang mempunyai
titik didih tinggi yaitu 80,1oC.
3. Heksana
Merupakan senyawa hidrokarbon golongan alkana dengan rumus C6H14
merupakan pelarut non polar dengan kisaran titik didih 65 – 70oC. Keuntungan
pelarut ini yaitu bersifat selektif dalam melarutkan zat yang ingin diekstrak,
menghasilkan sejumlah kecil lilin, albumin, dan zat warna, namun dapat
mengekstrak zat pewangi dalam jumlah besar.
4. Etanol
Mempunyai titik didih 78oC. Pelarut yang cukup baik untuk mengekstraksi
bahan kering, seperti daun-daunan, batang, akar, dan biji. Namun kekurangan dari
etanol adalah kurang bersifat selektif dan larut dalam air serta bersifat polar.