bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman kakaorepository.ump.ac.id/5509/3/titin dwi hendriyani_bab...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu anggota dari
familia Sterculiaceae yang berasal dari hutan tropis Amerika Tengah dan Amerika
Selatan bagian utara. Kakao banyak dimanfaatkan oleh suku Indian Maya dan
suku Astek sebagai bahan makanan dan minuman (Baon & Wardani, 2010). Pada
abad ke 15, kakao mulai dikenalkan di Eropa dan menyebar ke seluruh dunia
mulai saat itu (Susanto, 1994).
Di Indonesia, kakao diperkenalkan pertama kali oleh bangsa Spanyol di
Minahasa pada tahun 1560 dan menyebar ke hampir seluruh wilayah Indonesia
pada akhir abad 18 (Susanto, 1994). Pada saat ini, Indonesia menjadi negara
penghasil kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading dengan total
produksi mencapai 900 ribu ton pada tahun 2012 (FAO, 2014). Dengan kondisi
tersebut, kakao menjadi komoditas perdagangan utama bagi Indonesia dengan
total devisa mencapai US$ 1,2 milyar pada tahun 2010 (FAO, 2014).
2.1.1 Morfologi Tanaman Kakao
Tanaman kakao berbentuk pohon dengan dengan tinggi dapat mencapai 3 -
8 meter (van Steenis et al., 2008). Tanaman kakao bersifat dimorfisme, yaitu
memiliki 2 macam percabangan. Cabang yang tumbuh ke atas disebut cabang
ortrotof dan cabang yang pertumbuhannya ke samping disebut cabang plagiotrof.
Tanaman kakao yang masih muda akan memiliki batang yang lurus, namun pada
9
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
10
umur sekitar 10 bulan akan membentuk cabang plagiotrof (Karmawati et al.,
2010).
Berdasarkan percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme yaitu
daun yang tumbuh pada cabang ortotrop memiliki tangkai daun yang panjang (7,5
- 10 cm), sedangkan pada cabang plagiotrop memiliki tangkai daun lebih pendek
yaitu sekitar 2,5 cm (Susanto, 1994). Helaian daun berbentuk bulat telur terbalik
memanjang (obovatus) dengan panjang pada daun dewasa mencapai 10 – 48 cm
dan lebar dapat mencapai 4 - 20 cm. Ujung daun meruncing (acuminatus) dengan
pangkal daun berbentuk runcing (acutus) (Backer & Bakhuizen van den Brink,
1963).
Bunga kakao berkembang dari berkas ketiak daun pada batang dan beberapa
cabangnya (cauliflori; Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Tempat
tumbuh bunga tersebut lama – kelamaan menebal dan membesar disebut dengan
bantalan bunga (cushion; Gambar 2.1 A). Bunga kakao umumnya berwarna
putih, ungu dan kemerahan. Jumlah bunga dalam satu pohon dapat mencapai
sekitar 10.000 kuntum bunga setiap tahun, namun yang berhasil tumbuh dan
berkembangbiak menjadi buah hanya sekitar 10 - 50 bunga saja (Susanto; 1994).
Setiap kuntum bunga tersusun atas 5 daun kelopak (sepala) berbentuk lanset
berwarna putih dengan panjang dapat mencapai 6 – 8 mm dan 5 daun mahkota
(petala) berbentuk cekung dengan panjang dapat mencapai 2,5 - 4 mm serta organ
kelamin (Gambar 2.1 B; Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga
kakao merupakan bunga banci (hermaproditus) dengan organ betina (gynaecium)
terdiri atas bakal buah (ovary), tangkai putik (stylus), dan kepala putik (stigma).
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
11
Putik bunga kakao berwarna putih berukuran pendek (Backer & Bakhuizen van
den Brink, 1963). Organ kelamin jantan (androecium) terdiri dari 5 benang sari
(stamen) dan staminodia. Stamen merupakan organ kelamin jantan fertile karena
mampu menghasilkan tepung sari (pollen) dengan diameter 2 - 3 mikron,
sedangkan staminodia merupakan organ kelamin jantan yang steril berwarna ungu
tua dengan ujung putih, ukurannya dapat mencapai 4 – 6 mm (Backer &
Bakhuizen van den Brink, 1963).
Gambar 2.1 A. Bunga kakao yang muncul dari batang (kauliflori), sebagian
kuntum bungan masih kuncup dan sebagian telah mekar; B.
Diagram bunga yang telah mekar menunjukkan staminodia dan
petala (Rahardjo, 2011)
Proses pembungaan kakao diawali dengan terbentuknya kuncup bunga.
Setelah 30 hari, kuncup bunga akan mekar yang menandakan putik dan benang
sari telah masak dan siap untuk melakukan penyerbukan dan pembuahan. Setelah
mengalami penyerbukan yang umumnya dibantu oleh serangga, bakal biji akan
tumbuh menjadi biji dan bakal buah akan tumbuh menjadi buah (Rahardjo, 2011)
Buah kakao termasuk buah buni, berbentuk bulat memanjang dengan ujung
meruncing (obovatus; Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Buah kakao
memilki panjang mencapai 12 – 22 cm dan lebar dapat mencapai 6 – 10 cmm
Staminodia
Stamen
Stigma
A B
Petala
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
12
berwarna hijau, kuning dan merah tergantung kultivarnya (Backer & Bakhuizen
van den Brink, 1963). Buah kakao terdiri atas kulit buah (pod), arilus (pulp) dan
biji (Saleh, 1998). Pada setiap buah kakao dapat dihasilkan biji sebanyak 30 - 50
butir tergantung kultivarnya (Prawoto & Winarsih, 2010). Di bagian dalamnya
terdapat kulit biji (testa) yang membungkus 2 kotiledon. Biji kakao tidak memiliki
masa dorman sehingga terkadang ditemukan biji yang telah berkecambah di
dalam buah yang terlambat dipanen (Prawoto & Winarsih, 2010).
Tanaman kakao memiliki sistem perakaran tunggang yang bercabang
(Siregar et al., 2010). Panjang akar tanaman kakao dapat mencapai 15 meter ke
arah bawah dan 8 meter ke arah lateral (Siregar et al., 2010). Sebagian besar akar
lateral kakao (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah (surface root feeder)
yaitu pada kedalaman 0 - 30 cm (Prawoto & Winarsih, 2010).
2.1.2 Kultivar Kakao
Kakao memiliki tiga kultivar yang umumnya dibudidayakan yaitu Criollo,
Forestero, dan Trinitario.(Gambar 2.2). Kakao Criollo merupakan jenis kakao
yang mulia atau bermutu tinggi karena memiliki cita rasa yang khas, fermentasi
biji lebih singkat dan rasanya tidak terlalu pahit (Susanto, 1994). Namun
demikian, kultivar ini memiliki pertumbuhan yang kurang kuat, masa berbuah
lambat sehingga produktivitasnya rendah, dan mudah terserang hama dan
penyakit (Prawoto & Winarsih, 2010). Criollo memiliki buah dengan permukaan
kulit yang kasar dengan alur – alurnya yang jelas. Buah kakao kultivar Criollo
memiliki tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecahkan serta memiliki kadar
lemak dalam biji yang rendah (Karmawati et al., 2010). Warna buah pada saat
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
13
muda umumnya berwarna merah dan jika sudah masak warna berubah menjadi
orange, ujung buah berbentuk tumpul sedikit bengkok dan tiap buah berisi biji
yang dapat mencapai 30 - 40 biji dengan bentuk biji bulat dan endosperm
berwarna putih (Susanto, 1994).
Kakao Forestero, dikenal dengan kakao curah atau kakao lindak karena
memiliki rasa biji yang pahit. Namun kakao forestero memiliki pertumbuhan yang
kuat, cepat berbuah sehingga produksinya lebih tinggi, serta relatif lebih tahan
terhadap serangan hama dan penyakit (Susanto, 1994). Kakao Forestero memiliki
kulit buah berwarna hijau, agak keras dengan permukaan yang halus serta
memiliki alur yang agak dalam. Endosperm kakao Forestero berwarna ungu tua
(Prawoto & Winarsih, 2010).
Kakao Trinitario merupakan hasil persilangan dari kakao Criollo dan
Forastero sehingga terdapat jenis – jenis baru yang mutunya lebih baik, buah
maupun bijinya (Susanto, 1994).
Gambar 2.2 Tiga kultivar kakao meliputi (A) Criollo, (B) forastero dan (C)
Trinitario (Karmawati et al., 2010)
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
14
2.1.3 Manfaat Tanaman Kakao
Kakao dibudidayakan oleh masyarakat untuk dimanfaatkan buahnya. Kulit
buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan pakan ternak (Gambar 2.3 A
Sihombing, 2008), bahan baku kompos (Dachlan et al., 2009), selain itu juga
sebagai bahan baku pembuatan arang aktif untuk adsorben logam berat (Masitoh
& Sianit, 2013). Pulp buah kakao juga dapat dimanfaatkan untuk produk pangan
seperti nata de cacao (Gambar 2.3 B; Elizabeth, 2006)
Bagian buah kakao yang paling penting adalah biji kakao. Biji kakao dapat
diolah menjadi cacao butter dan cacao powder. Cocoa butter dapat dimanfaatkan
untuk berbagai macam produk pangan seperti bahan dalam pembuatan permen
dan kembang gula, serta non pangan seperti seperti sebagai bahan baku
pembuatan sabun (Yulia, 2012). Cacao powder juga memiliki banyak manfaat
dalam produk pangan maupun non pangan seperti hot choco, ice cream choco
(Gambar 2.3 C; Zairisman, 2006) serta dalam bidang kosmetik seperti masker
dan spa (Gambar 2.3 D)
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
15
Gambar 2.3 Kulit buah kakao yang dimanfaatkan untuk pakan ternak (A); Pulp
sebagai bahan baku pembuatan nata de cocoa (B); cocoa powder
untuk bahan baku makanan (ice cream) (C) dan masker(D). Sumber
dari www.google.com/images/cocoa
2.2 Budidaya Kakao dan Permasalahan Kakao di Indonesia
2.2.1 Budidaya Kakao
Di Indonesia, Kakao merupakan salah satu tanaman budidaya yang
memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Hal tersebut karena,
Indonesia memiliki luas area perkebunan kakao terbesar kedua di dunia yang dari
tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001, luas area
perkebunan kakao di Indonesia hanya sekitar 800 ribu ha, sedangkan pada tahun
2012, luas area perkebunan kakao mencapai lebih dari 1,7 juta ha. Dengan luas
perkebunan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan luas area
perkebunan terbesar ke dua di dunia setelah Pantai Gading dengan luas area
perkebunan kakao mencapai 25 juta ha pada tahun 2012 (Gambar 2.4; FAO,
2014).
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
16
Gambar 2.4 Perkembangan luas area perkebunan kakao dari tahun 2001-2012
(FAO, 2014).
Luasnya area perkebunan kakao di Indonesia tersebut mengakibatkan
produksi kakao di Indonesia menjadi tinggi. Indonesia merupakan negara dengan
total produksi kakao terbesar kedua di dunia, dengan total produksi biji kakao
rata-rata mencapai lebih dari 900 ribu ton pada tahun 2012 (Gambar 2.5; FAO.
2014). Hal tersebut menjadikan kakao sebagai komoditas eksport terbesar ketiga
setelah karet dan minyak sawit dengan nilai eksport mencapai sekitar US $ 1,2
milyar pada tahun 2010 (FAO, 2014).
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
17
Gambar 2.5 Produksi Kakao dunia pada Tahun 2012 (FAO, 2014).
2.2.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan total produksi kakao terbesar kedua di
dunia (Gambar 2.5; FAO, 2014), namun tingginya produksi tersebut dikarenakan
Indonesia memiliki luas area perkebunan kakao yang tinggi pula (Gambar 2.4;
FAO,2014). Dalam hal produktivitas, perkebunan kakao di Indonesia tergolong
rendah dan hanya menempati urutan ke – 17 dalam hal produktivitas kakao dari
58 negara penghasil kakao di dunia (Gambar 1.1; FAO, 2014). Produktivitas
perkebunan kakao di Indonesia hanya sekitar 550 kg untuk setiap hektar per
tahunnya. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand dan Guatemala,
total produksi tersebut sangat rendah, hanya seperlima produktivitas kakao dari
kedua negara tersebut.
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
18
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas
kakao di Indonesia, diantaranya adalah usia tanaman kakao yang cukup tua (lebih
dari 25 tahun). Saat ini hampir 90 % dari total perkebunan kakao di Indonesia
telah berusia tua dan harus segera diremajakan (Taufik et al,. 2010). Disamping
itu faktor bibit kakao yang berkualitas rendah juga memegang peran peting dalam
hal rendahnya produktivtias kakao di Indonesia (Limbongan, 2012). Oleh karena
itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas bibit kakao yang unggul dalam
jumlah yang banyak dan dalam waktu yang singkat guna mengatasi permasalahan
di atas.
2.2.3 Pembibitan Tanaman Kakao
Mayoritas petani kakao di Indonesia penyediaan bibit secara generatif
melalui biji. Biji kakao yang dipanen dari tanaman kakao yang unggul dibersihkan
dari pulp kemudian dikeringkan sampai kadar air 40% selanjutnya
dikecambahkan selama 12 hari. Benih yang telah dikecambahkan kemudian
dipelihara selama 4 - 5 bulan sampai siap untuk di tanam di lahan (Rahardjo,
2011).
Teknik pembibitan tersebut mampu menghasilkan benih dalam jumlah yang
masal serta waktu yang relatif singkat. Namun, bibit yang dihasilkan memilki
variasi genetik yang tinggi dan tidak sama dengan induknya (Maximova et al.,
2002). Hal tersebut karena kakao melakukan penyerbukan silang dalam
menghasilkan biji. Bunga kakao bersifat protogini yang artinya putik masak lebih
awal daripada kepalasari sehingga serbuk sari tidak mampu membuahi putik dari
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
19
kuntum yang sama (Prawoto, 2008). Sebagai akibatnya biji yang dihasilkan tidak
memiliki sifat genetik yang seragam karena memilik dua induk yang berbeda.
Alternatif lain yang mulai banyak digunakan oleh para petani untuk
menghasilkan bibit yang relatif sama dengan induknya dengan cara pembibitan
secara vegetatif melalui stek, okulasi dan sambung pucuk (Rahardjo, 2010).
Pembibitan dengan stek dilakukan dengan cara memotong batang atau pucuk
tanaman kakao yang masih muda kemudian ditanam ke dalam pot yang telah
berisi medium. Stek akan mulai tumbuh akar setelah berumur tiga minggu dan
siap untuk ditanam di lahan setelah berumur enam bulan (Raharjo, 2010).
Teknik ini mudah dilakukan dan menghasilkan bibit dengan sifat genetis
yang sama dengan induknya (Siregar et al., 2010). Namun teknik tersebut masih
memiliki tingkat keberhasilan rendah yaitu 27 % pada tanaman kakao (Abdoellah,
2008). Akibatnya, teknik tersebut tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah
masal serta merusak tanaman induk yang akan di stek (Rahardjo, 2010).
Cara vegetatif lain yang digunakan oleh petani adalah melalui okulasi. Mata
tunas yang berwarna hijau dari pohon kakao berkualitas ditempelkan ke batang
bawah bibit kakao yang diperoleh dari perkecambahan biji. Mata tunas kemudian
diikat dengan tali plastik dan dibiarkan tumbuh dan berkembang menjadi batang
baru. Bibit yang dihasilkan dengan teknik ini memerlukan waktu sekitar 4 - 5
bulan sebelum ditanam ke lahan. Teknik ini memiliki kelebihan antara lain
mampu menghasilkan bibit secara masal dengan sifat sesuai dengan induk yang
dijadikan sumber mata tunas serta tingkat keberhasilan mencapai 90% (Rahardjo,
2010). Namun teknik ini membutuhkan mata tunas yang banyak sehingga
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
20
merusak tanaman induknya. Disamping itu, keterbatasan mata tunas yang
dibutuhkan menyebabkan jumlah bibit yang dihasilkan juga terbatas (Rahardjo,
2010).
Cara lain yang digunakan oleh petani kakao adalah melalui sambung pucuk
(Siregar et al., 2010). Teknik ini dilakukan dengan cara memotong cabang muda
dari tanaman yang berkualitas kemudian disambungkan pada bibit kakao yang
berasal dari biji. Teknik sambung pucuk ini akan menghasilkan bibit dengan sifat
genetika yang sama dengan induknya, akan tetapi teknik tersebut memiliki tingkat
keberhasilan yang relatif rendah serta akan dihasilkan bibit dengan jumlah yang
terbatas, karena terbatasnya jumlah pucuk yang akan disambung (Karmawati et
al., 2010).
2.3 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan
pembibitan kakao secara konvensional khususnya dalam hal menghasilkan bibit
secara masal dengan kualitas yang seragam dan sama dengan induknya adalah
dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan tanaman merupakan
teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman dan
ditumbuhkan pada media tanam buatan yang aseptis (Hendaryono & Wijayani,
1994). Teknik ini dapat memperbanyak tanaman dalam jumlah besar dengan
waktu yang singkat serta menghasilkan bibit yang seragam dengan induknya
(Avivi et al., 2010). Namun demikian, tidak semua tanaman mampu diperbanyak
menggunakan teknik kultur jaringan. Disamping itu teknik ini juga memerlukan
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
21
keahlian khusus, serta harus dilakukan di laboratorium sehingga membutuhkan
biaya yang relatif mahal (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Beberapa teknik kultur jaringan telah dikembangkan untuk perbanyakan
bibit kakao seperti melalui kultur pucuk dan kultur tunas aksiler (Zulkarnain,
2009). Namun, kultur pucuk kakao belum berhasil diaplikasikan dalam jumlah
masal serta memiliki beberapa kendala seperti tumbuhan yang dihasilkan
memiliki pertumbuhan yang lambat dan memiliki akar serabut (Zulkarnain, 2009).
Teknik kultur tunas aksiler juga belum berhasil untuk diaplikasikan pada tanaman
kakao (Figuera et al., 1991)
Salah satu teknik kultur jaringan yang mulai dikembangkan untuk
menyediakan bibit kakao secara in vitro adalah dengan menggunakan teknik
embryogenesis somatik (Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010). Embryogenesis
somatik adalah teknik budidaya tanaman secara in vitro dimana sel somatik
berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embryo
yang spesifik tanpa melalui peleburan sel gamet (Purnamaningsih, 2002). Pada
teknik embryogenesis somatik ada beberapa tahap, yaitu (1) induksi kalus
embriogenik (2) induksi embrio somatik (3) perkecambahan dan (4) aklimatisasi
(Gambar 2.6; Li et al., 1998)
Pada tahap induksi kalus remah (friabel), eksplan ditanam pada medium
yang mengandung zat pengatur tumbuh tertentu sehingga terinduksi kalus. Kalus
remah memiliki ciri berupa kalus yang lunak, mudah dipisah- pisahkan dan
berwarna kuning kecoklat- coklatan, (Hilyatunnisa, 2013; Purwasih, 2013;
Rahayu, 2013;). Kalus remah kemudian dapat diinduksi pembentukan embryo
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
22
dengan cara memindahkan ke dalam medium dengan penambahan auksin dengan
konsentrasi rendah (Purnamaningsih, 2002). Tahapan pembentukan embryo
dimulai dari fase globular, hati, torpedo dan kotiledon (Gambar 2.6;
Purnamaningsih, 2002).
Embryo somatik yang terbentuk kemudian dikecambahkan pada medium
dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang sangat rendah atau bahkan tidak
diberikan sama sekali untuk menjadi tanaman lengkap dengan tunas dan akar
(Purnamaningsih, 2002). Tahap terakhir adalah aklimatisasi, pada tahap ini bibit
tanaman dipindahkan ke lingkungan ex vitro (Purnamaningsih, 2002).
Gambar 2.6 Tahap perkembangan morfologi embryo somatik kakao; (a) embryo
tahap globular; (b) embryo tahap heart; (c) embryo tahap torpedo;
(d) embryo tahap kotiledon; (e) planlet; dan (f) aklimatisasi (Li et al.,
1998).
Kelebihan dari kultur embryogenesis somatik kakao antara lain mampu
menghasilkan bibit dalam jumlah besar (Li et al., 1998), sifat genetik yang sama
dengan induknya (Avivi et al., 2010), serta tanaman yang dihasilkan memiliki
akar tunggang seperti tanaman yang berasal dari biji (Li et al., 1998). Namun
demikian, teknik ini juga memiliki kendala berupa tingkat keberhasilan
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
23
pembentukan embryo somatik rendah dan bervariasi dari 1 - 100 % tergantung
medium dan eksplan yang digunakan (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi
et al., 2010) dan memerlukan penanganan yang intensif dengan tenaga kerja yang
terampil (Purnamaningsih, 2002).
Teknik embryogenesis somatik telah berhasil digunakan untuk produksi
bibit berbagai tanaman seperti tanaman cendana (Santalum album L.; Sukmadjaja,
2005), manggis (Garcinia indica Choiss; Thengane et al., 2006) maupun kopi
(Coffea Arabica L.; Riyadi & Tirtoboma, 2004) dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi, yaitu sekitar 80 % - 100 %. Pada tanaman kakao, embryogenesis somatik
juga telah dicobakan untuk menghasilkan bibit yang unggul. Namun, sampai saat
ini tingkat keberhasilannya masih sangat bervariasi antara 1 sampai 100 %
bergantung kultivar kakao yang digunakan. Jumlah embryo yang dihasilkan dari
setiap eksplan yang ditanam juga bervariasi dari 1 sampai 45 buah embrio somatik
per eksplan tergantung kultivar yang digunakan (Li et al., 1998)
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi
embryogenesis somatik kakao, seperti penggunaan berbagai jenis eksplan
(Siregar, 1991; Chantrapradist & Kanchanapoom, 1995; Li et al., 1998), uji
berbagai medium dasar (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010)
maupun penambahan garam nutrient dengan konsentrasi tertentu ke dalam
medium tanam (Minyaka et al., 2008; Emile et al., 2010).
Penelitian pertama tentang embryo somatik kakao dilakukan oleh Esan pada
tahun 1977 dengan menggunakan eksplan jaringan embryo zigotik, namun tingkat
keberhasilan yang diperoleh masih sangat rendah (Maximova et al., 2002).
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
24
Eksplan embryo zigotik yang diisolasi dari buah muda juga sudah dicobakan
untuk induksi embryogenesis somatik kakao, namun persentase keberhasilan juga
masih rendah 27 %, serta memiliki sifat genetik yang bervariasi (Diniarti, 1991).
Eksplan kotiledon juga pernah dicobakan untuk menginduksi pembentukan
embryo somatik kakao, namun eksplan yang digunakan tidak berhasil
menginduksi embryo (0 %) (Cahantrapradist & Kanchanapoom, 1995).
Salah satu eksplan yang dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan relatif
tinggi serta merupakan sel somatik sehingga memiliki sifat genetik yang seragam
adalah eksplan staminodia dan petala (Li et al., 1998). Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan embryo somatik bervariasi antara 1
sampai 100 % tergantung genotip yang digunakan (Li et al., 1998; Winarsih et al.,
2003; Avivi et al., 2010).
Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, upaya pembibitan kakao
melalui teknik embryogenesis somatik juga telah dilakukan dengan menggunakan
kultivar Criollo. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2013) dengan
menanam kalus pada medium DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) dengan
penambahan kinetin 5.10-7
M & 10-6
M 2,4-D ke dalam medium tanam. Medium
tersebut mampu menginduksi kalus bersifat embryogenik dan medium DKW yang
hanya ditambah kinetin 5.10-8
M berhasil menginduksi embryo somatik, meskipun
tingkat keberhasilan masih relatif rendah yaitu 1 %.
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Purwasih (2013) menggunakan
medium DKW yang dikombinasikan dengan 10-6
M 2,4-D & 10-7
M BAP
merupakan medium yang digunakan untuk menginduksi kalus. Medium tersebut
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
25
dapat membentuk kalus dengan tipe yang friable sehingga mampu untuk
membentuk embryo somatik. Namun, tingkat keberhasilan dalam induksi embryo
masih rendah sekitar 1%.
Penelitian yang dilaporkan oleh Hilyatunnisa (2013) menggunakan eksplan
staminodia dan petala yang ditanam pada medium DKW dengan kombinasi 10-7
M Adenin & 5 x 10-7
2,4-D berhasil untuk menginduksi kalus tetapi penelitian ini
belum berhasil menginduksi embryo. Penambahan air kelapa ke dalam medium
tanam juga belum dapat meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik
kakao.
Upaya lain juga telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi
embryo somatik kakao diantaranya adalah dengan menggunakan beberapa
medium dasar seperti medium MS (Murashige & Skoog, 1962), dan DKW
(Driver & Kuniyuki, 1984). Medium MS telah dicobakan untuk menginduksi
embryogenesis somatik kakao, namun tingkat keberhasilannya sangat rendah (0 –
11 %; Alemanno et al., 1996). Medium DKW berhasil menginduksi pembentukan
embryo somatik dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik, namun persentae
keberhasilannya sangat tergantung kultivar yang digunakan (Li et al., 1998;
Maximova et al., 2002).
Selain menggunakan beberapa medium dasar, upaya lain yang juga telah
dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kakao
adalah dengan penambahan kadar garam makronutrient (Minyaka et al., 2008;
Emile et al., 2010). Minyaka et al. (2008) melakukan penelitian induksi embryo
somatik pada tanaman kakao dengan menambahkan K2SO4 dan MgSO4 ke dalam
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
26
media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan induksi embrio
somatik kakao dapat mencapai 40 %. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh
Emile et al. (2010), namun hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat
keberhasilannya lebih rendah dibandingkan penelitian Minyaka et al. (2008) yaitu
kurang dari 30 %.
2.4 Medium Tanam
Medium kultur jaringan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
dalam perbanyakan tanaman secara in vitro (Yusnita, 2003). Sampai saat ini
teredapat lebih dari 200 komposisi medium dasar yang banyak digunakan untuk
kultur jaringan. Beberapa komposisi medium dasar yang banyak digunakan dalam
kultur jaringan antara lain medium dasar MS (Murashige & Skoog, 1962) yang
dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur; medium dasar B5 (Gambrog,
1968) yang dapat digunakan untuk kultur sel pada tanaman kedelai dan legume
lain, medium dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) yang banyak digunakan
untuk tanaman berkayu, maupun medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984)
yang banyak digunakan untuk embryogenesis somatik (Hendaryono & Wijayanti,
1994). Pada umumnya, media kultur jaringan mengandung unsur garam makro,
garam mikro, vitamin, asam-asam amino essensial, gula dan zat pengatur tumbuh
(ZPT).
2.4.1 Makronutrien
Kebutuhan garam-garam mineral didalam kultur jaringan kurang lebih sama
dengan tanaman utuh. Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah cukup besar, pada
umumnya diberikan dalam bentuk persenyawaan (Nursetiadi, 2008). George &
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
27
Sherrington (1984) menyebutkan beberapa persenyawaan makronutrien yang
umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara lain: Nitrogen (N), Fosfor
(P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg). Unsur – unsur
makro biasanya diberikan dalam bentuk garam berupa NH4NO3, KNO3,
CaCl2.2H2O, MgSO4.7H2O dan KH2PO4. Macam dan konsentrasi garam makro
yang optimum untuk tiap-tiap komponen untuk memenuhi pertumbuhan yang
maksimal bagi setiap jenis tanaman dan setiap jenis eksplan sangat bervariasi.
Salah satu garam yang banyak ditambahkan ke dalam medium tanam adalah
garam magnesium sulfat (MgSO4). Garam MgSO4 mengandung ion sulfat yang
mampu meningkatkan proses metabolisme seperti sintesis asam amino dan
sintesis protein di dalam sel (Saito, 2004; Leustek, 2002). Sulfur banyak
ditemukan sebagai komponen penyusun asam amino sistein dan metionin, dan
sebagai penyusun vitamin thiamin dan biotin, serta penyusun koenzim A
(Salisbury & Ross, 1995). Kondisi tersebut merupakan prasarat utama untuk
terjadi proses – proses biologi pada tumbuhan tinggi termasuk proses
embryogenesis (Minyaka, 2008). Ion Mg yang terdapat pada garam MgSO4
memiliki peran penting dalam mengaktifkan banyak enzim seperti enzim-enzim
yang dibutuhkan dalam reaksi fotosintesis dan respirasi maupun enzim-enzim
untuk sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA;
Salisbury & Ross, 1995).
Penelitian penambahan makronutrien terhadap keberhasilan embryogenesis
somatik pada beberapa jenis tanaman telah dilaporkan pada tanaman wortel
(Daucus carrota cv. Nants). Induksi embryo somatik dengan menggunakan
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
28
medium tanpa penambahan MgSO4 hanya mampu menghasilkan embryo dengan
tingkat keberhasilan yang rendah, yaitu 20 embryo dari setiap eksplan yang
ditanam, sedangkan induksi embryo somatik yang dilakukan dengan kadar
MgSO4 yang tinggi (4 x 10-3
M) mampu meningkatkan jumlah embryo yang
terinduksi hampir sepuluh kali lipat menjadi 200 embryo dari setiap eksplan yang
ditanam (Ghasemi et al., 2009).
Hal yang sama juga dilaporkan pada tanaman kanola (Brassica napus L.),
yaitu induksi embryo somatik tidak dapat dilakukan pada medium tanpa
penambahan MgSO4, sedangkan pada medium dengan penambahan MgSO4
mampu menginduksi pembentukan embryo somatik (Lim & Loh, 1992). Pada
tanaman Magnolia, penambahan magnesium dengan konsentrasi tinggi mampu
menginduksi pembentukan embryo somatik, sedangkan penambahan magnesium
dengan konsentrasi rendah hanya mampu menginduksi pembentukan kalus tanpa
diikuti pembentukan embryo somatik (Valova et al.,1996)
Pada tanaman kakao, penelitian tentang pengaruh penambahan MgSO4 ke
dalam medium tanam untuk meningkatkan produksi embryo somatik juga telah
dilaporkan. Penambahan konsentrasi MgSO4 ke dalam medium tanam
berpengaruh secara nyata meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik
kakao, tetapi tingkat keberhasilannya masih tergantung pada genotipe kakao yang
digunakan. Pada eksplan petala yang diisolasi dari kakao bergenotipe Sca 6,
penambahan 1,5 x 10-3
M MgSO4 ke dalam medium tanam tidak mampu
menginduksi pembentukan embryo somatik, sedangkan penambahan MgSO4
sebanyak 4 kali lebih tinggi (6 x10-3
M) mampu menginduksi embryo somatik
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
29
sampai 40 % (Minyaka et al., 2008). Hal yang berbeda terjadi pada genotipe IMC
6 dimana eksplan yang sama ditanam pada medium dengan penambahan 1,5x10-3
M MgSO4 hanya menginduksi sekitar 7 % embryo dan penambahan MgSO4
sampai konsentasi 6 x10-3
M hanya mampu meningkatkan keberhasilan induksi
embryo kurang dari 15 % (Minyaka et al.;2008).
Penelitian tentang pengaruh penambahan MgSO4 ke dalam medium tanam
terhadap keberhasilan induksi embryo somatik pada tanaman kakao kultivar
Criollo belum pernah dilaporkan, maka pada penelitian ini dilaporkan uji tentang
hal tersebut pada penelitian ini.
2.4.2 Mikronutrien
Unsur hara mikro adalah unsur yang diperlukan dalam jumlah sedikit.
George dan Sherrington (1984) menyebutkan beberapa persenyawaan
mikronutrien yang umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara lain:
Klor (Cl), Mangan (Mn), Besi (Fe), Tembaga (Cu), Seng (Zn), Bor (B), dan
Molibdenum (Mo). Unsur – unsur mikro biasanya diberikan dalam bentuk
MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3, KJ, NaMoO4.2H2O, CuSO4.5H2O dan
CoCl2.6H2O (Indrianto, 2002). Meskipun diperlukan dalam jumlah sedikit, namun
jika tidak ada unsur hara mikro di dalam medium tanam dapat menyebabkan
kelainan pertumbuhan.
2.4.3 Vitamin
Vitamin memilki fungsi katalitik pada sistem enzim dan dibutuhkan dalam
jumlah kecil. Vitamin – vitamin yang sering digunakan dalam media kultur
jaringan antara lain tiamin (vitamin B1), piridoksin (vitamin B6) dan asam
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
30
nikotinat. George dan Sherrington (1984) memasukan beberapa macam vitamin
yang umum digunakan pada berbagai medium dasar, antara lain: thiamin-HCl,
niasin, glisin, piridoksin HCl, myo-inositol, asam folat, sianokobalamin,
riboflavin, biotin, kolin klorida, kalsium pantetonat, piridoksin fosfat dan
nikotinamida (Hendaryono & Wijayanti, 1994).
2.4.4 Asam – Asam Amino
Asam –asam amino berperan penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi
kalus. Kebutuhan asam amino untuk setiap tanaman berbeda beda. Asparagin dan
Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino, karena dapat menjadi
pembawa dan sumber amonia untuk sintesis asam – asam amino baru dalam
jaringan. Adapun asam amino yang umum ditambahkan pada medium adalah:
glutamine, glycine, L-cyteine, L-arginine, L-Aaspartic acid, L-methionine.
(Hendaryono & Wijayanti, 1994).
2.4.5 Gula
Pada kultur in vitro, sel dan jaringan tumbuhan belum sempurna dalam
melakukan asimilasi fotoautotrof, sehingga diperlukan gula sebagai sumber
karbon dan energi. Selain sebagai sumber energi bagi sel dan jaringan, gula juga
berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tekanan osmotik potensial didalam
medium. Gula pada umumnya diberikan pada medium kultur berupa sukrosa atau
komponen-komponennya seperti monosakarida glukosa atau fruktosa.
(Hendaryono & Wijayanti, 1994).
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
31
2.4.6 Zat Pengatur Tumbuh
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik baik yang
disintesis oleh tumbuhan itu sendiri (hormon) maupun senyawa sintetik dalam
konsentrasi sangat rendah mampu mendukung, menghambat, atau menimbulkan
respon bagi tumbuhan (Salisbury & Ross, 1995). Secara umum ada lima
kelompok ZPT yang digunakan dalam kultur jaringan, yaitu auksin, sitokinin.
giberelin, etilen, dan asam abisat (Salisbury & Ross, 1995).
Salah satu ZPT yang banyak digunakan pada kultur jaringan adalah
sitokinin. Sitokinin berperan dalam memacu dalam pembelahan sel dan
pembentukan organ, mendorong pemanjangan sel, menunda penuaan, memacu
perkembangan kloroplas dan sintesis protein (Salisbury & Ross, 1995). Pemberian
sitokinin ke dalam medium, kultur jaringan juga penting dalam meningkatkan
keberhasilan pembelahan sel, ploriferasi pucuk, morfogenesis pucuk,
perkecambahan biji (Zulkarnain, 2009). Pemberian sitokinin dalam konsentrasi
yang relative tinggi akan merangsang pembentukan tunas (Hendaryono &
Wijayanti, 1994). Berbagai macam ZPT golongan sitokinin yaitu BA (benzil
adenin), kinetin (furfuril amino purin), 2-Ip (dimethyl allyl aminopurin), dan
zeatin serta TDZ (Thidiazuron) (Salisbury & Ross, 1995). Salah satu
sitokininyang biasa digunakan dalam kultur jaringan dari golongan sitokinin
adalah Thidiazuron (TDZ)
2.4.6.1 Thidiazuron (TDZ)
Thidiazuron (TDZ) merupakan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin
dengan rumus kimia C9H8N4OS dengan berat molekul 220,251 g mol -1
(Gambar
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
32
2.7; Windujati, 2011). TDZ merupakan salah satu sitokinin sintetik yang memiliki
kemampuan lebih baik dalam menginduksi tunas, diantara sitokinin lain seperti
benzylaminopurin dan kinetin (Mok & Mok, 2001). ZPT ini berfungsi memacu
pembentukan tunas adventif (Huetterman dan Prece, 1993), menginduksi proses
pembelahan sel secara cepat pada kumpulan sel meristem sehingga terbentuk
primordia tunas (George danSherington, 1984).
Gambar 2.7 Rumus bangun Thidiazuron (Salisbury & Ross, 1995)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan TDZ ke dalam
medium tanam telah berhasil digunakan untuk menginduksi embryo somatik pada
tanaman cendana (Santalum album L.). Pada tanaman tersebut, penambahan 9 x
10-6
TDZ ke dalam medium MS berhasil menginduksi pembentukan embryo
somatik dengan tingkat keberhasilan mencapai 33 % (Sukmadjaja, 2005). Pada
tanaman pule pandak (Rauvolfia serpentina L.), penambahan 2.7 x 10-5
TDZ yang
dikombinasikan dengan 2,2 x 10-6
2,4-D ke dalam medium MS berhasil
menginduksi embryo dengan tingkat keberhasilan mencapai 100 % (Sugito,
2006).
Pada tanaman kakao, penambahan TDZ ke dalam medium tanam berhasil
menginduksi pembentukan embryo somatik, namun tingkat keberhasilannya
sangat bervariasi tergantung genotipe yang digunakan. Pada genotipe Sca6,
penambahan 22,7 x 10-8
M TDZ ke dalam medium DKW mampu menginduksi
pembentukan embrio somatik dengan tingkat keberhasilan mencapai 100 %,
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014
33
sedangkan pada genotipe yang lain seperti ICS da Pound hanya berhasil
menginduksi pembentukan embryo somatik dengan tingkat keberhasilan kurang
dari 10 % (Li et al.,1998). Jumlah embryo yang berhasil diinduksi dari setiap
eksplan staminodia yang ditanampun juga bervariasi tergantung genotipe yang
digunakan. Pada Sca6, penambahan 22,7 x 10-8
M TDZ ke dalam medium DKW
mampu menginduksi embryo somatik sebanyak lebih dari 45 embrio per eksplan,
sedangkan pada genotipe Pound dan ICS, penambahan TDZ ke dalam medium
tanam dengan konsentrasi tersebut hanya mampu menginduksi kurang dari 3
embryo per eksplan yang ditanam (Li et al., 1998).
Penelitian penambahan sitokinin ke dalam medium terhadap keberhasilan
induksi embryo somatik kakao kultivar Criollo telah dilakukan (Rahayu, 2013),
namun sitokinin yang digunakan adalah kinetin. Penambahan TDZ ke dalam
medium tanam untuk menginduksi pembentukan embryo somatik kultivar Criollo
belum pernah dilaprokan sehingga pada penelitian ini dlaporkan tentang hal
tersebut untuk pertama kalinya.
Pengaruh Penambahan Thidiazuron…, Titin Dwi Hendriyani, FKIP UMP, 2014