bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan mengenai...

21
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mengenai Implementasi Implementasi menurut Kamus Webster (dalam Abd. Muhaimin Doholio 2011:9) 1 pengertian Implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implementasi” (mengimplementasikan) berarti i “to provide means for carrying out; to give pratical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak/berakibat sesuatu). Implementasi menurut Farida Hamid 2 berdasarkan Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Impelentasi merupakan suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi bukanlah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dari siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan. 1 Abd. Muhaimin Doholio. 2011. Implementasi Pasal 3 Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tugas dan Fungsi Kantor Polisi Pamong Praja Dalam Rangka Penegakan Peraturan Daerah Di Kecamatan Lemito Kabupaten Pohuwato. Kota Gorontalo: Universitas Ichsan Gorontalo. hlm 9 2 Farida Hamid. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Apollo. hlm 215

Upload: trinhdung

Post on 07-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Mengenai Implementasi

Implementasi menurut Kamus Webster (dalam Abd. Muhaimin Doholio

2011:9)1 pengertian ”Implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to

implementasi” (mengimplementasikan) berarti i “to provide means for carrying

out; to give pratical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan;

menimbulkan dampak/berakibat sesuatu)”.

Implementasi menurut Farida Hamid2 berdasarkan Kamus Ilmiah Populer

diartikan sebagai ”pelaksanaan atau penerapan. Impelentasi merupakan suatu

tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang

dan terperinci”.

Implementasi bukanlah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme

penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui

saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut

masalah konflik, keputusan, dari siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Oleh karena itu, tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi

kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses

kebijakan.

1 Abd. Muhaimin Doholio. 2011. Implementasi Pasal 3 Peraturan Bupati

Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tugas dan Fungsi Kantor Polisi Pamong Praja

Dalam Rangka Penegakan Peraturan Daerah Di Kecamatan Lemito

Kabupaten Pohuwato. Kota Gorontalo: Universitas Ichsan Gorontalo. hlm 9 2 Farida Hamid. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Apollo. hlm 215

7

Implementasi terhadap suatu produk Perundang-undangan, Peraturan

Pemerintah, seakan-akan merupakan suatu yang dianggap sangat sederhana,

padahal pada tingkat implementasi inilah suatu produk hukum dapat

diaktualisasikan untuk tercapainya tujuan yang ingin dikehendaki oleh hukum itu

sendiri.

Wildavsky3 mendefinisikan ”implementasi sebagai perluasan aktifitas

yang menyesuaikan. Berdasarkan definisi tersebut, bahwa dapat diartikan kata

implementasi bermuara pada aktifitas, adanya aksi, tindakan atau mekanisme

suatu sistem”. (http://konsulatlaros.blogspot.com/2012/10/pengertian-

implementasi-menurut.html)

Berkaitan dengan hal tersebut, ungkapan mekanisme mengandung arti

bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi merupakan suatu kegiatan

yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma

tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

Idrawati Salino4 menambahkan bahwa ”implementasi adalah suatu proses

yang melibatkan sumber-sumber yang didalamnya termasuk manusia, dana,

kemampuan organisasional, baik pemerintah maupun swasta (individu atau

kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat

kebijakan)”.

3 http://konsulatlaros.blogspot.com/2012/10/pengertian-implementasi-

menurut.html (Diakses pada Hari Sabtu Tanggal 1 Desember 2012 Pukul

20.15) 4 Idrawati Salino. 2009. Implementasi Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 6

Tahun 2001 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Di Kantor

Pengelola Pasar Sentral Kota Gorontalo. Kota Gorontalo: Universitas Ichsan

Gorontalo. hlm 13

8

2.2 Tinjauan Mengenai Kecamatan

2.2.1 Pengertian Kecamatan

Kecamatan adalah pembagian wilayah administrasi di daerah

kabupaten/kota yang terdiri atas desa-desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 pada Pasal 1 ayat (5)

menjelaskan bahwa kecamatan atau sebutan lain wilayah kerja Camat sebagai

Perangkat daerah Kabupaten/Kota. Kedudukan kecamatan merupakan

perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang

mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh camat.

Oleh karena itu, kecamatan menerima sebagian wewenang yang

dilimpahkan oleh kepala daerah. Disamping itu, kecamatan adalah sebagain

koordinator dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum. Dari

penjelasan di atas dapat diihat kecamatan memiliki keunikan khusus, dimana

kecamatan menjadi koordinator di wilayah kerjanya dengan melaksanakan

sebagian limpahan wewenang dari Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Hal ini

berati ada dua tugas utama kecamatan yaitu sebagai pelayan masyarakat, dan

melakukan pembinaan wilayah. Tugas pembinaan wilayah dilakukan dengan

melakukan koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di

wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban, penegakan

peraturan perundang-undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan

desa dan/atau kulurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintaha lainya yang

belum dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi

pemerintah lainya di wilayah kecamatan.

9

Tugas ini tentunya berat, karena dalam Undang Undang Nomor 32

Tahun 2004 kedudukan desa tidak berada di bawah kecamatan dan memiliki

otonomi sendiri dalam melaksanakan pemerintahanya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tri Ratnawati5 ”…,harus ada

penegasan dari Pemerintah Daerah dalam bentuk Peraturan Daerah atau

Keputusan Kepala Daerah yang memperkuat institusi kecamatan dalam

melakukan pembinaan terhadap Pemerintah Desa”.

Maksimalnya peran dan fungsi kecamatan dapat dilihat dari

pelaksanaan kedua tugas tersebut. Dari segi pelayanan masyarakat, pihak

kecamatan menjalankan sebagian wewenang yang diberikan oleh Pemerintah

Daerah. Hal ini sesuai dengan esensi asas desentralisasi dimana ada

pelimpahan sebagian wewenang kepada level pemerintah di bawah untuk

mendukung tugas-tugas pemerintaha yang lain. Berarti Pemerintah Daerah

memberikan sebagian tanggung jawab kepada kecamatan. Manfaat yang

diterima oleh masyarakat adalah rentan pelayanan yang pendek sehingga

pelayanan yang dierima bisa cepat dan berkualitas.

2.2.2 Pembentukan Kecamatan

Pembentukan Kecamatan berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2008

Pasal 1 ayat (5) adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai

kecamatan di wilayah kabupaten/kota. Kecamatan dibentuk berdasarkan

Peraturan Daerah setempat dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah,

dapat berupa pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau

5 Tri Ratnawati. 2009. Pemekaran Daerah, Politik Lokal dan Isu Terseleksi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 15

10

lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa-desa dan/atau kelurahan dari beberapa

kecamatan (Pasal 2 ayat (2).

Sementara itu, pada Pasal 3 PP Nomor 19 Tahun 2008 ditentukan

syarat-syarat untuk mengatur tentang pembentukan/pemekaran kecamatan

yaitu syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

1. Syarat administratif diatur pada Pasal 4, yaitu:

a. Batas usia penyelenggaraan pemerintah minimal 5 (lima) tahun;

b. Batas usia penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan yang

akan dibentuk menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;

c. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BDP) atau nama lain untuk

Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk

kelurahan diseluruh wilayah kecamatan baik yang menjadi calon

cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang

persetujuan pembentuka kecamatan;

d. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk Desa dan Keputusan

Lurah atau nama lain untuk kelurahan diseluruh wilayah kecamatan

baik yang menjadi cakupan wilayah kecamatan baru maupun

kecamatan induk tentang persetujuan pembentuka kecamatan;

e. Rekomendasi Gubernur.

2. Syarat fisik kewilayahan diatur pada Pasal Pasal 6, yaitu:

(1) Cakupan wilayah untuk daerah kebupaten paling sedikit terdiri atas 10

desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5

desa/kelurahan;

11

(2) Lokasi calon ibu kota memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan

fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,

sosial ekonomi, sosial politik, dan social budaya;

(3) Sarana dan prasarana pemerintah meliputi bangunan dan lahan untuk

kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan pelayana

kepada masyarakat.

3. Syarat teknis diatur dalam Pasal 7, yaitu:

(1) Persyaratan teknis meliputi:

a. Jumlah penduduk;

b. Luas wilayah;

c. Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintah;

d. Aktifitas perekonomian;

e. Ketersediaan sarana dan prasarana.

(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai

berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota

sesuai indikator (dengan melibatkan unsur perguruan tinggi negeri

terdekat yang ada di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan)

yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah.

(3) Peratuaran Daerah (PERDA) Kabupaten/Kota tentang pembentukan

kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling

sedikit memuat nama kecamatan, nama ibu kota kecamatan, batas

wilayah kecamatan, dan nama desa dan/atau kelurahan dan juga

12

dilampiri peta kecamatan dengan batas wilayahnya sesuai kaidah

teknis dan memuat titik koordinat (Pasal 10).

2.3 Tinjauan Mengenai Pemekaran

Sebagaimana yang diketahui bahwa istilah pemekaran berasal dari kata

asalnya, yaitu mekar yang bisa diartikan sebagai berkembang menjadi terbuka,

menjadi besar dan gembung, menjadi tambah luas, besar, ramai, bagus, dan mulai

timbul dan berkembang.

Tri Ratnawati memberikan definisinya bahwa6 pemekaran adalah ”cara

pusat untuk memecah daerah dan menguasainya (devide and rule) seperti yang

banya dipraktikan oleh penjajah kolonialisme di masa lalu”.

Peranan pemerintah daerah sebagai ajang untuk pembentukan jati diri,

pencarian pengalaman, serta pememahaman awal tentang penyelenggaraan

pemerintahan merupakan suatu kenyataan yang sangat sulit untuk dinafikan.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini, telah terjadi pergeseran

paradigma dari Rule Governance di mana dalam pembangunan dan pelayanan

publik senantiasa menyandarkan pada peratuarn perundang-undangan yang

berlaku, hingga sekarang menjadi Good Governance yaitu tidak hanya terbatas

pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga

menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tidak hanya

melibatkan pemerintah atau negara semata, tetapi harus melibatkan internal

maupun eksternal birokrasi.

6 Tri Ratnawati. op. cit. hlm 35

13

Sementara itu, arti pemekaran daerah menurut para ahli masih menjadi

perdebatan, karena dirasakan tidak relevan dengan makna pemekaran daerah yang

kenyataannya malah terjadi penyempitan wilayah atau menjadikan wilayah

menjadi kecil dari sebelumnya karena seringkali pemekaran daerah itu bukan

penggabungan dua atau lebih daerah otonom yang membentuk daerah otonom

baru, akan tetapi pemecahan daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah

otonom baru.

Pemekaran daerah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi

lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat

pembangunan. Pemekaran daerah juga diharapkan dapat menciptakan

kemandirian daerah sebagai salah satu kunci dari keberhasilan otonomi daerah.

Menurut Makaganza7 ”istilah pemekaran daerah sebenaranya dipakai

sebagai upaya memperhalus bahasa (eupieisme) yang menyatakan proses

“perpisahan” atau “pemecahan” satu wilayah untuk membentuk satu unit

administrasi lokal baru”. (http://kasihdearin.blogspot.com/2012/02/makalah-

pemekaran-daerah.html)

Istilah perpisahan atau perpecahan memiliki makna yang negatif sehingga

istilah pemekaran daerah dirasa lebih cocok digunakan untuk menggambarkan

proses terjadinya daerah-daerah otonom baru pasca reformasi di Indonesia.

7 http://kasihdearin.blogspot.com/2012/02/makalah-pemekaran-daerah.html

(Diakses pada Hari Sabtu Tanggal 1 Desember 2012 pada Pukul 21.00)

14

2.4 Tinjauan Mengenai Peraturan Pemerintah

2.4.1 Pengertian Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan di

Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang

sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi

untuk menjalankan undang-undang.

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang Undang Pasal 12 menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai

aturan organik dari pada undang-undang menurut hirarkinya tidak boleh

tumpang tindih atau bertolak belakang.

2.4.2 Fungsi Peraturan Pemerintah

Maria Farida8 mengemukakan fungsi Peraturan Pemerintah, sebagai

peraturan yang mendapat delegasi dari Undang-Undang:

a. Pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang yang tegas-tegas

menyebutnya sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.

Dalam hal ini Peraturan Pemerintah harus melaksanakan semua

ketentuan dari suatu Undang-Undang yang secara tegas meminta untuk

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-

Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.

Apabila suatu ketentuan dalam Undang-Undang memerlukan

pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuan tersebut tidak

8 Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius.

hlm 221-222

15

menyebutkan secara tegas-tegas untuk diatur dengan Peraturan

Pemerintah, maka Presidan dapat membentuk Peraturan Pemerintah

sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-

Undang tersebut.

2.5 Tinjauan Mengenai Otonomi Daerah

Jimly Asshiddiqie9 mengungkapkan bahwa ”Negara Republik Indonesia

dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut azas desentralisasi,

dekonsetrasi, dan tugas pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi

adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengatur dan

mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah

(pusat)”.

Akan tetapi, dekonsentrasi bukanlah merupakan bagian dari otonomi

daerah seutuhnya, dikarenakan dekonsentrasi hanyalah pelimpahan sebagian dari

kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah.

Jadi dekonsentrasi bukanlah bagian dari otonomi daerah melainkan salah satu asas

dari pemerintahan daerah.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie10

bahwa ”Jika

kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara

vertical, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan

pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal”.

9 Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta:

Konstitusi Pers. hlm 271 10

Ibid. hlm 280

16

Dalam asas otonomi daerah, daerah memiliki kewenangan membuat

kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa

dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan.

HAW. Widjaja11

membedakan antara ”otonomi daerah dengan daerah

otonom yaitu, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembanguna nasional

tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah

mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan

masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan

pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan

otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab

di daerah secara proporsional dan berkeadilan.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah

untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan

masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan

daerah yang berorientasai kepada kepentingan masyarakat. Implementasi

kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan baik secara

11

HAW. Widjaja. 2011. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali

Pers. hlm 76

17

struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan

pemerintahan daerah.

Selama ini dipahami bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah

didasarkan tiga asas, yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas

pembantuan. Dalam pemerintahan daerah hanya ada pemerintahan otonomi

(termasuk tugas pembantuan). Tidak ada lagi unsur pemerintahan sentralisasi

dalam pemerintahan daerah. Gubernur, bupati, dan walikota semata-mata sebagai

penyelenggara otonomi di daerah.

2.5.1 Asas Desentralisasi

Pipin Syarifin12

mengemukakan ”istilah desentralisasi berasal dari

bahasa latin “de” berarti lepas dan “centrum” artinya pusat. Desentralisasi

merupakan lawan kata dari sentralisasi, sebab kata “de” maksudnya untuk

menolak kata sebelumnya. Desentralisasi ialah melepaskan dari pusat”.

Sementara menurut Ni’Matul Huda13

“desentralisasi adalah

memberikan wewenang dari pemerintah Negara kepada pemerintah lokal untuk

mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya

sendiri”.

Desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang pada badan-badan

dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk

mengurus rumah tangganya sendiri.

12

Pipin Syarifin. 2005. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Pustaka Bani

Quraisy. hlm 89 13

Ni’Matul Huda. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali

Pers.hlm 311

18

Ni’Matul Huda14

mengemukakan, dilihat dari pelaksanaan fungsi

pemerintahan, desentralisasi atau otonomi itu menunjukan: (1) Satuan-satuan

desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan

yang terjadi dengan cepat; (2) Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan

tugas dengan efektif dan lebih efisien; (3) Satuan-satuan desentralisasi lebih

inovatif; (4) Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral

yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 1 butir (b), desentralisasi

adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat

atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Dalam Undang

Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 butir (e) ditegaskan, desentralisasi

adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah

otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (7), mengartikan

desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari uraian ketiga pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa

desentralisasi merupakan pemberian wewenang dari pemrintah pusat kepada

pemerintah daerah yang otonom, untuk dapat mengatur dan mengurus segala

urusan pemerintahan di daerah tersebut dalam satu kerangka Negara Indonesia

Jimly Asshiddiqie15

”menambahkan pada prinsipnya, kebijakan

otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-

kewenangan yang selama ini masi tersentralisasi ditangan pemerintah pusat”.

14

Ibid. hlm 312 15

Jimly Asshiddiqie. op. cit. hlm 278

19

Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan

dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga

terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota

diseluruh Indonesia.

2.5.2 Asas Tugas Pembantuan

Ni’Matul Huda16

menerangkan bahwa “kita dapati juga istilah yang

selalu bergandengan denganya, yaitu “medebewind”, yang mengandung arti

kewenangan pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari

pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatanya”.

Tugas pembantuan dapat dikatakan sebagai tugas ikut melaksanakan urusan-

urusan pemerintah pusat atau pemerintah lokal yang berhak mengatur dan

mengurus rumah tangga tingkat atasanya. Beda tugas pembantuan dengan

tugas rumah tangga sendiri, di sini urusanya bukan menjadi urusan rumah

tangga sendiri, tetapi merupakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah

atasanya. Kepada pemerintah lokal yang bersangkutan diminta untuk ikut

membantu penyelenggaraanya saja. Oleh karena itu, dalam tugas pembantuan

tersebut pemerintah lokal yang bersangkutan, wewenangnya mengatur dan

mengurus, terbatas kepada penyelenggaraan saja.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 1 huruf (d) jo Pasal 12

disebut tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan

urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada daerah oleh pemerintah atau

16

Ni’Matul Huda. Op. cit. hlm 316

20

pemerintah daerah tingkat atasanya, dengan kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskanya.

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 butir (g), dinyatakan

bahwa tugas pembantuan dalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan

desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai

pembiayaan sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia (SDM) dengan

kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan mempertanggung- jawabkanya

kepada yang menugaskan. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat

(9), dinyatakan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada

daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau

desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan

tugas tertentu.

2.5.3 Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Tuntutan reformasi rakyat Indonesia yang melahirkan sidang Istimewa

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdampak pula pada otonomi

daerah. Dalam sidang istimewah itu, MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor:

XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daeah. Pengaturan,

pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta

pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) sebagai arahan pada peraturan perundang-

undangan baru yang akan dibentuk.

Pada bagian menimbang butir c dari TAP MPR tersebut dirumuskan

sebagai berikut ”Bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan,

21

pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta dilaksanakan secara

proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan

pemerataan”.

Mustari Pide mengemukakan bahwa17

”prinsip-prinsip penyelenggaraan

pemerintahan di daerah menurut UU No 22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi

perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi

tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.

2. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata

dan bertanggung jawab.

3. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan

tujuan disamping aspek pendemokrasian.

4. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya

guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah terutama

dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta

meningkatkan pembinaan kestabilan publik dan kesatuan bangsa.

2.5.4 Hubugan Otonomi Daerah dengan Pemekaran

Dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah, setiap daerah

diberikan kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan

(mengurus) berdasarkan prakarsanya sendiri. Masyarakat di dalam teritori

daerah tersebut adalah sebagai pemilik dan subyek otonomi daerah tersebut,

17

Mustari Pide. 1999. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad

XXI. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm. 117

22

sehingga tercipta suatu hubungan antara daerah otonom dan pemerintah pusat.

Salah satu aktualisasi dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang

timbul di dalam merespon keanekaragaman di Indonesia adalah pemekaran

wilayah.

Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai suatu terobosan dalam

keanekaragaman kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia untuk

mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan

memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran juga merupakan bagian

dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam

memperpendek rentangkendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas

penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan, sehingga

masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibanya secara

lebih baik sebagai warga negara.

2.6 Teori Bekerjanya Hukum

Bekerjanya hukum dalam masyarakat hanya dapat dilihat dengan tujuan

langsung ke masyarakat, maksednya melihat langsung adalah mengamati

kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam dinamika masyarakat.

Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa, sebuah aturan hukum telah

bekerja dengan hanya melihat hukum pada tataran konsepsual (das sollen) akan

tetapi juga harus dilihat sebagai suatu kenyataan yang berlaku di tengah-tengah

masyarakat (das sein). Untuk itu sebuah aturan hukum sebagaimana halnya

dengan sebuah kebijakan nantilah dapat diketahui dan dilihat manfaatnya setelah

diimplementasikan. Sebuah aturan hukum atau kebijakan tidak akan memberikan

23

dampak apa-apa kepada masyarakat jika tidak terimplementasi. Oleh karena itu,

setelah sebuah aturan hukum ditetapkan atau setelah kebijakan itu diputuskan,

maka harus segera diimplementasikan sehingga tujuan dari aturan atau kebijakan

tersebut dapat terwujud.

Untuk melihat seberapa dampak yang akan dihasilkan oleh sebuah aturan

hukum dan kebijakan, maka salah satu caranya dapat dilihat dampaknya pada

masyarakat. Dengan kata lain karena aaturan hukum atau kebijakan itu ditujukan

kepada masyarakat, maka perhatian kita terfokus pada kenyataan yang ada dalam

masyarakat. Ini sering diistilahkan oleh para pakar hukum sebagai efektivitas

hukum yaitu sebagaimana sebuah aturan hukum atau kebijakan bekerja dalam

masyarakat. Efektivitas hukum juga berusaha melihat dua sisi penting yaitu

hukum sebagai das sollen dan hukum sebagai das sein hingga dapat dilihat

seberapa besar kesenjangan yang terjadi antara normatif hukum dan hukum dalam

kenyataannya.

Ahmad Ali mengemukakan18

tiga unsur dalam sistem hukum yang dikenal

dengan istilah ”the three elements of legal system”, yaitu:

1. Substansi hukum (legal substance);

2. Struktur hukum (legal structure);

3. Kultur hukum (legal culture);

Lebih lanjut Ahmad Ali menjelaskan19

”substansi hukum adalah aturan,

norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut.

18

Ahmad Ali. 2001. Keterpurukan Hukum di Indonesia: penyebab dan

solusinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 7 19

Ibid. hlm 7

24

Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam

sistem itu. Ia mencakup tentang keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru

yang mereka susun”.

Esmi Warassi memberikan penjelasan20

bahwa ”Komponen struktur

hukum yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan

berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.

Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu

memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

Sementara itu, menurut Esmi Warassih21

”Komponen kultur hukum terdiri

dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Kultur

hukum inilah yang menghubungkan berfungsinya antara hukum dengan tingkah

laku manusia”.

Secara sedrhana, Ahmad Ali22

menyimpulkan ke tiga fungsi unsur tersebut

di atas, yaitu:

1. Struktur hukum adalah mesinya.

2. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan atau yang dihasilkan oleh mesin

tersebut.

3. Kultur hukum adalah apa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau

mematikan mesin tersebut serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.

20

Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis.

Yogyakarta: Sinar Grafika Indonesia. Hlm. 30 21

Ibid. hlm 8 22

Ahmad Ali. Op. cit. hlm 80

25

Selain yang digambarkan diatas, Esmi Wirassih23

mengatakan bahwa

”untuk mengetahui apakah hukum sebagai suatu sistem hukum harus memiliki 8

(delapan) asas yang diistilahkan sebagai the principles of legality”.

Kedelapan asas tersebut yaitu:

1. Sistem hukum harus mengandung peraturan. Artinya ia tidak boleh hanya

mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.

3. Peraturan tidak boleh bersifat surut.

4. Peraturan itu disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5. Peraturan-peraturan tersebut tidak boleh mengandung tuntutan yang

melebihi apa yang dapat dilakukan.

6. Sebuah sistem tidak boleh bertentangan satu sama lain.

7. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaanya sehhari-hari.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Paul dan Dias (dalam Esmi Warassih

2005:105-106)24

mengajukan 5 syarat yang harus dipenuhi efetifnya suatu system

hokum yaitu:

1. Mudah tidaknya makna aturan hukum itu ditangkap atau dipahami;

2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui aturan-

aturan hukum yang bersangkutan;

3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum tersebut;

23

Esmi Wirassih. Op. cit. hlm 31 24

Ibid. hlm 105-106

26

4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah

dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat melainkan juga

harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.

Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan masyarakat

bahwa aturan-aturan hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan

efektif.