bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan mengenai...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Mengenai Implementasi
Implementasi menurut Kamus Webster (dalam Abd. Muhaimin Doholio
2011:9)1 pengertian ”Implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to
implementasi” (mengimplementasikan) berarti i “to provide means for carrying
out; to give pratical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan;
menimbulkan dampak/berakibat sesuatu)”.
Implementasi menurut Farida Hamid2 berdasarkan Kamus Ilmiah Populer
diartikan sebagai ”pelaksanaan atau penerapan. Impelentasi merupakan suatu
tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang
dan terperinci”.
Implementasi bukanlah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin melalui
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut
masalah konflik, keputusan, dari siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan.
Oleh karena itu, tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses
kebijakan.
1 Abd. Muhaimin Doholio. 2011. Implementasi Pasal 3 Peraturan Bupati
Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tugas dan Fungsi Kantor Polisi Pamong Praja
Dalam Rangka Penegakan Peraturan Daerah Di Kecamatan Lemito
Kabupaten Pohuwato. Kota Gorontalo: Universitas Ichsan Gorontalo. hlm 9 2 Farida Hamid. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Apollo. hlm 215
7
Implementasi terhadap suatu produk Perundang-undangan, Peraturan
Pemerintah, seakan-akan merupakan suatu yang dianggap sangat sederhana,
padahal pada tingkat implementasi inilah suatu produk hukum dapat
diaktualisasikan untuk tercapainya tujuan yang ingin dikehendaki oleh hukum itu
sendiri.
Wildavsky3 mendefinisikan ”implementasi sebagai perluasan aktifitas
yang menyesuaikan. Berdasarkan definisi tersebut, bahwa dapat diartikan kata
implementasi bermuara pada aktifitas, adanya aksi, tindakan atau mekanisme
suatu sistem”. (http://konsulatlaros.blogspot.com/2012/10/pengertian-
implementasi-menurut.html)
Berkaitan dengan hal tersebut, ungkapan mekanisme mengandung arti
bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi merupakan suatu kegiatan
yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma
tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.
Idrawati Salino4 menambahkan bahwa ”implementasi adalah suatu proses
yang melibatkan sumber-sumber yang didalamnya termasuk manusia, dana,
kemampuan organisasional, baik pemerintah maupun swasta (individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat
kebijakan)”.
3 http://konsulatlaros.blogspot.com/2012/10/pengertian-implementasi-
menurut.html (Diakses pada Hari Sabtu Tanggal 1 Desember 2012 Pukul
20.15) 4 Idrawati Salino. 2009. Implementasi Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 6
Tahun 2001 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Di Kantor
Pengelola Pasar Sentral Kota Gorontalo. Kota Gorontalo: Universitas Ichsan
Gorontalo. hlm 13
8
2.2 Tinjauan Mengenai Kecamatan
2.2.1 Pengertian Kecamatan
Kecamatan adalah pembagian wilayah administrasi di daerah
kabupaten/kota yang terdiri atas desa-desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 pada Pasal 1 ayat (5)
menjelaskan bahwa kecamatan atau sebutan lain wilayah kerja Camat sebagai
Perangkat daerah Kabupaten/Kota. Kedudukan kecamatan merupakan
perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang
mempunyai wilayah kerja tertentu dan dipimpin oleh camat.
Oleh karena itu, kecamatan menerima sebagian wewenang yang
dilimpahkan oleh kepala daerah. Disamping itu, kecamatan adalah sebagain
koordinator dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum. Dari
penjelasan di atas dapat diihat kecamatan memiliki keunikan khusus, dimana
kecamatan menjadi koordinator di wilayah kerjanya dengan melaksanakan
sebagian limpahan wewenang dari Kepala Daerah (Bupati/Walikota). Hal ini
berati ada dua tugas utama kecamatan yaitu sebagai pelayan masyarakat, dan
melakukan pembinaan wilayah. Tugas pembinaan wilayah dilakukan dengan
melakukan koordinasi pemerintahan terhadap seluruh instansi pemerintah di
wilayah kecamatan, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban, penegakan
peraturan perundang-undangan, pembinaan penyelenggaraan pemerintahan
desa dan/atau kulurahan, serta pelaksanaan tugas pemerintaha lainya yang
belum dilaksanakan oleh pemerintahan desa/kelurahan dan/atau instansi
pemerintah lainya di wilayah kecamatan.
9
Tugas ini tentunya berat, karena dalam Undang Undang Nomor 32
Tahun 2004 kedudukan desa tidak berada di bawah kecamatan dan memiliki
otonomi sendiri dalam melaksanakan pemerintahanya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tri Ratnawati5 ”…,harus ada
penegasan dari Pemerintah Daerah dalam bentuk Peraturan Daerah atau
Keputusan Kepala Daerah yang memperkuat institusi kecamatan dalam
melakukan pembinaan terhadap Pemerintah Desa”.
Maksimalnya peran dan fungsi kecamatan dapat dilihat dari
pelaksanaan kedua tugas tersebut. Dari segi pelayanan masyarakat, pihak
kecamatan menjalankan sebagian wewenang yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah. Hal ini sesuai dengan esensi asas desentralisasi dimana ada
pelimpahan sebagian wewenang kepada level pemerintah di bawah untuk
mendukung tugas-tugas pemerintaha yang lain. Berarti Pemerintah Daerah
memberikan sebagian tanggung jawab kepada kecamatan. Manfaat yang
diterima oleh masyarakat adalah rentan pelayanan yang pendek sehingga
pelayanan yang dierima bisa cepat dan berkualitas.
2.2.2 Pembentukan Kecamatan
Pembentukan Kecamatan berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2008
Pasal 1 ayat (5) adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai
kecamatan di wilayah kabupaten/kota. Kecamatan dibentuk berdasarkan
Peraturan Daerah setempat dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah,
dapat berupa pemekaran 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan atau
5 Tri Ratnawati. 2009. Pemekaran Daerah, Politik Lokal dan Isu Terseleksi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 15
10
lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa-desa dan/atau kelurahan dari beberapa
kecamatan (Pasal 2 ayat (2).
Sementara itu, pada Pasal 3 PP Nomor 19 Tahun 2008 ditentukan
syarat-syarat untuk mengatur tentang pembentukan/pemekaran kecamatan
yaitu syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
1. Syarat administratif diatur pada Pasal 4, yaitu:
a. Batas usia penyelenggaraan pemerintah minimal 5 (lima) tahun;
b. Batas usia penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan yang
akan dibentuk menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;
c. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BDP) atau nama lain untuk
Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk
kelurahan diseluruh wilayah kecamatan baik yang menjadi calon
cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang
persetujuan pembentuka kecamatan;
d. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk Desa dan Keputusan
Lurah atau nama lain untuk kelurahan diseluruh wilayah kecamatan
baik yang menjadi cakupan wilayah kecamatan baru maupun
kecamatan induk tentang persetujuan pembentuka kecamatan;
e. Rekomendasi Gubernur.
2. Syarat fisik kewilayahan diatur pada Pasal Pasal 6, yaitu:
(1) Cakupan wilayah untuk daerah kebupaten paling sedikit terdiri atas 10
desa/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5
desa/kelurahan;
11
(2) Lokasi calon ibu kota memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan
fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,
sosial ekonomi, sosial politik, dan social budaya;
(3) Sarana dan prasarana pemerintah meliputi bangunan dan lahan untuk
kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikan pelayana
kepada masyarakat.
3. Syarat teknis diatur dalam Pasal 7, yaitu:
(1) Persyaratan teknis meliputi:
a. Jumlah penduduk;
b. Luas wilayah;
c. Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintah;
d. Aktifitas perekonomian;
e. Ketersediaan sarana dan prasarana.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai
berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota
sesuai indikator (dengan melibatkan unsur perguruan tinggi negeri
terdekat yang ada di kabupaten/kota atau provinsi yang bersangkutan)
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah.
(3) Peratuaran Daerah (PERDA) Kabupaten/Kota tentang pembentukan
kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling
sedikit memuat nama kecamatan, nama ibu kota kecamatan, batas
wilayah kecamatan, dan nama desa dan/atau kelurahan dan juga
12
dilampiri peta kecamatan dengan batas wilayahnya sesuai kaidah
teknis dan memuat titik koordinat (Pasal 10).
2.3 Tinjauan Mengenai Pemekaran
Sebagaimana yang diketahui bahwa istilah pemekaran berasal dari kata
asalnya, yaitu mekar yang bisa diartikan sebagai berkembang menjadi terbuka,
menjadi besar dan gembung, menjadi tambah luas, besar, ramai, bagus, dan mulai
timbul dan berkembang.
Tri Ratnawati memberikan definisinya bahwa6 pemekaran adalah ”cara
pusat untuk memecah daerah dan menguasainya (devide and rule) seperti yang
banya dipraktikan oleh penjajah kolonialisme di masa lalu”.
Peranan pemerintah daerah sebagai ajang untuk pembentukan jati diri,
pencarian pengalaman, serta pememahaman awal tentang penyelenggaraan
pemerintahan merupakan suatu kenyataan yang sangat sulit untuk dinafikan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini, telah terjadi pergeseran
paradigma dari Rule Governance di mana dalam pembangunan dan pelayanan
publik senantiasa menyandarkan pada peratuarn perundang-undangan yang
berlaku, hingga sekarang menjadi Good Governance yaitu tidak hanya terbatas
pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga
menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tidak hanya
melibatkan pemerintah atau negara semata, tetapi harus melibatkan internal
maupun eksternal birokrasi.
6 Tri Ratnawati. op. cit. hlm 35
13
Sementara itu, arti pemekaran daerah menurut para ahli masih menjadi
perdebatan, karena dirasakan tidak relevan dengan makna pemekaran daerah yang
kenyataannya malah terjadi penyempitan wilayah atau menjadikan wilayah
menjadi kecil dari sebelumnya karena seringkali pemekaran daerah itu bukan
penggabungan dua atau lebih daerah otonom yang membentuk daerah otonom
baru, akan tetapi pemecahan daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah
otonom baru.
Pemekaran daerah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi
lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat
pembangunan. Pemekaran daerah juga diharapkan dapat menciptakan
kemandirian daerah sebagai salah satu kunci dari keberhasilan otonomi daerah.
Menurut Makaganza7 ”istilah pemekaran daerah sebenaranya dipakai
sebagai upaya memperhalus bahasa (eupieisme) yang menyatakan proses
“perpisahan” atau “pemecahan” satu wilayah untuk membentuk satu unit
administrasi lokal baru”. (http://kasihdearin.blogspot.com/2012/02/makalah-
pemekaran-daerah.html)
Istilah perpisahan atau perpecahan memiliki makna yang negatif sehingga
istilah pemekaran daerah dirasa lebih cocok digunakan untuk menggambarkan
proses terjadinya daerah-daerah otonom baru pasca reformasi di Indonesia.
7 http://kasihdearin.blogspot.com/2012/02/makalah-pemekaran-daerah.html
(Diakses pada Hari Sabtu Tanggal 1 Desember 2012 pada Pukul 21.00)
14
2.4 Tinjauan Mengenai Peraturan Pemerintah
2.4.1 Pengertian Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (PP) adalah peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi
untuk menjalankan undang-undang.
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang Undang Pasal 12 menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai
aturan organik dari pada undang-undang menurut hirarkinya tidak boleh
tumpang tindih atau bertolak belakang.
2.4.2 Fungsi Peraturan Pemerintah
Maria Farida8 mengemukakan fungsi Peraturan Pemerintah, sebagai
peraturan yang mendapat delegasi dari Undang-Undang:
a. Pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang yang tegas-tegas
menyebutnya sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.
Dalam hal ini Peraturan Pemerintah harus melaksanakan semua
ketentuan dari suatu Undang-Undang yang secara tegas meminta untuk
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-
Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
Apabila suatu ketentuan dalam Undang-Undang memerlukan
pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuan tersebut tidak
8 Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius.
hlm 221-222
15
menyebutkan secara tegas-tegas untuk diatur dengan Peraturan
Pemerintah, maka Presidan dapat membentuk Peraturan Pemerintah
sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-
Undang tersebut.
2.5 Tinjauan Mengenai Otonomi Daerah
Jimly Asshiddiqie9 mengungkapkan bahwa ”Negara Republik Indonesia
dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut azas desentralisasi,
dekonsetrasi, dan tugas pembantuan. Prinsip penyelenggaraan desentralisasi
adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengatur dan
mengurus semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah
(pusat)”.
Akan tetapi, dekonsentrasi bukanlah merupakan bagian dari otonomi
daerah seutuhnya, dikarenakan dekonsentrasi hanyalah pelimpahan sebagian dari
kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah.
Jadi dekonsentrasi bukanlah bagian dari otonomi daerah melainkan salah satu asas
dari pemerintahan daerah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie10
bahwa ”Jika
kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara
vertical, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan
pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal”.
9 Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta:
Konstitusi Pers. hlm 271 10
Ibid. hlm 280
16
Dalam asas otonomi daerah, daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa
dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan.
HAW. Widjaja11
membedakan antara ”otonomi daerah dengan daerah
otonom yaitu, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembanguna nasional
tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan
masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
di daerah secara proporsional dan berkeadilan.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah secara eksplisit memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah
untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan pembangunan
daerah yang berorientasai kepada kepentingan masyarakat. Implementasi
kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan baik secara
11
HAW. Widjaja. 2011. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali
Pers. hlm 76
17
struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Selama ini dipahami bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah
didasarkan tiga asas, yaitu asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Dalam pemerintahan daerah hanya ada pemerintahan otonomi
(termasuk tugas pembantuan). Tidak ada lagi unsur pemerintahan sentralisasi
dalam pemerintahan daerah. Gubernur, bupati, dan walikota semata-mata sebagai
penyelenggara otonomi di daerah.
2.5.1 Asas Desentralisasi
Pipin Syarifin12
mengemukakan ”istilah desentralisasi berasal dari
bahasa latin “de” berarti lepas dan “centrum” artinya pusat. Desentralisasi
merupakan lawan kata dari sentralisasi, sebab kata “de” maksudnya untuk
menolak kata sebelumnya. Desentralisasi ialah melepaskan dari pusat”.
Sementara menurut Ni’Matul Huda13
“desentralisasi adalah
memberikan wewenang dari pemerintah Negara kepada pemerintah lokal untuk
mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya
sendiri”.
Desentralisasi merupakan pelimpahan wewenang pada badan-badan
dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.
12
Pipin Syarifin. 2005. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy. hlm 89 13
Ni’Matul Huda. 2011. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali
Pers.hlm 311
18
Ni’Matul Huda14
mengemukakan, dilihat dari pelaksanaan fungsi
pemerintahan, desentralisasi atau otonomi itu menunjukan: (1) Satuan-satuan
desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan
yang terjadi dengan cepat; (2) Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan
tugas dengan efektif dan lebih efisien; (3) Satuan-satuan desentralisasi lebih
inovatif; (4) Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral
yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 1 butir (b), desentralisasi
adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat
atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. Dalam Undang
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 butir (e) ditegaskan, desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (7), mengartikan
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari uraian ketiga pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa
desentralisasi merupakan pemberian wewenang dari pemrintah pusat kepada
pemerintah daerah yang otonom, untuk dapat mengatur dan mengurus segala
urusan pemerintahan di daerah tersebut dalam satu kerangka Negara Indonesia
Jimly Asshiddiqie15
”menambahkan pada prinsipnya, kebijakan
otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-
kewenangan yang selama ini masi tersentralisasi ditangan pemerintah pusat”.
14
Ibid. hlm 312 15
Jimly Asshiddiqie. op. cit. hlm 278
19
Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan
dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga
terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota
diseluruh Indonesia.
2.5.2 Asas Tugas Pembantuan
Ni’Matul Huda16
menerangkan bahwa “kita dapati juga istilah yang
selalu bergandengan denganya, yaitu “medebewind”, yang mengandung arti
kewenangan pemerintah daerah menjalankan sendiri aturan-aturan dari
pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatanya”.
Tugas pembantuan dapat dikatakan sebagai tugas ikut melaksanakan urusan-
urusan pemerintah pusat atau pemerintah lokal yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangga tingkat atasanya. Beda tugas pembantuan dengan
tugas rumah tangga sendiri, di sini urusanya bukan menjadi urusan rumah
tangga sendiri, tetapi merupakan urusan pemerintah pusat atau pemerintah
atasanya. Kepada pemerintah lokal yang bersangkutan diminta untuk ikut
membantu penyelenggaraanya saja. Oleh karena itu, dalam tugas pembantuan
tersebut pemerintah lokal yang bersangkutan, wewenangnya mengatur dan
mengurus, terbatas kepada penyelenggaraan saja.
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 Pasal 1 huruf (d) jo Pasal 12
disebut tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada daerah oleh pemerintah atau
16
Ni’Matul Huda. Op. cit. hlm 316
20
pemerintah daerah tingkat atasanya, dengan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskanya.
Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 butir (g), dinyatakan
bahwa tugas pembantuan dalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan
desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai
pembiayaan sarana dan prasarana serta Sumber Daya Manusia (SDM) dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan mempertanggung- jawabkanya
kepada yang menugaskan. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat
(9), dinyatakan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu.
2.5.3 Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Tuntutan reformasi rakyat Indonesia yang melahirkan sidang Istimewa
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berdampak pula pada otonomi
daerah. Dalam sidang istimewah itu, MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor:
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daeah. Pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta
pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagai arahan pada peraturan perundang-
undangan baru yang akan dibentuk.
Pada bagian menimbang butir c dari TAP MPR tersebut dirumuskan
sebagai berikut ”Bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan,
21
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta dilaksanakan secara
proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
pemerataan”.
Mustari Pide mengemukakan bahwa17
”prinsip-prinsip penyelenggaraan
pemerintahan di daerah menurut UU No 22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi
perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi
tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya.
2. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab.
3. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan
tujuan disamping aspek pendemokrasian.
4. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah terutama
dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta
meningkatkan pembinaan kestabilan publik dan kesatuan bangsa.
2.5.4 Hubugan Otonomi Daerah dengan Pemekaran
Dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah, setiap daerah
diberikan kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan
(mengurus) berdasarkan prakarsanya sendiri. Masyarakat di dalam teritori
daerah tersebut adalah sebagai pemilik dan subyek otonomi daerah tersebut,
17
Mustari Pide. 1999. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad
XXI. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm. 117
22
sehingga tercipta suatu hubungan antara daerah otonom dan pemerintah pusat.
Salah satu aktualisasi dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang
timbul di dalam merespon keanekaragaman di Indonesia adalah pemekaran
wilayah.
Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai suatu terobosan dalam
keanekaragaman kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia untuk
mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan
memperoleh pelayanan bagi masyarakat. Pemekaran juga merupakan bagian
dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam
memperpendek rentangkendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan, sehingga
masyarakat sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibanya secara
lebih baik sebagai warga negara.
2.6 Teori Bekerjanya Hukum
Bekerjanya hukum dalam masyarakat hanya dapat dilihat dengan tujuan
langsung ke masyarakat, maksednya melihat langsung adalah mengamati
kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam dinamika masyarakat.
Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa, sebuah aturan hukum telah
bekerja dengan hanya melihat hukum pada tataran konsepsual (das sollen) akan
tetapi juga harus dilihat sebagai suatu kenyataan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat (das sein). Untuk itu sebuah aturan hukum sebagaimana halnya
dengan sebuah kebijakan nantilah dapat diketahui dan dilihat manfaatnya setelah
diimplementasikan. Sebuah aturan hukum atau kebijakan tidak akan memberikan
23
dampak apa-apa kepada masyarakat jika tidak terimplementasi. Oleh karena itu,
setelah sebuah aturan hukum ditetapkan atau setelah kebijakan itu diputuskan,
maka harus segera diimplementasikan sehingga tujuan dari aturan atau kebijakan
tersebut dapat terwujud.
Untuk melihat seberapa dampak yang akan dihasilkan oleh sebuah aturan
hukum dan kebijakan, maka salah satu caranya dapat dilihat dampaknya pada
masyarakat. Dengan kata lain karena aaturan hukum atau kebijakan itu ditujukan
kepada masyarakat, maka perhatian kita terfokus pada kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Ini sering diistilahkan oleh para pakar hukum sebagai efektivitas
hukum yaitu sebagaimana sebuah aturan hukum atau kebijakan bekerja dalam
masyarakat. Efektivitas hukum juga berusaha melihat dua sisi penting yaitu
hukum sebagai das sollen dan hukum sebagai das sein hingga dapat dilihat
seberapa besar kesenjangan yang terjadi antara normatif hukum dan hukum dalam
kenyataannya.
Ahmad Ali mengemukakan18
tiga unsur dalam sistem hukum yang dikenal
dengan istilah ”the three elements of legal system”, yaitu:
1. Substansi hukum (legal substance);
2. Struktur hukum (legal structure);
3. Kultur hukum (legal culture);
Lebih lanjut Ahmad Ali menjelaskan19
”substansi hukum adalah aturan,
norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut.
18
Ahmad Ali. 2001. Keterpurukan Hukum di Indonesia: penyebab dan
solusinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 7 19
Ibid. hlm 7
24
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam
sistem itu. Ia mencakup tentang keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru
yang mereka susun”.
Esmi Warassi memberikan penjelasan20
bahwa ”Komponen struktur
hukum yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan
berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu
memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
Sementara itu, menurut Esmi Warassih21
”Komponen kultur hukum terdiri
dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Kultur
hukum inilah yang menghubungkan berfungsinya antara hukum dengan tingkah
laku manusia”.
Secara sedrhana, Ahmad Ali22
menyimpulkan ke tiga fungsi unsur tersebut
di atas, yaitu:
1. Struktur hukum adalah mesinya.
2. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan atau yang dihasilkan oleh mesin
tersebut.
3. Kultur hukum adalah apa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau
mematikan mesin tersebut serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
20
Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis.
Yogyakarta: Sinar Grafika Indonesia. Hlm. 30 21
Ibid. hlm 8 22
Ahmad Ali. Op. cit. hlm 80
25
Selain yang digambarkan diatas, Esmi Wirassih23
mengatakan bahwa
”untuk mengetahui apakah hukum sebagai suatu sistem hukum harus memiliki 8
(delapan) asas yang diistilahkan sebagai the principles of legality”.
Kedelapan asas tersebut yaitu:
1. Sistem hukum harus mengandung peraturan. Artinya ia tidak boleh hanya
mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3. Peraturan tidak boleh bersifat surut.
4. Peraturan itu disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Peraturan-peraturan tersebut tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan.
6. Sebuah sistem tidak boleh bertentangan satu sama lain.
7. Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaanya sehhari-hari.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Paul dan Dias (dalam Esmi Warassih
2005:105-106)24
mengajukan 5 syarat yang harus dipenuhi efetifnya suatu system
hokum yaitu:
1. Mudah tidaknya makna aturan hukum itu ditangkap atau dipahami;
2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui aturan-
aturan hukum yang bersangkutan;
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum tersebut;
23
Esmi Wirassih. Op. cit. hlm 31 24
Ibid. hlm 105-106
26
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah
dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat melainkan juga
harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.
Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan masyarakat
bahwa aturan-aturan hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan
efektif.