bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedelai (Glycine max) Kedelai (Glycine max) termasuk dalam family Leguminosa, sub family Papillionaceae, dan
genus Glycine L. Kacang kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati untuk manusia dan
hewan di berbagai negara. Secara fisik setiap biji kedelai berbeda dalam hal warna, ukuran, dan
bentuk biji juga perbedaan komposisi kimia. Perbedaan sifat fisik dan kimia tersebut dipengaruhi oleh
varietas dan kondisi dimana kedelai itu tumbuh. Berdasarkan warna kulit biji, kedelai terdiri dari 5
jenis yaitu kedelai putih, kedelai kuning, kedelai hitam, kedelai hijau, dan kedelai coklat. Kedelai
memiliki biji yang pada umumnya berbentuk bulat hingga lonjong atau agak memanjang (Liu, 1997).
Tanaman kedelai merupakan tanaman berbiji ganda dan berakar tunggang. Kedelai termasuk
tanaman semusim yang dapat diusahakan pada musim kemarau karena tidak memerlukan air dalam
jumlah yang besar. Umumnya kedelai tumbuh di daerah dengan ketinggian 0-500 meter dari
permukaan laut. Polong kedelai berisi 1-5 biji kedelai. Tanaman kedelai merupakan tanaman berumur
pendek, dengan umur 90 hari (Liu, 1997). Kedelai masih dapat tumbuh dengan baik pada tanah
dengan pH 4.5. Daerah pertumbuhannya tidak lebih 500 m di atas permukaan laut dengan iklim panas
dan curah hujan rata-rata 200 mm/bulan. Umur tanaman kedelai berbeda-beda tergantung varietasnya,
tetapi umumnya berkisar antara 75-100 hari (Koswara, 1992).
Kedelai, dilihat dari komposisinya, merupakan sumber pangan yang bernilai gizi tinggi.
Kedelai terutama mengandung karbohidrat, protein, dan lemak. Menurut Liu (1997), kandungan gizi
pada kedelai sangat bervariasi tergantung varietas, kesuburan tanah, dan kondisi iklim. Kedelai
mengandung lemak sekitar 18 - 20 %, yang sebagian besar merupakan asam lemak tidak jenuh.
Lemak kedelai mengandung asam lemak esensial, yaitu asam linoleat (Omega 6) serta linolenat
(Omega 3) sehingga baik bagi kesehatan terutama dalam mengontrol kolesterol dan penyakit
kardiovaskuler. Kedelai juga merupakan sumber serat yang dapat mencegah penyakit degeneratif
seperti diabetes mellitus, berbagai kanker, osteoporosis, penyakit ginjal, dan lain-lain. Komposisi
kacang kedelai menurut Sugano (2006) dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 1. Biji kedelai (Glycine max) (Luthfiandi, 2011)
4
Tabel 1. Komposisi zat gizi dalam 100 gram kacang kedelai
Komponen Jumlah Air 11.7 g Protein 33.0 g Lemak 19.0 g Karbohidrat 30.8 g Abu 4.8 g Serat kasar 17.0 g Kalsium 240 mg Fosfor 480 mg Besi 8.6 mg Magnesium 230 mg Natrium 1 mg Kalium 1800 mg
Sumber: Sugano (2006)
Kedelai dikenal sebagai sumber protein nabati karena memiliki kadar protein yang sangat
tinggi dibandingkan pangan nabati lainnya, yaitu dapat mencapai 35% tergantung varietasnya. Protein
kedelai sebagian besar terdiri dari globulin, dan bila dibandingkan dengan kacang-kacangan lain,
kedelai memiliki susunan asam amino yang lebih lengkap dengan asam amino pembatas berupa
metionin dan sistin, sedangkan kandungan lisin dan treoninnya sangat tinggi (Sugano, 2006). Hal
tersebut sangat menguntungkan karena pada umumnya makanan pokok masyarakat seperti beras
sangat rendah kandungan lisinnya. Selain kadarnya yang tinggi, protein kedelai juga memiliki kualitas
yang hampir menyamai kualitas protein hewani. Menurut Koswara (1992) protein pada susu kedelai
memiliki mutu protein sebesar 80% dari susu sapi jika diberikan sebagai makanan tunggal. Nilai gizi
protein pada kedelai dibatasi oleh faktor antitripsin serta kompaknya struktur kuartener dan tersier
protein kedelai (Liu, 1997).
Selain protein, kedelai juga mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, yaitu sekitar 25-
35%, namun hanya 12-14% saja yang dapat digunakan tubuh secara biologis (Koswara, 1992),
sedangkan menurut Stevenson et al. (2007) kandungan karbohidrat yang dapat dicerna oleh tubuh
dalam bentuk pati hanya mencapai 11% dari berat kering. Karbohidrat pada kedelai terdiri dari
golongan monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Golongan oligosakarida terdiri dari rafinosa,
dan stakiosa yang larut dalam air, sedangkan golongan polisakarida terdiri dari erabinogalaktan dan
selulosa yang tidak larut dalam air dan alkohol (Koswara, 1992). Komposisi karbohidrat pada kedelai
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi karbohidrat kedelai
Komponen Jumlah (g/100g) Patia 11.7 Glukosa+fruktosab 0.14 Sukrosab 4.31 Rafinosab 0.75 Stakiosab 4.13
aStevenson et al. (2007) bWang et al. (2007)
5
Oligosakarida pada kedelai dapat mencapai sekitar 5% dari berat kering. Kandungan
oligosakarida pada kedelai terutama dalah stakiosa (3.10-5.70%), rafinosa (0.50-0.74%), dan sedikit
kandungan verbaskosa (0.12-0.20%) (Grieshop et al., 2003). Pada awalnya oligosakarida kedelai
dikelompokkan sebagai senyawa antinutrisi karena dapat menyebabkan flatulensi, yaitu keadaan
menumpuknya gas seperti metana dan hidrogen dalam saluran pencernaan. Gas tersebut terbentuk
sebagai hasil metabolisme mikroorganisme yang ada pada saluran pencernaan. Namun, saat ini
oligosakarida telah diketahui memberikan efek yang menguntungkan pada tubuh seperti menekan
pertumbuhan bakteri yang merugikan serta mencegah kanker kolon.
Kedelai mengandung kadar abu sekitar 5%, yaitu terdiri dari komponen mineral yang
terdapat pada kedelai. Mineral utama yang terdapat pada kedelai adalah kalium, kemudian fosfor,
magnesium, sulfur, kalsium, klorida, dan natrium. Kandungannya rata-rata dapat mencapai 0.2-2.1%.
Selain itu kedelai juga mengandung komponen mineral mikro, yaitu mineral dengan jumlah yang
sangat kecil sekitar 0.01-140 ppm seperti silikon, besi, zink, mangan, kobalt, arsen, dan iodin. Seperti
komponen lainnya, kandungan mineral pada kedelai juga sangat beragam tergantung dari varietas
kedelai, lokasi pertumbuhan, dan musim (Liu, 1997).
B. Produk Olahan Kedelai
Produk olahan kedelai pada umumnya memanfaatkan kandungan protein yang tinggi pada
kedelai sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu produk olahan
kedelai yang strategis adalah minuman bubuk kedelai. Minuman bubuk seperti kedelai bubuk atau
susu formula berbasis protein kedelai, saat ini sudah banyak dikonsumsi karena melihat manfaat yang
diberikan oleh produk tersebut seperti tidak menyebabkan diare pada penderita lactose intolerance
dan kandungan protein yang menyerupai protein susu sapi. Pangan dalam bentuk minuman lebih
mudah untuk dikonsumsi khususnya oleh golongan tertentu seperti bayi dan orang yang sedang sakit.
Selain minuman bubuk, kedelai juga diubah menjadi produk isolat protein kedelai, yaitu
produk antara yang berasal dari kedelai dan mempunyai kandungan protein yang tinggi sekitar 90%.
Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai bahan campuran dalam makanan olahan daging atau
susu. Isolat protein kedelai baik digunakan dalam formulasi berbagai produk makanan, sebagai bahan
pengikat, atau sebagai pengemulsi dalam produk-produk daging seperti produk analog dan campuran
dalam susu kedelai (Santoso, 2005).
1. Isolat Protein Kedelai Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar
proteinnya minimum 90 % dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan
lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung
kedelai. Isolat protein kedelai dibuat dari kedelai bebas lemak dengan cara memisahkan protein
kedelai dari karbohidrat yang terlarut maupun tak terlarut. Kemudian mengendapkan protein kedelai
tersebut pada titik isoelektriknya sehingga protein dapat diisolasi dan dipisahkan dari bagian-bagian
lainnya yang tidak diinginkan. Bagian protein yang mengendap tersebut kemudian dicuci dan
dikeringkan (Winarsi, 2010).
Isolat protein kedelai banyak dimanfaatkan pada berbagai produk seperti produk minuman,
pangan fungsional, atau daging tiruan. Isolat protein kedelai juga digunakan dalam formulasi produk
susu imitasi, sebagai pengikat dan pengemulsi dalam produk daging, dan formulasi produk pangan
lainnya (Muchtadi, 1997). Pada produk minuman, penggunaan isolat protein kedelai harus
memperhatikan kelarutannya dalam air. Isolat protein kedelai tidak larut dalam daerah isoelektriknya
6
yaitu pada pH 4.2 - 4.6 dan meningkat seiring meningkatnya pH. Selain itu, proses produksi protein
kedelai juga sangat berpengaruh pada tingkat kelarutannya, seperti proses pemanasan dalam inaktifasi
lipoksigenase dan tripsin inhibitor dapat mengurangi kelarutan protein kedelai (Liu, 1997).
2. Minuman Bubuk Kedelai Minuman bubuk kedelai dapat berupa susu kedelai bubuk atau susu formula berbasis protein
kedelai. Susu kedelai bubuk dapat berupa kedelai yang ditepungkan atau susu kedelai cair yang
dikeringkan. Kedelai bubuk merupakan produk yang berasal dari kacang kedelai yang ditepungkan
sehingga komponen seperti serat, lemak, dan karbohidratnya masih tetap ada. Produk ini memang
diharapkan demikian, sehingga manfaat dari kedelai masih tetap ada (Graaff, 2005). Menurut
Koswara (1992), tahap pembuatan kedelai bubuk meliputi sortasi untuk memisahkan kedelai yang
baik, perendaman selama 8-16 jam, perebusan biji kedelai hingga 30 menit, penghilangan kulit ari,
pengeringan dalam oven 50-60oC, penggilingan, dan pengayakan. Proses pemanasan pada pembuatan
kedelai bubuk bertujuan untuk menghilangkan senyawa antinutrisi pada kedelai, sedangkan proses
penggilingan dan pengayakan bertujuan untuk membuat biji kedelai menjadi bubuk sehingga lebih
mudah untuk dikonsumsi. Selain kedelai yang ditepungkan minuman bubuk kedelai juga dapat berupa
susu kedelai yang dikeringkan. Susu kedelai diperoleh dengan cara penggilingan biji kedelai yang
telah direndam dalam air kemudian disaring untuk mendapatkan filtrat dan dididihkan. Kemudian
susu kedelai tersebut dilakukan pengeringan semprot (spray drying) untuk mendapatkan susu kedelai
dalam bentuk bubuk (Koswara, 1992).
Kedelai dalam bentuk isolat protein kedelai banyak dimanfaatkan pada produk susu formula
untuk bayi, khususnya bagi mereka yang tidak dapat mencerna laktosa, alergi, atau tidak menyukai
susu sapi. Ketidakmampuan mencerna laktosa (lactose intolerance) terjadi karena kurangnya enzim
laktase pada saluran pencernaan sehingga ketika mengkonsumsi susu sapi yang memiliki kadar
laktosa sekitar 4.8% akan merasa kembung, sakit perut, diare, atau gangguan pencernaan lainnya
(Rumin, 1992). Sedangkan alergi susu sapi merupakan suatu penyakit yang berdasarkan reaksi
imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu
sapi. Alergi tersebut terjadi karena adanya sistem reaksi kekebalan tubuh yang abnormal terhadap
protein yang terdapat dalam susu sapi. Sistem kekebalan tubuh bayi akan melawan protein yang
terdapat dalam susu sapi sehingga gejala-gejala reaksi alergi pun akan muncul (Judarwanto, 2000).
Pemberian susu formula dengan menggunakan kedelai menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi
masalah tersebut, karena selain bebas dari laktosa dan tidak menyebabkan gejala alergi bagi penderita
alergi susu sapi, susu formula dengan kedelai juga memberikan kebutuhan protein dan kandungan gizi
yang setara dengan susu sapi.
Menurut Fomon dan Filer (1974), susu formula berbasis kedelai dikembangkan pada awal
1950, yaitu menggunakan tepung kedelai (kedelai yang dibubukkan). Namun ditemukan beberapa
masalah terkait gangguan pencernaan seperti kembung dan buang angin. Pengembangan produk
dilanjutkan dengan menggunakan protein kedelai. Produk tersebut sudah memiliki warna, bau, dan
rasa yang lebih baik, juga dapat mengurangi kasus kembung dan buang angin. Selanjutnya digunakan
isolat protein kedelai yaitu protein kedelai yang sudah bebas dari komponen lainnya termasuk
karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Penggunaan isolat protein kedelai bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan protein yang tidak didapat dari susu sapi. Saat ini susu formula berbasis kedelai telah
difortifikasi dengan minyak nabati (untuk melengkapi kandungan lemak), sirup jagung, atau sukrosa
(untuk melengkapi kandungan karbohidrat), vitamin, dan mineral (terutama zat besi).
7
C. Dekstrin Dekstrin adalah produk hidrolisa zat pati, berbentuk zat amorf berwarna putih sampai
kekuning-kuningan (SNI, 1992). Dekstrin merupakan produk degradasi pati yang dapat dihasilkan
dengan beberapa cara yaitu memperlakukan suspensi pati dalam air dengan asam atau enzim pada
kondisi tertentu atau degradasi pati dalam bentuk kering dengan menggunakan perlakuan panas atau
kombinasi antara panas dan asam atau katalis lain. Dekstrin mempunyai rumus kimia (C6H10O5)n.
Berdasarkan reaksi warnanya dengan iodin, dekstrin dapat diklasifikasikan menjadi
amilodekstrin, eritrodekstrin dan akrodekstrin. Pada tahap awal hidrolisis, akan dihasilkan
amilodekstrin yang masih memberikan warna biru bila direaksikan dengan iodin. Bila hidrolisis
dilanjutkan akan dihasilkan eritrodekstrin yang akan memberikan warna merah kecoklatan bila
direaksikan dengan iodin. Sedangkan pada tahap akhir hidrolisis, akan dihasilkan akrodekstrin yang
tidak memberikan warna bila direaksikan dengan iodin (Doublier dan Cuvelier, 2006).
Pada prinsipnya, pembuatan dekstrin dilakukan dengan memotong rantai panjang pati dengan
katalis asam atau enzim menjadi molekul-molekul yang berantai pendek. Menurut Doublier dan
Cuvelier (2006), dekstrin dapat dihasilkan dari hidrolisa pati dengan enzim-enzim tertentu atau
dengan hidrolisis pati secara basah yang dikatalis dengan asam. Dekstrin mengandung dua bentuk
polimer D-glukosa, yaitu linier (amilosa) dan bercabang (amilopektin), mempunyai sifat sangat larut
dalam air dingin atau panas, dengan viskositas yang relatif rendah. Dekstrin memiliki struktur molekul
yang lebih pendek dan lebih bercabang dibandingkan dengan pati. Struktur yang lebih pendek ini
mengakibatkan dekstrin mempunyai sifat mudah larut dalam air (Tharanathan, 2002).
Dekstrin umumnya ditambahkan sebagai bahan pengisi dengan tujuan untuk meningkatkan
jumlah total padatan dalam larutan. Peningkatan jumlah total padatan terutama pada produk cair yang
dikeringkan diperlukan karena kandungan air yang sangat tinggi. Semua jenis pati dapat digunakan
sebagai bahan baku dalam pembuatan dekstrin. Namun perlu diperhatikan bahwa sifat dasar pati akan
mempengaruhi sifat dan mutu dekstrin yang dihasilkan (Tharanathan, 2002).
Maltodekstrin merupakan jenis dari dekstrin yang banyak dimanfaatkan pada produk bubuk.
Selain maltodekstrin dikenal juga sirup glukosa padat yang juga merupakan hasil hidrolisis pati.
Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung α-D-glukosa unit yang
sebagian besar terikat melalui ikatan (1-4) glikosidik dengan DE kurang dari 20. Maltodekstrin
banyak digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengisi. Pada umumnya maltodekstrin sedikit
berasa dan berbau, namun maltodekstrin dengan DE kurang dari 20 menghasilkan rasa yang manis.
Maltodekstrin dapat diaplikasikan pada makanan low callory atau khusus untuk diet. Penambahan
maltodekstrin dalam jumlah besar tidak akan meningkatkan kemanisan produk seperti halnya gula
(Kennedy et al., 1995).
D. Oligosakarida Oligosakarida didefinisikan berbeda-beda berdasarkan jumlah unit sakaridanya. Menurut
Manning et al. (2004), oligosakarida disebut juga sebagai rantai pendek polisakarida, yaitu kelompok
gula dengan 2 hingga 20 unit sakarida seperti sukrosa, stakiosa, rafinosa, fruktooligosakarida, dan
galaktooligosakarida. Sedangkan menurut Weijers et al. (2008), oligosakarida merupakan bagian dari
polimer karbohidrat dengan berat molekul yang rendah dan mengandung molekul gula dengan 3
hingga 10 unit sakarida. Sako et al. (1999) menambahkan bahwa senyawa oligosakarida terdiri dari
susunan monosakarida seperti glukosa, galaktosa, xylosa, dan fruktosa, serta memiliki berat molekul
yang lebih rendah dibandingkan polisakarida.
Oligosakarida dapat diklasifikasi berdasarkan jumlah monomer monosakarida penyusun
komponen tersebut. Disakarida adalah oligosakarida yang terdiri dari dua buah monosakarida,
8
trisakarida terdiri dari tiga buah, tetrasakarida terdiri dari empat buah dan seterusnya. Oligosakarida
juga terdiri dari dua jenis, yaitu homooligosakarida dan heterooligosakarida. Homooligosakarida
adalah tipe oligosakarida yang tersusun dari hanya satu jenis monosakarida seperti maltooligosakarida
(MOS) yang tersusun dari glukosa, sedangkan heterooligosakarida terdiri dari dua atau lebih jenis
monosakarida seperti fruktooligosakarida (FOS) dan galaktooligosakarida (GOS). Oligosakarida
sangat mudah larut di dalam air dan pelarut polar lainnya (Patel dan Goyal, 2011).
Oligosakarida mempunyai tingkat kemanisan sebesar 0.3-0.6 kali dibandingkan sukrosa
sehingga sering digunakan sebagai pengganti sukrosa atau sebagai bulking agent. Oligosakarida juga
banyak dimanfaatkan sebagai humektan karena kemampuan oligosakarida dalam menjaga
kelembaban tanpa meningkatkan kandungan airnya (Patel dan Goyal, 2011). Berdasarkan
kemampuannya untuk dicerna, oligosakarida merupakan kelompok karbohidrat yang tidak dapat
dicerna oleh tubuh manusia. Oligosakarida tidak dapat dihidrolisis dan diserap usus halus, karena
mokusa mamalia tidak memiliki enzim pencernaan untuk oligosakarida (α-galaktosidase) (Muchtadi,
1989), tetapi bakteri seperti bifidobakteria dan laktobasili memiliki enzim pencernaan untuk mencerna
oligosakarida menjadi komponen volatil seperti gas hidrogen dan metana.
Menurut Rupérez (2006), manusia tidak memiliki enzim α -galaktosidase yang dibutuhkan
untuk memutuskan ikatan galaktosidik pada oligosakarida, sehingga oligosakarida yang dikonsumsi
tidak dapat dicerna. Pada saluran pencernaan, oligosakarida tersebut difermentasi oleh bakteri yang
menguntungkan seperti bifidobakteri yang memiliki enzim untuk mencernanya. Hasil fermentasi
tersebut berupa gas seperti karbon dioksida, hidrogen, metana, dan asam lemak rantai pendek lainnya.
Walaupun keberadaan gas tersebut cukup mengganggu karena dapat menyebabkan flatulensi, namun
aktivitas bakteri tersebut dapat memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan yaitu
dapat meningkatkan sistem imun tubuh dan menekan pertumbuhan bakteri patogen.
Berbagai penelitian telah dilakukan berhubungan dengan pengaruh oligosakarida dalam
tubuh. Menurut Tomomatsu (1994) oligosakarida dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri baik
dalam saluran pencernaan, serta mencegah kanker dan menurunkan kolesterol darah. Nzeussea et al.
(2006) menambahkan bahwa oligosakarida juga berperan dalam mengatur respon imun tubuh dan
meningkatkan penyerapan mineral.
Menurut Kim et al. (2003) oligosakarida pada kedelai berupa kelompok galaktooliosakarida
(GOS), yaitu oligosakaida yang mengandung galaktosa pada struktur molekulnya seperti rafinosa,
stakiosa. Rafinosa merupakan trisakarida yang memiliki satu buah monomer galaktosa pada ujung
struktur sukrosa (galaktosa-sukrosa-fruktosa), sedangkan stakiosa merupakan tetrasakarida yang
memiliki 2 buah monomer galaktosa (galaktosa-galaktosa-sukrosa-fruktosa). Rafinosa dan stakiosa
memiliki ikatan α(1-6)-galaktosidik (Koga, 1993). Menurut Middelbos dan Fahey (2008)
oligosakarida pada kedelai dapat mencapai 5% dari berat kering. Liu (1997) yang menerangkan bahwa
oligosakarida termasuk komponen yang cukup stabil terhadap panas.
9
Gambar 2. Struktur molekul rafinosa (a) dan stakiosa (b)
(Anonim, 2005)
Menurut Chen et al. (2000) rafinosa dan stakiosa pada kedelai digolongkan kedalam Soybean
Meal Oligosaccharides (SMO) yang mempunyai struktur molekul (galaktosa)n–glukosa–fruktosa.
Rafinosa dan stakiosa pada kedelai dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran
pencernaan dengan meningkatkan pertumbuhan bakteri menguntungkan seperti bifidobakteri,
mengurangi stress oksidatif yang dapat menyebabkan kanker, serta mengurangi resiko penyakit
jantung. Tenorio et al. (2010) melaporkan konsumsi stakiosa dan rafinosa dari kedelai sebanyak 120
mg/hari pada tikus dapat berperan sebagai prebiotik dan dapat meningkatkan penyerapan mineral
seperti kalisum dan magnesium.
E. HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
Kromatografi merupakan suatu pemisahan komponen secara fisik dengan unsur-unsur yang
akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fase, satu dari fase-fase ini membentuk suatu lapisan
stasioner dengan luas permukaan yang besar, sedangkan fase lainnya merupakan fase diam yang
dilewati oleh fase gerak. Berdasarkan jenis fase gerak dan diamnya, kromatografi dibedakan menjadi
empat jenis, yaitu cair-padat, gas-padat, cair-cair, dan gas-cair (Jenke, 2005). HPLC merupakan salah
satu jenis kromatografi yang tergolong dalam cair-cair karena fase gerak dan fase diamnya
menggunakan zat cair.
Prinsip dari HPLC adalah pemisahan dengan baik dimana fase cair yang bergerak mengalir
secara perlahan melewati kolom yang berisi fase diam. Pergerakan terjadi akibat adanya gravitasi.
Pada metode HPLC digunakan kolom tabung gelas dengan diameter yang sesuai. Partikel dengan
dimensi yang bervariasi digunakan sebagai penunjang stasioner. Pada umumnya HPLC menggunakan
kolom dengan diameter kecil, yaitu sekitar 2-8 mm, sedangkan laju aliran diperbesar dan tekanan yang
tinggi (Khopkar, 2003).
Sistem kerja HPLC terdiri dari beberapa bagian, yaitu sistem eluen, sistem tekanan, injeksi
contoh, kolom, dan sistem deteksi. Sistem eluen pada HPLC dapat menggunakan berbagai jenis
pelarut seperti air, metanol, atau pelarut lainnya. Eluen yang digunakan dapat berupa pelarut tunggal
atau campuran dari dua atau lebih pelarut. Keadaan ini menyebabkan terdapat dua jenis elusi yaitu
elusi isokratik jika tidak mengalami perubahan konsentrasi dan elusi gradien jika terdapat perubahan
konsentrasi. Sistem tekanan menggunakan pompa bertekanan tinggi, yaitu dapat mencapai tekanan
hingga 6000 psi serta dapat mengantarkan laju alir sebesar 0.01-1.0 atau 0.1-20 ml/menit.
(a)
(b)
10
Sistem injeksi pada HPLC menggunakan syringe dengan volume 5-50 µl. Terdapat dua jenis
kolom, yaitu kolom pelindung (guard coloum) dan kolom pemisah. Kolom pelindung berfungsi untuk
menyaring zat pengotor yang dapat menyumbat kolom pemisah. Kolom pelindung sering mengandung
bahan yang serupa dengan kolom pemisah tetapi dengan ukuran butiran yang lebih keras dan besar
(20-40 µm). Sedangkan kolom pemisah merupakan kolom utama dalam memisahkan komponen
dalam sampel. Sistem deteksi pada HPLC terdapat beberapa jenis seperti detektor ultraviolet, detektor
flourescens, atau detektor refraktive index. Sistem deteksi yang berbeda tergantung dari jenis
analisanya (Meloan, 1999).