bab ii tinjauan pustaka

Upload: joshua-montgomery

Post on 09-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Bab II Tinjauan Pustaka

TRANSCRIPT

  • 12

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Pengertian Keanekaragaman Hayati dan Nilai Keanekaragaman Hayati

    Keanekaragaman hayati atau Biodiversity adalah kata yang belum lama

    diperkenalkan oleh pakar yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Kata ini

    kemudian menjadi lebih bermakna setelah diperkenalkan oleh E.O.Wilson pada tahun

    1989 dalam buku dan tulisan ilmiahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini

    kemudian menjadi sangat popular dan dipakai bukan saja oleh ahli lingkungan, tetapi

    juga oleh peneliti, pemerhati lingkungan, penyandang dana, pendidik, ahli sosial,

    ekonomi, para pengambil kebijakan, dan banyak lagi orang yang mengenal kata

    tersebut tetapi tidak mengetahui artinya (Supriatna, 2008).

    Definisi keanekaragaman hayati cukup banyak, tetapi salah satu definisi yang

    lebih mudah dipahami yaitu kekayaan hidup di bumi, jutaan tumbuhan, hewan, dan

    mikro organisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya

    menjadi lingkungan hidup. Keanekaragaman hayati berkembang dari (1)

    keanekaragaman tingkat gen, (2) keanekaragaman tingkat jenis dan (3)

    keanekaragaman tingkat ekosistem. Keanekaragaman hayati perlu dilestarikan karena

    didalamnya terdapat sejumlah spesies asli sebagai bahan mentah perakitan varietas-

    varietas unggul. Kelestarian keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem akan

    terganggu bila ada komponen-komponennya yang mengalami gangguan. Gangguan-

    gangguan terhadap komponen-komponen ekosistem tersebut dapat menimbulkan

    perubahan pada tatanan ekosistemnya. Besar atau kecilnya gangguan terhadap

    ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara perlahan-lahan atau secara cepat.

    Contoh adanya gangguan ekosistem, misalnya penebangan pohon di hutan secara liar

    dan perburuan hewan secara liar yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.

    Dimana gangguan tersebut secara perlahan-lahan dapat merubah ekosistem sekaligus

    mempengaruhi keanekaragaman tingkat ekosistem. Bencana tanah longsor atau

    letusan gunung berapi, bahkan dapat memusnahkan ekosistem, dan tentu juga akan

    memusnahkan keanekaragaman tingkat ekosistem.

  • 13

    Ketiga macam keanekaragaman tersebut diatas tidak dapat dipisahkan satu

    dengan yang lain. Ketiganya dipandang sebagai satu keseluruhan atau totalitas

    keanekaragaman hayati, yaitu:

    1. Dengan mengetahui adanya keanekaragaman gen merupakan modal dasar

    untuk melakukan rekayasa genetika dan hibridisasi (kawin silang) untuk

    memperoleh bibit unggul yang diharapkan.

    2. Dengan mengetahui adanya keanekaragaman jenis kita dapat mencari

    alternatif dari bahan makanan, bahan sandang dan papan, juga dapat

    memilih hewan-hewan unggul untuk dibudidayakan.

    3. Dengan mengetahui adanya keanekaragaman ekosistem kita dapat

    mengembangkan sumber daya hayati yang cocok dengan ekosistem

    tertentu sehingga dapat meningkatkan hasil pertanian dan peternakan yang

    pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Keanekaragaman hayati memiliki beragam nilai atau arti bagi kehidupan.

    Keanekaragaman hayati tidak hanya bermakna sebagai modal untuk menghasilkan

    produk dan jasa saja (aspek ekonomi) karena keanekargaman hayati juga mencakup

    aspek sosial, lingkungan, aspek sistem pengetahuan dan etika serta kaitan di antara

    berbagai aspek ini. Sebagai gudang keanekaragaman hayati, Indonesia banyak disorot

    oleh berbagai kalangan yang berkepentingan dengan flora dan fauna Indonesia,

    terutama yang bersifat endemik. Pada dasarnya, semua hayati di dunia ini memiliki

    nilai tertentu, yaitu nilai ekonomi langsung dan nilai ekonomi tidak langsung.

    1). Nilai ekonomi langsung dapat diamati dari kegiatan suatu masyarakat yang

    memanen dan memanfaatkan hayati secara langsung, misalnya ada hewan yang

    bertindak sebagai pemangsa alami hama. Burung pemangsa, burung hantu dan ular

    sanca mengendalikan hama tikus di daerah yang ditanami. Nilai ekonomi langsung

    meliputi nilai kegunaan konsumtif dan nilai kegunaan produktif. Nilai kegunaan

    konsumtif diberikan untuk hayati yang dikonsumsi masyarakat lokal yang tidak

    terlihat di pasar nasional maupun internasional. Hayati yang dikonsumsi sesuai

    dengan kebutuhan masyarakat tradisional di negara berkembang, yaitu untuk kayu

    bakar, sayur-sayuran, buah-buahan, daging, obatobatan, tali-temali dan bahan

  • 14

    bangunan. Nilai kegunaan produktif, yaitu nilai untuk hayati yang diambil di alam

    dan dijual ke pasar pada tingkat nasional maupun internasional. Produk dinilai

    dengan metode ekonomi standar. Hayati dengan nilai kegunaan produktif digunakan

    untuk bahan baku obat, bahan bangunan, industri pakaian, perhiasan dan keperluan

    lainnya. Banyak sekali hayati khas Indonesia yang memiliki nilai kegunaan produktif,

    di antaranya:

    a. Meranti untuk bahan bangunan;

    b. Eboni (kayu hitam) untuk bangunan dan alat rumah tangga;

    c. Jati untuk bahan bangunan;

    d. Karet untuk bahan alat rumah tangga, industri otomotif;

    e. Rotan untuk alat rumah tangga;

    f. Buah-buahan untuk konsumsi makanan pelengkap, misalnya durian, sirsak,

    jambu biji, avokad, delima, kesemek, salak, sawo, nangka, rambutan,

    mangga, manggis, markisa, melon, pisang, pepaya, dan kenari;

    g. Tanaman penyegar, misalnya asam, jahe, kunir, kencur, vanili, teh, dan

    kopi.

    2) Nilai ekonomi tidak langsung dapat dibagi menjadi nilai kegunaan non-komsumtif,

    nilai pilihan dan nilai eksistensi. Nilai kegunaan non-konsumtif diberikan untuk

    berbagai jasa lingkungan yang kita nikmati tanpa melalui penggunaan secara

    langsung, misalnya: a) Orang Utan untuk kebun binatang, sebagai kebutuhan rekreasi

    dan ekoturisme; b) Aneka jenis burung endemik, seperti Cendrawasih, Jalak Bali,

    Elang Jawa, dan burung Hantu untuk ekoturisme dan rekreasi serta nilai pendidikan

    dan ilmiah; c) Ayam Pelung, berbagai jenis ular untuk ekoturisme, rekreasi serta nilai

    pendidikan dan ilmiah; d) Komodo dan Maleo untuk nilai pendidikan dan ilmiah;

    e) Damar, Rasamala, berbagai pohon kayu lainnya sebagai perlindungan sumber air

    dan tanah, pengatur iklim dan monitor lingkungan; f) Anggrek, Bunga Bangkai

    (Amorpophalus titanum), Kantung Semar (Nepenthes), Teratai, Mawar, Melati Padma

    (Rafflesia arnoldi), dan bunga lainnya untuk rekreasi, tanaman hias, ekoturisme,

    pendidikan dan ilmiah.

  • 15

    3) Nilai Pilihan dari spesies adalah potensi suatu spesies dalam memberikan

    keuntungan ekonomi bagi masyarakat pada suatu saat di masa yang akan datang.

    Solusi dengan adanya perubahan kebutuhan masyarakat saat ini sering kali ada pada

    tumbuhan atau hewan yang belum tersentuh. Penelitian yang dilakukan dengan daya

    guna keanekaragaman hayati, dikenal dengan istilah biodiversity prospecting, yaitu

    penelaahan potensi jenis tumbuhan dan satwa liar beserta gen dan produk kimiawinya

    yang berdaya guna, seperti, a) Eceng gondok sangat prospektif dimanfaatkan untuk

    memenuhi kebutuhan alat rumah tangga, pakaian, perhiasan rumah, dan sebagainya;

    b) Rumput alang-alang untuk produksi pemanis pengganti gula tebu; c) Kelompok

    alga (Spirulina, Chlorella, Nostoc, Oscillatoria, Gloeocapsa, Anabaena) prospektif

    untuk memenuhi kebutuhan gizi, pupuk biologis, pembersih polutan, produksi cat dan

    pewarna tekstil; d) Kelompok bakteri dan jamur.

    Margasatwa dengan nilai ekonomi tinggi menjadi barang untuk perdagangan

    dalam negeri dan internasional, serta menjadi sumber pangan penting untuk

    masyarakat setempat. Perburuan tradisional kadang-kadang berhubungan dengan

    upacara adat, misalnya perburuan berbagai jenis burung dan mamalia. Burung,

    primata, mamalia dan reptil diketahui sebagai barang perdagangan. Primata

    merupakan hewan laboratorium yang penting untuk percobaan. Mamalia dan reptil

    digunakan di berbagai macam industri. Ikan air tawar dimanfaatkan untuk keperluan

    setempat dan perikanan. Banyak bakteri dan jamur yang dimanfaatkan untuk bahan

    bioteknologi, baik sebagai fermenter maupun jasa rekayasa genetik, contohnya

    yoghurt, anggur, keju dan antibiotik.

    Nilai eksistensi merupakan nilai keberadaan suatu spesies. Saat ini di seluruh

    dunia, orang peduli terhadap kehidupan liar dan sangat prihatin atas perlindungannya,

    contoh: Komodo, Maleo, Anoa, Cendrawasih, Kakaktua, Orang Utan, Harimau,

    Tapir, Coelacanth, Tarsius, Elang Jawa, Jalak Bali, Badak, Duyung, Lumba-Lumba,

    Pesut, Meranti, Eboni, Matoa, Rafflesia Arnoldi, Amorpophalus Tianum, Edelweiss

    (Anaphalis javanica), Anggrek dan masih banyak lagi. Khusus untuk Coelacanth,

    masyarakat dunia mengira bahwa ikan tersebut merupakan ikan purba yang telah

    lama punah, namun ternyata ikan ini masih eksis di perairan Bunaken, diburu dan

  • 16

    dijadikan sumber makanan oleh nelayan dan penduduk sekitar. Selain di Bunaken,

    Coelancanth hanya ditemukan di Madagaskar. Agar nilai-nilai biodiversitas tetap

    terjaga, kita perlu mengetahui ancaman apa saja yang membahayakan kelestarian

    biodiversitas. Berdasarkan uraian tersebut setidaknya ada 6 nilai keanekaragaman

    hayati yang bisa diuraikan: a) Nilai eksistensi, nilai eksistensi merupakan nilai yang

    dimiliki oleh keanekaragaman hayati karena keberadaannya (Ehrenfeld, 1991). Nilai

    ini tidak berkaitan dengan potensi suatu organisme tertentu, tetapi berkaitan dengan

    beberapa faktor berikut: (1) Faktor hak hidupnya sebagai salah satu bagian dari alam;

    (2) Faktor yang dikaitkan dengan etika, misalnya nilainya dari segi etika agama.

    Berbagai agama dunia menganjurkan manusia untuk memelihara alam ciptaan Tuhan;

    dan (3) Faktor estetika bagi manusia, misalnya, banyak kalangan, baik pecinta alam

    maupun wisatawan, bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk mengunjungi

    taman-taman nasional guna melihat satwa di habitat aslinya, meskipun mereka tidak

    mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut. b) Nilai jasa lingkungan, nilai

    jasa lingkungan yang dimiliki oleh keanekaragaman hayati ialah dalam bentuk jasa

    ekologis bagi lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Sebagai contoh jasa

    ekologis, misalnya hutan yang merupakan salah satu bentuk dari ekosistem

    keanekaragaman hayati, mempunyai beberapa fungsi bagi lingkungan sebagai: (1)

    Pelindung keseimbangan siklus hidrologi dan tata air sehingga menghindarkan

    manusia dari bahaya banjir maupun kekeringan; (2) Penjaga kesuburan tanah melalui

    pasokan unsur hara dari serasah hutan; (3) Pencegah erosi dan pengendali iklim

    mikro. Keanekaragaman hayati bisa memberikan manfaat jasa nilai lingkungan jika

    keanekaragaman hayati dipandang sebagai satu kesatuan, dimana ada saling

    ketergantungan antara komponen yang terdapat di dalamnya. c) sebagai nilai warisan,

    nilai warisan adalah nilai yang berkaitan dengan keinginan untuk menjaga kelestarian

    keanekaragaman hayati agar dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang.

    Nilai ini seringkali terkait dengan nilai sosial-budaya dan juga nilai pilihan. Spesies

    atau kawasan tertentu sengaja dipertahankan dan diwariskan turun temurun untuk

    menjaga identitas budaya dan spiritual kelompok etnis tertentu atau sebagai cadangan

    pemenuhan kebutuhan mereka di masa datang. d) sebagai nilai pilihan,

  • 17

    keanekaragaman hayati menyimpan nilai manfaat yang sekarang belum disadari atau

    belum dapat dimanfaatkan oleh manusia; namun seiring dengan perubahan

    permintaan, pola konsumsi dan asupan teknologi, nilai ini menjadi penting di masa

    depan. Potensi keanekaragaman hayati dalam memberikan keuntungan bagi

    masyarakat di masa datang ini merupakan nilai pilihan (Primack et al,1998). e) Nilai

    konsumtif, manfaat langsung yang dapat diperoleh dari keanekaragaman hayati

    disebut nilai konsumtif dari keanekaragaman hayati. Contoh dari nilai komsumtif ini

    adalah pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk pemenuhan kebutuhan sandang,

    pangan maupun papan. f) Nilai produktif, nilai produktif adalah nilai pasar yang

    didapat dari perdagangan keanekaragaman hayati di pasar lokal, nasional maupun

    internasional. Persepsi dan pengetahuan mengenai nilai pasar ditingkat lokal dan

    global berbeda. Pada umumnya, nilai keanekaragaman hayati lokal belum

    terdokumentasikan dengan baik sehingga sering tidak terwakili dalam perdebatan

    maupun perumusan kebijakan mengenai keanekaragaman hayati pada tingkat global

    (Vermeulen dan Koziell, 2002).

    Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek bagi individu

    tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena itu akan terjadi keragaman nilai

    dari suatu sumberdaya atau nilai dari keanekaragaman hayati berdasarkan pada

    persepsi dan lokasi masyarakat yang berbeda-beda. Nilai keanekaragaman hayati

    hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat.

    Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang

    positif terhadap nilai keanekragaman hayati, dan hal tersebut dapat ditunjukkan

    dengan tingginya nilai keanekaragaman hayati tersebut. Ada beberapa nilai dari

    keanekaragaman hayati bagi kepentingan makluk hidup; (1) Nilai ekologis, dimana

    setiap sumberdaya alam merupakan unsur dari ekosistem alam. Sebagai contoh, suatu

    tumbuhan dapat berfungsi sebagai pelindung tata air dan kesuburan tanah, atau suatu

    jenis satwa dapat menjadi kunci spesies yang penting dari keseimbangan alam.

    (2) Nilai keanekaragaman hayati sebagai nilai komersial, secara umum telah

    dipahami bahwa kehidupan manusia tergantung mutlak kepada sumberdaya alam

    hayati. Dimana keanekaragaman hayati mempunyai nilai komersial yang sangat

  • 18

    tinggi, sebagai gambaran, sebagian besar penerimaan devisa negara maupun

    pendapatan asli daerah dihasilkan dari penjualan kayu dan bentuk-bentuk lain dari

    eksploitasi hutan. (3) Nilai keanekaragaman hayati sebagai nilai sosial dan nilai

    budaya, keanekaragaman hayati mempunyai nilai sosial dan nilai budaya yang sangat

    besar. Secara umum peran masyarakat secara sosial dalam menjaga keanekaragaman

    hayati ditentukan oleh beberapa faktor. Pertama, sejauh mana pengetahuan lokal

    dapat dihargai dan dimanfaatkan dalam membentuk sebuah sistem pengelolaan yang

    baik dari keanekaragaman hayati tersebut. Kedua, seberapa besar kepedulian warga

    dari komunitas lokal terhadap alam yang berada di sekitarnya, sehingga mampu

    mendorong kearah upaya-upaya untuk menjaga dan mengelola keanekaragaman

    hayati baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi. Ketiga, seberapa besar

    manfaat (material dan non-material) yang bisa diterima oleh masyarakat dari kawasan

    konservasi sehingga keberadaan dari keanekaragaman hayati tersebut memiliki nilai

    yang menguntungkan secara terus menerus. Nilai budaya bagi nilai keanekaragaman

    hayati merupakan satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat,

    karena bagi masyarakat yang memilikinya nilai keanekaragaman hayati merupakan

    warisan yang diwariskan secara turun temurun, sehingga faktor budaya merupakan

    hal terpenting dalam menilai suatu keanekaragaman hayati. (4) Nilai keanekaragaman

    hayati dari nilai rekreasi, dimana suatu keindahan dari sumberdaya alam hayati dapat

    memberikan nilai untuk menjernihkan pikiran dan melahirkan gagasan-gagasan baru

    bagi yang menikmatinya. Misalnya saja, kita sering kali pergi berlibur ke alam,

    apakah itu gunung, gua atau laut dan lain sebagainya, dengan maksud untuk

    merasakan keindahan alamnya. (5) Nilai keanekaragaman hayati dari nilai penelitian

    dan pendidikan, jika dilihat fungsi dan peran dari keanekragaman hayati itu sendiri,

    akan menimbulkan gagasan dan ide cemerlang bagi manusia. Nilai ini akan

    memberikan suatu dorongan untuk mengamati fenomena-fenomena alam dalam

    bentuk suatu tulisan atau penelitian. Selain itu alam juga dapat menjadi media

    pendidikan untuk ilmu pengetahuan alam, maka sangat diperlukan bahan untuk

    penelitian maupun penghayatan berbagai pengertian dan suatu konsep ilmu

    pengetahuan.

  • 19

    2.2. Keanekaragaman Hayati Indonesia dan Keanekaragaman Hayati Papua

    Dalam hal kekayaan keanekaragaman hayati, Indonesia tidak kalah dengan

    Brazil, negara yang juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Misalnya,

    Brazil memiliki jumlah keanekaragaman hayati ikan air tawar dan jumlah organisme

    darat yang sangat banyak tapi keanekaragaman organisme laut di Indonesia jauh lebih

    banyak. Seperti Meksiko, posisi geografis Indonesia termasuk negara yang terletak

    pada dua kawasan dari enam kawasan biogeografi terpenting di dunia, yaitu

    Australasian dan Indo-Malaya. Hal yang juga menarik, di Indonesia terdapat wilayah

    pertemuan dua kawasan tersebut, yaitu Wallacea yang di dalamnya terkandung

    endemisitas dengan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi. Kawasan

    biogeografi Indonesia dan sebarannya yang meliputi 17.000 pulau, termasuk pulau

    terbesar kedua dan ketiga di dunia (Kalimantan dan Papua), bisa dikatakan telah

    berhasil menandingi Brazil dalam hal kekayaan jenis.

    Beberapa data statistik yang berkaitan dengan jumlah keanekaragaman jenis,

    dimana Indonesia selalu menempati urutan teratas, yakni :

    a. Urutan kedua setelah Brazil untuk keanekaragaman mamalia, dengan 515

    jenis, yang 39 % di antaranya merupakan endemik;

    b. Urutan keempat untuk keanekaragaman reptile (511 jenis, 150 endemik);

    c. Urutan kelima untuk keanekaragaman burung (1.531 jenis, 397 endemik);

    bahkan khusus untuk keanekaragaman burung parung Bangkok, Indonesia

    menempati urutan pertama (75 jenis, 38 endemik);

    d. Urutan keenam untuk keanekaragaman amfibi (270 jenis, 100 endemik);

    e. Urutan keempat dunia untuk keanekaragaman primate ( 35 jenis);

    f. Lima besar untuk keanekaragaman dunia tumbuhan (38.000 jenis);

    g. Urutan pertama untuk Tumbuhan Palmae (477 jenis, 225 endemik), dan

    memiliki setengah dari 350 Spesies Dipterocarpaceae yang bernilai tinggi,

    (155 jenis endemik Kalimantan);

    h. Urutan ketiga untuk keanekaragaman ikan tawar (1.400 jenis) setelah

    Brazil dan Colombia (Supriatna, 2008).

  • 20

    Dengan luas daratan, sekitar 1.919.443 km2, Indonesia menempati urutan ke-

    15, antara Libya dan Mexico. Namun bila digabungkan dengan luas daratan yang

    tertutup laut, maka angka itu akan menjadi jauh lebih besar. Meskipun luas daratan

    Indonesia hanya 1,3% dari total luas daratan dunia, di dalamnya terkandung 12%

    jenis mamalia, 7,3% jenis reptile dan amfibi, dan 17% jenis burung. Seiring dengan

    banyaknya informasi tentang keanekaragaman hayati yang baru, maka jumlah jenis

    tumbuhan, ikan, reptile, amfibi dan avertebrata pun akan terus bertambah, juga

    dengan jenis-jenis mamalia dan burung.

    Meskipun termasuk negara megadiversitas, saat ini di Indonesia terdapat dua

    kawasan penting (hotspot) keanekaragaman hayati yang teracam, yakni Sunda Barat

    dan Wallacea, juga kawasan hutan tropis utama, yaitu Melanesia, termasuk Papua.

    Keanekaragaman ekosistem Indonesia, meliputi kawasan sepanjang 5.000 km, yang

    terbentang dari timur ke barat (lebih panjang dari benua Amerika Serikat), merupakan

    fenomena yang luar biasa. Topografinya, dengan berbagai ketinggian dan keragaman

    menghasilkan ekosistem mulai dari hutan dataran rendah, rawa-rawa, kawasan pesisir

    dan lautnya, gua yang sangat panjang, dari daerah yang kering hingga puncak gunung

    es. Setidaknya tercatat 47 jenis ekosistem terlengkap, jauh menandingi negara-negara

    yang terkenal dengan keanekaragaman biogeografinya, seperti Peru, Kolombia,

    Meksiko, Cina, India dan Amerika Serikat. Dalam tingkat keragaman budaya,

    Indonesia pun berada di urutan teratas, dengan memiliki paling sedikit 336 suku

    budaya, yang mana sekitar 250 suku di antaranya berada di Papua. Hal ini

    menempatkan Indonesia pada posisi tiga besar untuk kategori keragaman budaya.

    Papua Nugini dan India juga memiliki tingkat keragaman budaya yang tinggi tetapi

    tidak dalam hal perbedaan tingkat budaya yang ada.

    Vegetasi Papua merupakan perpaduan vegetasi Asia dan Australia.

    Keanekaragaman tumbuhannya mencapai lebih dari 25.000 jenis, dengan sedikitnya

    24 marga endemik, dan sepertiga dari jumlah tumbuhannya merupakan jenis anggrek.

    Menarik untuk diperhatikan dari Papua adalah wilayah pegunungan tingginya, yang

    mencapai tinggi lebih dari 3.000 meter dan merupakan tempat bagi beragam jenis

  • 21

    Anggrek Rhododendron yang bernilai tinggi, yang beberapa diantaranya merupakan

    jenis favorit untuk dibudidaya.

    Disepanjang pesisir selatan Papua, terbentang rawa-rawa yang sangat luas.

    Kawasan serupa juga dapat ditemui di pantai utara Papua, tepatnya di sekitar delta

    Sungai Mamberamo. Kayu Putih yang kulit kayunya tahan api merupakan vegetasi

    dominan di sepanjang daerah aliran sungai. Komposisi mangrov Papua, yang

    melimpah dan luas di sepanjang garis pantai Papua, mirip dengan komposisi hutan

    mangrov di India dan pasifik. Kawasan tenggara Papua sangat mirip dengan Australia

    dengan ciri vegetasi; rumput lebih dominan dari pada pohon. Komposisi itu

    menandakan adanya musim kering di kawasan ini. Hutan savana kering juga

    merupakan habitat berbagai jenis pohon seperti Melaleuca, Eucalyptus, Casuarina,

    dan Acacia (Supriatna, 2008).

    Keanekaragaman hayati mamalia darat Papua mencapai 174 jenis (sekitar 100

    jenis endemik), yang mana sepertiganya merupakan hewan berkantung, hewan

    pengerat, dan sepertiganya kelelawar. Selain itu ada representasi dari mamalia

    bertelur, yaitu Echidna. Bila di kawasan barat Indonesia, spesies flagshipnya adalah

    primata, spesies flagship di Papua adalah kanguru pohon. Spesies flagship mamalia

    ini terdiri dari beberapa spesies yang diketahui hidup di dataran rendah, seperti

    kanguru pohon abu-abu, yang hidup di dataran rendah, hutan hujan di ketinggian

    tengah dari kawasan Doberai, dan di semenanjung Fakfak (Papua Barat). Sedangkan

    kangguru pohon seri hanya terdapat di hutan tropis pegunungan pada ketinggian

    2.600 - 3.200 m dpl, di sepanjang rantai pegunungan tengah dan barat Papua, yang

    berbatasan dengan padang rumput sub-alpin.

    Saat ini, setidaknya, tercatat sekitar 643 jenis burung di Papua, dan sekitar

    269 jenis di antaranya merupakan endemik Papua. Di Pegunungan Papua, setidaknya

    hidup 11 jenis burung yang keindahannya menyerupai burung Cenderawasih. Untuk

    keanekaragaman reptil dan amfibi juga sama tingginya dengan keanekaragaman

    fauna lainnya. Ada sekitar 100 jenis ular dan 200 jenis kadal, yang sebagian besar

    merupakan endemik. Papua juga kaya dengan hewan avertebrata, dengan paling

    sedikit 5.000 jenis, yang sebagian besar merupakan Kupu-Kupu. Kupu-Kupu sayap

  • 22

    burung merupakan jenis yang paling popular, Kupu-Kupu raksasa yang merupakan

    jenis Kupu-Kupu terbesar di Asia Tenggara dengan lebar sayap mencapai 33 cm.

    2.3. Kawasan Konservasi Cagar Alam

    Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990, cagar alam adalah kawasan

    suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan

    ekosistemnya yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

    Muntasib (2003) menjelaskan bahwa kegiatan yang diperolehkan di cagar

    alam hanyalah kegiatan-kegiatan untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan,

    pengembangan ilmu pengetahuan dan kegiatan lain yang menunjang budidaya. Selain

    itu kegiatan lain seperti rekreasi, pengelolaan yang intensif (campur tangan manusia)

    tidak diperkenankan karena akan merubah perkembangan alami dari kawasan itu.

    Prinsip pengelolaan cagar alam adalah alam dibiarkan berkembang secara

    alami, tetapi juga tidak diganggu serta tidak diperbolehkan memberikan perlakuan

    apapun kecuali mencatatnya (Muntasib, 2003). Sasaran pengelolaan cagar alam

    antara lain adalah: 1) melindungi flora dan fauna, 2) habitat terbina dan tidak

    terganggu, 3) plasma nuftah dimanfaatkan untuk riset (penelitian dan pendidikan),

    4) plasma nuftah dimanfaatkan secara lestari melalui upaya budidaya oleh masyarakat

    di daerah, 5) penyangga untuk meningkatkan kesejahteraan.

    Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat

    maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai (1) kawasan pengawetan

    keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan (2) berfungsi

    sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan (UU No.5 Tahun 1990 pasal 15).

    2.4. Penelitian Terdahulu yang Relevan

    Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa nilai keanekaragaman hayati

    dapat dinilai dengan penilaian ekonomi dengan menggunakan pendekatan penilaian

    ekonomi. Menurut K.N. Ninan et al, (2009) dalam studies establish the economic

    values of biodiversity, habitats and ecosystem services melakukan penilaian terhadap

    suatu nilai keanekaragaman hayati bermanfaat bagi kehidupan manusia seperti

    produk obat-obatan alami. Dari 150 obat berdasarkan resep yang digunakan di

  • 23

    Amerika Serikat, 118 berasal dari sumber alami: dimana 74 persen bersumber dari

    tanaman, 18 persen dari jamur, 5 persen dari bakteri dan 3 persen dari spesies ular.

    Untuk memberikan ilustrasi lain, lebih dari 100.000 spesies yang berbeda termasuk

    kelelawar, lebah, lalat, kumbang, burung dan kupu-kupu memberikan manfaat bagi

    penyerbukan. Sepertiga dari makanan manusia berasal dari tanaman yang diserbuki

    oleh penyerbuk liar. Nilai jasa penyerbukan dari penyerbuk liar di Amerika Serikat

    saja diperkirakan sebesar US $ 4 - 6 milliar per tahun. Beberapa penelitian

    menetapkan nilai ekonomi keanekaragaman hayati, habitat dan jasa ekosistem akan

    bernilai tinggi. Hasil penelitian lain yang di kemukakan oleh Ninan et al (2007),

    Economic values of tropical forests: regional and cross-country estimates

    mengatakan bahwa sekitar 8090 persen dari nilai ekonomi total dari hutan tropis

    didapatkan dari nilai guna tidak langsung seperti perlindungan daerah aliran sungai,

    penyerapan karbon dan nilai-nilai nilai guna tidak langsung. Penilaian ekonomi telah

    memungkinkan kita untuk menilai manfaat non-pasar keanekaragaman hayati dan

    ekosistem. Lebih lanjut lagi nilai intrinsik dari keanekaragaman hayati dan hak yang

    melekat pada semua spesies yang tidak terikat dari nilai material mereka untuk

    manusia, merupakan suatu nilai sendiri dari nilai konservasi keanekaragaman hayati.

    Hasil lain dari penelitian Ninan et al (2007), Existence valuations of endangered

    species and prized habitats mengungkapkan bahwa nilai ekonomi saat ini dari 17 jasa

    ekosistem bagi 16 biomassa sebesar US $ 16 54 miliar per tahun, dengan nilai rata-

    rata lebih dari US $ 33 triliun per tahun.

    Hasil studi yang dilakukan oleh Tood L. Cherry at al (1994), dalam valuing

    wildlife at risk from exotic in Yellowstone Lake dimana dengan menggunakan

    Contingent Valuation Methode di danau Yellowstone, Taman Nasional Yellowstone,

    Wyoming. Melakukan penilaian terhadap nilai resiko akibat berkurangnya spesies

    yang hampir punah pada kawasan ini, dimana spesies yang terancam punah yakni

    Beruang Grizzly dan burung pemangsa pada area dangkal, dari beberapa pilihan

    harga yang diberikan untuk melihat kesedian para responden yakni ($ 5, $ 15 dan

    $ 30) dimana 60 % responden mau membayar untuk perlindungan Taman Nasional

    ini.

  • 24

    Hasil penelitian dari Sri Wilujeng (2008), Pengaruh Pembakaran dan

    Penebangan Hutan Terhadap Kondisi Populasi Tumbuhan Sowang (Xanthosthemon

    Novaguineense Valet) Di Pegunungan Cycloops Jayapura, Papua. Mengatakan

    bahwa pada sisi selatan dan timur pada Pegunungan Cycloops merupakan daerah

    perambahan, pemukiman dan peladangan masyarakat pendatang serta area perluasan

    pembangunan oleh pemerintah daerah Kabupaten dan Kotamadya Jayapura sehingga

    jika dilihat bahwa di daerah selatan hingga ke timur Pegunungan Cycloops sudah

    sangat sulit untuk menemukan Tumbuhan Sowang terutama pada tingkat tiang dan

    pohon, sedangkan peluang untuk regenerasi dari Tumbuhan Sowang ini sangat kecil

    sehingga kondisi demikian yang mendukung kepuhanan dari Tumbuhan Sowang.

    Victoria Melania Jamlean (1999), Indentifikasi dan Pemanfaatan Kayu

    Sowang (Xanthosthemon spp) pada masyarakat asli sentani dan masyarakat

    pendatang pada kabupaten Dati II Jayapura. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan

    Sentani Timur desa Nendali, Kecamatan Sentani Tengah desa Ajaw / Ifale,

    Kecamatan Sentani Barat desa Doyo Lama dan Kecamatan Jayapura Utara desa

    Bhayangkara, dimana ditemukan dua jenis kayu Sowang yaitu Xanthosthemon

    Novaguineense Fal (Howang Maleuw) dan Xanthosthemon sp (Howang hele). Kedua

    jenis Sowang ini dimanfaatkan oleh masyarakat asli Sentani dan masyarakat

    pendatang yang umumnya dari suku Dani untuk keperluan konstruksi (tiang rumah,

    pagar dan jembatan), peralatan (perkakas dan seni) dan energi (bahan bakar dan

    arang). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemanfaatan kayu Sowang oleh

    masyarakat suku Sentani dilakukan dengan arif dan bijak melalui ketentuan adat yang

    secara tidak langsung telah mengarah pada usaha untuk melestarikan kayu Sowang

    tersebut sedangkan masyarakat pendatang terutama suku Dani tidak melestarikan atau

    tidak menggunakan dengan arif dan bijak karena tidak dibatasi oleh aturan-aturan dan

    ketentuan dalam pengambilan dari kayu ini yang dapat mengakibatkan punahnya

    kayu Sowang tersebut.

    Moshe D.P.Siagian (2005), Pengujian Ketahanan Alami Kayu Sowang

    (Xanthosthemon sp) Terhadap Serangan Penggerek Kayu di Laut. Metode yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik observasi dan

  • 25

    dianalisis secara enumerasi dengan menggunakan skala kategori untuk melihat

    intensitas serangan sedangkan untuk melihat ketahanan kayu digunakan uji Chi-

    Square. Contoh uji diambil dari bagian kayu teras dan dibuat berbentuk balok dengan

    ukuran 5 cm x 2,5 cm x 45 cm, jumlah satuan contoh uji untuk tiap lokasi sebanyak

    45 satuan contoh uji, sehingga untuk kedua lokasi pengamatan didapatkan contoh uji

    sebanyak 90 satuan contoh uji untuk kayu Sowang dan 45 satuan contoh uji untuk

    kayu pulai direndam pada dermaga TNI AL. Pengamatan dilakukan dengan melihat

    tanda-tanda serangan penggerek kayu di laut pada contoh uji. Selain itu dilakukan

    pula pengukuran suhu dan salinitas pada kedua lokasi penelitian, sebagai pembanding

    digunakan kayu pulai, kayu merbau dan kayu ulin. Berdasarkan hasil penelitian yang

    dilakukan, kayu Sowang digolongkan sebagai jenis kayu yang tahan dengan tingkat

    serangan yang ringan, dan keawetan alaminya berada diatas keawetan alami kayu

    pulai, kayu merbau, dan ulin.

    Setyawan L.F (2004), Uji Ketahanan Alami Kayu Sowang (Xanthostemon Sp)

    Terhadap Serangan Rayap Tanah (Odontotermes Montanus) Secara Uji

    Laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu Sowang dapat digolongkan

    sebagai kayu yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap serangan rayap

    tanah dan intensitas serangannya sangat ringan dengan rata-rata persentase

    kehilangan berat sebesar 4,95%. Rata-rata mortalitas rayap tanah yang menyerang

    kayu Sowang pada pengamatan pertama (1,5 bulan) sebesar 49,35% dan pengamatan

    kedua (3 bulan) sebesar 95,55%. Penelitian ini juga menyatakan bahwa

    keanekaragaman hayati dari populasi Tumbuhan Sowang hanya terdapat di

    Pegunungan Cycloops dan merupakan tumbuhan endemik Papua.

    Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini untuk menganalisis

    seberapa besar nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati Tumbuhan Sowang, karena

    saat ini belum ada nilai ekonomi yang pantas. Tumbuhan Sowang merupakan

    tumbuhan endemik yang hanya terdapat di Pegunungan Cycloops. Akan tetapi saat

    ini tumbuhan Sowang sudah sulit ditemukan di sekitar kawasan Pegunungan

    Cycloops sehingga diperlukan kebijakan yang baik guna mendukung perlindungan

    dan pengelolaan Tumbuhan Sowang dari kepunahan dan juga melindungi kawasan

  • 26

    cagar alam Pegunungan Cycloops dari pengrusakan yang lebih besar lagi. Penelitian

    ini merupakan studi yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya dimana

    dalam penelitian ini peneliti hendak meneliti tentang Tumbuhan Sowang dengan

    pendekatan nilai ekonomi.