bab ii tinjauan pustaka a. 1. - abstrak.uns.ac.id · dalam usaha mencapai sasaran atau garis...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan
Setiap saat pemerintah selalu dihadapkan pada berbagai macam masalah
mulai dari yang sederhana sampai dengan permasalahan yang rumit. Dibutuhkan
sebuah kebijakan untuk mengatasi setiap permasalahan yang ada. Syarat untuk
memecahkan masalah yang rumit adalah tidak bisa disamakan dengan syarat
untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana
memungkinkan analisis menggunakan metode-metode konvensional, sementara
masalah yang rumit menuntut analisis untuk mengambil bagian aktif dalam
mendefenisikan hakekat dari masalah itu sendiri.
Gambaran tentang pemecahan masalah bertolak dari pandangan bahwa
kerja kebijakan bermula dari masalah-masalah yang sudah terartikulasi dan ada
dengan sendirinya. Semestinya, kebijakan bermula ketika masalah-masalah yang
telah diketahui kemudian membuat hipotesis tentang serangkaian tindakan yang
mugkin untuk dilakukan melalui kajian yang cermat tentang masalah-masalah
tersebut agar dapat merumuskan kebijakan yang harus ditetapkan dan
mengimplementasikan kebijakan tersebut dalam sebuah tindakan nyata. Di
Negara-negara maju kebijakan yang dibuat oleh pemerintahnya sangat
mengutamakan kepentingan rakyatnya. Kebijakan dipelajari dalam ilmu
kebijakan (policy science), yaitu ilmu yang berorientasi kepada masalah
kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif, serta dirancang untuk
menyoroti masalah fundamental yang sering diabaikan, yang muncul ketika
warga negara dan penentu kebijakan menyesuaikan keputusannya dengan
perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik untuk melayani tujuan-
tujuan demokrasi Lasswell dalam Kartodiharjo, (2009).
Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William N. Dunn, Charles
Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public
8
9
policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau
kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan
dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang
atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani
kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa
Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. Kebijakan (policy)
adalah solusi atas suatu masalah. Kebijakan seringkali tidak efektif akibat tidak
cermat dalam merumuskan masalah. Dengan kata lain, kebijakan sebagai obat
seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnose masalah atau
penyakitnya keliru (Dunn, 2000).
Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan dalam Islamy, (2002 : 17)
memberi arti kebijakan sebagai “a projected program of goals, value and
practice” (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang
terarah). Sedangkan Carl Friedrich dalam Wahab, (2001:3) menyatakan, bahwa
“kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-
peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”.
Kajian tentang ilmu kebijakan menjadi penting untuk dipahami karena
ilmu kebijakan salah satunya diimplementasikan untuk kepentingan publik.
James E. Anderson dalam Bambang S, (1994 : 23) mengatakan bahwa “publik
policies are those policies developed by govermental bodies and officials”
(kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-
badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Selanjutnya Anderson menjelaskan
implikasi dari pengertian kebijakan publik adalah:
1) Bahwa kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau
merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2) Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat-pejabat pemerintah.
3) Bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan
melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu
4) Bahwa kebijakan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu
10
atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah
untuk tidak melakukan sesuatu.
5) Bahwa kebijakan pemerintah dalam arti yang positif didasarkan atau
selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat
memaksa (otoritif).
b. Bentuk-Bentuk Kebijakan
Seorang pimpinan dalam hal ini Pemerintah haruslah mampu membuat
sebuah kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi semua. Pada prinsipnya
Pemerintah ialah perwujudan rakyat yang mempunyai tugas menjalankan
pemerintahan atas dasar kehendak dan kebutuhan rakyat dalam sebuah negara.
Oleh karena itu, semua tindakan dan keputusan harus dilatarbelakangi oleh
kepentingan rakyat itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti
Kebijakan adalah “kepandaian dan kemahiran. Kebijakan sebagai rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpian, dan cara bertindak (Pemerintah/Organisasi), pernyataan
cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen
dalam usaha mencapai sasaran atau garis haluan”.
David Easton dalam Pandji Santosa, (2008 : 27) menjelaskan bahwa
kebijakan adalah “pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh masyarakat secara
keseluruhan”. Pendapat ini memperkuat definisi kebijakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia karena mengisyaratkan adanya sifat otoritatif yang dimiliki
pemerintah. Kebijakan pemerintah pada dasarnya tidak hanya berupa sebuah
tindakan yang diambil dalam sebuah kasus namun bisa bermakna lebih luas lagi.
Kebijakan tersebut bisa berupa ucapan dari seorang pimpinan, dukungan,
perhatian dan lain sebagainya. Setiap respon atau tindakan yang dilakukan oleh
seorang pimpinan bisa diartikan sebagai kebijakan yang dia tetapkan bahkan
meskipun pemerintah tidak melakukan sesuatu terkait sebuah kasus namun hal itu
tetap menjadi sebuah kebijakan dimana akan sangat mempengaruhi atau memberi
dampak terhadap masyarakat. Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam
Wahab, (2011 : 16), mengelompokkan kebijakan ke dalam sepuluh macam yaitu:
1) Policy as a Label for a Feld of Activity (Kebijakan sebagai Sebuah Label
atau Merk bagi Suatu Bidang Kegiatan Pemerintah).
2) Policy as an Expression of General Purpose or Desired State of Affairs
11
(Kebijakan sebagai Suatu Pernyataan Mengenai Tujuan Umum atau
Keadaan Tertentu yang dikehendaki).
3) Policy as Spesific Proposals (Kebijakan sebagai Usulan-Usulan Khusus).
4) Policy as Decision of Government (Kebijakan sebagai Keputusan-
Keputusan Pemerintah).
5) Policy as Formal Authorization (Kebijakan sebagai Bentuk Otorisasi
atau Pengesahan Formal).
6) Policy as Programme (Kebijakan sebagai Program).
7) Policy as Output (Kebijakan sebagai Keluaran).
8) Policy as Outcome (Kebijakan sebagai Hasil Akhir).
9) Policy as a Theory or Model (Kebijakan sebagai Teori atau Model).
10) Policy as Process (Kebijakan sebagai Proses)
Weimer & Vining dalam Kartodiharjo, (2009) menjelaskan mengenai
lingkup kebijakan, yang terdiri dari: Riset kebijakan dan analisis kebijakan. Riset
kebijakan merupakan prediksi dampak perubahan beberapa variabel akibat
perubahan kebijakan, untuk aktor dalam arena kebijakan yang relevan melalui
metodologi yang formal. Sedangkan analisis kebijakan merupakan perbandingan
dan evaluasi dari solusi yang tersedia untuk memecahkan masalah, untuk orang
atau lembaga tertentu melalui sintesis, riset-riset dan teori. Kemudian dengan
analisis atau kajian kebijakan akan dihasilkan pengetahuan mengenai baik atau
buruknya kinerja kebijakan yang dihasilkan saat ini melalui identifikasi arena
kebijakan dengan menggunakan metode yang valid serta dapat
dipertanggungjawabkan.
Kebijakan pemerintah yang telah disahkan, tidak akan bermanfaat apabila
tidak diimplimentasikan. Hal ini disebabkan karena implimentasi kebijakan
pemerintah berusaha untuk mewujudkan kebijakan yang masih bersifat abstrak ke
dalam realita nyata. Suatu kebijakan pemerintah akan berhasil apabila
dilaksanakan dan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat banyak.
Kebijakan sendiri secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu:
1) Kebijakan Umum
Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau
petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun bersifat negatif yang
meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Suatu hal
yang perlu diingat adalah pengertian umum disini bersifat relatif. Maksudnya,
12
untuk wilayah negara, kebijakan umum mengambil bentuk undang-undang
atau keputusan presiden dan sebagainya. Sementara untuk suatu provinsi,
selain dari peraturan dan kebijakan yang di ambil pada tingkat pusat juga ada
keputusan gubernur atau peraturan daerah yang diputuskan oleh DPRD.
Agar suatu kebijakan umum dapat menjadi pedoman bagi tingkatan
kebijakan di bawahnya, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Pertama,
cakupan kebijakan itu meliputi keseluruhan wawasannya. Artinya, kebijakan
itu tidak hanya meliputi dan ditujukan pada aspek tertentu atau sektor
tertentu. Kedua, tidak berjangka pendek. Masa berlakunya atau tujuan yang
ingin dicapai dengan kebijakan tersebut berada dalam jangka panjang atau
pun tidak mempunyai batas waktu tertentu. Karena itu tujuan yang
digambarkan sebagai kebijakan sering kali dianggap orang tidak jelas. Istilah
“tidak jelas” ini tidak tepat. Tujuan jangka panjang lebih dapat disebut
“samar-samar” karena gambarannya yang bersifat umum. Keadaan ini hampir
dapat disamakan dengan penglihatan kita bila melihat seorang wanita cantik
dari jarak dua kilometer. Sosoknya tidak akan terlihat dengan jelas.
Kecantikannya hanya tergambar secara umum dalam bentuk keseluruhan.
Gambarannya jelas berada dari penglihatan dalam jarak 50 meter. Bahkan
dapat dikatakan aneh kalau dalam jarak dua kilometer dia terlihat dengan
jelas. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan umum tidak tepat untuk
menetapkan sasarannya secara sangat jelas dan rumusannya secara teknis.
Rumusan yang demikian akan menghadapi kekakuan dalam perubahan waktu
jangka panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan dalam
wilayah-wilayah kecil yang berbeda.
Ketiga, strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional. Seperti
halnya pada pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga
bersifat relatif. Sesuatu yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten
mungkin dianggap teknis atau operasional untuk tingkat provinsi dan sangat
operasional dalam pandangan tingkat nasional. Namun, sekalipun suatu
kebijakan bersifat umum, tidak berarti kebijakan tersebut bersifat sederhana.
Makin umum suatu kebijakan, makin kompleks dan dinamis kebijakan
13
tersebut. Hal ini disebabkan karena pada tingkat kebijakan umum banyak
aspek yang terlibat, banyak dimensi ilmu yang diperlukan untuk
menganalisisnya dan banyak pihak yang terkait. Sebaliknya semakin teknis
suatu kebijakan, semakin tidak kompleks kebijakan itu.
2) Kebijakan Pelaksanaan
Kebijaka pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan
umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu
undang-undang, atau keputusan menteri yang menjabarkan pelaksanaan
keputusan presiden adalah contoh dari kebijakan pelaksanaan. Untuk tingkat
provinsi, keputusan bupati atau keputusan seorang kepala dinas yang
menjabarkan keputusan Gubernur atau peraturan daerah bisa jadi suatu
kebijakan pelaksanaan.
3) Kebijakan Teknis
Kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah
kebijakan pelaksanaan itu. Secara umum dapat disebutkan bahwa kebijakan
umum adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah
kebijakan tingkat ke dua, dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ke
tiga atau yang terbawah.
Wewenang membuat kebijakan hanya ada pada jabatan-jabatan yang
tinggi. Ini bisa dimengerti karena pada jabatan-jabatan tersebut terdapat
fungsi mengatur (regulasi) masyarakat. Pada jabatan-jabatan yang lebih
rendah terdapat fungsi pelaksanaan atau teknis. Meskipun birokrasi harus
bersikap netral atau bebas dari politik, namun mereka yang menduduki
jabatan tinggi tidak boleh melepaskan diri dari pengaruh politik. Seorang
birokrat tidak boleh mewakili kepentingan sesuatu partai, namun dia harus
dapat memahami orientasi politik partai-partai yang ada, sehingga dapat
mengambil keputusan yang mewakili semua aspirasi dalam masyarakat.
Sikap netral seorang pejabat tidak boleh diartikan bahwa keputusan yang
diambil harus lepas dari semua kepentingan partai, karena ini dapat berakibat
ruang gerak untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan menjadi sempit.
14
c. Analisis dan Formulasi Kebijakan
Analisis kebijakan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk
menjelaskan, menilai dan membuahkan pemikiran untuk memecahkan masalah
publik, Macrae dalam Rusdiana (2015: 69). Dalam analisis kebijakan, kata
analisis digunakan dalam pengertian yang luas, termasuk penggunaan intuisi dan
mengungkapkan pendapat dan tidak hanya menguji kebijakan melalui memilah-
milah kedalam sejumlah komponen-komponen tetapi juga perancangan dan
sintesis alternatif-alternatif baru. Kemudian menurut Stokey dan Zekhauser dalam
Rusdiana (2015: 69) menjelaskan bahwa, “analisis kebijakan adalah suatu proses
nasional dengan menggunakan metode dan teknik yang rasional pula”.
Selanjutnya mempersempit analisis kebijakan hanya untuk para pembuat
keputusan yang rasional sebagai penentu tujuan kebijakan dan yang menggunakan
proses logika dalam menelusuri cara terbaik untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Sabatier dalam Wahab, (2012:34) bahwa:
“Agar dapat menilai perkembangan sebuah kebijakan dengan baik, seseorang
harus mencermati kebijakan itu setidaknya selama satu dekade atau lebih.
Dalam penelitian seperti itu, unit analisisnya ialah subsistem kebijakan yang
terdiri atas koalisi advokasi yang saling bersaing atau interaksi antar aktor
dari beragam lembaga dan tingkatan pemerintahan yang tertarik terhadap
bidang kebijakan tersebut”.
Menurut Rusdiana (2015: 69) analisis kebijakan menggunakan dua
pendekatan berikut, yaiti: a) pendekatan deskriptif untuk menyajikan informasi
apa adanya pada pengambilan keputusan, agar pengambil keputusan memahami
permasalahan yang sedang di soroti dari suatu isu kebijakan. b) Pendekatan
normatife dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam
memberikan gagasan hasil pemikiran sehingga mampu memecahkan suatu
kebijakaan.
Analisis evaluasi kebijakan sering juga disebut analisis dampak kebijakan,
yang mengkaji akibat-akibat implementasi suatu kebijkan membahas hubungan
diantara cara yang digunakan dan hasil yang dicapai. Analisis kebijakan publik
berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan
15
sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik
tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada
permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi
kebijakan publik yang baru.
Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya
kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi
kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih
berkualitas. Dunn (2000:117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan
publik:
1) Analisis Kebijakan Prospektif
Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi
informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan.
Analisis kebijakan di sini merupakan suatu alat untuk mensintesakan
informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi
kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa
kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam
pengambilan keputusan kebijakan.
2) Analisis Kebijakan Retrospektif
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan
transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe
analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini
yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada
masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe
analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.
3) Analisis Kebijakan yang Terintegrasi
Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian
pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah
tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak
hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan
retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus
menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.
d. Peraturan Daerah
Otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos dan nomos. Autos
artinya sendiri, sedangkan nomos berarti hukum atau aturan. Sebagai istilah,
pengertian otonomi autos nomos atau autonomous dalam bahasa Inggris kata
sifat yang berarti: (1) keberadaan atau keberfungsian secara bebas atau
independen (functioning or existing independently); dan (2) memiliki
16
pemerintahan sendiri, sebagai negara atau kelompok dan sebagainya (of or
having self-government, as astate, group, etc.). Sedangkan pengertian
otonomi (autonomy) sebagai kata benda (noun) adalah (1) keadaan atau
kualitas yang bersifat independen, khususnya kekuasaan atau hak memiliki
pemerintahan sendiri (the power or right of having self-government); dan atau
(2) negara, masyarakat, atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri
yang independen (a self-governing state, community orgroup). Beranjak dari
rumusan pengertian otonomi tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi
daerah secara ringkas adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan
sendiri, atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat atau
independen.
Indonesia pada dasarnya menganut pemahaman otonomi daerah yang
bersifat administratif, yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi
pemerintahan sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANKRI). Dengan
demikian dalam konteks Indonesia, pengertian otonomi daerah menunjukkan
hubungan keterikatan antara daerah yang memiliki hak untuk
menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan kesatuan yang lebih besar
yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan berarti daerah
otonom yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan NKRI.
Dengan berlakunya otonomi daerah maka Pemerintah daerah berhak untuk
mengatur daerahnya sendiri dan membuat kebijakan lokal dengan tujuan
pengembangan dan pembangunan daerah. Salah satunya yaitu dengan
menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA). Peraturan daerah merupakan
bentuk nyata implementasi kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah
dalam mengatasi permasalahan yang ada maupun untuk mengembangkan
potensi daerahnya.
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (yang kemudian direvisi pada tahun 2004) yang
diimplementasikan sejak januari 2001, maka beberapa kewenangan daerah
dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah daerah (PEMDA). Mulai saat itulah
17
Pemda mempunyai kewenangan yang luar biasa untuk merencanakan,
merumuskan, melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang
sesuai dengan keperluan dan tuntutan masyarakat setempat (Agustinus, 2011 :
69). Sejak masa itu pemerintah daerah (Pemda) tidak lagi sekedar sebagai
pelaksana operasional kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan dan
ditentukan oleh pusat seperti pada zaman Orde Baru yang bersifat top-down
policy, tetapi telah menjadi agen penggerak pembangunan. Sekarang, melalui
otonomi daerah apapun yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dapat
dengan mudah dinilai bahkan dikritisi oleh masyarakat sendiri.
Peraturan daerah merupakan bentuk legitimasi Pemda untuk mencapai
tujuan-tujuan pembangunan daerah secara sah terhadap masyarakat lokal.
Tujuan-tujuan pembangunan daerah yang dilakukan salah satunya ialah
mengatasi persoalan masyarakat yang dianggap penting, yaitu penyediaan
sarana dan prasarana olahraga di Kabupaten Lombok Timur. Dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setidaknya ada
3 (tiga) jenis produk hukum daerah otonom. Dua produk hukum hasil
pengaturan dan sebuah produk hasil pengurusan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh pakar Otonomi Daerah Hoessein (2009:151-156), bahwa:
“Produk hukum hasil pengaturan adalah peraturan daerah (Perda) dan
peraturan kepala daerah, sedangkan sebuah produk hukum hasil
pengurusan adalah keputusan kepala daerah. Perda adalah keputusan
kepala daerah dengan persetujuan DPRD, sedangkan peraturan kepala
daerah adalah keputusan kepala daerah tanpa persetujuan DPRD.
Kedua produk hukum tersebut sebagai norma hukum umum dan
abstrak. Keputusan kepala daerah sebagai produk hukum pengurusan
adalah keputusan yang bersifat penetapan”.
Dalam hukum positif di Indonesia dibedakan beberapa produk hokum
daerah otonom, namun baik jenis maupun hierarkinya diatur secara berbeda
dalam peraturan perundang-undangan. Jenis dan kedudukan Perda dalam
hierarki perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Dalam ayat (1) Pasal 7
mengatur jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945(UUD 1945)
18
2) Undang-Undang (UU)/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
3) Peraturan Pemerintah (PP)
4) Peraturan Presiden (Perpres)
5) Peraturan Daerah (Perda).
Kelima produk diatas merupakan bentuk pertama kebijakan publik,
yaitu peraturan perundangan yang terkodifikasi secara formal dan legal.
Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat “lokal”
desa atau kelurahan adalah kebijakan publik karena mereka adalah aparat
publik atau administrator yang dibayar oleh uang publik melalui pajak dan
penerimaan Negara lainnya (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan
karenanya secara hukum formal bertanggung jawab kepada public (Nugroho,
2008: 62). Pada hakikatnya peraturan daerah dan kebijakan publik itu
memiliki pengertian yang hampir sama. Dimana keduanya merupakan suatu
alat intervensi pemerintah (lokal) yang bertujuan untuk mengubah kondisi
yang ada atau mempengaruhi arah dan kecepatan dari perubahan yang sedang
berlangsung dalam masyarakat guna mewujudkan kondisi yang dicita-
citakan. Intervensi itu dilakukan melalui suatu atau serangkaian strategi
kebijakan dengan menggunakan berbagai peralatan atau instrumen kebijakan.
Dalam hal ini, kondisi yang ada dan perubahan yang berlangsung yang ingin
dipengaruhi serta kemungkinan perubahan dari kecenderungan perubahan
yang ada itu, sangat bersifat spesifik.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PERDA adalah
produk hukum daerah otonom yang bersifat pengaturan. Dalam hal ini
Peraturan Daerah dibuat untuk mengatur orang atau sekelompok orang untuk
mencapai ke keadaan yang dinginkan. Secara prosedural, pembentukan perda
didahului dengan penyampaian rancangan peraturan daerah (Raperda) atas
prakarsa kepala daerah atau prakarsa DPRD.
2. Hakikat Olahraga
Olahraga saat ini sudah menjadi sebuah trend atau gaya hidup bagi
sebagian orang, bahkan untuk sebagian orang yang lain olahraga menjadi sebuah
19
kebutuhan mendasar dalam hidupnya. Olahraga yang sebelumnya dipandang
sebelah mata dan merupakan sebuah aktivitas rekreasi semata, seiring
perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan olahraga menjelma
menjadi sesuatu yang memiliki nilai vital dalam kehidupan sehari-hari umat
manusia. Olahraga menjadi sangat penting karena tidak terlepas dari kebutuhan
mendasar manusia itu sendiri yang pada prinsipnya selalu bergerak. Olahraga itu
sendiri merupakan serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk
memelihara dan meningkatkan kemampuan gerak yang bertujuan untuk
mempertahankan hidup serta meningkatkan kualitas hidup seseorang.
Tujuan seseorang berolahraga adalah untuk meningkatkan derajat sehat
dinamis (sehat dalam gerak), dan sehat statis (sehat dikala diam). Prestasi
melalui kegiatan olahraga pun menjadi suatu alasan sesorang menekuni
olahraga. Hal tersebut sejalan dengan isi Undang-undang RI nomor 3 tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang menyatakan bahwa “Olahraga
adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta
mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial”.
Olahraga bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa
memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan sebagainya.
Olahraga mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan bangsa.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mutohir (2005), hakekat olahraga adalah
sebagai refleksi kehidupan masyarakat suatu bangsa. Di dalam olahraga
tergambar aspirasi serta nilai-nilai luhur suatu masyarakat, yang terpantul lewat
hasrat mewujudkan diri melalui prestasi olahraga. Kita sering mendengar kata-
kata bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya dapat tercermin dari prestasi
olahraganya. Harapannya adalah olahraga di Indonesia dijadikan alat pendorong
gerakan kemasyarakatan bagi lahirnya insan manusia unggul, baik secara fisikal,
mental, intelektual, sosialnya serta mampu membentuk manusia Indonesia yang
sehat jasmani dan rohani seutuhnya.
Pemahaman tentang konsep olahraga dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi. Menurut Engkos Kosasih (1980:20) istilah sport berasal dari
bahasa Latin ”disportare” atau ”deporate” didalam bahasa Itali menjadi
20
”diporte” yang artinya penyenangan, pemeliharaan atau menghibur untuk
bergembira. Istilah olahraga dan sport itu berubah sepanjang waktu, namun
mempunyai pengertian yang sama yaitu esensi pengertiannya kebanyakan
berkaitan dengan 3 unsur pokok yaitu bermain, latihan fisik, dan kompetisi.
Sedangkan menurut Wirjasantosa (1984 : 21) olahraga berarti
memperkembangkan, memasak, mematangkan, menyiapkan manusia
sedemikian rupa, sehingga dapat melaksanakan gerakan-gerakan dengan efektif
dan efisien”. Nuansa usaha keras mengandung ciri permainan dan konfrontasi
melawan tantangan tercermin dalam definisi UNESCO tentang sport, yaitu
setiap aktifitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan
unsur-unsur dan orang lain ataupun diri sendiri. Dari beberapa uraian di atas
dapat ditarik kesimpulan. Olahraga (sport) tidak digunakan dalam pengertian
olahraga kompetitif yang sempit, karena pengertiannya bukan hanya sebagai
himpunan aktifitas fisik yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi
(informal) yang tampak dalam kebanyakan cabang-cabang olahraga namun juga
dalam bentuk yang mendasar seperti senam, latihan kebugaran jasmani atau
aerobik.
Olahraga juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan dalam olahraga yang
dimaksud adalah adanya aturan-aturan yang harus dipatuhi, baik itu dalam
olahraga yang bersifat play (bermain), games maupun sport. Aturan dalam
olahraga yang bersifat play, tidak terlalu ketat, karena play merupakan aktivitas
fisik yang bersifat sukarela dan dilakukan secara bebas. Misalnya ketika kita lari
di sore hari/ jogging, yang kita perhatikan adalah kita harus menggunakan
pakaian dan lari di tempat yang tidak mengganggu aktivitas orang lain.
Kemudian, olahraga yang bersifat games, aturannya sudah mulai ketat. Karena
dibuat oleh pemain yang akan melakukan permainan untuk ditaati bersama.
Misalnya, pada waktu kita ingin bermain bola voli dengan teman yang lain,
sebelum permainan dimulai, kita sudah menentukan kesepakatan atas aturan
yang akan kita gunakan, baik itu penentuan set, skor, jumlah pemain dan lain
sebagainya. Olahraga dalam bentuk sport, aturan yang harus dipatuhi sudah
sangat kompleks, dibuat secara formal oleh organisasinya. Misalnya dalam
21
permainan sepak bola atau pun permainan lainnya. Semua sudah ada
ketentuannya. Di situ sudah ada paraturan/pembatasan ruang, luas, jumlah
pemain dan aturan-aturan lain yang harus dipakai sesuai dengan kesepakatan
yang telah ditentukan sebelumnya. Di dalam olahraga, aturan-aturan yang telah
dibuat bukan merupakan suatu hal yang dapat menghambat pengembangan
kemampuan dalam berekspresi atau juga bukan merupakan pengekang
kebebasan, melainkan suatu bentuk tindakan untuk menjadikan olahraga itu
menjadi lebih baik, penuh dengan seni dan etika.
Pada zaman modern ini manusia telah berhasil mengembangkan berbagai
macam teknologi termasuk mengembangkan beberapa teknik olahraga, namun
dengan semakin berkembangnya teknologi justru sebagian manusia menjadi
korban dari perkembangan teknologi tersebut karena dengan semakin
berkembangnya teknologi maka akan mempermudah kinerja seseorang, dengan
kata lain teknologi akan mengurangi aktifitas fisik seseorang. Dengan
berkurangnya aktifitas fisik seseorang, maka akan berpengaruh terhadap
kebugaran tubuhnya dan nantinya akan berpengeruh juga terhadap aktifitas fisik
lainnya. Oleh karena hal tersebutlah disarankan untuk tetap menjaga kesehatan
dan kebugaran dengan berolahraga secara baik dan benar.
Aktivitas gerak sangat penting baik untuk kelangsungan hidup maupun
komunikasi dengan dewa, maka aktivitas fisik tersebut merupakan yang
terpenting untuk eksistensi manusia. Oleh karena itu, mereka mulai menyusun
struktur geraknya ke dalam bentuk-bentuk yang bermanfaat, tepat dan sadar.
Semua peristiwa penting dalam siklus kehidupan orang primitif yang memiliki
makna praktis dan religius disimbolkan dalam gerakan-gerakan tubuh yang
terstruktur. Di seluruh periode evolusinya, aktivitas fisik sangat penting untuk
kelangsungan hidup dan tetap penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
yang optimum. Harrow (1977 : 5) mengemukakan bahwa ada tujuh pola gerak
yang sangat penting untuk eksistensi orang primitif yang merupakan dasar
gerakan keterampilan. Aktivitas gerak ini adalah inheren dalam diri manusia,
yakni lari, lompat/loncat, memanjat, mengangkat, membawa, menggantung, dan
melempar. Hingga kini aktivitas fisik atau gerak, juga tidak dapat dipisahkan
22
dari kehidupan manusia, karena gerak dipandang sebagai kunci untuk hidup dan
untuk keberadaan dalam semua bidang kehidupan. Jika manusia melakukan
gerakan yang memiliki tujuan tertentu, maka ia mengkoordinasikan aspek-aspek
kognitif, psikomotor, dan afektif.
Olahraga juga sebagai sarana untuk pertukaran budaya dari berbagai
negara, berbagi informasi dan mengembangkan pemahaman budaya timbal
balik. Ini berarti olahraga sering menjadi barang ekspor budaya dari Negara
maju dan menyatu dengan hidup sehari-hari orang di negara lain. Partisipasi
even olahraga internasional sering bermakna bahwa negara lemah harus mencari
negara tangguh atau yang disebut adikuasa dalam olahraga untuk mendapat
bimbingan dan sumber daya. Menurut Adolf Ogi, mantan Presiden Swiss yang
kini bertugas sebagai penasehat khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mengenai olahraga untuk pembangunan dan perdamaian
menyatakan bahwa,“Nilai-nilai olahraga identik dengan nilai-nilai PBB.
Kegiatan olahraga perlu terus dipromosikan demi keselamatan umat manusia”.
Lebih lanjut Piere De Cerbertin dalam beberapa tulisannya menyatakan bahwa,
“Olympic Games bukan hanya event atletik saja, tetapi Olympic Games
merupakan inti dari gerakan sosial yang luas.
Melalui kegiatan olahraga akan meningkatkan pengembangan kualitas
sumberdaya manusia dan saling pengertian secara Internasional” IOC,Tode, Ian
Seagrave dalam Maksum, (2004). Moto Olimpik “Citius, Altius, fortius” (lebih
cepat, lebih tinggi, lebih kuat) telah menjadi suatu filsafat hidup, mengagungkan
dan mengkombinasi suatu keseluruhan yang seimbang, kualitas tubuh, akal dan
pikiran serta mencampur olahraga dengan kultur dan pendidikan sedangkan
Olympism mencari untuk menciptakan suatu jalan hidup berdasar pada
kegembiraan, nilai bidang pendidikan dari contoh dan rasa hormat yang baik
untuk prinsip etis pokok yang universal.
Adapun prinsip dasar paham Olimpik menurut Harsuki (2012 : 32-33)
sebagai berikut:
1) Paham Olimpik (Olympism) ialah suatu falsafah hidup yang
mengagungkan dalam suatu keseluruhan keseimbangan dan kualitas
badan, kemauan, dan jiwa (pikiran). Memadukan olahraga dengan budaya
23
dan pendidikan, paham olimpik mencari dan menciptakan suatu cara
hidup yang didasarkan atas kegembiraan berusaha, nilai pendidikan
dengan suatu contoh yang baik dan menghormati akan prinsip etis yang
fundamental serta berlaku umum.
2) Tujuaa dari paham Olimpik adalah menempatkan olahraga sebagai
pelayanan dari pengembangan manusia yang harmonis, dengan visi untuk
mempromosikan suatu masyarakat yang damai yang terkait dengan
pemeliharaan martabat manusia.
3) Gerakan Olimpik (Olympic Movement) ialah kesepakatan bersama,
diorganisasi, semesta, dan kegiatan tetap, yang dilaksanakan di bawah
otoritas tertinggi dari IOC, bagi semua individu yang diilhami oleh nilai-
nilai dari paham Olimpik, yang kejadiannya meliputi lima benua. Hal
tersebut akan mencapai puncaknya dengan membawakan secara bersama-
sama atlet dunia dalam suatu festival olahraga yang besar yaitu Olympic
Games. Simbolnya berupa lima lingkaran yang saling berkaitan.
4) Praktik melakukan olahraga merupakan hak asasi manusia. Setiap
individu harus memiliki kesempatan untuk berolahraga tanpa ada
diskriminasi apapun dan dalam semangat olimpik yang mensyaratkan
saling pengertian dengan semangat persaudaraan, solidaritas, dan fair
play. Organisasi, administrasi, dan manajemen olahraga harus dikontrol
oleh organisasi olahraga yang independen.
5) Segala bentuk diskriminasi yang berkaitan pada perorangan yang
didasarkan atas rasial, agama, politik, gender, atau lainnya yang
bertentangan dengan kepemilikan gerakan Olimpik.
6) Kepemilikan pada Gerakan Olimpik mewajibkan kepatuhan pada Piagam
Olimpik (Olympic Charter) dan pengakuan oleh IOC.
Perkembangan olahraga di Indonesia sendiri saat ini memang belum
mampu menghasilkan suatu perubahan pada masyarakat secara signifikan.
Selain prestasi olahraga Indonesia yang kian menurun sebagai dampak dari
adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, olahraga seakan-akan tidak
mendapat perhatian secara serius dari pemerintah dan apalagi masyarakat.
Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama telah
menyepakati Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Keolahragaan
Nasional. Petikan perundang-udangan keolahragaan itu mengamanatkan bahwa
masyarakat harus ikut serta dalam mengembangkan olahraga nasional, terutama
industri olahraga.
Sumber utama yang sering menjadi penghalang pembinaan prestasi
adalah ketidakmampuan organisasi dalam memperoleh dana pembinaan yang
tidak kecil jumlahnya. Mungkin sudah saatnya kita bercermin pada negara-
24
negara lain yang telah mampu mengelola olahraga sebagai sebuah industri. Salah
satu kunci keberhasilan adalah kemampuan mengemas olahraga menjadi
tontonan menarik dan layak jual. Atau, menjadikan olahraga sebagai suatu
kebutuhan yang senantiasa dicari. Hal ini dikarenakan bahwa keberhasilan
olahraga tidak bisa diukur dari berhasil tidaknya meraih medali, tetapi lebih
kepada kemampuan untuk menggerakkan olahraga itu menjadi tontonan yang
menghibur, menggembirakan, dan yang paling puncak adalah menjadi industri
olahraga.
Semboyan yang dikumandangkan setiap tanggal 9 September, yaitu
“memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” sangat baik bila
maknanya dapat diamalkan semua pihak. Bilamana olahraga benar-benar
memasyarakat dan masyarakat telah membutuhkan olahraga, institusi olahraga
dapat berharap akan memperoleh dana dari masyarakat. Dalam hal ini,
masyarakat tampaknya menjadi kata kunci keberhasilan pengelolaan olahraga
secara mandiri. Karena itu, masyarakat inilah yang harus digarap terlebih dulu.
Sebagian besar dari masyarakat kita lebih senang bila dapat menyaksikan
tontonan dengan gratis. Mereka yang biasa disebut kalangan atas gemar
dimanjakan dengan tiket gratis, sementara masyarakat bawah berupaya
menerobos pintu gerbang atau memanjat pagar agar dapat menikmati tontonan
secara gratis. Simpulannya, masyarakat kita masih sangat menikmati dan merasa
bangga apabila dapat menonton suatu pertandingan akbar dan bergengsi secara
gratis.
Pengembangan olahraga di Indonesia harus dilaksanakan secara
berkesinambungan, terprogram, dan menuntut kerja keras agar tercapainya
prestasi dan budaya olahraga guna meningkatkan kualitas manusia Indonesia
yang memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang baik. Pembinaan olahraga
dimulai sejak usia dini baik pada lembaga non formal maupun lembaga formal,
karena telah dirasakan bahwa olahraga akan dapat memberikan sumbangan yang
berarti terhadap seluruh elemen kehidupan manusia. Pemerintah bahkan
menjadikan olahraga sebagai pendukung terwujudnya manusia Indonesia yang
sehat dengan menempatkan olahraga sebagai salah satu arah kebijakan
25
pembangunan yang dituangkan dalam Tap MPR No.IV/MPR/1999 (GBHN)
yaitu menumbuhkan budaya olahraga guna meningkatkan kualitas manusia
Indonesia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup.
Pembangunan olahraga pada dasarnya adalah upaya yang diarahakan
dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan olahraga.
Sejalan dengan itu, pembangunan olahraga seyogyanya harus dilakukan sesuai
dengan kondisi serta karakteritik masyarakat dan lingkungan masyarakat yang
akan menjadi sasaran atau target pembangunan. Partisipasi masyarakat dapat
dilihat dari beberapa aspek, yaitu: tingkat dan pola partisipasi masyarakat dalam
berolahraga, tujuan dan motivasi berolahraga, dan karakteristik kegiatan
olahraga masyarakat yang meliputi jenis olahraga, jalur olahraga yang
digunakan dan frekuensi serta intensitas berolahraga.
Tujuan akhir pembinaan olahraga itu tidak lain untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, sehingga secara konsisten perlu menempatkan
olahraga sebagai bagian integral dari pembangunan. Dengan demikian, olahraga
ditempatkan bukan sekadar merespons tuntutan perubahan sosial, ekonomi, dan
budaya, tetapi ikut bertanggung jawab untuk memberikan arah perubahan yang
diharapkan.
Keteguhan terhadap komitmen ini didukung oleh begitu banyak fakta dan
pengalaman bahwa olahraga yang dikelola dan dibina dengan baik akan
mendatangkan banyak manfaat bagi warga masyarakat. Seperangkat nilai dan
manfaat dari aspek sosial, kesehatan, ekonomi, psikologis dan pedagogis
merupakan landasan yang kuat untuk mengklaim bahwa olahraga merupakan
instrumen yang ampuh untuk melaksanakan pembangunan yang seimbang antara
material, mental, dan spiritual.
Menurut Direktorat Jendral Olahraga (2004) bahwa, ada beberapa
indikator yang menjadi dasar maju-mundurnya masyarakat untuk melakukan
kegiatan olahraga. Indikator-indikator tersebut meliputi partisipasi
(partisipation), ruang terbuka (open spece), kebugaran jasmani (physical fitness),
dan sumberdaya manusia (human resources). Keempat indikator tersebut
memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena apabila salah satu
26
indikator ini tidak ada ataupun kurang memadai, maka akan terjadi kepincangan
dalam perkembangan olahraga di suatu daerah.
a. Pengertian Olahraga
Tidak mudah merumuskan pengertian sport (olahraga) itu sendiri, istilah
sport berasal dari kata desport yang berarti dalam bahasa Prancis kuno, yaitu
seluruh sarana yang memberikan ruang waktu yang menyenangkan baik dalam
bentuk percakapan, hiburan, senda gurau, dan permainan. Kata kerja sport
adalah se desporter yang berarti melompat-lompat kegirangan atau bersenang-
senang. Kata desport diambil oleh bangsawan inggris dan berubah menjadi
disport pada abad ke-14 dan kemudian mendapatkan bentuknya seperti saat ini,
yaitu sport.
Pada masa itu sport diartikan sebagai aktifitas yang sangat
menyenangkan dari golongan bangsawan sebagai bagian dari gaya hidupnya
yang khusus. Selanjutnya sport mencakup beberapa permainan yang lebih
populer dengan tetap mempertahankan acuannya kepada jiwa aristokratik dan
untuk kesenangan. Di Prancis pada tahun 1820-an, istilah sport pada mulanya
berarti pacuan kuda, serta beberapa permainan yang bersifat konfrontasi seperti
tinju. Tahun 1873 , pengertian sport dipakai untuk menunjukkan latihan di alam
terbuka, seperti pacuan kuda, dayung, berburu, memancing, panahan, senam,
dan anggar (Pandjaitan, 2011: 129).
Sementara itu di Indonesia sendiri pengertian olahraga (sport)
dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005
Tentang Sistem Keolahragaan Nasianal pasal 1 ayat 4 dijelaskan bahwa definisi
olahraga, adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina,
serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial. Rumusan dari
pengertian ini sangat luas maknanya, karena tidak disebutkan apakah aktivitas
yang dimaksudkan sebagai olahraga. Kata kuncinya adalah segala kegitan yang
sistematis. Dengan demikian rumusan ini memperlihatkan bahwa aktivitas
olahraga yang dimaksud sepanjang tujuannya yaitu tujuanya untuk mendorong,
membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.
27
b. Ruang Lingkup Olahraga
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional Bab II Pasal 4 menetapkan bahwa keolahragaan nasional bertujuan
memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebugaran, prestasi, kualitas manusia,
menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan
membina persatuan dan kesatuan bangsa memperkokoh ketahanan nasional, serta
mengangkat, harkat, martabat dan kehormatan bangsa. Kemudian pada Bab VI
Pasal 17, Ruang lingkup olahraga itu sendiri mencakup tiga pilar yaitu olahraga
pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Ketiga pilar olahraga ini
dilaksanakan melalui pembinaan dan pengembangan olahraga secara terencana,
sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan, yang dimulai dari pembudayaan
dengan pengenalan gerak pada usia dini, pemassalan dengan menjadikan
olahraga sebagai gaya hidup, pembibitan dengan penelusuran bakat dan
pemberdayaan sentra-sentra keolahragaan, serta peningkatan prestasi dengan
pembinaan olahraga unggulan nasional sehingga olahragawan andalan dapat
meraih puncak pencapaian prestasi.
1) Olahraga Pendidikan
Olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang
dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan
berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan,
kesehatan, dan kebugaran jasmani. Olahraga pendidikan diselenggarakan
sebagai bagian proses pendidikan, dilaksanakan baik pada jalur pendidikan
formal maupun non formal, biasanya dilakukan oleh satuan pendidikan pada
setiap jenjang pendidikan, guru pendidikan jasmani dengan dibantu oleh
tenaga olahraga membimbing terselenggaranya kegiatan keolahragaan.
Di sekolah atau satuan pendidikan, penjasorkes berperan penting, hal
ini terkait dari dua hal, yakni sisi pendidikan jasmani yang mengarah kepada
aspek edukatif dan sisi olahraga yang mengarah kepada aspek prestasi. Kedua
hal ini merupakan hal yang inheren dalam penjasorkes, karena disitulah
ditempa pribadi peserta didik agar memiliki jasmaniah dan rohaniah yang
sehat, segar, dan sekaligus memungkinkan untuk prestasi, tentu saja termasuk
28
prestasi di bidang olahraga. Disamping itu, masih ada dimensi terpendam
pendidikan jasmani yang bisa mengembangkan dan membentuk kemampuan
serta kepribadian setiap individu misalnya sikap, semangat, emosi, kejiwaan
dan sebagainya.
Adapun ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan jasmani, olahraga
dan kesehatan (Penjasorkes) sesuai Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) Tahun 2006 adalah sebagai berikut:
a) Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan.
eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor, dan
manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket,
bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta
aktivitas lainnya
b) Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen
kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya
c) Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa
alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya
d) Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam
aerobic serta aktivitas lainnya
e) Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan
bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya
f) Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan
lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung.
g) Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap
sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan
minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu
istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS.
Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit
masuk ke dalam semua aspek.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap pendidikan jasmani
dan olahraga penting karena dapat mendukung bagi pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs) dibidang kesehatan, pendidikan, dan
kemiskinan. Dalam hal ini penjasorkes dapat menjadi instrumen yang efektif
bagi penanggulangan dan peningkatan secara tidak langsung masalah
kesehatan dan kemiskinan. Misalnya, olahraga dapat menyumbang atau
berpengaruh kepada meningkatnya kebugaran masyarakat. Di Indonesia lebih
dikenal dengan nama Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
(Penjasorkes), hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan dalam Standar
29
Nasional Pendidikan (PP RI No. 19 Tahun 2005 pasal 7 ayat 8 dalam
Sugiyanto 2012 ). Selanjutnya dijelaskan bahwa Pendidikan Jasmani,
Olahraga dan Kesehatan di dalamnya terkandung 3 (tiga) komponen isi yang
seharusnya ada, yaitu: Pendidikan Jasmani; Pendidikan Olahraga; dan
Pendidikan Kesehatan.
a) Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani memiliki kajian tersendiri namun sebenarnya
merupakan satu kesatuan dalam konsep Penjasorkes. Definisi Pendidikan
Jasmani menurut Charles A. Bucher dalam Sugiyanto (2012) menyatakan
“Pendidikan Jasmani, suatu bagian integral dari proses pendidikan total ,
adalah suatu bidang upaya yang bertujuan mengembangkan warga
negara yang segar (fit) secara fisik, mental, emosi dan sosial melalui
medium aktivitas fisik yang dipilih sesuai sudut pandang perealisasian
tujuan tersebut.
Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang
melibatkan aktifitas fisik dengan alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Lutan (1998: 113) “Pendidikan Jasmani adalah proses
pendidikan via aktivitas jasmani, permainan dan/atau cabang olahraga
yang terpilih dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan”.
Tujuan yang ingin dicapai bersifat menyeluruh, mencakup aspek fisik,
intelektual, emosional, sosial dan moral. Berkenaan dengan aspek fisik,
tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk memperkaya
perbendaharaan gerak dasar anak-anak dengan aktivitas fisik, sesuai
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.
Sebagai alat pendidikan, pendidikan jasmani bukan hanya
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan jasmani siswa, tetapi
melalui aktivitas jasmani dikembangkan pola potensi lainnya, seperti
kognitif, afektif dan psikomotor anak. Pendidikan jasmani berperan
penting terhadap pencapaian tujuan belajar mengajar secara keseluruhan.
Melalui pendidikan jasmani diharapkan dapat merangsang perkembangan
dan pertumbuhan jasmani siswa, merangsang perkembangan sikap,
30
mental, sosial, emosi yang seimbang serta keterampilan gerak siswa.
Menurut Depdiknas, (2003) mengemukakan bahwa “Pendidikan jasmani
merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang
direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perceptual,
kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
Pendidikan jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada
penguasaan gerak manusia.
Tidak dipungkiri bahwa dalam menjalankan proses pendidikan
Jasmani di sekolah, guru mengalami banyak kendala misalnya
keterbatasan sarana dan prasarana olahraga. Dengan kondisi tersebut,
guru penjasorkes dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif. Model-model
pembelajaranpun banyak dibuat untuk menanggulangi keterbatasan
tersebut. Salah satu bentuk pembelajaran tersebut berkonsep pada joyful
learning atau belajar yang menyenangkan. Desain atau rancangan
pembelajaran tersebut kemudian dielaborasi konsepnya menjadi konsep
PAIKEM yaitu Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
menyenangkan (Kristiyanto 2012 : 15-16).
b) Pendidikan Olahraga
Pendidikan olahraga merupakan sebuah konsep hasil
pengembangan dari Penjasorkes dimana memiliki tujuan yang lebih
spesifik yaitu mengarah kepada prestasi olahraga dari peserta didik.
Olahragawan yang pintar berarti memahami nilai-nilai peraturan, tatacara
dan tradisi dalam olahraga dan dapat membedakan antara praktik
olahraga yang baik dan yang buruk baik pada anak-anak atau
olahragawan profesional. Olahragawan yang antusias berarti
berpartisipasi dan berperilaku dalam cara yang memelihara, melindungi
dan mempertinggi budaya olahraga. Sebagai anggota kelompok olahraga
turut mengembangkan olahraga pada tingkat lokal, nasional dan
internasional.
31
Pembinaan olahraga yang dilakukan secara sistematis, tekun dan
berkelanjutan pada pelajar SD, SMP dan SMA diharapkan akan
menghasilkan prestasi yang tinggi. Dengan dimulainya pembinaan
olahraga pada usia muda, akan terwujud dalam proses awal dari
pembinaan olahraga sendiri dimulai dari pembinaan pelajar yang salah
satunya dengan cara pemanduan bakat pada usia dini. Usia anak Sekolah
Menegah Pertama merupakan masa-masa yang strategis dalam upaya
pembinaan olahraga, karena pada masa ini anak-anak masih mempunyai
waktu dan kesempatan yang cukup panjang, sehingga dapat meraih
prestasi yang maksimal dikemudian hari.
Dalam penerapan olahraga pendidikan seorang guru Penjasorkes
di sekolah harus diperhatikan porsi latihan atau aktivitas fisik yang
diberikan kepada peserta didik. Pada usia anak-anak, aktivitas fisik harus
benar-benar diperhitungkan dengan baik karena jika porsi yang diberikan
berlebihan maka dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak
itu sendiri. Program latihan atau pembelajaran yang diberikan harus
disesuaikan dengan usia dan kemampuan masing-masing anak.
Rekomendasi yang diberikan oleh Federasi Sports Medicine Australia
dalam Giriwijoyo dan Sidik (2012 : 76) untuk olahraga (lari) aerobik
bagi anak-anak sebagai berikut:
Tabel 2.1. Rekomendasi Aktivitas Fisik Aerobik (lari)
Usia di Bawah Jarak Lari Tidak Boleh Lebih Dari
12 tahun
15 tahun
15-16 tahun
16-18 tahun
18 tahun
5 km
10 km
20 km
30 km
Marathon
Sumber: Federasi Sport Medicine Australia dalam
Giriwijoyo dan Sidik, (2012: 76)
32
c) Pendidikan Kesehatan.
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap aktivitas
kehidupan dimana kesehatan harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Cara
termurah untuk menjaga kesehatan adalah dengan berolahraga. Menurut
Lutan (1995:50-51) bahwa upaya pembinaan kesehatan pada dasarnya
hanya terdiri atas dua bidang garapan yaitu: (1) pembinaan kesehatan
pada faktor manusia dan (2) pembinaan kesehatan pada faktor
lingkungan.
Slogan yang berbunyi “kesehatan merupakan harta yang paling
berharga” adalah benar adanya. Banyak orang yang tidak perduli akan
kesehatan bahkan tidak mementingkan kesehatan untuk dirinya sendiri.
Ketidaktahuan akan cara yang benar untuk menjaga kesehatan menjadi
salah satu faktor penyebabnya. Kehidupan sekolah yang terlalu
membebankan kepada tugas-tugas berkombinasi pula dengan kehidupan
di rumah dan lingkungan luar sekolah. Jika di sekolah anak kurang
bergerak, di rumah keadaannya juga demikian. Kemajuan teknologi yang
dicapai pada saat ini, malah menjebak anak-anak ke dalam lingkungan
kurang gerak. Anak semakin asyik dengan kesenangannya seperti
menonton TV atau bermain video game. Tidak mengherankan bila ada
kerisauan bahwa kebugaran anak-anak semakin menurun.
Seiring semakin rendahnya kebugaran jasmani, kian meningkat
pula gejala penyakit hipokinetik (kurang gerak) seperti kegemukan,
tekanan darah tinggi, kencing manis, nyeri pinggang bagian bawah,
adalah contoh dari penyakit kurang gerak . Akibatnya penyakit jantung
tidak lagi menjadi monopoli orang dewasa, tetapi juga sudah menyerang
pada anak-anak. Sejalan dengan itu, pengetahuan dan kebiasaan makan
yang tidak sehatpun semakin memperburuk masalah kesehatan anak-
anak. Dengan pola gizi yang tidak seimbang, mereka menghadapkan diri
mereka sendiri pada resiko penyakit degenaratif (menurunnya fungsi
organ) yang semakin besar. Sangat penting untuk menjaga kesehatan
baik jasmani maupun rohani oleh karena itu pendidikan kesehatan
33
menjadi sangat krusial khususnya untuk pelajar di sekolah. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Giriwijoyo dan Sidik (2012 : 28) bahwa,
“Olahraga kesehatan meningkatkan derajat sehat dinamis (sehat
dalam gerak), pasti juga sehat statis (sehat dikala diam), tetapi tidak
pasti sebaliknya. Gemar berolahraga: mencegah penyakit, hidup sehat
dan nikmat. Malas berolahraga: mengundang penyakit. Tidak
berolahraga: menelantarkan diri”.
Pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan kajian yang
bersifat multidisiplin. Isinya diambil dari banyak bidang ilmu antara lain
kedokteran, kesehatan masyarakat, kejasmanian, psikologi, biologi dan
sosiologi. Lingkup kajiannyapun luas yang mencakup antara lain hakekat
sehat dan penyakit, kegizian, pencegahan cedera, pertolongan pertama
pada kecelakaan, pencegahan penggunaan narkotika dan obat-obat
terlarang, hakekat perilaku dan kebiasaan hidup sehat dan pemeliharaan
kesehatan. Aspek layanan yang termasuk didalamnya meliputi
penanganan kehidupan sekolah yang sehat, layanan kesehatan dan
pengajaran kesehatan (Sugiyanto, 2012)
2) Olahraga Prestasi
Olahraga prestasi merupakan sebuah olahraga yang membina dan
mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan
berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan
ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Selain itu juga dalam
pengembangan olahraga perlu dilakukan sebuah pendekatan keilmuan yang
menyeluruh dengan jalan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan adalah
peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan teknologi yang bertujuan
memanfaatkan kaedah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti
kebenarannya untuk peningkatan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru
bagi kegiatan keolahragaan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kristiyanto (2012:12), yang
menyatakan bahwa “Dalam lingkup olahraga prestasi, tujuannya adalah
34
untuk menciptakan prestasi yang setinggi-tingginya. Artinya bahwa berbagai
pihak seharusnya berupaya untuk mensinergikan hal-hal dominan dalam
menentukan prestasi gemilang”.
Sudut pandang teknologi berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip
teknik, termasuk mekanika gerak yang terbungkus dalam kajian biomekanika,
dalam bentuk analisis efisien gerak, momentum, akselerasi, dan sebagainya.
Teknologi juga berarti pemutakhiran peralatan-peralatan olahraga yang sesuai
dengan kaidah mekanika gerak tubuh manusia. Telaahan sosiologis perlu
dilakukan dalam upaya membantu mensosialisasikan olahraga kepada
berbagai tingkatan usia dan golongan. Teori struktural fungsionalisme,
konflik, dan kritik perlu dimanfaatkan untuk memantapkan posisi olahraga di
masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dengan mudah segala
kebutuhan untuk berolahraga. Gerakan sosialisasi olahraga perlu dilakukan
agar masyarakat dapat memahami makna dan tujuan olahraga sebenarnya.
Untuk mendapatkankan atlet berprestasi, disamping proses latihan
yang harus dijalankan dengan baik, perlu juga dibarengi dengan menciptakan
kompetisi-kompetisi agar proses latihan yang diterapkan dapat diuji dan
dievaluasi melalui kompetisi-kompetisi yang ada. Oleh karena itu semakin
besar volume dan frekuensi kejuaraan/kompetisi, maka semakin besar
peluang untuk menghasilkan atlet berprestasi.
Para pemerhati olahraga Indonesia harus segera menyatukan suara
dalam membangun olahraga di Indonesia. Salah satunya adalah menetapkan
National Sport Policy yang akan menjadi acuan bersama, tanpa melihat siapa
yang menjadi penguasaannya, serta menciptakan situasi konduksif untuk
efisiensi dan efektivitas penerapan kebijakan olahraga itu sendiri.
Membangun strategi pembinaan olahraga secara nasional memerlukan
waktu dan penataan sistem secara terpadu. Pemerintah dalam hal ini adalah
Kemenpora tidak dapat bekerja sendiri tanpa sinergi dengan kelembagaan
lain yang terkait dengan pembinaan sistem keolahragaan secara nasional.
Penataan olahraga prestasi harus dimulai dari permasalahan olahraga di
masyarakat yang diharapkan akan memunculkan bibit-bibit atlet berpotensi
35
dan ini akan didapat pada atlet yang dimulai dari usia sekolah.
Inteligensi juga harus diteliti pada saat merekrut calon atlet yang
masih anak-anak. Apakah anak itu cukup cerdas dalam mengambil keputusan
singkat pada saat bertanding dalam suasana menekan dan apakah aspek
psikologinya juga tangguh untuk mendukungnya mempunyai mental juara
sejati, bukan mental pecundang yang sombong dan angkuh dan hanya
berorientasi uang. Setelah aspek-aspek itu terpenuhi, pembinaan dilakukan
menggunakan teknologi olahraga untuk pembentukan fisik, psikologi dan
rohani. Harus ada keseimbangan juga antara latihan spartan dan istirahat.
Oleh karena itu penataan harus dilakukan secara terpadu dan berjenjang
sehingga hasil yang dicapai merupakan produk yang sangat optimal.
Untuk dapat menggerakkan pembinaan olahraga harus
diselenggarakan dengan berbagai cara yang dapat mengikutsertakan atau
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat umum untuk turut
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga secara aktif, berkesinambungan, dan
penuh kesadaran akan tujuan olahraga yang sebenarnya. Pembinaan olahraga
yang seperti ini hanya dapat terselenggara apabila ada suatu system
pengelolaan keolahragaan nasional yang terencana, terpadu, dan
berkesinambungan dalam semangat kebersamaaan dari seluruh lapisan
masyarakat. Pembinaan atlet usia pelajar sering kali tidak terjadi
kesinambungan dengan pembinaan cabang olahraga prioritas. Hal ini bisa
dilihat dari berbagai cabang olahraga yang merupakan andalan untuk meraih
medali emas tidak dibina secara berjenjang. Untuk itu perlu dilakukan
penyusunan program pembibitan atlet dari usia dini dengan cabang olahraga
yang menjadi prioritas. Sebagai langkah berikutnya perlu melakukan kerja
sama antara Menteri Pemuda dan Olahraga dengan Komite Olahraga
Nasional Indonesia Pusat serta Induk Organisasi Cabang Olahraga untuk
membicarakan cabang-cabang olahraga yang menjadi prioritas utama baik di
daerah, nasional, maupun Internasional.
3) Olahraga Rekreasi
Olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan oleh masyarakat
36
dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai
dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan,
kebugaran, dan kegembiraan. Pada pasal 19 Bab VI UU nomor 3 tahun 2005
dinyatakan bahwa “olahraga rekreasi bertujuan untuk memperoleh kesehatan,
kebugaran jasmani dan kegembiraan, membangun hubungan sosial dan atau
melestarikan dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional”.
Selanjutnya dinyatakan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat berkewajiban menggali, mengembangkan dan memajukan
olahraga rekreasi.
Kristiyanto (2012 : 6) menyatakan bahwa “olahraga rekreasi terkait
erat dengan aktivitas waktu luang dimana orang bebas dari pekerjaan rutin.
Waktu luang merupakan waktu yang tidak diwajibkan dan terbebas dari
berbagai keperluan psikis dan sosial yang telah menjadi komitmennya”.
Sedangkan Menurut Aip Syaifuddin (1990) olahraga rekreasi adalah jenis
kegiatan olahraga yang dilakukan pada waktu senggang atau waktu-waktu
luang. Sementara Haryono (1974:10), menjelaskan bahwa “Olahraga rekreasi
adalah kegiatan “fisik” (khususnya olahraga) yang dilakukan pada waktu
senggang berdasarkan keinginan atau kehendak pribadi yang timbul (motivation)
karena memberikan kepuasan dan kesenangan”.
Kegiatan yang umum dilakukan untuk rekreasi adalah pariwisata,
olahraga, permainan, dan hobi dan kegiatan rekreasi umumnya dilakukan
pada akhir pekan. Secara psikologi banyak orang di lapangan yang merasa
jenuh dengan adanya beberapa kesibukan dan masalah, sehingga mereka
membutuhkan istirahat dari bekerja, tidur dengan nyaman, bersantai sehabis
latihan, keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan, mempunyai teman
bekerja yang baik, kebutuhan untuk hidup bebas, dan merasa aman dari
resiko buruk. Melihat beberapa pernyataan di atas, maka rekreasi dapat
disimpulkan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sebagai pengisi waktu
luang untuk satu atau beberapa tujuan, diantaranya untuk kesenangan,
kepuasan, penyegaran sikap dan mental yang dapat memulihkan kekuatan
baik fisik maupun mental.
37
Beragam jenis olahraga rekreasi, yang merupakan kekayaan asli dan
jati diri bangsa Indonesia perlu dilestarikan, dipelihara dan diperkenalkan
kepada generasi muda penerus, serta didokumentasikan dengan serius dan
cermat, sehingga asset budaya dan jati diri bangsa Indonesia tidak hilang atau
diakui oleh bangsa lain. Disamping itu, gerakan “Sport for All” yang
menjadikan olahraga sebagai bagian dari upaya mendukung pembangunan
kualitas sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan dan kebugaran
masyarakat, serta aspek lain yang dibutuhkan oleh pembentukan karakter dan
jati diri suatu bangsa, menjadikannya sebagai kekuatan yang ampuh dalam
upaya mempersatukan bangsa Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Guna mendukung upaya dan semangat kebangkitan bangsa Indonesia
yang dimulai sejak peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional tahun 2008,
maka Kebangkitan Olahraga Nasional melalui upaya pemberdayaan dan
pengembangan olahraga rekreasi dan gerakan “Sport for All” di Indonesia,
menjadi salah satu solusi dan cara yang tepat untuk mendorong percepatan
Kebangkitan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sehat, bugar, produktif,
kuat, mandiri, demokratis, berjati diri dan berdaya saing di era globalisasi.
Atas dasar pemikiran tersebut, Visi “Indonesia Bugar 2020” harus
dapat dijabarkan melalui penyelenggaraan event berskala nasional yaitu
Kongres Nasional Pengembangan Olahraga Rekreasi dan “Sport for All” di
Indonesia dan sekaligus didukung oleh seluruh jajaran dan jejaring Olahraga
Rekreasi di Indonesia yang berhimpun dalam Federasi Olahraga Rekreasi
Masyarakat Indonesia (FORMI), yang akan mengindentifikasi dan
menginventarisasi segenap potensi yang terkait, serta menentukan peran, arah
dan sasaran pengembangan olahraga rekreasi dan “Sport for All” di
Indonesia dalam sepuluh tahun kedepan.
3. Kebijakan Pemerintah Bidang Olahraga
Kebijakan pemerintah dalam bidang keolahragaan diposisikan pada
upaya-upaya memotivasi dan memfasilitasi agar masyarakat dari berbagai
38
lapisan usia gemar berolahraga dan menjadikan olahraga sebagai salah satu gaya
hidup sehat yang harus digalakkan. Dalam rangka meningkatkan budaya
olahraga sebagai bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan
nasional, keberadaan dan peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara harus mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan
sektor pembangunan lainnya terutama untuk meningkatkan kesehatan,
kebugaran, pergaulan sosial, dan kesejahteraan individu, kelompok, atau
masyarakat pada umumnya secara terencana dan sistemik.
Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah haruslah memenuhi
kriteria-kriteria karakteristik sebagaimana yang di sebutkan oleh Mazmanian dan
Sabatier dalam Subarsono, (2015:97-98) bahwa kebijakan harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1) Kejelasan isi kebijakan
Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan akan mudah
diimplementasikan, karena implementor mudah memahami dan
menterjemahkandalam tindakan nyata. Sebaliknya ketidakjelasan isi
kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi
kebijakan.
2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis.
Kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebih mantap karena
sudah teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan social tertentu perlu
ada modifikasi.
3) Besarnya alokasi sumber daya finansial dalam kebijakan tersebut.
Sumber daya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial.
Setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitoring
program, yang semuanya itu perlu biaya.
4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi
pelaksana. Kegagalan program sering disebpkan kurangnya koordinasi
vertikal dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi
program.
5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.
6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
Kasus korupsi yang terjadi di Negara-Negara Dunia Ketiga, khususnya di
Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat
untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program.
7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam
implementasi kebijakan.
Suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk
terlibat akan relatife mendapat dukungan daripada program yang tidak
39
melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa asing apabila hanya
menjadi penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.
Bukan hanya itu saja tetapi sebuaah kebijakan yang nantinya akan di
implementasikan sebaiknya memperhatikan lingkungan dimana nantinya
kebijakan tersebut akan diterapkan. Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam
Subarsono, (2015:98) menyebutkan ada 5 (Lima) lingkungan kebijakan yaitu:
1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.
Masyarakat yang sudah terbuka atau terdidik akan relatip mudah
menerima program-program pembaruan dibandingkan dengan masyarakat
yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga kemajuan teknologi
akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi program, karena
program-program tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan
dengan teknologi modern.
2) Dukungan public terhadap sebuah kebijakan. Kebijakan yang
memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik.
Sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-insentif seperti kenaikan harga
BBM atau kenaikan pajak akan kurang mendapatkan dukungan
masyarakat.
3) Sikap dari kelompok pemilih (constituenciy groups). Kelompok pemilih
yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan
melalui melalui berbagai cara antara lain: (1) kelompok pemilih dapat
intervensi terhadap keputusan yang di buat badan-badan pelaksanaan
melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan;
(2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang di
publikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksan, dan membuat
pernyataanyang ditujukan kepada badan legislatif.
4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor. Pada
akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang
telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial.
Aparat badan pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat
40
prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.
Dalam pembangunan olahraga, hasil utama yang telah dicapai adalah
terumuskannya konsep kebijakan yang mendukung perkembangan olahraga
nasional dan pedoman mekanisme pembinaan olahraga dan kesegaran jasmani;
serta tersusunnya Rancangan Undang-Undang Olahraga untuk mendukung
perkembangan olahraga nasional, dan tersusunnya Sport Development Index
(SDI).
Permasalahan dan tantangan program pembangunan pemuda dan
olahraga adalah lemahnya sumber daya manusia di bidang pemanduan bakat,
lemahnya manajemen olahraga, kurang intensifnya upaya-upaya pembibitan,
menurunnya pembinaan dan kurangnya penerapan dan pemanfaatan iptek secara
tepat dan benar dalam olahraga, minimnya sarana dan prasarana umum untuk
berolahraga sehingga masyarakat enggan berolahraga, kurangnya kompetisi
olahraga baik dalam skala regional maupun nasional, masih rendahnya tingkat
pendidikan dikalangan pemuda dan minimnya ruang-ruang publik bagi kalangan
pemuda untuk mengekspresikan dirinya.
Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan pemuda dan olahraga
adalah melaksanakan peningkatan kapasitas (capacity building) dibidang
pembangunan olahraga, mengembangkan olahraga rekreasi, olahraga lanjut usia,
olahraga penyandang cacat, dan olahraga tradisional, melakukan pembinaan
olahraga usia dini, kelas olahraga, klub olahraga pelajar dan mahasiswa, dan
kelompok berlatih olahraga, melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga
pelajar secara berjenjang dan teratur dalam rangka menanamkan disiplin, nilai-
nilai portivitas, dan menggali bakat olahraga, meningkatkan kepedulian
masyarakat dan dunia usaha mengenai pentingnya dukungan pendanaan
olahraga terutama olahraga prestasi, meningkatkan keterampilan kerja pemuda,
mengembangkan kewirausahaan pemuda, meningkatkan partisipasi lembaga
kepemudaan dalam pembangunan ekonomi, memperluas kesempatan pemuda
terdidik untuk berpartisipasi dalam pembangunan di pedesaan, mengembangkan
jaringan kerjasama pemuda antar daerah, antar provinsi dan antar bangsa,
41
meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan masalah
penyalahgunaan narkoba, minuman keras (miras), penyebaran penyakit
HIV/AIDS serta penyakit menular seksual, dan kriminalitas di kalangan pemuda.
Dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, merupakan dasar bagi setiap
Pemerintah Daerah untuk selalu menaati dan melaksanakan isinya sehingga apa
yang dicita-citakan oleh Pemerintah, khususnya dalam bidang olahraga dapat
dicapai secara maksimal. Sehingga dapat menjadikan bangsa Indonesia memiliki
kebugaran jasmani yang baik serta memiliki etos kerja tinggi. Hal inilah yang
akan mampu menyokong bangsa Indonesia agar tidak kalah saing dengan bangsa
lain dalam menghadapi era globalisasi seperti yang berjalan pada saat sekarang
ini.
Selain dibuatnya Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2005
Tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Pemerintah juga mebuat beberapa
kebijakan yang tertuang baik itu dalam bentuk Undang-undang, peraturan
Pemerintah, peraturan Presiden, maupun dalam bentuk Anggaran Dasar dan
Anggaraan Rumah Tangga (ADART) KONI, sehingga tidak ada alasan bagi
pemerintah daerah untuk tidak memperhatikan kemajuan olahraga di daerahnya
masing-masing. Adapun landasan hukum yang menjadi dasar bagi pemerintah
ataupun pelaku olahraga lain dalam membina olahraga adalah:
a. Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pekan dan Kejuaraan Olahraga;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan
Keolahragaan;
f. Anggaran Dasar dasn Anggaran Rumah Tangga KONI Tahun 2013.
42
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional pada Bab V dengan sangat jelas sekali
bahwa pemerintah maupun pemerintah daerah diberikan tugas, wewenang dan
tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 12 ayat 2 bahwa “
Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan
mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta
melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah. Kemudian dalam
pasal 13 ayat 2 juga mennyebutkan bahwa ”Pemerintah daerah mempunyai
kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan
mengawasi penyelenggaraan keolahragaan di daerah”. Selanjutnya diperjelas
lagi di pasal 14 ayat 3 yang menyebutkan bahwa ”Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), pemerintah daerah membentuk
sebuah dinas yang menangani bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Sementara itu mengenai tanggung jawab pemerintah daerah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahu 2007 yang disebutkan dalam pasal 12 ayat
1, 2 dan 3 dengan rincian sebagai berikut:
(1) Pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk mengatur,
membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi
penyelenggaraan keolahragaan di kabupaten/kota.
(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga
prestasi;
b. pembinaan dan pengembangan olahraga;
c. pengelolaan keolahragaan;
d. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;
e. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;
f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;
g. pendanaan keolahragaan;
h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;
43
i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;
j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;
k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;
l. penerapan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan;
m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;
n. pemberian penghargaan;
o. pelaksanaan pengawasan; dan
p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan komite
olahraga kabupaten/kota, organisasi cabang olahraga tingkat
kabupaten/kota, organisasi olahraga fungsional tingkat kabupaten/kota,
masyarakat, dan/atau pelaku usaha.
4. Sarana dan Prasarana Olahraga
Olahraga telah dijadikan sebagai gerakan nasional dan merupakan
implementasi dari pembangunan olahraga di Indonesia. Sejalan dengan itu, maka
dicetuslah slogan “Tiada hari tanpa olahraga” dengan harapan olahraga dapat tumbuh
dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat disegala lapisan, mulai dari
perkotaan sampai ke pedesaan. Ketika olahraga telah menjadi sebuah kebutuhan
setiap orang dalam hidupnya maka timbulah sebuah permasalahan yaitu kebutuhan
akan sarana dan prasarana yang bisa menunjang aktivitas olahraga. Demi
kenyamanan dan kelancaran dalam melakukan aktivitas olahraga tersebut maka
diperlukan pula sarana dan prasarana yang baik dan memenuhi standar keolahragaan.
Dalam hal ini Pemerintah sebagai pembuat kebijakan mempunyai kewajiban dan
tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan tersebut sebagaimana yang diamanatkan
Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Wirjasantosa
(1984 : 157) mengungkapkan bahwa, “Prasarana olahraga adalah suatu bentuk yang
permanen, baik untuk ruangan di dalam maupun di luar. Misalnya: gymnasium
(ruang senam), kolam renang, lapangan-lapangan permainan, dan sebagainya”.
Sarana dan Prasarana olahraga didalamnya terdiri dari sarana dan prasarana
44
penunjang aktivitas olahraga. Sarana sendiri merupakan salah satu unsur penting
yang harus tersedia dalam olahraga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:
999) dijelaskan bahwa Sarana adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam
mencapai maksud dan tujuan”. Dalam olahraga sendiri terdapat banyak alat yang
digunakan baik untuk bermain, berlatih maupun bertanding dalam event olahraga.
Sedangkan Soepartono (1999/2000 : 6) menyatakan bahwa : “Istilah sarana olahraga
adalah terjemahan dari facilitie yaitu sesuatu yang dapat digunakan atau
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani”. Sarana olahraga
dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
a. Peralatan (apparatus) Peralatan ialah sesuatu yang digunakan contoh: peti
lompat, palang tunggal, gelang-gelang dan sebagainya.
b. Perlengkapan (device) ialah:
1) Semua yang melengkapi kebutuhan prasarana misalnya: net, bendera
untuk tanda, garis batas
2) Sesuatu yang dapat dimainkan atau dimanipulasi dengan tangan atau
kaki misalnya: bola, raket, pemukul.
Prasarana olahraga pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat
permanen. Tanpa didukung dengan prasarana yang baik maka sulit untuk melakukan
aktivitas olahraga yang berkualitas dan bahkan sulit memperoleh prestasi olahraga
yang tinggi. Menurut Soepartono (1999/2000 : 5) bahwa “Prasarana olahraga adalah
sesuatu yang merupakan penunjang terlaksananya suatu proses pembelajaran
pendidikan jasmani. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 893)
menjelaskan bahwa “Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang
utama terselenggaranya suatu proses usaha, pembangunan proyek dan lain
sebagainya”. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa
prasarana olahraga adalah gedung olahraga, ruang serbaguna, lapangan dan kolam
renang yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan olahraga. Sarana
olahraga adalah alat yang digunakan untuk mempraktekkan setiap cabang olahraga
guna mencapai ketrampilan tertentu atau prestasi. Kemudian sarana dan prasarana
olahraga adalah suatu alat dan bangunan yang dirancang sesuai dengan persyaratan
tertentu yang digunakan sebagai alat bantu dan tempat melaksanakan kegiatan
45
olahraga.
Dengan budaya berolahraga yang tinggi di lingkungan masyarakat, maka
sarana dan prasarana olahraga merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga.
Beranjak dari banyaknya sarana dan prsarana olahraga yang tersedia disuatu wilayah,
maka masyarakat semakin mudah untuk menggunakan dan memanfaatkan dalam
melakukan berbagai kegiatan olahraga sesuai dengan hobi, kebutuhan dan keinginan
mereka masing-masing dengan sarana dan prasarana olahraga yang tersedia tersebut.
Namun jika sarana dan prasarana olahraga yang tersedia di daerah-daerah terbatas
maka semakin terbatas pula kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan atau
menggunakan sarana dan prasarana olahraga, yang berdampak pada menurunnya
minat dan partisipasi mereka untuk melakukan kegiatan olahraga.
Peningkatan minat masyarakat terhadap olahraga sering tidak diimbangi
dengan peningkatan kualitas maupun kuantitas sarana dan prasarana olahraga bahkan
terjadinya kecenderungan menurunnya kualitas sarana dan prasarana olahraga
karena kurangnya perawatan. Bahkan saat ini banyak klub-klub atau kelompok-
kelompok olahraga yang tidak tertampung kegiatannya, sehingga mereka berlatih
dengan sarana dan prasarana seadanya atau berlatih di tempat-tempat yang kurang
representatif.
Sarana dan prasarana olahraga di Indonesia secara umum masih sangat
kurang baik dari sisi jumlah maupun mutu mengingat Indonesia termasuk salah satu
dari 4 (empat) Negara yang terpadat di dunia, sehingga tidak memungkinkan untuk
dapat dikembangkan standar pelatihan bermutu tinggi. Indonesia telah merintis
pendirian sentra olahraga seperti pendirian Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar
(PPLP), Pusat Pendidikan dan Latihan Mahasiswa (PPLM), yang tersebar di seluruh
Indonesia. Pusat pelatihan daerah yang idealnya ada disetiap provinsi, memerlukan
pembenahan. Tujuannya adalah untuk menyediakan, dan membangun sarana dan
prasarana olahraga untuk mendukung kegiatan pembinaan dan pengembangan
olahraga, serta pencapaian prestasi olahraga yang lebih baik kedepannya.
Pembangunan maupun pengembangan sarana dan prasarana olahraga harus
melalui kajian yang seksama agar kelak sarana dan prasarana tersebut dapat
46
digunakan dalam jangka waktu yang lama. Berhubungan dengan fungsi bangunan
yaitu bangunan olahraga. Sarana dan prasarana Olahraga memerlukan suatu ruang
yang luas dan mengharuskan menggunakan sistem struktur bentang Iebar agar
kegiatan yang berlangsung, baik kegiatan fisik maupun kegiatan visual tidak
terganggu. Selain berfungsi untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap
olahraga, Gedung Olahraga tertutup juga harus dapat memberikan citra dan daya
tarik visual bagi pengamatnya. Memberikan keindahan (estetika) pada penampilan
bangunannya, dengan menonjolkan strukturnya tanpa ditutup-tutupi. Sistem struktur
dan rangkaian elemen-elemen yang saling terkait satu dengan yang lain harus
mewujudkan kestabilan, kekakuan dan kekuatan banguan serta menyalurkan gaya-
gaya yang bekerja dengan baik ke tanah, sehingga bangunan tersebut dapat berdiri
dengan kokoh. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan sebuah sarana dan prasarana olahraga di suatu tempat yaitu: (a)
Tinjauan Terhadap Iklim, (b) Tinjauan Terhadap Lokasi Tapak dan (c) Studi
Banding.
Hal yang paling pokok dan dipahami oleh arsitek adalah iklim setempat.
Karena arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dapat memanfaatkan dampak
positif dan mengatasi masalah iklim. Lokasi tapak berada di daerah dengan iklim
tropis, yang pada umumnya memiliki perbedaan musim panas dan musim hujan yang
kecil. Untuk daerah yang beriklim tropis lembab hal yang perlu diperhatikan adalah
curah hujan, penghindaran terhadap radiasi matahari dan pemanfaatan angin untuk
ventilasi. Bagaimana menyesuaikan iklim terhadap bangunan, yaitu dengan cara
Lay out bangunan harus memperhatikan lintasan matahari, perlindungan panas
matahari dengan sistem bayangan, contoh diberikan kisi-kisi (sunscreen). Keadaan
alam disekitar tapak tidak menunjukkan adanya potensial alam berupa pohon-pohon,
dan sebagainya.
a. Jenis Sarana dan Prasarana Olahraga
Sarana dan prasarana olahraga secara keseluruhan meliputi sarana dan
prsarana fisik dan nonfisik. Sarana dan prasarana fisik mencakup antara lain
berupa stadion, gelanggang dan lapangan olahraga. Sedangkan sarana dan
47
prsarana olahraga nonfisik mencakup seperti sasana/perkumpulan olahraga,
tenaga pelatih dan guru pendidikan jasmani/olahraga. Ketersediaan kedua jenis
sarana dan prsarana olahraga tersebut dalam jumlah yang cukup memadai
selain akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berolahraga, pada
gilirannya juga akan mampu menggeser persepsi masyarakat tentang berolahraga
dari hanya sekedar untuk berekreasi dan menjaga kesehatan semata, menjadi
kegiatan untuk memperoleh prestasi.
Sarana dan prsarana olahraga merupakan salah satu aitem dalam sebuah
penjaminan mutu keberhasilan pembangunan olahraga. Keberadaan, jenis, jumlah
dan kualitas dari sarana dan prsarana olahraga ini tergantung dari kebutuhan dan
kondisi masing-masing daerah serta arah kebijakan Pemerintah daerah tersebut.
Tidak semua sarana dan prsarana olahraga mampu disediakan oleh suatu daerah,
oleh karena itu perlu kecermatan dan kejelian Pemerintah dalam menentukan
kebijakan penyediaan sarana dan prsarana olahraga disuatu daerah agar kebijakan
yang ditetapkan dapat benar-benar tepat sasaran sehingga dapat digunakan oleh
seluruh kalangan masyarakat yang membutuhkan. Menurut Harsuki (2012 : 183)
Sarana dan prsarana olahraga dapat dibagi kedalam beberapa macam atau tipe,
yaitu :
1) Sarana dan prsarana tunggal, artinya sarana dan prsarana itu umumnya
hanya digunakan untuk satu cabang olahraga saja, misalnya stadion
baseball, bowling valley, kolam renang, lapangan golf, sirkuit motor
dan rnobil, trek lapangan balap kuda, dan lain-lain.
2) Sarana dan prsarana serba guna. Dapat dalam kategori indoors
maupun outdoors. Yang termasuk indoors, misalnya istana olahraga
(Istora) di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, dapat
dikategorikan serba guna, karena dapat untuk bermain dan bertanding,
bola basket, bola voli, bulu tangkis, sepak takraw, olahraga bela diri,
dan lain-lain. Untuk lapangan terbuka, misalkan dapat digunakan
untuk motor cross, show untuk kendaraan, rekreasi, konser, dan lain-
lain. Termasuk dalam serba guna ini juga antara lain Gedung Fitness
Centre, yang dapat digunakan untuk senam, tenis, renang, joging, dan
lain-lain.
3) Sarana dan prsarana pada rumah klab (club house), seperti yang
banyak kita dapati di negara-negara Eropa, diperlengkapi dengan
fasilitas terbuka maupun tertutup, dan diperlengkapi dengan kotak
penyimpanan barang (locker), toilet, shower, restoran, dan toko alat
peralatan olahraga.
48
4) Sarana dan prsarana olahraga yang besar, tidak hanya menyediakan
ruangan untuk berpraktik olahraga saja, tetapi juga menyediakan
ruangan untuk para penonton. Misalnya Stadion Utama Gelora Bung
Karno mempunyai kapasitas tempat duduk untuk 100.000 orang,
sedangkan Istana Olahraga memiliki tempat duduk 10.000 orang,
Sedangkan Hall Basket di Senayan berkapasitas tempat duduk 3.000
orang.
Khusus untuk gedung olahraga, IAKS (Internationaler Arbeitskreis
Sport-und Freizeiteinrichtungen, Koln, dalam Harsuki, (2012 : 184),
memperkenalkan tiga tipe gedung olahraga sebagai berikut:
1) Gedung olahraga untuk Penggunaan Multifungsi (Sport Hall forMulti-
Fungsional Use), yaitu suatu gedung olahraga yang melayani berbagai
macam penggunaan.
2) Gedung olahraga untuk penggunaan berbagai penggunaan olahraga
(Sport Hall for Games Use, atau Games Half), yaitu suatu gedung
olahraga yang dipergunakan terutama untuk olahraga seperti senam,
latihan fisik yang menggunakan perlengkapan kecil (seperti bangku
Swedia, kotak lompatan, parallel bar, uneven bar, ring, dan sebagainya),
dan permainan guna pengisian waktu luang.
3) Gedung olahraga yang serbaguna (Sport Hall with Multi-Purpose Use,
atau Multi Purpose Hall), yang adalah suatu gedung multifungsi atau
gedung permainan (games hall), khususnya untuk masyarakat kecil,
dengan fasilitas tambahan yang memadai dapat digunakan dari waktu
kewaktu untuk sosial dan artistik even serta even kebudayaan lainnya.
Sarana penunjang gedung olahraga harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut.:
1) Ruang Ganti Atlet
Penempatannya harus dapat langsung menuju lapangan melalui koridor
yang berada dibawah tempat duduk. Kelengkapan ruang ganti atlet antara
lain berupa toilet, ruang bilas dan ruang ganti pakaian.
2) Ruang Ganti Pelatih & Wasit:
Lokasinya harus dapat langsung menuju lapangan melalui koridor yang
ada dibawah tempat duduk penonton. Kelengkapan ruang sama dengan
kelengkapan ruang ganti atlet.
3) Lokasi ruang P3K:
Harus berada dekat dengan ruang ganti atau ruang bilas dan
direncanakan untuk tipe A, B dan C minimal 1 unit dapat melayani
20.000 penonton dengan luasan minimal 15 m2
4) Ruang pemanasan:
Direncanakan untuk tipe A minimal 150 m2, tipe B minimal 81 m
2 dan
maksimal 196 m2 sedangkan tipe C minimal 81 m
2 .
5) Toilet penonton:
Direncanakan untuk tipe A, B dan C dengan perbandingan penonton
49
wanita dan pria adalah 1:4.
6) Ruang mesin:
Dengan luas ruangan sesuai dengan kapasitas mesin yang dibutuhkan dan
lokasi mesin tidak menimbulkan suara bising yang mengganggu ruang
arena dan penonton.
7) Ruang kantin:
Direncanakan hanya untuk tipe A
8) Ruang pers:
Harus disediakan kabin untuk awak TV dan film. Perlu disediakan ruang
telepon dan ruang telex
9) Tempat parker:
Jarak maksimal dari tempat parkir, pool atau tempat pemberhentian
kendaraan umum menuju pintu masuk gedung olahraga adalah 15 m. 1
ruang parkir mobi dibutuhkan minimal untuk 4 orang pengunjung pada
saat jam sibuk.
10) Toilet penyandang cacat:
Toilet untuk pria dipisahkan dengan toilet wanita. Toilet harus
dilengkapi dengan pegangan untuk perpindahan dari kursi roda ke kakus
duduk yang diletakkan didepan dan disamping kakus duduk setinggi 80
cm.
11) Jalur sirkulasi untuk penyandang cacat:
Tanjakan harus mempunyai kemiringan 8% dengan panjang maksimal
10m. Permukaan lantai selasar tidak boleh licin, harus terbuat dari
bahan-bahan yang keras dan tidak boleh ada genangan air. Pada ujung
tanjakan harus disediakan bagian datar minimal 180 cm. Selasar harus
cukup lebar untuk melakukan perputaran kursi roda 180o.
12) Kompartemensi penonton:
Daerah penonton harus dibagi dalam kompartemen masing-masing
mampu menampung minimal 1000 orang maksimal 3000 orang. Antara
dua kompartemen yang bersebelahan harus dipisahkan dengan pagar
permanent transparan minimal setinggi 1,2 m maksimal 2 m
13) Tata cahaya:
Tingkat penerangan horizontal pada orang 1 m diatas permukaan lantai
untuk ketiga tipe. Untuk atihan dibutuhkan minima 200 lux.Untuk
pertandingan dibutuhin minimal 300 lux. Untuk pengambilan video
dokumen dibutuhkan minimal 300 lux. Sumber cahaya lampu atau
bukaan harus diletakkan dalam satu area pada langit-langit yang
menghubungkan sumber cahaya tersebut dengan titik yang terjauh dari
arena setinggi 1,5 m garis horisontalnya minimal 30o. Apabila
menggunakan tata cahaya buatan, harus disediakan generator set yang
kapasitas dayanya minimum 10% dari daya terpasang generator harus
dapat bekerja maksimal 10 detik pada saat aliran PLN padam.
14) Tata Udara:
Tata udara dapat mempergunakan ventilasi alami atau mekanis dengan
memenuhi ketentuan: apabila menggunakan ventilasi alami harus diatur
mengikuti pergerakan udara siang Luas bukan minimum adalah 6% dariu
50
luas lantai efektif. (Departemen PU, 1994)
b. Ruang Terbuka Olahraga
Ketika berbicara masalah sarana dan prsarana olahraga, maka yang ada
dibenak kita adalah “sarana dan prsarana olahraga yang tersedia minim kualitas
dan kuantitas”. Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat misi yang selalu
diusung oleh Pemerintah yaitu pembangunan olahraga di Indonesia. Namun
kemudian muncul pertanyaan, seberapa jauh keberhasilan pembangunan olahraga
yang telah dilaksanakan. Melihat kenyataan dilapangan, nampaknya sulit untuk
mencapai tujuan tersebut dimana kurangnya perhatian Pemerintah akan hal-hal
yang mendukung terlaksananya program bahkan yang kita rasakan yaitu semakin
merosotnya dunia olahraga di Indonesia jika kita lihat dari sudut pandang
perkembangan prestasi olahraga dan pola management keolahragaan yang ada
saat ini. Menanggulangi hal tersebut, para pelaku olahraga dan ahli olahraga di
Indonesia telah melakukan kajian mengenai pembangunan olahraga versi Sport
Development Index (SDI). Salah satu dimensi inti kajian dalam SDI yaitu ruang
terbuka yang dapat mengukur seberapa jauh keberhasilan pembangunan olahraga
disuatu wilayah.
Untuk melakukan aktivitas fisik maka dibutuhkan sebuah ruang terbuka
yang bisa diakses oleh masyarakat. Menurut Mutohir dan Maksum (2007 : 37)
bahwa :
“Ruang terbuka merujuk pada suatu tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan
olahraga oleh sejumlah orang (masyarakat) dalam bentuk bangunan dan/atau
lahan. Bangunan dan/atau lahan tersebut dapat berupa lapangan olahraga
yang standar atau tidak, yang tertutup (in-door) maupun terbuka (out-door)
atau berupa lahan yang memang diperuntukkan untuk kegiatan berolahraga
masyarakat. Angka ruang terbuka diukur berdasarkan rasio luas rung terbuka
dengan jumlah penduduk usia 7 tahun keatas di suatu wilayah”.
Sebagai bahan perbandingan, Unesco juga telah merekomendasikan bahwa
“Ruang gerak statis yang ideal adalah lebih kurang 2m2 per orang. Jika olahraga
membutuhkan ruang gerak yang bukan statis melainkan dinamis, maka dapat
dianalogikan ruang gerak yang diperlukan adalah dua kali ruang gerak statis yaitu
51
lebih kurang 4m2.” Sementara itu, Clerici dalam Kristiyanto, (2012:193)
berpendapat bahwa angka standar ruang terbuka adalah 3,5m2 per orang. Hal ini
didasarkan pada argumentasi bahwa kelompok penduduk yang terdiri dari 3500
orang dapat menggunakan sekurang-kurangnya 12.000m2 ruang terbuka untuk
kegiatan olahraga. Tampaknya pendapat Clerici inilah yang kemudian diadopsi
oleh Komite Olimpiade sebagai standar Internasional.
Seiring perkembangan jaman, keberadaan ruang terbuka saat ini semakin
terkikis sebagai dampak dari pembangunan gedung atau perumahan warga.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka semakin bertambah pula
kebutuhan wilayah atau tempat untuk dijadikan daerah pemukiman. Disisi lain,
semakin berkurang pula wilayah terbuka atau lapangan-lapangan yang bisa
digunakan untuk aktivitas olahraga. Badan usaha yang bergerak dalam bidang
pembangunan perumahan dan permukiman berkewajiban menyediakan prasarana
olahraga sebagai fasilitas umum dengan standar dan kebutuhan yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Setiap orang dilarang meniadakan atau mengalihfungsikan
prasarana olahraga yang telah disediakan tanpa rekomendasi dan persetujuan dari
yang berwenang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karenanya penting
untuk meyediakan ruang terbuka untuk aktivitas olahraga. Menurut Mutohir dan
Maksum (2007 : 38) bahwa :
“Untuk dapat dikatakan sebagai ruang terbuka olahraga harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Didesain untuk olahraga
Syarat ini merujuk pada pengertian bahwa prasarana yang ada memang
sengaja dirancang untuk kegiatan olahraga. Banyak tempat yang
digunakan masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga, tetapi
sebenarnya tempat itu bukan didesain untuk kegiatan olahraga. Misalnya,
taman-taman di perkotaan, badan jalan, lahan kosong di sekitar
pemukiman dan sebagainya. Aktivitas olahraga dilakukan bukan pada
tempatnya, selain dapat merusak fungsi sebenarnya dari tempat tersebut,
juga bisa jadi berbahaya bagi pelaku olahraga sendiri.
2) Digunakan untuk olahraga
Syarat ini sangat jelas bahwa tempat yang disebut ruang terbuka tersebut
digunakan untuk kegiatan olahraga. Pertanyaannya, apakah ada tempat
yang didesain untuk olahraga? Jawabannya ada, yaitu tempat olahraga
yang telah beralih fungsi. Meskipun secara fisik tidak berubah, tetapi
tempat tersebut lebih banyak digunakan untuk kegiatan selain olahraga.
52
Misalnya untuk kegiatan jual-beli atau pasar, tempat parkir dan lain-lain.
3) Bisa diakses oleh masyarakat luas
Syarat ini pada hakikatnya melekat pada makna dari ruang terbuka itu
sendiri. Artinya tempat tersebut harus dapat digunakan oleh masyarakat
umum dari berbagai latarbelakang sosial, ekonomi, budaya serta dapat
diakses oleh berbagai kondisi fisik manusia. Dengan syarat ini, tempat-
tempat olahraga seperti lapangan golf, kolam renang pribadi dan jogging
track pribadi yang tidak dapat diakses oleh masyarakat luas tidak
termasuk dalam definisi ruang terbuka.
c. Penyediaan Sarana dan Prasarana Olahraga
Mengkaji tentang pelayanan publik, maka tidak terlepas dari pembahasan
tentang teori-teori kebijakan secara umum maupun implementasi kebijakan
publik itu sendiri. Penyediaan sarana dan prsarana olahraga merupakan salah
satu bentuk kebijakan publik yang mana telah diatur dalam Undang-Undang
Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Kebijakan publik yang baik
tidak terlepas dari proses perumusan kebijakan yang mencerminkan kebutuhan
masyarakat. Pemerintah sebagai pelaksana program-program kegiatan
pemerintahan berkewajiban untuk mampu meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat maupun kepada publik.
Melalui otonomi daerah memberikan kesempatan bagi pemerintah
kabupaten/kota untuk lebih mampu memberikan kualitas pelayanan yang
semakin baik kepada masyarakat di wilayahnya. Disamping itu, pemeritah
kabupaten/kota juga mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam
membuat suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan sarana dan prsarana
olahraga. Hal ini sejalan dengan isi Undang-Undang Sistem Keolahragaan
Nasional (UUSKN) Nomor 3 Tahun 2005, Pasal 12 ayat 1dan 2 menyatakan:
1) Pemerintah mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan
serta standardisasi bidang keolahragaan secara nasional
2) Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan
mengordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta
melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah.
UUSKN Nomor 3 Tahun 2005 juga menjelaskan mengenai kewajiban
pemerintah untuk menyediakan prasarana olahraga. Sebagai mana yang tertuang
dalam Pasal 67 ayat 2 yang berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah
53
menjamin ketersediaan prasarana olahraga sesuai dengan standar dan kebutuhan
pemerintah dan pemerintah daerah”. Tentunya pemerintah harus memperhatikan
asas desentralisasi, otonomi, peran serta masyarakat, keprofesionalan, kemitraan,
transparansi, dan akuntabilitas. Sistem pengelolaan, pembinaan, dan
pengembangan keolahragaan nasional diatur dengan semangat kebijakan otonomi
daerah guna mewujudkan kemampuan daerah dan masyarakat yang mampu secara
mandiri mengembangkan kegiatan keolahragaan. Dengan demikian merupakan
sebuah keharusan bagi pemerintah daerah untuk menyusun suatu kebijakan dalam
upaya penyediaan sarana dan prsarana olahraga di Kabupaten Lombok Timur
sesuai dengan UUSKN Nomor 3 Tahun 2005.
1) Perencanaan Sarana dan Prasarana Olahraga
Perencanaan merupakan proses awal untuk memutuskan tujuan
dan cara pencapaiannya. Perencanaan merupakan hal yang sangat
esensial karena dalam kenyataanya perencanaan memegang peranan
lebih bila dibanding dengan fungsi-fungsi manajemen yang lainnya,
seperti pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Penyusunan
sebuah rencana hendaknya didasarkan pada latar belakang yang jelas
misalnya menyangkut kebutuhan dan tujuan atau cita-cita yang hendak
dicapai oleh pembuat rencana. Menurut Terry dalam Harsuki, (2012 : 85)
bahwa:
“Perencanaan yang pada dasarnya adalah penyusunan sebuah pola
tentang aktivitas-aktivitas masa yang akan datang yang terintegrasi
dan dipredeterminasi. Hal tersebut mengharuskan adanya
kemampuan untuk meramalkan, memvisualisasikan dan melihat ke
depan yang dilandasi dengan tujuan-tujuan tertentu”.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun sebuah
perencanaan. Salah satu dimensi yang tidak terpisahkan dari perencanaan
itu sendiri yaitu dimensi waktu. Menurut Harsuki (2012:87-88) bahwa
rencana yang dikaitkan dengan waktu dapat dibagi sebagai berikut:
a) Perencanaan jangka pendek (SR = Short Range) yang
biasanya mencakup waktu kurang dari 1 tahun
b) Perencanaan jangka menengah (IR = Intermediate Range)
yang meliputi waktu 1 tahun lebih, namun kurang dari 5tahun.
54
c) Perencanaan jangka panjang (LR = Long Range) yang
meliputi waktu lebih dari 5 tahun.
Perencanaan jangka panjang dalam hal ini tentang penyediaan
sarana dan prasarana olahraga, hendaknya mengacu pada sebuah Grand
Desain di suatu daerah/wilayah yang didalamnya juga mencakup rencana
pengembangan wilayah atau perkotaan sehingga akan terjadi sinkronisasi
antara penyediaan sarana dan prasarana olahraga dan pengelolaan kota
yang baik. Perencanaan tipe ini biasanya lebih bersifat administratif dan
berkenaan dengan perencanaan strategik. Perencanaan jangka menengah
lebih bersifat penunjang yang diarahkan untuk mencapai tujuan utama
yaitu terlaksananya perencanaan jangka panjang. Sedangkan perencanaan
jangka pendek, didalamnya memuat tentang butir-butir operatif mengenai
hal-hal penting yang harus segera dilaksanakan/dilakukan sebagai
langkah awal mensukseskan rencana jangka menengah.
Menurut Internasional Olympic Committee dalam Harsuki
(2012:90) Pengembangan sebuah perencanaan menggunakan
terminologi/tipe-tipe perencanaan sebagai berikut:
a) Strategic Plan yang memberikan pengertian misi (mission),
maksud (goals) dan tujuan (objective) serta tujuan taktis
(tactical end) dengan apa mereka mencapai tujuannya dan
memberikan evaluasi.
b) Business Plan yang menjabarkan suatu strategic plan dengan
cara menerangkan bagaimana melangkah ke depan,
memperhitungkan resiko, tantangan, aktivitas yang spesifik
dan program, biaya dari berbagai kegiatan, ketepatan waktu,
tanggung jawab siapa berbagai bagian yang harus
melaksanakan perencanaan dan unsur lainnya lagi.
Rencana strategik atau yang biasa disebut renstra merupakan
sebuah rencana yang dibuat sebagai acuan dalam menentukan tujuan
jangka panjang dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang
dimiliki, oleh karena itu para pembuat kebijakan harus menyiapkan
berbagai rencana strategik yang akan dilaksanakan. Pendekatan yang
digunakan dalam proses perencanaan tentunya harus melalui beberapa
tahapan agar perencanaan tersebut dapat berjalan dengan baik dan sesuai
55
harapan. Menurut Bangun dalam Lauh (2013:63) tahapan-tahapan
perencanaan sebagai berikut:
a) Menetapkan tujuan
b) Merumuskan keadaan sekarang
c) Mengidentifikasi kemudahan-kemudahan dan hambatan-
hambatan
d) Mengembangkan rencana
Unsur-unsur dalam sebuah perencanaan menurut Harsuki (2012:91-
93) sebagai berikut:
a) Pernyataan deskriptif (Deskriptive Statement)
b) Pernyataan visi (Vision Statement)
c) Pernyataan misi (Mission Statement)
d) Filsafat yang jadi pedoman
e) Prinsip-prinsip pengoperasian (Operating Principles)
f) Tujuan (Objectives)
g) Tanda-tanda keberhasilan
h) Program
Kompleksitas dan dinamika perencanaan penyediaan sarana dan
prasarana olahraga semakin mengemuka pada era otonomi daerah yang
dewasa ini ditandai dengan pelimpahan kewenangan yang besar kepada
daerah Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, kewenangan yang luas dan nyata
telah menimbulkan tantangan tersendiri yang perlu mendapatkan perhatian
dalam perencanaan penyediaan sarana dan prasarana olahraga. Sarana dan
prasarana yang bermutu didukung dengan program berkualitas yang dimulai
dengan perencanaan yang seksama. Ada kriteria umum yang harus dipatuhi
dalam perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan. Kriteria umum untuk
perencanaan sarana dan prasarana olahraga menurut Handoko, (1999 : 32)
adalah:
a) Melayani kebutuhan yang telah teridentifikasi
b) Konstruksi yang bermutu dan mempertimbangkan keselamatan.
c) Multiguna
d) Lokasi yang strategis
e) Mudah dijangkau
f) Harga yang efektif
g) Mudah disupervisi
h) Pemeliharaan/penjagaan yang efisien
i) Bisa diperluas
j) Memperhatikan segi keindahan
56
Perencanaan sarana dan prasarana olahraga yang dibuat oleh
Pemerintah suatu Kabupaten juga harus memperhatikan beberapa hal
diantaranya didasarkan pada potensi dan kemampuan yang dimiliki daerah
tersebut. Potensi setiap daerah berbeda-beda, karena secara khusus
karakteristik daerahnya juga berbeda mulai dari letak geografis, kebudayaan
masyarakat sampai pola hidup masyarakat, sehingga menuntut pemerintah
untuk jeli melihat potensi-potensi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Dari aspek kemampuan daerah juga perlu diperhatikan karena
tidak mungkin sebuah daerah mampu menyediakan semua jenis sarana dan
prasarana yang diperlukan oleh masyarakat. Oleh sebab itu perlu adanya
suatu prioritas pada cabang-cabang olahraga unggulan yang memang harus
dipenuhi sarana dan prasarananya dengan baik. Hal tersebut bisa berdasarkan
pada minat masyarakat maupun cabang olahraga yang diunggulkan.
Prinsip dan garis besar menejemen untuk perencanaan sarana dan
prasarana yang akan diaplikasikan dalam semua level pendidikan serta
organisasi menurut Bruce dan Krotee dalam Harsuki, (2012: 200-201)
sebagai berikut:
a) Sarana dan prasarana harus dirancang terutama bagi peserta dan
kelompok pengguna.
b) Sarana dan prasarana harus dirancang untuk penggunaan secara
bersama dengan mempertimbangkan pola dan arah secara potensial.
c) Semua perencanaan harus didasarkan pada tujuan bahwa pengenalan
lingkungan baik fisik maupun non fisik haruslah aman, terjamin,
menarik, nyaman, bersih, praktis, dapat dijangkau, dapat
menyesuaikan dengan kebutuhan individu.
d) Sarana dan prasarana haruslah ekonomis dan mudah untuk
dioperasikan, dikontrol dan dipelihara.
e) Perencanaan harus memasukkan pertimbangan sarana dan prasarana
pendidikan jasmani dan olahraga bagi masyarakat secara terpadu.
Program dan fasilitas dari beberapa area bergabung secara
berdekatan dan perencanaan harus dikoordinasikan dan erat
kaintannya, yaitu yang berdasarkan pada kebutuhan dari masyarakat
secara keseluruhan.
f) Perencanaan sarana dan prasarana harus mempertimbangkan
perlindungan bagi masyarakat misalnya lalu lintas, pengeras suara
dan lampu penerangan. Sarana dan prasarana harus dapat dijangkau
bagi kelompok pengguna meskipun terisolasi sehingga aktivitas
tidak terganggu oleh program yang lain.
57
g) Sarana dan prasarana harus dapat menggerakkan kesehatan,
keamanan dan serta kode standar legal yang sangat penting dalam
melindungi kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan para
kelompok pengguna dan juga lingkungan.
h) Sarana dan prasarana harus direncanakan sedemikian rupa sehingga
dapat diakses dengan mudah dan aman bagi semua individu
termasuk para penyandang cacat.
i) Perencanaan sarana dan prasarana harus berjangka panjang
penggunanya dan termasuk kesanggupan untuk penyesuaian, mudah
diubah, dan diperluas guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang
berubah.
j) Sarana dan prasarana memainkan satu bagian dalam lingkungan yang
sehat. Yang perlunya organisasi menyediakan ruang bermain yang
cukup aman, dilengkapi dengan situasi dan ventilasi yang memadai,
serta kebersihan yang pada gilirannya akan menentukan sebesar
keefektifan kesehatan dan kesejahteraan dipromosikan.
2) Realisasi Penyediaan Sarana dan Prasarana Olahraga
Pada umumnya masyarakat cenderung lebih mementingkan
membangun prasarana perekonomian dari pada prasarana umum untuk
olahraga. Disisi lain masyarakat juga belum menjadikan kegiatan
olahraga sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk berprestasi,
sehingga partisipasi masyarakat dalam keolahragaan masih terbilang
kurang. Olahraga yang terarah dan terbina memerlukan waktu dan
keseriusan dari pihak-pihak yang berkompeten di bidang olahraga baik
pemerintah, praktisi olahraga maupun pelaku olahraga, sehingga waktu
luang pemuda dapat dialihkan untuk berolahraga dengan didukung
pengembangan sarana dan prasarana oalhraga yang memadai.
Usaha untuk merealisasikan penyediaan sarana dan prasarana
olahraga oleh pemerintah hendaknya memperhatikan rasio penduduk dan
konsep ruang terbuka, dimana jumlah penduduk disuatu wilayah harus
diimbangi dengan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat
untuk beraktifitas olahraga bagi masyarakat. Satu hal yang juga harus
menjadi pertimbangan pemerintah dalam merealisasikan perencaan
tersebut, yaitu bagaimana caranya agar penyediaan sarana dan prasarana
tersebut dapat terealisasikan dengan baik dan tepat guna.
58
Dalam upaya merealisasikan penyediaan sarana dan prasarana
olahraga untuk masyarakat dibutuhkan suatu perangkat yang disebut
dengan evaluasi kebutuhan. Menurut Harsuki (2012: 188) bahwa, “secara
ringkas dijelaskan bahwa evaluasi kebutuhan ialah perangkat yang
digunakan untuk menentukan apakah sarana dan prasarana baru sudah
diperlukan, jika sudah diperlukan, bagaimana tipe dan spesifikasi sarana
dan prasarana tersebut”. Selanjutnya dijelaskan bahwa fokus dari
evaluasi kebutuhan adalah:
a) Harapan masyarakat
(1) Sejarah olahraga setempat
(2) Harapan dan kebutuhan masyarakat
b) Akses dan kesempatan
(1) Agar dikaji bagaimana masyarakat dapat mengakses fasilitas
(2) Memastikan seluruh komponen masyarakat mempunyai
kesempatan menggunakan fasilitas.
c) Demografi
Mempertimbangkan angka pertumbuhan penduduk yang
dapat mempengaruhi penggunaan fasilitas, misalnya:
(1) Dalam 10 tahun mendatang bagaimana perbandingan antara usia
muda dan usia lanjut
(2) Bagaimana kecenderungan perpindahan penduduk dari desa ke
kota
d) Keberlanjutan
(1) Apakah dapat diperoleh pemasukan yang memadai untuk biaya
operasional
(2) Memastikan bahwa peralatan yang rusak maupun kadaluwarsa
dapat diganti, sehingga fasilitas selalu dapat digunakan sesuai
desain yang telah dirancang.
e) Mempertimbangkan lingkungan local
(1) Jika iklimnya panas, pertimbangkan pembangunan fasilitas
untuk aquatics.
(2) Jika iklimnya berangin, pertimbangkan fasilitas parasailing,
layang-layang dan lain-lain
f) Perubahan iklim
Selalu pertimbangkan pola cuaca, seperti banjir tahunan,
angin kencang dan lain-lain.
Menurut Harsuki, (2003 : 384) penyiapan prasarana olahraga selalu
dikaitkan dengan kegiatan olahraga yang mempunyai sifat:
a) Horisontal, dalam arti bersifat menyebar atau meluas yang sesuai dengan
konsep “Sport For All” atau dengan semboyan yang kita miliki
“Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat” yang
59
tujuannya untuk kebugaran dan kesehatan
b) Vertikal, dalam arti bersifat mengarah keatas dengan tujuan mencapai
prestasi tertinggi dalam cabang olahraga tertentu, baik untuk tingkat
daerah, nasional maupun internasional.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa guna memenuhi dua arah kegiatan
tersebut, kebutuhan prasarana olahraga perlu memperhatikan tiga faktor,
yaitu:
a) Kuantitas
Guna menampung kegiatan pemassalan olahraga perlu prasarana
olahraga yang jumlahnya mencukupi sesuai dengan kebutuhan seperti
yang ditentukan didalam pedoman penyiapan prasarana. Tersebar secara
merata di seluruh wilayah.
b) Kualitas
Guna menampung kegiatan olahraga prestasi, prasarana olahraga yang
disiapkan perlu memenuhi kualitas sesuai dengan syarat dan ketentuan
masing-masing cabang olahraga:
(1) Memenuhi standar ukuran internasional
(2) Kualitas bahan/material yang dipakai harus memenuhi syarat
c) Dana.
Untuk menunjang kedua faktor diatas, diperlukan dana yang cukup
sehingga dapat disiapkan prasarana yang mencukupi jumlah serta
kualitasnya memenuhi syarat.
Tabel 2.2 Pedoman Menpora tentang Prasarana Olahraga
N
o
Jumlah
Penduduk Prasarana
Perkitaan Jumlah
(M2)
Jumlah
Seluruhnya
Luas
(M2) Luas
(M2)
I 250-500 1. Taman Bermain
2. Lapangan
Bulutangkis
3. Lapangan
Bolavoli
1
1
1 12.000 600 4x4x12x10 1.152.000
60
II
2.500-
4.000
1. Lapangan
Bulutangkis
2. Lapangan
Bolavoli
3. Lapangan
Bolabasket
4. Lapangan Tenis
1
1
1
1
16.000 2.100 4x4x12 403.200
III 30.000-
50.000
1. Lapangan
Bulutangkis
2. Lapangan
Bolavoli
3. Lapangan
Bolabasket
4. Lapangan Tenis
5. Lapangan Bola
dan Lintasan
Atletik
2
2
1
2
1
28.000 18.800 4x4x 300.800
IV 120.000
(Kecamata
n)
1. Stadion
2. Gedung
Olahraga
3. Kolam Renang
4. Lapangan
Bolavoli
5. Lapangan
Bolabasket
6. Lapangan Tenis
1
1
1
2
2
2
41.500 27.500 4x 110.000
V 480.000 1. Stadion
2. Edung Olahraga
3. Kolam Renang
4. Lapangan
Bolavoli
5. Lapangan
Bolabasket
6. Lapangan Tenis
1
1
1
2
2
2
81.000 33.900 1x 33.900
480.000 4,2m2/orang
1.999.900
Sumber: Harsuki, (2003)
Berdasarkan data Podes 2008 dalam data kementerian Pemuda dan
Olahraga (2008: 39- 42), untuk ketersediaan fasilitas lapangan olahraga,
lapangan sepakbola banyak terdapat didesa/kelurahan di wilayah Propinsi
Bangka Belitung (93,02%), Riau (85,72%), Kalimantan Barat (83,75%) dan
Kepulauan Riau (83,44%). Lapangan bola voli relatif lebih banyak dibanding
lapangan sepakbola. Terdapat 5 propinsi yang memiliki persentase
desa/kelurahan yang memiliki lapangan bola voli lebih dari 95 persen, yaitu
61
Riau (97,92 %), D.I. Yogyakarta (97,72%), Bangka Belitung (96,57%) dan
Kalimantan Barat (95,25%). Sedangkan ketersediaan lapangan bulu tangkis
paling banyak ditemui di desa/kelurahan wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Sebanyak 96,25 % desa/kelurahan di DKI Jakarta terdapat lapangan bulu
tangkis. Terbanyak ke dua adalah D.I. Y (94,52%), kemudian diikuti Jawa
Barat (82,52%). Sedangkan ketersediaan untuk lapangan bola basket hanya
menonjol dibeberapa Provinsi. Persentase yang tinggi untuk lapangan bola
basket terdapat di DKI Jakarta (65,17%), D.I. Yogyakarta (24,66%) dan
Sumatera Barat (21,75%).
Demikian pula untuk lapangan tenis dan renang yang tampak
menonjol di DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta. Berdasarkan data Podes 2008
bahwa, lapangan yang banyak tersedia sampai ke tingkat desa/kelurahan
berturut-turut bola voli, sepakbola dan bulu tangkis. Pada tahun 2008
sebanyak 78,10 persen, sedikit menurun dibandingkan dibandingkan tahun
2005 yang sebesar 79,35 persen desa/kelurahan memiliki lapangan bola voli;
56,11 persen desa/kelurahan memiliki lapangan sepak bola sama banyak
dengan tahun 2005 dan 49,36 persen desa/kelurahan memiliki lapangan bulu
tangkis sedikit meningkat dari tahun 2005 yang sebesar 47,3 persen.
Hal ini merupakan sinyalemen bahwa ketiga jenis olahraga tersebut
merupakan olahraga rakyat yang digemari dan dilakukan banyak orang.
Sementara lapangan/gelanggang untuk bola basket, tenis lapangan dan kolam
renang masih sangat terbatas. Ke tiga jenis olahraga yang terakhir ini pada
umumnya dilakukan oleh masyarakat perkotaan sehingga wajar apabila
ketersediaan lapangan untuk olahraga tersebut sangat terbatas hanya
disebagian kecil Desa/Kelurahan saja. Keberadaan kelompok kegiatan
olahraga pada umumnya seiring dengan ketersediaan sarana lapangan
olahraga yang ada. Berdasarkan data Podes 2008, untuk keberadaan
kelompok kegiatan olahraga sepak bola banyak terdapat di desa/kelurahan di
wilayah Propinsi Bangka Belitung (96,22%) hampir sama dengan tahun 2005
yang sebesar 96,57 %, Jawa Barat (91,23%), Banten (89,69%), Kepulauan
Riau (88,65%), dan D.I. Yogyakarta (88,58%). Kelompok kegiatan bola voli
62
relatif lebih banyak disbanding kelompok kegiatan sepak bola. Hanya satu
propinsi yang memiliki persentase desa/kelurahan yang memiliki lapangan
voli lebih dari 95 persen, yaitu Kepulauan Riau (98,16%). Sedangkan
kelompok kegiatan bulu tangkis paling banyak ditemui di desa/kelurahan
wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta. Sebanyak 94,75 persen desa/kelurahan di
D.I. Yogyakarta terdapat kelompok kegiatan bulu tangkis. Terbanyak kedua
adalah DKI Jakarta (89,51%), kemudian diikuti Jawa Barat (83,43%).
Sedangkan ketersediaan untuk kelompok kegiatan bola basket hanya
menonjol di beberapa propinsi. Persentase yang tinggi untuk kelompok
kegiatan bola basket terdapat di DKI Jakarta (50,56%), D.I. Yogyakarta
(19,63%) dan Kepulauan Bangka Belitung (18,02%). Demikian pula untuk
kelompok kegiatan tenis lapangan, renang, tenis meja dan bela diri tampak
menonjol di DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta.
Adapun standar sarana dan prasarana olahraga menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 pasal 89 tentang penyelenggaraan
keolahragaan sebagai berikut:
(1) Standar prasarana dan sarana olahraga terdiri atas standar prasarana
olahraga dan standar sarana olahraga.
(2) Standar prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup persyaratan:
a. Ruang dan tempat berolahraga yang sesuai persyaratan teknis
cabang olahraga
b. Lingkungan yang terbebas dari polusi air, udara, dan suara
c. Keselamatan yang sesuai dengan persyaratan keselamatan bangunan
d. Keamanan yang dinyatakan dengan terpenuhinya persyaratan sistem
pengamanan
e. Kesehatan yang dinyatakan dengan tersedianya perlengkapan medik
dan kebersihan.
3) Standar Sarana Olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
persyaratan:
a. Perlengkapan dan peralatan yang sesuai persyaratan teknis cabang
olahraga
b. Keselamatan yang sesuai dengan persyaratan keselamatan
perlengkapan dan peralatan
c. Kesehatan yang dinyatakan dengan dipenuhinya persyaratan
kebersihan dan higienis
63
d. Pemenuhan syarat produk yang ramah lingkungan.
Klasifikasi dan penggunaan bangunan gedung olahraga sebagai
berikuta:
a) Type A, menyediakan minimal:
1 lapangan bola basket
1 lapangan bola voli
5 lapangan buku tangkis
1 lapangan tennis
Ukuran minimal hall: 50 x 30 dengan tinggi 12,5 m
Kapasitas penonton: diatas 3.000 orang
b) Type B, menyediakan minimal:
1 lapangan bola basket
1 lapangan bola voli
3 lapangan buku tangkis
Ukuran minimal hall: 32 x 22 dengan tinggi 12,5 m
Kapasitas penonton: 1000 - 3.000 orang
c) Type C, menyediakan minimal:
1 lapangan bola basket
1 lapangan bola voli
Ukuran minimal hall: 24 x 16 dengan tinggi 9 m
Kapasitas penonton: 1000 orang. (http://rinarchilicious.blogspot.
com/2012/12/gedung-olah-raga.html)
Selanjutnya dijelaskan bahwa, berdasarkan skala pelayanannya,
gedung olahraga dibagi atas:
a) Skala Nasional
Sarana dan prasarana olahraga ini menampung atau melayani
kegiatan-kegiatan di antaranya kompetisi utama, pertandingan,
latihan dan mengajar dengan standar internasional seperti PON, Sea
Games, dan sejenisnya. Contoh : Gedung Istora Senayan Jakarta
b) Skala Regional
Sarana dan prasarana olahraga yang melayani satu atau beberapa
daerah denga populasi sebesar 200.000 sampai dengan 350.000
penduduk dan merupakan fasilitas pelengkap di suatu daerah atau
wilayah.
Contoh: Gelanggang Olahraga Penjaringan, Gelanggang Olahraga
Grogol.
c) Skala Lingkungan
Sarana dan prasarana olahraga yang melayani satu lingkungan,
dalam hal ini lingkungan pemukiman dengan populasi 2.000 sampai
dengan 10.000 orang, dan biasannya disediakan dalam suatu
kompleks perumahan sebagai satu pelengkap sarana.Contoh: Kelapa
Gading Sport Club di kompeks perumahan Kelapa Gading.
Bimantara Sport Club di kompleks perumahan Green Village.
Persada Sport Centre di kompleks AURI Halim.
64
d) Skala Sekolahan
Sarana dan prasarana olahraga ini melayani olahraga di suatu
sekolahan, biasanya berbentuk aula, serbaguna dan dapat berbentuk
lapangan terbuka serta digunakan hanya untuk latihan olahraga
standar saja.
e) Skala Khusus
Sarana dan prasarana olahraga yang menangani olahraga jenis
tertentu yang sifatnya komersial atau yang diperuntukkan khusus
bagi penyandang cacat, biasanya dibentuk oleh pihak
swasta.(sumber: http://rinarchilicious.blogspot.com/2012/12/gedung-
olah-raga.html)
3) Pengelolaan Sarana dan Prasaran Olahraga
Sarana dan prasarana olahraga adalah daya pendukung yang
terdiri dari segala bentuk jenis peralatan dan tempat berbentuk bangunan
yang digunakan dalam memenuhi persyaratan yang di tetapkan untuk
pelaksanaan program olahraga. Pengelolaan olahraga dapat menjadi
lahan bisnis dan menghasilkan keuntungan, tetapi keuntungan yang dapat
diraih tergantung pada mutu sarana dan prasarana, produk, pertandingan
atau jasa yang dijual, memiliki daya tarik dan ditampilkan pada saat yang
tepat dan ditempat strategis.
Pengelolaan sarana dan prasarana olahraga erat kaitannya dengan
bagaimana konsep managemen dalam pengelolaan itu sendiri.
Pengelolaan sarana dan prasarana olahraga sebagaimana terdapat dalam
managemen pada umumnya. Menurut Harsuki, (2012 : 206-207) bahwa
“Managemen olahraga pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian
besar yaitu managemen olahraga pemerintah dan managemen olahraga
swasta”. Kemudian Terry dalam Harsuki (2012 : 79) menerangkan
bahwa fungsi managemen diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu:
Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Penggerakan
(Actuating), Pengawasan (Controlling).
Menurut Parks, Quarterman dan Thibault dalam Harsuki, (2012 :
197-198) bahwa secara umum, tiga posisi yang terdapat dalam
manajemen fasilitas terdiri dari:
a) Direktur Fasilitas
65
Direktur fasilitas seringkali disebut sebagai manager fasilitas atau
CEO (Chief executive Officer), mempunyai tanggung jawab
menyeluruh atas semua fasilitas. Pejabat ini terutama bertanggung
jawab atas pengadministrasian yang tepat dan pembuatan
prosedur operasi yang baku akan fasilitas (fasility’s standard
operating procedurs, SOPs)
b) Manager Operasi
Manager operasional melapor langsung kepada direktur fasilitas
dan bertanggung jawab terhadap semua karyawan, prosedur dan
kegiatan yang terkait dengan fasilitas. Tugasnya yaitu
merumuskan peranan, tanggung jawab dan wewenang dari staf
fasilitas.
c) Koordinator Event
Koordinator even juga melapor kepada direktur fasilitas,
bertanggung jawab kepada pengelolaan even individual yang
dilaksanakan di dalam fasilitas. Tanggung jawabnya meliputi
transportasi, memasang, mendirikan dan menyimpan alat-alat;
menciptakan sistem kontrol untuk venue dan logistik peralatan;
perekrutan, pelatihan dan memberikan supervisi pada karyawan
khusus, memberikan bantuan dalam memelihara venue dan
peralatannya selama berlangsungnya even; memfasilitasi
penjualan karcis dan pendistribusian karcis di dalam venue; serta
mengevaluasi pengoperasian venue dan peralatannya.
Sarana dan prasarana yang dipelihara dan diatur dengan baik
merupakan faktor yang menentukan untuk menarik kedatangan pengguna
atau konsumen. Beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam
pengelolaan sarana dan prasarana olahraga yaitu:
a) Pedoman Kebijakan.
Sebuah pedoman kebijakan tertulis dalam dokumen merupakan
sesuatu yang perlu untuk menjalankan sarana dan prasarana.
Persyaratan-persyaratan yang mengatur hal-hal sebagai berikut
perlu ditetapkan. (1) kebijakan umum, (2) prosedur penjadwalan
dan waktu penggunaan fasilitas, (3) ketersediaan fasilitas dan
peralatan, dan (4) pengaturan penyewaan dan persetujuan kontrak.
b) Supervisi dan Keam anan Fasilitas.
Untuk menjamin layanan yang efektif bagi setiap pengguna
perorangan dan kelompok besar, beberapa hal perlu diperhatikan.
Perangkat aturan tertulis yang mengatur pemanfaatan dan
keamanan fasilitas. Perangkat aturan terpampang di semua pintu
masuk dan tempat strategis. Tim supervisor dan keamanan mudah
dikenali Sikap yang ramah dan membantu harus ditampilkan oleh
anggota tim supervisor dan keamanan.
c) Pemeliharaan Fasilitas.
66
Untuk memperpanjang keawetan fasilitas dan menurunkan
keharusan perbaikan, pemeliharan yang tetap perlu dikerjakan.
Agar pekerjaan pemeliharaan berjalan dengan baik perlu dipilih
koordinator pemeliharaan yang tepat.
d) Pengontrolan (inventory control).
Melakukan pengawasan yang cermat terhadap segala fasilitas dan
peralatan yang dimiliki oleh organisasi.
e) Penjadwalan Fasilitas.
Jadwal pemakaian harus ditata dengan baik sehingga memberi
kenyamanan bagi pengguna. Contoh daftar prioritas penggunaan
fasilitas olahraga yang dimiliki oleh sekolah: (a) pelajaran
pendidikan jasmani terjadwal, (b) kegiatan latihan dan
perlombaan/pertandingan olahraga, (c) kegiatan olahraga rekreasi
dan intramural, (d) kelompok akademik dalam sekolah, (e)
kelompok nonakademik dalam kampus, (f) kelompok luar
kampus.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional Pasal 38 ayat 1, menyatakan bahwa “Pengelolaan
olahraga pada tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota dengan dibantu oleh komite olahraga kabupaten/kota”.
Dengan demikian, pengelolaan sarana dan prasarana olahraga yang
dibangun dengan menggunakan APBN perlu dikelola dengan baik karena
sarana dan prasarana olahraga merupakan aset yang dapat mendorong
perkembangan olahraga di suatu daerah dan sebagai cerminan seberapa
besar perhatian pemerintah daerah terhadap olahraga di daerahnya
masing-masing. Oleh karenanya sarana dan prasarana olahraga perlu
didokumentasikan dengan baik, dipelihara dan dimanfaatkan secara
efektif, efisien dan terintegrasi melalui sebuah sistem pengelolaan yang
jelas. Adapun ciri-ciri sarana dan prasarana yang dikelola dengan baik
menurut Harsuki, (2012 : 187) yaitu:
a) Beroperasi pada jam yang ditentukan setiap harinya dengan
memberikan pelayanan yang ramah
b) Pelanggan baru diterima secara baik dan mereka mendapat
petunjuk sehingga dapat menggunakan fasilitas sebaik-baiknya.
c) Karyawan yang terlatih dengan baik, peran dan tanggung
jawabnya dapat dikenali oleh setiap pengguna.
d) Prosedur keselamatan, PPPK, pertolongan darurat dan lain-lain
telah didokumentasikan dan siap untuk beroperasi.
67
e) Melalui pengoperasiannya, fasilitas dapat menghasilkan manfaat
ekonomi.
Sarana dan prasarana olahraga perlu didayagunakan dan dikelola
untuk berbagai kepentingan olahraga. Pengelolaan tersebut bertujuan
memberikan layanan secara profesional berkaitan dengan penggunaan
fasilitas olahraga agar dapat berjalan lancar, efektif dan efisien dalam
waktu yang lama. Adapun Administrasi atau pengelolaan sarana dan
prasarana olahraga meliputi:
a) Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Olahraga
Menurut Hisyam, (1991 : 31-32) bahwa “Tujuan pemeliharaan atau
peralatan dalam kegiatan olahraga adalah untuk menentukan dan
meyakinkan bahwa alat-alat dalam keadaan aman dan memuaskan
untuk digunakan kegiatan-kegiatan tersebut”. Selanjutnya dijelaskan
bahwa prinsip-prinsip dalam pemeliharaan sarana dan prasarana
olahraga yaitu:
(1) Kebijaksanaan dan tata cara memelihara sarana olahraga harus
direncanakan untuk memperpanjang umur peralatan
sedemikian rupa sehingga mungkin akan menghasilkan modal
lagi yang maksimal.
(2) Pemeliharaan hendaknya direncanakan untuk menjamin
keselamatan bagi semua orang yang menggunakan alat-alat.
(3) Hanya orang-orang yang berhak hendaknya diberi kedudukan
sebagai pemimpin, kepala tata usaha.
(4) Alat-alat seharusnya diawasi secara periodik untuk
memperoleh dan mencapai keselamatan dan kondisi alat-alat.
(5) Perbaikan dan pemulihan kembali kondisi peralatan
dibenarkan apabila alat alat atau bahan yang diperbaiki atau
dibangun dengan biaya yang murah.
(6) Menutupi dan melindungi peralatan yang layak dapat
menolong dan menjamin pemeliharaan secara ekonomis dan
aman.
b) Inventarisasi Sarana dan Prasarana Olahraga
Inventarisasi adalah upaya untuk mencatat dan membuat pembukuan
keberadaan sarana prasarana olahraga. Inventarisasi akan
memudahkan pengelolaan sarana dan prasarana olahraga dan
mencegah hilang serta rusaknya sarana prasarana olahraga. Langkah-
langkah melakukan inventarisasi sebagai berikut:
(1) Siapkan buku inventarisasi
(2) Inventarisasi dilakukan seorang yang ahli dan teliti.
(3) Lakukan pelabelan dan tanda register semua sarana prasarana
dengan teliti dan Benar
(4) Buat papan data keadaan sarana prasarana yang bisa diketahui
68
semua orang.
(5) Pemeliharaan barang merupakan kegiatan penjagaan atau
pencegahan dari kerusakan suatu sarana prasarana olahraga,
sehingga sarana prasarana tersebut dalam kondisi baik dan siap
pakai. Pemeliharaan dilakukan secara kontinyu terhadap semua
barang-baranginventaris. (Didik, 2011).
Dewasa ini, perkembangan olahraga cukup pesat dan sudah mulai
merambah ke dunia bisnis, hal ini dikarenakan olahraga sudah
merupakan konsumsi bagi masyarakat umum dan dengan sendirinya
bermunculan bisnis-bisnis baru dalam dunia olahraga untuk memenuhi
kebutuhan olahraga dalam berbagai jenis sehingga perlu sebuah sistem
pemasaran yang baik akan produk-produk dan jasa yang dikomersilkan.
Begitu pula halnya dengan pengelolaan sarana dan prasarana olahraga,
demi menjaga kelangsungan dan keawetan sarana dan prasarana olahraga
yang sudah tersedia maka diperlukan sebuah sistem managemen
pemasaran olahraga yang baik. Di Indonesia istilah pemasaran olahraga
mulai dikembangkan khususnya pada cabang-cabang olahraga yang
popular di masyarakat. Mullin dalam Harsuki, (2012:210) memberikan
pengertian pemasaran olahraga sebagai berikut:
“Pemasaran olahraga terdiri dari semua aktivitas yang terencana
untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan pada
partisipasi pertama, kedua dan ketiga dan penonton pertama,
kedua dan ketiga melalui proses pertukaran. Oleh karena itu,
pemasaran olahraga telah berkembang dengan dua arah yaitu: a.
Pemasaran produk dan service olahraga kepada pelanggan
olahraga, dan b. Pemasaran yang menggunakan olahraga sebagai
suatu wahana promosi untuk pelanggan dan service serta produk
industri”.
Proses pemasaran olahraga didalamnya memerlukan beberapa
komponen penting, diantaranya yaitu: strategi pemasaran, taktik
pemasaran dan value pemasaran yang harus disusun secara seksama dan
baik. Strategi pemasaran olahraga adalah cara untuk mencapai tujuan
jangka panjang, dalam ruang lingkup strategi pemasaran olahraga ada
tiga konsep yang harus diperhatikan diantaranya communitization,
confirmation dan clarification. Taktik pemasaran olahraga adalah
69
rentetan dari pelaksanaan pekerjaan dari suatu strategi, agar mencapai
tujuan, dalam ruang lingkup taktik pemasaran olahraga ada enam konsep
yang harus diperhatikan diantaranya codification, co-creation, currency,
communual activation, conversation and commercialization. Value
pemasaran olahraga adalah kemapuan yang dapat diberikan produsen
kepada konsumen untuk memuaskan konsumen itu sendiri. Dalam ruang
lingkup value yang harus diperhatikan antara lain character, care and
collaboration. Bila kita lihat dari sudut pandang produk industri
olahraga, maka yang menjadi ruang lingkup pemasaran olahraga antara
lain: sarana dan prasarana yang diproduksi, diperjualbelikan dan/atau
disewakan, barang-barang olahraga seperti peralatan dan perlengkapan
olahraga, dan Jasa penjualan kegiatan olahraga. (Poernomo, 2012)
4) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Olahraga
Pembangunan sarana dan prsarana olahraga merupakan sebuah
keharusan agar dapat mendukung proses pemassalan olahraga bagi
masyarakat. Adanya sebuah perencanaan yang baik serta sistem
penyediaan yang maksimal harus diiringi pula dengan pola pemanfaatan
yang tepat, karena jika salah dalam pola pemanfaatannya, maka akan
berdampak negatif bagi perkembangan olahraga itu sendiri. Kesalahan
dalam pemanfaatan sarana dan prsarana olahraga misalnya dengan
mengeluarkan kebijakan untuk memberikan ijin penggunaan sarana dan
prsarana olahraga seperti stadion sepakbola untuk kegiatan di luar
olahraga misalnya untuk kampanye atau hiburan.
Kebijakan seperti ini tidak baik bagi kelangsungan sarana dan
prsarana olahraga, karena sarana dan prsarana yang digunakan tersebut
bisa rusak bahkan beralih fungsi. Hal ini harus disadari oleh pembuat
kebijakan di suatu wilayah. Salah satu tujuan disediakannya sarana dan
prsarana olahraga yaitu agar dapat dimanfaatkan semua kalangan
sehingga menunjang perkembangan olahraga disuatu wilayah akan
tetapai harus tetap memperhatikan prosedur-prosedur dalam
70
pemanfaatannya. Konsumen sarana dan prsarana olahraga adalah pelaku
olahraga itu sendiri, mulai dari pelaku olahraga prestasi, olahraga
rekreasi sampai dengan olahraga pendidikan. Pola pemanfaatan setiap
ruang lingkup olahraga berbeda tergantung dari hakikat dan tujuan
masing-masing namun dengan satu harapan bahwa olahraga dapat
memasyarakat dan menjadi pola hidup sehat bagi setiap orang.
a) Pemanfaatan sarana dan prsarana Olahraga Prestasi
Olahraga prestasi yang cenderung menitik beratkan pada
pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya membutuhkan sarana
dan prsarana dengan kualitas yang baik pada setiap cabang
olahraga yang ada sehingga dapat menunjang pencapaian prestasi
cabang olahraga tersebut. sarana dan prsarana olahraga prestasi
lebih dikhususkan untuk prestasi, dalam artian bukan untuk sarana
dan prsarana yang bisa diakses secara umum karena jika fasilitas
tersebut salah dalam penggunaannya maka sarana dan prsarana
tersebut akan menjadi rusak, sehingga tidak semua orang bisa
mengakses sarana dan prsarana olahraga prestasi kecuali mereka
yang berkecimpung di olahraga prestasi.
b) Pemanfaatan sarana dan prsarana Olahraga Rekreasi
Pemanfaatan sarana dan prsarana olahraga rekreasi memiliki
keunikan sendiri dimana sarana dan prsarana tersebut dirancang
sedemikian rupa dengan tujuan agar mampu menarik minat
masyarakat sebanyak-banyaknya sehingga mau melakukan
olahraga yang aktifitasnya dikemas dalam sebuah permainan atau
bersifat rekreasi. Untuk sarana dan prsarana olahraga rekreasi,
semua orang memiliki kesempatan yang besar untuk mengaksesnya
dan semakin banyak masyarakat yang memanfaatkannya maka
semakin baik.
c) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Olahraga Pendidikan
Pemanfaatan sarana dan prsarana olahraga pendidikan di sekolah
disesuaikan dengan tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Dalam
71
pemanfaatannya, sarana dan prsarana tersebut bisa dimanfaatkan
oleh siswa dan guru untuk mendukung proses belajar mengajar.
d) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Olahraga bagi Masyarakat
Untuk mendukung program memasyarakatkan olahraga dan
mengolahragakan masyarakat maka hal yang harus menjadi
perhatian adalah tingkat kemudahan bagi masyarakat untuk
mengakses dan memanfaatkan sarana dan prsarana olahraga yang
ada. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menciptakan
sebanyak-banyaknya sarana dan prsarana olahraga dan dapat
memfasilitasi masyarakat dalam berolahraga. pemanfaatannya
harus mengedepankan kemudahan untuk mengakses tanpa harus
dipersulit dengan prosedur tertentu dan lebih baik lagi jika sarana
dan prsarana tersebut bisa diakses secara gratis oleh masyarakat.
Contohnya yaitu sebuah lapangan terbuka, alun-alun dan Car Free
Day yang dapat menampung banyak orang untuk beraktifitas
olahraga.
Berbagai kemajuan pembangunan dibidang keolahragaan
bermuara pada meningkatnya budaya dan prestasi olahraga. Hal ini
antara lain ditunjukkan oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam
melakukan kegiatan olahraga terutama dalam lingkup satuan pendidikan
mengalami peningkatan sebagaimana ditunjukkan oleh data Susenas
2003 dan 2006 bahwa persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas
yang melakukan olahraga di sekolah meningkat dari 54,1% pada tahun
2003 menjadi 58,2% pada tahun 2006. Partisipasi masyarakat dalam
melakukan kegiatan olahraga semakin meningkat yang ditunjukkan
dengan peningkatan partisipasi masyarakat pada Indeks Pembangunan
Olahraga (SDI) dari 0,345 pada tahun 2005 menjadi 0,422 pada tahun
2006, dimana pengukuran SDI sesungguhnya meliputi perkembangan
banyaknya anggota masyarakat suatu wilayah yang melakukan kegiatan
olahraga. Luasnya tempat yang diperuntukkan untuk kegiatan
berolahraga bagi masyarakat dalam bentuk lahan, bangunan, atau ruang
72
terbuka yang digunakan untuk kegiatan berolahraga dan dapat diakses
oleh masyarakat luas, kebugaran jasmani yang merujuk pada
kesanggupan tubuh untuk melakukan aktivitas tanpa mengalami
kelelahan yang berarti, serta jumlah pelatih olahraga, guru Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan instruktur olahraga dalam suatu
wilayah tertentu. Hal ini tercermin dari tingkat kemajuan pembangunan
olahraga Indonesia yang hanya mencapai 34 % (Sports Development
Index) pada tahun 2004. Indeks ini dihitung berdasarkan angka indeks
partisipasi, ruang terbuka, sumber daya manusia, dan kebugaran.
Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga untuk
meningkatkan kemajuan pembangunan olahraga, beberapa permasalahan
yang harus diatasi adalah belum terwujudnya peraturan perundang-
undangan tentang keolahragaan, rendahnya kesempatan untuk
beraktivitas olahraga karena semakin sempitnya ruang terbuka serta
sarana dan prasarana untuk berolahraga, dan lemahnya koordinasi lintas
lembaga dalam hal penyediaan ruang publik untuk sarana dan prasarana
olahraga bagi masyarakat umum dan tempat permukiman.
Kegiatan fisik (physical activity) yang dilakukan secara teratur
dan berkesinambungan merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat
untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan. Dari sekian banyak jenis
dan bentuk kegiatan fisik, kegiatan olahraga merupakan bentuk kegiatan
fisik yang paling banyak memiliki kelebihan. Selain berfungsi untuk
menjaga dan meningkatkan kesehatan, olahraga juga berfungsi sebagai
aktivitas untuk rekreasi atau hiburan dan sekaligus sebagai sarana untuk
mencapai prestasi. Sejalan dengan itu, sebagai salah satu upaya dalam
rangka peningkatan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat serta
pembudayaan perilaku hidup sehat masyarakat, pemerintah
menyelenggarakan berbagai program untuk meningkatkan partisipasi
olahraga di masyarakat.
Badan Pusat Statistik dalam penelitiannya menemukan bahwa
struktur demografis masyarakat, pengetahuan masyarakat tentang
73
manfaat olahraga, selera atau preferensi, ketersediaan fasilitas olahraga
dan lingkungan tempat tinggal merupakan faktor-faktor internal yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam berolahraga. Prestasi atlet
terutama pada event internsional, motivasi guru/pelatih, dan intervensi
pemerintah juga diyakini sebagai faktor eksternal yang dapat merangsang
tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk berolahraga, Dirjen Olahraga
(2004). Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa ketersediaan prasarana
mempengaruhi motivasi mereka melakukan olahraga. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa partisipasi aktif olahraga tidak cukup hanya
menyerahkan sepenuhnya kepada kemauan orang per orang saja, akan
tetapi perlu didorong dengan menciptakan situasi yang memungkinkan
masyarakat melakukan olahraga, misalnya dengan memberikan sarana
dan prasarana yang memadai (Dirjen Olahraga 2004).
d. Perencanaan Profesional Arsitektur Sarana dan Prasarana Olahraga
Perencana profesional arsitektur sarana dan prsarana olahraga adalah
perencana yang memenuhi kriteria dan aturan organisasi profesi. Lingkup
tugas pengembangan profesi perencana menjadi perencana profesional sarana
dan prsarana olahraga dimulai dari pengembangan sebelum menjadi profesi,
mulai mendapatkan pengakuan sebagai profesional dan mengembangkan
profesional lebih tinggi kelasnya, antara lain sebagai berikut: (1) lingkup
keanggotaan organisasi profesi, dimana mendapatkan rekomendasi minmal
2 orang anggota profesional kelas A untuk menjadi anggota IAI DKI Jakarta
(belum profesional), (2) lingkup pengembangan kemampuan profesional,
dimana untuk mengembangkan diri menjadi profesi dan profesional
dibidangnya mengikuti persyaratan yang diberlakukan organisasi profesi
yaitu IAI DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi setempat, dan (3) lingkup
profesional dibidang perencana arsitektur sarana dan prsarana olahraga.
Pengembangan perencana profesional prsarana olahraga menjadi
suatu perencanaan yang profesional berdasarkan perkembangannya ternyata
melaui proses yang panjang. Salah satu tahap yang harus dilalui adalah
74
mendaftarkan diri terlebih dahulu sebagai anggota organisasi profesi yang
diminati (IAI DKI Jakarta, 1986). Misalnya sebagai perencana prfesional
dibidang arsitektur, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Perencana Konstruksi,
Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) atau Perencana Mekanikal dan
Elektrikal (PME), Himpunan Mekanikal dan Elektrikal (HME). Karena
dalam pokok bahasan ini dibatasi sebagai perencana arsitektur sarana dan
prsarana olahraga, berarti peminat harus mendaftarkan dirinya kepada
organisasi IAI.
Tahap berikutnya perencana sesuai peminatannya harus mengikuti
penataran sesuai kelasnya, yakni pemula masuk strata 1, apabila telah
berpengalaman minimal 2 kali merencanakan sarana dan prsarana olahraga
dapat mendaftarkan kembali untuk mengikuti strata 2 dan berhak
mendapatkan Sertifikat Ijin Bekerja Perencana Arsitektur (SIBP) C, yang
dikeluarkan untuk wilayah DKI Jakarta oleh Kepala Dinas Pengawas dan
Penataan Bangunan (P2B). Di sini perencana arsitektur sarana dan prsarana
olahraga sudah dapat dikatakan profesional. Selanjutnya setelah minimal dua
kali lagi berhasil merencanakan sarana dan prsarana olahraga yang telah
dinilai oleh Majelis IAI dan Tim Penasehat Arsitektur (TPAK) DKI Jakarta,
boleh mengajukan lagi untuk menempuh strata 3. Setelah lulus dari Tim
Majelis IAI, maka perencana berhak mendapatkan SIBP B dengan melunasi
kewajiban iuran anggota profesional dan kewajiban yang diberlakukan P2B,
maka SIBP B dapat dimiliki. Selanjutnya setelah setiap criteria menjadi
arsitek yang profesional dibidang perencana sarana dan prsarana olahraga
dilalui semakin tinggi strata yang diperoleh semakin berat tanggung jawabnya
dan sudah tentu makin besar imbalan yang didapat sesuai aturan organisasi
profesi atau IRTA (perhitungan imbalan jasa perencanaan bangunan-
bangunan gedung) yang telah diberlakukan IAI DKI Jakarta, (1986).
Selanjutnya apabila perencanaan sudah benar-benar profesional dan
minimal pernah menangani proyek-proyek skala besar/nasional, 1 kali saja
dan lolos dari penilaian Tim TPAK dan Tim Majelis IAI, maka perencana
berhak mendapatkan sertifikat SIBP A dari P2B, merupakan SIBP yang
75
paling tinggi. Dikatakan perencana arsitektur yang profesional dibidang
fasilitas olahraga harus sudah memiliki kemampuan mendiagnosis tugas-
tugas yang di bebankan.
Persyaratan-persyaratan perencanaan sarana dan prsarana olahraga
yang ditugaskan sudah harus menjadi bahan pertimbangnya, dan tidak
menjadi masalah dan hambatan setelah pekerjaan dimulai, antara lain sebagai
berikut: Legal aspek sudah tidak bermasalah: (a) Surat-surat tanah
bersertifikat, PBB lunas dibayar sesuai tahun yang sudah berjalan dan tidak
dalam keadaan sengketa; (b) Lokasi sesuai dengan peruntukkan tata ruang,
aksesbilitas tingkat kemudahan tinggi, tidak dalam lokasi yang rawan
bencana, aman, kondisi tanah tidak mudah longsor, konus (daya tahan tanah)
rendah tanah yang labil sulit untuk dibangun, tidak banjir bukan pantai yang
rawan tsunami dan keamanan iklim serta pengaruh kondisi alam lainnya; (c)
Terukur dengan luas yang memadai, dan diukur oleh stakholder atau pihak
terkait (Tata Kota dan BPN), serta diikuti keterangan rencana kota yang
berlaku jelas perutukannya, besaran lebar jalanya, garis sempadan, intensitas
bangunannya, ada rencana site dan rencana blok (block plan).
Secara teknik teknologis, rencana sarana dan prsarana olaharaga
secara profesional dipersiapkan:
(a) Desain perencanaan arsitektur sarana dan prsarana olahraga harus
direncanakan secara profesional, artinya telah mempertimbangkan
aspek wawasan identitas arsitektur, aspek penampilan sebagai
bangunan sarana dan prsarana olahraga memenuhi persyaratan
pemanfaatan sebagai kecabangan olahraga tertentu, aspek
lingkungan dan kondisi alam sekitarnya serta dampak multliplier
efek pembangunan maupun aspek ketahanan untuk pemeliharaan
& aspek keamanan bangunan
(b) Perhitungan konstruksi bagungan sarana dan prsarana olahraga
harus dapat dipertanggungjawabkan dengan mempertimbangkan
bahan bangunan yang dipergunakan serta keamanan teknik
pelaksanan pembangunannya.
76
(c) Dokumen kontrak harus dipersiapakan secara profesional. Artinya
secara keseluruhan terkoordinasi sejak kapan kegiatan perencanaan
dilakukan, kapan pelaksanaan dan pasca pembangunan bagaimana
operasionalisasi.
Pemanfaatan bangunan sarana dan prsarana olahraga di kelola juga
secara profesional. Pengembangan perencana profesional arsitektur sarana
dan prsarana olahraga ternyata satu disiplin keilmuan saja tidak cukup untuk
menangani perencanaan sarana dan prsarana olahraga secara nasional.
Pengalaman penulis membuktikan, ternyata ilmu yang berkaitan dengan
perencananaan arsitektur sarana dan prsarana olahraga secara nasional begitu
luas dan menarik untuk dipelajari, ditekuni dan di terapkan serta dapat
bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia. Ternyata, menurut pernyataan
Sekjen PBB Kofianan dipembukaan konferensi pendidikan jasmani sedunia
di Thailand, bahwa olahraga sudah menjadi kebutuhan hidup manusia,
bahkan sebagai instrumen kesejahteraan paripurna.
Perencanaan arsitektur sarana dan prsarana olahraga yang ada saat ini
secara nasional dan profesional memang sudah baik dan professional
pengembangannya, namun masih secara incremental (sporadis). Nampaknya
secara konfrehensif selama Republik ini berdiri belum pernah disiapkanya
secara holistik dan konfrehensif (Ditjora Depdiknas, 2004). Oleh karena itu
untuk pengembangan perencanaan sarana dan prsarana olahraga secara
nasional masih diperlukan pula pengembangan perencana profesional
arsitektur sarana dan prsarana olahraga.
Adapun secara runtun dapat ditampilkan sebagai berikut : (1) Dari sisi
disiplin keilmuan teknik arsitektur, memerlukan teknik pengembangan
pengelolaan mekanisme perencanaan, maka diperlukan disiplin manajemen
konstruksi supaya perencanaan; (2) dapat terkelola dengan lancar, hambatan
dapat diminimalisir, penyelesaian dapat efektif dan efisien mengingat
cakupan perencanaan secara nasional memerlukan sinkronisasi dan tehnis
administrasi dan menejerial yang holistik, terpadu dengan stakholder (pihak
terkait); (3) Merencanakan sarana dan prsarana olahraga secara nasional
77
dengan dua disiplin: teknik arsitektur, teknik sipil dan manejemen saja masih
belum cukup, perencana harus mengembangkan profesionalisme kemampuan
dirinya dengan mempelajari ilmu keolahragaan dan pendidikan jasmani.
Berkaitan dengan ilmu olahraga, sehingga dapat digabungkan dengan ilmu
yang dimiliki penulis yaitu tenical architechture dan spatial planning serta
manajemen, hingga lengkap menjadi suatu disiplin olahraga dan teknik
arsitekur serta tata ruang (Sports Engineering); (4) Sebagai profesional yang
handal secara disiplin keilmuan dapat diasumsikan cukup, namun teknik
dilapangan masih memerlukan pengembangan wawasan bagi perencana
secara internasional, baru ada input (masukkan) untuk merencanakan lebih
profesional betul. Untuk menyiapkan perencanaan sarana dan prsarana
olahraga nasional yang konprehensif atau holistik membutuhkan proses
pengembangan perencana dengan waktu yang cukup memadai.
Perencana sarana dan prsarana olahraga yang profesional harus
memperhatikan mekanisme prosedur perencanaan sarana dan prasarana
olahraga nasional (Ditjora Depdiknas, 2004): (a) Aspek perencanaan macro
spatial planning harus memahami wawasan nusantara dan rencana tata ruang
nasional; (b) Aspek perencanaan meso arsitektur tata kawasan kota dan
lingkungan perencana harus memahami desain bangunan sarana dan prsarana
olahraga, mengingat ciri dari bangunan sarana dan prsarana olahraga dengan
bentangan panjang dan pemanfaatannya spesifik menurut kecabangan
olahraganya; (c) Aspek perencanaan mikro yaitu perencanaan teknik
konstruksi harus memahami perhitungan konstruksi beton, baja kayu dan
batu; (d) Aspek pelaksanaan pembangunan harus memahami administrasi
bangunan dan perijinan; (e) Aspek pembiayaan harus memahami analisa
rencana biaya dan alokasi pendanaan yang tepat guna serta berhasil guna,
dengan memperhatikan iptek olahraga dan material/bahan bangunan yang
dipergunakan; (f) Aspek pengawasan dan pengendalian harus mehami
menejemen konstruksi supaya pelaksanaan sesuai dengan perencanaan dan
desain arsitektur yang estetis konstruksi yang kokoh kuat dapat dipertangung
jawabkan serta terjangkau.
78
Ketersediaan perencana profesional sarana dan prsarana olahraga
kunci untuk mewujudkan pembangunan yang berkualitas dan professional.
Profesionalitas sumberdaya manusia perencana arsitektur sarana dan prsarana
olahraga sangat menetukan keberhasilan kualitas kerja yang professional.
Berpegang pada kode etik profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi
profesi. Untuk menunjang peningktan kualitas kinerja perencana profesional
arsitektur sarana dan prsarana asilitas olahraga, maka disarankan untuk:
memiliki dan mengembangkan selalu keilmuan bidang teknik, olahraga dan
manajemen, serta tekun dan sabar. Untuk pengembangan profesionalitas
perlu mempersiapkan kemampuan dengan menambah pendidikan
pengembangan profesional, baik penjenjangan strata yang diselenggarakan
organisasi profesi maupun dengan pendidikan secara formal. Pendidikan
formal, memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para perencana arsitektur
sarana dan prsarana olahraga yang berstatus pejabat, swasta dan masyarakat
seperti: strata pendidikan S1, S2 dan S3.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penitian yang dilaksanakan oleh peneliti
mengenai “Kebijakan Pemerintah Tentang Ketersediaan Sarana dan Prasarana
Olahraga” adalah penelitian yang dilakukan oleh:
1. Nama : Agus Kristiyanto
Judul : Kajian Fasilitas Olahraga Prestasi “Warisan” Penyelenggaraan
Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII Tahun 2008 Di
Kalimantan Timur.
Tahun : 2010
Sumber : Buku Pembangunan Olahraga Untuk Kesejahteraan Rakyat Dan
Kejayaan Bangsa.
Penelitian tersebut bertujuan untuk menyusun sebuah kebijakan manajemen
berbasis keunggulan lokal. Dalam pembahasannya penelitian tersebut mengulas
tentang dasar yuridis Pengembangan sarana dan prasarana olahraga dan survey
kelayakan sarana dan prasarana olahraga prestasi “Warisan” penyelenggaraan Pekan
Olahraga Nasional (PON) XVII Tahun 2008 Di Kalimantan Timur.
79
Dari hasil penelitian tersebut, terungkap bahwa tersedianya sarana dan
prasarana olahraga merupakan prasyarat aksi dalam mendorong terlaksananya
aktivitas olahraga dikalangan masyarakat dan merupakan sebuah keharusan terutama
terkait dengan penyelenggaraan Event Olahraga Nasional seperti Pekan Olahraga
Pelajar Nasional (POPNAS), Pekan Olahraga Nasional (PON), bahkan jika
memungkinkan Sea Games dan Asian Games.
Dari hasil kajian yang dilakukan, terbukti adanya beberapa bentuk Kebijakan
Pemerintah yang mendukung dalam usaha penyediaan sarana dan prasarana olahraga
di setiap daerah. Selain itu, berdasarkan hasil analisis kelayakan pada 5 (lima) sarana
dan prasarana olahraga di Balikpapan, terungkap dimana sarana dan prasarana yang
tersedia bisa dibilang representatif dan memenuhi kriteria Standar Keolahragaan
Nasional. Kemudian dari data yang ada, dapat diartikan bahwa tingkat pendapatan
lebih besar dari biaya perawatan yang dikeluarkan dalam pengelolaan sarana dan
prasarana tersebut.
2 Nama : Arnold Meka
Judul : Kebijakan Koni Dalam Bidang Olahraga (Studi tentang usaha KONI
Surakarta dalam pencapaian prestasi bidang olahraga)
Tahun : 2011
Sumber : Skripsi (Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta)
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan yang
dilakukan KONI dan hal-hal yang mempengaruhi kebijakan tersebut dalam
pembinaan olahraga di Surakarta. Dari hasil kajian yang dilakukan diperoleh
kesimpulan bahwa Pemerintah Kota Surakarta melalui KONI telah
mengimplementasikan UU No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional kedalam berbagai upaya untuk pembinaan olahraga di kota Surakarta.
Dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa implementasi dari UU No.3 Tahun 2005
belum berjalan secara maksimal dimana masih terdapat kelemahan dalam pembinaan
dan pengawasan KONI kepada pengurus cabang olahraga. Pendanaan bidang
olahraga masih tertinggal dibanding daerah-daerah disekitarnya padahal Kota
Surakarta memiliki kondisi ekonomi yang cukup mendukung.
80
C. Kerangka Berfikir
Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir
Kebijakan Pemerintah Daerah tentang olahraga diwujudkan dalam bentuk
perundang-undangan atau Peraturan Daerah (PERDA), Peraturan Bupati (PERBUB),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Strategis (Renstra) dan Instruksi yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan yang mengatur salah satunya
tentang penyediaan sarana dan prasarana olahraga sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 tahun 2005.
Kebijakan Pemerintah
Daerah Tentang Olahraga
INSTRUKSI RKPD RPJMD
Perkembangan Olahraga di
Kabupaten Lombok Timur
4. Pemanfaatan
Sarana dan
Prasarana
Olahraga
1. Perencanaan
sarana dan
Prasarana
Olahraga
2. Realisasi
sarana dan
prasarana
Olahraga
3. Pengelolaan
Sarana dan
Prasarana
Olahraga
RENSTRA PERBUB PERDA
81
Kebijakan yang dibuat tersebut diantaranya mengatur tentang perencanaan sarana
dan prasarana olahraga, Realisasi penyediaan sarana dan prasarana olahraga,
pengelolaan sarana dan prasarana olahraga dan pemanfaatan sarana dan prasarana
olahraga. Proses implementasi kebijakan pemerintah dimulai dari adanya suatu
kebijakan yang telah siap dilaksanakan. Outcomes yang dihasilkan melalui proses
implementasi terdiri atas hasil segera kebijakan (policy effect) dan hasil akhir (policy
impact). Hasil segera dan dampak yang ditimbulkan suatu program sangat berguna
untuk menilai kinerja implementasi suatu program. Policy effect merupakan
pengaruh jangka pendek yang dihasilkan dari pelaksanaan kebijakan sedangkan
policy impact adalah sejumlah outcomes yang dihasilkan suatu program melalui
proses jangka panjang. Dampak akhir baru dapat diteliti dan diketahui hasilnya
setelah suatu program sekian lama dilaksanakan (Bambang S, 1994 : 139). Dengan
perencanaan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan dijalankan maka Outcomes
yang diharapkan dalam kebijakan ini yaitu tersedianya sarana dan prasarana olahraga
yang memadai dan dapat dipergunakan olaeh masyarakat umum di Kabupaten
Lombok Timur
Sebuah Kebijakan Pemerintah memerlukan penyusunan rencana yang baik
Hal-hal yang harus dijalankan untuk mendukung implementasi kebijakan tersebut,
misalnya dalam bentuk (Rencana Strategis). Rencana tersebut merupakan sebuah
proyek konkret yang akan dilaksanakan dalam suatu jangka waktu tertentu dimana
target-target harus dapat dipenuhi sesuai patokan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Dengan perencanaan yang baik maka diharapkan pemerintah daerah dapat
merealisasikannya dalam bentuk nyata, yaitu dengan membangun atau menyediakan
sarana dan prasarana olahraga yang memadai, sehingga terwujudnya ketersediaan
sarana dan prasarana olahraga di Lombok Timur. Dengan tersedianya sarana dan
prasarana olahraga maka masyarakat semakin terfasilitasi untuk berolahraga. Hal
tersebut diharapkan memberikan dampak positif bagi dunia olahraga di Kabupaten
Lombok Timur.
Dalam pengelolaan sarana dan prasarana olahraga, pada umumnya diserahkan
kepada lembaga-lembaga pemerintahan dari berbagai jenjang mulai dari tingkat
pusat sampai ketingkat daerah, bahkan tidak jarang dilimpahkan kepada pihak swasta
82
namun harus dalam pengawasan pemerintah secara ketat. Agar keberadaan sarana
dan prasarana tetap terjaga maka diperlukan juga adanya sebuah system pengelolaan
sarana dan prasarana olahraga yang baik. Tanpa adanya pengelolaan yang baik, maka
segala sarana dan prasarana yang ada tidak akan terawat dan pada akhirnya sarana
dan prasarana tersebut terbengkalai bahkan rusak. Maka dari itu, sebuah sistem
pengelolaan yang baik juga berperanan penting dalam implementasi kebijakan
pemerintah tentang sarana dan prasarana olahraga.
Sarana dan prasarana yang sudah tersedia semestinya dimanfaatkan sesuai
dengan kegunaannya. Kemudahan dalam mengakses dan memanfaatkan sarana dan
prasarana olahraga yang ada sebaiknya diimbangi dengan standar kualitas yang
memadai, sehingga dapat mendukung kemajuan dalam pencapaian prestasi olahraga
dan minat masyarakat untuk berolahraga mulai dari perkotaan sampai dengan
pelosok desa di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.