bab ii tinjauan pustaka a. demam berdarah dengue demam
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue
1. Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah jenis penyakit demam akut yang
disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus lagi dengan genus Flavivirus
yang dikenal dengan Virus Dengue yang ditandai dengan demam berdarah 2
sampai 7 hari tanpa sebab yang jelas lemas, lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai
tanda perdarahan di kulit berupa bintik pendarahan (Ariani 2016:16).
Penyakit Demam DBD yang ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus
Aedes terutama Aedes Agypti atau Aedes Albopictus dapat muncul sepanjang
tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan
dengan kondisi lingkungan, iklim, mobilitas yang tinggi, kepadatan penduduk
perluasan perumahan dan perilaku masyarakat. (Kemenkes RI, 2018).
2. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah atau dikenal dengan istilah Demam Berdarah Dengue
(DBD) merupakan sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi virus
Dengue yang memiliki 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (Ariani
2016:16).
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes
Aegypti yang mengandung virus Dengue. Pada saat nyamuk Aedes Aegypti
makan virus Dengue akan masuk ke dalam tubuh, setelah masa inkubasi sekitar
3-15 hari penderita bisa mengalami demam tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak
8
penderita mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan gejala tersebut
(Ariani 2016:16).
3. Penularan Demam Berdarah Dengue
a. Fase Suseptipel (rentan)
Fase susenpentil adalah tahap awal penjalanan penyakit dimulai dari
terpaparnya individu yang rentan (suseptibel). Fase suseptibel dari demam
berdarah dengue adalah pada saat nyamuk Aedes agypti yang tidak infektif
kemudian infektif setelah menggigit manusia yang sakit atau dalam keadaan
viremia (masa virus bereplikasi cepat dalam tubuh manusia). Nyamuk Aedes
agypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya.
Ketika menggigit manusia nyamuk mensekresikan kelenjar saliva melalui
proboscis terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak membeku. Bersama
sekresi saliva inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk antar manusia
(Purnama, 2016: 52).
b. Fase Subklinis (Asismtomatis)
Fase subklinis adalah waktu yang diperlukan dari mulai paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis (penyakit infeksi) atau masa laten
(penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan gejala
klinis atau disebut dengan fase subklinis (asismtomatis). Masa inkubasi ini dapat
berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersensitivitas
(Purnama, 2016: 52).
Fase subklinis dari demam berdarah dengue adalah setelah virus dengue
masuk bersama air liur nyamuk kedalam tubuh, virus tersebut kemudian
memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih seta kelenjar getah
bening untuk kemudian masuk kedalam system sirkulasi darah. Virus ini berada
didalam darah hanya selama 3 hari sejak ditularkan oleh nyamuk. Pada fase
subklinis ini, jumlah trombosit masih normal selama 3 hari pertama. (Purnama,
2016: 52).
Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan
membentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai
antigennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang
merusak sel sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun. Proses
tersebut menyebabkan permeabilistas kapiler meningkat yang salah satunya
ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal tersebut
akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain: trombosit dan eritrosit.
Jika hal ini terjadi maka penyakit DBD akan memasuki fase klinis dimana sudah
mulai ditemukan gejala dan tanda secara klinis adanya suatu penyakit. (Purnama,
2016: 53).
c. Fase klinis (proses ekspresis)
Tahap selanjutnya adalah fase klinis yang merupakan tahap ekspresi dari
nyakit tersebut. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala (symptom)
penyakit secara klinis dan penjamu yang mengalami manifestasi klinis
(Purnama, 2016: 53).
Fase dari demam berdarah dengue ditandai dengan badan yang
mengalami gejala demam dengan suhu tinggi antara 39-40°C. akibat
pertempuran antara antibody dan virus dengue terjadi penurunan kadar trombosit
dan bocornya pembuluh darah sehingga membuat plasma darah mengalir ke luar.
Penurunan trombosit ini mulai bisa dideteksi pada hati ketiga. Masa kritis
penderita DBD berlangsung sesudahnya, yakni pada hari keempat dan kelima.
Pada Fase ini suhu badan turun dan biasanya diikuti oleh sindrom shock dengue
karena perubahan yang tiba-tiba. Muka penderia pun menjadi memerah atau
facial flush. Biasanya penderita juga mengalami sakit kepala, tubuh bagian
belakang, otot, tulang dan perut (antara pusar dan ulu hati). Tidak jarang diikuti
dengan muntah yang berkelanjut dan suhu dingin dan lembab pada ujung jari
serta kaki. (Purnama, 2016: 53).
Tersangka DBD akan mengalami demam tinggi yang mendadak terus
menerus selama kurang dari seminggu, tidak disertai infeksi saluran pernapasan
bagian atas, dan badan lemah dan lesu. Jika ada kedaruratan makan akan muncul
tanda-tamda syok, muntah terus-menuerus, kejangm muntah darah, dan batuk
darah sehingga penderita harus segera menjalani rawat inap. Sedanglan jika tidak
terjadi kedaruratan, maka perlu uji torniket positif dan torniket negative yang
berguna untuk melihat permeabilitas pembuluh darah sebagai cara untuk
menentukan langkah penanganan selanjutnya (Purnama, 2016: 53). Manifestasi
klinis DBD sangat bervariasi, (WHO, 2019) membagi menjadi 4 derajat, yaitu:
1. Derajat I : Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan
manifestasi pendarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif
2. Derajat II : Gejala-gejala derajat l, disertai gejala-gejala pendarahan kulit
spontan atau manifestasi pendarah yang lebih berat.
3. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menyempit (<20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit
dingin dan lebab, gelisah.
4. Derajat IV :Syok berat ( profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak teratur.
d. Fase penyembuhan, kecacatan, atau kematian
Setelah teinfeksi virus dengue maka penderita akan kebal menyeluruh
(seumur hidup) terhadap virus dengue yang menyerangnya saat itu (misalnya
serotype 1). Namun hanya mempunyai kekebalan sebagai (selama 6 bulan)
terhadap virus dengue lain (serotype 2,3 dan 4). Demikian seterusnya sampai
akhirnya penderita akan mengalami kekebalan terhadap seluruh serotype
tersebut. (Purnama, 2016: 54).
Tahap pemulihan bergantung pada penderita dalam melewati fase
kritisnya. Tahap pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau
transfer trombosit. Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka pada hari
keenam dan ketujuh penderita akan berangsur membaik dan kembali normal
pada hari ketujuh dan kedelapan, namun apabila penderita tidak dapar melewati
masa kritisnya maka akan menimbulkan kematian (Purnama, 2016: 54).
4. Gejala Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue dapat bermanifestasi pada beberapa luaran, meliputi
demam biasa, demam berdarah (klasik), demam berdarah dengue (hemoragik),
dan sindrom syok dengue.
1. Demam berdarah (klasik)
Demam berdarah menunjukkan gejala yang umumnya berbeda-beda
tergantung usia pasien. Gejala yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak adalah
demam dan munculnya ruam. Sedangkan pada pasien usia remaja dan dewasa,
gejala yang tampak adalah demam tinggi, sakit kepala parah, nyeri di belakang
mata, nyeri pada sendi dan tulang, mual dan muntah, serta munculnya ruam pada
kulit. Penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia) dan penurunan keping darah
atau trombosit (trombositopenia) juga seringkali dapat diobservasi pada pasien
demam berdarah. Pada beberapa epidemi, pasien juga menunjukkan pendarahan
yang meliputi mimisan, gusi berdarah, pendarahan saluran cerna, kencing
berdarah (haematuria), dan pendarahan berat saat menstruasi (menorrhagia)
(Purnama, 2016: 54).
2. Demam berdarah dengue (hemoragik)
Pasien yang menderita demam berdarah dengue (DBD) biasanya
menunjukkan gejala seperti penderita demam berdarah klasik ditambah dengan
empat gejala utama, yaitu demam tinggi, fenomena hemoragik atau pendarahan
hebat, yang seringkali diikuti oleh pembesaran hati dan kegagalan sistem sirkulasi
darah. Adanya kerusakan pembuluh darah, pembuluh limfa, pendarahan di bawah
kulit yang membuat munculnya memar kebiruan, trombositopenia dan
peningkatan jumlah sel darah merah juga sering ditemukan pada pasien DBD.
Salah satu karakteristik untuk membedakan tingkat keparahan DBD sekaligus
membedakannya dari demam berdarah klasik adalah adanya kebocoran plasma
darah. Fase kritis DBD adalah seteah 2-7 hari demam tinggi, pasien mengalami
penurunan suhu tubuh yang drastis. Pasien akan terus berkeringat, sulit tidur, dan
mengalami penurunan tekanan darah. Bila terapi dengan elektrolit dilakukan
dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan cepat setelah mengalami
masa kritis. Namun bila tidak, DBD dapat mengakibatkan kematian (Purnama,
2016: 55).
3. Sindrom Syok Dengue
Sindrom syok adalah tingkat infeksi virus dengue yang terparah, di mana
pasien akan mengalami sebagian besar atau seluruh gejala yang terjadi pada
penderita demam berdarah klasik dan demam berdarah dengue disertai dengan
kebocoran cairan di luar pembuluh darah, pendarahan parah, dan syok
(mengakibatkan tekanan darah sangat rendah), biasanya setelah 2-7 hari demam.
Tubuh yang dingin, sulit tidur, dan sakit di bagian perut adalah tanda-tanda awal
yang umum sebelum terjadinya syok. Sindrom syok terjadi biasanya pada anak-
anak (kadangkala terjadi pada orang dewasa) yang mengalami infeksi dengue
untuk kedua kalinya. Hal ini umumnya sangat fatal dan dapat berakibat pada
kematian, terutama pada anak-anak, bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat.
Durasi syok itu sendiri sangat cepat. Pasien dapat meninggal pada kurun waktu
12-24 jam setelah syok terjadi atau dapat sembuh dengan cepat bila usaha terapi
untuk mengembalikan cairan tubuh dilakukan dengan tepat. Dalam waktu 2-3
hari, pasien yang telah berhasil melewati masa syok akan sembuh, ditandai
dengan tingkat pengeluaran urin yang sesuai dan kembalinya nafsu makan. Masa
tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue, dan
Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap
untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi eksentrik). Virus akan tetap
berada di dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya (Purnama, 2016: 55).
5. Cara penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD)
Cara penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu melalui nyamuk
yang mengigit seseorang yang sudah terinfeksi virus demam berdarah. Virus ini
akan terbawa dalam kelenjar ludah nyamuk. Virus dengue berada dalam darah
selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita Demam Berdarah
Dengue (DBD) digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut
terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan
memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di
dalam kelenjar liurnya. Virus ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang
hidupnya. Oleh karena itu, nyamuk Aedes Aegypti yang telah menghisap virus
Dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap
kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelum menghisap darah akan
mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersamaan air liur tersebut virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke
orang lain. Kemudian nyamuk ini menggigit orang sehat. Bersamaan dengan
terhisapnya darah dari orang yang sehat, virus demam berdarah juga berpindah
ke orang tersebut dan menyebabkan orang sehat terinfeksi virus demam berdarah
(Ariani, 2016:27).
6. Penyebab terjadinya DBD
a. Agent Penyakit
Penyebab DBD adalah virus dengue. Hingga kini dikenal dengan 4
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus ini termasuk ke dalam
group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Ke empat serotipe ini ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang
paling luas distribusinya disusul oleh DEN-2, DEN-1 dan DEN-4 (Ariani,
2016:33).
b. Host
1) Umur
2) Jenis Kelamin
3) Nutrisi
4) Populasi
5) Mobilitas penduduk
c. Lingkungan (Enviroment)
Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit dengue atau dikenal
dengan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan suatu organisasi.
1) Letak geografis
Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai
Negara tropic dan subtropik yang terletak antara 30° Lintang Utara dan 40°
Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Caribbean dengan
tingkat kejadian sebesar 50-100 juta setiap tahunnya(Ariani, 2016:35).
2) Musim
Periode epidemic yang terutama berlangsung selama musim hujan dan erat
kaitannya dengan kelembaban pada musim hujan. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan aktivitas vector dalam menggigit karena dukungan oleh lingkungan
yang baik untuk masa inkubasi. (Ariani, 2016:35).
7. Upaya pencegahan
Tahapan pencegahan yang dapat diterapkan untuk menghindari terjadinya
fase suseptibel dan fase subklinis atau yang sering disebut dengan fase
prepatogenesis ada dua, yaitu:
a. Health Promotion
1) Pendidikan dan Penyuluhan tentang kesehatan pada masyarakat.
2) Memberdayakan kearifan lokal yang ada (gotong royong).
3) Perbaikan suplai dan penyimpanan air.
4) Menekan angka pertumbuhan penduduk.
5) Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan pemerintah.
b. Specific protection
1) Abatisasi
Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-cuma kepada
seluruh rumah, terutama di wilayah yang endemis DBD semasa musim
penghujan. Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik nyamuknya mati dan
tidak sampai terlanjur menjadi nyamuk dewasa yang akan menambah besar
populasinya (Ariani, 2016:36).
2) Fogging focus (FF).
Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation,
losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per
1 dukuh (Ariani, 2016:37).
3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan
cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat
dilakukan dengan cara random atau atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini
akan didapatkan angka kepadatan jentik atau House Index (HI).
4) Penggerakan PSN
Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi
atau WC, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air
atau tempayan, mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan serta mengganti air vas bunga, tempat minum burung
seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan PSN DBD.
5) Pencegahan gigitan nyamuk
Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian kawat
kasa, menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar, oles), dan tidak
melakukan kebiasaan beresiko seperti tidur siang, dan menggantung baju.
Pencegahan yang dilakukan pada fase klinis dan fase penyembuhan atau yang
sering disebut dengan tahap patogenesis ada tiga, yaitu:
a). Early Diagnosis dan Prompt Treatment
Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen)
secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau non-structural protein 1)
untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari
sebelum penderita menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke sembilan.
Setelah diketahui adanya virus, penderita diberi antiviral yang efektif membunuh
virus DBD (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2019).
Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada tahap Early
Diagnosis dan Prompt Treatment antara lain sebagai berikut:
1) Pelacakan penderita. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis)
yaitu kegiatan mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks
kasus) untuk mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius
±100 m dari rumah indeks (Ariani, 2016:40).
2) Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita
lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan
penanganan kasus termasuk merujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK)
terdekat (Ariani, 2016:45)
3) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui jumlah leukosit. Pemeriksaan ini
digunakan untuk mengantisipasi terjadinya leukopenia.
b) Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul pada infeksi
virus). Jika terjadi peningatan, mengindikasikan dalam waktu kurang lebih 24
jam penderita akan bebas demam dan memasuki fase kritis.
c) Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi penurunan jumlah
keduanya, mengindikasikan penderita DBD memasuki fase kritis dan
memerlukan perawatan ketat di rumah sakit (Satari, 2017).
b. Disability Limitation
Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan
gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan suatu penyakit. Dampak dari
penyakit DBD yang tidak segera diatasi, antara lain:
1) Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma merembes keluar
dari pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di antara selaput paru (pleura) juga
terjadi penumpukan. Pada anak-anak sering terjadi bendungan cairan pada
selubung paru parunya (pleural effusion).
2) Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat terjadi
kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya akan terjadi kejulingan
atau bisa juga terjadi peradangan pada tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea
yang berakhir dengan gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa
menyisakan kelumpuhan atau gangguan saraf lainnya (Nadesul, 2017).
Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan pengobatan dan perawatan. Obat
obatan yang diberikan kepada pasien DBD hanya bersifat meringankan keluhan
dan gejalanya semata. Obat demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar
peranannya untuk meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian
cairan atau tranfusi darah, tranfusi sel trombosit, atau pemberian cairan plasma.
c. Rehabilitation
Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadang-kadang
orang menjadi cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang
diperlukan latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran
orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan.
Disamping itu orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang
malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau
menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu,
pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut,
tetapi juga perlu pendidikan kesehatan pada masyarakat. Rehabilitasi pada
penderita DBD yang mengalami kelumpuhan saraf mata yang menyebabkan
kejulingan terdiri atas:
1 Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan
fisik semaksimal-maksimalnya. Misalnya dengan donor mata agar saraf mata
dapat berfungsi dengan normal kembali.
2 Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri
dalam hubungan perorangan dan sosial secara memuaskan. Seringkali bersamaan
dengan terjadinya cacat badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan
mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan bimbingan kejiwaan
sebelumkembali ke dalam masyarakat.
3 Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita menempati
suatu pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang
semaksimal maksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya.
4 Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa
keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak
dapat dikembalikan misalnya dengan menggunakan mata palsu. (Ariani,
2016:61).
B. Faktor Risiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Demam Berdarah Dengue
antara lain factor host, lingkungan dan faktor virusnya sendiri faktor.
karakteristik lingkungan (Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Kondisi tempat
penampungn air (TPA), ketersediaan tutup pada TPA, frekuensi pengurasan TPA,
keberadaan jentik pada TPA ) faktor kependudukan (umur, jenis kelamin, status
imunitas, pendidikan, pengetahuan, perilaku, kepadatan penduduk) serta
pelayanan kesehatan baik dari segi fasilitas maupun tenaga kesehatannya
(Purnama, 2016).
1. Faktor Risiko Kondisi Lingkungan Rumah
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk
akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor
lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan
rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu
faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya
(Purnama, 2016),
Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis
yang berpengaruh terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue antara lain :
a. Curah hujan
Curah hujan berpengaruh secara langsung dengan keberadaan tempat
perindukan nyamuk Ae. Aegypti. Banyak tidaknya populasi nyamuk aedes
tergantung pada tempat perindukannya. Tempat-tempat perindukan nyamuk saat
musim kemarau yang tidak terisi air, ketika tiba musim hujan tempat-
tempattersebut mulai terisi air . telur-telur yang bekum sempat menetas akan
menetas dalam waktu yang singkat. Oleh karena iru, populasi nyamuk aedes
aegypti akan semakin meningkat disaat musim hujan peningkatan penularan virus
dengue penyebab penyakit DBD (Christine,2018).
b. Suhu
Suhu merupakan keadaan udara pada waktu dan tempat tertentu. Nyamuk
dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi metabolisme menurun atau bahkan
terhenti bila suhunya turun sampai di bawah 100C. Pada suhu yang lebih tinggi
dari 350C, nyamuk juga akan mengalami perubahan, dalam arti lebih lambatnya
proses- proses fisiologis. Rata-rata suhu ideal untuk pertumbuhan nyamuk adalah
250C-270C. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang
dari 100C atau lebih dari 400C. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara
Dalam Ruang Rumah yaitu suhu yang baik untuk pertumbuhan nyamuk berkisar
antara 180C-300C.
c. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara
yang dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara yang terlalu tinggi di
dalam rumah mengakibatkan rumah dalam keadaan basah dan lembab yang
memungkinkan berkembangbiaknya bakteri atau kuman penyebab penyakit.
Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 60%-80%
sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah yaitu kelembaban yang baik untuk pertumbuhan nyamuk berkisar 40%-
70%.
Dalam kehidupan nyamuk kelembaban udara mempengaruhi kebiasaan
meletakkan telurnya. Hal ini berkaitan dengan nyamuk atau serangga pada
umumnya bahwa kehidupannya ditentukan oleh faktor kelembaban. Sistem
pernafasan nyamuk Aedes Aegypti dengan menggunakan pipa-pipa udara yang
disebut trachea, dengan lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut
spiracle. Adanya spirakel yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme
pengaturannya, maka pada kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air
di dalam tubuh nyamuk. Pada kelembaban di bawah 60% nyamuk tidak dapat
bertahan hidup, akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek, sehingga nyamuk
tersebut tidak dapat menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk perpindahan
virus dari lambung ke kelenjar ludahnya.
d. Kondisi tempat penampungn air (TPA)
Keberadaan tempat penampungan air/container sangat berperan dalam
dalam kepadatan vector nyamuk Ae. Aegypti, karena semakin banyak container
akan semakin baanyak tempat perindukan dan aka semakin padat nyamuk Ae.
Aegypti. Semakin padat padat populasi nyamuk Ae.aegypti, maka semakin tinggi
pula resiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga
jumlah kasus penyakit cepat meningkat dan akhirnya mengakibatkan KLB
penyakit DBD (fathi.et all 2017).
Factor terpenting yang menyebabkan masih banyaknya jentik/nyamuk
Ae.agypti adalah karena kurangnya perhatian dari sebagian masyarakat terhadap
pemeliharaan kebersihan tempat penampungan air bersih (TPA) dan kebersihan
lingkungan pada umumnya. Jika jentik nyamuk dibiarkan hidup, maka akan
menambah nyak populasi nyamuk pembawa penyakit DBD. Itu berate lebih
memperbesar kemungkinan masyarakat terjangkit DBD. (Nadesul, 2017)
Tempat penampungan air merupakan media yang cukup disukai oleh
Ae.agypti untuk berkembangbiak. Untuk mencegah penularannya, maka perlu
dijaga kualitasnya dengan cara menutup TPA sehingga nyamuk tidak dapat
masuk untuk melatakkan telurnya. Cara lain yang dapat dilakukan dalam
mencegah DBD adalah dengan menguras TPA minimal seminggu sekali,
sehingga telur nyamuk belum sempat berubah menjadi pupa yang berkembang
menjadi nyamuk dan siap menjadi penular bagi DBD.
e. Ketersediaan tutup pada TPA
Ketersediaan tutup pada TPA sangat mutlak diperlukan untuk menekan
jumlah nyamuk yang hinggap pada container, dimana container tersebut menjadi
media berkembangbiak nyamuk Ae.agypti. Apabila semua masyarakat telah
menyadari penting menutup container diharapkan keberadaan nyamuk dapat
diberantas, namun kondisi ini tampaknya belum dilaksanakan secara maksimal
(Ariani, 2016:81).
f. Frekunsi pengurasan TPA
Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur
sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat
berkembangbiaknya ditempat itu.bila PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh
masyarakat, maka populasi nyamuk Ae.agypti dapat ditekan serenda-rendahnya,
sehingga penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) tidak terjadi lagi.
Kemauan dan tingkat kedisiplinan untuk menguras container pada masyarakat
memang perlu ditingkatkan, mengingat bahwa kebersihan air selain untuk
kesehatan manusia juga untuk menciptakan kondisi lingkungan yang bersih.
Dengan lingkungan yang bersih diharapkan dapat menekan terjadinya
berbagai penyakit yang timbul dari lingkungan yang tidak bersih. Kurangnya
frekuensi pengurasan dapat mengakibatkan tumbuhnya jentik nyamuk untuk
hidup dan memicu terjadinya kasus demam berdarah dengue. Oleh karena itu
frekuensi pengurasan yang sebaiknya dilakukan < 1 kali dalam 1 minggu
(Ariani, 2016: 80).
g. Keberadaan jentik pada TPA
Keberadaan jentik pada TPA dapat dilihat dari letak, macam, bahan, warna,
bentuk volume dan penutup container serta asal air yang tersimpan dalam
container sangat mempengaruhi nymuk aedes aegypti betina untuk menuntukan
pilihan tempat bertelur. Keberadaan container sangat berperan dalam kepadatan
vector nyamuk Ae.aegypti, karena semakin banyak tempat perindukan dan akan
semakin padat populasi nyamuk Ae.aegypti. Semakin padat populasi nyamuk
aedes aegypti, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus Demam Bedarah
Dengue (DBD) dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jemlah kasus
penyakit Demam Bedarah Dengue (DBD) cepat meningkat pada akhirnya
mengakibatkan terjadinya KLB.
Dengan demikian program pemerintah berupa penyuluhan kesehatan
masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN
DBD) dan perlu dekungan luas dari masyarakat dalam pelaksanaannya (Ariani,
2016: 83).
2. Faktor Risiko Penduduk
a. Umur
Semakin dewasa seseorang akan memiliki vatalitas optimum.
Perkembangan intelektual yang matang pada taraf operasional dan penalaran
yang tinggi, sehingga akan memberikan cerak perilaku individu. Dapat
diasumsikan bahwa semakin tua seseorang, maka akan memiliki kematangan
intelektual sehingga mereka dapat berperilaku seperti diharapkan (Ariani, 2016:
87).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Duma, et al (2017) diketahui
bahwa sebagian besar penderita DBD berada pada kelompok umur 5-14 tahun
sebanyak 74 orang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya usman
tahun 2002 bahwa kelompok umur muda (responden > 15 tahun) mempunyai
risiko terkena DBD 18,5 kali dibandingkan dengan kelompok umur dewasa
(umur responden < 15 tahun. Begitu juga menurut Yukresna di Medan bahwa
responden yang termasuk dalam kategori umur muda mempunyai risiko terkena
DBD 3,21 kali dibandingkan dengan kelompok umur dewasa. (Duma, et al 2017)
Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan daya tahan tubuh anak yang
cendrung lebih rentan dibandingkan dengan orang dewasa. Aktivitas anak-anak
lebih banyak berada diluar rumah pada siang hari dan sore hari baik untuk main
maupun sekolah, dimana penulran DBD ditempat-tempat umum dan salah satu
tept yang berpotensial yaitu disekolah. Nyamuk Aedes aegypti banyak terdapat di
daerah pemukiman dan sekolah karena pada kedua lokasi inilah sering terdapat
media hidupnya. (Sutomo 2015)
Namun kenyataan ini tidak mentup kemungkinan orang dewasa juga
terkena DBD. Semua orang dari berbagai kalangan usia dapat terkena penyakit
ini, namun sebagian besar terjadi pada anak-anak. Pada orang dewasa gejala
penyakit ini sering tidak ditanggapi dengan serius sehingga suatu saat ada
kemungkinan pergesaran kecenderungan ini
b. Status Imunitas
Setiap individu mempunyai kerentanan yang berbeda-beda dalam
menghadapi suatu penyakit. Ada individu yang dengan mudah terkena penyakit
da nada pula yang kebal terhadap penyakit. Jika kondisi badan tetap bugar
kemungkinannya kecil terkena penyakit DBD. Hal tersebut dikarenakan tubuh
memiliki daya tahan tubuh cukup kuat dari infeksi baik yang disebabkan oleh
bakteri, parasite atau virus seperti penyakit DBD. Oleh karena itu sangat penting
untuk meningkatkan daya tahan tubuh pada musim hujan dan pancaroba. Pada
musim itu terjadi perubahan cuaca yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan virus dengue penyebab DBD. Hal ini menjadi kesempatan jentik
nyamuk berkembangbiak menjadi lebih banyak (Eka, 2018).
c. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu
terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih
dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau
masyarakat.
Lamanya seseorang dalam menempuh pendidikan bukanlah jaminan untuk
berperilaku sebagaimana yang diharapkan. Walupun sebagian masyarakat
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tetapi mampu melakukan praktik PSN
DBD dengan baik. Begitupun dengan masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi tetapi praktik PSN DBD yang dilakukan kurang baik, hal ini
mungkin kurangnya kesadaran masyarakat tersebut untuk menerapkan pesan-
pesan kesehatan dalam upaya mencegah dan memberantas sarang nyamuk,
meskipun mereka yang berpendidikan tinggi tersebut mampu menyerap dan
memahami informasi kesehatan yang diterimanya (Ariani, 2016:85).
Penelitian Widyana diBantul tahun 1980 menyimpulkan bahwa masyarakat
yang berpendidikan rendah mempunyai risiko untuk terkena DBD 1,90 kali
dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlu
adanya peningkatan penyuluhan kepada masyarakat baik secara kuantitas maupun
kualitas yang dikemas dalam suatu wadah/media yang merakyat. Penuluhan
kesehatan masyarakat bertujuan menjadikan cara-cara hidup sehat sebagai
kebiasaan hidup sehari-hari , menggerakkan perseorangan, kelompok dan
masyarakat dalam memanfaatan fasilitas serta pelayanan kesehatan tersedia.
Hasil penelitian pambudi di boyolali tahun 2017 menunjukkan bahwa ada
hubungan antara pendidikan dengan partisipasi para kader dalam pemberantasan
DBD α=0,05 dengan p= 0,003. Responden yang berpendidikan tinggi akan
mengakibatkan tindakan partisipasi pemberantasan DBD akan semakin baik. Hal
ini dikarenakan informasi dan perubahan sikap responden yang mempunyai
tingkat pendidikan lebih tinggi pengetahuannya dalam pemberantasan penyakit
DBD (Pambudi 2017)
d. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan akan menghasilkan
pengetahuan yang sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek.
Pengetahuan yang baik akan menjadi dasar bagi seseorang untuk bertingkah
laku yang benar dan sesuai dengan apa yang didapatkannya. Dari hasil studi yang
dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) dan para ahli kesehatan
terungkap bahwa pengetahuan masyarakat tentang kesehatan sudah tinggi, tetapi
praktek mereka masih rendah . hal ini berati bahwa perubahan atau peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan tidak dimbangi dengan peningkatan
masyaraka tatau perilakunya. (Notoatmodjo. S 2005)
e. Perilaku
Menurut Notoatmodjo, perumabahan perilaku merupakan faktor penting
dala pencegahan dan penanggulangan DBD dan mempunyai peranan besar
terhadap kesehatan. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon
seseorng (organisme) terhadap stimulasi yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Perilaku
seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia berespon, baik
secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang
ada pada dirinya dan diluar pada dirinya, maupun secara aktif (tindakan) yang
dilakukan sehubung dengan penyakit dan sakit tersebut.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Usman tahun 2002 ang menunjukkan
nilai OR=5, dimana masyarakat yang berperilaku tidak baik mempunyai peluang
untuk terkena DBD 5 kali dibandingkan masyarakat yang berperilaku tidak baik.
Perilaku kesehatan (Health Behavior) adalah respon seseorang terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat dan sakit, penyakit dan semua
faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan), seperti lingkungan,
makanan atau minuman dan pelayanan kesehatan.
Dengan kata lain perilaku adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang
baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati
(unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari
penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari
penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan lain (Eka,2018).
Oleh karena itu perilaku kesehatan ini pada garis besarnya dikelompokkan
menjadi dua yaitu (Eka, 2018):
1) Perilaku orang yang sehat agar selalu sehat dan meningkat. Perilaku ini
disebut sehat karena mencakup perilaku-perilaku yang bisa mencegah atau
menghindari penyakit yang bisa menjadi masalah bagi kesehatan dan perilaku
yang dapat meningkatkan kesehatannya. Maka dalam perilaku kesehatan yang
berkaitan dengan DBD adalah menghindari gigitan nyamuk baik dengan
menggunakan lotion anti nyamuk, menggunakan kelambu dan melakukan 3M
(menguras, megubur dan menutup) dengan benar.
2) Perilaku orang yang sakit atau yang telah terkena masalah kesehatan agar
terbebas dari penyakit yang ia derita. Pada penderita DBD, ia akan berupaya
untuk sembuh. Tempat pencarian kesembuhan bisa saja ke fasilitas pelayanan
kesehatan tradisional maupun modern atau profesional.
f. Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya infeksi
virus Dengue, karena daerah yang berpenduduk padat akan meningkatkan jumlah
insiden kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tersebut (Ariani, 2016: 84).
C. Faktor Pelayanan Kesehatan
a. Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah sustu kegiatan yang dilakuakan
untuk mencari penderita DBD atau tersangka kasus DBD lainnya serta kegiatan
pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di rumah penderita atau tersangka dan
rumah atau bangunan yang ada di sekitarnya dalam radius sekurang-kurangnya
100 m (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011 dalam
Kusumawardani,Erna, 2015 ).
Tujuan dari kegiatan PE ini adalah mengetahui adanya potensi penularan
serta penyebaran DBD lebih kanjut, kemudian menentukan jenis tindakan
penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat tinggal penderita.
Tujuan dari PE ini dikhususkan untuk mengetahui adanya penderita DBD atau
tersangka kasus DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular
DBD, dan menentukan penanggulangan fokus yang akan dilakukan
(Kusumawardani,2015 ).
b. Pemantauan Jentik Berkala
Pemantauan Jentik Berkala (PJB) merupakan kegiatan pemeriksaan atau
pengamatan serta pemberantasan vektor nyamuk penular DBD pada tempa-
tempat penampungan air yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
Kegiatan PJB ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M.
Sasaran wilayah atau lokasi dari kegiatan PJB ini merupakan
rumah/bangunan, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang ada di desa/kelurahan
endemis dan sporadis pada tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes di
100 sampel yang dipilih secara random. Kegiatan ini dilaksanakan dalam empat
siklus yaitu tiga bulan sekali. PJB dapat dilakukan oleh petugas puskesmas,
kader, atau kelompok kerja (POKJA) DBD yang diasa disebut juru pemantau
jentik (Jumantik) yang mana kader jumantik memeriksa 30 rumah sampel di
setiap RW/Dusun /Lingkungan (Kusumawardani, 2015 ).
c. Fogging Fokus
Fogging fokus merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya KLB dengan cara memutus rantai penularan, khususnya
terhadap nyamuk dewasa, di wilayah terjadinya kasus DBD. Sasaran wilayah
atau lokasi dari kegiatan ini adalah rumah penderita
DBD dan lokasi di sekitarnya yang diperkirakan menjadi sumber penularan
DBD. Fogging dilakukan dalam radius 200m dan dilaksanakan dua siklus
interval ±1 minggu (Kusumawardani, 2015 ).
Kegiatan fogging dengan menggunakan insektisida ini dilakukan oleh
petugas puskesmas yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.petugas penyemprotan merupakan petugas puskesmas atau
petugas harian lepas yang telah mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Di samping itu diperlukan partisipasi dari ketua RT, tokoh
masyarakat, dan kader kesehatan untuk mendampingi petugas dalam kegiatan
pengabutan ini dan melakukan penyuluhan.
Fogging fokus dilakukan jika hasil PE bernilai positif, yaitu ditemukannya
penderita atau tersangka DBD lainnya, atau ditemukannya tiga atau lebih
penderita panas tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik. Sasaran/target dari
kegiatan fogging fokus dihitung berdasarkan jumlah fokus yang akan
ditanggulangi (1 fokus = 300 rumah atau 15 Ha) dalam satu tahun
(Kusumawardani,2015 ).
d. Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan salah satu cara
pengendalian vektor DBD yang paling efektif dan efisien yaitu dengan jalan
memutus mata rantai penularan penyakit melalui pemberantasan atau
pengendalian jentik nyamuk. Tujuan dari program PSN DBD ini adalah untuk
mengendalikan populasi nyamuk yaitu khususnya nyamuk Aedes Aegypti
sebagai vektor utama DBD, sehingga penularan penyakit ini dapat dicegah atau
setidaknya dikurangi kejadian kasusnya. Indikator keberhasilan program PSN
DBD adalah Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu dengan ABJ lebih dari 95%. (
Kusumawardani, 2015).
Faktor Lingkungan :
Penyelidikan epidemiologiPemantauan jentik berkalaAbatisasi selektifFoggingPenyuluhanGerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
1.Umur2.Tingkat pendidikan3.Pengetahuan4.Kondisi tempatpenampungan air (TPA)-Ketersediaan tutup pada TPA-Frekuensi pengurasan TPA-Keberaan jentik pada TPA5. kebersihan halaman rumah
Faktor Risiko:
D. Kerangka Teori
Sumber: (Kemenkes RI, 2018), (Ariani, 2016), (Purnama, 2016),(WHO, 2019), (Satari, 2017), (Christine,2018), (fathi.et all 2017),
(Nadesul, 2017), (Eka,2018), (Kusumawardani, 2015 ).
Kejadian DemamBerdarah Dengue
(DBD)
E. Kerangka konsep
Tidak semua variable yang ada dalam kerangka teori diambil dan diikuti
sertakan sebagai variable dalam penelitian ini, disebabkan karena keterbatasan
yang ada baik dari segi biaya, tenaga dan waktu yang tersedia dalam penelitian.
Oleh karena itu, hanya beberapa variable saja yang diambil dalam penelitian ini,
disamping telah banyak variable yang telah diteliti orang lain. Adapun variable-
variabel dalam penelitian ini , yaitu variable independen meliputi karakteristik
responden seperti : umur, pendidikan, pengetahuan dan perilaku, tindakan serta
kondisi tempat penampungan air (TPA) yang meliputi frekuensi pengurasan
TPA, kebersihan halaman. Sedangkan variable dependen yaitu kejadian.
Variabel independen Variabel Dependen
Gambar 2.Kerangka Konsep Penelitian.
Kejadian Demam BerdarahDengue (DBD)
Umur
pengetahuan
Tindakan
Frekuensipengurasan TPA
Kebersihan halaman
F. Hipotesis
a. Ada hubungan umur dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskemas Krui
Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.
b. Ada hubungan Tingkat Pendidikan dengan kejadian DBD di wilayah kerja
Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat
Tahun 2020.
c. Ada hubungan Pengetahuan dengan kejadian DBD di wilayah kerja
Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat
Tahun 2020.
d. Ada hubungan tindakan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskemas
Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.
e. Ada hubungan frekuensi pengurasan tempat penampungan air dengan
kejadian DBD di wilayah kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui
Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.
f. Ada hubungan antara kebersihan halaman rumah dengan kejadian DBD di
wilayah kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten
Pesisir Barat Tahun 2020.