bab ii tinjauan pustaka a. kecerdasan emosional ii skripsi... · kecerdasan emosional berarti...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecerdasan emosional
1. Definisi Kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional berarti menggunakan emosi secara efektif untuk
mencapai sebuah tujuan, membangun hubungan produktif untuk meraih keberhasilan di
tempat kerja. Kecerdasan emosional adalah jembatan antara apa yang diketahui dan
dilakukan oleh individu (Patton, 1998).
Kecerdasan emosional meliputi perasaan serta pikiran yang khas, baik secara
psikologis maupun biologis dan merupakan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak. Kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh
individu yang meliputi kemampuan untuk mempersepsikan, membangkitkan, serta
memasuki emosional yang dapat membantu untuk menyadari serta mengelola emosi
diri sendiri maupun orang lain, sehingga dapat mengembangkan pertumbuhan emosi.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
ketika individu mengalami suatu keadaan yang membuat frustasi, mengendalikan
dorongan hati serta tidak melebih-lebihkan kesenangan yang dirasakan, mengatur
suasana hati dan juga menjaga agar beban stres yang ada tidak melumpuhkan
kemampuan berempati (Goleman, 1995).
Wijaya (2007) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk merasakan, memahami, dan menerapkan daya atau kepekaan emosi
sebagai sumber energi untuk hidup secara manusiawi. Steven dan Howard (2002)
menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan non-kognitif yang
15
mempengaruhi kecakapan seseorang dalam mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungannya. Robbins (2008) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan seseorang untuk mendeteksi serta mengolah petunjuk dan informasi
emosional. Kreitner dan Kinicki (2010), menyatakan bahwa kecerdasan emosional
merupakan kemampuan mengelola dirinya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain
dengan cara dewasa dan juga konstruktif. Dari banyak pengertian kecerdasan
emosional yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan pada masing-masing tokoh
dimana tokoh-tokoh tersebut mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan seseorang dalam mengelola, mengontrol emosi dan menjalin hubungan
dengan orang lain. Goleman (1995) juga mengatakan hal yang sama dengan tokoh
lainnya, namun kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dan mengontrol
emosinya juga dibarengi oleh kemampuan seseorang dalam memotivasi dirinya
sehingga dapat berinteraksi secara baik dengan lingkungannya. Kreitner dan Kinicki
(2010), mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan dalam
mengelola dirinya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain.
Pengertian yang dipaparkan oleh Goleman (1995) juga memiliki kesamaan
dengan Kreitner dan Kinicki (2010). Kedua tokoh tersebut sama-sama mengatakan
bahwa seseorang mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Berdasarkan pemaparan
diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan
kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri
sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain yang
berguna untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih
keberhasilan.
16
2. Aspek-aspek kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional dibagi dalam lima aspek. Kelima aspek kecerdasan
emosional itu adalah (Goleman, 1997):
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional.
Kemampuan mengenali emosi dibimbing oleh dua kemampuan, yaitu kemampuan
menyadari apa yang dipikirkan dan mengenali apa yang dirasakan. Inti dari
mengenali emosi diri adalah mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau
timbul. Mengenali emosi diri sama dengan kesadaran diri, yaitu mengetahui apa
yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu
pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki acuan yang realistis atas kemampuan
diri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat. Penggunaan istilah kesadaran diri
mengacu pada perhatian seseorang yang introspektif dan bercermin pada diri akan
pengalamannya. Menurut Goleman (dalam Simarmata, 2005) beberapa hal penting
yang berkaitan dengan mengenali emosi diri yaitu:
1) Mengenali dan merasakan emosinya sendiri. Sungguh-sungguh menyadari
emosi apa yang terjadi dalam diri dan dengan penuh kesadaran merasakan
emosi yang terjadi.
2) Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul. Tahu apa atau
siapa yang menyebabkan suatu perasaan muncul.
3) Mengenali perbedaan antara perasaan dan tindakan. Orang harus bisa
membedakan bahwa perasaan terjadi di dalam diri, sedangkan tindakan
lebih pada perwujudan ke luar dari pikiran dan perasaan. Dengan begitu
tahu bahwa mengungkapkan perasaan itu dalam bentuk tindakan atau
prilaku yang ditampakkan.
17
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar dapat terungkap dengan
tepat. Kecakapan mengelola emosi ini merupakan kecakapan yang bergantung pada
kesadaran diri, yang meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini
mampu bangkit kembali, sedangkan orang yang kemampuannya di bidang ini
buruk maka akan terus bertarung melawan perasaannya. Goleman (1997)
menyatakan hal-hal penting dalam mengelola emosi yaitu:
1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah.
2) Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat
3) Berkurangnya prilaku agresif
4) Perasaan positif tentang diri sendiri
5) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa
c. Memotivasi Diri Sendiri
Memotivasi diri merupakan kemampuan untuk menata emosi. Menata
emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya untuk memberi
perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan berkreasi.
Memotivasi diri juga bisa diartikan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan
bertindak secara efektif, serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustasi.
Memotivasi diri sendiri dapat diartikan bahwa orang mampu bangkit dan terdorong
untuk berubah. Orang yang memiliki kecakapan ini tidak tercampak dalam suatu
kegagalan dan mudah puas dengan pekerjaannya, melainkan terus berusaha untuk
memperbaiki dirinya. Kendali diri atau menahan diri terhadap kepuasan dan
18
mengendalikan dorongan hati menjadi landasan keberhasilan dalam berbagai
bidang.
Patton (1998) mengatakan bahwa sumber dasar dari motivasi berasal dari
dalam diri. Motivasi diri adalah dorongan dalam diri dan kemauan mengatasi
rintangan serta terus maju saat kekecewaan dan rasa putus asa timbul. Hal ini
memungkinkan untuk bersikap proaktif dalam mengendalikan perasaan dan
tindakan. Selain itu, memotivasi diri adalah kunci keberhasilan dan merupakan alat
yang penting saat mencoba mengatasi berbagai halangan. Goleman (1997)
menyatakan bahwa hal-hal penting dalam memotivasi diri sendiri yaitu:
1) Lebih bertanggungjawab. Hal ini berarti bahwa orang mampu
bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain.
2) Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan.
3) Lebih menguasai diri
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Orang yang empatik lebih
mampu menangkap sinyal sosial tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang
dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Empati juga mencakup kemampuan
merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai
watak orang. Menurut Goleman (1997) hal-hal penting dalam mengenali emosi
orang lain yaitu:
1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain
2) Empati dan peka terhadap perasaan orang lain.
3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain
19
e. Membina Hubungan
Seni membina hubungan berarti kecakapan untuk berinteraksi dengan orang
lain, kemampuan untuk menjalin hubungan dan bagaimana seseorang
menempatkan dirinya dalam suatu kelompok. Kemampuan untuk mengungkapkan
diri dan perasaan merupakan dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan
orang lain. Menurut Goleman (1997) beberapa hal penting yang berkaitan dengan
membina hubungan yaitu:
1) Kemampuan menganalisis dan membina hubungan
2) Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan perselisihan
3) Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan
4) Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi
5) Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa
6) Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok
7) Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama dan suka menolong
8) Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain
Kecerdasan emosional menurut McShane dan Von Glinow (2010) diorganisir
dalam empat dimensi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Self–awareness
Merupakan kemampuan merasa dan memahami makna dari emosi kita. Kita akan lebih
sensitif dalam memahami pesan yang disampaikan. Orang yang memiliki self–aware
lebih dapat merasakan respon emosional mereka pada situasi spesifik dan
menggunakan kesadaran ini sebagai informasi yang dapat membantu mereka.
2. Self–management
Merupakan kemampuan mengelola emosi kita sendiri. Kita akan berusaha untuk
menjaga perasaan yang kita rasakan. Misalnya kita berusaha untuk tidak merasa marah
20
atau frustasi apabila ada suatu situasi ataupun kejadian yang terjadi pada diri kita yang
tidak menyenangkan. Kita juga akan berusaha untuk merasakan dan menyatakan
kesenangan dan kebahagian kita terhadap orang lain ketika kita mendapatkan
kesempatan untuk mengekpresikan perasaan emosional kita terhadap orang lain.
3. Social-awareness
Merupakan suatu kemampuan merasa dan memahami emosi orang lain. Kemampuan
ini ditunjukkan oleh rasa empati serta mempunyai pemahaman tentang sensitivitas pada
perasaan, pikiran dan juga situasi yang dihadapi orang lain. Social-awareness termasuk
juga menjadi lebih peka atau peduli terhadap organisasi, seperti mengetahui nilai dan
budaya dalam organisasi, bagaimana cara pengambilan keputusan dalam organisasi dan
membina hubungan dengan individu lain didalam organisasi.
4. Relationship management
Menyangkut juga bagaimana seorang individu mampu mengelola emosi orang lain
yang berada disekelilingnya. Seperti misalnya menghibur orang yang merasa sedih.
Kita memberikan inspirasi kepada anggota lain dalam menyelesaikan proyek atau
pekerjaan agar tepat waktu, membuat orang lain menjadi nyaman bekerja dengan kita,
dan mengelola emosi yang negatif pada staf yang sedang menghadapi konflik dengan
pelanggan ataupun dengan sesama pekerja lainnya.
Selain itu, Robbins (2008) juga menyatakan bahwa terdiri dari lima dimensi, yaitu:
1. Self–awareness
Bagaimana seseorang menjadi peduli terhadap perasaan dan juga merasa sadar atas apa
yang dirasakan.
2. Self–management
Merupakan kemampuan mengelola emosi dan dorongan perasaan yang dirasakan oleh
setiap individu.
21
3. Self–motivation
Merupakan kemampuan untuk bertahan ketika menghadapi suatu kemunduran dan juga
kegagalan.
4. Empathy
Merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
5. Social–skill
Merupakan kemampuan menangani emosi orang lain.
Kreitner dan Kinicki (2010) membagi dimensi Kecerdasan emosional menjadi dua
dimensi yaitu:
1. Personal Competence
Menunjukkan kapabilitas yang menentukan bagaimana mengelola diri sendiri, yang
terdiri:
a. Self–awareness
1) Emotional self–awareness yaitu membaca emosi sendiri dan mengenal
dampaknya, dengan menggunakan rasa keberanian yang menjadi
pedoman dalam pengambilan keputusan.
2) Accurate self–awareness yaitu mengetahui kekuatan dan keterbatasan
seseorang.
3) Self-confidence yaitu merasakan harga diri dan kapabilitas seseorang.
b. Self–management
1) Emotional self–control yaitu menjaga adanya gangguan emosi serta
adanya dorongan hati yang terkendali.
2) Transparancy yaitu menunjukkan kejujuran dan integritas, sifat yang
layak serta dapat dipercaya.
22
3) Adaptability yaitu fleksibilitas dalam mengadaptasi situasi perubahan
atau mengatasi hambatan.
4) Achievement yaitu dorongan memperbaiki kinerja untuk memenuhi inti
standar keunggulan,
5) Initiative yaitu kesiapan untuk bertindak dan juga menangkap peluang.
6) Optimism yaitu melihat sisi kebaikan dari suatu kejadian yang terjadi.
2. Social competence, menunjukkan kapabilitas yang menentukan bagaimana mengelola
suatu hubungan, yang terdiri:
a. Social–awareness
Mencakup masalah Empathy, yaitu merasakan emosi orang lain serta memahami
perspektif mereka dan mempunyai minat aktif dalam kepentingan mereka. Selain
itu, juga mencakup masalah Organizational awareness, yaitu membaca arah,
jaringan keputusan dan juga politik pada tingkat organisasi. Dan yang terakhir
adalah Service, yang berarti mengenal dan memenuhi kebutuhan klien ataupun
pelanggan.
b. Relationship management
Mencakup tentang inspirational leadership yaitu bagaimana seseorang
membimbing dan memotivasi dengan memaksakan visi, Influence yaitu rentang
terhadap taktik untuk membujuk, Developing other yaitu mendukung kemampuan
orang lain melalui umpan balik dan bimbingan, Change catalyst yang artinya
adalah bagaimana menginisiasi, mengelola serta memimpin dalam arah yang lebih
baru lagi, Conflict management yaitu bagaimana mengatasi ketidaksepakatan yang
terjadi serta Building bonds yaitu menanamkan dan juga memelihara jaringan
hubungan serta teamwork and collaboration didalam sebuah kelompok kerja.
23
B. Burnout
1. Definisi Burnout
Burnout merupakan kondisi yang mengakibatkan keadaan kronis yang tidak
sinkron di tempat kerja dan dapat menjadi masalah yang serius pada orang yang
mengalami burnout. Orang yang mengalami burnout cenderung untuk merasa
kewalahan, mengalami kelelahan ketika bekerja dan mengalami stres kerja. Selain itu,
antusias untuk bekerja menurun seiring dengan berjalannya waktu. Burnout juga
mengakibatkan seseorang tidak memiliki motivasi untuk bekerja, sehingga prestasi
kerjanya menurun serta hubungan dengan keluarga dan teman-temannya juga akan ikut
terpengaruh. Burnout merupakan satu sindrom akibat adanya tekanan yang
berkepanjangan terhadap tekanan kerja yang membuat pekerja mengalami penarikan
diri dari tempatnya bekerja (Maslach & Jackson, 1981).
Burnout merupakan suatu reaksi terhadap stres yang berkepanjangan dan terus
menerus yang dialami oleh karyawan yang membuat menurunnya kondisi mental atau
fisik (Perry & Potter dalam Asi, 2013). Santrock (2002) menjelaskan bahwa burnout
merupakan suatu perasaan putus asa dan tidak berdaya yang diakibatkan oleh stres
berlarut-larut yang berkaitan dengan kerja. Selain itu, menurut Muslihudin (dalam
Maharani, 2012), burnout merupakan suatu kondisi yang terdiri dari fisik, emosi dan
mental yang kondisinya sudah turun dan juga diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat
menuntut dalam jangka waktu yang panjang. Menurut NSC atau National Safety
Council (2004) menjelaskan bahwa Burnout merupakan kejenuhan kerja yang muncul
akibat adanya stres kerja dan beban kerja yang dialami oleh individu yang ditandai
dengan munculnya kebosanan saat bekerja, mengalami depresi, pesimis, daya
konsentrasi menurun, kualitas kerja buruk, mengalami ketidakpuasan selama bekerja,
sehingga tingkat absensi juga meningkat.
24
Menurut Sopiah (2008), burnout didefinisikan sebagai keadaan keletihan emosi,
mental dan fisik sebagai akibat dari tegangan tinggi yang berlanjut. Selain itu, burnout
juga dijelaskan sebagai suatu proses psikologis yang dibawa oleh stres pekerjaan yang
tidak terlepaskan, menghasilkan kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan
penurunan pencapaian (Ivancevich, Konopaske & Matteson, 2006). Wiryathi, Rasmini
dan Wirakusuma (2014) menjelaskan burnout sebagai suatu sindrom psikologis dari
kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan prestasi kerja yang muncul pada
orang yang bekerja dengan orang lain.
Definisi burnout yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas memiliki
kemiripan yang mengatakan bahwa burnout merupakan reaksi yang diakibatkan oleh
adanya stres pekerjaan yang tidak terselesaikan dan adanya tekanan pekerjaan yang
mengakibatkan seseorang mengalami penarikan diri. Maslach dan Jackson (1981)
mengatakan bahwa burnout merupakan satu sindrom akibat adanya tekanan yang
berkepanjangan terhadap tekanan kerja yang membuat pekerja mengalami penarikan
diri dari tempatnya bekerja. Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006) menjelaskan
bahwa burnout sebagai suatu proses psikologis yang dibawa oleh stres pekerjaan yang
tidak terlepaskan, menghasilkan kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan
penurunan pencapaian.
Pengertian yang diungkapkan oleh Maslach dan Jackson (1981) serta
Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006) sama-sama menjelaskan bahwa burnout
terjadi karena adanya tekanan pekerjaan yang membuat seseorang mengalami stres
berkepanjangan. Berdasarkan paparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa burnout
merupakan suatu kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami penarikan diri yang
mengakibatkan kelelahan emosi, perubahan kepribadian dan mengalami penurunan
pada perasaan.
25
2. Fase Burnout
Menurut Bakar (2012), burnout terjadi dalam tiga fase, yaitu:
a. Kelemahan emosi yang disebabkan oleh tekanan yang terlalu tinggi yang
diberikan kepada pekerja.
b. Depersonalization yaitu berkembangnya sikap yang tidak sensitif atau kurang
peka terhadap hubungan dengan sesama pekerja.
c. Low of personal accomplishment yang disebabkan oleh kekecewaan dan rasa
putus asa yang dihadapi.
3. Faktor Penyebab Munculnya Burnout
Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2006) mengidentifikasi ada empat faktor
yang menjadi penyebab munculnya burnout, diantaranya adalah:
a. Tingkat beban kerja yang tinggi
b. Pekerjaan atau karir yang buntu
c. Birokrasi dan pekerjaan tulis menulis yang berlebihan
d. Komunikasi serta umpan balik yang buruk terutama mengenai kinerja
4. Ciri-ciri Burnout
Menurut Pines dan Aronson (dalam Adawiyah, 2013), ciri-ciri dari burnout adalah:
a. Munculnya sakit fisik yang dicirikan seperti mudah flu, sulit tidur, demam, sakit
pada punggung, mengalami ketegang pada otot leher dan bahu, sering mengalami
sakit kepala.
b. Kelelahan emosi yang dicirikan dengan pekerja yang mengalami putus asa,
mudah tersinggung ketika sedang bekerja, sering marah ketika sedang bekerja,
merasa tertekan dan sedih, serta merasa bosan dengan pekerjaan dan lingkungan
kerjanya.
26
c. Kelelahan mental yang dicirikan dengan selalu bersikap negatif terhadap rekan
kerja, pekerja yang merasa dirinya tidak berdaya, acuh tak acuh dengan
lingkungannya serta merasa diri tidak berharga.
Selain itu, Brooker (2005) menjelaskan ciri-ciri ketika seseorang mengalami
burnout diantaranya adalah:
1) Bagian fisik, ciri-ciri yang muncul adalah kurangnya energi dan munculnya
perasaan letih secara terus menerus, yang menyebabkan penurunan aktivitas dan
gangguan nutrisi.
2) Bagian intelektual, ciri-ciri yang muncul adalah berkurangnya kemampuan untuk
memecahkan masalah dan kurangnya kemampuan dalam berpikir, dan
berkurangnya kreativitas dan minat terhadap hobi.
3) Bagian emosi, dengan ciri-ciri munculnya perasaan tidak berdaya dan depresi.
4) Bagian sosial, ditandai dengan munculnya sikap ketidakmampuan untuk berbagi
cerita dengan orang lain, mengalami penarikan diri dari orang lain dan
lingkungan, dan juga dapat bertindak agresif kepada orang lain yang dianggap
mengancam dirinya.
5) Bagian spiritual, ciri-ciri yang muncul adalah perasaan kosong, merasa tertipu,
menyimpan dendam, dan lebih mudah mengalami perasaan sinis kepada orang
lain.
5. Dimensi-dimensi Burnout
Maslach dan Jackson (1981) membagi dimensi burnout menjadi tiga dimensi, yaitu:
a. Exhaustion
Kelelahan kerja karena perasaan seseorang secara emosional terlalu berat dan
kelelahan emosional merupakan sinyal yang jelas dari adanya tuntutan pekerjaan
yang berat, yang mengakibatkan seseorang terganggu secara emosional.
27
b. Depersonalisasi
Seseorang yang memiliki masalah dalam karirnya merasa tidak dihargai dan tidak
sensitif terhadap diri sendiri.
c. Low of personal accomplishment
Low of personal accomplishment berkembang dari depersonalisasi. Sikap negatif
maupun pandangan terhadap klien yang lama-kelamaan menimbulkan perasaan
bersalah pada diri pemberi pelayanan. Perasaan ini akan berkembang menjadi
penilian terhadap diri sendiri, yaitu bahwa dirinya tidak lagi efektif dalam bekerja
dengan orang lain dan dalam pemenuhan tanggung jawab yang berkaitan dengan
pekerjaannya.
C. Komunikasi Organisasi
1. Pengertian Komunikasi Organisasi
Menurut Rogers (dalam Romli, 2014), komunikasi organisasi merupakan suatu
sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai sebuah tujuan
bersama, melalui jenjang kepangkatan dan pembagian tugas. Komunikasi organisasi
juga didefinisikan sebagai pengirim dan penerimaan berbagai pesan organisasi di
dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Romli, 2014).
Komunikasi organisasi merupakan komunikasi yang terjadi di dalam dan diantara
lingkungan kerja yang besar dan luas (West & Turner 2008). Selain itu, Liliweri
(2002), mendefiniskan komunikasi organisasi sebagai komunikasi yang terjadi
antarpribadi atau komunikasi kelompok yang bersifat impersonal (komunikasi yang
berstruktur) yang dilakukan oleh pribadi atau kelompok atau unit kerja dalam satu
organisasi.
28
Redding dan Sanborn (dalam Muhammad, 2012) menjelaskan Komunikasi
organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang
kompleks. Katz dan Kahn (1978) mengatakan bahwa komunikasi organisasi
merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu
organisasi. Selain itu, Devito (2011) mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai
pesan yang dikirim dan diterima di dalam sebuah organisasi yang memiliki sturuktur
formal maupun informal.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas, terdapat
persamaan yang mengatakan bahwa komunikasi organisasi merupakan komunikasi
yang dilakukan untuk mencapai tujuan bersama didalam sebuah organisasi. Romli
(2014) menjelaskan bahwa komunikasi organisasi didefinisikan sebagai pengirim dan
penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal dari
suatu organisasi. Katz dan Kahn (1978) mengatakan bahwa komunikasi organisasi
merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam suatu
organisasi.
Pengertian yang dipaparkan oleh Romli (2014) serta Katz dan Kahn (1978)
sama-sama menitik beratkan pada adanya pengiriman dan pertukaran informasi yang
terjadi di dalam organisasi. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi organisasi
merupakan suatu sistem di dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang meliputi
adanya pesan dan arus serta adanya tujuan yang ingin disampaikan.
2. Tipe Komunikasi Organisasi
Romli (2014) menjelaskan bahwa tipe komunikasi organisasi dibagi menjadi dua,
yaitu:
29
a. Komunikasi organisasi vertikal
Komunikasi organisasi vertikal merupakan aliran komunikasi informasi antara
orang pada tingkat organisasi yang berbeda. Komunikasi organisasi vertikal
merupakan komunikasi yang terjadi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
Komunikasi organisasi vertikal dapat bersifat:
1) Komunikasi ke bawah (downward communication)
Komunikasi ke bawah atau downward communication merupakan suatu
aliran informasi yang berpindah secara formal dari seseorang yang memiliki
otoritas atau jabatan yang lebih tinggi kepada orang lain yang memiliki
otoritas atau jabatan yang lebih rendah.
Menurut Muhammad (2012), komunikasi ke bawah dapat diklasifikasikan
menjadi lima tipe, yaitu:
a) Instruksi Tugas
Yaitu yang berisi pesan yang harus dilakukan oleh bawahan.
b) Rasional
Yaitu pesan disampaikan untuk menjelaskan mengenai tujuan dari
pekerjaan yang sedang dilakukan.
c) Ideologi
Yaitu mencari sokongan dan antusias dari anggota organisasi guna
memperkuat loyalitas, moral dan motivasi.
d) Informasi
Yaitu memberikan informasi kepada bawahan mengenai peraturan,
keuntungan dan data yang tidak berhubungan dengan instruksi dan
rasional.
e) Umpan Balik
30
Yaitu pesan yang berisi informasi mengenai ketepatan individu
dalam melakukan pekerjaannya. Komunikasi ke atas sangat penting
untuk mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan organisasi.
2) Komunikasi ke atas (upward communication)
Komunikasi ke atas (upward communication) merupakan suatu komunikasi
yang berisi informasi yang bergerak dari suatu otoritas atau jabatan yang
lebih rendah kepada orang yang memiliki otoritas atau jabatan yang lebih
tinggi. Menurut Muhammad (2012), tujuan dari komunikasi ke atas adalah
untuk memberikan balikan, memberikan saran dan mengajukan pertanyaan.
Komunikasi ke atas membuat bawahan memiliki rasa memiliki dan merasa
sebagai bagian dari organisasi (Devito, 2011).
b. Komunikasi organisasi horizontal (horizontal communication)
Komunikasi organisasi horizontal (horizontal communication) merupakan suatu
informasi yang bergerak diantara orang dan jabatan yang sama tinggi otoritasnya.
Pesan ini biasanya berhubungan dengan tugas, seperti koordinasi, pemecahan
masalah, penyelesaian konflik dan saling memberikan informasi. Komunikasi
organisasi horizontal yaitu komunikasi yang terjadi antara sesama, seperti antara
karyawan kepada karyawan. Komunikasi organisasi horizontal dapat memperlancar
pertukaran pengetahuan, pengalaman, metode dan pemecahan masalah (Romli,
2014).
3. Fungsi Komunikasi organisasi
Conrad (dalam Romli, 2014) membagi fungsi komunikasi organisasi menjadi tiga,
yaitu:
31
a. Fungsi perintah
Fungsi ini berkenaan dengan anggota di dalam organisasi atau perusahaan yang
mempunyai hak dan kewajiban untuk membicarakan, menerima, menafsirkan, dan
bertindak atas suatu perintah.
b. Fungsi relasional
Fungsi ini berkenaan dengan komunikasi yang memperbolehkan anggotanya untuk
menciptakan dan mempertahankan kondisi yang baik dalam hubungan personal
dengan anggota lainnya. Hubungan yang dibagun di dalam sebuah perusahaan atau
organisasi akan mempengaruhi kinerja dari pekerjaannya.
c. Fungsi manajemen
Fungsi ini berkenaan dengan pilihan dalam situasi organisasi yang sering dibuat
dalam kondisi yang sangat ambigu.
D. Perawat
1. Pengertian Perawat
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
647/Menkes/SK/IV/2000 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan, dan kemudian
diperbaharui menjadi Kepmenkes RI No. 1239/Menkes/SK/XI/2001 dijelaskan
bahwa perawat merupakan orang yang telah lulus dari pendidikan perawat, baik di
dalam maupun di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Indonesia memiliki pendidikan keperawatan sangat bervariasi. Mulai dari
tingkat SLTA kejuruan, DIII keperawatan, S1 keperawatan bahkan sampai
pascasarjana. Saat ini, seseorang dikatakan sebagai perawat jika memiliki kualifikasi
pendidikan minimal DIII keperawatan dengan sebuatan Ahli Madya Keperawatan.
Perawat memiliki fungsi utama yaitu membantu pasien baik dalam kondisi sakit
32
maupun sehat guna mencapai derajat kesehatan yang optimal melalui layanan
kesehatan (Asmadi, 2008). Perawat merupakan orang yang mengasuh, merawat dan
melindungi, yang merawat orang sakit, orang yang mengalami luka sampai dengan
usia lanjut (Elis & Hartley dalam Priharjo, 2005).
2. Tugas Perawat
Efendi (2009) mengatakan bahwa perawat memiliki beberapa tugas yang harus
dilakukan, diantaranya:
a. Memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi pasien dan keluarga pasien
b. Melindungi hak dan kewajiban pasien agar tetap terlaksana dengan baik
c. Memfasilitasi pasien dan keluarga pasien dengan anggota tim kesehatan lainnya
d. Berusaha mengembalikan kesehatan pasien.
3. Peran Perawat
Menurut Asmadi (2008), perawat memiliki empat peran utama dalam menjalankan
tugasnya, diantaranya adalah:
a. Pelaksanaan layanan kesehatan
Dalam peran ini perawat memberikan layanan berupa asuhan keperawatan secara
langsung kepada klien (individu, keluarga, bahkan komunitas). Asuhan
keperawatan diberikan kepada pasien dengan mengacu pada penggunaan
metodologi proses keperawatan sesuai dengan standar yang berlaku dan dilandasi
oleh etik dan etika keperawatan. Dengan meningkatkan kualitas pemberian layanan
kesehatan makan akan membentu citra yang baik untuk para perawat dan secara
tidak langsung meningkatkan nama rumah sakit itu sendiri.
b. Pengelola
Perawat memiliki tanggung jawab dan peran untuk mengelola layanan keperawatan
pada semua tatanan layanan kesehatan. Perawat dapat dikatakan telah menjalankan
33
fungsinya apabila telah melakukan planning (perencanaan), organizing
(pengorganisasian), actuating (gerak aksi), staffing (pengelolaan staf), directing
(pengarahan), dan controlling (pengendalian).
c. Pendidikan dalam keperawatan
Sebagai pendidik, perawat memiliki peran untuk mengajarkan kesehatan kepada
pasien, keluarga pasien maupun masyarakat luas. Sehingga dengan mendidik akan
tercipta perilaku hidup sehat. Selain untuk pasien, keluarga pasien maupun
masyarakat, perawat juga memiliki peran untuk memberikan pendidikan kepada
rekan kerja atau tenaga kesehatan lainnya. Hal ini dilakukan untuk menciptakan
kesamaan pandangan dan gerak bersama dalam meningkatkan profesionalisme.
Selain itu, dengan pendidikan dalam keperawatan eksistensi profesi keperawatan
dapat terus terpelihara.
d. Peneliti
Dengan melakukan penelitian terkait dengan kesehatan tentu akan membantu
perawat untuk menjalankan tugasnya, serta dengan melakukan penelitian akan
dihasilkan sebuah teori baru yang dapat membantu perawat.
E. Rumah Sakit
1. Pengertian Rumah Sakit
Rumah Sakit merupakan pusat berkumpul sebagian besar tenaga kesehatan
dalam menjalankan profesinya seperti: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan,
nutrisions, fisioterapis, psikolog, ahli rekam medik (Amir, 1999). Pohan (2004)
menjelaskan Rumah Sakit sebagai tempat untuk melakukan penyelenggaraan layanan
kesehatan secara menyeluruh yang dipadukan dengan penemuan yang dilakukan oleh
ahli pada bidangnya masing-masing.
34
2. Tugas Rumah Sakit
Tugas Rumah Sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan
pemulihan kesehatan pada masyarakat luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992, mengatakan bahwa tugas
Rumah Sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan
berhasil dan tetap mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang
dilakukan secara baik dan terpadu sehingga dapat meningkatkan dan mencegah sakit,
apabila sudah terlanjur sakit perawat dapat melakukan rujukan (Siregar, 2003).
3. Fungsi Rumah Sakit
Fungsi dari Rumah Sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan
penunjang medik dan non medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan
rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta administrasi
umum dan keuangan (Siregar, 2003).
F. Hubungan antar Variabel
Perawat merupakan orang yang pertama kali dan yang paling lama menjalin kontak
dengan pasien. Selain itu, perawat juga merupakan orang pada barisan pertama untuk
melayani kebutuhan pasien dan keluarga pasien, sehingga kebutuhan pasien dapat
terpenuhi. Schaufeli dan Jauczur (dalam Tawale, Nurcholas & Budi 2011) mengatakan
bahwa perawat dalam menjalankan tugas dan fungsinya dituntut untuk memiliki
pengetahuan, konsentrasi dan keahlian yang tinggi. Hal seperti ini tentunya membuat
beban kerja yang dialami oleh perawat semakin berat.
Selain tugas dan fungsi yang harus dijalankan oleh perawat, perawat juga dituntut
untuk selalu bersikap profesional meski perawat tidak dalam kondisi yang baik. Perawat
dalam menjalankan tugasnya tentu memiliki tuntutan kerja yang banyak. Tuntutan tersebut
35
bisa datang dari lingkungan kerja, sistem kerja yang ada, tuntutan pekerjaan dari atasan,
tuntutan pekerjaan sesama rekan kerja, tuntutan dari pasien dan keluarga pasien. Tuntutan
seperti ini, tidak jarang membuat perawat menjadi malas bekerja, membuat emosi yang
kurang stabil dan tidak jarang membuat perawat menjadi malas-malasan dalam bekerja.
Berat dan kompleksnya beban kerja serta tugas yang diemban oleh perawat di Rumah
Sakit, maka hal ini dapat menyebabkan perawat tersebut mengalami burnout. Semakin
banyak perawat mengalami burnout, maka semakin rendah kualitas pelayanan kesehatan
yang diberikan kepada masyarakat.
Burnout didefinisikan sebagai penipisan sumber daya fisik dan mental secara total
yang disebabkan oleh perjuangan yang berlebihan yang berhubungan dengan pekerjan
(Dessler, 2007). Selain itu, burnout juga didefinisikan sebagai suatu proses psikologis yang
diakibatkan oleh stres kerja yang berkepanjangan, sehingga menghasilkan kelelahan emosi,
perubahan kepribadian, dan perasaan penurunan pencapaian. Burnout menjadi masalah
bagi orang yang pekerjaannya memerlukan kontak langsung yang mendalam atau orang
yang memiliki tanggung jawab yang besar terhadap orang lain. Ada empat faktor yang
pada umumnya memberikan kontribusi penting terhadap munculnya burnout, antara lain
adalah tingkat beban kerja yang tinggi, karir yang buntu atau tidak ada peningkatan, aturan
organisasi dan pekerjaan tulis menulis yang berlebihan serta adanya komunikasi yang
buruk (Ivancevich, Konopaske & Matteson, 2006).
Perawat yang memiliki tuntutan kerja yang banyak, tentunya membuat mereka
harus mampu mengelola emosinya dengan baik agar pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien dan masyarakat menjadi baik. Mengelola emosi merupakan salah satu hal
yang penting dalam kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional merupakan hal yang
harus dimiliki oleh setiap individu, termasuk juga oleh perawat. Perawat selalu berinteraksi
dengan orang-orang, baik dalam kondisi sehat maupun kondisi sakit, sehingga perawat
36
harus mampu memiliki tingkat pengelolaan emosional yang baik. Selain itu, dengan
memiliki kecerdasan emosional, perawat dapat memiliki sikap asertif yang dapat
memudahkan perawat dalam mengenali emosi dirinya dan orang lain serta bersikap empati
dalam hal ini pasien dan keluarga pasien (Nurhidayah, 2006). Apabila kecerdasan
emosional mampu dikelola dengan baik, maka perawat mampu menciptakan lingkungan
kerja yang menyenangkan sehingga perawat dapat memberikan pelayanan yang optimal
pada setiap pasien dan keluarga pasien. Kecerdasan emosional menurut Robbins (2008)
adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mendeteksi serta mengelola
petunjuk serta informasi emosional.
Kecerdasan emosional terdiri dari lima aspek yaitu, mampu mengenali emosi
sendiri, mampu mengelola emosi, mampu mengenali emosi orang lain, mampu memotivasi
diri sendiri dan mampu membina hubungan yang dapat membantu seorang perawat untuk
berperilaku secara adaptif. Seorang perawat yang memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi, tentu tidak mudah untuk mengalami burnout. Adawiyah (2013), mengatakan bahwa
kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat
burnout. Dalam penelitiannya didapat hasil bahwa kecerdasan emosional memiliki
hubungan yang negatif dengan burnout. Dengan kata lain, semakin tinggi kecerdasan
emosional yang dimiliki oleh seseorang maka semakin rendah tingkat burnout yang
dialami.
Kecerdasan emosional tidak berperan sendiri dalam menurunkan burnout. Hal lain
yang dapat membantu kecerdasan emosional untuk menurunkan burnout adalah
komunikasi organisasi. Cara seseorang dalam berkomunikasi akan mempengaruhi cara
mereka dalam menginterpretasikannya, yang akan mempengaruhi emosi mereka dalam
menerima informasi (Robbins, 2006). Fitriyani (2013) mengatakan bahwa dengan
komunikasi organisasi individu dalam lingkungan kerja dapat menciptakan kondisi kerja
37
yang dapat meningkatkan efektivitas antara satu orang dengan yang lainnya sehingga akan
menghasilkan hubungan yang bersinergi. Komunikasi organisasi didefinisikan sebagai
komunikasi yang terjadi di dalam dan di antara lingkungan kerja yang besar dan luas (West
& Turner, 2008). Komunikasi organisasi dibagi menjadi dua yaitu komunikasi organisasi
vertikal dan komunikasi organisasi horizontal. Komunikasi organisasi vertikal merupakan
komunikasi yang terjadi dari atas kebawah serta dari bawah keatas, sedangkan komunikasi
organisasi horizontal merupakan komunikasi yang terjadi pada orang yang memiliki
tingkatan otoritas yang sama dalam sebuah organisasi (Muhammad, 2012).
Buhler (2001) mengatakan bahwa komunikasi organisasi vertikal berfokus pada
pemberian informasi yang terjadi pada atasan dan bawahan seperti instruksi, petunjuk, dan
informasi kepada bawahannya secara langsung. Komunikasi organisasi vertikal juga
memungkinkan bawahan untuk dapat memberikan laporan, saran, pengaduan kepada
atasan. Akan tetapi, orang yang berada di tingkat hirarki yang lebih rendah cenderung tidak
memasukkan informasi yang negatif agar mereka mendapatkan persepsi yang lebih positif
dari atasan Atasan cenderung hanya menunggu untuk mendapatkan informasi, akibatnya
bawahannya tidak bisa memulai komunikasi secara optimal. Selain itu, komunikasi yang
dilakukan oleh bawahan kepada atasan jarang melibatkan tatap muka, sehingga tidak
jarang menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Dengan kata lain, komunikasi organisasi
vertikal memberi batasan antara bawahan dan atasan untuk saling berkomunikasi, sehingga
tidak jarang menciptakan lingkungan kerja yang kurang kondusif. Komunikasi organisasi
horizontal dapat memenuhi kebutuhan akan persahabatan dan afiliasi akan kebutuhan
sosial, sehingga dapat membantu untuk menghindari beberapa masalah dan memecahkan
permasalahan serta dapat membangun semangat kerja (Romli, 2014).
Kecerdasan emosional memainkan peran untuk menurunkan burnout karena
dengan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka perawat dapat mengenali emosi
38
diri sendiri dan orang lain, mampu mengelola emosi, dapat memotivasi diri sendiri dan
dapat membina hubungan yang baik (Novita, 2014). Menurunnya burnout yang disebabkan
karena adanya peran kecerdasan emosional, akan semakin optimal ketika ada komunikasi
organisasi yang berperan pada hubungan kedua hal tersebut. Ketika komunikasi yang
terjadi di dalam organisasi berjalan dengan baik, tentunya akan berhubungan dengan
keberhasilan dari organisasi tersebut dan dapat menciptakan lingkungan kerja yang
nyaman bagi karyawannya (Pace & Faules, 2013).
Gambar 1. Bagan hubungan Kecerdasan emosional terhadap Burnout dengan dimoderasi
Komunikasi Organisasi
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
H0 : Komunikasi organisasi tidak memoderasi hubungan antara kecerdasan emosional
dan burnout pada perawat Rumah Sakit X.
Berat dan kompleksnya tugas perawat
Mengakibatkan munculnya Burnout
Faktor yang memunculkan Burnout
Ivancevich, Konopaske & Metteson
(2006)
Diperlukan Kecerdasan Emosional (Adawiyah, 2013)
Peran Kecerdasan Emosional untuk menurunkan Burnout
bisa semakin menguat dengan adanya Komunikasi
Organisasi Fitriyani (2013)
39
Ha : Komunikasi organisasi memoderasi hubungan antara ecerdasan emosional dan
burnout pada perawat Rumah Sakit X.