bab ii tinjauan pustaka a. kesamaan dimuka hukum 1 ...eprints.umm.ac.id/39319/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesamaan Dimuka Hukum
1. Pengertian Kesamaan Dimuka Hukum
Sebagai negara hukum Indonesia harus menjalankan prinsip-prinsip
daripada hak asasi manusia. Dimana pasca amandemen UUD NRI 1945 dan
reformasi, perkembangan positif terhadap perlindungan HAM di Indonesia
semakin gencar disuarakan, dapat dilihat dari terbitnya sejumlah regulasi dan
ratifikasi konvensi internasional. Konsepsi pemikiran HAM berangkat pada
pemikiran bahwa manusia memilik hak kodrati yang melekat karena merupakan
keberadaannya sebagai manusia bukan karena pemberian oleh negara, hanya
sebatas pengakuan oleh negara maka hak tersebut tidak tidak dapat dicabut.
Senada dengan pendapat penulis diatas Jimly Asshidiqie merefleksikan HAM
sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat
kelahiran manusia itu sebagai manusia.16
Salah satu unsur HAM yang diakui di Indonesia adalah kedudukan yang
sama didepan hukum. Didalam konstitusi Indonesia Pasal 28 D yang berbunyi
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Selain itu pasal 27(1) mengamanatkan “Segala warga negara bersamaan
16Dikutip dari Tesis Mohammad. Ryan Bakry Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam
Konsep Good Governance Di Indonesia. FH UI . Hlm 26
20
keudukannya didepan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Amanat konstitusi
sebagaimana disebut dalam pasal 28 D (1) dan pasal 27 (1) harus adanya
kedudukan yang sama didepan hukum termasuk dalam konteks penegakan
Hukum. Dalam pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang Perlindungan Hak asasi
manusia, memberikan ketentuan mengenai hak yang diberikan oleh konstitusi
dalam hal pengakuan HAM tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun.
Konsep persamaan dimuka hukum sederhananya adalah bahwa semua
orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before
the law merupakan salah satu asas terpenting dalam hukum modern.17
konsepsi
pemikiran equality before the law menginginkan perlakuan yang sama tanpa
ada pengecualian, termasuk bagi kelompok rentan.18
Persamaan dimuka hukum
(equality before the law) merupakan suatu asas yang bersifat tidak kongkrit.
Hal tersebut sebagai sebuah rencana untuk menghindari suatu kesewenang-
wenangan dari penguasa terhadap rakyatnya. Prof Ramly Hutabarat
menyatakan sebagaimana diberitakan dalam Hukumonliene.com, Teori equality
before the law menurut UUD 1945, “suatu mata rantai antara hak dan
kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing.
Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan
17
Julita Melissa Walukow, 2013. Perwujudan Prinsip Equality Before The Law Bagi
Narapidana Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Lex et Societatis,
Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Hlm 163 18
Rhona K.M. Smith, at, al, 2008. Op.cit. Hlm 254
21
adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah dengan tujuan adalah nilai
keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik.”19
2. Kesamaan Dimuka Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan merupakan sumber dari segala
sumber hukum memuat sebuah nilai luhur untuk menciptakan kehidupan
bernegara yang sejahtera demi menciptakan bangsa yang madani. Dalam
konteks peraturan perundang-undangan pancasila harus menjadi falsafah dalam
pembentukannya. Berbicara mengenai sistem peradilan pidana dan kesamaan
dimuka hukum (equality before the law) merupakan suatu hal yang berkaitan
dan saling membutuhkan karena dalam terciptanya sistem peradilan pidana
yang baik harus dilandaskan kepada asas dimana salah satu asasnya ialah
kesamaan dimuka hukum. Dalam pancasila sebagai sumber hukum pidana
sebagaimana diungkapkan oleh Mokhammad Najih, bahwa hukum pidana (baik
materil maupun formil –Pen) harus bertujuan untuk melindungi jiwa dan raga
manusia indonesia.20
Didalam terjadinya kehatan/tindak pidana maka seluruh
pihak yang mendapat dampak dari adanya kejahatan harus dilindungi jiwa dan
raganya.
Lebih lanjut dalam Konstitusi Indonesia sebagaimana kita lihat dalam pasal
28D (1) dan Pasal 27 (1) telah mengamanatkan persamaan dimuka hukum.
19
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd56cf069398/prof-ramly-dan-iequality-
before-the-law-i Akses 4/10/2017 20
Mokhammad Najih, 2014. Politik Hukum Pidana. Setara press, Malang. Hlm 36
22
Dengan demikian hukum pidana formil sebagai landasan hukum acara pidana
indonesia tentu secara hirarki perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan peraturan diatasnya dalam hal ini tidak boleh bertentangan dengan UUD
NRI 1945. Jika didalam konstitusi persamaan dimuka hukum dicantumkan,
maka konsekuensi logisnya pembentuk perturan dan penegak hukum haruslah
melaksanakan dan merealisasikan asas ini dalam kehidupan bernegara dan
dalam peraturan perundag-undangan dibawahnya. Dalam konteks ini dalam
KUHAP sudah ada pengakuan mengenai adanya asas ini, hal ini merupakan
suatu bentuk betapa pentingnya persamaan dimuka hukum dalam sistem
peradilan pidana Indonesia.21
Persamaan dimuka hukum pada hakikatnya
merupakan suatu akibat dari berubahnya sistem inkuisitur kepada sistem
akusatur. Perubahan disini untuk menghindari penyiksaan dari para penegak
hukum hal ini pada saat itu belum diatur mengenai kesamaan dimuka hukum.
Kesamaan dimuka hukum khususnya dalam sistem peradilan pidana
adalah agar peradilan jauh dari tindakan dan perlakuan diskriminasi dalam
segala bentuk, dengan tiga patokan. pertama: persamaan hak dan derajat dalam
proses pemeriksaan selama persidangan pengadilan, kedua: diberikan hak
perlindungan yang sama oleh hukum, ketiga, mendapat perlakuan yang sama di
21
Romli atma sasmita,1996. Sistem peradilan pidana perspektif eksistensi dan abolisionisme,
Putra Bardin. Hlm 79
23
bawah hukum.22
Konsep kesamaan dimuka hukum dalam KUHAP pada
pembentukannya murni untuk melindungi pelaku tindak pidana yang sebelum
KUHAP hadir kerap mendapat penyiksaan dan menempatkan pelaku sebagi
objek.
B. Korban Tindak Pidana
1. Pengertian Korban Tindak pidana
Kejahatan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan bertentangan
dengan norma yang ada pada kehidupan sosial masyarakat. Kejahatan dapat
dikatakan suatu tindak pidana jika sudah dirumuskan dalam suatu legal formal
peraturan melalui serangkaian proses kriminalisasi. Dalam pembahasan
terjadinya tindak pidana terdapat beberapa unsur yakni pelaku, korban, dan
pemidanaan. Hal menarik yang dapat dikaji mengenai unsur dari tindak pidana
yakni korban tindak pidana itu sendiri karena merupakan unsur yang menderita
dan dapat pula pihak yang menyebabkan tindak pidana itu sendiri. Korban
tindak pidana atau biasa disebut victimologi, memiliki arti latin victima yang
berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi victimologi
berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban,23
. Sejarah viktimologi
dimulai sejak tahun 1941 ketika Von Henting menulis sebuah makalah dengan
judul remarks on the interaction of perpetrator and victim dan kemudian
22
Muladi(editior) 2009. Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat. Refika Aditama, Bandung. Hlm., 278 23
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom Hlm 34 sebagaimana dikutip dari dikutip dari
Rena Yulia victimologi, Bandung, Graha Ilmu 2013 Op.cit.
24
selang 7 tahun kemudian diikuti oleh terbitnya sebuah buku dari Von Henting
yang berjudul the criminal and his victim pada tahun 1948.24
Viktimologi
merupakan studi pengkajian korban secara luas tidak hanya pada korban
kejahatan saja namun juga melakukan pengkajian terhadap korban pelanggaran
dan korban penyalahgunaan kekuasaan.
Terdapat beberapa pengertian dari korban tindak pidana, kamus besar
bahasa indonesia (KBBI) Memberikan pengertian korban yakni “yang menjadi
menderita (mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan
sebagainya”25
doktrin dari para ahli juga memberikan pengertian mengenai
pengertian dari korban tindak pidana. Von boyen dalam buku Rena yulia yang
berjudul viktimologi, perlindungan hukum terhadap korban kejahatan
menyampaikan pengertian korban tindak pidana “Korban yang secara
individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik
maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan
yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun
karena kelalaian (by omission)...”26
Prof. Muladi dan prof. barda
mendefinisiskan korban sebagai pihak dalam kejahatan yang menderita
24
J.E. Sahetapy, 1987, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka sinar harapan, Sinar
Harapan, Jakarta, Hlm8. 25
Diakses dari Kbbi online https://kbbi.web.id/ tgl 26/9/2017 26
Rena yulia, 2013, Op.cit, hlm 50.
25
kerugian akibat kejahatan dan keadilannya terganggu sebagai akibat
kejahatan.27
Dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia, terdapat
beberapa peraturan yang memberikan pengertian korban tindak pidana. UU
No.13 Tahun 2006 Jo UU No.31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan
korban memberikan pengertian Korban adalah “orang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana”.
Berdasar kepada definisi korban secara harfiah, doktrin, dan secara
normatif penulis mencoba merumuskan definisi korban dalam penulisan kali ini
disebut dengan korban tindak pidana. Dapat ditarik kesimpulan korban
kejahatan memiliki definisi yakni, sebagai pihak yang merupakan unsur dari
suatu tindak pidana, yang mengalami kerugian dan mengalami ketidak
nyamanan atas terjadinya suatu perbuatan jahat yang terumus dalam legal
formal atau disebut tindak pidana dengan kerugian secara nampak, maupun
tidak nampak.
Kerugian sebagaimana dimaksud diatas, terbagi kedalam dua bentuk.
Pertama. kerugian yang nampak dapat dimaknai sebagai kerugian yang dapat
dilihat secara kasat mata dan dapat dihitung seperti kerugian harta benda
maupun kerugian atas pengobatan yang telah dikeluarkan akibat dari tindak
27
Ibid, Hlm 51
26
pidana. Kedua. kerugian yang tidak nampak merupakan kerugian yang susah
dilakukan penghitungan pada saat itu juga maupun masa yang akan datang.
Kerugian semacam ini semisal kerugian yang tidak hanya dialami langsung
oleh korban tindak pidana, namun kerugian semacam ini dapat juga dialami
oleh pihak yang memiliki ketergantungan kepada korban. Secara tidak langsung
pihak yang mengalami kerugian ini tidak nampak mengalami kerugian. Contoh
dari kerugian tidak nampak seperti kepala keluarga yang menjadi korban tindak
pidana pembunuhan, istri dan anaknya yang ditinggalkan akan mengalami
ketidak pastian dan keputusasaan dalam hidupnya, hal semacam ini merupakan
kerugian yang tidak dapat dihitung pada saat itu juga.
2. Tinjauan Hubungan Korban dengan Tindak pidana
Korban tindak pidana sebagaimana dijelasakan diatas merupakan pihak
yang terlibat dan merupakan unsur dalam suatu tindak pidana. Pada sub BAB
ini akan dikaji perihal hubungan korban tindak pidana dengan tindak pidana
yang terjadi yag dapat dilihat dari beberapa hal seperti akan dijelaskan dibawah
ini.
Dikaji berdasar derajat kesalahan, Menurut mendelshon sebagaimana
dikutip dalam Bambang Waluyo korban dibedakan kedalam 5 macam :
- Korban sama sekali tidak bersalah;
- Menjadi korban karena kelalaian;
- Korban kesalahannya sama dengan pelaku tindak pidana;
- Korban bersalahnya melebihi pelaku tindak pidana;
27
- Korban sebagai penyebab terjadinya tindak pidana. 28
Pembagian korban berdasar derajat kesalahannya merupakan salah satu dasar
penjatuhan pemidanaan dan dasar pemberian hak kepada korban.
Dikaji berdasar tingkat keterlibatan terjadinya tindak pidana, Ezzat Abde
Fattah menyebut beberapa tipologi korban dalam hal keterlibatan dalam tindak
pidana yang dibagi dalam 5 macam :29
- Non participating victims umumnya menolak kejahatan namun tidak
ikut berpartisipasi menaggulangi tindak pidana
- Latent or predisposed victims mempunyai kecenderungan menjadi
korban tindak pidana tertentu
- Provocatif victims timbulnya tindak pidana karena provokasi dari
korban tindak pidana itu sendiri
- Participating victims perilaku yang berbeda pada manusia umumnya
menjadi pemicu terjadinya tindak pidana namun korban tindak pidana
tidak menyadari akan hal tersebut.
- False Victims jatuhnya korban tindak pidana karena perbuatan dari
tindak pidana itu sendiri.
Bila diikaji secara tanggung jawab terhadap dampak dari terjadinya tindak
pidana, korban dibagi menjadi 7 macam :30
- unrelated victims korban tidak memiliki hubungan apapun terhadap
terjadinya tindak pidana, aspek pertanggung jawabannya mutlak
menjadi tanggungan pelaku;
- provocative victims korban menjadi pemicu dari terjadinya tindak
pidana terhadap korban. Hal semacam ini maka pertanggung
jawabannya terbagi kepada korban dan pelaku;
28
Bambang waluyo, 2016, Viktimologi perlindungan korban dan saksi. Jakarta ,Sinar
Grafika. Hlm 19 29
Op.cit, Rena yulia, Hlm 53 30
Ibid, Hlm 53-54
28
- participating victims korban tanpa disadari oleh dirinya secara nyata
menjadi pemicu terjadinya tindak pidana, pertanggung jawaban
sepenuhnya terletak pada korban;
- biologically weak victims kondisi fisik korban menjadi pemicu
terjadinya tindak pidana, mengenai pertanggung jawabannya sendiri
terletak kepada masyarakat dan pemerintah karena tidak melindungi
masyarakatnya;
- socially weak victims jatuhnya korban karena kedudukan sosial dari
korban, seperti tunawisma;
- self victimizing victims korban kejahatan yang terjadi karena
perbuatannya sendiri, pelaku dan korban menjadi satu dalam subjek,
hal semcam ini dapat kita temui dalam kasus penggunaan narkoba;
- political victims korban disebabkan karena lawan politik, korban
semacam ini pertangungjawbannya terletak pada pelaku (lawan
politik) sepanjang konstelasi politiknya tidak berubah, atau dengan
kata lain tidak berafiliasi dengan lawan politik yang menyebabkan
menjadi korban.
Pembagian macam-macam korban berdasar drajat kesalahan, berdasar
keterlibatannya, dan berdasar tanggung jawabanya dapat ditarik kesimpulan
bahwa pembagian tersebut memiliki fungsi sebagai penentu bagaimana cara
dan metode untuk memberikan suatu perlindungan bagi korban tindak pidana,
mengingat ajian viktimologi yang semakin berkembang dewasa ini, juga
menjadi batasan terjadinya korban yang memanfaatkan posisinya sebagai
korban.
29
3. Hak-Hak Korban Tindak Pidana
a. Hak Korban Menurut Doktrin
Pembahasan mengenai hak daripada korban tindak pidana tentu tidak
dipisahkan dari pemikiran ahli atau yang disebut doktrin. Van boven
memberikan pemikiran tentang hak yang dapat dimiliki korban tindak pidana
adalah hak atas keadilan dan pemulihan secara materil dan immateril
terhadap kerugian yang dialami, pemulihan disini merupakan tindakan yang
terindikasi melanggar hak asasi manusi termasuk tidak tercapainya equality
before the law korban dapat juga mendapatkan keadilan maupun
pemulihan.31
Masalah keadilan, menurut penulis merupakan tugas
pemerintah untuk hadir memberikan keadilan sebagaimana pendapat Van
Boven, sedangkan mengenai pemulihan merupakan tanggung jawab dari
pelaku tindak pidana, pemerintah, maupun korban tindak pidana tanggung
jawab oleh korban sifatnya flexible, harus melihat peranan korban dalam
terjadinya tindak pidana.
Dalam kepustakaan mengenai hak berupa perlindungan yang dapat
diperoleh oleh korban dikenal dua model. Pertama, Hak prosedural dimana
di prancis dikenal Partie civile model dalam model ini peranan korban
sangat aktif dalam setiap tingkat perkara. Kedua, Model pelayanan (service
31
Ibid, Hlm 55
30
model) menekannkan pada pemberian ganti rugi dalam bentuk kompensasi,
restitusi, atau upaya pengembalian kepada kondisi semula.32
Arif ghosita memberikan pandangan mengenai hak-hak yang dapat
diperoleh korban tindak pidana yang mencakup :
1. Hak mendapat ganti rugi atas kerugian yang dialaminya namun
harus dilihat keterlibatan korban terhadap terjadinya tindak
pidana.
2. Mendapat restitusi/kompensasi terhadap pihak yang tidak secara
langsung menjadi korban (potential victims)
3. Mendapat rehabilitasi maupun pembinaan
4. Memperoleh haknya kembali
5. Memperoleh perlindungan dari berbagai ancaman
6. Memperoleh penasehat hukum secara Cuma-Cuma
7. Mempergunakan upaya hukum. 33
Terhadap hak pelayanan dalam bentuknya restitusi/kompensasi. Reiif
memberikan pandangan tentang bahwa langkah pemberian kompensasi
merupakan upaya integrasi bidang kesejahteraan sosial, kemanusiaan, dan
sistem peradilan pidana.34
Upaya restitusi/kompensasi jika dibenturkan
dengan konsep retributive justice yang memandang reaksi sosial termasuk
kejahatan adalah pelanggaran terhadap umum, negara harus ikut turun
tangan dalam persoalan ini.35
32 Lilik Mulyadi, 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritik dan Praktik.
Jakarta, PT. Alumni. Hlm 408 33
Ibid, 55-56 34
Op.cit, J.E. Sahetapy Hlm 37 35
Retributif Justice memandang kejahatan adalah pelanggaran terhadap tertib public (public
order) atau suatu perbuatan melawan masyarakat, melawan badan kolektif dari warga negara,
31
Mengenai perlunya turut sertanya negara dalam pemberian
restitusi/kompensasi, Goldstein memberikan pendapat bahwa pemberian
restitusi/kompensasi oleh negara akan memiliki tendensi negative sebab hal
tersebut akan mengurangi tanggung jawab pelaku tindak pidana.36
Perlunya
perubahan paradigm dari retributive justice kepada restorative justice jika
akan menerapakan sistem krestitusi/kompensasi untuk tidak menghilangkan
tanggung jawab korban dan merupakan salah satu pembinaan secara non
formal karena seara kongkret telah melakukan pembersihan noda yang telah
diperbuatnya melalui pemberian restitusi/kompensasi atau dapat juga disebut
pemberian santunan.
Mengenai hak rehabilitasi atau pemulihan, korban sudah seharusnya
mendapatkan dari pelaku tindak pidana, melalui teori pendekatan dosa yang
disampaikan oleh Andi matalata dalam J.E. Sahetapy. Pada intinya
pendekatan dosa menitik beratkan pada perbuatan yang dilakukan pelaku
tindak pidana merupakan suatu “dosa” yang dilakukan manusi kepada
sesama mahluk tuhan, konsekuensi logisnya adalah pelaku harus “bertobat”
untuk menghapus dosa. Melalui perhatian kepada korban dalam bentuk
memulihkan kerugian yang diterita, tidak terbatas pada kerugian yang
nampak (materil) dapat pula kerugian tidak nampak (immaterial) dan
menentang serangkaian standar oleh institusi-institusi demokratik masyarakat Lihat Mudzakkir dalam
Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta. Sinar grafika, 2012. Hlm 43 36
Ibid, Hlm 38
32
kerugian yang akan datang hubungannya dengan pihak yang berpotensi
dirugikan diluar korban.37
Penjatuhan kewajiban pembayaran
restitusi/kompensasi maupun santunan oleh pelaku kepada korban melalui
pendekatan “dosa” dapat mempermudah penghayatan pelaku tentang
salahnya melakukan perbuatan jahat.
b. Hak Korban Menurut Deklarasi PBB
Pada tahun 1985 PBB telah melaksanakan deklarasi Deklarasi mengenai
Prinsip-prinsip Keadilan Dasar Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Declaration of basic Principle of justice for Victims of criminal
and Abuse of Power) yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB.
Menurut J.G Starke “Majelis Umum merupakan satu-satunya badan
utama Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari semua anggota, setiap
anggota hanya memiliki satu suara, meskipun diizinkan menempatkan lima
orang wakilnya.”38
Dengan demikian maka setiap negara PBB wajib
mengikuti keputusan majelis umum PBB dalam konteks ini Indonesia
sebagai anggota PBB dianggap telah meratifikasi.
Dalam hal perlindungan korban, Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip
Keadilan Dasar Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan
memberikan hak fudamental terhadap korban yakni sebagai berikut :
37
Op.cit,J.E Sahetapy. Hlm 42 38
J.G.Starke, 2000. Pengantar hukum Internasional. Edisi ke-10,Jilid II, Jakarta, Sinar
Grafika. hal. 836.
33
1. Acses to justice and fair treatment (Perlakuan yang adil)
Korban harus selayaknya diperlakukan sebagai manusia, harus
ada pengakuan penghormatan termasuk didengar keinginannya
untuk dipertimbangkan.
2. Restitution (ganti kerugian)
Ganti rugi kepada korban dapat diberikan untuk memperingan
penderitaan dan bahkan dapat menghilangkan penderitaan
korban, baik korban langsung (actual victims) maupun korban
tidak langsung (potential victims)
3. Comoensation (Santunan)
Sama seperti restitution (ganti kerugian) pemberian santunan ini
diberikan kepada korban langsung (actual victims) maupun
korban tidak langsung (potential victims)
4. Assistance (Bantuan)
Korban sebagai pihak yang menderita, perlu mendapat bantuan
baik medis, sosial, maupun psikologis. Jika kaitannya dengan
bantuan sosial maupun psikologis maka peran pemerintah sangat
dibutuhkan dalam hal ini tanpa melupakan tanggung jawab dari
pelaku sendiri. 39
c. Hak Menurut Norma Postif Indonesia
Peraturan perundang-undangan indonesia sebagai norma positif
memberikan hak kepada korban tindak pidana dalam rangka mengembalikan
kondisi korban setelah mengalami suatu penderitaan, meskipun substansinya
masih belum memberikan suatu keseimbangan. Mengenai permasalahan
tersebut akan dibahas dalam bab selanjutnya dalam sub bab ini akan dibahas
mengenai hak yang telah diberikan oleh norma positif kepada korban.
UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum acara pidana atau KUHAP
merupakan norma umum (lex generali) dalam hal hukum pidana formil,
39 Deklarasi majelis umum PBB No. 40/A/Res/34 tahun 1985 atau biasa disebut The
Declaration of Basic Principles of Justice for victims of Crime and Abuse of Power 1985 diakses dari
http://referensi.elsam.or.id akses Tgl 28/9/2017
34
garis-garis besar hukum acara pidana diatur dalam UU ini. Berbicara
mengenai hak korban KUHAP memberikan hak kepada korban mengenai
gugatan ganti kerugian yang diatur dalam pasal 80,98,99,100,101. Pasal 80
mengatur mengenai permohonan pra peradilan mengenai sah atau tidaknya
pengehentian penyidikan atau penuntutan yang merupakan rangkaian
criminal justice system. Hak korban dapat dilihat pada redaksional “pihak
ketiga” lengkapnya dapat dilihat dalam pasal 80. “Permintaan untuk
memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya”.
Selanjutnya dalam pasal 98-101 diatur mengenai gugatan ganti ganti
kerugian. Dengan adanya pasal ini dapat dikatakan sebagai langkah awal
diperhatikannya dalam proses peradilan pidana.40
Dalam pasal 98 berbunyi
“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian
bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu.” Dari pasal tersebt dapat kita cermati bahwa kerugian
yang dapat diajukan merupakan kerugian materil dapat dicermati dalam
40 Op.cit , J.E. Sahetapy.Hlm 40
35
pasal tersebut terdapat unsur yang menjelaskan hanya sebatas kerugian
imateril yakni perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dan menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Mengenai tujuan ganti kerugian dalam KUHAP R. Soeparmono
memberikan pendapat, kerugian yang dapat diajukan gugatan dalam
KUHAP khususnya pasal 98 hanya kerugian yang nyata-nyata dikeluarkan
atas terjadinya tindak pidana, misal biaya pengobatan rumah sakit dsb. Lebih
lanjut R. Soeparmono menyatakan untuk kerugian immaterial harus
mengajukan gugatan perdata tersendiri.41
Dalam huku pidana materil (KUHP) Diatur mengenai perlindungan dan
pemberian Hhak kepada korban, diatur dalam pasal 14 a (1) Jo Pasal 14c.
pada pasal 14 a (1) yang berbunyi
Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau
pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka
dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana
tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudianhari ada putusan hakim
yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan
suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan
dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana
selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang
mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
Dalam pasal 14 c berbunyi
Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan
pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana
41
Op.cit, Rena Yulia Hlm 109
36
tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan
syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana , hakim dapat
menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu,
yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti
segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tadi.
Pemberian ganti rugi kepada korban dalam putusan hakim sebagaimana
pasal diatas hanya dapat dilakukan pada putusan yang dibawah satu tahun.
Sedangkan untuk putusan diatas itu tidak ada keistimewaan semacam itu.
Norma positif lain yang mengatur mengenai hak korban terdapat dalam
UU No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Jo UU
No.31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Tujuan dari UU ini dapat
dilihat dalam dasar pertimbangan atau konsiderans. Pada pasal 5 diatur
mengenai hak dari korban dan saksi.
Secara keseluruhan, semua hak diatas tidak dipisahkan antara hak saksi
dan hak korban, penulis melihat dari sekian hak tersebut lebih banyak
memberikan hak kepada saksi. Hanya hak “memperoleh bantuan biaya hidup
sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir” yang dapat diberikan
kepada korban. Disamping itu dalam pasal 7A UU No.31 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang
37
perlindungan saksi dan korban diberikan hak pengajuan restitusi melalui
LPSK, namun hal ini melalui mekanisme tidak sederhana.42
C. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana merupakan salah satu alat menegakkan hukum
dengan pendeketana mekanisme sistem terintegrasi. Terdapat beberapa lembaga
didalam sistem yang saling terhubung dalam menyelesaikan suatu tindak
pidana. Di Indonesia jika berbicara mengenai sistem peradilan pidana maka
akan tertuju kepada Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
pemasyarakatan dengan acuan normatif UU No.8 Tahun 1981 (KUHAP) yang
terdiri atas 22 BAB dan 286 pasal. Bila dikaji secara terminologi sistem
peradilan pidana atau criminal jstice system adalah suatu upaya dalam
menanggulangi suatu kejahatan dengan metode pendekatan sistem.
Menurut istilah dalam kamus besar bahasa indonesia, sistem peradilan
pidana terdiri atas tiga suku kata. Sistem, peradilan, pidana. Dengan masing-
masing suku kata memiliki arti masing-masing. Sistem memiliki arti perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Peradilan memiliki arti segala sesuatu mengenai perkara pengadilan atau
lembaga hukum bertugas memperbaiki. Pidana memiliki arti kejahatan. Dari
42
Ibid. Rena Yulia. Hlm 112
38
tiga suku kata penulis mencoba merumuskan pengertian yakni suatu perangkat
yang memiliki unsur yang saling terhubung untuk memperbaiki suatu gejala
sosial berupa kejahatan
Remington dan ohlin dengan tegas mengemukakan pengertian mengenai
sistem peradilan pidana sebagai berikut :
Criminal justice system dapat diartika sebagai pemakaian
pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil
interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosioal. Pengertian sistem
itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.43
.
Sistem peradilan Indonesia dengan dasar KUHAP sebagai lex generali dapat
diartikan sebagai suatu pendekatan sistem dengan tujuan adalah bagaimana
pendekatan sistem untuk mencapai tujuan menjalankan/menegakkan hukum
pidana materil sedapat mungkin menghindari pemerkosaan terhadap harkat dan
martabat manusia.44
Mardjono memberikan definisi sistem peradilan pidana
adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisisan, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyrakatan.45
Lebih lanjut menurut mardjono, tujuan dari sistem tersebut untuk
mencegah jatuhnya korban di masyarakat, menegakkan keadilan dengan
dipidananya pelaku, mengusahakan pelaku tidak mengulangi dengan sistem
43
Lilik Mulyadi, 2007. Kompilasi Hukum Pidana Dalam perspektif teoritik dan praktik
peradilan, Bandung. CV. Mandar maju. Hlm 38 44
Op.cit. Romli atmasasmita.Hlm 28 45
Anthon F susanto, 2004, Wajah sistem peradilan kita. Bandung, rafika aditama. Hlm 74
39
pembinaan di LAPAS.46
Muladi memberikan pendapatnya mengenai definisi
sistemperadilan pidana merupakan jaringan (network) yang didalamnya
menggunakan kerangka normatif Hukum pidana materil, Hukum pidana formil
dan Hukum pelaksanaan pidana. Namun jika sistem kelembagaan ini dipandang
hanya untuk kepastian hukum tanpa memperhatikan realitas sossial maka akan
hanya menghadirkan bencana berupa ketidak adilan.47
Dari pengertian yang diberikan kamus dan pendapat para ahli dapatlah
disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan mekanisme pengadilan
untuk menegakkan hukum demi perbaikan atas adanya gejala sosial di
masyarakat. Sehubungan dengan sistem ini berlaku di negara rechstaat seperti
indonesia maka diperlukan suatu dasar hukum maka KUHAP yang menjadi
dasar hukum umum (lex generali) dan UU diluar KUHAP (lex speciali).
2. Perubahan Fundamental Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Lahirnya UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
disahkan pada tgl 31 Desember tahun 1981 oleh presiden soeharto menjadi
awal dimulainya sistem peradilan pidana dari sistem ikusitoir menuju sistem
akuisotir, dengan menggantikan HIR sebagai Hukum acara formil pada saat itu.
Telah terjadi perubahan fundamental dalam sistem peradilan pidana indonesia
dengan dimuatnya perlindungan-perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap
46
Ibid, Hlm 75 47 Ibid, Hlm 77
40
tersangka, terdakwa, tertuduh, sampai terpidana. Pada waktu itu KUHAP
dianggap sebagai suatu karya agung, adapun perubahan fundamental perubahan
tersebut dapat dilihat dalam asas yang diatur.48
Konsekuensi logis dari sepuluh asas yang menjadi nyawa dari KUHAP
dengan dianutnya due process of law maka KUHAP harus menjalankan sistem
peradilan pidana berdasar kesepuluh asas kepada pihak yang terlibat dalam
mata rantai kejahatan yang terjadi. Juga harus didukung oleh sikap batin yang
harus menghormati asas tersebut yang memiliki citarasa penghormatan
terhadap hak asasi manusia.49
Lebih lanjut romli atma sasmita memberikan kesimpulan terhadap
perubahan dasar hukum sistem peradilan pidana dengan UU No.8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut50
:
1. Telah terjadi perubahan pemikiran dan pandangan tentang
kedudukan tersangka terdakwa dan atau tertuduh dalam
penyelesaian perkara pidana di indonesia
2. Perubahan pemikiran dan pandangan dimaksud tampak terlalu
menitikberatkan perlindungan atas hak dan kepentingan
tersangka, tertuduh dan terdakawa, akan tetapi kurang
memperhatikan efisiensi mekanisme penyelesaian perkara pidana
itu sendiri oleh aparat yustisi dan kepentingan korban tindak
pidana atau korban penalah gunaan kekuasaan oleh aparat
penegak hukum
3. Sistem peradilan pidana Indonesia telah menganut sistem
campuran dan mulai meninggalkan sistem lama yang kurang
memperhatikan kedudukan seseorang yang dituduh nelakukan
tindak pidana
48
Djoko Prakoso, 1985. Eksistensi Jaksa Di Tengah Masyarakat, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Hlm 25 49
Op.cit, Romli Atma Sasmita. Hlm 42 50
Ibid, Hlm 45
41
4. Adanya perubahan pemikiran dan siap pembentuk undang-undang
harus juga diikuti oleh pandangan aparat penegak hukum didalam
implementasi Undang-undang
5. Secara teknis operasional, pelaksanaan undang-undang dimaksud
akan merupakan pencerminan kebenaran akan adanya perubahan
sikap dan pandangan terhadap kedudukan tersangka/tertuduh
dalam mekanisme pelaksanaan sistem peradilan pidana.
Dari penjelasan diatas dapatlah kiranya penulis menarik kesimpulan
tentang bentuk kongkret dari adnya perubahan fundamental tersebut terletak
pada keseluruhan asas hukum acara pidana (KUHAP) sebagaimana terdapat
dalam penjelasannya.51
3. Model-Model Sistem Peradilan Pidana
Dalam ranah teoritik banyak terdapat berbagai teori yang memiiki tujuan
mempermudah dan memberikan manfaat bagi mansuia yang berasal dari ratio
manusia. Dalam sistem peradilan pidana, Michael King memberikan beberapa
model jenis sistem peradilan pidana yang masing-masing model berbeda dalam
implementasinya, dan memiliki cara masing-masing menhadirkan keadilan.
Berikut adalah model sistem peradilan pidana tersebut: 52
51 Asas hukum acara pidana dalam kuhap terdiri atas (1) Persamaan dimuka hukum (2)
Praduga tidak bersalah (3) Hak memperoleh kompensasi (4) peradilan cepat, cepat, biaya ringan serta
bebas serta tidak memihak (5) Hak memperoleh bantuan hukum (6) seseorang ditangkap atau ditahan
untuk diberitahu kesalahannya (7) Hak kehadiran terdakwa didepan persidangan (8) penangkapan,
ditahan, atau dituntut atau diadili harus berdasar undang-undang (9) sidang terbuka untuk umum (10)
Pengawasan pelaksanaan ptusan pengadilan. Lihat Mardjono reksodipoetra, Hak asasi manusia dalam
sistem peradilan pidana ;1994, Hlm 32-33 membagi 10 asas tersebut kedalam bentuk umum dan
khusus. Bentuk khusus terdiri atas (1) penahanan, penagkapan, penggeleahan dan penyitaan harus
berdasa hukum. (2) Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang perangkaan dan dakwaan (3)
pengawasan oleh pengadilan terhadap putusan. 52
Lilik mulyadi,2005. Peradilan terorisme kasus bom bali. PT. Djambatan, Jakarta. Hlm 67
dalam Lilik Mulyadi, 2008. Kompilasi Hukum Pidana Dalam perspektif teoritik dan praktik
peradilan, Bandung. CV. Mandar maju. Op.cit. Hlm 39
42
1. Just Desert Model
2. Power Model
3. Status passage model
4. Bureaucratic Model
5. Medical models
6. Crime control model
7. Due Process Model (DPM)
4. Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Pada pembahasan dimuka telah dijelaskan terminologi daripada korban
dan mengenai apa itu sebenarnya korban. dimana diketahui korban merupakan
pihak yang mengalami kerugian atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Didalam sistem peradilan pidana indonesia korban kedudukannya hanya
sebagai saksi untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa.53
Korban
dalam memperjuangkan haknya ataupun suaranya dalam peradilan pidana
hanya dapat dilakukan didalam tingkat penyidikan atau ketika menjadi saksi.
Eksistensi korban dalam sistem peradilan pidana secara hakikat diwakili
oleh jaksa, hal demikian dapat dilihat dari pandangan konsep kejahatan yang
memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap negara atau kepentingan
publik yang dilandasi oleh pemikiran berbasis retributive justice.54
Kepentingan
korban yang diwakili oleh jaksa dikarenakan perlindungan semacam ini bagian
bagi perlindungan masyrakat, hal tersebut dapat dilihat dalam dalam undang-
53
Opcit, Rena Yulia. Hlm 103 54
Retributive justice merupakan pandangan mengenai suatu kejahatan yang merupakan
pelanggaran terhadap negara, maka negara harus melakukan suatu reaksi. Lihat Loc.it. Siswanto
Sunarso.
43
undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dijelaskan bahwa jaksa
disebutkan sebagai wakil negara. Keterwakilan korban oleh jaksa pada sistem
peradilan pidana indonesia, tidak dapat dipisahkan dari konsekuensi logis teori
kontrak sosial dan teori solidaritas sosial.55
Keterwakilan korban oleh jaksa penuntut umum dalam sistem peradilan
pidana secara historis dikarenakan apabila korban bertindak sendiri maka akan
meletakkan kepentingan pribadi diatas segalanya.56
Dengan demikian
kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana selain telah diwakili oleh
jaksa juga berkedudukan sebagai saksi apabila sesuai dengan syarta saksi itu
sendiri yakni orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami
sendiri suatu tindak pidana.
55
Muladi dan Barda nawawi arief, 1992. Bunga rampai hukum Pidana. PT Alumni, Bandung.
Hlm 78 56
Lilik Mulyadi,2007. Kompilasi Hukum Pidana Dalam perspektif teoritik dan praktik
peradilan, Bandung. CV. Mandar maju Hlm 8