bab ii tinjauan pustaka a. mahkota dewa 1. deskripsi ...digilib.unila.ac.id/9933/14/11. bab 2.pdfbab...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mahkota Dewa
1. Deskripsi Mahkota Dewa
Mahkota dewa termasuk pohon perdu anggota famili Thymelaeceae dikenal Crown
of God dan Pau. Tanaman yang asli dari Papua, Indonesia dan tumbuh di daerah
tropis. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman obat yang paling populer di
Indonesia. Tanaman ini tumbuh sepanjang tahun di daerah tropis dengan mencapai
ketinggian ± 1-6 m. Tajuk pohonnya bercabang-cabang. Pohon ini terdiri dari akar,
batang, daun, bunga dan buah. Buah mahkota dewa berbentuk bulat dengan
diameter ± 3 cm, warna buahnya hijau bila belum matang dan berwarna merah bila
sudah matang (Backer dan Brink, 1965).
13
Sistematika tanaman mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl):
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Thymelaeales
Suku : Thymelaeaceae
Marga : Phaleria
Jenis : Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl (Winarto, 2003).
Kulit batang mahkota dewa berwarna coklat kehijauan, sementara kayunya
berwarna putih. Batangnya bulat dan bergetah dengan diameter batang tanaman
dewasa mencapai 15 cm (Harmanto, 2003).
Tanaman ini akan mengeluarkan bunga dan diikuti dengan munculnya buah setelah
9-12 bulan kemudian. Buahnya berwarna hijau saat muda dan menjadi merah marun
setelah berumur 2 bulan. Buahnya berbentuk bulat dengan ukuran bervariasi mulai
dari sebesar bola pingpong sampai sebesar buah apel, dengan ketebalan kulit antara
0,1 – 0,5 mm (Harmanto, 2003).
Daun mahkota dewa berbentuknya sekilas lonjong langsing, memanjang dan
berujung lancip dengan letak daun berhadapan, bertangkai pendek, bentuknya lanset
atau jorong, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan
licin, warnya hijau tua, panjang 7-10 cm dan lebar 2-5 cm serta merupakan daun
14
tunggal. Daun yang lebih tua bewarna lebih gelap daripada daun mudanya.
Pertumbuhannya lebat dan lebarnya sekitar 3-5 cm serta panjangnya bisa mencapai
7-10 cm. Daun mahkota dewa termasuk bagian pohon yang sering dipakai untuk
pengobatan penyakit antara lain disentri, alergi dan tumor (Harmanto, 2003).
2. Kandungan Kimia Mahkota Dewa
Dalam kulit buah mahkota dewa terkandung senyawa alkaloid, saponin, dan
flavonoid, sedangkan dalam daunnya terkandung alkaloid, saponin serta polifenol
(Gaotama dkk., 1999). Menurut Sumastuti (2002) daun serta buah mahkota dewa
mengandung saponin dan flavonoid. Zat aktif yang terkandung di dalam daun dan
kulit buah mahkota dewa antara lain alkaloid, terpenoid, saponin dan senyawa resin.
Pada daun pun diketahui terkandung senyawa lignan (polifenol), sedangkan pada
kulit buah terkandung zat flavonoid (Winarto, 2003). Dari penelitian ilmiah yang
sangat terbatas diketahui bahwa tanaman mahkota dewa memiliki kandungan kimia
yang kaya itu pun belum semuanya terungkap.
15
3. Manfaat Mahkota Dewa
Zat aktif yang terkandung di dalam daun dan kulit buah mahkota dewa antara lain
alkaloid, terpenoid, saponin dan senyawa resin. Pada daun pun diketahui terkandung
senyawa lignan (polifenol), sedangkan pada kulit buah terkandung zat flavonoid
yang mempunyai bermacam-macam efek, diantaranya sebagai antioksidan,
antiinflamasi dan antimikroba (Hendra dkk., 2011; Winarto, 2003). Begitu juga
pada bagian buahnya memiliki zat flavonoid yang berfungsi sebagai hepatoproteksi
dari bahan-bahan yang dapat merusak hati (Sulistianto dkk., 2004).
Senyawa flavonoid terutama lebih banyak dikandung pada buah yang belum matang
dan mempunyai aktivitas sitotoksik yang biasanya dimanfaatkan untuk obat anti
tumor. Namun efek sitotoksik tersebut baru dibuktikan dalam sel kultur, belum
memiliki efek selektif terhadap sel kanker atau sel normal (Rohyami, 2008). Hartati
dkk. (2005) juga membuktikan bahwa dalam mahkota dewa terdapat senyawa
Phalerin yang mempunyai efek sitotoksik.
Buah mahkota dewa ini biasanya digunakan untuk mengobati berbagai penyakit dari
mulai flu, rematik, paru-paru, sirosis hati sampai kanker. Batang mahkota dewa
yang bergetah dapat digunakan untuk mengobati penyakit kanker tulang, bahkan
bijinya yang dianggap sangat beracun, masih digunakan sebagai obat luar untuk
mengobati penyakit kulit. Mungkin hanya akar dan bunganya saja yang jarang
dipergunakan sebagai obat (Harmanto, 2003).
16
Gambar 3. Buah mahkota dewa (Harmanto, 2003)
B. Ceplukan
1. Deskripsi Ceplukan
Tanaman ceplukan (Physalis angulata L.) adalah salah satu tanaman herbal yang
hidup semusim dan mempunyai ketinggian pohon hanya 1 m saja. Tanaman
ciplukan ini biasanya hidup di pinggiran. Batang pokok tidak jelas, percabangan
menggarpu, bersegi tajam, berusuk dan berongga. Daun tunggal, bulat telur, ujung
runcing, tepi rata, permukaan berbulu, pertulangan menyirip, panjang 5-25 cm, lebar
2,5-18 cm, tangkai 1-9 cm, berwarna hijau. Bunga tunggal, terletak di ujung dan
dapat tumbuh sampai 3 cm. Buah berbentuk bulat dan berwarna hijau kekuningan
bila masih muda, tetapi bila sudah tua berwarna kecoklatan dengan rasa asam-asam
manis (Sudarsono dkk., 2002).
17
Sistematika tanaman ceplukan (Physalis angulata L.):
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Solanales
Suku : Solanaceae
Marga : Physalis
Jenis : Physalis angulata L.
Sinonim : Physalis minima (Backer & Bakhhuizen, 1965).
Gambar 4. Tanaman ceplukan (Djajanegara, 2012)
2. Kandungan Kimia Ceplukan
Kandungan kimia dalam herba ceplukan antara lain Fisalin B, Fisalin D, Fisalin F,
Withangulantin A. Pada biji antara lain mengandung 12-25% protein, 15-40% asam
palmitat dan asam stearate (Sudarsono dkk., 2002). Akar dari ceplukan mengandung
18
alkaloid, sedangkan pada daun mengandung glikosida flavonoid (luteolin), mirisetin
3-O-neohesperidosa (Ismail dan Alam, 2001). Tunasnya mengandung flavonoid dan
saponin (Sudarsono dkk., 2002).
3. Manfaat Ceplukan
Ekstrak atau infus dari tanaman ini telah digunakan di berbagai negara
dalam pengobatan populer sebagai pengobatan untuk berbagai penyakit,
seperti malaria, asma, hepatitis, dermatitis dan rematik (Santos dkk., 2003; Soares
dkk., 2003). Sari buah ceplukan berfungsi sebagai obat sedative dan depurative
untuk mengobati rematik dan sakit telinga. Daunnya dapat digunakan untuk
mengobati inflamasi pada kandung kemih, spleen dan liver (Lorenzi, 1982).
Saponin dan alkaloid yang terkandung dalam ceplukan memberikan rasa pahit dan
berkasiat sebagai antitumor dan menghambat pertumbuhan kanker, terutama kanker
usus besar (Lin dkk., 1992). Ekstrak etanol ceplukan memiliki spektrum luas dari
aktifitas biologi, termasuk diantaranya antibakteri, antimoluska, antiprotozoa,
antikanker, sitotoksik dan aktifitas immunimodulator (Fauzi dkk., 2011; Ismail dan
Alam, 2001; Januario dkk., 2002; Manggau dkk., 2007; Santos dkk., 2003; Soares
dkk., 2003).
19
B. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau,
kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi
(Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C-
dan Oglikosida, flavanon C- dan O-glikosida, khalkon dengan C- dan O-glikosida, dan
dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron O-glikosida, dan dihidroflavonol
O-glikosida. Golongan flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, dan khalkon juga sering
ditemukan dalam bentuk aglikonnya (Rohyami, 2008).
Menurut Markham (1988), flavonoid tersusun dari dua cincin aromatis yang dapat atau
tidak dapat membentuk cincin ketiga dengan susunan C6-C3-C6. Flavonoid merupakan
senyawa polar yang umumnya larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol,
butanol, aseton, dimetil-sulfoksida, dimetilformamida, serta air dikarenakan
mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih, atau suatu gula. Sebaliknya
untuk flavonoid yang kurang polar seperti isoflavon, flavonon, dan flavon serta
flavonol yang termetoksilasi, cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter
dan kloroform.
Flavonoid dapat digunakan sebagai antioksidan dan mengobati gangguan fungsi hati.
Fungsi polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ion-ion
logam (Sudarsono dkk., 2002). Flavonoid adalah komponen fenolik yang terdapat
dalam tumbuhan yang bertindak sebagai penampung yang baik terhadap radikal
20
hidroksil dan superoksid, dengan melindungi lipid membran terhadap reaksi oksidasi
yang merusak (Robinson, 2005).
Gambar 5. Struktur flavonoid berfungsi sebagai antioksidan (Markham, 1988)
Mekanisme metabolisme flavonoid memiliki proses tersendiri dalam tubuh kita.
Saluran gastrointestinal berperan penting dalam metabolisme dan konjugasi polifenol
ini sebelum akhirnya memasuki hati. Ketika masuk ke lambung, struktur dari oligomer
flavonoid akan terpecah menjadi unit monomerik yang lebih kecil. Kemudian
sesampainya pada usus halus, unit monomerik ini akan diabsorbsi dalam bentuk O-
methlated glucuronoides, O-metylated dan aglycone yang selanjutnya akan memasuki
vena porta. Dalam vena porta selanjutnya flavonoid akan dimetabolisme lagi dan
diubah menjadi bentuk O-methylated, sulphates, dan glucuronides. O-methylated akan
masuk ke dalam sel dan berfungsi melawan kematian apoptosis sel yang diinduksi oleh
hidrogen peroksida. Kemampuan O-methylated dalam memproteksi sel berhubungan
dengan kemampuannya mendonorkan atom hidrogen. Fakta inilah yang
21
menghubungkan fungsi flavonoid dalam memproteksi kematian sel akibat induksi
oksidan melalui mekanisme independen antioksidan (Spencer, 2003). Berikut
gambaran metabolisme flavonoid dalam tubuh.
Gambar 6. Ringkasan bagan metabolisme dan konjugasi flavonoid dalam tubuh
(Spencer, 2003)
C. Hati
1. Anatomi Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih
1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di
bawah kerangka iga (Sloane, 2004).
22
Hati pada manusia terletak pada kuadran atas cavum abdominis. Hati terbagi
menjadi 2 lobus yaitu lobus hepatis dextra dan lobus hepatis sinistra. Hati menerima
darah dari dua sumber yakni 30% berasal dari arteri hepatika propria dan 70% dari
vena porta (Moore dan Agur, 2002).
2. Fisiologi Hati
Menurut Guyton dan Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam
jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil
perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi
asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk
sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari
protein dan karbohidrat.
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
23
pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan
membentuk senyawa lain dari asam amino.
d. Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin,
hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-
zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati
mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.
Gambar 7. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior
(Putz dan Pabst, 2007)
24
3. Histologi Hati
Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag
yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit
berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel
serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke
pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan
busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut
sinusoid hati (Junquiera dkk., 2007).
Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya tidak
teratur, dilapisi sel endotel bertingkap yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3
macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel Kupffer yang
fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik yang
berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta
kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri
hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya
oksigen dari jantung (Eroschenko, 2010; Junqueira dkk., 2007).
Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah yang
berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis. Traktus portal
terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar
adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian
25
terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari
arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu.
Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira dkk., 2007).
Gambar 8. Lobulus hepatik (Gartner, 2003)
Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus hepatik. Asinus
hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal. Asinus ini terletak di
antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah mengalir dari traktus
portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona,
dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal sehingga paling banyak
menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan hanya
menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan
3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik (Junqueira dkk., 2007).
26
Gambar 9. Gambaran mikroskopik dengan perbesaran 30x hati manusia
(Eroschenko, 2010)
4. Histopatologi Hati
Jejas sel dalam hati dapat bersifat reversibel atau ireversibel (Chandrasoma dan
Taylor, 2005).
a. Jejas reversibel
1) Pembengkakan Sel
Pembengkakan merupakan manifestasi pertama yang ada hampir pada semua
bentuk jejas sel, sebagai akibat pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel,
akibat gangguan pengaturan ion dan volume karena kehilangan ATP.
27
Gambar 10. Pembengkakan sel disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang mengalami
vakuolisasi, 2. Inti sel menggeser ke tepi (Robbins dkk., 2007)
Bila air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih tampak
dalam sitoplasma yang diduga merupakan retikulum endoplasma yang
melebar dan menonjol keluar atau segmen pecahannya. Gambaran jejas
nonletal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidropik atau degenerasi
vakuol. Selanjutnya hepatosit yang membengkak juga akan tampak edematosa
(degenerasi balon) dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan rongga-rongga
jernih yang lebar (Robbins dkk., 2007).
1
2
28
2) Perlemakan Hati
Perlemakan hati merupakan akumulasi trigliserida dalam sel-sel parenkim
hati. Akumulasi timbul pada keadaan berikut:
a) Peningkatan mobilisasi lemak jaringan yang menyebabkan peningkatan
jumlah asam lemak yang sampai ke hati;
b) Peningkatan kecepatan konversi dari asam lemak menjadi trigliserida di
dalam hati karena aktivitas enzim yang terlibat meningkat;
c) Penurunan oksidasi trigliserida menjadi asetil-koA dan penurunan bahan
keton;
d) Penurunan sintesis protein akseptor lipid.
b. Jejas Ireversibel
1) Nekrosis
Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel (jejas
reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa gambaran
piknosis, karioreksis, dan kariolisis.
Berdasarkan lokasinya nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal,
nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah nekrosis yang
terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh
daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan
asidofilik (councilman) yang merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik
29
atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat
dikenali juga pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel
kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang
terjadi pada regio-regio yang identik disemua lobulus hati, sedangkan nekrosis
submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus,
sering menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis).
2) Fibrosis
Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan respon
dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada tahap awal, fibrosis mungkin
terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau
mungkin mengendap langsung didalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi
penyembuhan terhadap cedera.
Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan faktor
solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe lainnya pada hati. Faktor-faktor
ini akan mengaktivasi sel stelat yang akan mensintesis sejumlah besar
komponen matriks ekstraseluler (Robbins dkk., 2007).
30
D. Rifampisin
1. Deskripsi Rifampisin
Rifampisin merupakan molekul obat besar (BM 823), turunan kompleks rifamisin
semisintetik, suatu antibiotika yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. In
vitro, obat ini aktif terhadap beberapa bakteri enterik, mikobakteria, klamidia dan
poksvirus (Katzung, 2008). Obat ini mempunyai pKa 7,9. Dalam perdagangan
sediaan oral rifampin tersedia sebagai obat tunggal, dalam bentuk kombinasi tetap
dengan isoniazid, serta dalam kombinasi tetap dengan isoniazid dan pirazinamid.
2. Mekanisme Aksi Rifampisin
Rifampisin menghambat transkripsi dengan cara berinteraksi dengan subunit beta
RNA polimerase bakterial tergantung DNA, sehingga menghambat sintesis RNA
dengan menekan langkah permulaan (Mycek, Mary J dkk., 2001). Rifampisin
berikatan kuat dengan RNA polimerase yang bergantung pada DNA serta
menghambat sintesis RNA bakteri dan klamidia. Polimerase manusia tidak
dipengaruhi (Katzung, 2008).
31
3. Indikasi Rifampisin
Tuberkulosis, dalam kombinasi dengan obat lain. Infeksi M. Leprae. Profilaksis
meningitis meningococcal dan infeksi haemophilus influenzae. Brucellosis,
penyakit legionnaires, endocarditis dan infeksi staphylococcus yang berat dalam
kombinasi dengan obat lain.
4. Farmakokinetik Rifampisin
Absorbsi cukup setelah pemberian oral. Distribusi rifampisin terjadi ke seluruh
cairan dan organ tubuh. Kadar yang cukup dicapai dalam serebrospinalis bahkan
walaupun tidak ada. Radang obat tersebut diambil oleh hati dan mengalami siklus
enterohepatik. Rifampisin sendiri dapat menginduksi oksidase fungsi campuran hati,
menyebabkan suatu pemendekan waktu-paruh. Eliminasi melalui empedu ke dalam
tinja dan melalui urin sebagai metabolit dan obat induk. Urin dan feses serta sekresi
lainnya mempunyai warna merah-oranye (Mycek dkk., 2001).
5. Efek Samping Rifampisin
Rifampisin menimbulkan warna oranye yang tidak berbahaya pada urin, keringat,
air mata dan lensa mata. Efek samping yang sering terjadi termasuk kulit
32
kemerahan, trombositopenia, nefritis dan gangguan fungsi hati. Rifampisin biasanya
menyebabkan proteinuria rantai ringan dan mungkin mengganggu respon antibodi.
Bila obat ini diberikan kurang dari 2x seminggu, rifampisin dapat menyebabkan
“sindrom flu” dan anemia. Rifampisin menginduksi enzim mikrosomal (misalnya,
sitokrom P450). Jadi obat ini dapat meningkatkan eliminasi antikoagulan dan
kontrasepsi. Tambahan lagi, pemberian rifampisin dengan ketokonazol, siklosporin
atau kloramfenikol menimbulkan menurunnya kadar serum dari obat tersebut secara
bermakna. Rifampisin meningkatkan ekskresi metadon dalam urin, menurunkan
konsentrasi metadon dalam plasma, dan dapat menimbulkan gejala putus obat dari
metadon (Katzung, 2008).
6. Peringatan Penggunaan Rifampisin
Kerusakan hati (periksa tes fungsi hati dan pemeriksaan darah pada gangguan hati,
ketergantungan alkohol, dan pada terapi dalam jangka waktu yang lama).
Rifampisin dipercaya dapat menyebabkan kerusakan ginjal (jika digunakan dosis di
atas 600 mg sehari) serta gangguan pada kehamilan dan menyusui. Porfiria juga
dapat terjadi apabila pasien mengalami reaksi hipersensitif dengan rifampisin.
33
E. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley
1. Klasifikasi Tikus Putih
Klasifikasi tikus putih adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentai
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus (Natawidjaya, 1983).
2. Jenis Tikus Putih
Tikus putih atau tikus albino galur outbred lebih sering digunakan untuk penelitian
di laboratorium dibandingkan galur inbred. Beberapa contoh jenis tikus putih galur
outbred adalah Wistar, Sprague Dawley, yang lebih cepat tumbuh dibandingkan
Long Evans.
34
3. Biologi Tikus Putih
Di Indonesia, hewan percobaan ini sering disebut tikus besar. Dibandingkan dengan
tikus liar, tikus putih lebih cepat menjadi dewasa dan lebih mudah berkembang
biak. Berat badan tikus putih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar.
Biasanya pada umur empat minggu berat tikus putih mencapai 35-40 gram dan berat
dewasa rata-rata 200-250 gram. Tabel 2 menyajikan data biologi tikus putih.
Tabel 1. Data biologi tikus putih (Rattus norvegicus) (Isroi, 2010;
Animal Care Program, 2011)
DATA BIOLOGI KETERANGAN
Lama hidup 2,5 – 3,5 tahun
Berat badan
Newborn 5 - 6 gr
Pubertas 150 - 200 gr
Dewasa jantan 300 - 800 gr
Dewasa betina 200 - 400 gr
Reproduksi
Kematangan seksual 65 - 110 hari
Siklus estrus 4 - 5 hari
Gestasi 20 - 22 hari
Penyapihan 21 hari
Fisiologi
Suhu tubuh 35,90 – 37,5
0 C
Denyut jantung 250 - 600 kali/menit
Laju nafas 66 - 144 kali/menit
Tekanan darah diastole 60 - 90 mmHg
Tekanan darah sistol 75 - 120 mmHg
Feses Padat, berwarna coklat tua, bentuk
memanjang dengan ujung membulat
Urine Jernih dan berwarna kuning
Konsumsi makan dan air Konsumsi makan 15 – 30 gr/hari atau 5 – 6 gr/100
grBB
Konsumsi air 24 – 60 ml/hari atau 10 -12 ml/100
grBB
35
Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan percobaan karena
tikus merupakan hewan mamalia sehingga organ, metabolisme biokimia, kebutuhan
nutrisi, sistem reproduksi, peredaran darah, pernafasan serta ekskresinya mirip
manusia. Tikus juga dapat menderita suatu penyakit, dan sering dipakai dalam studi
nutrisi, tingkah laku, kerja obat, dan toksikologi (Animal Care Program, 2011).
Tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,
seperti: cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih
tenang, dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Keuntungan utama tikus putih
(Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley adalah ketenangan dan kemudahan
penanganannya (Isroi, 2010).
F. Radikal Bebas, Stres Oksidatif, dan Antioksidan
1. Radikal Bebas
a. Definisi Radikal Bebas
Radikal merupakan suatu molekul yang memiliki satu elektron tidak berpasangan
di orbital terluar atau senyawa yang sangat tidak stabil karena struktur atom atau
molekulnya tersebut. Akibatnya, radikal bebas menjadi sangat reaktif
dikarenakan berusaha mencoba untuk berpasangan dengan atom atau molekul
lain, atau bahkan elektron tunggal, untuk menciptakan senyawa yang stabil (Wu
36
dan Cederbaum, 2003; Smith dkk., 2005). Radikal bebas mudah bereaksi dengan
zat kimia anorganik atau organik; saat dibentuk dalam sel, radikal bebas
menyerang dan mendegradasi asam nukleat serta molekul membran dan
menginisiasi reaksi autokatalitik (Robbins dkk., 2007).
b. Definisi ROS (Reactive Oxygen Species)
Salah satu yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas adalah oksigen (O2).
Oksigen sangat penting bagi kehidupan manusia namun juga dapat bersifat
toksik. Atom O2 adalah biradikal, yang berarti atom O2 mempunyai 2 elektron
tunggal dalam orbital yang berbeda. Kedua elektron ini tidak dapat melintasi
orbital yang sama karena memiliki putaran paralel, yakni berputar dengan arah
yang sama (Wu dan Cederbaum, 2003; Smith dkk., 2005).
Oksigen mampu menerima 4 elektron, yang akan direduksi menjadi 2 molekul
air. Ketika O2 menerima 1 elektron, superoksida terbentuk. Superoksida masih
menjadi radikal karena masih mempunyai 1 elektron yang tidak berpasangan.
Ketika superoksida menerima 1 elektron, superoksida tereduksi menjadi hidrogen
peroksida. Hidrogen peroksida kemudian tereduksi menjadi radikal hidroksil.
Produk akhir dari proses ini adalah H2O. Berikut ini adalah gambar proses
terbentuknya H2O dari O2 (Wu dan Cederbaum, 2003; Smith dkk., 2005).
37
O2 (oksigen)
e-
O2- (superoksida)
e-, 2H
+
H2O2 (hidrogen peroksida)
e-, H
+
Radikal hidroksil (H2O + OH)
e-, H
+
H2O
Gambar 11. Reduksi oksigen (Smith dkk., 2005)
Superoksida, peroksida, dan radikal hidroksil dikategorikan sebagai ROS
(Reactive Oxygen Species). Radikal hidroksil mungkin adalah ROS yang paling
poten (Wu dan Cederbaum, 2003; Smith dkk., 2005).
c. Sumber Utama ROS dalam Sel
Sumber utama produksi ROS dalam sel adalah mitokondria karena sekitar 80%-
90% O2 yang masuk digunakan oleh mitokondria untuk membentuk ROS (Wu
dan Cederbaum, 2003; Smith dkk., 2005). Sumber utama ROS yang lain adalah
hepar karena mengandung banyak enzim sitokrom P450. Salah satu jenis
molekul sitokrom P450 yang aktif memproduksi ROS adalah CYP2E1 (Wu dan
Cederbaum, 2003).
38
d. Pengaruh ROS terhadap Sel
Tiga reaksi yang berkaitan dengan jejas sel diperantarai ROS adalah (Robbins
dkk., 2007):
1) Peroksidasi membran lipid
Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membran mudah terkena serangan ROS.
Interaksi ROS-lemak menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif
serta terjadi reaksi rantai autokatalitik.
2) Fragmentasi DNA
Reaksi ROS dengan timin pada DNA mitokondria dan nuklear menimbulkan
kerusakan untai tunggal. Kerusakan DNA tersebut menyebabkan kematian sel
dan perubahan sel menjadi ganas.
3) Ikatan silang protein
ROS mencetuskan ikatan silang protein diperantarai sulfhidril, menyebabkan
peningkatan kecepatan degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi
ROS juga dapat secara langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida.
ROS adalah karsinogen yang potensial karena perannya dalam mutagenesis
serta mendorong terbentuknya dan progresi tumor. ROS yang berlebihan
dapat merusak lipid, protein, atau DNA, dan menginhibisi fungsi normal sel
(Smith dkk., 2005). ROS juga dapat memodulasi ekspresi gen, adhesi sel,
metabolisme sel, siklus sel, dan kematian sel. Kejadian-kejadian tersebut
dapat menginduksi kerusakan oksidatif DNA yang nanti dapat meningkatkan
39
kerusakan kromosom yang berhubungan dengan transformasi sel. ROS juga
mengaktivasi jalur sinyal seluler, seperti jalur yang dimediasi oleh mitogen-
activated protein kinase (MAPK), nuclear factor-kappaB (NF-ĸB), p53, β-
catenin, dan yang berhubungan dengan angiogenesis.
2. Stres Oksidatif
Karena ROS terbentuk secara alami selama proses metabolisme, sel telah
membangun beberapa mekanisme protektif untuk mencegah pembentukan ROS
atau untuk mendetoksifikasi ROS. Mekanisme ini melibatkan molekul yang disebut
antioksidan. Keadaan dimana terjadi gangguan keseimbangan antara produksi ROS
dan pembuangan ROS disebut stres oksidatif (Wu dan Cederbaum, 2003).
3. Antioksidan
Antioksidan merupakan suatu senyawa yang mampu menangkal efek negative
oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada
senyawa yang bersifat oksidan (Winarsih, 2007). Antioksidan dibagi menjadi dua,
yaitu antioksidan enzimatis dan antioksidan non-enzimatis.
40
a. Antioksidan Enzimatis
Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk di
dalamnya adalah enzim Superoksida Dismutase (SOD), katalase, Glutation
Peroksidase (GSH-PX), serta Glutation Reduktase (GSH-R) (Tuminah, 2008).
Sebagai antioksidan, enzim-enzim ini bekerja menghambat pembentukan
radikal bebas dengan cara memutuskan reaksi berantai (polimerisasi), kemudian
mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil, sehingga antioksidan
kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant (Winarsih, 2007).
Enzim katalase dan glutation peroksidase bekerja dengan cara mengubah H2O2
menjadi H2O dan O2 sedangkan SOD bekerja dengan cara mengkatalisis reaksi
dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2 (Winarsih, 2007).
b. Antioksidan Non-enzimatis
Antioksidan non-enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan ini
bekerja secara preventif, dimana terbentukanya senyawa oksigen reaktif
dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya
(Winarsih, 2007). Antioksidan non-enzimatis bisa didapat dari komponen
nutrisi sayuran, buah dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat antioksidan
dalam sayuran, buah dan rempah-rempah meliputi vitamin C, vitamin E, β-
karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin dan katekin. Senyawa-senyawa
fitokimia ini membantu melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang
disebabkan oleh radikal bebas. Sedangkan mekanisme kerja antioksidan
memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan
41
yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai
fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini
dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipid (R*, ROO*) atau
mengubahnya kedalam bentuk lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid.
Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipid sebagai berikut:
Inisiasi : R* + AH RH + A*
Radikal lipid
Propagasi : ROO* + AH ROOH + A* (Gordon, 1993).
Fungsi kedua yaitu memperlambat laju autooksidasi yaitu dengan mengubah
radikal lipid ke bentuk lebih stabil. Penambahan antioksidan primer dengan
konsentrasi rendah pada lipid dapat menghambat atau mencegah reaksi
autooksidasi lipid dan minyak. Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk
relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan
molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru (Gordon, 1993).