bab ii tinjauan pustaka a. pencarian...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pencarian Bantuan
1. Pencarian Pelayanan Kesehatan
Tingkah laku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan
bukanlah tingakah laku yang acak, tetapi tingkah laku yang selektif,
terencana dan berpola dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan
bagian integral dari budaya yang bersangkutan (Foster & Anderson,1998).
Freidson menyatakan bahwa seluruh proses dalam mencari
penentuan mencakup perangkap konsultan potensial, mulai dari batas-
batas keluarga yang informal dan dekat melalui orang awam yang
terseleksi, lebih jauh dan mempunyai otoritas, sampai pada tingkat
profesionalisme. Hal ini disebut dengan struktur rujukan awam
(Smet,1995).
Kleinman menggambarkan tiga sektor yang saling melengkapi
perawatan kesehatan diungkapkan oleh Helman (1990) dalam Smet
(1994) :
a. Sektor awam atau sektor populer adalah domain masyarakat yang tidak
profesional. Pada sektor inilah pertama kali kesakitan dikenali dan
ditentukan. Hal ini melibatkan keluarga, teman, dan tetangga.
b. Sektor tradisional menempati posisi tengah antara sektor awam dan
sektor profesional. sektor tradisional ini terdiri dari orang-orang yang
mempunyai spesialisasi dibidang penyembuhan, baik suci atau sekuler
maupun campuran dari keduanya.
c. Sektor para profesional kesehatan, terdiri dari organisasi-organisasi
profesi di bidang penyembuhan, yang resmi dan ada sangsinya seperti
perawat, dokter, bidan dan psikolog.
Hubungan antara ketiga sumber ini sangat kompleks. Jenis bantuan
yang diperlukan oleh seseorang sangat tergantung oleh adanya pelayanan
kesehatan, faktor finansial, keyakinan, parahnya gejala (Smet,1994).
2. Tahapan Pemanfaatan Medis
Dengan menggunakan model Foster dan Anderson, Salan (1988)
dalam Smet (1994) menyebutkan lima tahap dalam menuju pemanfaatan
medis :
a. Keputusan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
b. Keputusan bahwa seseorang sakit dan membutuhkan perawatan
profesional.
c. Keputusan untuk mencari perawatan medis profesional.
d. Keputusan untuk mengalihkan pengawasan kepada tenaga kesehatan
profesional dan menerima serta mengikuti apa yang dianjurkan.
e. Keputusan untuk mengakhiri peran pasien.
3. Tahapan Penyakit Dan Perawatan Medis
Suchman, Doherty dan Camphell (1965) menggambarkan enam
tahap penyakit dan perawatan medis melalui siklus sakit (Friedman, 1998):
a. Tahap pencegahan penyakit dan pengurangan resiko.
Pada tahapan ini keluarga dapat memainkan peranan vital dalam upaya
peningkatan kesehatan dan pengurangan resiko. Ada banyak bentuk
peningkatan kesehatan, pencegahan dan pengurangan resiko yang
kesemuanya melibatkan keputusan dan partisipasi dari keluarga. Agar
strategi sehat dapat berhasil bisa dilakukan dengan perbaikan dalam
pola hidup seluruh anggota keluarga, antara lain dengan mempelajari
status sehat dan sakit pada masing-masing anggota keluarga.
b. Tahap gejala penyakit yang dialami.
Tahap ini dimulai bila gejala-gejalanya diketahui, diinterpretasikan
sejauh mana menyangkut keseriusannya atau kemungkinan penyebab
dan pentingnya atau artinya, dan gejalanya ditemukan dengan berbagai
masalah.
c. Tahap mencari perawatan.
Tahap ini dimulai keluarga ketika menyatakan bahwa anggota keluarga
yang sakit benar-benar sakit dan membutuhkan pertolongan. Orang
yang sakit dan keluarga mulai mencari informasi, penyembuhan,
nasehat dan validitas profesional dari keluarga luas, teman-teman,
tetangga dan non profesional (sistem rujukan awam), mencari siapa
yang akan menangani.
d. Kontak keluarga dengan sistem kesehatan.
Tahap ini dimulai ketika kontak mulai dilakukan dengan lembaga
kesehatan atau profesional di bidang kesehatan atau dengan praktisi
lokal (dukun).
e. Respon akut tahap keluarga dan pasien.
Karena pasien menerima perawatan kesehatan dari para praktisi
kesehatan, sudah tentu ia menyerahkan beberapa hak prerogratifnya
dan keputusannya serta diharapkan dapat menerima peran pasien.
f. Tahap adaptasi terhadap penyakit dan pemulihan.
Adanya suatu penyakit serius dan kronis pada diri seseorang atau
anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada
sistem keluarga. Sebaliknya, efek menghancurkan secara negatif bisa
mempengaruhi hasil dari upaya pemulihan ( rehabilitasi).
4. Kecepatan Dan Penundaan Bantuan
Kecepatan pencarian bantuan akan semakin cepat jika jarak waktu
yang diperlukan untuk memutuskan bahwa dirinya dalam kondisi tidak
sehat itu cepat, maka proses pencarian bantuanpun semakin cepat dan
segera. Hal ini perlu ditunjang juga dengan pengetahuan tentang konsep
sehat-sakit. Pengetahuan kapan dikatakan sakit dan kapan dikatakan sehat
(Smet, 1994).
Penundaan pengobatan adalah jarak waktu pada waktu orang mengetahui adanya gejala sampai dia mencari bantuan (profesional).
Berdasarkan interview, Safer dkk., membedakan tiga tahap atau
waktu terjadinya penundaan (Sarafino, 1990; Taylor, 1991) dalam Smet
(1994) :
a. Appraisal delay : waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
memutuskan bahwa gejala tersebut serius.
b. Illness delay : jarak waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui bahwa
gejala tersebut merupakan gejala penyakit dan keputusan untuk
mencari pengobatan atau perawatan.
c. Utilization delay : waktu antara keputusan untuk mencari pengobatan
dan pelaksanaannya.
Ada beberapa alasan untuk berbagai tahap penundaan pada
umumnya tidak adanya rasa sakit merupakan faktor utama dalam
penundaan. Faktor yang lain adalah biaya pengobatan mereka atau
menganggap bahwa gejala tersebut tidak serius sebagai alasan mahalnya
biaya pengobatan (Smet,1994).
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencarian Bantuan Kesehatan.
Menurut Smet (1994), Foster & Anderson (1998), Notoatmodjo
(2003) faktor-fakor yang mempengaruhi pencarian bantuan kesehatan,
yaitu :
a. Keparahan dari gejala
Gejala yang muncul pada tiap individu akan direspon berbeda-beda
sesuai dengan kemampuan tubuhnya. Bila gejala yang muncul atau
rasa tidak sehat yang ada pada tubuh tidak terlalu dirasakan oleh orang
mencari pengobatan bahkan sampai penyakitnya bertambah parah.
Sebaliknya orang yang lebih peka terhadap munculnya gejala akan
lebih cepat dalam mencari bantuan petolongan dan maendapatkan
pengobatan dengan cepat pula.
b. Status ekonomi
Status ekonomi disini berkaitan dengan pendapatan keluarga, dengan
pendapat yang cukup baik maka dalam pemenuhan kebutuhan hidup
dan kesehatan akan lebih terjamin. Dan dana untuk biaya kesehatan
telah mereka persiapkan. Sedangkan masyarakat yang mempunyai
pendapatan rendah mereka sangat takut pada biaya berobat karena
alasan tidak mempunyai uang yang cukup dan mahalnya obat yang
harus dibeli.
c. Sikap, kepercayaan dan nilai
Sikap masyarakat terhadap respon sakit yang dirasakan ditanggapi atau
dibiarkan saja, akan mempengaruhi dalam pola pencarian bantuan
kesehatan. Kepercayaan ini adalah keyakinan tentang kebenaran
terhadap sesuatu yang di dasarkan pada budaya yang ada di
masyarakat tersebut. Sehingga bila dalam masyarakat mempunyai
kepercayaan yang salah tentang penyakit maka dapat menghambat
dalam proses pencarian bantuan kesehatan, atau membawa berobat
kepada orang yang tidak profesional. Sedangkan nilai di masyarakat
adalah sebuah konsep yang diwujudkan dalam sistem moral atau
agama yang dianut dan di dasarkan juga pada budaya yang ada di
masyarakat tersebut. Jika sikap, kepercayaan dan nilai yang ada di
masyarakat sangat bagus dan benar dalam penempatannya maka akan
memudahkan mereka berada pada sistem pelayanan kesehatan.
d. Kesadaran masyarakat
Masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi akan lebih mau
menerima masukan dan informasi-informasi tentang hal baru terutama
dalam masalah kesehatan, sehingga mereka mampu berperilaku baru
atau cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Begitu juga
dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan mereka akan membawa
berobat diri/anggota keluarga yang sakit tanpa menunda-nunda.
Sedangkan masyarakat yang mempunyai kesadaran rendah akan
melakukan hal sebaliknya, yaitu mereka lebih memilih berdiam diri di
rumah dan membiarkan gejala yang di rasakannya sampai hilang.
e. Sikap petugas kesehatan
Sikap petugas kesehatan disini adalah bagaimana para petugas
kesehatan (Perawat, Bidan, Dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
berlaku tidak ramah atau tidak simpatik kepada pasien, bahkan judes
dan tidak responsif saat menerima pasien serta dalam memberikan
tindakan medis dan keperawatan. Inilah yang membuat masyarakat
menjadi enggan untuk berobat ke sarana kesehatan, karena mereka
tahu informasi tersebut dari anggota keluarga, teman, ataupun
tetangganya.
f. Jarak ke sarana pelayanan kesehatan
Jauhnya jarak sarana kesehatan menjadi pengaruh masyarakat dalam
mencari bantuan kesehatan. Semakin jauh jarak pusat kesehatan dari
rumah maka mereka tidak pergi ke tempat pelayanan kesehatan
tersebut, masyarakat lebih memilih mengobati sendiri ataupun pergi ke
dukun dan orang pintar lainnya.
6. Perilaku
a. Pengertian
Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,
baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Pengertian lain menyebutkan perilaku manusia berasal dari
dorongan yang ada dalam diri manusia , sedang dorongan merupakan
usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia
(Purwanto,2002).
b. Jenis Respon
Skinner mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil
hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Untuk respon
dibedakan menjadi dua :
1) Respondent response atau reflexive, adalah respon yang
ditimbulkan oleh rangsangan tertentu. Respon yang ditimbulkan
relatif tetap.
2) Operan response atau instrumental reflexive, adalah respon yang
timbul dan berkembang oleh perangsang tertentu. Perangsang ini
bersifat memperkuat respon yang telah dilakukan
(Notoatmodjo,2003).
c. Respon Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon
organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek.
Respon ini berbentuk dua macam yaitu :
1) Bentuk pasif adalah respon internal yang terjadi didalam diri
manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain.
Dalam hal ini perilaku masih terselubung atau covert behavior .
2) Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi
secara langsung. Perilaku ini sudah tampak dalam bentuk tindakan
nyata atau overt behavior (Notoatmodjo, 2003).
d. Terbentuknya Perilaku
Selanjutnya Lawrence Green mencoba menganalisa perilaku
manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang
atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor
perilaku dan faktor diluar perilaku. Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor:
1) Faktor predisposisi, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai dan juga dipengaruhi oleh faktor
demografi yang mencakup juga tingkat pendidikan dan tingkat
ekonomi.
2) Faktor pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik,
ketersediaan fasilitas kesehatan, ketercapaian fasilitas kesehatan,
jarak yang mudah ditempuh, keterampilan yang berkaitan dengan
kesehatan.
3) Faktor pendorong, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi
dari perilaku masyarakat.
Keterjangkauan fasilitas sangat berpengaruh dalam proses
pencarian bantuan. Hal ini akan mempermudah dan mempercepat
masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia.
Keterjangkauan fasilitas dapat juga dilihat dari segi biaya. Biaya harus
disesuaikan dengan pendapatan dari masyarakat di wilayah kerjanya
(Effendy, 1998 ).
Sikap dan pelayanan dari petugas kesehatan perlu diperhatikan.
Karena akan menarik masyarakat untuk pergi dan berkunjung ke
fasilitas kesehatan tersebut dalam hal ini adalah puskesmas
(Effendy,1998).
e. Cakupan Perilaku
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan
mencakup :
1) Perilaku seseoarang terhadap sakit dan penyakit. Perilaku ini sesuai
dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yaitu:
a) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan.
b) Perilaku pencegahan penyakit adalah respon untuk melakukan
pencegah penyakit.
c) Perilaku sehubungan dengan pencarian bantuan pengobatan
dan perawatan yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari
pengobatan dan perawatan.
d) Perilaku sehubungsan dengan pemulihan kesehatan yaitu
perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan
kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit.
2) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon
seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem
pelayanan kesehatan modern ataupun tradisional.
3) Perilaku terhadap makanan, yaitu respon seseorang terhadap
makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.
4) Perilaku terhadap lingkungan adalah respon seseorang terhadap
lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.
f. Proses Adopsi
Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri seseorang tersebut terjadi
proses yang berurutan yaitu (Notoatmodjo,2003) :
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam
arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus.
2) Interest (merasa tertarik ) terhadap stimulus atau obyek tersebut.
Disini sikap subyek mulai timbul.
3) Evaluation ( menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut terhadap dirinya. Hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik lagi.
4) Trial (mencoba), subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption (menerapkan), subyek telah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Dari kelima tahapan itu yang paling berperan dan rawan
terhadap penolakan adalah tahapan trial (mencoba). Apabila pada
tahapan ini masyarakat mengalami gangguan atau mendapat kesulitan
serta tidak merasakan manfaatnya maka masyarakat tersebut tidak
akan mengadopsi atau mengambil tindakan tersebut dikemudian hari.
Untuk itu peran health provider atau pemberi pelayanan kesehatan
harus benar-benar memberi bimbingan yang benar pada tahapan ini
agar masyarakat berhasil dan kelak akan mengadopsi perilaku yang
dikehendaki oleh pemberi pelayanan kesehatan.
Roger menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu
melewati tahap-tahap tersebut diatas. Apabila penerimaan perilaku
baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari
oleh pengetahuan, kesadaran oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap
positif, maka perilaku itu akan bersifat langgeng (long lasting).
Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo,2003).
7. Konsep Sehat-Sakit
Pada masyarakat terdapat ragam konsep sehat-sakit yang kadang
tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep sehat-sakit yang
diberikan oleh provider atau penyelenggara pelayanan kesehatan.
Timbulnya perpedaan sehat-sakit yang dianut oleh masyarakat dengan
konsep sehat-sakit yang diberikan oleh pihak penyelenggara pelayanan
kesehatan disebabkan adanya persepsi sakit yang berbeda antara provider
dan masyarakat. Perbedaan itu berkisar antara penyakit dengan rasa sakit
(Notoatmodjo,2003).
Penyakit dan kesakitan meskipun sangat berkaitan satu dengan
yang lainnya, namun mencerminkan suatu perbedaan yang fundamental
dan konseptual tentang periode sakit. Menurut Cassel, kesakitan adalah
apa yang dirasakan pasien saat pergi ke dokter, sedang penyakit adalah apa
yang didapatnya sepulang dari dokter (Smet,1994).
Klienman (1983) menggambarkan penyakit sebagai gangguan
fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologis dan psikofisiologi pada
seseorang, sedangkan kesakitan reaksi personal, interpersonal serta
kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman (Smet,1994).
Sedangkan menurut Perkins sakit adalah suatu keadaan yang tidak
menyenangkan yang menimpa seseorang sehingga menimbulkan
gangguan aktivitas sehari-hari, baik aktitas jasmani, rohani maupun sosial
(Effendy,1998).
Jadi kesakitan menurut Helman adalah respon subyektif dari
pasien, serta respon disekitarnya terhadap keadaan tidak sehat. Tidak
hanya memasukkan pengalaman tidak sehat tapi juga arti pengalaman
tersebut buat dia (Smet,1994).
Dari sinilah sesuatu yang sangat menentukan bahwa penyakit atau
gejala yang sama, bisa ditafsirkan secara sangat berbeda. Hal ini akan
mempengaruhi perilaku mereka selanjutnya serta jenis perawatan yang
dicari (Smet,1994). Sudut pandang masyarakat yang berbeda-beda
mengenai respon subyektif si pasien dan lingkungan, bukan hanya
pengalaman tentang kesehatan dan kesakitan, tetapi juga arti yang dia
berikan untuk pengalaman tersebut. Arti ini disebut keyakinan awam.
Contohnya keyakinan pada penyakit timbul akibat roh halus atau guna-
guna, ketidak seimbangan antara panas dan dingin (Smet,1994;Foster &
Anderson,1998).
Pengertian sehat juga mempunyai banyak perbedaan. Ada yang
menganggap bahwa sehat adalah keadaan yang memungkinkan kita dapat
bekerja, ada juga yang mengatakan bahwa keadaan yang mengalami
peningkatan nafsu makan (Foster & Anderson,1998). Menurut WHO sehat
adalah keseimbangan yang sempurna baik antara fisik, mental maupun
sosial dan tidak hanya semata-mata hanya terbabas dari penyakit atau
cacat (Effendy,1998). Sedang menurut undang-undang Kesehatan
Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 yang dimaksud sehat adalah
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Effendy,1998).
B. Tingkat Pendidikan
1. Pengertian
Pengertian pendidikan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Mengutip pendapat Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan
berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak (Tim
Pengembangan MKDK IKIP Semarang, 1991). Definisi lain menurut M.J
Langevelt, bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan
dan bantuan yang diberikan kepada anak, yang tertuju kepada kedewasaan
(jasmani dan rohani) atau pendewasaan anak (Notoatmodjo,2003).
2. Ruang Lingkup Pendidikan
Ruang lingkup pendidikan terdiri dari pendidikan informal, formal
dan non formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh
seseorang di rumah dalam lingkungan keluarga. Pendidikan ini
berlangsung tanpa organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang diangkat
atau ditunjuk sebagai pendidik, tanpa suatu progam yang harus
diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, tanpa evaluasi yang formal
berbentuk ujian. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai
bentuk atau organisasi tertentu, seperti terdapat di sekolah atau universitas.
Sedang pendidikan non formal adalah meliputi berbagai usaha khusus
yang diselenggarakan secara terorganisasi agar terutama generasi muda
dan juga orang dewasa, yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali
tidak berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah dapat memiliki
pengetahuan praktik dan ketrampilan dasar yang mereka perlukan sebagai
warga masyarakat yang produktif. (Tim Pengembangan MKDK IKIP
Semarang, 1991; Notoatmodjo, 2003).
3. Jenjang Pendidikan Formal
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia tentang pendidikan
No 20 Tahun 2003, jenjang pendidikan formal terdiri atas :
a. Pendidikan dasar yaitu jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Contohnya : SD, MI, SMP dan MTs atau
bentuk lain yang sederajat.
b. Pendidikan menengah yaitu lanjutan pendidikan dasar yang terdiri dari
pendidikan menengah kejuruan. Contohnya : SMA, MA, SMK dan
MAK atau bentuk lain yang sederajat.
c. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup progam pendidikan diploma, sarjana,
magister, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah
tinggi, istitut atau universitas.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendidikan
a. Umur
Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah
umur pendidikan yang di dapat akan lebih banyak. Baik itu pendidikan
formal maupun pendidikan non formal yang diinginkan adalah terjadi
perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Selanjutnya
perubahan perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan
pengetahuan, sikap, atau ketrampilannya (Notoatmodjo, 2003).
b. Tingkat sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi perbaikan pendidikan
dan perbaikan pelayanan kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat.
Rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan
memilih tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang bagus dan
bermutu (Effendy,1998;Notoatmodjo, 2003).
c. Lingkungan
Lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan
seseorang. Seperti contoh orang yang berada dalam lingkungan
keluarga yang mendukung serta mengutamakan pendidikan mereka
akan lebih termotivasi untuk belajar. Sehingga pengetahuan yang
mereka peroleh akan lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang
keluarganya tidak mendukung untuk merasakan bangku sekolahan
(Effendy,1998; Notoatmodjo, 2003).
C. Tingkat Pengetahuan ( Knowledge )
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang
melakukan pengideraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengideraan terjadi
melalui pancaindra manusia yakni melalui indra penglihatan, penciuman,
rasa, raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan mencakup ingatan yang pernah dipelajari dan disimpan
dalam ingatan, hal tersebut meliputi fakta, kaidah, dan prinsip serta metode
yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan akan digali
pada saat yang dibutuhkan melalui bentuk mengingat atau mengenal
kembali.
2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), yang mengutip dari Bloom tingkat
pengetahuan di dalam domain kognitif, meliputi :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan dalam tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall). Sesuatu spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang diterima.
Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain mampu menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
mengiterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap suatu objek materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap obyek
yang telah dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata sebelumnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu
struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
a. Sintesis (Syntesis)
Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
b. Evaluasi (Evaluation)
Ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilain terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau berdasarkan kriteria yang
sudah ada.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo
(2003), yaitu :
a. Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka dia akan lebih
mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah pula
untuk menyelesaikan hal-hal baru tersebut.
b. Informasi
Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan
memberikan pengetahuan yang jelas.
c. Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang,
karena informasi-informasi baru akan di saring kira-kira sesuai dengan
tidaknya dengan kebudayaan yang ada dan agama yang dianut.
d. Pengalaman
Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu,
maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan luas sedang umur
semakin banyak(bertambah tua).
e. Sosial Ekonomi
Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan
dengan penghasilan yang ada. Sehingga menuntut pengetahuan yang di
miliki harus dipergunakan semaksimal mungkin.begitupun dalam
mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan
dengan pendapatan keluarga.
4. Cara pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden Kedalam pengetahuannya yang ingin kita
ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut
diatas (Arikunto,2002 ; Notoatmodjo, 2003).
4. Cara Mencari Pengetahuan
Ada berbagai macam cara untuk mencari atau menperoleh kebenaran
pengetahuan sepanjang sejarah, yaitu:
a. Cara tradisional
Untuk memperoleh pengetahuan, cara kuno atau tradisional dipakai
orang memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya
metode ilmiah untuk metode penemuan secara sistematik dan logis
(Notoatmodjo, 2003).
b. Cara coba-salah (Trial and error)
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan
mungkin sebelum adanya peradapan. Pada waktu itu seseorang
apabila menghadapi persoalan untuk masalah, upaya pemecahannya
dilakukan dengan cara coba-coba saja. Dimana metode ini telah
digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan
berbagai masalah. Bahkan sekarang ini metode coba-coba masih
sering dipergunakan terutama oleh mereka yang belum atau tidak
mengetahui cara memecahkan masalah (Notoatmodjo, 2003).
c. Kekuasaan atau otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan dan
tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang tanpa melakukan penalaran
apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan ini
biasanya diwariskan turun temurun dari generasi berikutnya. Dimana
pengetahuan, diperoleh berdasarkan otoritas atau kekuasaan, baik
tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, otoritas ilmu
pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
d. Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman adalah guru yang baik, demikian kata pepatah dengan
maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau
pengetahuan itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan. Pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya
memperoleh pengetahuan. Namun perlu diperhatikan bahwa tiak
semua pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik
kesimpulan dengan benar maka diperlukan berfikir kritis dan logis
(Notoatmodjo, 2003).
e. Melalui jalan pikir
Sejalan dengan perkembangan kebudayaaan umat manusia, cara
berfikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah
mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh
pengetahuannya. Dengan kata lain dalam memperoleh kebenaran
pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya baik
melalui induksi dan deduksi (Notoatmodjo, 2003).
f. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau metodologi penelitian.
Cara ini mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap
gejala-gejala alam atau kemasyarakat kemudian hasil pengmatannya
tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan dan akhirnya diambil
keimpulan umum (Notoatmodjo, 2003).
D. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Dengan Kecepatan
Pencarian Bantuan ke Sarana Pelayanan Kesehatan.
Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan mempunyai pengaruh
yang tidak sedikit pada masyarakat, terutama dalam menentukan serta
mengambil suatu keputusan yang terbaik untuk membatu seseorang atau
anggota keluarga yang sakit. Yaitu dengan membawanya ke sarana pelayanan
kesehatan yang ada. Individu yang mempunyai pendidikan tinggi secara
otomatis dia mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dibandingkan
dengan individu yang mempunyai pendidikan formal rendah. Dengan
demikian penyerapan dan pemahamannya terhadap hal baru lebih cepat,
mereka akan lebih tanggap terhadap masalah yang sedang terjadi sehingga
segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut atau dengan
segera membawa diri atau anggota keluarganya untuk mencari pertolongan
pada orang yang lebih profesional.
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Sriyatun (2002) tentang
hubungan tingkat pendidikan terhadap lamanya pemberian ASI kepada bayi,
didapat bahwa tingkat pendidikan formal yang di miliki seorang ibu ternyata
menunjukkan hasil yang bermakna yaitu 67,3% ibu dengan pendidikan
SLTAmempunyai kesungguhan untuk memberikan ASI eksklusif kepada
bayinya, di banding ibu yang mempunyai pendidikan rendah. Begitupun
dengan tingkat pengetahuan mempengaruhi perilaku seseorang. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Cristina (2002) tentang hubungan tingkat
pengetahuan terhadap perilaku pencegahan penyakit diare pada balita,
dikatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan yang di miliki seseorang maka
dia akan lebih cepat tahu dan mau menerapkan hal-hal baru yang di
informasikan oleh petugas kesehatan untuk kesehatan dirinya dan mampu
melakukan pencegahan penyakit diare pada anaknya terbukti 53,5 % ibu yang
mempunyai pengetahuan dalam kategori tinggi mampu melakukan perawatan
dan pencegahan penyakit diare pada anak balitanya. Dari berbagai penelitian
yang telah dilakukan beberapa peneliti, dapat diambil kesimpulan bahwa
tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan akan mempengaruhi masyarakat
dalam mencari bantuan khususnya kesehatan ke sarana pelayanan kesehatan
yang ada.
E. Kerangka Teori
Bagan 1: Kerangka Teori Modifikasi dari: Bloom 1974; Green1988;
Smet 1994; Foster & Anderson 1998; dan Notoatmodjo 2003.
Tingkat pendidikan Faktor-faktor yang mempengaruhi: · Umur · Tingkat sosial ekonomi
· Lingkungan
Tingkat pengetahua n Faktor-faktor yang mempengaruhi: · Tingkat pendidikan · Informasi · Budaya · Pengalaman · Sosial ekonomi
Kecepatan masyarakat dalam mencari bantuan ke sarana
pelayanan kesehatan Faktor-faktor yang mempengaruhi: · Keparahan dari gejala · Status ekonomi · Sikap, kepercayaan dan nilai · Kesadaran masyarakat · Sikap petugas kasehatan
· Jarak ke sarana kesehatan
Pelaksanaan terhadap keputusan dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan
f. Kerangka Konsep
G. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel ini sering disebut dengan variabel bebas, variabel stimulus, input,
prediktor, dan antecendent adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya
atau berubahnya variabel dependen (variabel terikat), jadi variabel
independen adalah variabel yang mempengaruhi( Sugiyono, 2005).
Variabel Independen dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan dan
tingkat pengetahuan.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen (variabel terikat) merupakan variabel yang dipengaruhi
atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung
dari variabel bebas terhadap perubahan( Alimul, 2003).
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecepatan masyarakat
dalam mencari bantuan ke sarana pelayanan kesehatan.
T in g k a t P e n g e t a h u a n
T in g k a t P e n d id ik a n
K e c e p a ta n M a s y a ra k a t D a la m M e n c a r i B a n tu a n k e S a n a P e la y a n a n K e s e h a ta n
V a r ia b e l D e p e n d e n V a r ia b e l In d e p e n d e n
B a g a n 2 : K e r a n g k a K o n s e p
H. Hipotesis
Hipotesis alternatif (Ha) yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini
adalah :
1. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kecepatan masyarakat
dalam mencari bantuan ke sarana pelayanan kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas Cepiring Kabupaten Kendal.
2. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kecepatan masyarakat
dalam mencari bantuan ke sarana pelayanan kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas Cepiring Kabupaten Kendal.