bab ii tinjauan pustaka a. penelitian terdahulueprints.umm.ac.id/49569/3/bab ii.pdf · budaya...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Subadar dalam penelitian yang berjudul “Membangun Budaya Religius
Melalui Kegiatan Supervisi di Madrasah”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
budaya religius yang diimplementasikan di madrasah merupakan seluruh pengalaman
psikologis dari peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional, maupun intelektual
yang diserap peserta didik selama dalam lingkungan madrasah. Respon psikologis
keseharian peserta didik terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personil madrasah
dalam bersikap dan berperilaku (layanan wali kelas dan tenaga administratif),
implementasi kebijakan madrasah, kondisi, dan penataan keindahan, kebersihan, dan
kenyamanan lingkungan madrasah, semuanya membentuk budaya religius di
madrasah. Dalam penyelenggaraan budaya religius di madrasah yaitu melalui metode
pembiasaan (membiasakan melakukan perilaku baik) dan metode praktik keseharian
(penggunaan simbol-simbol budaya religius).15
Supriyanto dalam penelitian yang berjudul “Strategi Menciptakan Budaya
Religius di Sekolah”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menciptakan
budaya religius di sekolah melalui proses pembelajaran agama Islam di sekolah yang
cenderung lebih menitik beratkan pengembangan peserta didik dari ranah kognitif
tanpa menyentuh ranah afektif. Cara menciptakan budaya religius disekolah melalui
tiga cara antara lain; pendekatan (perintah dan larangan), pembiasaan (pendekatan
15 Subadar, Membangun Budaya Religius Melalui Kegiatan Supervisi di Madrasah . . . . hal.
197-198.
9
persuasif atau mengajak warga sekolah dengan cara halus), dan keteladan (pemberian
motivasi melalui pendekatan persuasif atau ajakan dengan memberikan alasan yang
baik kepada warga sekolah).16
Amru Almu’tasim dalam penelitian yang berjudul “Penciptaan Budaya
Religius Perguruan Tinggi Islam (Berkaca Nilai Religius UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang)”. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan budaya religius di
perguruan tinggi melalui landasan yang kokoh baik secara normative religius maupun
konstitusional, sehingga tidak ada alasan bagi perguruan tinggi untuk mengelak dari
hal tersebut. Cara penciptaan budaya religius melalui beberapa cara antara lain;
pendekatan perintah dan larangan, pembiasaan, keteladanan dan pendekatan
persuasif.17
Karmila dalam penelitian yang berjudul “Model Pengembangan Diri Siswa
Melalui Budaya Religius di Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi Informasi (SMK
TI)”. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pengembangan budaya religius
melalui kegiatan ekstrakurikuler yang dikembangkan menjadi kegiatan keagamaan
yang diselenggarakan sekolah sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat
peserta didik. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler seperti rohis (kerohanian Islam),
najlis ta’lim, belajar membaca dan menulis al-Quran, peringatan hari besar Islam, dan
pesantren ramadhan rutin.18
16 Supriyanto, Strategi Menciptakan Budaya Religius di Sekolah . . . . hal. 471. 17 Amru Almu’tasim, Penciptaan Budaya Religius Perguruan Tinggi Islam . . . . hal. 111-117. 18 Karmila, Model Pengembangan Diri Siswa Melalui Budaya Religius Di Sekolah Menengah
Kejuruan Teknologi Informasi . . . . hal. 84.
10
Mambaul & Rubiati dalam penelitian yang berjudul “Implementasi
Manajemen Partisipatif Dalam Pengembangan Budaya Religius di Sekolah”.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam mengembangkan budaya religius melalui
manajemen partisipatif yang melibatkan warga sekolah dalam pengambilan
keputusan, pelaksanaan, kontrol dan evaluasi program-program keagamaan dan
dirumuskan melalui visi dan misi sekolah, yang dikembangkan dalam nilai-nilai
pendidikan yang komprehensif, melalui simbol dan praktik dalam enam kegiatan
utama yaitu berseragam Islami, senyum, salam, menyapa, berdoa, shalat dhuzur
berjamaah, membaca al-Quran dan infak.19
Edy Mulyadi dalam penelitian yang berjudul “Strategi Pengembangan
Budaya Religius di Madrasah”. Penelitian ini menunjukkan bahwa budaya religius
dikembangkan dalam tiga kategori, yaitu (a) bentuk budaya ibadah ilahiah yang terdiri
dari sebelum melakukan aktifitas belajar mengajar peserta didik terlebih dahulu
membaca istigfar dan doa, kegiatan shalat berjamaah terutama pada waktu zhuhur
ditata dengan bergiliran sebanyak enam kelas perhari. (b) bentuk budaya ibadah sosial
yang terdiri dari kegiatan peserta didik yang diharuskan melakukan silahturahmi pagi
ketika hendak masuk pintu pagar sekolah dan sudah ada beberapa guru berdiri di dekat
pintu. (c) bentuk budaya ibadah lingkungan hidup yang terdiri dari peserta didik
melakukan kebersihan harian secara terjadwal sesuai kapling masing-masing kelas
dan bahkan khusus dihari jumat ada kegiatan yang disebut jumat bersih.20
19 Mambaul & Rubiati, Manajemen Partisipatif Warga Sekolah dalam Pengembangan
Budaya Religius Peserta Didik . . . . hal. 764. 20 Edi Mulyadi, Strategi Pengembangan Budaya Religius di Madrasah . . . . hal. 5.
11
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, terdapat persamaan dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu sama-sama membahas budaya religius di
sekolah. Tesis pertama memfokuskan pada membangun budaya religius. Tesis kedua
memfokuskan pada strategi menciptakan budaya religius. Tesis ketiga memfokuskan
pada penciptaan budaya religius. Tesis keempat memfokuskan pada model
pengembangan diri melalui budaya religius. Tesis kelima memfokuskan pada
implementasi budaya religius. Kemudian tesis yang kenam memfokuskan pada
strategi budaya religius. Sedangkan penelitian yang akan saya lakukan memfokuskan
pada pengembangan budaya religius di sekolah.
B. Kerangka Teoretis Masalah Penelitian
1. Pengertian Pengembangan
Pengembangan merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan
teknis, teoretis, konseptual, dan moral sesuai dengan kebutuhan melalui pendidikan
dan latihan. Pengembangan adalah suatu proses mendesain pembelajaran secara
logis, dan sistematis dalam rangka untuk menetapkan segala sesuatu yang akan
dilaksanakan dalam proses kegiatan belajar dengan memperhatikan potensi dan
kompetensi peserta didik.
Pengembangan pembelajaran lebih realistik, bukan sekedar idealisme
pendidikan yang sulit diterapkan dalam kehidupan. Pengembangan pembelajaran
adalah usaha meningkatkan kualitas proses pembelajaran, baik secara materi
maupun metode dan subtitusinya. Secara materi, artinya dari aspek bahan ajar yang
disesuaikan dengan perkembangan pengetahuan, sedangkan secara metodologis dan
12
substansinya berkaitan dengan pengembangan strategi pembelajaran, baik secara
teoritis maupun praktis.21
Berdasarkan pengertian pengembangan yang telah diuraikan di atas dimaksud
dengan pengembangan adalah suatu proses untuk menjadikan potensi yang ada
menjadi sesuatu yang lebih baik dan berguna.
2. Pengertian Budaya
Budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya (culture) diartikan:
fikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu kebiasaan yang sukar
diubah. Dalam kehidupan sehari-hari kata budaya disebut tradisi, tradisi diartikan
sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan masyarakat yang nampak dari perilaku
sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari kelompok masyarakat. Koentjaraningrat
1969 mengelompokkan aspek-aspek budaya berdasarkan dimensi wujudnya, yaitu:
(1) komplek gugusan atau ide seperti pikiran, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma
dan sikap. (2) komplek aktivitas seperti pola lomunikasi, tari-tarian, ucapan adat. (3)
material hasil benda seperti seni, peralatan dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasanya budaya adalah
suatu sistem pengetahuan yang meliputi ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam sehar-hari bersifat abstrak. Sedangkan dalam
perwujudannya adalah berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata yakni
pola perilaku, bahasa, organisasi sosial, religi, seni, tradisi, dan lain-lain yang
21 Hamdani Hamid, Pengembangan Sistem Pendidikan di Indonesia ,(Bandung : Pustaka Setia, 2013),
hal. 125.
13
semuanya ditunjuk untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakatnya.
3. Pengertian Religius
Religius (agama) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia religius adalah
bersifat religi, bersifat keagamaan, yang bersangkut paut pada religi. Menurut Y.B.
Magung Wijaya, religius adalah getaran hati dan sikap personal yang muncul dari
lubuk hati dan lebih mendalam dari ritual agama formal. Dengan demikian religius
berkaitan dengan cita-cita rasa yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia
(rasio dan rasa manusia). Religius mencakup aspek kehidupan dengan adanya
keyakinan di dalam hati terhadap sang Pencipta yakni Allah SWT. Secara umum,
dimensi religius terdiri dari:
1) Dimensi Keberagamaan
Keberagamaan seseorang bukan hanya dilihat dari satu hal melainkan dari
berbagai macam hal. Hal-hal tersebut kemudian disebut dimensi keberagamaan.
R. Stark dan C.Y Glock dalam Widiyanto ada lima dimensi religiusitas sebagai
berikut:
a) Religious Practice.
Tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam
agamanya, seperti shalat, zakat, puasa dan sebagainya.
b) Religious Belief
Sejauh mana seseorang menerima hal-hal dogmatik di dalam ajaran
agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, Malaikat, Kitab-
14
kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain yang bersifat
dogmatik.
c) Religious Knowledge
Sejauh mana orang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal ini
berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran
agamanya.
d) Religious Feeling
Dimensi ini terkait dengan perasaan-perasaan dan pengalaman-
pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya
seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseotang merasa takut berbuat dosa,
seseorang yang merasa doanya dikabulkan Tuhan dan sebagainya.
e) Religious Effect
Dimensi ini mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh
ajaran agamanya dalam kehidupannya. Misalnya mengikuti kegiatan
konversasi lingkungan alam dan lain-lain.
2) Dimensi Keyakinan
Dimensi ini terkait dengan pengharapan-pengharapan dimana orang
yang beragama berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, serta
mengakui doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat
kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Meskipun isi dan
ruang lingkup keyakinan bervariasi tidak hanya diantara agama-agama
melainkan seringkali terjadi diantara tradisi-tradisi dalam agama yang sama.
15
3) Dimensi Praktek Agama
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, serta menunjukkan
komitmen-komiten terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik
keagamaan ini terdiri dari dua bagian :
a) Ritual mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan
praktik-praktik suci yang semua agama mengharapkan penganutnya
melaksanakan.
b) Ketaatan dan ritual meskipun memiliki perbedaan, maka semua agama yang
dikenal juga memiliki perangkat tindakan persembahan personal yang relatif
spontan, informal dan khas pribadi.
4) Dimensi Pengalaman
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-
perasaan, persepsi-persepsi, yang dialami seseorang dengan keyakinan
terhadap Tuhan.
5) Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu kepada harapan seseorang yang beragama
beranggapan memiliki pengetahuan terkait dasar-dasar keyakinan, kitab suci
dan tradisi-tradisi.
6) Dimensi konsekuensi
Dimensi ini berkaitan dengan akibat-akibat keyakinan keagamaan,
praktek pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.22
22 Supriyanto, Strategi Menciptakan Budaya Religius di Sekolah . . . . hal. 472-478.
16
Dapat disimpulkan bahwasanya religius adalah segala aspek kehidupan
dengan adanya keyakinan di dalam hati terhadap Sang Pencipta yakni Allah
SWT.Pemahaman dan interpretasi yang berbeda akan makna agama
menimbulkan sikap berbeda-beda dalam tiap individu yang merupakan wujud
keyakinan terhadap adanya Tuhan. Dalam hal ini dibutuhkan pemahaman dan
pengertian yang benar akan ajaran-ajaran Tuhan pada tiap individu dan
larangannya, agar terwujud sebuah sikap individu yang berakhlak karimah dan
mampu bertanggung jawab terhadap diri pribadi di kemudian hari.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwasanya budaya religius adalah gagasan atau fikiran manusia yang bersifat
abstrak kemudian diwujudkan melalui tindak-tunduk atau perilaku manusia
yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan.
4. Pengembangan Budaya Religius
Pengembangan budaya religius di sekolah adalah sesuatu yang sangat urgen
untuk dilakukan. Urgensi pengembangan budaya religius di sekolah adalah agar
seluruh warga sekolah memperoleh kesempatan untuk memiliki bahkan
mewujudkan seluruh aspek keberagamaannya baik pada aspek keyakinan
(keimanan), praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama, dan dimensi
pengamalan keagamaan semua dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan
keagamaan.
Pengembangan budaya religius di sekolah berarti bagaimana
mengembangkan agama Islam di sekolah sebagai pijakan nilai, semangat, sikap, dan
perilaku bagi para aktor sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya, orang tua
17
siswa dan peserta didik itu sendiri. Pengembangan budaya religius patut
dilaksanakan karena dengan tertanamnya nilai-nilai budaya religius pada peserta
didik akan memperkokoh imannya dan aplikasinya nilai-nilai keislaman dapat
tercipta dari lingkungan di sekolah. Untuk itu sangat penting membangun budaya
religius dan akan mempengaruhi sikap, sifat, dan tindakan peserta didik secara tidak
langsung.23
5. Tujuan Pembentukan pengembangan budaya religius
Pembentukan budaya religius bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui budaya religius peserta didik
diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai
dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Secara umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive (preskriptif) dan dapat
juga secara terprogram sebagai learning proces (proses pembelajaran) atau solusi
terhadap suatu masalah. Pertama terbentuknya budaya religius di lembaga
pendidikan melalui penurutan, peniruan, penganutan, dan penataan (tradisi,perintah)
dari luar pelaku budaya yang bersangkutan. Kedua pembentukan budaya secara
terprogram melalui learning process. Proses ini bermula dari dalam diri pelaku
23 Edi Mulyadi, Strategi Pengembangan Budaya Religius di Madrasah . . . . hal. 6.
18
budaya dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar yang dipegang teguh
sebagai pendirian.
Dalam proses pembentukan budaya religius di sekolah, sangat dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi tempat yang akan diterapkan beserta penerapan nilai-nilai yang
mendasarinya. Dalam proses pembentukan budaya religius terdapat model-model
antara lain:
1) Model Struktural. Pengembangan budaya religius pada model ini terkait oleh
adanya peraturan-peraturan, pembangunan kesan, baik dari dunia luar maupun
dari kepemimpinan atau kebijakan lembaga pendidikan. Model ini bersifat “tof
down” artinya kegiatan keagamaan yang dibuat atas instruksi dari pimpinan
atasan.
2) Model Formal. Pengembangan budaya religius pada model ini lebih berimplikasi
pada pendidikan agama Islam yang berorientasi pada keakhiratan, sedangkan
masalah dunia dianggap tidak pentin, serta lebih menekankan pada ilmu-ilmu
keagamaan yang menjadi jalan pintas menuju kebahagiaan akhirat. Sementara
sains dianggap terpisah dari ilmu-ilmu agama.
3) Model Mekanik. Pengembangan budaya religius pada model ini didasarkan oleh
pemahaman bahwa kehidupan terdiri dari beberapa aspek, dan pendidikan
sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan yang
bergerak dan menjalankan fungsinya masing-masing. Model mekanik lebih
menekankan pada pengembangan pendidikan agama Islam yang menonjolkan
fungsi moral dan spritual atau dimensi afektif daripada kognitif dan psikomotorik
artinya dimensi kognitif dan psikomotorik diarahkan untuk pembinaan afektif
19
(moral dan spritual), yang berbeda dengan pelajaran lainnya kegiatan dan kajian-
kajian keagamaan hanya untuk pendalaman agama dan kegiatan spritual
keagamaan.
4) Model Organik. Pengembangan budaya religius pada model ini, lebih
menekankan pada pengembangan pendidikan agama yang dibangun dari
fundamental values (lingkungan) yang tertuang dan terkandung dalam Al-Quran
dan As-Sunnah shahihah sebagai sumber pokok kemudian bersedia menerima
konstribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks
historisnya. 24
6. Strategi Pengembangan Budaya Religius
Dalam proses pembudayaan nilai-nilai religius dituntut komitmen bersama
antara warga sekolah terutama kepemimpinan kepala sekolah. Strategi
pengembangan budaya religius di sekolah dapat dilakukan melalui tiga cara antara
lain:
a) Power Strategy, yaitu strategi pembudayaan atau penerapan budaya religius di
sekolah dengan cara melalui kekuasaan atau menggunakan people power’s.
Budaya religius dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan.
Dalam hal ini kepemimpinan kepala sekolah sangat dominan dalam
mewujudkan budaya religius di sekolah dengan menggunakan kekuasaan kepala
sekolah yang dituangkan dalam tata tertib sekolah, seperti hukuman bagi peserta
didik yang tidak melaksanakan shalat berjama’ah dengan disuruh membaca
24 Amru Almu’tasim, Penciptaan Budaya Religius Perguruan Tinggi Islam . . . . hal. 115-116.
20
Juz’Amma setelah pulang sekolah. Pada strategi ini budaya religius dapat
dikembangkan berupa tataran perilaku, seperti tradisi shalat berjama’ah, gemar
bershadaqah, rajib belajar, do’a bersama dan lain-lain.
b) Persuasive strategi, yaitu pembudayaan nilai-nilai religius dengan cara
menciptakan opini yang kelak diyakini dan berlaku pada warga sekolah. Budaya
religius dikembangkan melalui cara pembiasaan, keteladanan melalui
pendekatan persuasif atau mengajak warga sekolah dengan cara halus. Seperti
guru memberikan contoh atau keteladanan berupa guru yang usianya lebih muda
memberikan penghormatan kepada semua guru yang usianya lebih tua. Dalam
hal ini budaya religius yang dapat dikembangkan berupa tataran nilai, seperti ;
semangat persaudaraan, saling menghormati, saling menolong dan lain-lain.
c) Normative re-educative, yaitu strategi pembudayaan nilai-nilai religius
menanamkan dan mengganti paradigma berfikir warga sekolah yang lama
dengan yang baru. Budaya religius dikembangkan dengan cara keteladanan,
pemberian motivasi melalui pendekatan persuasif atau ajakan dengan
memberikan alasan dan prospek yang baik kepada warganya. Seperti guru
memberikan kisah perjalanan hidupnya atau perjalanan tokoh yang dianggap
berhasil dalam menjalani hidupnya dengan maksud agar peserta didik
mengetahui dan termotivasi dengan kisah tersebut. Dalam tataran ini, nilai
religius yang ingin dikembangkan adalah semangat berkorban, dan tidak mudah
putus asa. 25
25 Supriyanto, Strategi Menciptakan Budaya Religius di Sekolah . . . . hal. 482-487.
21
Mendidik manusia Allah SWT memberikan contoh atau teladan yang
baik yang dilakukan oleh Nabi dan Rasul, sebagaimana firmanNya dalam al-
Quran:
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan
yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah
dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan barangsiapa yang berpaling,
Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.26
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.27
Meneladani tingkah laku orang-orang sekitar merupakan salah satu
kecenderungan manusia dalam bersikap dan berucap, untuk itu Islam mengutus
Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi umatnya dengan ajaran
Islam yang sempurna. Allah SWT menunjuk langsung Nabi sebagai suri
tauladan dikarenakan keteladanan mempunyai pengaruh besar bagi orang yang
meneladaninnya.
26 QS. al-Mumtahanah (60): 6 27 QS. al-Ahzab (33):21
22
Maksud dari ayat tersebut di atasm bahwa dalam konteks pendidikan
formal keteladanan tidak hanya dilakukan oleh guru, melainkan semua orang
yang kontak dengan peserta didik itu, antara lain guru dengan guru, kepala
sekolah karyawan tata usaha dan segenap warga sekolah termasuk penjaga
sekolah, satpam, dan orang-orang yang berjualan disekitar sekolah. Terpenting
adalah peneladanan orang tua di rumah.
Berdasarkan ketiga strategi di atas, strategi kedua dan ketiga terlihat
sama karena sama-sama dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan
pendekatan persuasif kepada warganya dengan cara yang halus, dan
memberikan prospek dan alasan yang baik, yang bisa meyakinkan mereka.
7. Evaluasi Pengembangan Budaya Religius
a. Program Pengembangan Budaya Religius
Pengelolaan program pengembangan budaya religius dirumuskan
berdasarkan visi dan misi sekolah yang dikembangkan dalam nilai-nilai
pendidikan yang komprehensif melalui simbol dan praktik dalam enam
kegiatan utama yaitu berseragam Islami, senyum, salam, menyapa, berdoa,
shalat dhuzur berjamaah, membaca al-Quran dan infak. Evaluasi dalam
program kegiatan pengembangan budaya religius tersebut tidak hanya
membiasakan praktik-praktik saja, namun disamping membaca al-Quran juga
mengetahui dan mengkaji terjemahannya sehingga dapat memahami makna
ayat-ayat yang di baca serta mengamalkannya dalam kehidupan.
23
b. Pelaksanaan Program Pengembangan Budaya Religius
Pelaksanaan program pengembangan budaya religius dilakukan melalui
pendelegasian keputusan program budaya religius kepada pelaksana program
pengembangan budaya religius, merealisasikan program pengembangan
budaya religius melalui kegiatan administrasi dan koordinasi serta
menggerakkan sumber daya dan sumber dana yang ada di sekolah. Evaluasi
pelaksanaan pengembangan budaya religius melalui laporan pelaksanaan
program secara menyeluruh kepada kepala sekolah, komite, orang tua atau
pihak lain yang terkait. Warga sekolah juga mengapresiasikan laporan program
pengembangan budaya religius peserta didik.