bab ii tinjauan pustaka a. penggunaan obat rasional 1

25
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1. Definisi Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: a. Tepat Diagnosis Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b. Tepat Indikasi Penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. c. Tepat Pemilihan Obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. d. Tepat Dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. e. Tepat Cara Pemberian Obat Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

Upload: others

Post on 01-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penggunaan Obat Rasional

1. Definisi

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi

kriteria:

a. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang

tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan

terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang

diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

b. Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya

diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini

hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

c. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang

memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

d. Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek

terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang

dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek

samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya

kadar terapi yang diharapkan.

e. Tepat Cara Pemberian Obat

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula

antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,

sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

6

f. Tepat Interval Waktu

Pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin

dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian

obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum

obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut

harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

g. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing masing

pengobatan. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat

adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-

14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang

seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.

h. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu

muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping

sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak

boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan

pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

i. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas

terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada

penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya

dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini

meningkat secara bermakna.

j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta

tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.

Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar

obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan

mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di

bidang pengobatan dan klinis.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

7

k. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting

dalam menunjang keberhasilan terapi.

l. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan

upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau

mengalami efek samping.

m. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah

obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek

atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker

menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian

diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan

secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya.

n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan. (Kemenkes RI

2011: 3-9)

2. Ciri-ciri Penggunaan Obat Tidak Rasional

a. Peresepan berlebih (overprescribing) Yaitu jika memberikan obat yang

sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan. Contoh:

1) Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh

virus)

2) Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan.

3) Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan

penyakit tersebut.

4) Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek

yang tidak diinginkan seperti:Interaksi, Efek Samping, Intoksikasi.

b. Peresepan kurang (under prescribing), Yaitu jika pemberian obat kurang dari

yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama

pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang

diderita juga termasuk dalam kategori ini. Contoh :

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

8

1) Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.

2) Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.

3) Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare.

c. Peresepan majemuk (multiple prescribing) Yaitu jika memberikan beberapa

obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga

termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat

disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh:

Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:

1) Amoksisilin,

2) Parasetamol,

3) Gliseril guaiakolat,

4) Deksametason,

5) CTM, dan

6) Luminal.

d. Peresepan salah (incorrect prescribing) Mencakup pemberian obat untuk

indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi

pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih

besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada

pasien, dan sebagainya.

Contoh :

1) Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin & ofl

oksasin) untuk anak.

2) Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol yang lebih

aman (Kemenkes RI 2011: 9-11)

3. Dampak Ketidakrasionalan Penggunaan Obat

a. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan

Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Sebagai contoh,

penderita diare akut non spesifik umumnya mendapatkan antibiotika dan

injeksi, sementara pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya kurang

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

9

banyak dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada

anak yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa anak yang

bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada penderita ISPA non pneumonia

pada anak yang umumnya mendapatkan antibiotika yang sebenarnya tidak

diperlukan. Sebaliknya pada anak yang jelas menderita pneumonia justru tidak

mendapatkan terapi yang adekuat. Dengan demikian tidaklah mengherankan

apabila hingga saat ini angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare

masih cukup tinggi di Indonesia.

b. Dampak terhadap biaya pengobatan

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk

keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan

pemborosan dan sangat membebani pasien. Di sini termasuk pula peresepan

obat yang mahal, padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan

keamanan sama dengan harga lebih terjangkau telah tersedia. Peresepan

antibiotika bukannya keliru, tetapi memprioritaskan pemberiannya untuk

penyakit-penyakit yang memang memerlukannya (yang jelas terbukti sebagai

infeksi bakteri) akan sangat berarti dalam menurunkan morbiditas dan

mortalitas penyakit infeksi. Oleh sebab itu jika pemberiannya sangat selektif,

maka pemborosan anggaran dapat dicegah dan dapat direalokasikan untuk

penyakit atau intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu

pelayanan kesehatan dapat dijamin.

c. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang

tidakdiharapkan

Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah

meningkatkan resiko terjadinya efek samping serta efek lain yang tidak

diharapkan, baik untuk pasien maupun masyarakat. Beberapa data berikut

mewakili dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan obat yang tidak

rasional:

1) Resiko terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis & HIV) meningkat

pada penggunaan injeksi yang tidak lege artis, (misalnya 1 jarum suntik

digunakan untuk lebih dari satu pasien).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

10

2) Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko

terjadinya syok anafi laksis.

3) Resiko terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten dengan

makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini

semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek

samping dialami oleh 1 di antara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di

rumah sakit.

4) Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika merupakan salah satu akibat

dari pemakaian antibiotika yang berlebih (overprescribing), kurang

(underprescribing), maupun pemberian pada kondisi yang bukan merupakan

indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus)

d. Dampak terhadap mutu ketersediaan obat

Sebagian besar dokter masih cenderung meresepkan antibiotika untuk

keluhan batuk dan pilek. Akibatnya kebutuhan antibiotika menjadi sangat

tinggi, padahal diketahui bahwa sebagian besar batuk pilek disebabkan oleh

virus dan antibiotika tidak diperlukan. Dari praktek pengobatan tersebut

tidaklah mengherankan apabila yang umumnya dikeluhkan oleh Puskesmas

adalah tidak cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat

ditemukan pasien yang benar-benar menderita infeksi bakteri, antibiotik yang

dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien

terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan pilihan utama obat pilihan (drug

of choice) dari infeksi tersebut.

e. Dampak Injeksi

1) Pemberian substitusi terapi pada diare. Dengan memasyarakatnya

penanganan diare di rumah tangga, petugas kesehatan seolah dihinggapi

keengganan (keraguan) untuk tetap memberikan Oralit tanpa disertai obat lain

pada pasien dengan diare akut non spesifik. Oleh sebab itu tidak

mengherankan apabila sebagian besar penderita diare akut non spesifi k

masih saja mendapat injeksi maupun antibiotik, yang sebenarnya tidak

diperlukan. Sementara Oralit yang menjadi terapi utama justru sering tidak

diberikan.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

11

2) Memberikan roboransia pada anak dengan dalih untuk merangsang nafsu

makan sangatlah keliru apabila tidak disertai upaya untuk memotivasi orang

tua agar memberikan makanan yang bergizi, apalagi pada saat anak sakit.

(kemenkes RI 2011: 17-2)

4. Indikator Penggunaan Obat Rasional

Dalam melakukan identifikasi masalah maupun melakukan monitoring dan

evaluasi Penggunaan Obat Rasional, WHO menyusun indikator, yang dibagi

menjadi indikator inti dan indikator tambahan.

Indikator Inti:

a. Indikator peresepan:

1) Rerata jumlah item dalam tiap resep.

2) Persentase peresepan dengan nama generik.

3) Persentase peresepan dengan antibiotik.

4) Persentase peresepan dengan suntikan.

5) Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.

b. Indikator Pelayanan:

1) Rerata waktu konsultasi.

2) Rerata waktu penyerahan obat.

3) Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.

4) Persentase obat yang dilabel secara adekuat.

c. Indikator Fasilitas:

1) Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.

2) Ketersediaan Daftar Obat Esensial.

3) Ketersediaan key drugs.

Indikator Tambahan:

Indikator ini dapat diperlakukan sebagai tambahan terhadap indikator inti.

Indikator ini tidak kurang pentingnya dibandingk indikator inti, namun sering

data yang dipergunakan sulit diperoleh atau interpretasi terhadap data tersebut

mungkin sarat muatan lokal.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

12

a. Persentase pasien yang diterapi tanpa obat.

b. Rerata biaya obat tiap peresepan.

c. Persentase biaya untuk antibiotik.

d. Persentase biaya untuk suntikan.

e. Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.

f. Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan.

g. Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang

obyektif.(World Health Organisation 1993: 13-22)

B. Pengunaan Obat Rasional di Indonesia

Panduan pengobatan menurut WHO diare akut dapat dilaksanakan secara

sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral dan melanjutkan

pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak

direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi.

Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi

berat. Pemberian antibiotik secara rutin tidak diperlukan. Tetapi antibiotic

diberikan sesuai dengan tatalaksana diare akut atau apabila ada infeksi non

intestinal seperti pneunomia, infeksi saluran kencing atau sepsis. Terapi Zinc

digunakan untuk mengobati diare persisten. Terapi zinc pada kasus diare akut

tertentu ternyata dapat menurunkan kejadian berlanjutnya diare akut menjadi

diare persisten. Indikasi yang dianjurkan adalah berat badan untuk umur saat

diperiksa kurang dari 70%, diare telah berlangsung lebih dari lima hari, dan

jika terdapat tanda-tanda defisiensi zinc, yaitu satu atau lebih gejala.

Pemberian antibiotika hanya terbatas karena pada umumnya diare dapat

sembuh dengan sendirinya (self-limiting disease), yang perlu diperhatikan

adalah penanganan dehidrasi yang terjadi. (Septin Handayani:10-16)

Pada tahun 1993 peresepan di Indonesia masih dikategorikan tidak

rasional karena masih tingginya poli-farmasi (3,5 obat per pasien),

spenggunaan antibiotik yang berlebihan (43,0%), serta penggunaan injeksi

yang berlebihan (10- 80%). 5 Penggunaan obat rasional dapat diperbaiki

mutunya antara lain melalui upaya pengelolaan obat (managerial strategies)

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

13

yang mencakup perbaikan sistem suplai (proses seleksi dan pengadaan obat),

kemudian sistem peresepan dan dispensing obat. Kementerian Kesehatan RI

belum memiliki standar dalam penggunaan obat rasional di puskesmas, tetapi

hanya memiliki target berdasarkan indikator peresepan WHO, yaitu:

a. Rerata jumlah obat tiap pasien: 2,6.

b. Persentase obat generik yang diresepkan: 100%.

c. Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia: 20%.

d. Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik: 8%.

e. Persentase injeksi pada myalgia: 1%.

f. Persentase obat yang diresepkan dari DOEN: 100%. (Kemenkes RI, 2017)

Ketidaktepatan penggunaan obat di puskesmas dapat merugikan

masyarakat. Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota wajib menyediakan obat

esensisal dengan nama generik untuk kebutuhan puskesmas dan unit

pelaksana teknis lainnya sesuai kebutuhan. Salah satu UPT (unit pelaksana

Teknis) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah instalasi farmasi (dulu

bernama gudang farmasi Kabupaten/Kota) yang berfungsi sebagai pengelola

obat di Kabupaten/ Kota. puskesmas sebagai salah satu lini terdepan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia sudah seharusnya

menerapkan penggunaan obat yang rasional sesuai standar yang ada.

Ketidaktepatan penggunaan obat pada tingkat puskesmas dapat berakibat

merugikan bagi kalangan luas masyarakat. Hal tersebut karena banyak

masyarakat kalangan menengah ke bawah yang merupakan mayoritas

penduduk Indonesia yang memilih pelayanan kesehatan di puskesmas.

(Widya kardella, dkk 2014: 93)

C. (ISPA) Infeksi Saluran Pernapasan Akut Non Pneunomia

Makin cepat virus dan bakteri seringkali menginfeksi saluran pernafasan

bagian atas anak, tapi biasanya memberi gejala yang biasanya tidak serius

hanya diindikasikan dengan batuk. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah

jarang terjadi tetapi mempunyai dampak berbhaya kepada kematian. Virus

menginfeksi mukosa hidung trakea, dan bronkus. Infeksi pertama adalah

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

14

timbulnya akan menyebabkan aliran udara dalam saluran nafas. Batuk adalah

tanda paru-paru sedang berusaha mendorong lender keluar dan

membersihkan saluran pernafasan.

1. Pilek

Pilek merupakan penyakit Yang umum pada anak-anak, beberapa mungkin

terserang penyakit ini 5 atau 6 kali setahun. Tanda-tanda yang muncul

dengan keluarnya cairan dari hidung sakit tenggorokan, demam, sakit kepala.

Penyakit ini akan sembuh 2 sampai 7 hari tergantung berat ringannya infeksi.

2. Influenza

Influenza adalah salah satu dari penyakit ISPA disebabkan oleh virus.

Penyakit ini sering kali terjadi secara epidemic. Demam, malaise, mual,

muntah, sakit kepala, sakit tenggorokan, nyeri otot dan ingus encer

merupalan tanda-tanda terjadinya influenza. Influenza dapat berlangsung

4-10 hari. Bahkan meningkat ada kemungkinan akan menyebabkan terjadinya

pneumonia.

3. Tonsilisitas

Tonsilisitis merupakan infeksi tonsil yang di sebabkan oleh berbagai jenis

bakteri dan virus. Seringkali streptokokus menyebabkan tonsilisitis.

Tonsilisitis juga merupakan penyakit ISPA yang dapat menyebabkan demam,

sakit tenggorokan, tonsil membengkak bahkan barnanah.

4. Adenitis Sefvikal

Adenitis servikal merupakan pembengkakan dan peradangan kelenjer leher,

seringkali terjadi bersamaan dengan tonsilisitis atau otitis media. Demam

panas, pembengkakan kelenjar dan merasa sakit merupakan gejalanya.

D. Diare Non Spesifik

Diare non spesifik merujuk pada penyebab diare. Bila diare disebabkan

oleh adanya infeksi baik bakteri, parasite maupun virus, maka disebut diare

spesifik.

Diare non spesifik dapat terjadi akibat salah makan (makanan terlalu pedas

sehingga mempercepat peristalice usus), ketidak mampuan lambung dan usus

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

15

dalam metabolism laktosa (terdapat dalam susu hewani) disebut lactose

intolerance, ketidakmampuan metabolisme sayuran atau buah tertentu (kubis,

kembang kol, sawi, nangka, durian), juga infeksi virus-virus noninvasive

yang terjadi pada anak umur di bawah 2 tahun karena rotavirus.

1. Tanda diare non spesifik adalah:

a. Tidak terjadi kenaikan suhu tubuh penderita,

b. Tidak ditemukan lender kenaikan suhu tubuh penderita.

2. Terapi Non farmalogi

Jelas pertama kali upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindaru

pemicu diare. Contohnya bila tidak mampu memetabolisme laktosa, maka

dapat minum susu nabati (berasal dari kedelai, beras merah). Namun upaya

yang paling penting dalam penanganan diare adalah mengoreksi kehilangan

cairan dan elektrolut tubuh (dehidrasi) dengan penggantian ciran dan

elektrolit secepat mungkin (rehidrasi). Bila masih memungkinkan secara oral,

maka larutan gula garam atau oralit buatan pabrik telah mencukupi asalkan

diberikan sesuai patokan (sesuai umur penderita dan berat ringannya

dehidrasi). Penyebab kematian terbesar pada kasus diare adalah terjadinya

dehidrasi, bukan karena bakteri atau penyebab lainnya.

3. Berikut tanda-tanda dehidrasi

a. Dehidrasi ringan: mulut kering/bibir kering, kehausan. Cairan yang keluar

jumlahnya sekitar 5% dari berat badan penderita.

b. Dehidrasi sedang: selain mulut kering kehausan, juga terjadi penurunan

tonus kulit (bila dicubit, kulit akan kembali secara lambat). Cairan yang

keluar berkisar 10% dari berat badan penderita. Urun mulai sedikit dan

warnanya mulai lebih tua dari keadaan normal.

c. Dehidrasi berat: mata cekung, kulit pucat, bila dicubit sangat lambat

kembali, ujung ujung jari dingin, kesadaran menurun. Urin sudah tidak

keluar atau kalaupun keluar sangat sedikit dan berwarna sangat pekat.

Cairan yang keluar lebih dari 50% berat badan penderita.

Menjaga agar dehidrasi segera terkoreksi, oralit harus diberikan dalam 3 jam

pertama dari saat terjadinya diare. Bila penderita muntah, tunggulah sampai

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

16

sepuluh menit, segera berikan oralit. Pada anak-anak, bila sulit diberikan

langsung dapat diberikan sesendok the tiap 1-2 menit.

E. Myalgia

Myalgia adalah bahasa medis dari nyeri otot, berasal dari bahasa Yunani,

yaitu myo yang berarti otot dan algos yang berarti nyeri. Oleh karena itu,

myalgia berarti nyeri pada otot atau dalam bahasa masyarakat disebut

dengan pegal-pegal. Seluruh tubuh kita dilingkupi otot, maka nyeri otot juga

dapat terjadi dimana saja. Myalgia merupakan keluhan yang sangat sering

terjadi dan hamper semua orang pernah mengalami myalgia, walaupun

lokasi nyeri ototnya berbeda-beda tergantung dari aktivitas dan

penyebabnya.

1. Apa saja gejala myalgia

Gejala lain yang dapat menyertai myalgia antara lain:

a. Demam

b. Bengkak di lokasi nyeri

c. Kemerahan

d. Lemas

e. Nyeri pada sendi-sendi

Gejala di atas, tidak selalu muncul semua hal ini sesuai dengan hal apa

yang menyebabkan myalgia, sebagai contoh ketika penyebabnya adalah

infeksi umum seperti sakit flu atau DBD, maka keluhan demam akan

menyertai. Sedangkan ketika hanya kelelahan, maka gejala yang muncul

hanya nyeri otot dan mungkin lemas.

2. Cara Mengobati Myalgia

Nyeri otot biasanya memberikan hasil yang baik dengan pengobatan yang

dapat di lakukan sendiri dirumah. Beberapa hal yang dapat dilakukan sendiri

untuk meredakan ketegangan otot, dilakukan sendiri untuk meredakan

ketegangan otot, baik itu karena trauma atau terlalu banyak aktivitas

diantaranya:

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

17

a. Mengistirahatkan area tubuh yang diresepkan nyeri

b. Menggunakan obat penghilang nyeri yang dijual bebas, seperti ibu profen

atau parasetamol

c. Menggunakan krim oles untuk meredakan ketegangan otot

d. Kompres dingin (atau menggunakan air es) pada daerah yang nyeri untuk

mengurangi proses inflamasi.

e. Melakukan Olahraga yang dapat menghilangkan stress seperti meditasi atau

yoga. (Suryo Nugroho, 2017 hal: 22-27)

F. Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada

apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan

dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Permenkes

No 58 Tahun 2014:3).

Menurut WHO 1993 indikator peresepan merupakan indikator praktik

peresepan untuk mengukur kinerja penyedia layanan kesehatan terkait dengan

penggunaan obat yang tepat atau tidak tepat. Dalam Indikator peresepan obat

dapat menimbulkan masalah-masalah obat seperti polifarmasi, penggunaan

obat yang tidak tepat biaya, penggunaan antibiotik dan sediaan injeksi yang

berlebihan, serta penggunaan obat yang tidak tepat indikasi.Peresepan yang

tidak dapat mengakibatkan masalah seperti tidak tercapainya tujuan terapi,

meningkatnya kejadian efek samping obat, meningkatnya resistensi

antibiotik, penyebaran infeksi melalui injeksi yang tidak steril, dan

pemborosan sumber daya kesehatan yang langka (Rini hamsidi:14).

Indikator Peresepan Menurut WHO meliputi:

a. Rata-rata jumlah item perlembar resep

Rata-rata jumlah item perlembar resep bertujuan untuk mengukur tingkat

polifarmasi obat, dimana pasien diresepkan rata-rata 3.3 item obat per lembar

resep. Untuk mengetahui rata rata jumlah item perlembar resep dapat dihitung

dengan cara Total jumlah Obat dibagi dengan jumlah resep (WHO, 1993).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

18

Polifarmasi adalah pemberian obat untuk satu diagnosis lebih dari dua

item obat. (Pujaningsih pebrianan, dkk:25) Akibat dari polifarmasi obat ini

adalah pada pasien lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas

obat, dan lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan

diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidak patuhan menggunakan obat

sesuai dengan aturan pakainya (Anisa Farida muti, Nurul oktavia

2018:26).Masalah polifarmasi terjadi kemungkinan disebabkan oleh dokter

yang berfokus memberikan terapi untuk gejala yang timbul bukan diagnosis

penyakit, danTekanan dari pasien yang menginginkan cepat hilangnya gejala

penyakit juga mendorong dokter meresepkan banyak obat seperti analgesik

dan antibiotika (Kartika Citra Dewi Permatasari, 2011: 33)

b. Persentase peresepan obat dengan nama generik

Persentase peresepan obat dengan nama generik bertujuan untuk

mengukur kecenderungan peresepan tersebut dengan obat generik. Untuk

mengetahui persentase peresepan obat dengan nama generik dapat dihitung

dengan cara membagi jumlah resep obat nama generik dengan jumlah total

resep obat dikali 100 (WHO, 1993).

Dokter meresepkan obat generik ketika ada permintaan dari pasien itu

sendiri untuk mengganti resepnya dengan obat generik tanpa merk karena

harganya relatif jauh lebih terjangkau (lebih murah) dibandingkan dengan

obat paten. Jika dihadapkan pada kondisi obat generik tanpa merk mengalami

kelangkaan, maka dokter baru akan beralih pada obat generik bermerek atau

paten (Anisa Farida muti, Nurul oktavia 2018:27).

c. Persentase peresepan obat antibiotik

Persentase peresepan obat antibiotik bertujuan untuk mengukur

penggunaan antibiotika pada resep tersebut, karena antibiotik sering

digunakan secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan resistensi dan

pemborosan biaya terapi. Untuk mengetahui persentase obat antibiotik dapat

dihitung dengan cara membagi jumlah resep yang diberi antibiotik dengan

jumlah obat yang di resep dikali 100 (WHO, 1993).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

19

Peresepan antibiotik dilakukan dokter pada pasien yang di diagnosis

penyakit infeksi. Peresepan antibiotik hendaknya dilakukan secara nasional

memberikan manfaat secara ekonomi (Menurunkan biaya terapi) maupun

klinis (Mencegah resistensi antibiotika). Penggunaan antibiotika bijak yaitu

dengan menggunakan antibiotika dengan spektrum sempit, pada indikasi

yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian yang

tepat. Penggunaan antibiotika harus dibatasi dan mengutamakan penggunaan

antibiotik lini pertama (Kemenkes RI, 2011).

d. Persentase obat dengan sediaan injeksi

Persentase obat sediaan injeksi bertujuan untuk mengukur penggunaan

obat yang berlebihan dan pemborosan biaya. Untuk mengetahui persentase

obat dengan sediaan injeksi ini dapat dihitung dengan cara membagi jumlah

resep yang diberi suntikan dan jumlah seluruh resep dikali 100 (WHO, 1993).

Obat akan diresepkan secara injeksi ketika hasil pemeriksaan klinis dokter

menyatakan pasien membutuhkan obat yang diberikan dengan cepat, pasien

memiliki keterbatasan tidak dapat meminum obat oral dan mendapatkan

reaksi obat yang cepat diabsorbsi. Sediaan injeksi diberikan kepada pasien

yang tidak kooperatif, misalnya pasien tidak bisa menelan obat, namun

diperlukan efek cepat, untuk pasien yang tidak sadar (Annisa Farida Muti

,Nurul Oktavia, 2018:27).

Penggunaan sediaan injeksi ini memiliki beberapa kerugian dalam

penggunaanya, seperti dapat menyebabkan sepsis akibat pemberian langsung

ke sirkulasi darah dan tidak steril, resiko kerusakan jaringan akibat iritasi

lokal, harga yang lebih mahal serta sulit dalam koreksi dan penanganan jika

terjadi kesalahan pemberian sehingga peresepan injeksi jarang dilakukan

(Pujaningsih Pebrianan, dkk:28).

e. Persentase peresepan dengan daftar obat esensial

Persentase peresepan dengan daftar obat esensial bertujuan untuk

mengetahui kecenderungan peresepan sesuai obat esensial nasional atau

formularium sarana pelayanan kesehatan. Untuk mengetahui persentase

peresepan dengan daftar obat esensial atau formularium dapat dihitung

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

20

dengan cara membagi jumlah prosuk yang tercantum dalam daftar obat

esensial atau formularium lokal dengan jumlah total lembar resep dikali 100

(WHO, 1993).

G. Puskesmas

1. Definisi Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah

fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan

masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih

mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya

(Permenkes RI Nomor 75 tahun 2014:3).

2. Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas

a. Prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi:

1) paradigma sehat;

2) pertanggungjawaban wilayah;

3) kemandirian masyarakat;

4) pemerataan;

5) teknologi tepat guna; dan

6) keterpaduan dan kesinambungan.

b. Berdasarkan prinsip paradigma sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a, Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk

berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang

dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

c. Berdasarkan prinsip pertanggungjawaban wilayah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b, Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab

terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.

d. Berdasarkan prinsip kemandirian masyarakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf c, Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi

individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

21

e. Berdasarkan prinsip pemerataan sebagaimana pada ayat (1) huruf d,

Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan

terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa

membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.

f. Berdasarkan prinsip teknologi tepat guna sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf e, Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan

memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan,

mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.

g. Berdasarkan prinsip keterpaduan dan kesinambungan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf f, Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan

penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta

melaksanakan Sistem Rujukan yang didukung dengan manajemen

Puskesmas.

3. Fungsi Pokok Puskesmas

Puskesmas menyelenggarakan fungsi:

a. penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

b. penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya (Permenkes RI

Nomor 75 tahun 2014).

4. Pelayanan Kesehatan di Puskesmas

Pelayanan Puskesmas dibagi menjadi dua,yaitu puskesmas rawat jalan dan

puskesmas rawat inap:

a. Pelayanan Rawat Jalan

Puskesmas Rawat jalan merupakan salah satu unit kerja di puskeskmas yang

melayani pasien yang berobat jalan dan tidak lebih dari 24 pelayanan,

termasuk seluruh prosedur diagnostik dan terapeutik. pada waktu yang akan

datang, rawat jalan merupakan bagian terbesar dari pelayanan kesehatan

dipuskesmas.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

22

b. Pelayanan Rawat Inap

Puskesmas Rawat Inap adalah Puskesmas yang diberi tambahan ruangan dan

fasilitas untuk menolong pasien gawat darurat, baik berupa tindakan operatif

terbatas maupun asuhan keperawatan sementara dengan kapasitas kurang

lebih 10 tempat tidur. Rawat Inap itu sendiri berfungsi sebagai rujukan antara

yang melayani pasien sebelum dirujuk ke institusi rujukan yang lebih mampu,

atau dipulangkan kembali kerumah (Buku ajar konsep konsep dasar

keperawatan:17-19).

5. Jaringan Pelayanan Kesehatan

Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas pelayanan, Puskesmas didukung

oleh jaringan pelayanan yaitu:

1. Puskesmas Pembantu

a. Puskesmas Pembantu merupakan jaringan pelayanan Puskesmas yang

memberikan pelayanan kesehatan secara permanen di suatu lokasi dalam

wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas Pembantu merupakan bagian integral

Puskesmas, yang harus dibina secara berkala oleh Puskesmas.

b. Tujuan Puskesmas Pembantu adalah untuk meningkatkan jangkauan dan

mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat di wilayah kerjanya.

c. Fungsi Puskesmas Pembantu adalah untuk menunjang dan membantu

melaksanakan kegiatan yang dilakukan Puskesmas, di wilayah kerjanya.

d. Puskesmas Pembantu didirikan dengan perbandingan 1 (satu) Puskesmas

Pembantu untuk melayani 2 (dua) sampai 3 (tiga) desa/kelurahan.

e. Peran Puskesmas Pembantu:

1) Meningkatkan akses dan jangkauan pelayanan dasar di wilayah kerja

Puskesmas.

2) Mendukung pelaksanan pelayanan kesehatan terutama UKM.

3) Mendukung pelaksanaan kegiatan Posyandu, Imunisasi, KIA, penyuluhan

kesehatan, surveilans, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain.

4) Mendukung pelayanan rujukan.

5) Mendukung pelayanan promotif dan preventif.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

23

f. Penanggung jawab puskesmas pembantu adalah seorang perawat atau bidan

yang ditetapkan Kepala Dinas Kesehatan atas usulan Kepala Puskesmas.

g. Tenaga minimal di Puskesmas Pembantyu terdiri dari satu orang perawat dan

satu orang bidan.

h. Pendirian Puskesmas Pembantu harus memenuhi persyaratan lokasi,

bangunan, prasarana, peralatan kesehatan dan ketenagaan.

i. Bangunan, prasarana dan peralatan kesehatan di Puskesmas Pembantu harus

dilakukan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala agar

tetap laik fungsi.

2. Puskesmas Keliling

a. Puskesmas Keliling merupakan jaringan pelayanan Puskesmas yang sifatnya

bergerak (mobile), untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan

bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas yang belum terjangkau oleh

pelayanan dalam gedung Puskesmas. Puskesmas Keliling dilaksanakan secara

berkala sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dengan memperhatikan

siklus kebutuhan pelayanan.

b. Tujuan dari Puskesmas Keliling adalah untuk meningkatkan jangkauan dan

mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat terutama masyarakat di daerah

terpencil/sangat terpencil dan terisolasi baik di darat maupun di pulau-pulau

kecil serta untuk menyediakan sarana transportasi dalam pelaksanaan

pelayanan kesehatan.

c. Fungsi dari Puskesmas Keliling adalah sebagai:

1) Sarana transportasi petugas;

2) Sarana transportasi logistik;

3) Sarana pelayanan kesehatan; dan

4) Sarana pendukung promosi kesehatan.

d. Peran Puskesmas Keliling:

1) Meningkatkan akses dan jangkauan pelayanan dasar di wilayah kerja

Puskesmas.

2) Mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan di daerah yang jauh dan sulit.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

24

3) Mendukung pelaksanaan kegiatan luar gedung seperti Posyandu, Imunisasi,

KIA, penyuluhan kesehatan, surveilans, pemberdayaan masyarakat, dll.

4) Mendukung pelayanan rujukan.

5) Mendukung pelayanan promotif dan preventif.

e. Aspek yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan Puskesmas Keliling:

1) Aspek program:

Puskesmas Keliling digunakan untuk sarana penunjang pelaksanaan

pelayanan kesehatan. Kegiatan yang dilaksanakan relatif terbatas karena

peralatan dan tenaga yang ada terbatas. Untuk itu dinas kesehatan

kabupaten/kota serta Puskesmas harus dapat merencanakan kegiatan yang

akan dilaksanakan pada kegiatan Puskesmas keliling. Hal ini akan berkaitan

dengan peralatan dan obat-obat yang akan dibawa.

2) Aspek tenaga

Tenaga kesehatan yang akan bertugas pada Puskesmas keliling diharapkan

merupakan tim yang dapat bekerjasama dengan baik serta memiliki

kemampuan yang cukup.

3) Aspek sarana

Sarana yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang

dihadapi, dan memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan petugas.

4) Aspek pembiayaan

Aspek pembiayaan perlu diperhatikan terkait biaya operasional dan biaya

pemeliharaan kendaraan.

5) Aspek pendukung

Dalam pelaksanaan Puskesmas keliling ada subsistem yang harus dibangun

untuk mendukung pelaksanaan kegiatan. Subsistem ini antara lain sistem

rujukan, sistem komunikasi dengan Puskesmas, dan sistem pencatatan dan

pelaporan.

Untuk operasional Puskesmas keliling, pendukung yang harus dipenuhi yaitu

peralatan pelayanan kesehatan, obat dan bahan habis pakai, perlengkapan

keselamatan tim dan perorangan, dan alat komunikasi.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

25

3. Bidan Desa

Bidan desa adalah bidan yang ditempatkan dan bertempat tinggal pada

satu desa dalam wilayah kerja Puskesmas sebagai jaringan pelayanan

Puskesmas. Penempatan bidan di desa utamanya adalah dalam upaya

percepatan peningkatan kesehatan ibu dan anak, disamping itu juga untuk

peningkatan status kesehatan masyarakat. Wilayah kerja bidan di desa

meliputi 1 (satu) wilayah desa, dan dapat diperbantukan pada desa yang tidak

ada bidan, sesuai dengan penugasan kepala Puskesmas.

Tugas bidan desa, sesuai kewenangannya, yaitu:

a. Pelayanan KIA-KB.

b. Pelayanan promotif, preventif dan pemberdayaan masyarakat.

c. Deteksi dini dan pengobatan awal terkait kesehatan ibu dan anak, termasuk

gizi (Menurut permenkes no 75 tahun 2014:103-106).

H. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan

sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan

pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan

langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan

Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk

meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk:

a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;

b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional

dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:

a. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis habis Pakai; dan

b. Pelayanan Farmasi klinik

Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

26

a. perencanaan kebutuhan;

b. permintaan;

c. penerimaan;

d. penyimpanan:

e. pendistribusian;

f. pengendalian;

g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan

h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.

Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

meliputi:

a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;

b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

c. konseling;

d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);

e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;

f. pemantauan terapi Obat; dan

g. evaluasi penggunaan Obat (Berdasarkan Permenkes No.74 Tahun 2016:3-6).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

27

I. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Penggunaan Obat Rasional

Puskesmas

Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas

Pelayanan Farmasi

Klinik

Pengelolaan sediaan

Farmasi dan Bahan

Medis Habis Pakai

1. Pengkajian Resep

2. Pelayanan informasi obat (PIO)

3. Konseling

4. Ronde/Visite pasien (khusus

puskesmas rawat inap)

5. Pemantauan dan pelaporan efek

samping

6. Pemantauan terapi obat

7. Evaluasi penggunaan obat

(Permenkes no 74 tahun 2016).

Pengkajian resep

menggunakan

indikator POR

1.Rata rata item obat per satu kali

peresepan

2.Persentase peresepan antibiotik ISPA

Non Pneunomia

3.Persentase peresepan antibiotic Diare

Akut

4.Persentase peresepan Injeksi Myalgia

(kemenkes, 2011)

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

28

J. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Study Literatur

Penggunaan Obat

Rasional di Puskesmas

1.Rata rata item obat per satu kali

peresepan

2.Persentase peresepan antibiotik

ISPA Non Pneunomia

3.Persentase peresepan antibiotic

Diare Akut

4.Persentase peresepan Injeksi

Myalgia

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Obat Rasional 1

29

K. Definisi Operasional

Tabel 2.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasioanl

Cara Ukur Alat

Ukur

Hasil Ukur Skala

Ukur

1. Item obat

per satu

kali resep

Banyaknya

obat dalam

satu kali

peresepan

Observasi

lembar

resep

Checklist 1. 1 item

2. 2 item

3. 3 item

4. 4 item

5. 5 item

Nominal

2. Peresepan

antibiotik

untuk

ISPA Non

Pneunomia

Resep yang

berisi

antibiotik

yang

berkhasiat

sebagai anti

infeksi bakteri

untuk penyakit

ISPA Non

Pneuomia

Observasi

lembar

resep

Checklist 1.Antibiotik

2.Non

Antibiotik

Nominal

3. Peresepan

antibiotik

untuk

Diare Non

Spesifik

Resep yang

berisi

antibiotik

yang

berkhasiat

sebagai anti

infeksi bakteri

untuk penyakit

Diare Non

Spesifik

Observasi

lembar

resep

Checklist 1.Antibiotik

2.Non

Antibiotik

Nominal

4. Peresepan

dengan

injeksi

Myalgia

Bentuk

sediaan obat

yang diberikan

kepada pasien

secara injeksi

untuk penyakit

Myalgia

Observasi

lembar

resep

Checklist 1.Injeksi

2.Non Injeksi

Nominal