bab ii tinjauan pustaka a. perilaku cyberbullyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4693/3/bab...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Cyberbullying
1. Pengertian Perilaku Cyberbullying
Patchin & Hinduja (2008) mendefinisikan cyberbullying sebagai
fenomena dan bentuk baru dari perilaku bullying, yaitu ketika seseorang
berulang kali mengolok-olok orang lain secara online atau berulang kali
mengganggu orang lain melalui email, pesan teks atau memposting sesuatu
tentang orang lain yang tidak disukai. Mawardah dan Ardiyanti, (2014) bahwa
cyberbullying adalah perilaku tidak ramah yang secara sengaja dan terjadi
berulang-ulang yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa remaja
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti email, website dan
situs jejaring sosial (misalnya facebook, twitter, instagram, path, dll) untuk
merugikan orang lain.
Menurut Smith,dkk (2008) cyberbullying merupakan tindakan agresif
dan negatif yang sengaja dilakukan individu/grup dengan menggunakan media
elektronik secara berulang-ulang dan dari waktu ke waktu terhadap individu
yang lema. Sejalan dnegan hal ini, menurut Maya (2015), cyberbullying adalah
bentuk intimidasi terhadap seseorang yang dianggap lemah melalui sarana
teknologi seperti jejaring sosial.
Kowalski, dkk (2008) mengartikan cyberbullying sebagai tindakan
intimidasi yang dilakukan dengan menggunakan alat teknologi komunikasi
melalui instant message, chat room, website, email, texy message, blog, web,
14
jejaring sosial dengan cara mem-posting atau menyebarkan sesuatu yang tidak
benar mengenai korban. Parks (2013) menjelaskan cyberbullying adalah
berbagai gangguan ataaupun pelecehan yang terjadi melalui internet atau
komunikasi digital seperti email, pesan instan, komentar pada situs jejaring
sosial (misalnya facebook, twitter, myspace, instagram, dll) serta kiriman pada
situs web lain atau blog, dan video yang dipost pada youtube.
Menurut Campbell (dalam Campfield, 2006) Cyberbullying merupakan
bentuk baru dari bullying. Cyberbullying dilakukan melalui alat teknologi
komunikasi informasi (email, chat room, ponsel, dan situs web) untuk
mengirim pesan penghinaan atau ancaman, memposting konten negatif dan
menyebarkan hal-hal yang bersifat pribadi atau rahasia sehingga
mengakibatkan dampak yang kurang baik bagi korban. Ted dan Nicole (2008)
mengatakan cyberbullying merupakan kiriman atau postingan berbahaya
berupa gambar dan teks yang tidak baik dengan menggunakan internet (pesan
instan, email, aplikasi chatting, situs jejaring sosial) dan telepon seluler.
Dalam Oxford English Dictionary (OED, dalam Rifaudhin, 2016).
Cyberbullying diartikan sebagai tindakan penggunaan teknologi informasi
untuk menggertak orang dengan mengirim atau memposting teks yang bersifat
mengintimidasi atau mengancam. Selain itu menurut Rudy (2010)
cyberbullying merupakan perbuatan bullying melalui medium internet dan
teknologi digital, misalnya ponsel, SMS, MMS , email, Instant Messenger,
web, situs jejaring sosial, blog, dan online forum, tujuannya untuk
15
mengganggu, mengancam, mempermalukan, menghina, mengucilkan secara
sosial, ataupun merusak reputasi orang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas tentang pengertian cyberbullying,
maka penulis menggunakan pendapat Patchin & Hinduja (2008) yaitu
mendefinisikan cyberbullying sebagai fenomena dan bentuk baru dari perilaku
bullying, ketika seseorang berulang kali mengolok-olok orang lain secara
online atau berulang kali mengganggu orang lain melalui email, pesan teks atau
memposting sesuatu tentang orang lain yang tidak disukai.. Pendapat Patchin
& Hinduja (2008) ini dapat menjelaskan arti cyberbullying dengan jelas
sehingga mudah untuk dipahami.
2. Bentuk-bentuk Perilaku dan Media Cyberbullying
a. Bentuk-bentuk perilaku cyberbullying
Willard (dalam Kowalsky dkk, 2008) berpendapat bahwa cyberbullying
dapat terjadi dalam beberapa bentuk antara lain flamming, harassment,
denigration, impersonation, outing & trikery, cyberstalking, dan exclusion.
Bentuk-bentuk cyberbullying tersebut dapat dijealskan sebagai berikut :
1) Flamming, yaitu bentuk cyberbullying yang berupa pertengkaran singkat
yang berapi-api (dapat berupa adu argmen, saling ejek/saling menghina)
antara dua orang atau lebih melalui teknologi komunikasi (misalnya situs
jejaring sosial), dan terjadi dalam pengaturan publik (dapat dilihat secara
luas oleh para pengguna situs jejaring sosial yang terhubung dengan yang
terlibat pertengkaran).
16
2) harassment atau pelecehan, yaitu cyberbullying yang dilakukan dengan
cara melecehkan. Pelaku berulangkali mengirim pesan yang menghina,
menganggu dan menyakiti korban. Tindakan ini terjadi dalam waktu
yang lama. Pada bentuk ini pelaku terdiri dari salah satu atau lebih orang
yang mengirimkan ratusan hingga ribuan pesan teks yang melecehkan
kepada satu korban.
3) Denigration atau pencemaran nama baik, yaitu menulis, menyebarkan
informasi yang tidak benar tentang orang lain di facebook dan BBM,
meng-upload dan menyebarkan foto seseorang yang telah diubah (edit)
sehingga mengandung unsur negatif untuk merusak reputasi korban.
4) Impersonation atau penyamaran, yaitu pelaku menyamar dengan
menjadi seseorang yang bukan dirinya, memalsukan identitas ataupun
berpura-pura menjadi korban dengan cara mencuri password untuk bisa
mengakses akun koran untuk melakukan tindakan cyberbullying.
5) Outing & trikery, outing merupakan tindakan mengunggah, mengirim
atau meneruskan komunikasi maupun gambar yang bersifat pribadi, yang
berpotensi memalukan korban. Sedangkan trickery merupakan tindakan
merayu/membujuk seseorang untuk memberikan informasi pribadi
seperti gambar, foto dan video pribadi.
6) Cyberstalking, yaitu pelaku mengirimkan pesan yang bersifat
mengintimidasi, sangat menghina dan menyinggung serta mengancam
keselamatan korban.
17
7) Exclusion atau pengucilan yaitu korban sengaja dikucilkan atau
dikeluarkan dari percakapan grup.
Di sisi lain menurut Aftab (dalam Kowalski dkk, 2008) cyberbullying
dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Kedua bentuk
cyberbullying ini dapat di uraikan sebagai berikut :
1) Cyberbullying tidak langsung, dilakukan dengan menggunakan
penghubung, yaitu ketika pelaku meminta bantuan orang lain untuk
menyakiti korban. Korban bahkan tidak mengetahui bahwa mereka
sedang berhadapan dengan pelaku. Cyberbullying yang dilakukan oleh
orang lain sangat berbahaya karena korban tidak mengetahui jika mereka
sedang berhadapan dengan seseorang yang mereka kenal.
Cyberbullying yang dilakukan oleh orang lain terkadang dimulai
dengan pelaku yang menyamar sebagai korban. Para pelaku telah
menyusup ke account korban, mencuri password korban dan membuat
account baru serta berpura-pura menjadi korban. Pelaku menganggap
diri mereka adalah korban dan berusaha menyakiti korban dengan
bantuan orang lain. Cara lain yang biasanya dilakukan adalah ketika
pelaku dapat berteman baik dengan korban, dan berbagi email, passowrd
dan menguasai account korban, pelaku dapat meminta penghubung
untuk mengirim sesuatu yang negatif bagi korban. Pelaku juga dapat
meminta penghubung untuk mengubah password korban sehingga
korban tidak dapat masuk ke dalam account pribadi. Korban tidak
mengetahui bahwa yang mengirim adalah pelaku cyberbullying.
18
2) Cyberbulying secara langsung, dilakukan dengan cara pelaku mengirim
pesan ataupun mengunggah gambar atau konten untuk menyakiti korban
melalui situs jejaring sosial, email, blog, web tanpa penghubung.
b. Bentuk-bentuk Media Cyberbullying
Perilaku cyberbulying merupakan salah satu bentuk dari perilaku
bullying yang dilakukan melalui media teknologi komunikasi (yang saat ini
dikenal dengan sebutan media sosial seperti messanger, skype, email, instan
message, facebook, twitter, instagram, BBM, whatsapp, line dan youtube,
(Parks, 2013; Weber & Pelfrey, 2014). Berikut penjelasan mengenai
bentuk-bentuk media teknologi komunikasi tersebut menurut Aftab (dalam
Kowalskii dkk, 2008) yaitu :
1) Instant message
Instant message merupakan layanan komunikasi yang digunakan
individu untuk membuat ruang chat pribadi dengan orang lain. Instant
message digunakan oleh remaja dalam melakukan cyberbullying.
Cyberbullying yang dilakukan adalah seseorang dapat mengirim pesan
yang berisi ancaman dan mengirimkan foto atau video yang negatif.
2) Email
Email atau surat elektronik merupakan pesan yang dikirim melalui
jaringan internet. Cyberbullying yang terjadi melalui email yaitu pelaku
dapat mengirimkan isi pesan yang tidak baik atau negatif yang
mengancam dan meneror korban.
19
3) Chat room
Chat room merupakan suatu ruang komunikasi antara dua pengguna
melalui komputer. Aktivitas yang dilakukan dalam chat room adalah
melakukan obrolan. Pengguna dapat memasukkan teks dan teks tersebut
akan muncul pada pengguna lainnya atau yang disebut sebagai chatting.
Cyberbullying yang terjadi adalah seseorang dapat dipermalukan oleh
pelaku dengan cara mengirim gambar-gambar dan teks-teks yang negatif
kepada korban.
4) Pesan teks
Pesan teks biasanya digunaan melalui telepon seluler. Pesan teks yang
dikirimkan tidak boleh lebih dari beberapa ratus karakter. Individu dapat
mengirimkan isi pesan yang mengancam, menerror, dan memfitnah
orang lain.
5) Situs jejaring sosial
Situs jejaring sosial merupakan layanan berbasis web yang
memungkinkan penggunanya untuk menjalin hubungan sosial dalam
sebuah sistem yang dibatasi. Pengguna dapat membuat profil, melihat list
pengguna yang tersedia, serta mengundang atau menerima teman untuk
bergabung dalam situs tersebut. Tampilan dasar situs jejaring sosial ini
menampilkan halaman profil pengguna, yang terdiri dari identitas diri
dan foto pengguna (Boyd & Ellison, 2008). Bentuk-bentuk situs jejaring
sosial seperti facebook, twitter, myspace, youtube, flickr, instagram,
path, snapchat, BBM, whatshapp, line, dan youtube. Pada situs jejaring
20
sosial, cyberbullying dilakukan dengan cara mengupload atau berbagi
foto dan video mengomentari ataupun membuat status yang dengan
sengaja menyinggung perasaan orang lain.
6) Blog
Blog dapat digunakan untuk hal-hal yang positif, namun ada juga yang
menggunakannya untuk cyberbullying. Perilaku cyberbullying yang
terjadi adalah seseorang dapat mem-posting kata-kata yang merendahkan
dan memalukan tentang korban di blog.
7) Situs web
Situs web merupakan suatu situs yang banyak digunakan orang untuk
mempromosikan bisnis, menjual produk, atau mem-posting informasi
pribadi. Cyberbullying yang terjadi yaitu pelaku juga dapat mem-posting
informasi dan gambar-gambar tentang korban, misalkan gambar yang
diambil dari teman sekolah dan diedit menjadi gambar yang berbau
seksual.
Dari penjelasan bentuk-bentuk cyberbullying di atas maka penulis
menggunakan bentuk-bentuk cyberbullying menurut Wilard (dalam Kowalsky
dkk, 2008), yaitu flamming, harassment, denigration, impersonation, outing &
trickery, cyberstalking, dan exclusion. Bentuk-bentuk cyberbullying ini sering
terjadi pada media teknologi komunikasi/media sosial seperti instant message,
email, chat room, pesan teks, situs jejaring sosial, blog dan situs web (Aftab
dalam Kowalski dkk, 2008). Pemilihan bentuk-bentuk cyberbullying ini juga
berdasar pada hasil wawancara dan penyebaran hak angket awal terhadap
21
remaja yang menunjukkan bentuk-bentuk yang paling sering dimunculkan oleh
remaja yaitu bentuk-bentuk menurut (Wilard dalam Kowalsky dkk, 2008).
Pada penelitian ini penulis memilih situs jejaring sosial (instagram, line,
dan whatsapp) sebagai fokus penelitian dengan alasan pengguna situs jejaring
sosial paling banyak di dominasi oleh remaja berdasarkan data di Departemen
Komunikasi dan Informasi tahun 2014 , (dalam Juwita, Budimansyah &
Nurbayani,2016). Pemilihan bentuk media sosial ini juga berdasar pada hasil
sebaran angket pada observasi awal yang menunjukkan media yang paling
banyak digunakan oleh remaja adalah instagram, line dan whatsapp.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberbullying
Perilaku cyberbullying disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari
dalam diri (internal) maupun luar diri (eksternal) individu yang akan dijelaskan
sebagai berikut ( Kowalski dkk 2008; Patchin & Hinduja 2010; Morgan 2015;
Shariff 2008).
a. Faktor internal
1. Harga diri
Harga diri seseorang akan mempengaruhi individu dalam memperlakukan
orang lain diskitarnya. Kecenderungan individu untuk menjadi pelaku
cyberbullying dipengaruhi oleh harga diri mereka. Kowalski, dkk, (2008)
mengungkapkan bahwa individu pelaku cyberbullying memiliki tingkat
harga diri yang rendah. Pelaku menggunakan alat teknologi untuk
melakukan cyberbullying untuk meningkatkan harga diri mereka. Menurut
Campfield (2006), individu melakukan cyberbullying untuk meningkatkan
22
harga dirinya yang rendah, hal ini merupakan cara individu untuk menutup
perasaannya yang tidak mampu, rendah diri, dan perasaan malu yang ada
dalam diri individu di hadapan teman-teman sebayanya. Penelitian yang
dilakukan oleh Passini, Meloti dan Brighi (2012) juga menunjukkan bahwa
individu yang melakukan perilaku cyberbullying memiliki penliaian diri
yang negatif (harga diri yang rendah) di hadapan teman-temannya. Individu
melakukan cyberbullying untuk menunjukkan kemampuan individu dalam
mengintimidasi korban melalui dunia maya. Seperti pelaku bullying. Pelaku
cyberbullying memiliki power sehingga lebih suka menindas individu yang
lemah (Olweus dalam Li, Smith & Cross, 2012).
2. Empati
Kemampuan empati pada seseorang berpengaruh dalam interaksi dengan
orang lain. Individu yang memiliki kemampuan empati yang rendah
cenderung melakukan perilaku cyberbullying. Schultze dan Scheithuer
(dalam Kowalski dkk, 2008) mengatakan bahwa rendahnya kemampuan
berempati dapat mendorong seseorang untuk menyakiti korbannya di dunia
maya. Steffgen dan Konig (2009) menambahkan bahwa remaja yang
melakukan perilaku cyberbullying memiliki kemampuan empati yang
rendah terhadap korban. Rendahnya empati membuat pelaku tidak mampu
merasakan rasa sakit yang dialami oleh korban akibat perilaku
cyberbullying (Jolliffe & Farrington, 2011).
3. Pengalaman dengan bullying
23
Penelitian yang dilakukan oleh Riebel dkk (dalam Patchin & Hinduja, 2010)
menunjukkan bahwa ada hubungan antara bullying dalam kehidupan nyata
dan di dunia maya. Hanya 3,96 anak dari keseluruhan sampel yang
melaporkan bahwa mereka melakukan tindakan cyberbullying. Dari 77
pelaku cyberbullying ada sebanyak 63 sampel (81,81%) yang melaporkan
bahwa mereka juga menjadi pelaku bullying dalam kehidupan nyata.
4. Kesepian
Menurut Perlman & Peplau (1982) kesepian adalah pengalaman tidak
menyenangkan yang terjadi ketika keterlibatan seseorang dalam hubungan
sosial secara signifikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Persepsi
kualitas dan kuantitas hubungan sosial yang tersedia dalam kehidupan
sehari-hari dapat mempengaruhi keinginan untuk terlibat dalam interaksi
sosial dalam jaringan online ( Brewer & Kerslake, 2015). Morahan-Martin
(2005) mengatakan mereka yang merasa kesepian berseiko lebih tinggi
ddalam penyalahgunaan internet. Mereka yang kesepian lebih mungkin
untuk menemukan kegiatan interaktif sosial di internet yang dianggap
begitu menarik sehingga meningkatkan jumlah waktu interaksi dalam
jaringan online. Menurut Guarrini, Passini, Melotti & Brighi (2012) resiko
menjadi pelaku cyberbullying akan meningkat bila remaja measa kesepian
dalam hubungan dengan orang tua.
5. Regulasi emosi
Kemampuan mengekspresikan emosi yang dilakukan baik secara lisan
maupun tulisan dapat membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan
24
psikologis dan fungsi fisik pada seseorang saat menghadapi peristiwa
traumatik dalam hidupnya dan membantu mengatasi distress psikologis
(Greenberg & Stone dalam Mawardah & Adiyanti, 2014). Individu dengan
regulasi emosi yang baik dapat memberikan penilaian positif maupun
negatif atas segala peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya dan bagaimana menggunakan pengetahuannya tersebut untuk
menghasilkan apa yang menjadi harapannya (Thompson dalam Mawardah
& Adiyanti 2014). Penilaian positif dapat mengelola emosi secara baik,
sehingga terhindar dari pengaruh-pengaruh emosi negatif yang membuat
individu data bertindak diluar harapannya (Guarini, Passini, Melotti &
Brighi , 2012).
b. Faktor eksternal
1. Perlakuan keluarga
Rigby (dalam Campfield, 2006) mengemukakan bahwa pelaku
cyberbullying biasanya berasal dari keluarga yang tidak berfungsi dengan
baik cenderung melakukan bullying kepada orang lain. Hal ini disebabkan
karena remaja diabaikan dan tidak dianggap oleh keluarganya. Selain itu,
keluarga juga tidak mampu mengembangkan empati yang tinggi, tidak
mengembangkan sikap-sikap positif terhadap orang lain sehingga yang
cenderung dikembangkan adalah sikap negatif saat berinteraksi dengan
orang lain. Selain itu, pelaku cyberbullying juga berasal dari keluarga atau
orang tua yang otoriter. Pemberian hukuman berasal secara agresif kepada
25
anak mengakibatkan anak meniru perilaku tersebut dan mempraktekannya
kepada teman sebayanya (Dilmac & Aydogan, 2010).
2. Konformitas
Remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan, banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan teman-teman di sekolah
maupun luar sekolah. Seiring berkembangnya anak-anak menjadi remaja,
kelompok teman sebaya memiliki dampak yang lebih besar dalam
membentu sikap dan perilaku anak (Hinduja & Patchin, 2010). Selain itu,
terdapat suatu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa dampak dari
konformitas oleh teman sebaya nampaknya memiliki pengaruh lebih besar
terhadap kecenderungan perilaku yang dipilih seseorang remaja
dibandingkan dengan dasar kecenderungan kenakalan yang memang
dimiliki oleh remaja itu sendiri, (Warr & Stafford dalam Hinduja & Patchin,
2013). Hal inilah yang kemudian membawa adanya potensi melakukan
cyberbullying karena konformitas dari lingkungan pergaulan dan kelompok
teman sebaya yang dimiliki para remaja yang cenderung melakukan
cyberbullying.
3. Iklim di sekolah
William & Guerra (2007) menemukan bahwa orang yang menganggap diri
mereka bagian dari sekolah memandang suasana di sekolah sebagai bentuk
kepercayaan, adil, dan penuh kegiatan menyenangkan. Iklim sekolah tidak
ramah dapat membuat frustasi dan ketidaknyamanan diantara beberapa
siswa, sehingga siswa dapat bertindak agresif melalui perilaku
26
cyberbullying, iklim sekolah yang negatif dapat meningkatkan kerentanan
terhadap korban online.
4. Perkembangan dan penggunaan teknologi komunikasi
Remaja saat ini tumbuh ditengan evolusi teknologi, alat-alat komunikasi
seperti internet dan ponsel adalah hal yang penting bagi kehidupan sosial
remaja saat ini (Kowalski, Limber Agastson, 2008). Internet telah menjadi
platform baru dalam interaksi sosial remaja dengan teman sebayanya (Ang,
2015), karena hal tersebut memberikan mereka kesempatan untuk tetap
terhubung dengan teman-temannya meskipun tidak bertemu secara
langsung (Weber & Pelfrey, 2014) namun interaksi online yang terlalu
sering dianggap sebagai faktor resiko munculnya perilaku cyberbullying
(Sticca, Ruggieri, Alsaker, Perren, 2013). Frekuensi penggunaan internet,
telepon seluler, situs jejaring sosial dan chat room ternyata berkolerasi
positif dengan keterlibatan menjadi pelaku dan korban cyberbullying
(Erdur-Baker, 2010; Sengupta & Chaudhuri, 2011). Remaja cenderung
menggunakan internet secara interaktif dan lebih kompleks. Dari waktu ke
waktu, internet telah digunakan remaja untuk tujuan menghina, mengancam
dan memalukan orang lain (Sahin, Sari & Safak, 2010).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa banyak
faktor yang dapat melatarbelakangi individu untuk melakukan perilaku
cyberbullying, tetapi secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua faktor
yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi harga diri, empati,
pengalaman dengan bullying, kesepian dan regulasi emosi. Sedangkan faktor
27
eksternal meliputi perlakuan keluarga, konformitas, iklim sekolah serta
perkembangan dan penggunaan teknologi komunikasi.
Dari faktor-faktor tersebut peneliti memilih faktor harga diri sebagai
variael bebas dalam penelitian ini. Pemilihan faktor harga diri dengan alasan
sebagaimana dijelaskan berikut ini. Masa remaja adalah saat dimana
pengembangan identitas sangat penting (Calvert, 2002). Selama periode ini,
proses pembentukan identitas sebagian besar bergantung pada isyarat dari
lingkungan sosial (yaitu stereotip masyarakat). Remaja cenderung mencari
perilaku dan situasi yang membantu mereka menghargai diri mereka secara
positif dan menghindari orang-orang yang membuat mereka memandang
dirinya secara negatif. Cara seseorang menghargai atau memandang dirinya
secara positif atau negatif dikenal dengan harga diri (Coopersmith, 1967).
Leary dan Downs (dalam Serber, 2012) menganggap harga diri sebagai
representasi internal penerimaan dan penolakan sosial dana alat pengukur
psikologis yang memantau sejauh mana seseorang diterima atau diabaikan oleh
orang lain. Penerimaan ataupun penolakan remaja terhadap diri sendiri
berperan penting dalam mengarahkan pertumbuhan perilakunya (Twenge &
Campbell, 2001).
Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki penerimaan diri dan
penghormatan diri yang cukup. Adanya penerimaan dan penghormatan diri
menjadikan individu merasa mampu pada beberapa tugas di sekolahnya, dapat
merasa nyaman dengan teman-temannya serta bangga dengan diri sendiri,
merasa dapat diterima seluarganya dan dapat menerima keadaan fisik apa
28
adanya. Penerimaan dan penghormatan diri mengakibatkan individu merasa
senang dan bangga dengan keadaan diri sehingga secara emosional dirinya
tidak mudah marah dan individu mampu membina dan menjaga hubungan baik
dengan sesama, tidak melukai perasaan orang lain, sehingga individu dapat
terhindar dari hal-hal yang mencerminkan perilaku cyberbullying. Sementara
individu yang memiliki harga diri rendah cenderung memandang dirinya
sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga trsebut dapat tercermin
pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan bik dari sebgi
akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan fisiknya. Harga diri yang
negatif ini dapat membuat individu merasa tidak mampu menjalin hubungan
dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah dan
dapat berakibat pada perbuatan negatif dan tidak menyenangkan seperti
perilaku cyberbullying (Serber, 2012). Alasan pemilihan faktor harga diri juga
diperkuat dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menemukan
harga diri berpengaruh dengan perilaku bullying maupun cyberbullying
(Nansel, Overpeck, Pilla, Ruan, Simons-Morton, & Scheidt, 2001;Haynie,
Nansel, Eitel, Crump, Saylor, & Yu, 2001;Kowalski, dkk, 2008). Pelaku yang
melakukan tindakan cyberbullying akan mempunyai penilaian yang positif
terhadap diri sendiri (harga diri tinggi) dihadapan teman-temannya (Kowalski,
dkk, 2008; Guarrini, Passini, Meloti, dan Brighi 2012).
29
B. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Harga diri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri. Evaluasi ini menghasilkan penghargaan individu terhadap diri
sendiri. Penghargaan diri sendiri ditunjukkan dengan sikap menerima atau
menolak diri sendiri. Jika individu menerima diri sendiri akan menganggap
dirinya mampu, penting, berhasil dan berharga. Hal ini menandakan individu
mempunyai harga diri yang tinggi. Sebaliknya jika individu menganggap
dirinya tidak memiilki kemampuan, kurang menarik, tidak disukai oleh orang
lain dan tidak yakin dengan kemampuan untuk mencapai suatu
keberhasilan,maka individu tersebut mempunyai harga diri yang rendah
(Coopersmith, 1967).
Vaughan dan Hoog (dalam Fitria & Aulia, 2016) menambahkan bahwa
harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Penilaian
tersebut menentukan perasaan berharga atau tidak berharga individu tentang
dirinya sendiri. Baumeister & Bushman (dalm Wijayanti & Crhistiana, 2016)
mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dilakukan oleh seseorang
mengenai dirinya sendiri. Individu dengan harga diri yang tinggi, mengartikan
diri mereka sebagai orang yang memiliki kemampuan, menyenangkan,
menarik, memiliki moral yang baik, dan sering mengambil kesempatan untuk
mencoba sesuatu yang baru karena mereka yakin bahwa mereka mampu untuk
berhasil. Sementara individu yang memiliki harga diri yang rendah,
menganggap diri mereka sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan
30
kurang menarik tidak disukai oleh orang lain, memiliki moral yang kurang baik
dan tidak memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk
mencapai suatu keberhasilan. Sejalan dengan pendapat diatas , Brehm &
Kassin (dalam Morgan, 2015) mengatakan seseorang yang memiliki harga diri
yang tinggi cenderung tidak begitu menginginkan penghargaan sosial karena
mereka merasa kurang membutuhkannya. Sebaliknya, seseorang yang
memiliki harga diri rendah merasa sangat membutuhkan penghargaan positif
dari orang lain dan akan merasa bahagia jika mendapatkannya.
Branden (dalam Patchin & Hinduja, 2010) mendefinisikan harga diri
sebagai kepercayaan diri individu, bahwa dirinya memiliki kemampuan dan
keyakinan akan diri sendiri, bahwa dirinya berharga. Individu akan menghargai
dirinya jika indiidu mampu menerima dirinya sendiri. Lebih lanjut Branden
mengatakan bahwa harga diri merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
kuat dan sebagai kunci penting dalam perkembangan perilaku individu, karena
berpengaruh pada proses berpikir individu, tingkat emosi, keputusan yang
diambil dan tujuan hidup seseorang. Plummer (dalam Wijayanti & Christiana,
2016) harga diri adalah tentang nilai yang seseorang letakkan pada diri dan
kemampuannya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendapat dari Coopersmith
untuk mendefinisikan harga diri yaitu evaluasi yang dilakukan oleh seseorang
terhadap dirinya sendiri yang berkaitan dengan penghargaan terhadap diri
sendiri, hal ini ditunjukkan dengan sikap menerima atau menolak diri sendiri
31
dan mengindikasikan sejauh mana individu meyakini dirinya mampu, penting,
berhasil dan berharga.
2. Aspek-aspek Harga Diri
Aspek-aspek harga diri menurut Coopersmith (1967) terdiri atas empat
aspek yaitu, keberartian (significance), kekuasaan (power), kompetensi
(competence), dan kebajikan (virtue). Berikut penjelasan tentang aspek-aspek
tersebut.
a. Keberartian (Significance)
Keberartian merupakan penilaian seseorang tentang keberartian dirinya.
Hal ini berhubungan dengan menerima, memberi perhatian dan cinta dari
dan untuk orang lain. Penerimaan (acceotance) dan popularitas
(popularity) merupakan dua hal yang menunjukkan bahwa pada umumnya
individu diterima dan dihargai, sementara penolakan (rejection) dan isolasi
(isolation) menunjukkan bahwa pada umumnya individu tidak diterima
dan tidak dihargai oleh ornag-orang di sekitarnya. Keberartian juga
ditandai dengan penerimaan orang tua terhadap anak. Penerimaan yang
diberikan memiliki pengaruh kepada perasaan diri anak menjadi kunci
untuk dapat memberikan perhatian dan cinta kepada orang lain. Pribadi
yang mempunyai harga diri tinggi, tidak hanya memikirkan kepentingan
diri sendiri, tetapi membuat kehadirannya berguna bagi orang lain.
b. Kekuasaan (Power)
Kekuasaan (power) merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan
untuk mempengaruhi tindakannya dan mengontrol perilakunya dan
32
perilaku orang lain. Murk (2006) mengemukakan bahwa Coopersmith dan
Epstein menggunakan istilah ‘’power’’ untuk menggambarkan bahwa
individu memiliki penilaian yang positif tentang dirinya sendiri bahwa dia
mampu mengelola dan mempengaruhi orang lain. Individu mampu
mengatasi situasi tertentu dengan memberikan atau menunjukkan sikap
positif yang dapat diterima dan diikuti oleh orang lain.
c. Kompetensi (Competence)
Kompetensi merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya,
yang ditandai dengan prestasi-prestasi yang dicapai dan perfoma kinerja
yang tinggi sesuai dengan usia masing-masing, misalnya anak laki-laki pra
remaja berasumsi bahwa prestasi akademis dan atletik merupakan dua
bidang prestasi yang harus dicapai. Prestasi-prestasi yang dicapai
mendorong individu untuk mengambil peran yang aktif kompetitif dalam
lingkungannya.
d. Kebajikan (Virtue)
Kebajikan merupakan penilaian seseorang tentang kemampuan dirinya
untuk taat terhadap nilai-nilai moral, etika dan prinsip-prinsip religius
dalam lingkungan. Individu dengan harga diri yang positif akan
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika dan religiusitas yang ada dalam
masyarakat.
Menurut Heatherton dan Wyland (Serber, 2012) ada tiga aspek dari harga
diri yaitu :
a. Performasi (performance self esteem)
33
Performasi yaitu penilaian seseorang terhadap kompetensi secara umum
yang dimiilkinya, meliputi kemampuan intelektual, kinerja sekolah,
kapasitas pengaturan diri, kepercayaan diri. Individu yang memiliki harga
diri tinggi percaya bahwa dirinya merupakan orang yang cerdas.
b. Sosial (social self esteem)
Sosial merupakan persepsi individu tentang penerimaan orang lain
terhadap dirinya. Individu yang memiliki harga diri sosial yang tinggi
memiliki keyakinan bahwa mereka adalah orang yang berharga, dihargai
dan diterima oleh orang lain. Sementara individu yang harga diri sosialnya
rendah sering mengalami kecemasan sosial, yaitu kecemasan akan
penilaian orang lain terhadap mereka.
c. Fisik (physical self esteem)
Penilaian individu saat melihat tubuh atau bentuk fisik mereka, termasuk
daya Tarik fisik, citra tubuh, perasaan mengenai ras dan etnis.
Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada teori Coopersmith dalam
menentukan aspek-aspek harga diri, yaitu : significance (kemampuan dalam
penerimaan diri , memberi perhatian dan cinta kepada orang lain), power
(kemampuan yang dimiliki untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang
lain), competence (kemampuan untuk berhasil sesuai dengan tujuan yang
dimiliki), dan virtue ( ketaatan terhadap etika, moral dan nilai religiusutas
dalam masyarakat). Adapun alasan peneliti memilih aspek tersebut, karena
penjelasannya lengkap, dan dapat digunakan untuk mengungkapkan variabel
harga diri.
34
C. Hubungan antara Harga Diri dengan Perilaku Cyberbullying pada
Remaja
Istilah harga diri (self esteem) menandakan bagaimana seseorang
mengevaluasi dirinya. Evaluasi ini akan memperlihatkan bagaimana peniliaian
individu tentang penghargaan terhadap dirinya, percaya bahwa dirinya memiliki
kemampuan, adanya pengakuan (penerimaan) atau tidak (Coopersmith, 1967).
Individu dengan harga diri tinggi akan yakin dengan kemampuan yang dimiliki,
merasa berharga dan diterima, bermanfaat bagi orang lain dan punya pengalaman
dalam keberhasilan sehingga individu dengan harga diri tinggi tidak melakukan
perilaku seperti cyberbullying.
Tinggi atau rendahnya tingkat harga diri seseorang dipengaruhi dari interaksi
individu dengan lingkungan dan sejumlah penghargaan, penerimaan dan pengertian
orang lain terhadap dirinya. Penerimaan, perhatian dan kasih sayang yang diterima
individu dari orang-orang di sekitarnya membuat individu merasa diterima dan
punya keberartian di lingkungannya sehingga individu mempunyai harga diri yang
tinggi. Sebaliknya jika individu mengalami penolakan dari lingkungan akan
membuat individu menganggap dirinya tidak berarti bagi dirinya sendiri maupun
bagi orang lain yang menandakan bahwa individu tersebut mempunyai harga diri
yang rendah (Wijayanti dan Christiana, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Aderson & Carnagey (dalam Fitria & Aulia,
2016) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki harga diri rendah akan
memandang dirinya tidak berharga, yang tercermin pada rasa tidak berguna, tidak
memiliki kemampuan dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan
35
fisik. Hal ini membuat individu merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan
temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah akibatnya
individu akan melakukan kekerasan atau perilaku yang menyakiti temannya seperti
bullying yang merupakan bentuk dari perilaku agresif. Menurut Riauskina, Djuwita,
dan Soesetio (2001) cyberbullying merupakan salah satu bentuk dari bullying.
Ybarra & Mitchell (2014) mengatakan bahwa pelaku cyberbullying adalah orang-
orang yang cenderung agresif.
Tingkat harga diri yang tinggi yang dimiliki seseorang tidak terlepas dari
aspek-aspek yang menjadi sumber pembentuk harga diri seseorang yaitu
significance, power, virtue, dan competence. Bentuk-bentuk dari perilaku
cyberbullying yaitu: flaming, harassment, denigration, impersonation, outing &
trickery, cyberstalking, dan exclusion. Pada kedua aspek tersebut masing-masing
saling berkaitan yaitu: (1) aspek significance menunjukkan keterkaitan dengan
bentuk flaming, (2) aspek power berkaitan dengan bentuk denigration & outing, (3)
aspek kompetensi berkaitan dengan bentuk trickery & cyberstalking, dan (4) aspek
virtue berkaitan dengan bentuk impersonation & exclusion, berikut penjelasannya.
Individu dengan harga diri tinggi sadar bahwa ia significance, akan mampu
menerima diri serta memberikan perhatian dan kasih sayang pada orang lain
(Coopersmith, 1967). Penerimaan diri adalah modal penting bagi remaja untuk bisa
memberi perhatian dan kasih sayang pada sesama, walaupun sulit karena usia
remaja yang sedang mengalami fluktuasi diri (Santrock, 2012).
Menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri terjadi melalui proses dan di
dukung oleh dukungan dari orang-orang sekitarnya. Individu yang significance
36
adalah pribadi yang telah nyaman dengan dirinya sendiri dengan segala kekurangan
dan kelebihan yang dimilikinya (Coopersmith, 1967). Penerimaan kekurangan dan
kelebihan diri sendiri mendorong individu untuk menjadi pribadi yang bisa
menghargai dan menerima kekurangan dan kelebihan orang lain sehingga individu
akan menghindari tindakan cyberbullying seperti beradu argument, saling
menghina dan saling ejek (flamming) melalui teknologi komunikasi. Flamming bisa
terjadi karena pelaku cyberbullying dengan sengaja melakukan adu argument
terhadap korban. Hal ini dilakukan pelaku cyberbullying untuk mencari sensasi
karena pelaku merasa kurang berarti akibat rejection dan isolation yang diterima
pelaku dari lingkungannya. Saling menghina yang dilakukan pelaku terhadap
korban merupakan cara pelaku untuk menonjolkan diri dan mencari penerimaan
dan pengakuan dari orang lain. Individu yang significance tidak perlu melakukan
sensasi untuk mendapat pengakuan dan penerimaan (Serber, 2012).
Aspek kekuasaan (power) memungkinkan individu untuk mampu
mengendalikan atau mempengaruhi diri sendiri dan orang lain secara positif. Dalam
hal ini individu mampu untuk mengontrol dan mengendalikan diri dari perilaku
negatif terhadap orang lain (Coopersmith, 1967). Dalam kaitannya dengan perilaku
cyberbullying, individu mampu menahan diri untuk melakukan tindakan
cyberbullying seperti, menulis, menyebarkan informasi yang tidak benar tentang
korban untuk merusak reputasi korban (denigration). Informasi yang disebarkan
dapat berupa pesan ataupun gambar korban yang telah di edit sehingga mengandung
makna negatif. Tindakan cyberbullying lainnya yang dilakukan karena aspek power
yang rendah adalah outing yaitu tindakan berpotensi mempermalukan korban
37
dengan cara memposting, mengirim atau meneruskan konten-konten (komunikasi,
gambar, video) yang bersifat sangat pribadi/rahasia milik korban. Denigration dan
outing dilakukan karena pelaku tidak mampu mengendalikan diri dari tindakan-
tindakan negatif. Pelaku cyberbullying menggunakan kekuasaan yang dimiliki
untuk melakukan intimidasi dunia maya agar menunjukkan power serta untuk
menunjukkan bahwa dirinya mampu untuk menindas orang lain. Hal ini
berpengaruh untuk meningkatkan harga diri pelaku yang rendah di antara teman-
temannya (Kowalski dkk, 2008;Serber, 2012).
Aspek kompetensi memungkinkan individu untuk merencanakan dan
melaksanakan tujuan-tujuan hidupnya dengan baik (Coopersmith, 1967). Individu
dengan aspek competence yang baik mampu untuk bersaing dengan sehat,
menjunjung kejujuran, bertanggung jawab serta menunjukkan performa yang tinggi
dalam setiap usaha dan kerja. Individu dengan aspek kompetensi yang baik akan
memusatkan perhatian pada hal-hal yang dapat menunjuang prestasi dan cita-
citanya dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang dimiliki secara positif
misalnya media internet digunakan untuk mengakses informasi yang bermanfaat
dalam menunjuang pencapaian cita-cita, mengembangkan kreativitas individu
secara positif dalam bidang teknologi yang memberi manfaat positif bagi diri
sendiri maupun orang lain, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan hal-hal
negative seperti tindakan cyberbullying misalnya membujuk seseorang untuk
membagikan informasi pribadinya (trickery) atau menguntit orang lain di dunia
maya melalui media sosial (cyberstalking).
38
Tindakan-tindakan cyberbullying seperti trickery dan cyberstalking terjadi
karena pelaku lebih fokus pada hal-hal negatif daripada hal-hal positif dari
perkembangan teknologi komunikasi. Isolation dan rejection yang dialami pelaku
dalam kehidupan nyata membuat pelaku berusaha untuk mendapatkan penerimaan
dan menutupi rasa malu dan rendah diri melalui dunia maya dengan cara-cara yang
negative seperti perilaku cyberbullying (Serber, 2012).
Aspek kebajikan (virtue) memungkinkan individu untk berperilaku sesuai
dengan etika, moral dan prinsip-prinsip agama (Coopersmith, 1967). Taat pada
nilai-nilai sosial dan norma-norma agama membantu individu menjadi pribadi yang
lebih dewasa secara sosial. Etika, nomra sosial dan nilai-nilai keagamaan juga
menjadi semacam rambu-rambu yang bisa memberi arah dalam kehidupan
bersosial, membantunya untuk memahami orang lain sebagai sesama yang layak
dihargai dan dihormati.
Ketaatan pada nilai-nilai sosial dan norma-norma agama mendorong individu
tidak melakukan perilaku cyberbullying seperti membajak akun korban kemudian
mengunggah konten-konten negatif (impersonation), mengucilkann teman di media
sosial (exclusion). Tetapi, pengabaian terhadap niali-nilai sosial dan norma-norma
agama ini membuat individu tidak mampu untuk menampilkan sikap diri yang
positif seperti menghargai dan menghormati sesama. Pengabaian terhadap nilai-
nilai sosial dan norma-norma agama mendorong individu cenderung
memperilihatkan sikap diri yang negatif terhadap orang lain. Selian itu perasaan
rendah diri dan malu membuat perilaku cyberbullying dengan penyamaran
membuat pelaku nyaman karena tidak harus bertemu langsung dengan korban.
39
Pelaku dapat menyembunyikan identitasnya sehingga dengan mudah menyakiti
korban tanpa diketahui (Serber, 2012).
Dari penjelasan diatas mengenai ke empat aspek harga diri maka individu
dengan harga diri tinggi akan mempunyai kemampuan dalam hal penerimaan diri
yang baik, mampu mengontrol dan mengendalikan sikap dan perilaku terhadap
orang lain, memusatkan kompetensi yang dimiliki untuk mencapai hal-hal yang
positif, dan menjadikan prinsip-prinsip agama, etika dan moral sebagai rambu-
rambu dalam kehidupan sosial sehingga individu tidak perlu lagi melakukan
tindakaan-tindakan cyberbullying.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
harga diri dengan perilaku cyberbullying pada remaja berdasarkan beberapa
penelitian diantaranya hal penelitian Patchin & Hinduja (2012) menunjukkan
bahwa individu yang terlibat cyberbullying mempunyai tingkat harga diri yang
rendah dibandingkan dengan individu yang tidak pernah terlibat dalam perilaku
cyberbullying. Penelitian lain oleh Brewer & Krslake (2015) menunjukkan bahwa
ada hubungan negatif antara harga diri dengan perilaku cyberbullying artinya jika
harga diri tinggi maka perilaku cyberbullying rendah dan jika harga diri rendah
maka perilaku cyberbullying tinggi.