bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi 1. pengertian...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Pengertian resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002) adalah
kemampuan untuk merespon dengan cara yang sehat dan produktif ketika
mengahadapi kesulitan atau trauma yang datang menimpa. Individu
mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang
terjadi dalam kehidupan. Bertahan dengan keadaan tertekan dan bahkan
berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami
dalam kehidupan.
Al Siebert (dalam Masdianah, 2010) mendefinisikan resiliensi
sebagai kemampuan untuk mengatasi perubahan yang terjadi,
mempertahankan energi, bangkit kembali dari kemunduran, dan merubah
cara baru dalam pekerjaan dan kehidupan ketika cara lama tidak mungkin
digunakan kembali. Grotberg (dalam Aprilia, 2013) mengartikan resiliensi
sebagai daya tahan yang dimiliki seseorang untuk menghadapi, mengatasi,
menguatkan dan bahkan memberikan peruabahan dalam pengalaman
menghadapi kesulitan.
Caverly (dalam Pratiwi & Hartosujono, 2014) memaparkan bahwa
resiliensi merupakan mind-set yang mampu meningkatkan seseorang untuk
mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai proses yang
meningkat.
9
Selain itu, menurut Caverly (dalam Pratiwi & Hartosujono, 2014)
resiliensi disebut sebagai kemampuan untuk fokus pada kapabilitas, potensi,
dan sifat positif dibandingkan pada kelemahan dan penderitaan individu.
Holaday (dalam Pratiwi & Hartosujono, 2014) menyatakan bahwa
individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali
kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-
peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress
yang ekstrem dan kesengsaraan. Selanjutnya, Pratiwi & Hartosujono (2014)
menjelaskan bahwa resiliensi dapat menciptakan dan memelihara sikap
positif untuk mengeksplorasi, sehingga seseorang menjadi percaya diri
berhubungan dengan orang lain, serta lebih berani mengambil resiko atas
tindakannya. Resiliensi juga merupakan suatu cara dalam menghadapi dan
memahami pengalaman traumatik dalam proses kehidupan.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
resiliensi merupakan ketahanan seseorang atau individu yang sedang berada
dalam suatu kondisi tertekan untuk menghadapi tekanan tersebut dengan
positif sehingga dapat bangkit dan kembali kepada kondisi awal sebelum
mengalami tekanan tersebut.
2. Aspek-aspek Resiliensi
Dalam teorinya Reivich dan Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek
resiliensi :
10
1) Emotion Regulation
Emotion regulation atau regulasi emosi adalah kemampuan
untuk tetap tenang meski di bawah kondisi yang menekan. Individu
dengan regulasi emosi yang baik memiliki dua ciri penting yaitu
tenang (calming) dan fokus (focusing) dalam menghadapi masalah.
Individu yang memiliki regulasi emosi yang baik juga tidak mudah
cemas, marah, maupun sedih. Baron & Byrne (2005) memaparkan
bahwa mengatur emosi merupakan hal yang penting bagi individu
karena akan dibutuhkan saat mengahadapi situasi negatif yang
dalam ranah kehidupan tidak dapat dihindari maka pengaturan
emosi perlu untuk penyesuaian diri secara afektif dan agar dapat
membina hubungan dengan baik.
2) Impulse Control
Impulse control adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan atau tekanan-
tekanan yang muncul dari dalam diri. Aspek ini menekankan pada
kemampuan individu untuk mengatur keinginan dari dalam dirinya.
Ini terjadi ketika individu memiliki keinginan atau kesukaan akan
suatu hal namun individu teersebut tidak memenuhi keinginannya
dengan alasan kondisinya misal karena suatu penyakit yang
dideritanya, sehingga individu menahan hal itu atas kesadaran dalam
dirinya demi kebaikannya.
11
3) Optimisme
Optimisme merupakan keyakinan dalam diri individu untuk
dapat mengubah sesuatu yang dihadapi menjadi lebih baik. Saat
seorang individu melihat masa depan yang cemerlang, bagaimana
individu tersebut memandang masa depan dengan keyakinan yang
positif. Sifat dari aspek ini terkait dengan pemahaman kognitif atau
penalaran terhadap apa yang ia hadapi.
4) Causal Analysis
Aspek ini merujuk pada kemampuan untuk mengidentifikasi
secara akurat mengenai penyebab dari permasalahan yang dihadapi.
Hal ini erat kaitannya dengan gaya berpikir seseorang terhadap
sesuatu yang baik maupun buruk. Individu dengan aspek ini
memiliki fleksibilitas dalam berpikir, mengendalikan diri sendiri
untuk fokus pada pemecahan masalahnya, mampu mengenali
penyebab permasalahan, serta secara perlahan mengatasi masalah
tersebut, hingga dapat kembali kepada kehidupan yang semula atau
bangkit dari masalah dan menjadi lebih baik.
5) Empathy
Empathy atau empati berkaitan dengan kemampuan individu
untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang
lain. Individu mengenali sesuatu yang dipikirkan dan dirasakan
orang lain baik melalui ekspresi wajah, nada suara ,maupun bahasa
tubuh yang ditampilkan. Seseorang dengan empati tinggi akan
12
mampu membangun hubungan yang positif antar individu karena
individu dapat merasakan apa yang orang lain rasakan.
6) Self Efficacy
Efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa
individu tersebut mengenali kemampuan diri bahwa ia mampu untuk
memecahkan masalah yang dialaminya secara efektif dan ia dapat
mencapai kesuksesan. Sehingga, ia tidak harus terpuruk dengan
keadaannya saat itu. Selain itu menurut Branden (dalam Karyanto,
2004) mengungkapkan self-efficacy sebagai kepercayaan mendasar
seseorang dalam menghadapi tantangan kehidupan. Lebih lanjutnya
Branden (dalam Karyanto, 2004) menjelaskan bahwa memiliki
efikasi diri berarti memiliki kemampuan untuk memproduksi hasil
yang diharapkan.
7) Reaching Out
Reaching Out merupakan kemampuan individu dalam
meraih aspek positif dari kehidupan setelah menghadapi tekanan.
Yakni keinginan individu untuk maju dan memperbaiki diri. Jadi,
bagaimana cara individu untuk menerima keadaannya meski dalam
sebuah tekanan dan keberanian untuk menghadapi resikonya. Pada
aspek ini, memungkinkan individu untuk terus berusaha
meningkatkan aspek positif dalam hidupnya sehingga ia akan
mampu untuk membedakan resiko realistis atau yang tidak
mempunyai makna dan tujuan hidup.
13
Selain itu, Connor & Davidson (2003) menyatakan terdapat 5 aspek
resiliensi yakni :
a. Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan
Pada aspek ini, individu mampu berusaha dengan gigih demi
mencapai tujuannya.
b. Percaya diri, toleransi terhadap afeksi negatif, dan kuat dalam
menghadapi stress
Individu yakin terhadap perasaan dan insting yang dimilikinya,
memiliki toleransi adanya emosi negatif dalam diri sehingga
semakin mampu untuk menghadapi stress dimasa yang akan
datang.
c. Penerimaan positif terhadap perubahan dan memiliki hubungan
yang aman dengan orang lain
Indvidu dapat beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang
dialami dan menjalin hubungan baik dengan orang lain.
d. Kontrol diri
Individu mampu untuk mengontrol diri dengan mengatur emosi
dan perilaku pada saat menghadapi situasi yang menekan.
e. Spiritual
Merupakan keyakinan individu terhadap Tuhan atas kejadian
yang menimpa diri individu tersebut.
Berdasarkan penjelasan dari Reivich & Shatte (2002) dan Connor &
Davidson (2003) di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Reivich &
14
Shatte resiliensi memiliki tujuh aspek diantaranya: (1) regulasi emosi
kemampuan mengontrol emosi; (2) impulse control, kemampuan
mengontrol keinginan atau dorongan dalam diri; (3) optimisme sebagai
keyakinan individu akan masa depan; (4) causal analysis, berkaitan dengan
gaya berpikir seseorang terhadap segi penyebab kejadian dan
penyelesaiannya; (5) empati, yakni kemampuan membaca kondisi
emosional seseorang; (6) aspek efikasi diri yang menekankan pada
keyakinan individu terhadap kompentensi diri; (7) reaching out yaitu
mengambil aspek positif dari permasalahan untuk menjadi lebih baik.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa aspek resiliensi menurut
Connor & Davidson (2003) terdapat 5 aspek yaitu : (a) kompetensi personal,
standar yang tinggi dan keuletan; (b) percaya diri, toleransi terhadap afeksi
negatif, dan kuat dalam menghadapi stress; (c) penerimaan positif terhadap
perubahan dan memiliki hubungan aman dengan orang lain; (d) control diri;
(e) spiritual.
Dari kedua pemaparan aspek di atas peneliti menggunakan 7 aspek
resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002) sebagai acuan
teori dalam penelitian ini.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Berikut merupakan faktor resiliensi berdasarkan pemaparan Everall
et al. (2006) yaitu:
15
a. Faktor individual
Faktor individual meliputi kemampuan koginitif individu, konsep
diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Menurut
Holaday (dalam Ifdil & Taufik, 2012) keterampilan kognitif memiliki
pengaruh yang penting terhadap resiliensi individu. Melalui kemampuan
kognitif individu dapat berpikir bahwa sebab terjadinya bencana bukan
hanya karena kelalaian namun juga merupakan kehendak dari Tuhan
Yang Maha Kuasa. Begitu juga akibatnya, invidu akan berpikir untuk
tidak menyesali apa yang terjadi dan berusaha memaknai dan berusaha
untuk menumbuh- kembangkan semangat dan optimalisasi kemampuan
berpikir untuk menjadi pulih seperti sedia kala. Untuk kembali pulih
diperlukan tingkat intelegensi minimal yaitu rata-rata.
Pada diri individu, berkembangnya resiliensi terkait erat dengan
kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa
yang tepat, kemampuan membaca, dan komunikasi secara non verbal.
Resiliensi juga dikaitkan dengan kemampuan individu untuk lepas dari
pikiran trauma dan memanfaatkan fantasi, serta harapan yang
ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian,
diyakini bahwa individu yang memiliki intelegensi yang tinggi memiliki
resiliensi yang lebih tinggi juga dibandingkan dengan individu
intelegensi rendah.
16
b. Faktor keluarga
Faktor ini meliputi dukungan orang tua, yaitu bagaimana cara orang
tua memperlakukan dan melayani anak. Keterkaitan emosional dan
batin antara anggota keluarga sangat diperlukan dalam mendukung
pemulihan individu yang mengalami stress dan trauma. Keterikatan
antara anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap pemberian
dukungan pada anggota keluarga yang mengalami musibah atau tekanan
untuk dapat pulih dan memandang kejadian secara objektif, serta dalam
menumbuhkan dan meningkatkan resiliensi individu tersebut.
Pada faktor ini, struktur keluarga memiliki peran penting bagi
pemulihan individu. Struktur keluarga yang lengkap terdari dari ayah,
ibu dan anak akan mudah menumbuhkan resiliensi individu. Sebaliknya,
pada struktur keluarga yang tidak utuh dapat menghambat
perkembangan resiliensi individu.
c. Faktor komunitas
Faktor kumunitas ini meliputi kemiskinan dan keterbatasan
kesempatan kerja. Selanjutnya Delgado (dalam LaFramboise et al.,
2006) menambahkan dua hal terkait dengan faktor komunitas, yaitu:
a) Gender
Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi individu yang
mempengaruhi resiko kerentanan terhadap tekanan emosional,
perlindungan terhadap situasi yang mengandung resiko, dan respon
terhadap kesulitan yang dihadapi.
17
b) Keterikatan dengan budaya
Faktor ini meliputi keterlibatan individu dalam aktivitas terkait
dengan budaya setempat beserta ketaatan terhadap nilai-nilai yang
diyakini dalam kebudayaan tersebut.
Selanjutnya beberapa faktor resiliensi juga dikemukakan oleh
Grotberg (dalam Anggraini & Hendriani, 2015) :
a. Faktor I Have (External Supports) merupakan faktor yang berhubungan
dengan dukungan eksternal seperti dukungan dari keluarga maupun
sosial. Hubungan yang dilandasi dengan kepercayaan penuh dan kasih
sayang di dalam maupun di luar keluarga. Misalnya individu dapat
berbagi perasaan ketika mengalami tekanan lalu memperoleh dukungan
dan perhatian dari orang-orang di sekitarnya, struktur dan peraturan di
lingkungan yang stabil, memiliki sosok yang diteladani perilakunya
(roles models behavior) yang dapat mengispirasi untuk kuat dalam
menghadapi berbagai kesulitan, serta dorongan untuk mandiri (otonomi)
yang dilakukan dengan menetapkan batasan pada dirinya dan
menyelesaikan persoalannya sendiri jika individu tersebut merasa
mampu.
b. Faktor I am (Inner Strenghts) adalah faktor yang berkaitan dengan
kekuatan dari dalam diri individu yang dikembangkan, seperti mendapat
kasih sayang dan disukai banyak orang, mencintai, memiliki empati dan
kepedulian pada orang lain, dapat menghargai dirinya sendiri dan orang
lain, dapat bertanggung jawab atas perilakunya dan dapat menerima
18
konsekuensi, serta individu yang percaya diri, optimistik dan penuh
harapan meski sedang berada dalam tekanan.
c. Faktor I Can (Interpersonal and Problem Solving Skills) adalah
keterampilan interpersonal dan pemecahan masalah yang dimiliki,
misalnya: menjalin komunikasi dengan orang lain seperti keluarga
maupun teman, berbagi pikiran dan perasaan, memecahkan masalah di
kehidupan, mengelola perasaan orang lain, mengelola emosi atau
perasaan diri sendiri dan reaksi terhadap segala sesuatu dengan tetap
tenang dan fokus dalam menghadapi permasalahan atau tekanan,
berusaha menyelesaikan permasalahan sendiri kecuali jika individu
menghadapi masa-masa yang berat dan memerlukan bantuan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor
yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor internal (yang berasal dalam
invidu) berupa kemampuan dalam menilai suatu sebab akibat kejadian yang
berkaitan dengan intelegensi individu dan faktor eksternal yang meliputi
(faktor keluarga dan komunitas) yakni yang bersal dari luar individu berupa
dukungan, struktur keluarga, gender dan kebudayaan. Adapun 3 faktor
selanjutnya yakni I Have (External Supports) merupakan faktor yang
berhubungan dengan dukungan eksternal seperti dukungan dari keluarga
maupun sosial, kedua adalah faktor I am (Inner Strenghts) faktor ini
berkaitan dengan kekuatan yang terdapat dalam diri individu, dan faktor I
Can (Interpersonal and Problem Solving Skills) yang merupakan
19
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki individu dalam menghadapi
dan menyelesaikan suatu permasalahan.
4. Tahapan Resiliensi
Coulson (dalam Purnomo, 2014) menyebutkan terdapat 4 tahapan
atau proses yang terjadi saat individu dihadapkan dalam situasi yang
menekan (significant adversity). Empat tahapan tersebut yaitu:
a. Mengalah (Succumbing)
Yaitu kondisi yang menurun dimana individu mengalah atau
menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau keadaan yang
menekan. Level ini merupakan kondisi ketika individu menemukan
atau mengalami kemalangan yang terlalu bagi individu tersebut.
Penampakan (outcome) dari individu yang berada pada level ini
berpotensi mengalami depresi, menggunakan narkoba sebagai pelarian,
dan pada tataran ekstrim individu dapat bunuh diri.
b. Bertahan (Survival)
Pada tahapan ini individu tidak dapat meraih atau
mengembalikan fungsi psikologis dan emosi positif setelah
menghadapi tekanan. Efek dari pengalaman yang menekan tersebut
membuat individu gagal untuk kembali berfungsi secara wajar dan
berkurang pada beberapa respek. Kondisi individu pada tahap ini yakni
individu dapat mengalami perasaan, perilaku, dan kognitif negatif
20
berkepanjangan. Hal tersebut seperti menarik diri, berkurangnya
kepuasan dalam suatu pekerjaan bahkan depresi.
c. Pemulihan (Recovery)
Pemulihan pada tahap ini diartikan sebagai kondisi ketika
individu mampu pulih kembali pada fungsi psikologis dan emosinya
secara wajar, dan dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan,
meskipun masih menyisakan efek dari perasaan negatif. Maka pada
level ini, individu sudah dapat kembali beraktivitas dalam kehidupan
sehari-harinya dan menunjukkan diri mereka sebagai individu yang
resilien.
d. Berkembang pesat (Thriving)
Pada tahap terakhir ini individu tidak hanya mampu kembali
pada tahapan fungsi sebelumnya setelah mengalami tekanan, namun
individu mampu minimal melampaui tahap ini pada beberapa respek.
Proses pengalaman individu untuk menghadapi dan mengatasi kondisi
yang menekan serta menantang hidup, mendatangkan kemampuan baru
individu yang membuat individu menjadi lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap
resiliensi terbagi kedalam 4 tahapan yakni mengalah (succumbing)
yaitu individu dalam kondisi menyerah setelah menghadapi suatu
tekanan; selanjutnya tahap bertahan (survival) yang terjadi saat individu
tidak dapat mengembalikan fungsi emosi dan psikologis setelah
mengalami tekanan; tahap pemulihan (recovery) pada tahap ini individu
21
berada dalam kondisi mulai dapat bangkit kembali pada fungsi emosi
dan psikologisnya, beradaptasi atas kejadian yang menimpa meski
masih menyisakan efek negatif dari tekanan tersebut; terakhir adalah
tahap berkembang pesat (thriving) yakni individu sudah mencapai
fungsi emosi dan psikologis secara baik dan menjadikan pengalaman
terhadap tekanan sebagai kemampuan baru untuk menghadapi
tantangan atau permasalahan yang akan datang.
B. Tunadaksa
1. Pengertian Tunadaksa
Individu tunadaksa sering disebut dengan istilah cacat tubuh, cacat
fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang
berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Cacat yang
dimaksud disini adalah cacat pada anggota tubuh bukan pada indera
(Atmaja, 2018). White House Conference (dalam Somantri, 2006)
mengartikan tunadaksa sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu akibat
gangguan bentuk atau hambatan pada tulang otot, sendi dalam fungsinya
yang normal yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau disebabkan
oleh pembawaan sejak lahir.
Tunadaksa menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat atau Tunadaksa (dalam Novianti, 2008) diasosiasikan
dengan kerusakan atau kelainan yang berhubungan dengan tulang, sendi,
otot dan sistem syaraf. Selain itu menurut Suroyo (dalam Pratiwi &
Hartosujono, 2014) tunadaksa berarti ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan
22
yang tidak sempurna. Menurut Somantri (2006) ketunadaksaan yang
dialami seseorang secara garis besar disebabkan oleh faktor bawaan seperti
keturunan, trauma, infeksi saat masa kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut
pada waktu kehamilan, terjadi pendarahan waktu hamil, serta penggunaan
alat bantu kelahiran dan faktor bukan bawaan yang meliputi: infeksi virus,
trauma, kecelakaan dan tumor.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tunadaksa merupakan suatu kondisi
hilangnya tau tidak berfungsinya anggota tubuh secara normal akibat
kecelakaan maupun penyakit yang dialami individu sehingga menimbulkan
kesulitan pada individu tersebut dalam melakukan kegiatannya. Hal ini
disebabkan faktor bawaan, seperti infeksi saat masa kehamilan dan faktor
bukan bawaan, yaitu ketunakdaksaan yang terjadi setelah kelahiran akibat
kecelakaan, penyakit atau mengalami trauma.
2. Macam-macam Tunadaksa Bukan Bawaan
Menurut Frances G.Koening (dalam Somantri, 2006) tunadaksa
bukan bawaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Infeksi: tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga
menjadi kaku), osteomyelitis (radang di dalam dan sekeliling
sumsum tulang karena bakteri), poliomyelitis (infeksi virus yang
mungkin menyebabkan kelumpuhan), pott’s disease (tuberkulosis
sumsum tulang belakang), still’s disease (radang pada tulang yang
menyebabkan kerusakan permanen pada tulang), tuberculosis pada
lutut atau sendi.
23
b. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik: berupa amputasi
(anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan), kecelakaan akibat luka
bakar, dan patah tulang.
c. Tumor: oxostosis (tumor tulang), osteosis fibrosa cystica (kista atau
kantang yang berisi cairan di dalam tulang).
3. Dampak Tunadaksa
Ketunadaksaan yang dialami oleh seseorang akan memberikan
dampak pada dirinya baiknya dari segi fisik dan psikologis. Individu
yang menjadi penyandang tunadaksa pada usia lebih besar
mengalaminya sebagai suatu yang mendadak. Hal ini dikarenakan
individu tersebut pernah menjalani kehidupan sebagai individu normal
sehingga keadaanya menjadi penyandang tunadaksa dianggap sebagai
suatu kemunduran yang sulit diterima oleh dirinya (Somantri, 2006).
Soetjaningsih (dalam Karyanto, 2004) menjelaskan bahwa remaja yang
mengalami cacat tubuh lebih cenderung hidup hidup dalam
lingkungannya sendiri, dengan sikap-sikap negatif, penuh prasangka
dan rendah diri.
Sejalan dengan yang dikemukakan Misbach (dalam Qomariyah
& Nurwidawati, 2017) bahwa penyandang tunadaksa tidak jarang
mengalami gangguan psikologis terkait perasaan tidak berguna, tidak
mampu, malu, minder, mengalami kecemasan dan permasalahan
psikologis lainya. Pratiwi & Hartosujono (2014) menyatakan bahwa
seseorang yang baru mengalami kecacatan akan menunjukkan reaksi
24
menolak hal itu karena tidak dapat disangkal bahwa keadaan fisik
manusia sangat mempengaruhi seluruh kepribadian dan dapat
menimbulkan tekanan. Tekanan yang dialami oleh penyandang cacat
cenderung membuat cara berpikir tidak akurat.
Berdasarkan hasil penelitian (Beyond The Body Image : a
qualitative study on how adults experience lower limb amputation)
Senra et al., (2012) individu yang mengalami perubahan fisik menjadi
penyandang disabilitas biasanya dikaitkan dengan beberapa perubahan
dalam kehidupan pribadinya yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
individu, kualitas hidup dan mengalami perubahan psikologis seperti
munculnya perasaan rendah diri, cemas, frustasi, depresi, kecemasan
terhadap gambaran tubuhnya, timbulnya ketidaknyamanan sosial dan
lebih banyak bergantung pada orang lain setelah kondisi fisiknya
berubah.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Atmaja (2018),
dampak sosial emosi individu tunadaksa bermula dari konsep diri
individu yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban
bagi orang lain. Hal tersebut berdampak pada problem emosi, seperti
mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul,
pemalu, menyendiri, dan bahkan menjadi frustasi. Maka dari itu, tidak
jarang dari mereka tidak memiliki rasa peracaya diri dan kurang dapat
menyesuaiakan diri dengan lingkungan sosialnya.
25
Selain itu dalam penelitian Herman (2015) mengenai resiliensi
pada penyandang tunadaksa dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak
dari pengalaman traumatis yang dialami subjek sebagai penyandang
tunadaksa merupakan stressor awal individu merasa tertekan karena
ketidakmampuan anggota tubuh untuk berfungsi seperti sebelumnya.
Tekanan tersebut akan bertambah besar jika adanya respon kurang baik
dari lingkungan dan muculnya kehawatiran mengenai masa depannya.
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
ketudaksaan yang dialami seseorang menimbulkan dampak fisik dan
psikologis. Dampak fisik seperti terhambatnya aktifitas karena
ketidakmampuan anggota tubuh sehingga perlu bantuan oranglain.
Adapun dampak psikologis seperti munculnya perasaan rendah diri,
cemas, malu, mengalami ketidaknyamanan berinteraksi dengan orang
lain, problem emosi seperti mudah marah dan tersinggung. Namun,
pada individu yang mengalami ketunadaksaan pada usia lebih besar
akan memberikan dampak yang lebih besar pada aspek psikologisnya.
C. Resiliensi Pada Remaja Penyandang Tunadaksa Bukan Bawaan
Masa remaja disebut sebagai masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa
yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional (Santrock,
2007). Individu yang berada pada fase ini berusia 11 hingga 24 tahun (Sarwono,
2015). Selanjutnya, Havighurst (dalam Sarwono, 2015) menjelaskan tentang
tugas perkembangan remaja yaitu dapat menerima kondisi fisiknya dan
memanfaatkan tubuhnya secara efektif, menerima peran sesuai jenis kelamin dan
hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin berbeda,
26
berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan
dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, perkawinan dan kehidupan
berkeluarga, merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab,
mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah laku.
Pada saat remaja mengalami perubahan fisik menjadi penyandang
tunadaksa akibat kecelakaan atau suatu penyakit, remaja tersebut perlu lebih
keras untuk menyelesaikan tugas perkembangannya. Atmaja (2018)
mendefinisikan tunadaksa sebagai gangguan pada anggota tubuh baik yang
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan pembawaan
sejak lahir. Remaja tunadaksa bukan bawaan diartikan sebagai remaja yang
awalnya terlahir normal dan mengalami kekurangan fisik atau cacat tubuh akibat
kecelakaan atau suatu penyakit. Menurut Somantri (2006) ketunadaksaan yang
terjadi saat usia lebih besar seperti remaja dianggap sebagai suatu hal mendadak
dan akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik,
namun menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan psikologis yang
bersangkutan.
Menurut Neivid dkk (dalam Arianti & Pratiwi, 2017) perubahan pada
kondisi fisik yang terjadi pada individu tunadaksa bukan bawaan dapat
mempengaruhi perubahan-perubahan lain yang terjadi pada diri individu
meliputi perubahan emosi, perubahan motivasi, perubahan fungsi motorik, dan
perubahan kognitif. Selanjutnya Atmaja (2018) menjelaskan dampak psikologis
akibat dari ketunadaksaan dan pengalaman pribadi individu bergantung pada
tingkat ketunaan yang disandang, waktu kejadian perubahan kondisi fisiknya,
27
kualitas kecacatan, dan karakteristik susunan jiwa. Sehingga, pada situasi ini,
resiliensi diperlukan agar individu mampu secara cepat kembali kepada kondisi
sebelum trauma, kebal menghadapi berbagai peristiwa kehidupan yang negatif
dan mampu beradaptasi dari stress yang ekstrem dan kesengsaraan (Holaday
dalam Pratiwi, 2014). Resiliensi merupakan suatu kemampuan individu
menghadapi kesulitan dan tekanan dengan cara yang sehat dan produktif
(Reivich & Shatte, 2002).
Bagi penyandang tunadaksa bukan bawaan untuk menjadi pribadi yang
resilien bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan proses yang melibatkan berbagai
aspek yang berperan dalam membentuk pribadi resilien. Reivich & Shatte (2002)
mengemukakan terdapat tujuh aspek resiliensi. Ketujuh aspek tersebut adalah,
regulasi emosi, impuls control, optimisme, causal analysis, empati, efikasi diri,
dan reaching out.
Menurut Aprilia (2013) individu yang resilien akan mampu untuk bertahan
di bawah tekanan atau kesedihan dan tidak menunjukkan suasana hati yang
negatif terus menerus. Selanjutnya, apabila resiliensi dalam diri seseorang
meningkat, maka ia akan mampu mengatasi masalah apapun, mampu
meningkatkan potensi diri, menjadi optimis, muncul keberanian dan kematangan
emosi. Anggraini & Hendriani (2015) menyatakan bahwa seseorang yang telah
mampu bangkit dan memulihkan diri dari kondisi psikologis yang tertekan, ia
akan dapat menetapkan rencana-rencana perubahan atau melakukan berbagai
penyesuaian yang positif dalam aktivitas sehari-harinya.
28
O’leary dan Lekovics (dalam Purnomo, 2014) menjelaskan terdapat empat
tahapan yang dilalui individu dalam mencapai resiliensinya yakni tahap
mengalah, pada tahap ini remaja penyandang tunadaksa baru saja mengalami
tekanan yang berat seperti kehilangan anggota tubuhnya sehingga pada level ini
memungkinkan adanya depresi, penggunaan obat terlarang maupun bunuh diri.
Pada tahap kedua remaja tunadaksa belum dapat mengembalikan fungsi
psikologis maupun emosi positif setelah mengalami kejadian tersebut, tahap ini
disebut sebagai tahap bertahan (survival). Selanjutnya, Oleary dan Lecovics
(dalam Purnomo 2014) menjelaskan tahap ketiga proses resiliensi yang
merupakan tahap pemulihan (recovery). Pada tahapan ini, fungsi psikologis dan
emosi remaja tunadaksa bukan bawaan sudah mampu pulih kembali pada
keadaan yang wajar dan dapat beradaptasi akan kondisinya meskipun masih
menyisihkan efek atau dampak perasaan-perasaan negatif yang dialaminya. Pada
tahap terakhir, remaja tunadaksa bukan bawaan tidak hanya sebatas mampu
kembali pada tahapan fungsi sebelumnya, namun dirinya akan menjadikan
pengalaman tersebut sebagai jembatan dalam menghadapi dan mengatasi
kondisi yang menekan lainnya, serta menantang hidup untuk membuat diri
menjadi lebih baik lagi.
Bagi penyandang tundaksa, untuk mencapai resiliensi yang baik bukanlah
hal yang mudah karena setiap individu memiliki resiliensi yang berbeda dalam
kemampuannya untuk bangkit dan mengatasi berbagai perubahan yang berbeda
(Qomariyah & Nurwidawati, 2017). Hal ini lebih dijelaskan oleh Grottberg
(dalam Qomariyah & Nurwidawati, 2017) yang menyatakan bahwa kualitas
29
resiliensi tiap individu tidaklah sama, sebab kualitas resiliensi seseorang sangat
ditentukan oleh tingkat usia, taraf perekembangan, intensitas seseorang dalam
menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar
dukungan sosial dalam pembentukan resilien seseorang.
Terdapat 3 faktor resiliensi menurut Everall et al.(2006) yaitu faktor
individual yang meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri,
dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Faktor selanjutnya merupakan
faktor keluarga yang meliputi dukungan orang tua dengan bagaimana cara orang
tua memperlakukan dan melayani anak, dan pentingnya peran struktur keluarga.
Menurut Everall et al.(2006) struktur keluarga yang utuh terdiri dari ayah, ibu
dan anak akan mudah menumbuhkan resiliensi, sebaliknya pada struktur
keluarga yang tidak utuh dapat menghambat pertumbuhan resiliensi. Faktor
terakhir yang dijelaskan oleh Everal et al (2006) adanya faktor komunitas yang
terkait dengan kondisi ekonomi dan keterbatasan kesempatan kerja, selain hal
itu pada faktor ini di tambahkan oleh kontribusi gender atau jenis kelamin dan
keterikatan budaya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
ketunadaksaaan yang dialami seseorang akan berdampak besar terhadap
kehidupannya. Remaja yang menjadi penyandang tunadaksa dapat menghadapi
situasinya dengan cara yang lebih positif maupun negatif. Bagi remaja yang
resilien akan lebih percaya terhadap dirinya bahwa ia mampu untuk menjalani
kondisinya saat ini dan berupaya tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan dan
kekecewaan. Untuk mencapai hal tersebut remaja tunadaksa bukan bawaan
30
membutuhkan proses yang cukup panjang dengan melalui empat tahap proses
resiliensi yaitu tahap mengalah, tahap bertahan, tahap pemulihan, dan tahap
berkembang pesat (recovery). Resiliensi remaja penyandang tunadaksa bukan
bawaan dapat dilihat dari tujuh aspek resiliensi yakni regulasi emosi, impulse
control, optimisme, causal analysis, empati, efikasi diri, dan reaching out.
Selain hal tersebut, adanya faktor yang mempengaruhi resiliensi seperti faktor
individual, faktor keluarga, dan faktor komunitas yang meliputi gender dan
budaya.
D. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran resiliensi pada remaja penyandang tunadaksa bukan
bawaan?