bab ii tinjauan pustaka a. stress kerja 1. pengertian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4209/2/bab...
TRANSCRIPT
27
27
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stress Kerja
1. Pengertian Stress Kerja
Stres dapat diartikan sebuah tekanan yang datang dari luar atau dalam
individu yang menyebabkan timbulnya reaksi fisiologis dan psikologis
(Sarafino & Smith, 2011). Menurut Hager (dalam Iswanto, 2001), stres sangat
bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada
keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang
dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stresor (sumber stres) tidak
selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Stresor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai
peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang
berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini
nampaknya sangat menentukan apakah stresor itu dapat berakibat positif atau
negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang
akan muncul (Sarafino & Smith, 2011).
Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah
berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak
faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stress, dimana
stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri
dalam menghadapi situasi yang stressful, sehingga respon terhadap stresor bisa
menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
28
Quick dan Quick (2007) mengkategorikan jenis stres menjadi dua,
yaitu:
a. Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif,
dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk
kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan
pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance
yang tinggi.
b. Distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,
negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk
konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular
dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan
dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Robbins (2001) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang dinamis
dimana seseorang dikonfrontasikan dengan kesempatan, hambatan atau
tuntutan yang berhubungan dengan apa yang diinginkannya dan untukitu
keberhasilannya ternyata tidak pasti. Menurut Sarafino & Smith (2011), stres
kerja adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan
pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan
perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan.
Secara umum, stres kerja dapat didefinisikan sebagai respons fisik dan
emosional yang terjadi ketika kemampuan dan sumber daya karyawan tidak
dapat diatasi dengan tuntutan dan persyaratan pekerjaan mereka (Alves, 2005;
Bianchi, 2004; Lindholm, 2006; Nakasis & Ouzouni, 2008). Fenomena yang
29
terkait dengan pekerjaan dan dikenal sebagai stres kerja dapat dinyatakan
secara berbeda, dan mempengaruhi karyawan dalam konteks kerja yang
berbeda. Mempelajari tentang stres kerja akan menunjukkan persepsi stres
kerja dan dampak negatifnya terhadap karyawan kepuasan, komitmen dan
produktivitas dalam konteks dan situasi yang berbeda (Michael, 2009).
Menurut Owen (2006), Situasi stres di tempat kerja membuat stres kerja yang
mengarah ke negatif dan berbahaya efek pada majikan dan karyawan. Jadi,
stres kerja akan memiliki hasil yang tidak diinginkan seperti ketidakhadiran,
hilangnya produktivitas dan sumber daya perawatan kesehatan (Abualrub &
Alzaru, 2008).
Greenberg & Baron (2000), mendefinisikan stres kerja sebagai reaksi-
reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan
individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Masalah stres kerja
di dalam organisasi menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya
tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat dari adanya stres kerja
tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis,
peningkatan ketegangan pada emosi, proses berpikir dan kondisi fisik individu
menjadi terganggu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan
mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu
pelaksanaan kerja mereka, seperti: mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks,
emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu
terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur (Sarafino & Smitrh, 2011).
30
Stress kerja dalam penelitian ini difokuskan pada anggota Polri di Polda
DIY. Anggota Polri adalah pegawai negeri sipil yang dipersenjatai yang
memiliki tugas sebagai penegak hukum serta memberikan pelayanan,
perlindungan dan pengayoman dalam rangka menjaga keamaman dan
ketertiban nasional (Undang-undang Kepolisian No.2 Tahun 2002). Anggota
Polri Ditsabhara memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakan hukum
dengan menjalankan fungsi preventif atau pencegahan diantaranya adalah
melaksanakan pengaturan, pengawalan, penjagaan, dan patroli.
Polri sebagai pelayan masyarakat dan penegak hukum tentu akan
berhubungan erat dengan seluruh elemet masayarakat, cenderung lebih sering
memunculkan reaksi emosional sebagai akibat stres maupun ketidakpuasan
terhadap situasi kerja berlebihan serta berkepanjangan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja
adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan
pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan
perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam organisasi.
2. Gejala- gejala Stres Kerja.
Sarafino & Smith (2011) mengkaji ulang beberapa kasus stres karena
pekerjaan dan menyimpulkan ada tiga gejala stres kerja pada individu, yaitu:
a. Gejala Psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada
hasil penelitian mengenai stres pekerjaan, antara lain: (1) kecemasan,
ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung; (2) perasaan frustrasi, rasa
31
marah, dan dendam (kebencian); (3) sensitif dan hyperreactivity; (4)
memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi; (5) komunikasi yang tidak
efektif; (6) perasaan terkucil dan terasing; (7) kebosanan dan ketidakpuasan
kerja; (8) kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual dan kehilangan
konsentrasi; (9) kehilangan spontanitas dan kreativitas; dan (10) menurunnya
rasa percaya diri.
b. Gejala Fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah sebagai
berikut: (1) meningkatnya denyut jantung, tekanan darah dan kecenderungan
mengalami penyakit kardiovaskular; (2) meningkatnya sekresi dari hormon
stres, yaitu adrenalin dan noradrenalin, (2) gangguan gastrointestinal,
misalnya gangguan lambung; (3) meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan
kecelakaan; (4) kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom
kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome); (5) gangguan pernapasan;
(6) gangguan pada kulit; (7) sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah,
ketegangan otot; (8) gangguan tidur; dan (10) rusaknya fungsi imunitas
tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.
c. Gejala Perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah: (a)
menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan; (b) menurunnya
prestasi (performance) dan produktivitas; (c) meningkatnya penggunaan
minuman keras dan obat-obatan; (d) perilaku sabotase dalam pekerjaan; (e)
perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan,
32
mengarah ke obesitas; (f) perilaku makan yang tidak normal (kekurangan)
sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,
kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi; (g) meningkatnya
kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak
hati-hati dan berjudi; (h) meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan
kriminalitas; (i) menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan
keluarga dan teman; (j) kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala
stres kerja terdiri dari tiga gejala, yaitu : gejala psikologis, gejala fisiologis, dan
gejala perilaku.
3. Dimensi Stres
Sarafino & Smith (2011) mengemukakan bahwa stres terbagi ke dalam
5 dimensi, adapun dimensi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Life transition (transisi hidup), berlalu dari satu kondisi kehidupan atau
fase ke fase lain. Contoh: memulai sekolah, pindah ke komunitas baru,
menjadi orang tua, dan pensiun dari karir.
b. Difficult timing (waktu yang berat), peristiwa yang berbeda kejadian yang
terjadi lebih awal atau lebih lambat dari biasanya atau yang tidak
diharapkan. Contoh: memiliki anak pada usia 15 tahun usia dan memasuki
perguruan tinggi di 40.
c. Ambiguity (ketidakjelasan suatu hal), kurangnya kejelasan dalam suatu
situasi. Contoh: informasi yang tidak jelas dalam pekerjaan tentang fungsi
33
atau tugas dan untuk pasien tentang status kesehatan seseorang, pilihan
perawatan, atau prognosis penyakit yang belum jelas.
d. Low desaribility (keinginan yang rendah) keadaan yang tidak diinginkan
bagi kebanyakan orang dihampir semua hal. Contoh: kehilangan sesuatu
hal yang sangat diinigkan.
e. Low controlability (keadaan kontrol yang rendah), yang tampaknya berada
di luar pengaruh perilaku atau kognitif seseorang. Contoh: rendah kontrol
perilaku, seperti tidak mampu melakukan apa pun untuk mencegah sesuatu
hal, rendahnya kontrol kognitif, seperti tidak bisa berhenti memikirkan
pengalaman traumatis.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi
stres terbagi atas lima demensi yakni transisi hidup, waktu yang berat,
ketidakjelasan sesuatu hal, keinginan yang rendah, keadaan kontrol yang
rendah.
4. Pendekatan Terhadap Stres
Sarafino & Smith (2011) berpendapat bahwa ada tiga model pendekatan
dalam upaya memandang stres sebagai suatu konsep yaitu :
a. Stres sebagai suatu stimulus, pendekatan stres sebagai stimulus pada
dasarnya lebih memfokuskan pada aspek lingkungan, dimana stres itu
sendiri dipandang sebagai stimulus. Stres sebagai suatu stimulus disebabkan
oleh kondisi lingkungan yang menekan. seperti lingkungan kerja yang tidak
mengenakan, penempatan yang padat atau kondisi lingkungan yang bising
dan sebagainya. Stres yang muncul sebagai akibat tekanan dari lingkungan
34
seringkali dialami oleh masyarakat umum. Sumber-sumber stresor potensial
yang terdapat pada lingkungan walaupun proporsionalnya tidak dominan,
kadangkala dapat mengakibatkan ketidakseimbangan pada individu yang
berada dalam lingkungan tersebut.
b. Stres sebagai suatu respon, pendekatan stres sebagai suatu respon lebih
memfokuskan pada reaksi seseorang terhadap stres, dimana stres dipandang
sebagai suatu respon atau variabel terikat. Stres suatu respon akan muncul
dalam dua bentuk yaitu: stres yang berupa respon-respon psikologis dan
fisiologis. Secara psikologis respon stres yang muncul dapat berupa
perilaku, pola pikir, emosi, perasaan stres. Wujud respon fisiologis dapat
berupa jantung berdebar-debar, perut mules, badan berkeringat dan
sebagainya, respon psikologis ini dinamakan dengan ketegangan.
c. Stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan, pendekatan stres
sebagai suatu interaksi antara individu dengan lingkungan disamping
memfokuskan pada stresor dan strain (ketegangan), yang menitikberatkan
pada aspek interaksi yang terjadi antara individu dengan lingkungannya.
Stres tidak hanya dipandang sebagai stresor atau respon saja, tetapi juga
adanya pengaruh yang berupaya untuk mempengaruhi stresor baik melalui
strategi perilaku, kognitif dan emosional. Stres yang terjadi menurut
pandangan pendekatan ini adalah merupakan suatu proses yang melibatkan
individu yang berada dalam lingkungan tertentu. Reaksi stres dalam
pendekatan ini dapat muncul walaupun stresornya sejenis, dengan demikian
35
dapat dikatakan bahwa tumbuhnya kesadaran terhadap stres merupakan
proses yang kompleks dan dinamis.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep stres
terbagi atas tiga yakni stres sebagai stimulus, stres sebagi respon dan stres
sebagai interaksi indivudu dengan lingkungan.
5. Reaksi Stres
Berry & Houston (1993) yang mengemukakan bahwa dalam teori
General Adaption Syndrome (GAS), stres merupakan reaksi pertahanan tubuh
terhadap stresor dan tahapannya adalah sebagai berikut :
a. Reaksi Alarm awal (Initial Alarm Reaction)
Pada tahap ini tubuh merasa melakukan reaksi melalui perubahan sistem
syaraf dan hormonal, yang disebut Fight-or- flight rection. Apabila stres
dapat diatasi maka tubuh kembali normal, namun apabila yang terjadi
sebaliknya maka individu akan mengalami tahapan selanjutnya.
b. Tahap perlawanan (Resistance Phase)
Pada tahap ini tubuh tampak telah kembali normal, namun terdapat tanda-
tanda lain yang menunjukkan masih adanya perlawanan.
c. Tahap kelelahan (Exhaustion phase)
Tahapan ini menunjukkan bahwa masih berada pada kondisi stres
sehingga dapat menyebabkan individu kelelahan fisik atau sakit dan
akhirnya apabila stres terus berlanjut akan menyebabkan kematian.
36
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa reaksi stres
terdapat tiga yakni reaksi alaram awal, reaksi perlawanan dan reaksi
kelelahan.
6. Dampak Stres Kerja
Sarafino & Smith (2011) menjelaskan bahwa stres memiliki dampak,
adapun dampak stres sebagai berikut
a. Deviasi Fisiologis (sistem otot terganggu antara lain tegang, gemetar,
sakit; gangguan organ dalam antara lain: jantung, perut, nafas, buang air
berlebihan; sakit kepala).
b. Deviasi Psikologis (gangguan fungsi kognitif antara lain berfikir,
konsentrasi, ingatan, dan gangguan emosi).
c. Deviasi Perilaku (tidak mau makan/makan berlebihan; tidak bisa tidur;
minum berlebihan; merokok berlebihan; malas beraktivitas).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dampak
stres stres terdapat tiga yakni deviasi fisik, deviasi psikologis dan deviasi
perilaku.
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja.
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stresors.
Meskipun stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stresors, biasanya pegawai
mengalami stres karena kombinasi stresors. Robins (2006) menyebutkan
bahwa penyebab stres (stresor) terdiri atas empat hal utama, yakni:
a. Extra organizational stresors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi,
keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan
37
keadaan komunitas/tempat tinggal. Perbedaan –perbedaan dan perubahan
tersebut di atas seringkali membuat ketidaknyamanan dan sering
menyebabkan konflik sehingga dapat menyebabkan stres.
b. Organizational stresors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam
organisasi. Kebijakan- kebijakan dalam organisasi seringkali bertentangan
dengan pribadi atau individu. Hal tersebut menyebabkan perbedaan
kenyataan dan keinginan yang dapat memicu stres kerja.
c. Group stresors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu,
interpersonal, dan intergrup. Aspek sosial sering disebut sebagai salah satu
penyebeb stres kerja. Kurang adanya dukungan sosial dan kebersamaan
menyebabkan individu merasa sendiri dan tidak berdaya.
d. Individual stresors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan
peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol
personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
Tipe kepribadian A merupakan salah satu tipe kepribadian yang rentan
terhadap stres karena tipe ini cenderung perfectionis dan semangat, ada
kalanya apa yang ditargetkan tidak sesuai dengan harapan, sedangkan
aspek kepribadian yang dapat menghambat stres kerja adalah efikasi diri
yaitu aspek keyakinan akan kemampuan diri (Wangmuba,2009). Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Collins (2007) yang menjelaskan
38
bahwa efikasi diri merupakan salah satu strategi terpenting yang terlibat
dalam mananggulangi terjadinya stress.
Lebih lanjut, Sarafino & Smith (2011) menjelaskan ada tiga sumber
utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres yaitu:
a. Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam
Individu, yaitu faktor yang melekat pada diri individu atau faktor internal
individu seperti: jenis kelamin, tipe kepribadian, faktor kognitif dan lain-
lain. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya
terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi
(kognitif) seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya
untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi.
Sehingga individu tersebut dapat memilih untuk mendekati sumber
masalah atau menjauhinya. Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres
dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu
peristiwa (Sarafino & Smith, 2011).
Aspek kepribadian yang dapat menurunkan stres kerja adalah
efikasi diri yaitu aspek keyakinan akan kemampuan diri
(Wangmuba,2009). Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Collins (2007) yang menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan salah satu
strategi terpenting yang terlibat dalam mananggulangi terjadinya stress.
39
Jex dan Bliese (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa
tinggi rendahnya stres pada individu dalam menghadapi stresor kerja
tergantung tinggi rendahnya efikasi diri yang dimilikinya. Lebih lanjut
penelitiannya juga menemukan bahwa efikasi diri merupakan variabel
penting dalam mempelajari hubungan antara stresor dan stres dikarenakan
ada hubungan sangat kuat antara stresor, stres dan tinggi rendahnya efikasi
diri.
Hal ini semakin dipertegas dengan pernyataan Bandura (1997)
yang menyebutkan bahwa efikasi diri mempengaruhi terhadap kapasitas
dalam mengatasi permasalahan akan berpengaruh pada tingkat stres dan
depresi yang akan dialami seseorang ketika menghadapi situasi-situasi
yang sukar dan mengancam.
b. Faktor Keluarga
Keluarga dapat memberikan kenyamanan yang luar biasa, akan
tetapi juga dapat menjadi sumber stres dan konflik. perselisihan bisa
timbul dari masalah keuangan; tidak pengertian tingkah laku; penggunaan
sumber daya rumah tangga; tujuan yang berlawanan, seperti program
televisi mana yang ditonton. Dari sekian banyak sumber stres dalam
keluarga, kami akan fokus pada tiga: menambahkan anggota keluarga
baru, konflik perkawinan dan perceraian, penyakit yang dialami dan
kematian anggota keluarga.
40
c. Faktor Lingkungan.
Keadaan lingkungan dan suasana hidup bermasyarakat juga
menjadi salah satu faktor penentu stres. yang tidak menentu akan dapat
menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat
terhadap karyawan.
Kontak dengan masyarakat juga dapat menjadi sumber stres.
Misalnya, pengalaman anak-anak stres di sekolah dan di acara-acara
kompetitif, seperti dalam pertunjukan olahraga dan bakat. Banyak stress
Pengalaman orang dewasa dikaitkan dengan pekerjaan mereka dan kondisi
lingkungan tempat mereka tinggal. tuntutan tugas dalam perkerjaan dapat
menjadi sumber stres dalam dua cara. Pertama, beban kerja yang terlalu
tinggi. Sebagian orang bekerja sangat sulit untuk berkerja dalam waktu
berjam-jam atau dalam jangka waktu lama karena mereka merasa
diharuskan untuk melakukannya misalnya, jika mereka membutuhkan
uang atau berpikir atasan mereka akan tidak senang jika mereka tidak
bekerja pada waktu yang telah ditentukan. Studi telah menemukan bahwa
beban kerja yang berlebihan berhubungan dengan peningkatan angka
kecelakaan dan masalah kesehatan (Mackay & Cox, 1978; Quick et al.,
1997). Kedua, beberapa jenis aktivitas pekerjaan yang monoton.
Misalnya, tindakan manual berulang, seperti pada pekerjaan kasir, bisa
membuat stres dan terkait dengan fisik gejala, seperti nyeri leher dan bahu
(Lundberget al., 1999).
41
Beberapa aspek pekerjaan lainnya dapat meningkatkan stres
(Cottington & House, 1987; Mackay & Cox, 1978; Cepat et al., 1997).
Misalnya, stres dapat dihasilkan dari:
1) Lingkungan fisik pekerjaan. Stres meningkat ketika pekerjaan
melibatkan tingkat kebisingan, suhu, kelembaban, atau pencahayaan
(McCoy & Evans, 2005).
2) Kurangnya kontrol yang dirasakan atas aspek pekerjaan. Orang-orang
mengalami stres ketika mereka memiliki sedikit kesempatan belajar
keterampilan baru dan membuat keputusan sendiri (Fitzgerald et al.,
2003).
3) Hubungan interpersonal yang buruk. Stres kerja masyarakat
meningkat ketika rekan kerja atau pelanggan secara sosial kasar atau
memperlakukan mereka secara tidak adil (Fitzgerald et al., 2003).
4) Merasakan pengakuan atau kemajuan yang tidak memadai. Pekerja
merasa stres ketika mereka merasa diperlakukan tidak adil, seperti
kapan mereka tidak mendapatkan pengakuan atau promosi
merekapercaya bahwa mereka layak (Steptoe & Ayers, 2004).
5) Kehilangan pekerjaan dan ketidakamanan. Orang mengalami stres
ketika mereka kehilangan pekerjaan mereka atau berpikir mereka
mungkin akan dihapus atau diletakkan mati.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi stres kerja terdiri dari faktor individu, faktor keluarga dan
faktor lingkungan.
42
4. Cara-cara atau Intervensi Menurunkan Stress Kerja.
Lazurus (2001) mengutarakan bahwa terdapat beberapa intervensi yang
dapat diberikan kepada seseorang yang mengalami stres kerja yang akan
berdampak pada turunya tingkat stres kerja tersebut. Adapun intervensi tersebut
seperti konseling bagi karyawan, pelatihan manajemen stres dan pelatihan
relaksasi.
Rechter (2012) membagi intervensi yang dapat menurunkan stres kerja
dalam tiga kategori intervensi, yakni intervensi primier, sekunder dan tersier.
Intervensi preventif primer bersifat proaktif, yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya stres dengan menghilangkan atau mengurangi stressor. Individu yang
merasa stres berusaha untuk mengatasi sumber stres di tempat kerja-kerja
kondisi, atau stressor, yang meningkatkan risiko stres. Mereka memerlukan
perbaikan dalam cara melibatkan karyawan secara rutin dalam perencanaan
pekerjaan dan pengambilan keputusan, dan perbaikan dalam lingkungan kerja
baik itu secara psikososial dan fisik dalam lingkungan kerja. Contohnya
termasuk perubahan tuntutan pekerjaan dan perancangan ulang pekerjaan, dan
pembentukan komite kesehatan dan keselamatan kerja atau manajemen bersama.
Intervensi sekunder korektif, bertujuan untuk mengubah cara individu
merasakan atau menanggapi stress yang dialaminya dengan cara menghilangkan
atau mengurangi stressor. Contohnya termasuk pengembangan keterampilan
manajemen stres (misalnya manajemen waktu dan keterampilan mengatasi
masalah, meditasi, relaksasi otot).
43
Intervensi tersier bersifat reaktif, yang bertujuan untuk meminimalkan
efek masalah terkait stres setelah terjadi, melalui perawatan atau manajemen
gejala atau penyakit. Contoh termasuk upaya untuk membantu staf dalam
menangani dampak stres di tempat kerja (misalnya, program bantuan karyawan)
dan program rehabilitasi dan kembali kerja bagi mereka yang terkena dampak
oleh penyakit yang berhubungan dengan stres di tempat kerja.
Westman & Etzion (2001) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
mengurangi stres kerja, pada penelitian ini sebelum memberikan perlakuan
mereka memberika skala pretest, setelah itu mereka memberikan perlakuan
dengan memberikan karyawan waktu untuk liburan (tidak masuk kerja), setelah
liburan selesai maka mereka akan kembali masuk kerja dan mengisi skala
posttest. Hasil penelitian menunjukkan bahwa liburan sangat efektif untuk
menurunkan stres kerja seseorang.
Beberapa penelitian ilmiah yang bersifat intervensi dan bertujuan untuk
menurunkan stres kerja telah banyak dilakukan salah satunya penelitian yang
dilakukan oleh Sari, Wahyunigsih dan Astuti (2016) dengan judul penelitian
pelatihan regulasi emosi untuk menurunkan stres kerja pada anggota reskrim.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan regulasi emosi dapat
menurunkan stres kerja anggota reskrim.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Solicha (2014) dengan judul
pelatihan efikasi diri untuk menurunkan stres kerja pada karyawan rumah sakit
jiwa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan stres yang
signifikan antara kelompok ekperimen yang diberikan pelatihan efikasi diri dan
kelompok kontrol yang tidak diberikan pelatihan efikasi diri.
44
Dalam penelitian ini peneliti memilih intervensi pelatihan, karena pada
karakteristik kasus terlihat anggota polisi sabhara mengalami kegagalan untuk
memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau melakukan
suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu sehingga
anggota polisi yang mengalami kegagalan dalam memahami kemampuan
dirianya dalam melaksanakan tugas ini menjadi stres akan tekanan kerja yang
ada. Selain itu pelatihan dirasa cukup efektif sebagai pembelajaran langsung,
sehingga semua peserta dapat terlibat secara aktif dalam setiap sesi pelatihan.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Silberman (1998) bahwa
pembelajaran melalui pengalaman merupakan metode paling efektif untuk
meningkatkan pemahaman dalam proses pelatihan.
B. Pelatihan Efikasi Diri
1. Pengertian Pelatihan Efikasi Diri
Efikasi diri adalah keyakinan tentang sejauh mana individu
memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau
melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu
(Bandura, 1997). Dalam kehidupan sehari-hari, efikasi diri mengarahkan
seseorang untuk menghadapi tantangan. Individu dengan efikasi diri tinggi
akan lebih tekun, sedikit merasa cemas dan tidak mengalami depresi,
sedangkan individu yang memilki efikasi rendah, kurang memiliki
keterampilan sosial, tanggapan terhadap lingkungan disertai kecemasan,
keinginan menghindari interaksi interpersonal serta cenderung lebih depresi
(Bandura, 1997).
45
Secara khusus Wanberg dan Banas (2000) mengemukakan konsep
efikasi diri dalam perubahan sebagai keyakinan akan kemampuan yang dimiliki
oleh individu untuk menangani situasi perubahan dan untuk memfungsikan
dirinya secara lebih baik terhadap pekerjaan yang dijalankan meskipun terjadi
berbagai tuntutan yang berasal dari perubahan orgaanisasi. Conner (dalam
Wanberg dan Banas, 2000) berikutnya menyampaikan bahwa individu-individu
tidak akan menunjukkan kinerja yang baik dalam situasi perubahan ketika
mereka tidak meyakini kemampuan yang dimilikinya. Karyawan-karyawan
yang mempunyai efikasi diri dalam perubahan yang tinggi akan menjaga
perfomansi kerjanya dan melakukan usaha-usaha yang mendukung proses
perubahan meskipun mengalami tekanan-tekanan sebagai ekses dari perubahan
yang terjadi.
Bandura (1997) mengungkapkan bahwa efikasi diri merupakan hasil
proses kognitif sosial yang berwujud keyakinan dan pengharapan serta
keputusan pada kemampuannya dalam bertindak guna memperoleh hasil yang
maksimal. Pengharapan kognitif menurut Bandura dapat diklasifikasikan
menjadi dua golongan, yaitu pengharapan hasil dan pengharapan efikasi.
Pengharapan hasil adalah prediksi individu akan hasil yang diperoleh
berdasarkan perilaku yang dikerjakannya, sedangkan pengharapan efikasi
merupakan keyakinan diri individu pada kemampuan dan tindakan guna
mencapai keberhasilan. Individu dengan efikasi diri tinggi akan mempunyai
mempunyai semangat dan ketekunan yang lebih kuat dalam mengatasi
masalah, serta mampu memobilisasi energi yang lebih besar dalam menghadapi
46
tantangan. Sebaliknya, individu dengan efikasi diri rendah mudah menyerah
dan putus asa bila menghadapi kesulitan dan permasalahan (Bandura, 1997).
Efikasi diri merupakan hasil proses kognitif berupa keputusan,
keyakinan atau pengharapan individu (Bandura, 1997). Individu yang merasa
mampu atau memiliki efikasi diri tinggi akan melihat stresor bukan sebagai
ancaman, sebagaimana individu dengan efikasi diri rendah memandangnya.
Apabila individu merasa tidak dapat mengendalikan situasi dan lingkungan
yang sedang dihadapi atau dirasa mengancam, individu akan mudah gelisah
serta cemas. Sebaliknya, jika individu merasa mampu menghadapi tekanan
lingkungan, maka individu tidak akan merasa cemas. Individu akan melihat
situasi dan lingkungan menekan sebagai sesuatu yang menantang, kemudian
melakukan tindakan matang serta sudah diperhitungkan.
Sudarmaji (dalam Priyantoro, 2002) menyebutkan, efikasi diri memiliki
peranan dalam pengendalian reaksi terhadap ancaman dan tekanan, dimana
keyakinan akan kemampuan yang dimiliki turut menentukan individu untuk
mencoba mengatasi situasi sulit ataupun tidak. Individu yang memiliki efikasi
diri tinggi akan berusaha lebih keras mengatasi semua kesulitan. Individu akan
berusaha mengerahkan seluruh kemampuan sumber daya kognitif, motivasi
dan menentukan atau merencanakan tindakan untuk mencapai situasi yang
diinginkan.
Menurut Bandura (1997), efikasi diri menghasilkan perbedaan dalam
cara berpikir, merasakan dan bertindak. Efikasi diri berpengaruh terhadap
pilihan serta tindakan yang dicapai individu. Keyakinan pada efikasi diri turut
47
menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan individu dan berapa lama
kemampuan individu bertahan dalam menghadapi situasi yang kurang
menguntungkan (Schunk, Henson & Cox, 1987). Efikasi diri mengacu pada
keyakinan akan kemampuan diri untuk menggerakkan motivasi, kemampuan
kognitif serta tindakan yang diperlukan dalam memenuhi tuntutan situasi
(Bandura, 1997).
Bandura (dalam Smet, 1994) mengemukakan, efikasi diri akan
meningkatkan kekebalan terhadap stres, cemas, dan depresi serta mengaktifkan
perubahan-perubahan biokemis yang dapat mempengaruhi berbagai ancaman
aspek fungsi kekebalan. Penelitian menunjukkan, efikasi diri memilki peran
dalam hubungan dengan cemas dan stres yang melibatkan immunosuppression
serta perubahan fisiologis, seperti tekanan darah, detak jantung dan hormon
stres (Bandura, Wiendenfeld, Levine, Leary, Brown & Raska, 1999).
Menurut Nitisemito (1992), pelatihan adalah kegiatan yang bertujuan
memperbaiki, mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan dan pengetahuan
peserta. Pelatihan merupakan program yang diselenggarakan perusahaan untuk
memfasilitasi karyawan agar memperoleh kompetensi yang berkaitan dengan
pekerjaannya (Noe, 2005). Kompetensi tersebut mencakup pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang bisa meningkatkan kinerja karyawan. Metode
dalam pelatihan bisa menggunakan teknik diskusi, ceramah efektif serta proses
pembelajaran langsung dan aktif, dimana para peserta dilibatkan secara aktif
dalam setiap sesi pelatihan.
Pelatihan efikasi diri adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki dan
membantu mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan pada seseorang agar
48
memiliki keyakinan untuk memperkirakan dan melaksanakan suatu tugas atau
tindakan yang diperlukan dalam mencapai tujuan yang ingin dicapainya.
Melalui pelatihan efikasi diri, para peserta dalam hal ini anggota Polri
Ditsabhara akan didorong dan diarahkan untuk merasa, berpikir, memotivasi
diri sendiri maupun perilaku yang akan dimunculkan serta diarahkan untuk
lebih berani menghadapi tantangan. Hal itu didasarkan pada pendapat Bandura
(1997), ketika individu memiliki efikasi diri tinggi, maka individu akan lebih
tekun, sedikit merasa cemas dan tidak mengalami depresi dibanding individu
dengan efikasi diri rendah. Individu menjadi kurang memiliki keterampilan
sosial, tanggapan terhadap lingkungan disertai kecemasan, keinginan
menghindari interaksi interpersonal serta cenderung lebih depresi (Bandura,
1997).
Sebagaimana penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, pelatihan
efikasi diri adalah sebuah kegiatan tersistematis dan terorganisir dengan
proses pembelajaran langsung serta aktif yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan individu sejauh mana individu dapat memperkirakan kemampuan
dalam melaksanakan tugas ataupun tindakan untuk mencapai hasil tertentu.
Kecenderungan tinggi rendahnya efikasi diri sangat tergantung pada penilaian
kemampuan pribadi masing-masing individu.
49
2. Dimensi Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997), efikasi diri seseorang dibedakan atas dasar
beberapa dimensi yang memiliki implikasi terhadap prestasi, antara lain:
a. Magnitude (tingkat kesulitan tugas)
Dimensi tingkat kesulitan tugas berkaitan dengan derajat kesulitan tugas
ketika individu merasa mampu melakukannya. Jika individu dihadapkan
pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi
diri individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang
atau bahkan tugas-tugas paling sulit. Hal itu sesuai batas kemampuan untuk
memenuhi tuntutun perilaku pada masing-masing tingkatan. Dimensi ini
memiliki implikasi terhadap pemilihan perilaku yang dirasa mampu
dilakukan dan menghindari perilaku di luar batas kemampuannya.
b. Generality (luas bidang perilaku)
Dimensi generalisasi berkaitan dengan luas bidang tugas yang dilakukan.
Beberapa keyakinan individu terbatas pada suatu aktivitas maupun situasi
tertentu dan beberapa keyakinan menyebar pada serangkaian aktivitas serta
situasi yang bervariasi.
c. Strength (kemantapan keyakinan)
Dimensi kemantapan keyakinan berkaitan dengan keteguhan hati terhadap
keyakinan pada diri individu, bahwa individu akan berhasil menghadapi
suatu masalah. Dimensi ini seringkali harus menghadapi rasa frustrasi, luka
dan berbagai rintangan lainnya dalam mencapai suatu hasil tertentu.
50
Sebagaimana pemaparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa,
dimensi efikasi diri individu meliputi berbagai keyakinan individu tidak hanya
terbatas pada kemampuan atau kompetensi dalam suatu bidang tertentu. Lebih
jauh, dimensi efikasi diri juga berkaitan dengan kesanggupan dan kekuatan hati
individu dalam menghadapi berbagai situasi serta lingkungan menekan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Skala efikasi diri dalam penelitian ini akan diungkap berdasarkan ketiga
dimensi yang diuraikan Bandura (1997), yaitu: magnitude (tingkat kesulitan
tugas), generality (luas bidang perilaku) dan strength (kemantapan keyakinan).
Efikasi diri dalam penelitian ini difokuskan terkait efikasi diri dalam
pelaksanaan tugas sebagai seorang Anggota Polri yang betugas di fungsi
operasional Direktorat Sabhara yang mana sesuai dengan peraturan kapolri
No.22 tahun 2010 memiliki tugas diantaranya adalah melaksanakan tugas
kepolisian berupa penjagaan, pengaturan, pengawalan, dan patroli atau
disingkat dengan turjawali.
3. Konsep Operasional Pelatihan Efikasi Diri
Pelatihan efikasi diri yang akan dilakukan menggunakan metode
experiental learning (permainan, role play, diskusi), yaitu sebuah metode
pelatihan yang membuat peserta belajar melalui pengalaman. Pelatihan efikasi
diri untuk penurunan stres kerja pada anggota Polri Ditsabhara akan diberikan
berdasarkan konsep operasional pelatihan efikasi diri dengan mengacu sumber-
sumber efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997), antara lain
pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal dan kondisi
psikologis.
51
Sumber efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997), antara lain
pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal dan kondisi
psikologis. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Pencapaian prestasi (Performance attainment), merupakan sumber
pengharapan efikasi yang utama atau penting karena didasarkan pada
pengalaman yang secara langsung dialami oleh individu. Apabila individu
pernah berhasil mencapai suatu prestasi tertentu, maka hal ini dapat
meningkatkan penilaian akan efikasi-dirinya. Pengalaman keberhasilan juga
dapat mengurangi kegagalan, khususnya bila kegagalan tersebut timbul
disaat awal terjadinya suatu peristiwa, bahkan kegagalan tersebut tidak akan
mengurangi usaha yang sedang dilakukan individu dalam menghadapi dunia
luar.
b. Pengalaman orang lain (Vicarious experience), yakni belajar dengan cara
mengamati tingkah laku atau pengamatan terhadap pengalaman orang lain.
Seseorang yang melihat individu lain berhasil melakukan suatu tugas, akan
mengharapkan efikasi dirinya juga meningkat, terutama jika ia merasa
memiliki kemampuan yang sebanding dengan orang yang diamati tersebut,
dan mempunyai usaha yang tekun dan ulet. Mengamati keberhasilan orang
lain, individu akan cenderung merasa mampu melakukan hal yang sama. Ia
berkeyakinan bila orang lain mampu, tentunya dia juga mampu. Hal ini
dapat meningkatkan motivasi individu untuk mencapai suatu prestasi
tertentu. Pengamatan terhadap pengalaman orang lain tergantung pula pada
beberapa hal seperti karakteristik model, kesamaan antara individu dengan
52
model, tingkat kesulitan tugas, keadaan situasional, dan keanekaragaman
hasil yang mampu dicapai oleh model.
c. Persuasi verbal (Verbal persuasion), yaitu orang diarahkan melalui sugesti
dan bujukan untuk percaya bahwa mereka dapat mengatasi masalah-
masalah di masa datang. Persuasi verbal ini bisa mengarahkan orang agar
berusaha lebih keras lagi untuk mencapai kesuksesan dan dapat mendorong
orang untuk lebih giat, ulet dan tekun.
d. Kondisi psikologis (Psychological state), bahwa dalam situasi yang
menekan, kondisi emosional dapat mempengaruhi pengharapan efikasi.
Individu lebih mengharapkan akan berhasil jika tidak mengalami gejolak
fisiologis daripada jika mereka menderita tekanan, goncangan dan
kegelisahan yang mendalam, sebab pengalaman tersebut dapat menurunkan
prestasinya. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu
memberikan suatu isyarat akan terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan.
Oleh karena itu situasi-situasi yang menekan akan cenderung dihindari.
Dengan demikian efikasi-diri dapat ditingkatkan dengan menggunakan
empat sumber informasi efikasi-diri yaitu: pencapaian prestasi, pengalaman
orang lain, persuasi verbal dan kondisi psikologis individu tersebut. Semakin
banyak individu tersebut belajar dan memperoleh informasi efikasi-diri maka
diharapkan tingkat efikasi-diri individu tersebut akan semakin baik.
Keempat sumber efikasi diri tersebut menjadi acuan dalam pembuatan
program pelatihan efikasi diri. Setiap sumbernya diharapkan terwakili dalam
beberapa sesi kegiatan pada rancangan modul pelatihan. Selain itu, setiap sesi
53
pelatihan diharapkan dapat menjadi media pembentukan efikasi diri peserta
secara optimal dan memenuhi proses psikologis yang dibutuhkan.
Adapun rangkaian kegiatan yang dilakukan pada pelatihan efikasi diri
ini, meliputi: pembukaan, pelaksanaan pelatihan, evaluasi pelatihan serta
penutup. Berikut ini adalah uraian setiap sesi pelatihan beserta tujuan yang
hendak dicapai, diantaranya:
1. Sesi Awal (Pembukaan dan Ice Breaking)
Sesi ini menekankan pada pengenalan antar peserta dan fasilitator serta
membangun motivasi peserta agar bersemangat mengikuti pelatihan dengan
memberikan permainan yang bertujuan menghilangkan ketegangan,
sehingga suasana menjadi cair dan peserta lebih akrab.
2. Sesi I (Pencapaian prestasi)
Sesi ini bertujuan mengubah efiksi diri yang paling kuat pengaruhnya pada
diri individu. Peserta diminta mengidentifikasi prestasi masa lalu yang
bertujuan meningkatkan ekspektasi efikasi diri dan membuang kegagalan
masa lalu yang bisa berakibat menurunnya efikasi diri. Peserta akan
diberikan gambaran bahwa dalam mencapai sebuah keberhasilan akan
memberi dampak efikasi berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya.
Semakin sulit tugas, keberhasilan akan membuat efikasi diri semakin
tinggi. Hal ini sesuai dengan salah satu dimensi efikasi diri yaitu magnitude
atau tingkat kesulitan tugas. Melalui kerja sendiri, bisa lebih meningkatkan
efikasi diri dibanding kerja kelompok dan dibantu orang lain hal ini sesuai
dengan dimensi strength yaitu kekuatan dalam menghadapi permasalahan.
Kegagalan dapat menurunkan efikasi diri, jika orang merasa sudah
berusaha sebaik mungkin. Kegagalan dalam suasana emosional atau stres,
54
dampaknya tidak seburuk apabila kondisinya optimal. Kegagalan setelah
individu memiliki efikasi diri yang kuat, dampaknya tidak seburuk jika
kegagalan itu terjadi pada individu dengan efikasi diri rendah. Individu
yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak akan berpengaruh terhadap efikasi
diri yang dimiliki.
3. Sesi II (Pengalaman orang lain lain)
Sesi ini bertujuan meningkatkan pemahaman peserta bahwa efikasi diri
tidak tergantung pada pengalaman kesuksesan sendiri, tetapi efikasi diri
juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Dalam sesi ini peserta
akan diarahkan untuk berfikir secara kognisi bahwa orang lain bisa maka
saya juga harus bisa, hal ini juga senada dengan salah satu dimensi strengh
dalam efikasi diri. Peserta diminta untuk mencoba mengaplikasikan
keterampilan model peran dalam kehidupannya untuk selanjutnya
mempertahankan dan mengafirmasi dirinya.
4. Sesi III (Persuasi verbal)
Sesi ini bertujuan agar peserta diarahkan melalui sugesti dan bujukan untuk
percaya bahwa mereka dapat mengatasi masalah-masalah di masa datang.
Persuasi verbal ini bisa mengarahkan orang agar berusaha lebih keras lagi
untuk mencapai kesuksesan dan dapat mendorong orang untuk lebih giat,
ulet dan tekun. Peserta akan diminta untuk menuliskan sesuatu hal yang
membuatnya selama ini ragu dalam melaksanakan tugas secara rinci,
setelah itu peserta diminta untuk mengucapkan bahwa ia mampu
melakukan tugas tersebut, proses ini nantinya akan menjadi afirmasi diri
bagi peserta bahwa ia mampu menjalankan tugas dengan baik dan benar.
Hal ini sesuai dengan dimensi generality atau perluasan bidang tugas,
55
peserta akan diajak untuk menafirmasi dirinya bahwa dia mampu dan bisa
dengan mengacu pada tugas – tugas yang sejenis sebelumnya. Peserta harus
merasa yakin dan mengafirmasi dirinya bahwa dia bisa dan mampu.
5. Sesi IV (Keadaan fisiologis)
Sesi ini bertujuan memberikan pemahaman kepada peserta bahwa keadaan
fisiologis yang mengikuti suatu kondisi akan mempengaruhi efikasi diri
pada kondisi tersebut. Keadaan fisiologis berupa emosi yang kuat, takut,
cemas dan stres dapat mengurangi efikasi diri. Pada sesi ini peserta akan
dilatih untuk mengelola perasaan cemas, takut dan khawatirnya dengan cara
peserta akan dilatih teknik pernafasan dalam mengatasi emosi yang tidak
stabil.
6. Sesi Penutup
Pada sesi ini peserta akan diberikan lembar monitoring diri setelah
intervensi dan diberikan skala post test untuk mengukur efektifitas dari
intervensi yang diberikan.
Dalam upaya meningkatkan dan membentuk efikasi diri melalui pelatihan
ini, terjadi beberapa tahapan proses yang dikemukakan oleh Bandura (1997), yaitu
a. Proses kognitif
Pengaruh efikasi diri pada proses kognitif individu sangat bervariasi. Pertama,
efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadi individu. Semakin
kuat efikasi diri, maka akan semakin tinggi tujuan yang ditetapkan individu.
Penguatan efikasi diri tersebut berasal dari komitmen individu terhadap tujuan
yang hendak dicapai. Individu dengan efikasi diri yang kuat akan mempunyai
cita-cita tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen pada diri sendiri untuk
56
mencapai tujuan tersebut. Kedua, individu yang memiliki efikasi diri kuat
akan menyiapkan langkah-langkah antisipasi jika usaha pertama gagal
dilakukan.
b. Proses motivasi
Efikasi diri memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi diri,
karena sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif.
Individu memotivasi diri sendiri dan menuntun tindakan-tindakan yang
dilakukan menggunakan pemikiran-pemikiran tentang masa depan, sehingga
individu akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dilakukan.
Individu akan mengantisipasi hasil-hasil dari tindakan untuk merealisasikan
masa depan yang berharga. Ketika menghadapi kesulitan, individu yang ragu
terhadap kemampuan dirinya akan lebih cepat mengurangi usaha-usaha yang
dilakukan atau menyerah. Sebaliknya, individu yang memiliki keyakinan kuat
terhadap kemampuan dirinya akan melakukan usaha lebih besar ketika
individu gagal menghadapi tantangan. Kegigihan atau ketekunan kuat pada
diri individu mendukung pencapaian suatu performansi yang optimal. Efikasi
diri akan berpengaruh terhadap aktivitas yang dipilih, keras tidaknya dan
tekun tidaknya individu dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
c. Proses afeksi
Dalam efikasi diri individu, terdapat kemampuan coping untuk mengatasi
stress dan depresi yang dialami pada situasi sulit serta menekan, selain
mempengaruhi tingkat motivasi individu. Efikasi diri memegang peranan
penting dalam kecemasan, yakni mengontrol terjadinya stres. Individu yang
memikirkan ketidakmampuan coping dalam diri dan memandang banyak
57
aspek lingkungan sekitar sebagai situasi mengancam penuh bahaya, pada
akhirnya hanya akan membuat individu membesar-besarkan ancaman yang
mungkin terjadi dan mudah merasa khawatir terhadap hal-hal yang jarang
terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut, individu akan menekan diri sendiri
dan meremehkan kemampuan yang dimiliki.
d. Proses seleksi
Proses seleksi akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan
diambil oleh individu. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi
yang dipercayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam dirinya,
namun individu telah siap melakukan aktivitas menantang dan memilih situasi
yang dinilai mampu untuk diatasi. Perilaku individu ini akan memperkuat
kemampuan, minat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan, hingga
akhirnya akan berpengaruh terhadap arah perkembangan personal. Hal itu
karena pengaruh sosial berperan dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk
meningkatkan kompetensi, nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam waktu
lama setelah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah
memberikan pengaruh awal.
Berdasarkan asumsi tersebut dinyatakan bahwa, efikasi diri dapat
dibentuk melalui proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi dan proses
seleksi. Keempat proses tersebut menunjang dalam meningkatkan keyakinan
individu menjadi lebih baik, memantapkan keyakinan individu terhadap
kompetensinya serta meningkatkan kemantapan individu terhadap penguasaan
berbagai aktivitas luas yang tidak hanya pada domain tertentu saja.
58
Gambar 1.
Bagan Alur Pelatihan Efikasi Diri
C. Pengaruh Pelatihan Efikasi Diri untuk Menurunkan Stress Kerja
Menjadi seorang Polisi sering kali dianggap sama halnya dengan
menjadi manusia super, dimana semua tugas dan harapan masyarakat
bertumpu kepadanya. Begitu banyaknya tugas dan wewenang sebagai
anggota Polri seringkali dalam pelaksanaan sehari -hari di lapangan terkadang
menemui banyak masalah dalam pekerjaan seperti tidak terpenuhinya target
operasi, tekanan dari atasan, kelelahan psikis dan fisik, waktu kerja yang
tidak menentu, dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini yang berlangsung
setiap hari membuat seorang Polisi rentan terhadap stres kerja.
Stres kerja pada intinya mengacu pada suatu kondisi dari pekerjaan
yang dirasa mengancam individu. Stres kerja muncul sebagai suatu bentuk
ketidakharmonisan antara individu dengan lingkungan kerjanya (Nuzulia,
2005). Kreitner & Kinicki (2001) mengatakan, stres kerja merupakan suatu
SESI I
Aku pasti berhasil
SESI II
Pengalaman oranglain
SESI III
Afirmasi Diri
SESI IV
“Take a deep breath”
Pencapaian Prestasi
Pengalaman Individu Lain
Persuasi Verbal
Kondisi Fisiologis
59
interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerja yang mengubah fungsi
fisik maupun psikis yang normal. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa
stres kerja adalah suatu tuntutan pekerjaan yang tidak dapat diimbangi oleh
kemampuan pekerja. Hal tersebut sangatlah rentan sekali dialami oleh
Anggota Polri dalam pelaksanaan tugas di lapangan sering sekali
mendapatkan kendala-kendala dan hambatan-hambatan baik internal maupun
eksternal. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya adalah deadline kerja
yang tinggi, waktu kerja yang tidak menentu, tuntutan dari atasan, kelelahan
psikis dan fisik dan lain sebagainya.
Sarafino & Smith (2011) mengatakan bahwa stres kerja secara umum
dapat dikategorikan dalam tiga aspek: yaitu fisiologis, psikologis, dan
perilaku. Aspek fisiologis: yaitu tampilan secara fisik yang dapat dilihat
secara langsung. seseorang yang mengalami stres pada umumnya akan
mengalami perubahan secara fisik yang tampak pada raut muka wajah yang
cenderung dingin dan mata menjadi merah. Stres tinggi biasanya disertai
dengan tekanan darah tinggi, sakit jantung, radang tenggorokan. Aspek
psikologis yaitu emosi yang tidak stabil yang membuat seseorang dalam
bertindak tidak berdasarkan atas pertimbangan akan sehat atau berdasarkan
pikiran jernih, gejala yang Nampak biasanya mudah marah, merasa cemas,
tertekan, mudah gugup, cepat tersinggung, dan merasa bosan. Serta aspek
perilaku yaitu gerak-gerik seseorang yang dapat diamati secara langsung
tercermin dalam cara-cara bertindak dan berperilaku yang menyimpang dari
individu seperti bermalas-malasan, bosan, cepat lelah, produktivitas menurun.
60
Menurut Siagian (2008) stres yang tidak diatasi dengan baik akan
menimbulkan efek negatif pada ketidakmampuan individu untuk berinteraksi
secara optimal dengan lingkungan kerjanya yang kemudian akan
mempengaruhi keefektifan performa individu dalam melakukan sebuah
pekerjaan. Sementara menurut Hutabarat (2009) dampak dari terjadinya stres
adalah mempengaruhi keefektifan performa individu dalam melakukan
sebuah tugas, mengganggu fungsi kognitif, menyebabkan burnout,
gangguan psikologis dan fisik.
Dua orang tidak akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap
pekerjaan, karena faktor pribadi juga mempengaruhi tekanan (Dessler, 2007).
Selain itu menurut Siagian (2008) kemampuan mengatasi stres yang dihadapi
individu tidak sama pada semua orang. Banyak faktor internal yang
mempengaruhi individu dalam menghadapi stres, salah satu faktor internal
ialah karakteristik kepribadian. Salah satu karakteristik kepribadian yang
berkaitan dengan cara seseorang untuk bereaksi dengan tekanan yaitu efikasi
diri.
Efikasi diri adalah kepercayaan pada kemampuan diri dalam
mengatur dan melaksanakan suatu tindakan. Menurut Bandura (dalam Feist &
Feist, 2010) efikasi diri merupakan keyakinan individu untuk dapat
mengorganisasi dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dianggap perlu
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Luthans (2011) mendefinisikan efikasi
diri sebagai keyakinan individu tentang kemampuannya untuk menggerakan
motivasi, sumber daya kognitif dan cara bertindak yang diperlukan untuk
61
berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu yang juga dibutuhkan
keterampilan kepemimpinan dan kematangan mental.
Hal ini berhubungan dengan keyakinan tentang apa yang dapat
dilakukan, dan menyangkut seberapa besar usaha yang dikeluarkan individu
dalam suatu tugas dan seberapa lama ia akan bertahan (Bandura, dalam Feist
& Feist, 2010). Jadi, dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan
keyakinan individu untuk mengkoordinir kemampuan dirinya sendiri yang
ditampilkan dengan serangkaian tindakan untuk memenuhi tuntutan dan hasil
tertentu.
Sebuah fakta menunjukkan, pelatihan efikasi diri berhasil
meningkatkan jumlah penganggur untuk memperoleh pekerjaan melalui
pelatihan efikasi diri (Eden & Aviram, 1993). Pelatihan efikasi diri membantu
individu mengendalikan situasi menekan yang dihadapi secara lebih efektif,
sehingga performansinya meningkat setelah mengikuti pelatihan efikasi diri.
Selain itu pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Solicha (2014)
menunjukkan hasil bahwa pelatihan efikasi diri dapat menurunkan stres kerja
yang dialami oleh perawat. Solicha (2014) menemukan fakta bahwa pelatihan
efikasi diri dapat menurunkan stres kerja yang dilami oleh karyawan,
penurunan stres kerja di tandai dengan menurunnya gejala-gejala stres yakni
berkurangnya ketegangan fisik, ketegangan psikis dan mulai terjalinnya
hubungan interpersonal.
62
Menggaris bawahi apa yang dikatakan Eden & Aviram (1993) dan
Solicha (2014), peneliti mencoba mensinergikan dengan pendapat Bandura
(1997), bahwa individu yang memiliki efikasi diri tinggi mempunyai
keyakinan mampu berperilaku tertentu dalam dapat mencapai hasil yang
diinginkan. Individu dengan efikasi diri tinggi akan lebih giat dan tekun
dalam berusaha maupun saat mengatasi tekanan. Sebaliknya, individu yang
memiliki efikasi diri rendah, cenderung mengurangi usaha atau menyerah
ketika dihadapkan pada suatu permasalahan dan beban kerja.
Pada penelitian ini pelatihan efikasi diri dikembangkan berdasarakan
dimensi efikasi diri dan sumber-sumber efikasi diri (Bandura, 1997). Sumber
efikasi diri antara lain pencapaian prestasi, pengalaman individu lain, persuasi
verbal dan kondisi fisiologis. Dimensi efikasi diri antara lain adalah
magnitude, generality dan strength.
Pelatihan dalam penelitian ini akan melibatkan proses yang akan
terjadi dalam efikasi diri seseorang adapun proses tersebut adalah proses
kognitif, motivasi, emosi dan seleksi (Bandura,1997). Dengan adanya proses
ini maka diharapkan peserta pelatihan nantinya akan dapat lebih yakin bahwa
mereka daat menyelesaikan tugas dengan baik dan benar, Sehingga gejala
stres kerja menurut Sarfino & Smith (2011) yakni gejala psikis seperti
kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan
frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian), sensitive. Gejala fisik seperti
kelelahan fisik, meningkatnya denyut jantung, tekanan darah dan
kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi
dari hormon stres, yaitu adrenalin dan noradrenalin, gangguan
63
gastrointestinal, misalnya gangguan lambung. Gejala perilaku dapat seperti
menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya
produktivitas kerja dapat berkurang. Artinya stres kerja dapat berkurang
dengan adanya pelatihan efikasi diri yang diberikan.
Pada penelitian ini, peneliti memberikan pelatihan efikasi diri
terutama terkait dengan efikasi diri dalam pelaksanaan tugas sebagai
anggota Ditsabhara terhadap penurunan stress kerja untuk mengetahui
sejauhmana pengaruh pelatihan efikasi diri terhadap stress kerja yang
dialami sebagian Anggota Ditsabhara Polda DIY. Pelatihan dalam penelitian
ini dikonstruksi dengan matrik berdasarkan teori dari Bandura (1997) terkait
dengan dimensi dan sumber-sumber efikasi diri.
Pada sesi pertama yakni sesi pencapaian prestasi, sesi ini bertujuan
mengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya pada diri individu.
Peserta diminta mengidentifikasi prestasi masa lalu yang bertujuan
meningkatkan ekspektasi efikasi diri dan membuang kegagalan masa lalu
yang bisa berakibat menurunnya efikasi diri. Peserta akan diberikan
gambaran bahwa dalam mencapai sebuah keberhasilan akan memberi
dampak efikasi berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya. Semakin
sulit tugas, keberhasilan akan membuat efikasi diri semakin tinggi. Melalui
kerja sendiri, bisa lebih meningkatkan efikasi diri dibanding kerja kelompok
dan dibantu orang lain. Kegagalan dapat menurunkan efikasi diri, jika
orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin. Kegagalan dalam suasana
emosional atau stres, dampaknya tidak seburuk apabila kondisinya optimal.
Kegagalan setelah individu memiliki efikasi diri yang kuat, dampaknya
64
tidak seburuk jika kegagalan itu terjadi pada individu dengan efikasi diri
rendah. Individu yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak akan berpengaruh
terhadap efikasi diri yang dimiliki.
Pada sesi ini proses pembentukan efikasi diri yang terjadi adalah
proses kognitif sehingga efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan
peserta. Semakin kuat efikasi diri, maka akan semakin tinggi tujuan yang
ditetapkan individu. Proses kognitif yang terjadi adalah peserta akan
mengingat kembali pengalaman kesuksesan yang pernah dilaluinya
sehingga peserta dapat memiliki keyakinan dan pola pikir bahwa mereka
dapat melaksanakan sesuatu hal. Penguatan efikasi diri tersebut berasal dari
komitmen individu terhadap tujuan dicapai. Individu dengan efikasi diri
yang kuat akan mempunyai cita-cita tinggi, mengatur rencana dalam
menyelesaikan tugas dan berkomitmen pada diri sendiri sehingga keyakinan
dirinya akan dapat melakukan tugas dapat meningkat. Peningkatan efikasi
diri yang didapatkan dalam sesi ini diharapkan dapat menurunkan stress
yang dialami ketika menghadapi situasi yang menekan dalam tugas sehari-
hari sehingga gejala stres kerja seperti pusing, sulit berkonsentrasi,
kelelahan emosi dapat menurun, kebosanan dan ketidakpuasan kerja dapat
berkurang dan meningkatnya kualitas hubungan interpersonal dengan
keluarga dan teman.
Pada sesi kedua yakni sesi pengalaman orang lain, sesi ini bertujuan
meningkatkan pemahaman peserta bahwa efikasi diri tidak tergantung pada
pengalaman kesuksesan sendiri saja, tetapi efikasi diri juga dipengaruhi oleh
65
pengalaman individu lain. Peserta diminta untuk mencoba mengaplikasikan
keterampilan model peran dalam kehidupannya.
Pada sesi ini proses pembentukan efikasi diri yang terjadi adalah
proses seleksi, dengan mengamati kesuksesan orang lain maka diharapkan
efikasi diri seseorang akan meningkat. Seseorang akan belajar dalam
mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain yang dapat menyebabkannya
berhasil dalam melaksanakan sesuatu hal, pengalaman keberhasilan yang
berasal dari orang lain akan membuat peserta untuk belajar mengamati serta
memahami kesuksesan orang lain tersebut.
Pada sesi ini peserta diharapkan memiliki keyakinan kuat terhadap
kemampuan dirinya setelah mengamati keberhasilan orang lain lalu
melakukan usaha lebih besar terhadap dirinya sendiri ketika ia menghadapi
tantangan. Kegigihan atau ketekunan kuat pada diri individu mendukung
pencapaian suatu performansi yang optimal dalam menyelesaikan tugas-
tugas yang ada. Ketika seseorang mampu mengamati kesuksesan orang lain
maka ia akan menjadi individu yang gigih, tekun dan mampu mengahadapi
tekanan yang berasal dari internal atau eksternal sehingga efikasi dirinya
menjadi meningkat. Peningkatan efikasi diri yang didapatkan dalam sesi ini
diharapkan dapat menurunkan stress kerja yang dialami ketika menghadapi
situasi yang menekan dalam tugas sehari- hari sehingga gejala stres kerja
seperti perasaan frustrasi, rasa marah,dan sensitif, kelelahan secara fisik dan
merasa tidak mampu melaksanakan tugas akan menurun, hal ini terjadi
karena individu tersebut mampu mengaplikasikan pengalaman kesuksesan
66
orang lain kepada dirinya sehingga peserta memiliki motivasi yang besar
dalam menghadapi tantangan.
Sesi persuasi verbal, sesi ini bertujuan agar peserta diarahkan melalui
sugesti dan bujukan untuk percaya bahwa mereka dapat mengatasi masalah-
masalah di masa datang. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan orang agar
berusaha lebih keras lagi untuk mencapai kesuksesan dan dapat mendorong
orang untuk lebih giat, ulet dan tekun. Peserta akan diminta untuk
menuliskan sesuatu hal yang membuatnya selama ini ragu dalam
melaksanakan tugas secara rinci, setelah itu peserta diminta untuk
mengucapkan bahwa ia mampu melakukan tugas tersebut, proses ini
nantinya akan menjadi afirmasi diri bagi peserta bahwa ia mampu
menjalankan tugas dengan baik dan benar.
Pada sesi ini proses pembentukan efikasi diri yang terjadi adalah
proses seleksi, sehingga peserta dapat melakukan afirmasi diri terhadap
tugas-tugas yang diprioritaskan dapat diselesaikan dengan baik dan benar,
sehingga gejala stres kerja seperti perilaku menunda-nuda pekerrjaan,
menjauh dari tugas dan mangkir dari pekerrjaan dapat menurun. Hal ini
terjadi karena peserta telah mampu menyeeksi kelebihan dan
kekurangannya, oleh karena itu kelemahan akan ditanggulangi dengan
afirmas diri yang ditampakkan dalam bentuk aksi menyelesaikan tugas
tersebut.
67
Sesi Keadaan fisiologis, sesi ini bertujuan memberikan pemahaman
kepada peserta bahwa keadaan fisiologis yang mengikuti suatu kondisi atau
situasi akan mempengaruhi efikasi diri pada kondisi tersebut. Keadaan
fisiologis berupa emosi yang kuat, takut, cemas dan stres dapat mengurangi
efikasi diri. Pada sesi ini peserta akan dilatih untuk mengelola perasaan
tertekan, takut dan khawatirnya dengan cara peserta akan dilatih teknik
pernafasan yang bertujuan untuk mengelola perasaan cemas dan khawatir.
Pada sesi ini proses pembentukan efikasi diri yang terjadi adalah
proses afeksi, dimana peserta dilatih untuk mengontrol emosi berlebihan
yang dimilikinya. Sesi ini diharapkan dapat membuat efikasi diri peserta
meningkat, sehingga peserta memiliki kemampuan coping untuk mengatasi
stress yang dialami pada situasi sulit serta menekan, sehingga ia mampu
menguasi emosinya dan tetap mencoba untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang sedang dhadapinya, sehingga gejala stres kerja seperti perasaan
tertekan dan kelelahan emosi dapat menurun
Pada pelatihan ini, semua anggota polisi yang mengikuti pelatihan
efikasi diri dapat benar-benar memahami dimensi efikasi diri dan sumber-
sumber efikasi yang dimiliki oleh dirinya. Proses-proses pembentukan
efikasi diri baik proses kognitif, motivasi, afeksi dan seleksi dapat diserap
dengan baik oleh peserta pelatihan. Hal ini tentunya akan menjadi peserta
menjadi individu yang memiliki keyakinan yang mantap, tekun, gigih dan
pantang menyerah dalam mengahadapi tantangan yang ada. Sehingga
anggota polisi dapat yakin dan kemampuan dalam melaksanakan tugas
68
ataupun tindakan untuk mencapai hasil tertentu. Dengan keyakinan ini maka
aspek-aspek stres kerja baik gejala fisik seperti sakit kepala, gejala psikis
seperti emosi tidak stabil, perasaan gelisah dan tidak tenang, dan gejala
perilaku seperti perilaku menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari
pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas kerja dapat
berkurang. Peningkatan efikasi diri dari sesi ini diharapkan dapat memiliki
menjadikan keyakinan lehih terhadap pelaksanaan tugas sehari-hari seperti
melakukan evakuasi terhadap korban bencana alam, merasa yakin dan bisa
melaksanakan tugas-tugas yang belum pernah dikerjakan sebelumnya.
D. Landasan Teori
Stres kerja adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara
individu dengan pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik
dan perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam organisasi (Sarafino
& Smith, 2011). Gejala-gejala stres terbagi dalam 3 bentuk yakni gejala fisik
seperti sakit kepala, gejala psikis seperti emosi tidak stabil, perasaan gelisah dan
tidak tenang, dan gejala perilaku seperti perilaki menunda, menghindari
pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan
produktivitas.
Stres memiliki dampak yang negatif bagi individu adapaun dampak stres
adalah terjadinya deviasi Fisiologis (sistem otot terganggu antara lain tegang,
gemetar, sakit; gangguan organ dalam antara lain: jantung, perut, nafas, buang air
berlebihan; sakit kepala). Selanjutnya deviasi Psikologis (gangguan fungsi
kognitif antara lain berfikir, konsentrasi, ingatan, dan gangguan emosi ) dan
69
deviasi Perilaku (tidak mau makan/makan berlebihan; tidak bisa tidur; minum
berlebihan; merokok berlebihan; malas beraktivitas) (Sarafino & Smith, 2011).
Pendekatan terhadap stres pada penelitian ini akan peneliti sandingkan
dengan pendapat Sarafino & Smith (2011) yang menyatakan stres sebagai
interaksi antara individu dengan lingkungan, pendekatan stres sebagai suatu
interaksi antara individu dengan lingkungan disamping memfokuskan pada stresor
dan strain (ketegangan), yang menitikberatkan pada aspek interaksi yang terjadi
antara individu dengan lingkungannya. Stres tidak hanya dipandang sebagai
stresor atau respon saja, tetapi juga adanya pengaruh yang berupaya untuk
mempengaruhi stresor baik melalui strategi perilaku, kognitif dan emosional.
Stres yang terjadi menurut pandangan pendekatan ini adalah merupakan suatu
proses yang melibatkan individu yang berada dalam lingkungan tertentu. Reaksi
stres dalam pendekatan ini dapat muncul walaupun stresornya sejenis, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa tumbuhnya kesadaran terhadap stres merupakan
proses yang kompleks dan dinamis.
Untuk menurunkan stres kerja yang dialami oleh polisi pada penelitian ini
digunakan pelatihan efikasi diri. Pengertian pelatihan adalah suatu kegiatan yang
bertujuan memperbaiki dan membantu mengembangkan sikap, perilaku,
keterampilan dan pengetahuan peserta (Nitisemito, 1992). Peneliti memilih
pelatihan karena menganggap, pelatihan merupakan intervensi yang dirasa cukup
efektif sebagai pembelajaran langsung, sehingga semua peserta dapat terlibat
secara aktif dalam setiap sesi pelatihan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Silberman (1998), bahwa pembelajaran melalui pengalaman merupakan metode
paling efektif untuk meningkatkan pemahaman dalam proses pelatihan. Subjek
70
dapat melakukan aktivitas, memperhatikan, menganalisis aktivitas, mencari
pemahaman analisis lalu menerapkan pengetahuan dan pemahaman ke dalam
perilaku.
Pelatihan efikasi diri yang diberikan, diharapkan mampu membantu
meningkatkan efikasi diri pada anggota Polri dengan harapan stress kerja yang
dialami juga akan mampu diminimalisir. Jex dan Bliese (2001) dalam
penelitiannya menemukan bahwa tinggi rendahnya stres pada individu dalam
menghadapi stresor kerja tergantung tinggi rendahnya efikasi diri yang
dimilikinya. Lebih lanjut penelitiannya juga menemukan bahwa efikasi diri
merupakan variabel penting dalam mempelajari hubungan antara stresor dan
stres dikarenakan ada hubungan sangat kuat antara stresor, stres dan tinggi
rendahnya efikasi diri.
Hal ini semakin dipertegas dengan pernyataan Bandura (1997) yang
menyebutkan bahwa efikasi diri mempengaruhi terhadap kapasitas dalam
mengatasi permasalahan akan berpengaruh pada tingkat stres dan depresi yang
akan dialami seseorang ketika menghadapi situasi-situasi yang sukar dan
mengancam.
Widyasari (2007) mengungkapkan, mengacu pada kepribadian, setiap
individu memiliki kepribadian yang unik, dalam mempersepsi stressor yang
sama dapat dipersepsi secara berbeda-beda. Faktor kunci dari stres adalah
persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk
menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi atau tugas yang sedang
dihadapi. Kemampuan seseorang tersebut berkaitan dengan salah satu
71
karakteristik kepribadian yakni aspek keyakinan akan kemampuan diri, yang
oleh Bandura disebut efikasi diri (Wangmuba, 2009).
Efikasi diri yang dimaksud disini adalah rasa yakin atas kemampuan
diri sendiri sehingga dapat menyelesaikan tugas dengan baik dalam kasus ini
efikasi diri dalam menjalankan tugas kepolisian di bidang operasional Polri pada
Satuan kerja Ditsabhara. Sehingga, banyak kasus yang menunjukkan bahwa,
para anggota Polri yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak muncul
di dalam dirinya suatu keyakinan yang kuat atas kemampuan diri sendiri. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Collins (2007) yang menjelaskan
bahwa efikasi diri merupakan salah satu strategi terpenting yang terlibat dalam
mananggulangi terjadinya stress.
Efikasi diri akan tampak pada tindakan yang dipilih ketika dihadapkan
pada situasi tertentu, dalam pola pikir serta reaksi emosional yang dimunculkan.
Sebagaimana ungkapan Bandura (1997) bahwa individu yang memiliki efikasi
diri tinggi, pada saat menghadapi situasi menekan akan berusaha lebih keras dan
bertahan lama serta lebih aktif dalam berusaha daripada individu yang
mempunyai efikasi diri rendah. Individu akan lebih berani menetapkan target
atau tujuan yang akan dicapai, berusaha melakukan tugas atau tindakan untuk
mencapai tujuan dan berupaya beradaptasi dengan berbagai rintangan dalam
pekerjaan termasuk stress kerja yang dialami. Hal ini juga tentu berlaku pada
Polri dimana apabila tingkat efikasi diri tinggi maka tingkat stress kerjanya akn
rendah.
Individu akan lebih berani menetapkan target atau tujuan yang akan
dicapai, berusaha melakukan tugas atau tindakan untuk mencapai tujuan dan
berupaya beradaptasi dengan berbagai rintangan dalam pekerjaan termasuk
72
stress kerja yang dialami. Hal ini juga tentu berlaku pada Polri dimana apabila
tingkat efikasi diri tinggi maka tingkat stress kerjanya akan rendah.
Pelatihan efikasi diri adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki dan
membantu mengembangkan sikap, perilaku, keterampilan pada seseorang agar
memiliki keyakinan untuk memperkirakan dan melaksanakan suatu tugas atau
tindakan yang diperlukan dalam mencapai tujuan yang ingin dicapainya.
Adapun sesi pada pelatihan efikasi diri ini dibangun dengan kerangka
teori sumber efikasi diri menurut Bandura (1997) yakni pencapaian prestasi,
pengalaman individu lain, persuasi verbal dan kondisi fisiologis.
Sesi pencapaian prestasi, sesi ini bertujuan mengubah efiksi diri yang
paling kuat pengaruhnya pada diri individu. Peserta diminta mengidentifikasi
prestasi masa lalu yang bertujuan meningkatkan ekspektasi efikasi diri dan
membuang kegagalan masa lalu yang bisa berakibat menurunnya efikasi diri.
Peserta akan diberikan gambaran bahwa dalam mencapai sebuah keberhasilan
akan memberi dampak efikasi berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya.
Semakin sulit tugas, keberhasilan akan membuat efikasi diri semakin tinggi.
Melalui kerja sendiri, bisa lebih meningkatkan efikasi diri dibanding kerja
kelompok dan dibantu orang lain. Kegagalan dapat menurunkan efikasi diri, jika
orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin. Kegagalan dalam suasana
emosional atau stres, dampaknya tidak seburuk apabila kondisinya optimal.
Kegagalan setelah individu memiliki efikasi diri yang kuat, dampaknya tidak
seburuk jika kegagalan itu terjadi pada individu dengan efikasi diri rendah.
73
Individu yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak akan berpengaruh terhadap
efikasi diri yang dimiliki.
Pada sesi ini diharapakan peserta akan mendapatkan proses kognitif
sehingga efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan peserta. Semakin kuat
efikasi diri, maka akan semakin tinggi tujuan yang ditetapkan individu.
Penguatan efikasi diri tersebut berasal dari komitmen individu terhadap tujuan
dicapai. Individu dengan efikasi diri yang kuat akan mempunyai cita-cita tinggi,
mengatur rencana dalam menyelesaikan tugas dan berkomitmen pada diri sendiri
sehingga keyakinan dirinya akan dapat melakukan tugas dapat meningkat
sehingga gejala stres kerja seperti pusing, sulit berkonsentrasi, kelelahan emosi
dapat menurun.
Sesi pengalaman orang lain, sesi ini bertujuan meningkatkan pemahaman
peserta bahwa efikasi diri tidak tergantung pada pengalaman kesuksesan sendiri
saja, tetapi efikasi diri juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Peserta
diminta untuk mencoba mengaplikasikan keterampilan model peran dalam
kehidupannya.
Pada sesi ini peserta diharapkan memiliki keyakinan kuat terhadap
kemampuan dirinya akan melakukan usaha lebih besar ketika individu ia
menghadapi tantangan. Kegigihan atau ketekunan kuat pada diri individu
mendukung pencapaian suatu performansi yang optimal dalam menyelesaikan
tugas-tugas yang ada. Pada sesi ini proses yang diharapkan dapat berkembang
adalah proses motivasi, dengan mengamati kesuksesan orang lain maka
74
diharapkan efikasi seseorang dapat meningkat sehingga stres kerja yang tinggi
dapat berkurang.
Sesi persuasi verbal, sesi ini bertujuan agar peserta diarahkan melalui
sugesti dan bujukan untuk percaya bahwa mereka dapat mengatasi masalah-
masalah di masa datang. Persuasi verbal ini bisa mengarahkan orang agar
berusaha lebih keras lagi untuk mencapai kesuksesan dan dapat mendorong
orang untuk lebih giat, ulet dan tekun. Peserta akan diminta untuk menuliskan
sesuatu hal yang membuatnya selama ini ragu dalam melaksanakan tugas secara
rinci, setelah itu peserta diminta untuk mengucapkan bahwa ia mampu
melakukan tugas tersebut, proses ini nantinya akan menjadi afirmasi diri bagi
peserta bahwa ia mampu menjalankan tugas dengan baik dan benar. Pada sesi ini
diharapkan peserta dapat melakukan proses seleksi, sehingga peserta dapat
melakukan afirmasi diri terhadap tuga-tugas yang diprioritaskan dapat
diselesaikan dengan baik, sehingga gejala stres kerja seperti perilaku menunda-
nuda perkerjan, menjauh dari tugas dan mangkir dari perkerjaan dapat menurun
Sesi keadaan fisiologis, sesi ini bertujuan memberikan pemahaman
kepada peserta bahwa keadaan fisiologis yang mengikuti suatu kondisi akan
mempengaruhi efikasi diri pada kondisi tersebut. Keadaan fisiologis berupa
emosi yang kuat, takut, cemas dan stres dapat mengurangi efikasi diri. Pada sesi
ini peserta akan dilatih untuk mengelola perasaan tertekan, takut dan
khawatirnya dengan cara peserta akan dilatih teknik pernafasan yang bertujuan
untuk mengelola perasaan cemas dan khawatir, sehingga efikasi diri dapat
meningkat.
75
Pada sesi ini diharapkan efikasi diri peserta dapat meningkat, sehingga
peserta memiliki kemampuan coping untuk mengatasi stress yang dialami pada
situasi sulit serta menekan, sehingga ia mampu menguasi emosinya dan tetap
mencoba untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sedang dhadapinya, sehingga
gejala stres kerja seperti perasaan tertekan dan kelelahan emosi dapat menurun
Pada pelatihan ini diharapkan semua anggota polisi yang mengikuti
pelatihan efikasi diri dapat benar-benar memahami sumber-sumber efikasi yang
dimiliki oleh dirinya. Sehingga anggota polisi dapat yakin dan kemampuan
dalam melaksanakan tugas ataupun tindakan untuk mencapai hasil tertentu.
Dengan keyakinan ini maka diharapkan aspek-aspek stres kerja baik gejala fisik
seperti sakit kepala, gejala psikis seperti emosi tidak stabil, perasaan gelisah dan
tidak tenang, dan gejala perilaku seperti perilaki menunda, menghindari
pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan
produktivitas kerja dapat berkurang.
Efikasi diri untuk mengatasi tekanan yang ada memainkan peran utama
dalam menentukan tingkat stres. Seseorang yang yakin dapat mengatasi tugas-
tugas yang telah diberikan tidak akan mengalami stres yang berlebih dan berani
menghadapi tekanan dan ancaman yang ada. Sebaliknya mereka yang tidak
yakin dapat melaksanakan tugas-tugas yang ada akan mengalami tingkat stres
yang tinggi yang akhirnya mengarah kepada stres yang merugikan (Solicha,
2014).
76
Gambar 2.
Alur Pelatihan Efikasi Diri Dapat Menurunkan Stress Kerja.
Pelatihan Efikasi Diri
Pencapaian
Prestasi
Pengalaman
individu lain Persuasi
verbal
Keadaan
fisiologis
Efikasi diri meningkat
Proses kognitif Proses motivasi Proses seleksi Proses Afeksi
Stres kerja rendah
Menurunnya gejala stres kerja :
1. Gejala Psikis
2. Gejala Fisik
3. Gejala Perilaku
Dimensi Efikasi Diri
1. Magnitide (Tingkat Kesulitan Tugas)
2. Generality (Luas Bidang Perilaku)
3. Strength (Kemantapan Keyakinan)
Sumber Efikasi Diri
: Bagian
: Menyebabkan
77
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada perbedaan stres kerja pada anggota polisi sabhara antara kelompok
eksperimen yang diberi perlakuan berupa pelatihan efikasi diri dengan
kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Kelompok eksperimen
memerlihatkan skor stres kerja lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol.
2. Ada penurunan stres kerja pada kelompok eksperimen antara sebelum dan
sesudah diberikan pelatihan efikasi diri. Setelah diberikan pelatihan efikasi
diri skor stres kerja lebih rendah dibandingkan sebelum diberi pelatihan
efikasi diri.