bab ii tinjauan pustaka a.stres kerja 1. pengertian stres...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Kerja
Kesehatan (health) diartikan sebagai keadaan (status) sehat utuh secara
fisik, mental (rohani), sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari
penyakit, cacat, dan kelemahan. Penyakit merupakan gangguan fungsi atau
adaptasi dari proses-proses biologis dan psikofisiologis pada seseorang. Stres
merupakan faktor psikologis penting yang bisa menyebabkan gangguan
kesehatan (Depkes RI, 2017).
Berbagai bentuk permasalahan dan kekuatiran lazim dihadapi oleh
individu yang akan menciptakan ketegangan, mempengaruhi emosi, proses
berfikir dan kondisi seseorang. Semakin kompleknya permasalahan hidup dan
semakin bertambahnya populasi manusia telah meningkatkan peluang
seseorang terkena stres. Stres merupakan salah satu gangguan psikologis, oleh
karena itu antara stres dan kesehatan fisik dapat saling mempengaruhi. Stres
bisa menyebabkan menurunnya kondisi fisik, sebaliknya penurunan kondisi
fisik pun bisa menyebabkan stres. Setiap manusia tentu ingin hidupnya sehat
secara fisik dan psikologis, sehingga dua aspek kesehatan ini perlu diperhatikan
secara bersamaan agar setiap individu tidak menjadi individu yang sakit
(Handoko, 2014).
16
17
Hans Selye (1974) dalam Fevre et al (2006) menggolongkan stres
menjadi dua (2) jenis, yaitu:
a. Eustress: Terjadi ketika ada kesenjangan antara apa yang dimiliki dan apa
yang diinginkan, tujuannya tidak terlalu jauh dari jangkauan, tapi individu
dapat menangani kesenjangan ini. Eustress mendorong tantangan dan
motivasi karena tujuannya sudah di depan mata. Eustress ditandai dengan
harapan dan keterlibatan aktif. Eustress memiliki korelasi positif bermakna
dengan kepuasan hidup dan harapan.
b. Distress: lawan dari eustress. Distress adalah keadaan tidak
menyenangkan ketika seseorang tidak mampu beradaptasi sepenuhnya
terhadap stressor dan stres yang dihasilkannya menunjukkan perilaku
maladaptif. Hal ini dapat terlihat dengan adanya berbagai fenomena,
seperti interaksi sosial yang tidak pantas (misalnya, agresif, pasif, atau
penarikan diri). Dalam penelitian ini yang diteliti adalah distress stres
kerja.
Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berpikir dan kondisi seseorang (Handoko, 2014 ). Stress yang terlalu besar dapat
mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya, sebagai
hasilnya pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang
dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Stress dapat juga membantu atau
fungsional, tetapi juga dapat berperan salah atau merusak prestasi kerja. Secara
sederhana hal ini berarti bahwa stress mempunyai potensi untuk mendorong atau
mengganggu pelaksanaan kerja, tergantung seberapa besar tingkat stress yang
18
dialami oleh karyawan tersebut. Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi proses berpikir, emosi, dan kondisi seseorang, hasilnya stres yang
terlalu berlebihan dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungan dan pada akhirnya akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya.
Spielberger (Handoyo, 2001) mendefinisikan stres sebagai tekanan,
ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari dalam atau
luar diri seseorang. Stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa
tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja tampak
dari gejala antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri,
sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup,
tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan.
Gibson (2006) menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan
penyesuaian diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu dan atau
proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar
(lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan
atau fisik berlebihan kepada seseorang.
Stress kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya
ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses pikir, dan
kondisi seorang karyawan. Stress yang terlalu besar dapat mengancam
kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan dan pada diri karyawan
berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan
kerja mereka (Rivai, 2009).
.
19
Menurut Robbins (2008) stress kerja diartikan sebagai suatu kondisi yang
menekan keadaan psikis seseorang dalam bekerja, untuk mencapai kesempatan
kerja tersebut terdapat batasan atau penghalang. Suatu kondisi dinamis seorang
individu dalam pekerjaannya dihadapkan pada peluang, tuntutan atau sumber daya
yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan hasilnya di
pandang tidak pasti dan penting. Stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja
dengan sifat-sifat pekerja yang mengubah fisik maupun psikis yang baik menjadi
menurun atau buruk. Ini menunjukkan bahwa stres kerja merupakan tuntutan
pekerjaan yang tidak diimbangi oleh kemampuan karyawan. Sebaliknya, stres
kerja merupakan peluang bila stres menawarkan perubahan kearah lebih baik.
Stres kerja bisa bernilai positif bila mendapatkan manfaat stres untuk perubahan,
meninggikan mutu kerja, kepuasan kerja.
Stres kerja (dalam kontek distress) meyebabkan perasaan tertekan yang
dialami oleh karyawan dalam menghadapi pekerjaannya. Sesuatu yang terlihat
sebagai ancaman baik nyata maupun imajinasi, perasaan takut atau marah.
Perasaan ini dapat muncul berupa sikap yang pesimis, tidak puas, produktivitas
rendah dan sering tidak masuk bekerja. Emosi, sikap dan perilaku yang
mempengaruhi stres dapat menimbulkan masalah kesehatan, namun ketegangan
dapat dengan mudah muncul akibat kejenuhan yang timbul dari beban kerja yang
berlebihan. Setiap pekerjaan memiliki tingkat tantangan dan kesulitan yang
berbeda-beda. Manajemen stres kerja yang efektif akan dapat mempertahankan
rasa pengendalian diri dalam lingkungan kerja, sehingga beberapa urusan akan
diterima sebagai tantangan bukan ancaman (National Safety Council, 2003).
20
Nursalam (2003) menjelaskan bahwa profesi perawat merupakan salah
satu profesi yang sangat beresiko mengalami stres kerja. Pelayanan keperawatan
merupakan subsistem dari pelayanan kesehatan yang saling keterkaitan dengan
beberapa subsistem seperti pelayanan medis, dan pelayanan kesehatan lain, dalam
upaya penyembuhan pasien. Bentuk pelayanan profesional keperawatan berupa
pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu baik sehat maupun
sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis dan sosial agar dapat mencapai
derajat kesehatan yang optimal. Perawat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan
primer maupun rujukan yang melaksanakan pelayanan kesehatan kesehatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.
Stres kerja yang dialami perawat akan berdampak kepada kinerjanya dan
mempengaruhi mutu pelayanan asuhan keperawatan pada pasien. Stres kerja
perawat dapat terjadi apabila perawat dalam bertugas mendapatkan beban kerja
yang melebihi kemampuannya sehingga perawat tersebut tidak mampu memenuhi
atau menyelesaikan tugasnya, maka perawat tersebut dikatakan mengalami stres
kerja. Menurut Swedarma (dalam Fitria, 2006) kurangnya kapasitas perawat
dibandingkan jumlah pasien menyebabkan perawat akan mengalami kelelahan
dalam bekerja karena kebutuhan pasien terhadap asuhan keperawatan lebih
besar dari standar kemampuan perawat. Hal tersebut dibenarkan dengan hasil
penelitian juga Ree dan Cooper (dalam Suryanita, 2001) yang menyatakan
bahwa perawat memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibanding dengan anggota
medis lainnya.
21
Berdasarkan uraian diatas penulis cenderung mengikuti pendapat Robbin
yang menjelaskan bahwa stres kerja pada perawat adalah suatu kondisi tekanan
yang mempengaruhi keadaan fisik, psikis dan perilaku perawat yang berasal dari
dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja
mereka dalam menjalankan pelayanan asuhan keperawatan.
2. Gejala-Gejala Stres kerja
Robbins (2008) mengemukakan bahwa terdapat tiga (3) kategori umum
gejala stres kerja, yaitu:
a. Gejala fisiological : sakit perut, detak jantung meningkat dan sesak
nafas, tekanan darah meningkat, sakit/ pusing kepala.
b. Gejala psikological: kecemasan, ketegangan, kebosanan, ketidakpuasan
dalam bekerja, irritabilitas/ mudah tersinggung.
c. Gejala behavior / perilaku: menunda-nunda pekerjaan, meningkatnya
ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok, melakukan sabotase
dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang
tidak wajar sebagi perilaku menarik diri, tingkat absensi/ ketidakhadiran
meningkat dan performa kerja menurun, gelisah dan mengalami gangguan
tidur, berbicara cepat.
Situasi yang menekan pekerja dan menyebabkan stres kerja dapat
menimbulkan respons pada subjek, perilaku, kognitif, fisiologis menurut Cox
(dalam Gibson, 2000) yaitu:
22
a. Respons pada subjek, meliputi kecemasan, agresi, acuh, kebosanan,
depresi, keletihan, frustrasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup,dan
merasa kesepian.
b. Respons pada perilaku, meliputi kecenderungan mendapat kecelakaan,
alkoholik, penyalahgunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba meledak,
makan berlebihan, merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati,
dan tertawa gugup.
c. Respons pada kognitif, meliputi ketidakmampuan mengambil keputusan
yang jelas, konsentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat
peka tehadap kritik,dan rintangan mental.
d. Respons pada fisiologis, misalnya meningkatnya kadar gula,
meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut,
berkeringat, membesarnya pupil mata,dan tubuh panas dingin.
Menurut Luthans (2006) dampak stres kerja pada karyawan adalah sebagai
berikut:
a. Masalah kesehatan fisik diantaranya adalah masalah sistem kekebalan
tubuh, masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan
penyakit jantung, masalah sistem musculoskeletal, seperti sakit kepala dan
sakit punggung, masalah sistem gastrointestinal, seperti diare dan
sembelit.
b. Masalah Psikologis antara lain yaitu tingkat stres tinggi mungkin disertai
dengan kemarahan, kecemasan, depresi, gelisah, cepat marah, tegang, dan
bosan. Sebuah studi menemukan bahwa dampak stres yang paling kuat
23
adalah pada tindakan agresif, seperti sabotase, agresi antar pribadi,
permusuhan, dan keluhan. Jenis masalah psikologis tersebut relevan
dengan kinerja yang buruk, penghargaan diri yang rendah, benci pada
pengawasan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat
keputusan, dan ketidakpuasan kerja.
c. Masalah perilaku, perilaku langsung yang menyertai tingkat stres yang
tinggi mencakup makan sedikit atau perubahan makan berlebihan, tidak
dapat tidur, merokok dan minum, dan penyalahgunaan obat-obatan.
Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas penulis cenderung mengikuti
pendapat Robbin bahwa gejala stres kerja meliputi gejala fisiological, gejala
psikological, gejala behavior / perilaku. Gejala fisiological : sakit perut, detak
jantung meningkat dan sesak nafas, tekanan darah meningkat, sakit kepala,
serangan jantung. Gejala psikological: kecemasan, ketegangan, kebosanan,
ketidakpuasan dalam bekerja, irritabilitas. Gejala behavior / perilaku: menunda-
nunda pekerjaan, meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi
rokok, melakukan sabotase dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun
mengurangi makan yang tidak wajar sebagi perilaku menarik diri, tingkat absensi
meningkat dan performansi kerja menurun, gelisah dan mengalami gangguan
tidur, berbicara cepat.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja
Stres kerja tidak selalu membuahkan hasil yang buruk dalam kehidupan
manusia. Selye membedakan stres menjadi yaitu distress yang destruktif dan
24
eustress yang merupakan kekuatan positif. Stres kerja diperlukan untuk
menghasilkan prestasi yang tinggi. Semakin tinggi dorongan untuk berprestasi,
makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Demikian pula sebaliknya stres
kerja dapat menimbulkan efek yang negative yaitu stres kerja dapat berkembang
menjadikan tenaga kerja sakit, baik fisik maupun mental sehingga tidak dapat
bekerja lagi secara optimal (Sunyoto, 2001).
Individu adalah unik dan berbeda-beda ketika merespon stres kerja.
Perbedaan individu dalam menghadapi stres kerja menurut Robbin (2008)
sekurang-kurangnya memiliki lima (5) variabel: persepsi, pengalaman kerja,
dukungan social, ruang (lokus) kendali, keefektifan diri.
a. Persepsi dan penafsiran terhadap stres mempengaruhi respon negative
atau positif yang terjadi. Karyawan dengan pengalaman kerja lebih
banyak cenderung mudah menyesuaikan diri dan lebih sedikit stres.
b. Dukungan social rekan kerja/ hubungan kolegial rekan kerja dapat
sebagai pereda, mengurangi dampak negative stres.
c. Ruang (lokus) kendali internal sebagai atribut kepribadian
mengendalikan tujuan akhir mereka sendiri, dan berpengaruh besar
pada hasil positif, bisa mengendalikan peristiwa.
d. Keefektifan diri setiap individu dalam melakukan pengelolaan setiap
tantangan, masalah yang dihadapi dalam bekerja mempengaruhi
dampak stres kerja. Individu yang mampu malukukan pengendalian
atas suatu situasi sehingga langkah kerja, urutan kerja, pengambilan
25
keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas dan kendali
jadwal mampu mengurangi dampak negative stres kerja.
Robbin (2008) menjelaskan ada tiga sumber utama yang dapat
menyebabkan timbulnya stres yaitu :
1. Faktor Lingkungan.
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh
pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam
faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stress bagi
karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat
karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang
mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan
teknologi yang begitu cepat. Perubahan-perubahan baru terhadap teknologi
yang berkembang sangat cepat akan membuat keahlian seseorang dan
pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat
terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya
teknologi yang digunakannya.
2. Faktor Organisasi.Setiap organisasi dapat memiliki beberapa faktor yang dapat menimbulkan
stress yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure
dan organizational leadership. Pengertian dari masing-masing faktor
organisasi tersebut adalah sebagai berikut :a. Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu
organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk
26
memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu
organisasi tersebut.b. Interpersonal Demands
Tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi.
Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan
karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak
sehat, sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang
berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan
sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan
lainnya.c. Organizational Structure
Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan
tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat
keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi kinerja
seorang karyawan dalam organisasi.d. Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan
dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan
group, Robbins, dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih
mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung
antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin
yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam
mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri
adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah
27
yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu
kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana
semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan hasilnya diterima
sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting.
3. Faktor Individu.
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga,
masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan
pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada
pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam
pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana
seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi
kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan
seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat
menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh
seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-tiap
pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.
Pendapat lain dari Gibson (2006) menyatakan bahwa penyebab stres kerja
ada 4 (empat) yaitu:
a. Lingkungan fisik
Penyebab stres kerja dari lingkungan fisik berupa cahaya, suara, suhu,
dan udara terpolusi.
b. Individual
28
Tekanan individual sebagai penyebab stres kerja terdiri dari:
1). Konflik peran
Stressor atau penyebab stres yang meningkat ketika seseorang
menerima pesan - pesan yang tidak cocok berkenaan dengan
perilaku peran yang sesuai. Misalnya adanya tekanan untuk bergaul
dengan baik bersama orang - orang yang tidak cocok.
2). Peran ganda
Untuk dapat bekerja dengan baik, para pekerja memerlukan
informasi tertentu mengenai apakah mereka diharapkan berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Peran ganda adalah tidak adanya
pengertian dari seseorang tentang hak, hak khusus dan kewajiban-
kewajiban dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
3). Beban kerja berlebih
Ada dua tipe beban berlebih yaitu kuantitatif dan kualitatif.
Memiliki terlalu banyak sesuatu untuk dikerjakan atau tidak cukup
waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan merupakan beban
berlebih yang bersifat kuantitatif. Beban berlebih kualitatif terjadi
jika individu merasa tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan pekerjaan mereka atau standar penampilan
yang dituntut terlalu tinggi.
4). Tidak adanya control
Suatu stresor besar yang dialami banyak pekerja adalah tidak
adanya pengendalian atas suatu situasi sehingga langkah kerja,
29
urutan kerja, pengambilan keputusan, waktu yang tepat, penetapan
standar kualitas dan kendali jadwal merupakan hal yang penting.
5). Tanggung jawab
Setiap macam tanggung jawab bisa menjadi beban bagi seseorang,
namun tipe kepribadaian seseorang yang berbeda dalam menerima
tanggung jawab dapat menghasilkan dampak yang berbeda-beda
ketika menghadapi stresor.
6). Kondisi kerja.
Situasi lingkungan pekerjaan baik fisik maupun psikologis sangat
berpengaruh dengan ketenangan dan kenyamanan bekerja.
c. Kelompok
Keefektifan setiap organisasi dipengaruhi oleh sifat hubungan diantara
kelompok. Karakteristik kelompok menjadi stresor yang kuat bagi
beberapa individu. Ketidakpercayaan dari mitra pekerja secara positif
berkaitan dengan peran ganda yang tinggi, yang membawa pada
kesenjangan komunikasi diantara orang- orang dan kepuasan kerja
yang rendah. Atau dengan kata lain adanya hubungan yang buruk
dengan kawan, atasan, dan bawahan.
d. Organisasional
Adanya desain struktur organisasi yang jelek, politik yang jelek dan
tidak adanya kebijakan khusus.
Berdasarkan uraian di atas penulis cendrung mengikuti pendapat Robbin
yang mengatakan bahwa terdapat tiga sumber utama yang dapat menyebabkan
30
timbulnya stres kerja yaitu factor lingkungan, organisasi, individu. Perbedaan
dalam menghadapi stres kerja memiliki lima (5) variabel yaitu persepsi,
pengalaman kerja, dukungan sosial, locus of control dan keefektifan diri. Variabel
bebas penelitian ini menggunakan variabel dukungan sosial rekan kerja yang
meliputi gejala fisiologis, psikologis, perilaku dan locus of control internal yang
meliputi faktor kemampuan dan usaha. Variabel dukungan sosial rekan kerja
dipilih karena dukungan sosial rekan kerja penulis anggap mewakili faktor
ekternal dalam diri individu yang mempengaruhi stres kerja, sedangkan variabel
locus of control internal dipilih karena sebagia faktor internal yang mempengaruhi
stres kerja. Pemilihan variabel dukungan sosial rekan kerja ini diperkuat dengan
penelitian Musyaddat (2017) bahwa dukungan sosial memiliki pengaruh negative
dan signifikan dengan stres kerja. Pemilihan variabel locus of control internal
diperkuat dengan hasil penelitian Karimi (2011) yang menjelaskan bahwa locus of
control adalah sebagai factor yang efektif dan berpengaruh menurunkan stres
kerja.
B. Dukungan Sosial Rekan Kerja
1. Pengertian
Dukungan Sosial menurut Pierce et al. (dalam Lane, 2004) sebagai
transaksi sosial yang dirasakan oleh penerima, dimaksudkan untuk memfasilitasi
penanggulangan terhadap hal tertentu dalam kehidupan sehari-hari salah satunya
31
adalah dalam menanggulangi stres. Secara lebih sederhana dukungan sosial dapat
didifinisikan sebagai bantuan yang diterima melalui hubungan interpersonal.
Veiel dan Baumann (dalam Lane, 2004) menyatakan bahwa dukungan
sosial (social support) didefinisikan dan diukur dari dua perspektif, yaitu
dukungan struktural dan dukungan fungsional. Struktural konsep dukungan sosial
menaruh perhatian terhadap kelekatan sosial individu. Lebih khusus, Thoits
(dalam Lane, 2004) berpendapat bahwa definisi struktural dukungan sosial
mengacu pada kumpulan individu yang terikat terhadap satu sama lain, terhadap
banyaknya hubungan yang dimiliki dan frekuensi komunikasi dengan individu
dari beragam jaringan. Pembahasan mengenai komposisi jaringan sosial individu
menjadi pusat perhatian dan tidak mengikutsertakan evaluasi secara individual.
Komposisi jaringan sosial individu dapat berupa ukuran jaringan, operasionalisasi
anggota jaringan (bagaimana individu saling mengenal) melalui nama dan
frekuensi komunikasi. Seiring perkembangannya, para peneliti mengembangkan
pendapat lain untuk memahami dukungan sosial, yaitu dukungan fungsional. Hal
tersebut disebabkan definisi dukungan fungsional tidak hanya memperhatikan
eksisitensi hubungan antar individu, tetapi juga memperhatikan maksud (untuk
tujuan apa) hubungan tersebut terjadi.
Definisi fungsional dukungan sosial merujuk pada adanya indikasi bahwa
individu menjalankan sebuah fungsi untuk mendukung seseorang. Lebih jelasnya,
Cobb (dalam Lane, 2004) mendefinisikan dukungan sosial sebagai persepsi
individual bahwa individu dicintai, dihargai, diakui sebagai aset dalam jaringan.
Berbeda dengan definisi struktural dukungan sosial yang menekankan kelekatan
32
individu dalam hubungan interpersonal, definisi fungsional dukungan sosial
mengukur dua sisi, yaitu: perceived social support, yaitu ketersediaan dukungan
yang dirasakan individu saat membutuhkan dan received social support, yaitu
dukungan aktual atau yang diterima individu pada saat itu (Lane, 2004).
Pierce (dalam Kail and Cavanaug, 2000) mendefinisikan dukungan sosial
sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh
orang- orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis
yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Gottlieb (dalam Smet, 1994)
menyatakan dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun
non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang
lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.
Sarafino (2008) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada
memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya,
dukungan sosial ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain,
dimana bantuan itu umunya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang
bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah
laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat
membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.
Dukungan sosial selain bisa memberikan manfaat juga bisa menimbulkan
efek negative terhadap orang yang diberikan dukungan sosial. Dalam Sarafino
(1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial,
antara lain :
33
a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu.
Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup,
individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional
sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.
b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
individu.
c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti
melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu
yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi
yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu
menjadi tergantung pada orang lain.
Setiap individu membutuhkan penguatan dari luar untuk mampu bertahan
dan menjalankan tuntutan profesinya. Seorang perawat membutuhkan dukungan
dari rekan kerja dan atasan (dukungan sosial rekan kerja) supaya hasrat yang
tinggi terhadap profesi mampu dikeluarkan dalam bentuk perilaku nyata yang
selaras dengan nilai dan tuntutan profesi (komitmen karier). Greenglass dkk.
(dalam Lane, 2004) memberi penguatan bahwa dukungan dari rekan kerja
merupakan dukungan yang lebih efektif karena pekerja memiliki komunikasi yang
lebih intens dengan rekan kerja di tempat kerja. Dukungan sosial rekan kerja
(coworker support) dapat sebagai bantuan emosional dan instrumental yang
diperoleh individu dari hubungan interpersonal dengan rekan kerja. Serangkaian
dukungan sosial rekan kerja dapat diintegrasikan dan ditarik sebuah makna
34
mengenai dukungan sosial rekan kerja yaitu perasaan positif yang dirasakan oleh
individu karena hadirnya satu atau lebih rekan kerja yang bersikap peduli/ care,
bersedia mendengarkan dengan simpatik saat individu mengalami masalah, dan
peduli terhadap perkembangan individu dalam profesi (dukungan emosional),
serta perasaan positif yang dirasakan oleh individu karena memperoleh bantuan
(secara fisik) atau mendapat sesuatu (benda fisik) dari rekan kerja sehingga dapat
meringankan masalah ataupun membantu untuk berkembang dalam pekerjaan
(dukungan instrumental).
Untuk menangani tugas dan mengurangi beban kerja perawat dalam
bekerja diperlukan dukungan sosial dari berbagai unsur. Dukungan sosial
merupakan suatu kebersamaan sosial, di mana individu berada di dalamnya, yang
memberikan beberapa dukungan seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dan
dukungan emosional sehingga individu merasa nyaman (Luthans, 2006).
Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan emosi yang berbentuk dorongan
membesarkan hati, memberikan ungkapan penghargaan, dukungan material serta
memberikan informasi yang dapat memberikan sebuah solusi atas masalah yang
dihadapi. Dukungan sosial dari rekan kerja, (atasan, teman kerja, tim kerja) dapat
berupa persahabatan, menciptakan situasi tolong-menolong, dan kerja sama yang
menyenangkan (Sunyoto, 2012).
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis cenderung mengikuti pendapat
Sarafino bahwa dukungan sosial rekan kerja adalah dukungan atau bantuan yang
diterima dan berasal dari rekan kerja. Bentuk dukungan ini dapat berupa infomasi,
35
tingkah laku tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang
menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai.
2. Aspek - Aspek Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang,
kepedulian, dan penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima
dukungan sosial akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan
merupakan bagian dari lingkungan sosialnya (Sarafino, 2006). Dukungan sosial
diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan
sosialnya, dan bisa berasal dari siapa saja, keluarga, pasangan (suami/istri),
teman, maupun rekan kerja. Kenyamanan psikis maupun emosional yang
diterima individu dari dukungan sosial akan dapat melindungi individu dari
konsekuensi stres yang menimpanya (Taylor, 2003).
Dukungan Sosial dapat dipahami melalui sudut pandang sumber‟
dukungan . Dukungan Sosial (terutama dalam konteks dunia kerja) dapat‟
dipahami berdasarkan dua sumber dukungan yaitu Work Support merupakan
dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari dalam (internal) dunia
kerja, yaitu: dukungan dari atasan (Supervisor Support) dan dukungan dari
rekan kerja (Coworker Support) dan Non-Work Support merupakan dukungan
yang diperoleh individu yang berasal dari luar (eksternal) dunia kerja, seperti:
dukungan dari keluarga, teman, dan sebagainya (Lane, 2004)
Dukungan sosial adalah sebagai seseorang untuk menunjukkan atau
memberikan kasih sayang, perhatian, penghargaan atau bantuan kepada orang
36
lain. Aspek–aspek dukungan sosial nenurut Sarafino (2008), ada lima bentuk
dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan emosional (emotional support).
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional
merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan
didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan
memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi,
mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram,
diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam
hidup mereka. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan
merasa nyaman, tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika
dia mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat,
kehangatan personal, dan cinta.
b. Dukungan penghargaan (esteem support).
Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan penghargaan yang
positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu
dengan individu lain, seperti misalnya perbandingan dengan orang-
orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. Hal seperti
ini dapat menambah penghargaan diri. Individu melalui interaksi
dengan orang lain, akan dapat mengevaluasi dan mempertegas
keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan,
37
dan perilaku orang lain sehingga dukungan ini dapat menyebabkan
individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai
dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan sosial akan sangat
berguna ketika individu mengalami stres bekerja karena tuntutan tugas
yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.
c. Dukungan instrumental (instrumental support).
Dukungan instrumental paling sederhana, mencakup bantuan langsung
yang dapat berupa jasa, waktu, atau uang. Misalnya pinjaman uang
bagi individu atau pemberian pekerjaan saat individu mengalami stres.
Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya.
d. Dukungan informasi (informational support).
Dukungan informasi mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk,
saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini membantu
individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan
pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi
tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan
masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga membantu
individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme
penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. Orang-orang
yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan informasi
dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat
dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres.
38
Misalnya individu mendapatkan informasi dari dokter tentang
bagaimana mencegah penyakitnya kambuh lagi.
e. Dukungan jaringan sosial (companionship support)
Dukungan jaringan sosial mencakup perasaan keanggotaan dalam
kelompok, dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa
dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-
anggotanya dapat saling berbagi, misalnya menemani orang yang
sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi. Dukungan jaringan
sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling
berbagi kesenangan dan aktivitas sosial.
Menurut Cohen dan Syme (1985), terdapat empat aspek dukungan
sosial, yaitu:
a. Dukungan emosional.
Dukungan ini terdiri dari empati, cinta, dan kepercayaan yang di
dalamnya terdapat pengertian, rasa percaya, penghargaan dan
keterbukaan.
b. Dukungan informative.
Berupa informasi, nasehat, dan petunjuk yang diberikan untuk
menambah pengetahuan seseorang dalam mencari jalan keluar
pemecahan masalah.
c. Dukungan instrumental.
39
Seperti penyediaan sarana yang dapat mempermudah tujuan yang ingin
dicapai dalam bentuk materi, pemberian kesempatan waktu, pekerjaan,
peluang serta modifikasi lingkungan.
d. Dukungan jaringan sosial berupa penilaian positif, berupa pemberian
penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, memberi umpan balik
mengenai hasil atau prestasi, penghargaan dan kritik yang membangun.
Berdasarkan uraian diatas penulis cenderung mengikuti pendapat dari
Sarafino bahwa dukungan sosial terdiri dari aspek-aspek: dukungan emosional
(emotional support), dukungan penghargaan (esteem support), dukungan
instrumental (instrumental support), dukungan informasi (informational support),
dukungan jaringan sosial (companionship support) yang berasal dari rekan kerja/
orang-orang yang berhubungan dengan lingkup kerja.
3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial
Sarason (1990) berpendapat bahwa dukungan sosial mencakup dua hal
yaitu:
a. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia, merupakan persepsi individu
terhadap sejumlah orang diandalkan saat individu membutuhkan bantuan
(pendekatan berdasarkan kuantitas).
b. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima, berkaitan dengan
persespi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan
berdasarkan kualitas).
40
Dukungan sosial jika dikaitkan dengan dukungan dari rekan kerja yang
merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya stres kerja menurut Santrock
(2008) meliputi : dukungan kerluarga, yaitu merupakan tempat pertumbuhan dan
perkembangan seseorang; dukungan teman bergaul/ teman kerja , yaitu orang
yang bergaul membutuhkan suatu dorongan moral dari teman yang ada
disekitarnya; dukungan masyarakat, yaitu masyarakat yang mendukung,
menerima dan menyukai serta mengerti kelebihan dan kekurangan individu.
Dukungan sosial yang diterima individu akan mempengaruhi cara individu dalam
mengatasi masalah, bahkan akan menimbulkan perasaan positif. Dukungan positif
dapat mengurangi stres dalam bekerja dan sebagai sumber pendukung untuk
menyesuaikan diri terhadapa perubahan yang dialami.
Faktor yang mempengaruhi dukungan sosial menurut Cohen (2013) adalah
sebagai berikut:
a. Pemberi dukungan.
Pemberi dukungan merupakan orang-orang yang memiliki arti penting dalam
pencapaian hidup sehari-hari. Dukungan yang diterima melalui sumber yang
sama akan lebih memiliki arti yang lebih kuat dan mendalam dibandingkan
yang berasal dari sumber yang beda. Tingkat dukungan yang dirasakan oleh
seseorang merupakan persepsi tentang jumlah dukungan yang tersedia dari
orang lain. Kehadiran orang-orang terdekat dalam kehidupan seorang individu
seringkali membuatnya merasa nyaman, merasa disayangi, dan dihargai oleh
orang lain. Semakin dekat hubungan seseorang pemberi dukungan sosial maka
akan semakin besar manfaat yang dihasilkan. Dukungan sosial dapat
41
bersumber dari keluarga, rekan kerja / atasan, teman sebaya, dan masyarakat di
lingkungan sekitar
b. Jenis dukungan.
Jenis dukungan yang diterima akan memiliki arti bila dukungan itu bermanfaat
dan sesuai dengan situasi yang ada. Situasi yang sama belum tentu
membutuhkan jenis dukungan yang sama seperti pada waktu sebelumnya.
Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal,
bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima jika
dukungan sosial yang diberikan sesuai kondisi penerima dukungan sosial.
c. Penerimaan dukungan.
Karakteristik atau ciri-ciri penerimaan dukungan seperti: kepribadian,
kebiasaan dan peran sosial akan menentukan keefektifan dukungan. Perbedaan
kepribadian yang unik dari setiap individu penerima dukungan sosial perlu
diperhatikan untuk memberikan dukungan sosial. Proses yang terjadi dalam
dukungan dipengaruhi oleh kemampuan penerimaan dukungan.
d. Permasalahan yang dihadapi.
Dukungan sosial yang tepat dipengaruhi oleh kesesuaian antara jenis dukungan
yang diberikan dan masalah yang ada. Konteks dukungan sosial yang sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi dan jenis dukungan yang sesuai dapat
berpengaruh besar terhadap kemampuan individu ketika menghadapi masalah.
e. Waktu pemberian dukungan.
42
Dukungan sosial akan optimal disatu situasi tetapi akan menjadi tidak optimal
dalam situasi lain. Waktu ketika menerima dukungan sosial, dan situasi akan
berbeda jika terlambat dukungan sosial diberikan, sehingga ketepatan waktu
sangat penting menjadi pertimbangan dalam memberikan dukungan sosial dan
lamanya dukungan sosial yang diberikan akan menentukan manfaat dukungan
sosial yang dihasilkan. Lamanya pemberian dukungan tergantung pada
kapasitas yaitu kemampuan dari pemberi dukungan untuk memberi dukungan
atau menambah dukungan yang ditawarkan selama suatu periode tertentu.
Berdasarkan uraian di atas penulis cenderung menggunakan pendapat
Cohen bahwa factor–faktor yang mempengaruhi dukungan sosial antara lain:
pemberi dukungan, jenis dukungan, penerimaan dukungan, permasalahan yang
dihadapi dan waktu pemberian dukungan.
C. Locus of control Internal
1. Pengertian
Pada dasarnya teori locus of control membahas tentang lokasi kontrol
dalam kepribadian seseorang dalam hubungannya dengan lingkungannya.
Dalam teorinya, Rotter lebih menekankan pada faktor kognitif, terutama
persepsi sebagai pengarah tingkah laku. Teori tersebut menerangkan pula
bagaiamana tingkah laku dikendalikan dan diarahkan melalui fungsi kognitif.
Rotter mengungkapkan adanya perbedaan mendasar dari penghayatan subjektif
seseorang terhadap sumber perolehan reinforcement. Teori locus of control
43
menjelaskan mengenai pusat kendali dan pusat pengarahan dari setiap
perilakunya. Skala locus of control bersifat kontinum, dalam artian adakalanya
seseorang mempunyai kecenderungan internal locus of control dan adakalanya
kecenderungan locus of control eksternal. Hal ini ditentukan oleh kondisi yang
mempengaruhi perubahan-perubahan keyakinan internal/ eksternal locus of
control (Robbin, 2008).
Internal locus of control adalah individu-individu yang yakin bahwa
mereka merupakan pemegang kendali atas apa yang terjadi pada diri mereka.
Orang yang cenderung memiliki internal locus of control lebih berorientasi pada
keberhasilan karena mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan
efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever.
Seseorang yang memiliki tipe internal (internal locus of control) adalah orang
yang berkeyakinan bahwa dirinya merupakan penguasa atas nasib dirinya.
Orang-orang tersebut melihat dirinya merupakan poin dari nasib dirinya
sendiri yang akan menentukan kehidupannya (Robbins, 2008). Yusuf (2004)
mengatakan bahwa internal locus of control adalah dimensi kepribadian
tentang keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau
kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh faktor internal berasal dari
dirinya sendiri.
Menurut Rotter (dalam Mearsn 2009), individu dengan internal locus of
control adalah kemampuan individu dalam menentukan kejadian dalam hidup
yang berfokus usaha pada dirinya sendiri. Kemampuan, seseorang yakin bahwa
44
kesuksesan dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh
kemampuan yang dimiliki .
Munandar (2011) mengatakan bahwa orang yang berorientasi internal
(internal locus of control) percaya bahwa keputusan dan tindakan pribadi
mempengaruhi hasil. Individu dengan kontrol diri yang tinggi akan melihat bahwa
ia mempunyai aspek kemampuan mengontrol perilakunya . Individu dengan
locus of control internal yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang terjadi
dalam hidup tergantung pada diri sendiri, memandang keberhasilan atau
kegagalan, tergantung dari aspek usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah
pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/ mengharapkan bantuan orang lain.
Karyawan dengan internal locus of control memiliki sifat lebih mandiri dan lebih
ulet serta memiliki daya tahan yang lebih kuat terutama dalam menghadapi
kegagalan. Hal inilah yang menyebabkan seorang karyawan dengan internal
locus of control lebih mampu menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan
yang memiliki internal locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres
yang lebih rendah karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan
dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stresor kerja.
Berdasarkan uraian di atas penulis cendrung mengikuti pendapat Rotter
bahwa Locus of control Internal adalah dimensi kepribadian tentang
keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalan yang
dialaminya disebabkan oleh faktor internal (berasal dari dirinya sendiri).
Karakteristik internal locus of control adalah pada aspek kemampuan dan
pada aspek usaha sendiri.
45
2. Aspek-aspek Locus Of Control Internal
Spector (2001) menyatakan bahwa karakteristik orang yang memiliki
internal locus of control adalah: menggantungkan diri pada ketrampilan (skill),
kemampuan diri (ability) dan usaha (effort), memiliki dorongan untuk berhasil
dan prestasi sangat kuat, berusaha keras meraih apa yang diinginkan secara
efektif, mengambil peran aktif dalam mengatur, mengarahkan diri dan
bertanggung jawab menentukan faktor penguat yang akan diterimanya.
Individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib atau peristiwa-peristiwa
dalam kehidupannya berada di bawah kontrol dirinya dikatakan sebagai individu
yang memiliki internal locus of control (Kreitner dan Kinichi, 2015). Robbins
(2008) mengatakan bahwa orang-orang internal secara lebih aktif mencari
informasi sebelum mengambil keputusan, lebih termotivasi untuk berprestasi
dan lebih siap untuk menghadapi kegagalan. Setiap dimensi locus of control
mempunyai karakteristik yang khas. Internal locus of control memiliki ciri-ciri,
yaitu: suka bekerja keras. memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk
menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berpikir seefektif
mungkin, selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin
berhasil.
Menurut Rotter (dalam Mearsn 2009), indicator individu dengan
internal locus of control adalah kemampuan individu dalam menentukan
kejadian dalam hidup yang berfokus kemampuan dan usaha pada dirinya
sendiri.
46
a. Faktor kemampuan adalah seseorang yakin bahwa kesuksesan dan
kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang
dimilikinya. Bersikap optimis, pantang menyerah, segala yang dicapai
individu hasil dari usaha sendiri, kehidupan individu ditentukan oleh
tindakannya, kegagalan yang dialami individu akibat perbuatan
sendiri, jika individu tersebut bekerja keras maka akan berhasil, dan
percaya bahwa orang yang gagal adalah karena kurangnya kemampuan
atau motivasi. Memiliki beberapa kesulitan dengan adaptasi terhadap
lingkungan, tetapi mereka lebih memilih untuk mengubah lingkungan
daripada diri mereka sendiri. Keberhasilan individu karena kerja keras
dan kemampuan dirinya. Memiliki kepekaan untuk mengembangkan
tanggung jawab
b. Faktor usaha adalah seseorang yang memiliki locus of control internal
akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol perilakunya,
bersikap optimis, pantang menyerah. Memiliki tingkat realisme yang
tinggi. Berorientasi menerima informasi dari lingkungan mereka, dan
juga mencari informasi baru tentang diri mereka sendiri dan dunia,
untuk diterapkan dalam tindakan konkret. Tidak menganggap penting
pendapat orang lain, tetapi kontrol diri berasal dari mereka sendiri.
Memanfaatkan pengalaman sebelumnya ketika menyadari tugas hidup
saat ini.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis cenderung mengikuti pendapat
Rotter yang menjelaskan bahwa aspek-aspek locus of control internal terdiri dari
47
aspek kemampuan dan usaha. Kemampuan, seseorang yakin bahwa kesuksesan
dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang
dimiliki. Usaha, seseorang yang memiliki locus of control internal akan berusaha
semaksimal mungkin untuk mengontrol perilakunya, bersikap optimis, pantang
menyerah.
3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Locus Of Control Internal
Perkembangan locus of control individu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
episodic antecedent dan accumulative antecedent. Episodic antecedent adalah
kejadian –kejadian yang relatif mempunyai makna penting yang muncul pada
waktu tertentu, seperti kematian orang yang dicintai, kecelakaan atau bencana
alam. Sedangkan accumulative antecedent adalah kejadian atau faktor yang
bersifat berkelanjutan atau terus menerus yang dapat mempengaruhi locus of
control. Ada tiga faktor penting yang merupakan accumulative antecedent, yaitu
diskriminasi sosial, ketidakmampuan yang berkepanjangan, dan pola asuh anak.
Diskriminasi sosial yang dimaksud adalah adanya perbedaan ras, status sosial
dan status ekonomi. Individu yang berasal dari status ekonomi rendah
memandang segala sesuatu yang terjadi pada dirinya tergantung pada nasib dan
kesempatan yang ada, sehingga mereka cenderung memilki locus of control
eksternal (Mearsn, 1993).
Menurut Ghufron dan Risnawita (2007) bahwa locus of control internal
seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu lingkungan fisik dan
sosial. Selain faktor lingkungan fisik dan sosial, perkembagan locus control
48
ke arah internal terjadi dengan bertambahnya usia seseorang. Indiviu yang
cenderung berorientasi pada locus of control internal dibesarkan dalam
lingkungan yang penuh kehangatan dan demokratis. Sedangkan individu yang
cenderung berorientasi pada locus of control eksternal dibesarkan dari
lingkungan yang banyak menerapkan hukuman fisik, hukuman afektif, dan
pengurangan hak-hak istimewa. Semakin dewasa usia seseorang maka locus
control berkembang kearah internal dan stabil pada usia paruh baya. Hal
ini disebabkan karena semakin bertambahnya kemampuan persepsi sehingga
memungkinkan mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap
modelmodel penalaran logis yang menyangkut sebab akibat yang terjadi antara
perilaku, motivasi yang melatarbelakangi dan karena adanya keyakinan yang
kuat pada diri individu bahwa keberhasilannya ditentukan oleh
kemampuannya.
Program pelatihan telah terbukti efektif mempengaruhi locus of control
individu sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan peserta pelatihan
dalam mengatasi hal-hal yang memberikan efek buruk. Pelatihan adalah sebuah
pendekatan terapi untuk mengembalikan kendali atas hasil yang ingin diperoleh.
Pelatihan diketahui dapat mendorong locus of control internal yang lebih tinggi,
meningkatkan prestasi dan meningkatkan keputusan karir menurut Luzzo, Funk
& Strang (Huang & Ford, 2012).
Secara umum, locus of control terbentuk melalui hubungan dengan
keluarga, kebudayaan dan pengalaman masa lalu yang memperoleh penguatan.
terbentuknya locus of control internal atau eksternal pada diri individu
49
disebabkan karena adanya faktor penguatan (reinforcement). Menurut Rotter,
individu internal memandang prilaku terhadap sebuah reinforcement merupakan
hubungan sebab akibat sehingga individu dengan orientasi internal yakin bahwa
dirinya mampu mengendalikan reinforcement yang diterimanya, sedangkan
individu dengan orientasi eksternal yang lebih memandang reinforcement
sebagai sebuah hal yang datang tiba-tiba dan tidak dapat dikendalikan sehingga
mereka cenderung pasrah (Anastasi,2006).
Menurut Forte (Karimi & Alipour, 2011), kepuasan kerja, harga diri,
peningkatan kualitas hidup (motivasi internal) dan pekerjaan yang lebih baik,
promosi jabatan, gaji yang lebih tinggi (motivasi eksternal) dapat
mempengaruhi locus of control seseorang. Reward dan punishment (motivasi
eksternal) juga berpengaruh terhadap locus of control.
Berdasarkan uraian di atas penulis cenderung mengikuti pendapat Mearsn
bahwa factor-faktor yang mempengaruhi Locus of control internal adalah:
episodic antecedent dan accumulative antecedent , lingkungan fisik dan sosial,
usia seseorang, program pelatihan, pola pengasuhan orang tua dan harga diri,
reinforcement, peningkatan kualitas hidup.
D. Hubungan Dukungan Sosial Rekan Kerja Dengan Stres Kerja
Perawat RSUD Sleman
Dukungan sosial merupakan salah satu aspek yang berpengaruh dalam
dunia kerja. Dukungan sosial rekan kerja dapat meredam bentuk-bentuk stres
50
kerja yang ada pada lingkungan kerja. Juan dan Fisher (2002) menunjukkan
adanya tiga konstruk umum stresor, tekanan, dan dukungan sosial. Dalam studi,
berbagai model untuk peran dukungan sosial dalam proses stres di tempat kerja
diuji dan diidentifikasi, hasilnya menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki
efek tiga kali lipat menurunkan stres kerja.
Menurut Robbin (2008) stress kerja mengakibatkan dampak negatif pada
kepuasan kerja dan kinerja maka diperlukan suatu upaya untuk
menanggulanginya antara lain dengan menggunakan sumber-sumber positif yang
ada disekitar individu yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial rekan kerja sebagai
orang yang dekat dan berhubungan langsung dengan lingkungan kerja perawat
dapat mengurangi ketegangan yang dialami dan mengurangi stres yang dirasakan.
Dukungan sosial rekan kerja dapat mengurangi beban atau permasalahan
yang dihadapi perawat dalam lingkungan kerja dengan interaksi antar pribadi
rekan kerja, yang antara lain melibatkan aspek dukungan emosional (emotional
support). Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan dalam
menghadapai permasalahan pekerjaan merasa nyaman, tentram kembali, merasa
dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres. Kurangnnya dukungan emosional
dari rekan kerja dalam organisasi dapat menyebabkan gejala stres kerja seperti:
kecemasan, mudah tersinggung, agresi, keletihan, merasa kesepian. Pemberian
dukungan sosial/ bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, cinta dari
rekan kerja dapat menyebabkan stres kerja dapat dihindari/ berkurang (Cohen dan
Syme, 1985).
51
Dukungan penghargaan (esteem support) adalah penghargaan terjadi lewat
pernyataan dalam bentuk penghargaan yang positif untuk individu, dorongan
untuk mencapai kemajuan dalam pekerjaan atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain, seperti
misalnya perbandingan dengan orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk
keadaannya. Individu yang mengalami kurangnya dukungan penghargaan (esteem
support) dari rekan kerja dapat menimbulkan gejala stres kerja seperti: tidak
percaya diri dalam melakukan pekerjaan, merasa kurang percaya diri dan kurang
bernilai, menarik diri dari organisasi. Dukungan penghargaan dapat menambah
penghargaan diri dan melalui interaksi dengan orang lain, akan dapat
mengevaluasi dan mempertegas keyakinannya dengan membandingkan pendapat,
sikap, keyakinan, dan perilaku orang lain sehingga dukungan ini dapat
menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai
dirinya, percaya diri, dan merasa lebih bernilai. Dukungan sosial ini akan sangat
berguna ketika individu mengalami tekanan dalam pekerjaan yang menyebabkan
stres bekerja karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang
dimilikinya (Sarafino, 2008).
Dukungan instrumental (instrumental support) diperlukan karena situasi
dan kondisi sesorang dapat mengalami fluktuasi dan ketidakstabilan, misalnya
ketidakstabilan ekonomi yang dapat menyebabkan stres kerja yang tampak dari
gejalanya antara lain: ketidakmampuan mengambil keputusan yang tepat, mudah
marah terhadap kritik, melakukan sabotase dalam pekerjaan dan lain-lain.
Dukungan instrumental diperlukan ketika hal ini terjadi dan paling sederhana
52
mencakup bantuan langsung yang dapat berupa jasa, waktu, atau uang. Misalnya
pinjaman uang bagi individu atau pemberian pekerjaan saat individu mengalami
stres. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya dan
menurunkan stres kerja (Sarafino, 2008).
Dukungan informasi (informational support) adalah dukungan mencakup
pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik.
Individu yang kurang mendapatkan dukungan informasi dapat menyebabkan stres
kerja yang tampak dari gejala antara lain; tidak bisa menyelesaikan tugas tepat
waktu, gelisah, gangguan tidur dan komunikasi, dan lain-lain. Dukungan
informasi membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas
wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi
tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara
praktis. Dalam lingkungan kerja dukungan seperti ini membantu individu bisa
mengambil keputusan secara tepat karena mencakup mekanisme penyediaan
informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. Rekan-rekan yang berada di sekitar
individu akan memberikan dukungan informasi dengan cara menyarankan
beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan individu dalam mengatasi
masalah yang dihadapi individu tersebut sehingga dapat mengatasi stres kerja
dengan efektif (Cohen dan Syme, 1985).
Dukungan jaringan sosial (companionship support) rekan kerja mencakup
perasaan keanggotaan dalam kelompok, dukungan yang dapat menyebabkan
individu merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana
anggota-anggotanya dapat saling berbagi, misalnya menemani individu yang
53
sedang mengalami tekanan dalam pekerjaan dengan menyediakan akses kepada
grup dalam lingkup pekerjaannya yang dapat memberikan bantuan permasalahan
yang dihadapinya. Individu yang kurang mendapatkan dukungan jaringan sosial
rekan kerja dapat menimbulkan stres kerja yang tampak dari gejala antara lain;
gugup dalam bekerja, merasa kesepian, absensi meningkat, kebosanan, merasa
terasing dari organisai dan lain-lain. Dukungan jaringan sosial yang merupakan
perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan
aktivitas sosial, berupa bantuan atau dukungan yang diberikan oleh orang-orang di
sekitar lingkungan kerja individu yang mampu membuat individu merasa nyaman
baik secara fisik maupun psikologis sehingga mengurangi atau dapat
menghindarkan dari terjadinya stres kerja (Sarafino, 2008).
E. Hubungan Locus Of Control Internal Dengan Stres Kerja Perawat
RSUD Sleman
Spector (2001) menyatakan bahwa karakteristik orang yang memiliki
internal locus of control adalah menggantungkan diri pada ketrampilan (skill),
kemampuan diri (ability) dan usaha (effort), memiliki dorongan untuk berhasil
dan prestasi sangat kuat, berusaha keras meraih apa yang diinginkan secara
efektif, mengambil peran aktif dalam mengatur, mengarahkan diri dan
bertanggung jawab menentukan faktor penguat yang akan diterimanya. Seorang
perawat dengan locus of control internal diharapkan bisa semakin
bertanggungjawab dalam aktivitasnya, menunjukkan komitmen kerjanya,
memiliki integritas tinggi terhadap organisasinya, objektif dan independen dalam
54
menghadapi konflik kepentingannya, semakin berusaha keras untuk meningkatkan
kompetensinya, dan semakin memperhatikan prinsip-prinsip kode etik perilaku
profesionalnya. Hal ini akan mengakibatkan perawat dengan locus of control
internal mempunyai keyakinan dan kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan locus of control external sehingga lebih mampu menghadapi stres kerja.
Robbins (2008) mengatakan bahwa orang yang memiliki Locus of control
internal adalah pusat kendali dalam diri individu yang meyakini bahwa suatu
kejadian kegagalan/ keberhasilan selalu berada dalam rentang kendalinya,
sehingga individu dengan locus of control internal yang memiliki sikap kerja
keras, memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menemukan
pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berfikir seefektif mungkin, dan selalu
mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan apabila ingin mencapai
keberhasilan. Setiap pekerjaan mempunyai tingkat kesulitan berbeda-beda, aspek
kemampuan dan usaha yang kuat individu dengan locus of control inernal akan
dapat mempertahankan rasa pengendalian diri dan kemamapuan mengatasi stres
dalam bekerja (National Savety Council, 2003).
Indicator individu dengan internal locus of control menurut Rotter (dalam
Mearsn 2009) adalah kemampuan individu dalam menentukan kejadian dalam
hidup yang berfokus usaha pada dirinya sendiri. Memiliki sifat lebih mandiri dan
lebih ulet serta memiliki daya tahan yang lebih kuat terutama dalam menghadapi
kegagalan, khususnya dalam dunia kerja. Individu dengan internal locus of
control lebih mampu menghadapi stres kerja yang dialaminya dibandingkan
dengan yang memiliki locus of control external. Perawat yang memiliki internal
55
locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena
karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan
menyikapi datangnya stressor-stressor kerja dengan sikap kerja keras, inovasi, dan
kreatifitasnya. Individu yang ber-locus of control eksternal mengganggap bahwa
segala peristiwa yang ada di luar dirinya adalah ancaman dan beranggapan bahwa
nasiblah yang mengendalikam dirinya maka mereka lebih bereaksi dengan
ketidakberdayaan dalam menghadapi masalah pekerjaan, merasa kurang percaya
diri. Ketika individu yang dengan locus of control internal mengahadapi stres ada
kecenderungan untuk mencari informasi dan mempelajari terlebih dahulu
peristiwa-peristiwa yang dianggap mengancam kemudian akan memecahkan
masalah secara rasional. Aspek-aspek tersebut merupakan factor positif mengatasi
distress dalam lingkungan kerja karena factor kemampuan dan usahanya yang
lebih kuat dibandingkan dengan individu locus of control external.
Faktor kemampuan dalam locus of control internal adalah seseorang yakin
bahwa kesuksesan dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh
kemampuan yang dimilikinya. Bersikap optimis, pantang menyerah, jika individu
tersebut bekerja keras maka akan berhasil, dan percaya bahwa orang yang gagal
adalah karena kurangnya kemampuan atau motivasi. Memiliki beberapa kesulitan
dengan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi mereka lebih memilih untuk
mengubah lingkungan daripada diri mereka sendiri. Ketika mengalami stres kerja
individu dengan locus of control internal akan menggunakan usaha, kerja keras
dengan sekuat kemampuan dirinya menghadapi stres kerja tersebut. Faktor usaha
seseorang dengan locus of control internal akan semaksimal mungkin untuk
56
mengontrol perilakunya, bersikap optimis, pantang menyerah. Memiliki tingkat
realisme yang tinggi. Berorientasi menerima informasi dari lingkungan mereka,
dan juga mencari informasi baru tentang diri mereka sendiri dan dunia, untuk
diterapkan dalam tindakan konkret (Rotter , 2009).
F. Pengaruh Dukungan Sosial dan Locus of Control Internal Terhadap
Stres Kerja Perawat RSUD Sleman
Dukungan sosial rekan kerja sangat penting untuk diperhatikan oleh pihak
instansi karena dengan adanya dukungan sosial rekan kerja dapat membuat
perawat merasakan dorongan dan perhatian yang diberikan oleh lingkungan
tempat mereka bekerja sehingga dapat menekan timbulnya stres kerja. Perawat
yang menerima dukungan sosial dari rekan kerja yang tinggi maka stres kerja
yang terjadi akan rendah, begitu juga sebaliknya jika dukungan sosial dari rekan
kerja rendah maka stres kerjanya akan tinggi. Stres yang berkaitan dengan
pekerjaan, salah satunya disebabkan oleh kurangnya dukungan sosial dari
menajemen dan rekan kerja. Dukungan sosial rekan kerja berhubungan secara
langsung dengan integrasi seseorang pada lingkungan sosial di tempat kerjanya.
Rekan kerja yang mendukung akan menciptakan situasi tolong menolong,
bersahabat dan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan kerja yang
menyenangkan serta menimbulkan kepuasan dalam bekerja. Sehingga dengan
adanya dukungan sosial rekan kerja akan meminimalisir atau mengurangi
terjadinya stres kerja, Manuba (2005).
57
Dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja merupakan faktor internal
organisasi yang akan membantu karyawan keluar dari permasalahan yang
dihadapi pekerjaan. Dukungan sosial rekan kerja mampu mengurangi tekanan-
tekanan yang ada di tempat kerja karena pemahaman mereka terhadap stresor
yang ada di tempat kerja lebih kuat dari pada orang-orang di luar organisasi.
Gejala-gejala psikologi, fisiologi, perilaku dari stres kerja akan lebih rendah
terjadi ketika ada dukungan social dari keluarga, teman,atasan dan rekan kerja.
Hal senada juga diungkapkan oleh Qamari (2007), dukungan moril dan
emosional dari rekan-rekan dan atasan, dapat membuat lebih bersemangat kerja.
Keberadaan mereka juga dapat berperan dalam membantu saat menghadapi
masalah. Pengertian dan perhatian mereka mampu membuat perasaan yang
nyaman saat harus meninggalkan kantor atau menunda pekerjaan karena masalah-
masalah berat dan penting di keluarga. Keberadaan rekan-rekan akan membantu
dalam mendelegasikan beberapa pekerjaan yang akan mengurangi beban
pekerjaan dan mengurangi stressor.
Juan dan Fisher (2002) menjelaskan adanya tiga konstruk umum stresor,
tekanan, dan dukungan sosial. Dalam studi berbagai model untuk peran dukungan
sosial dalam proses stres di tempat kerja menunjukkan bahwa dukungan sosial
memiliki efek tiga kali lipat pada hubungan stressor dan stres kerja. Dukungan
sosial mengurangi ketegangan yang dialami, dukungan sosial mengurangi stres
yang dirasakan, dan dukungan sosial memoderasi hubungan stressor-stres kerja
Dukungan sosial sebagai faktor external diperlukan untuk menjaga stres
kerja dalam level sedang, hal ini berguna meningkatkan kinerja karyawan.
58
Semakin tinggi konflik dan semakin rendah dukungan sosial maka semakin
tinggi stres kerja yang dialami perawat. Sebaliknya semakin tinggi dukungan
sosial maka semakin rendah stres kerja yang dialami perawat. Hal Ini sesuai
penelitian Almasitoh (2011) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan
antara konflik peran ganda dan dukungan sosial dengan stres kerja. Dukungan
sosial yang diberikan oleh organisasi mampu menekan terjadinya stres pada
pegawai untuk menghindari dan menurunkan kejadian konflik kerja.
Internal locus of control berhubungan dengan stres kerja pada
karyawan. Karyawan dengan internal locus of control lebih mampu
menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan yang memiliki internal
locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah
karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi
dan menyikapi datangnya stressor-stressor kerja. Chowdhuri (2007) menjelaskan,
bahwa motivasi intrinsik mempunyai pengaruh yang lebih besar pada perilaku
seseorang dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik. Individu dengan locus of
control internal tinggi akan lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapi dalam
bekerja (Robbin, 2008).
Kumar dan Bano (2012) mengungkapkan analisis pada karyawan yang
sedang menghadapi tekanan kerja, bahwa karyawan yang memiliki locus of
control internal lebih rendah mengalami stres kerja dan lebih puas dengan
organisasi, sementara karyawan dengan locus of control ekternal lebih tinggi
mengalami stres kerja dan rendah kepuasan kerja mereka. Studi ini menunjukkan
bahwa ketika merancang program manajemen stres, manajemen harus
59
mempertimbangkan variabel dari locus of lontrol sebagai salah satu faktor cukup
besar pengaruhnya dalam mengatasi stres kerja.
Penelitian dari Widyastuti (2013) menunjukkan hubungan yang cukup erat
antara internal locus of control dengan stres kerja. Arah hubungan
menunjukkan semakin besar internal locus of control akan membuat stres
kerja cenderung rendah. Stres kerja meningkat dalam organisasi dan mengarah
pada konsekuensi negatif seperti absensi, kehilangan produktivitas, kepuasan
rendah dan penyakit psikologis dan fisik, dengan demikian mengurangi dan
mengendalikan stres kerja sangat penting untuk organisasi. Locus of control dapat
menjadi faktor efektif untuk mengurangi stres di tempat kerja dengan pekerjaan
kepuasan, promosi, rasa harga diri, meningkatkan gaji dan kualitas hidup yang
tinggi, perencanaan yang akurat program seperti mengintegrasikan intervensi
primer, sekunder dan tersier, tujuan yang jelas, rasa kontrol, komunikasi yang
tepat dan olahraga yang cukup dan tidur adalah cara untuk mengurangi stres kerja(
Karimi dan Aliour, 2012).
Perbedaan individu dalam menghadapi stres sekurang-kurangnya memiliki
lima (5) variabel: persepsi, pengalaman kerja, dukungan social, ruang (lokus)
kendali, keefektifan diri. Dukungan social rekan kerja/ hubungan kolegial rekan
kerja sebagai factor eksternal dapat sebagai pereda, mengurangi dampak negative
stres kerja. Ruang (lokus) kendali internal sebagai atribut kepribadian
mengendalikan tujuan akhir mereka sendiri, dan berpengaruh besar pada hasil
positif, bisa mengendalikan/ mengurangi stres kerja (Robbin, 2008).
60
G. Landasan Teori
Memperhatikan argument-argumen dari sejumlah hasil penelitian yang
tertera dalam tinjauan pustaka, maka dapat penulis cenderung menggunakan
pendapat dari Robbin bahwa stres kerja adalah suatu kondisi yang mempengaruhi
keadaan fisik atau psikis seorang perawat karena adanya tekanan dari dalam
ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja
mereka. Stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak diimbangi oleh
kemampuan karyawan, interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerja
yang jika tidak segera ditanggulangi dapat mengubah fisik maupun psikis yang
baik menjadi menurun atau buruk.
Seseorang yang mengalami stres kerja akan mempengaruhi fungsi
fisiologi, psikis dan perlaku dalam dirinya. Perawat yang mengalami stres kerja
akan dapat meningkat denyut jantungnya, tekanan darah naik, dada berdebar
debar, mengeluh sesak nafas, sakit kepala/ pusing bahkan bisa mengalami
serangan jantung. Gejala psikological yang muncul antara lain kecemasan dan
ketegangan dalam bekerja, mudah tersinggung, timbul kebosanan/ ketidakpuasan
dalam bekerja. Gejala perilaku yang muncul antara lain menunda-nunda
pekerjaan, dapat meningkatkan resiko ketergantungan pada alkohol dan konsumsi
rokok, melakukan sabotase dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun
mengurangi makan yang tidak wajar sebagi perilaku menarik diri, tingkat absensi
meningkat dan performansi kerja menurun, gelisah, susah konsentrasi, mengalami
gangguan tidur, berbicara cepat.
61
Memperhatikan argument-argumen dari sejumlah hasil penelitian di atas,
maka penulis cenderung menggunakan pendapat dari Sarafino bahwa dukungan
sosial rekan kerja adalah bantuan yang berasal dari rekan tempat individu bekerja.
Bentuk dukungan berupa infomasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang
dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi,
diperhatikan dan bernilai. Kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima
individu dari dukungan sosial akan dapat melindungi individu dari konsekuensi
stres yang menimpanya. Dukungan sosial rekan kerja terdiri dari dukungan
emosional (emotional support), dukungan penghargaan (esteem support,),
dukungan instrumental (instrumental support), dukungan informasi
(informational support), dukungan jaringan sosial (companionship support) yang
berasal teman dalam lingkup pekerjaannya.
Teori tentang locus of control internal penulis cenderung menggunakan
pendapat dari Rotter yang menjelaskan bahwa locus of control internal adalah
keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalan yang
dialaminya disebabkan oleh faktor internal (berasal dari dirinya sendiri),
menyandarkan harapannya pada diri sendiri, kendali setiap keberhasilan atau
kegagalan berasal dari internal dirinya. Karakteristik internal locus of control
adalah pada aspek kemampuan, usaha sendiri yang kuat mengatasi permasalahan
dan tantangan yang dialaminya, memiliki sifat lebih mandiri, lebih ulet mengatasi
permasalahan yang muncul dalam pekerjaannya serta memiliki daya tahan yang
lebih kuat terutama dalam menghadapi kegagalan. Hal inilah yang
menyebabkan seorang karyawan dengan internal locus of control lebih mampu
62
menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan yang memiliki internal locus
of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena
karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan
menyikapi datangnya stressor-stresor kerja
Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan interaksi dengan orang lain
dalam kehidupannya, begitu juga dalam lingkungan kerja yang interaksi sosial itu
berupa dukungan sosial rekan kerja , hal ini diperoleh dari hasil interaksi individu
dengan orang lain dalam lingkungan kerjanya, teman, maupun rekan kerja yang
lain. Situasi ini akan menyebabkan kenyamanan psikis maupun emosional yang
diterima individu yang dapat melindungi individu dari konsekuensi stres yang
menimpanya. Aspek-aspek locus of control internal adalah aspek kemampuan dan
usaha yang berkeyakinan bahwa dirinya merupakan penguasa atas nasib
dirinya. Orang-orang tersebut melihat dirinya merupakan poin dari nasib
dirinya sendiri yang akan menentukan kehidupannya, factor internal dirinya
sendiri yang paling berperan terhadap keberhasilan ataupun kegagalan. Seorang
karyawan yang memiliki dukungan sosial dari rekan kerja dan dengan locus of
control internal yang kuat maka secara simultan dua factor tersebut akan dapat
menguatkan kemampuan menghadapi tekanan dalam bekerja, memilki daya tahan
dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stres kerja.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dan
locus of control internal secara simultan akan berpengaruh terhadap stres
kerja.
63
Dari berbagai argumentasi yang dibangun di atas, maka penelitian ini
dapat digambarkan dalam gambar kerangka teori sebagai berikut:
Keterangan: 1. Hubungan dukungan sosial rekan kerja dengan stres kerja2. Hubungan locus of control internal dengan stres kerja3. Pengaruh secara simultan dukungan sosial rekan kerja dan locus
of control internal terhadap stres kerja
Gambar 1
Kerangka Teori
H. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan teori-teori yang mendukung dalam
penelitian ini maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Hipotesis mayor
Dukungan sosial rekan kerja dan locus of control internal secara simultan
berpengaruh terhadap stres kerja perawat RSUD Sleman. Semakin tinggi
Dukungan SosialRekan Kerja (X1):
Dukungan emosionalDukungan penghargaanDukungan instrumentalDukungan informasiDukungan jaringan sosial
Locus Of Control Internal(X2):
Aspek kemampuanAspek usaha
Stres Kerja: Gejala psikologisGejala fisiologis Gejala perilaku
1
2
3
A
64
dukungan sosial dan locus of control internal semakin rendah stres kerja
perawat RSUD sleman, semakin rendah dukungan sosial dan locus of
control internal makin tinggi stres kerja perawat RSUD Sleman.
2. Hipotesis minor
a. Dukungan sosial rekan kerja berhubunga signifikan dengan dengan stres
kerja perawat RSUD Sleman.
b. Locus of control internal berhubungan signifikan dengan stres kerja
perawat RSUD Sleman.