bab ii tinjauan pustaka dan pembahasan 2.1. tinjauan...
TRANSCRIPT
16
BAB II
Tinjauan Pustaka dan Pembahasan
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengertian Perlindungan Hukum
Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa
bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan itu hukum harus mampu
mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan
sekecil-kecilnya. Pengorganisasian kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan
membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Memang dalam suatu
lalu lintas kepentingan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya
dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain.
Menurut Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan
cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti
ditentukan keluasannya dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang
disebut sebagai hak hal ini di karenakan tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu
bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja yaitu yang di berikan
oleh hukum kepada seseorang. Oleh karena itu menurut hukum bukan hanya
kepentingan saya saja yang mempeoleh perlindungan, tetapi juga kehendak saya.
Berkaitan dengan itu, lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung
pada kepercayaan dari masyarakat. Oleh karena itu tanpa adanya kepercayaan dari
masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya
17
dengan baik. Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa
mejaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum
terhadap kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain
dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurang percayaan
masyarakat terhadap dunia perbankan yang pada saat ini telah gencar melakukan
ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah maka perlindungan hukum bagi
nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat di perlukan.
Perlindungan hukum ini terjadi karena adanya suatu hubungan hukum antara
pihak bank dengan nasabahnya. Hubungan yang terjadi antara dua pihak ini didasarkan
oleh suatu perjanjian, untuk itu tentu adalah sesuatu yang wajar apabila kepentingan
dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana
perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank.
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah ini Marulak Pardede
mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindugan
terhadap nasabah penyimpan dana. Dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu;
a. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection)
Yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang
efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kerugian bank. Perlindungan ini
diperoleh dengan melalui;
1) Perturan perundang-undangan di bidang perbankan;
2) Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif yang
di lakukan oleh Bank Indonesia;
3) Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya
dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya;
4) Memelihara tingkat kesehatan bank;
5) Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian;
6) Menyediakan informasi resiko pada nasabah.
18
b. Perlindungan secara eksplisit (eksplicit deposit protection)
Yaitu perlindungan yang meliputi pembentukan suatu lembaga guna menjamin
simpanan masyarakat sehingga apabila bank mengalami kegagalan lembaga tersebut
yang akan mengganti dana masyarakat yang di simpan pada bank yang gagal tersebut.
Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI No.26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.
Selain perlindungan hukum menurut Marulak Pardede di atas, perlindungan
hukum dapat di kategorikan menjadi dua bagian besar, antara lain;
1. Perlindungan tidak langsung
Berupa perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana
terhadap segala resiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari
kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan
pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan dengan melalui hal-hl
yang di kemukakan berikut ini;
1) Prinsip kehati-hatian (prudential principle)
Menurut ketentuan Pasal 2 UU Perbankan di kemukakan, bahwa perbankan
Indonesia dalam melakukan usaha berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini menunjukkan bahwa prinsip
kehati-hatian adalah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh
bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip kehati-hatian tersebut
mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan
usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan dibidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Berkaitan
dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana di maksud dalam ketentuan Pasal 2 di atas,
19
dapat ditemukan Pasal lain dalam UU Perbankan yang mempertegas kembali mengenai
pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni
dalam Pasal 29 ayat (2);
“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung-
an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun
juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Bank dalam menjalankan usahannya harus senantiasa berdasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat di pertanggung
jawabkan secara hukum.
2. Perlindungan langsung
Merupakan suatu perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana
secara langsung, terhadap kemungkinan timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha
yang dilakukan oleh bank. Perlindungan secara langsung ini, dapat ditemukan dalam
Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan yang selengkapnya menyatakan bahwa;
Pasal 29 ayat(4)
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
Mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.”1
Walaupun UU Perbankan sudah sangat jelas mengatur bahwa bank harus secara
transparan memberikan informasi kepada nasabah mengenai suatu produk yang
ditawarkan pihak bank, guna untuk meminimalkan tingkat kerugian yang diderita
nasabah dan juga pihak bank sudah melakukan apa yang diperintahkan UU
kepadannya. Tetapi tidak dapat di pungkiri resiko kerugian bagi nasabah penyimpan
1 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998
20
tetaplah ada. Oleh karena itu dunia perbankan haruslah sedemikian rupa dapat
memelihara kepercayaan masyarakat, dengan cara menerapkan prinsip kehati-hatian
serta adanya itikad baik dan konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan kegiatan usaha yang dilakukan.2
Sehubungan dengan pengertian perlindungan hukum yang dipaparkan di atas
penulis beranggapan bahwa perlindungan hukum adalah suatu upaya yang diberikan
oleh pemerintah yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
ada dengan tujuan untuk melindungi setiap hak dan kepentingan seseorang, lembaga
atau suatu organisasi yang hak dan kepentingannya dirampas oleh orang, lembaga atau
organisasi tertentu lainnya. Selain itu juga perlindungan hukum dapat digunakan
sebagai langkah prefentif yang dapat mencegah seseorang, lembaga atau organisasi
tertentu yang melanggar hak dan kepentingan seseorang, lembaga atau organisasi
lainnya, hal ini dikarenakan di dalam setiap peraturan perundang-undangan yang
berlaku terdapat sanksi yang diterapkan yang membuat para pelaku berfikir ulang untuk
melanggar hak dan kepentingan seseorang, lembaga atau organisasi lain.
2.1.2. Pengertian Bank dan Nasabah
Pengertian Bank menurut Pasal 1 huruf 2 UU Perbankan
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”3
Kemudian pengertian bank tersebut juga dipertegas dengan adanya pendapat
para ahli yang mengemukakan;
1. G.M. Verryn Stuart yang tertuang dalam buku berjudul bank politik yang
mengartikan bank bahwa suatu badan yang memiliki tujuan dalam memuaskan
2 Chatamarrasjid, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, h.121-133.
3 Pasal 1 huruf 2, op. cit.
21
segala kebutuhan kredit atau to satisfy the needs of credit, baik itu dengan jalan
menggunakan alat-alat pembayaran sendiri ataukah dengan menggunakan uang
yang telah di dapatkan dari orang lain, maupun dengan cara mengedarkan alat-alat
penukar tersebut dalam bentuk uang giral atau circulate new tool excange in the
form of demand deposits;4
2. B.N. Ajuha menyatakan bahwa pengertian bank adalah suatu tempat untuk
menyalurkan modal dari mereka yang tidak mampu menggunakan secara
menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya lebih produktif untuk
keunntungan masyarkat.5
Dari pengertian bank menurut UU Perbankan dan dari pendapat para ahli di atas
penulis berpendapat bahwa bank adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah
maupun swasta yang di gunakan untuk menyimpan uang dari seseorang, lembaga lain
atau organisasi tertentu yang biasa disebut nasabah. Yang dalam hal ini nasabah
tersebut mempunyai uang berlebih yang disimpankan di bank yang bersangkutan,
kemudian bank menyalurkan kembali uang-uang tersebut kepada seseorang, lembaga
lain atau organisasi tertentu yang kekurangan dana, dengan ketentuan-ketentuan dan
syarat yang telah di tentukan oleh pihak bank.
Sedangkan pengertian nasabah di atur dalam Pasal 1 angka 16 dan dipertegas
dengan adanya pembagian nasabah kedalam dua jenis golongan yang diatur dalam
Pasal 1 angka 17 dan Pasal 1 angka 18 UU Perbankan yang menyatakan bahwa;
Pasal 1 angka 16
“Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”
Pasal 1 angka 17
“Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya
…”
Pasal 1 angka 18
“Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit
…”6
dari penjelasan mengenai pengertian nasabah yang dikutip dari UU Perbankan
di atas, penulis berpendapat bahwa nasabah adalah seseorang, lembaga lain atau
4 http://majalaremaja.blogspot.co.id/2012/06/pengertian-bank-menurut-prof-gm-verryn.html di ambil tanggal 26
Agustus 2016. 5 http://www.gurupendidikan.com/pengertian-bank-menurut-para-ahli-2/ di ambil tanggal 26 Agustus 2016.
6 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan
22
organisasi tertentu yang menyimpan dananya di bank dengan tujuan untuk memperoleh
rasa aman terhadap uang yang dipercayakan di bank yang bersangkutan.
2.1.3. Hubungan Hukum Nasabah dengan Bank
Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai hubungan hukum dan kedudukan
nasabah beserta hak, kewajiban, dan tanggung jawab hukum dari bank kepada
nasabahnya.7
1. Hubungan Bank dengan Nasabah
Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dan bank terdiri dari 2 (dua)
bentuk, yaitu hubungan kontraktual dan hubungan nonkontraktual.
a. Hubungan Kontraktual
Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan nasabah adalah
hubungan kontaktual. Hal ini berlaku hampir semua nasabah baik nasabah debitur,
nasabah deposan, ataupun nasabah nondebitur-nondeposan. Terhadap nasabah debitur,
hubungan kontraktual tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara bank
sebagai kreditur (pemberi dana) dan pihak debitur (peminjam dana). Hukum kontrak
yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah debitur bersumber dari
ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang kontrak (buku ketiga). Sebab menurut Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang di buat secara
sah berkekuatan sama dengan UU bagi kedua belah pihak.
Terdapat 3 (tiga) tingkatan dari pemberlakukan hubungan kontraktual pada
hubungan antar nasabah penyimpan dana dan pihak bank, yang sebagai berikut
1) Sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah);
2) Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar
hubungan debitur-kreditur;
3) Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat.
1. Hubungan Nonkontraktual
7Munir Fuady, op.cit, h.99.
23
Ada 6 (enam) jenis hubungan hukum antara bank dan nasabah selain dari
hubungan kontraktual, antara lain;
a. Hubungan Fidusia (fiduciary Relation);
b. Hubungan Konfidensial;
c. Hubungan Bailor-Bailee;
d. Hubungan Principal-Agent;
e. Hubungan Mortgagor-Mortgagee dan;
f. Hubungan Trustee-Beneficiary.
Akan tetapi, berhubung hukum di Indonesia tidak dengan tegas mengakui
hubungan-hubungan tersebut, maka hubungan-hubungan tersebut baru dapat
dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak yang telah disepakati pihak
bank dan nasabah. Atau setidak-tidaknya ada kebiasaan dalam praktek perbankan untuk
mengakui eksistensi dari hubungan-hubungan tersebut. Misalnya dalam hubungan
dengan lembaga perbankan “trust” merupakan factor utama yang harus dijaga oleh
pihak bank. Sehingga dalam hal pihak bank dan nasabah ingin membuat suatu kontrak
maka, kontrak tersebut harus dibuat dan ditaati bagi pihak-pihak yang terlibat
didalamnya, karena kontrak tersebut bersifat sama seperti UU bagi kedua belah pihak.
Hal yang sama berlaku pula bagi nasabah dan bank dalam hal perubahan policy.
Bank wajib memberitahu nasabah mengenai perubahan policy secara signifikan di
karenakan dapat mempengaruhi account pihak nasabah. Walaupun hal tersebut tidak
ditentukan dalam kontrak, tetapi ada semacam fiduciary relation yang menyebabkan
pihak bank mempunyai fiduciary obligation untuk melakukan disclosure mengenai hal
tersebut kepada nasabahnya. Begitu pula misalnya dalam hal bank memberikan jasa
pengiriman uang untuk kepentingan nasabahnya, maka dalam hal ini bank
menempatkan posisinya sebagai pelaksana amanat dari nasabahnya. Atau dalam hal
bank bertindak sebagai custodian, maka bank akan memposisikan diri dalam
kedudukan sebagai penerima kuasa atau sebagai trustee dari nasabahnya. Di samping
itu adanya kewajiban bank untuk menyimpan rahasia bank yang sebenarnya hal
24
tersebut tidak pernah diperjanjikan sama sekali, juga mengidentifikasi bahwa hubungan
antara nasabah dan bank tidak sekedar hubungan kontraktual semata. Dalam hal ini ada
semacam amanah yang diemban pihak bank untuk kepentingan nasabannya. 8
2.1.4. Pengertian Elektronik Banking
Seperti telah disebutkan bahwa sejak manusia mulai mengenal uang. Maka
sudah terbentuk beberapa cara pengirimanan uang. Mulai dari cara yang sederhana,
yakni dengan membawa sendiri atau menyuruh orang lain membawa uang, sampai
dengan sistem yang canggih-canggih seperti saat ini. Salah satu bukti dari
perkembangan teknologi khususnya dalam dunia perbankan adalah dengan adanya
suatu inovasi baru dari pihak bank berupa electronic banking. Electronic banking
merupakan dana dimana 1 (satu) atau lebih bagian dalam transfer dana yang dahulu
digunakan dengan memakai warkat (secara fisik) kemudian diganti dengan
memanfaatkan kecanggihan tegnologi. Bagian-bagian dalam transfer dana yang dulu
memakai paper based, tetapi kemudia diganti dengan menggunakan sistem electronic,
diantaranya adalah dengan pengirimanan pesan electronic diantara bank pengirim
dengan bank penerima. Misalnya, model lama tersebut diganti dengan intruksi
pembayaran via teleks, SWIFT (the society for worldwide interbank financial
telecommunications) atau hubungan computer to computer.
Karenya banyaknya produk yang dikeluarkan electronic banking maka penulis
membatasi hanya jaringan internet dan pemanfaatan perangkat yang digunakan nasabah
dalam hal ini adalah computer atau bahkan hanphone milik nasabah yang dapat
digunakan untuk mengakses segala informasi yang berkaitan dengan bank serta
8 Ibid h.100-103
25
perangkat dan jaringan internet tersebut dapat digunakan untuk melakukan transaksi
antara nasabah dengan bank atau nasabah dengan pihak ketiga dan bank.
Pengiriman uang via elektronik (seperti lewat komputer bahkan mungkin lewat
internet) atau lewat telphon akan tidak mempunyai bukti tertulis sama sekali. Hal itu
tentu akan rentan terhadap timbulnya kerawanan-kerawanan dan timbul disputes
dikemudian hari di samping dapat terjadi pula penipuan atau pemalsuan. Karena itu
banyak bank yang menggunakan teknik ini akan menggunakan sistem konfirmasi
tertulis yang dilakukan segera setelah transfer melalui media electronic. Di samping itu
tersedia pula berbagai model pengamanan yang lain seperti pemberian contoh tanda
tangan , penentuan seperti apa yang disebut istilah test key dan lain-lain. 9
Ada beberapa ciri dari transfer elektronik yang membedakannya dengan sistem
konvensional yang memakai warkat (paper based), ciri-ciri dari transfer elektronik
tersebut adalah sebagai berikut;
1. Pemakaian sistem elektronik yang canggih
Salah satu ciri dari transfer elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik
yang canggih dalam proses transfer tersebut yang telah memenuhi unsur-unsur yang
ditetapkan bank dan dilengkapi dengan aturan main dan alat pengaman yang jelas.
Berbagai tahap transfer yang dahulu digunakan dengan warkat dan di kirim dengan
surat sekarang ini diganti dengan sistem elektronik.
2. Batch Transmisson
Transmisi ramai-ramai (batch transmission) merupakan ciri lain dari transfer
elektronik ini. Dengan berbagai pertimbangan, seperti kepraktisan dan penghematan
biaya maka transmisi ramai-ramai digunakan, yakni berbagai transfer yang di
9 Munir Fuady op.cit.h.103.
26
akumulasi menjadi 1 (satu) dan dilakukan sekali transfer untuk keseluruhan transfer
tersebut.
3. Transfer yang lebih mengaktifkan nasabah
Sistem konvensional yang hampir seluruh proses dan administrasi pengiriman
uang dilakukan oleh pegawai bank kini di ganti dengan sistem dimana pihak nasabah
pengirim uang lebih berperan dan mengambil beberapa porsi dari kegiatan yang
sebelumnya dilakukan oleh pegawai bank tersebut. Bahkan, transfer uang tersebut
dapat dilakukan hanya oleh nasabah pengirim uang dengan memasukkan data kedalam
sistem perbankan dan diproses langsung oleh sistem komputer perbankan tanpa campur
tangan pihak pegawai bank yang bersangkutan. Beberapa perangkat yang digunakan
dalam sistem transaksi yang mengaktifkan nasabah adalah sebagai berikut;
a. Cash dispenser;
b. Point-of sale terminal;
c. Mesin ATM;
d. On-line computer terminal;
e. Home banking terminal;
f. Nomor PIN;
g. Karu plastic dengan stripe magnit;
h. Kartu microcircuit;
i. Dan lain-lain.10
Dari pengertian mengenai electronic banking di atas penulis berpendapat bahwa
elektronik banking adalah suatu inovasi baru yang ditawarkan oleh pihak bank kepada
nasabahnya. Layanan ini dapat memudahan nasabah dalam melakukan berbagai hal
yang dahulunya hanya dapat di lakukan di kantor cabang sekarang dapat di lakukan
dengan mudah hanya dengan computer dan mengunakan jaringan internet.
10
Ibid, h.122.
27
2.1.5. Tujuan Elektronin Banking
Institusi perbankan dalam penerapan electronic banking harus memberikan jasa
pelayanan yang lebih sesuai dengan kehendak nasabah dan lebih menjamin
keamanannya sehingga terciptalah kenyamanan dan kepuasan dari para nasabah
penggunaan electronic banking. Dalam hal penggunaan electronic banking. Media
internet memerankan peran yang penting guna kelancaran suatu transfer melalui media
electronic. Electronic banking sendiri tidak hanya memudahkan nasabah dalam
melalukan berbagai hal melalui media electronic, tetapi juga bagi pihak bank
penggunaan electronic banking ini dapat meringankan tugas pegawai bank. Berikut
tujuan electronic banking bagi pihak bank maupun nasabah;
a. Bagi Bank
Adapun tujuan electronic banking bagi pihak bank yaitu:
1. Menjelaskan produk dan jasa seperti, pemberian pinjaman dan kartu kredit;
2. Menyediakan informasi mengenai suku bunga dan kurs mata uang asing yang
terbaru;
3. Memberikan daftar lokasi kantor bank tersebut dan lokasi ATM;
4. Memberikan gambaran mengenai bank;
5. Memberikan pelayanan kepada nasabah untuk memeriksa neraca tabungan dan
memindahkan dana antar tabungan;
6. Menyediakan sambungan menuju situs lain di internet yang masih berhubungan
dengan electronic banking.11
Sedangkan manfaat electronic banking bagi pihak bank antara lain:
1. Electronic banking memberikan solusi penghematan biaya operasional (cost
effective) dalam penggunaannya di bandingkan dengan saluran lainnya; 12
2. Bank dapat berhubungan langsung dengan nasabah melalui internet
sehingga menghemat kertas dan biaya telepon.;13
3. Bank tidak perlu menyiapkan tempat atau ruang dan staf operasional yang
banyak.;
11
Mary J.Cronin, Banking and Finance on The Internet, (Canada: John Wiley & Sons, 1998), h. 75. 12
Ahmad Sanusi, Prospek Internet Banking di Era Millenium III, Majalah Bank dan Manajemen, Edisi Maret-
April, Jakarta, 2000, h. 67. 13
http://www.kompas.com, di ambil tanggal 5 September 2011.
28
4. Electronic banking sebagai lahan baru untuk menciptakan sumber pendapatan
spesifik (revenue generation) yang tidak dapat di peroleh melalui saluran
distribusi lain;
5. Dengan electronic banking, bank dapat melebarkan jangkauan (global reach)
sehingga nasabah dapat menghubungi bank dari manapun di seluruh dunia dengan
waktu yang tidak terbatas (unlimited time);
6. Dapat menarik nasabah baru dan membentuk nasabah potensial menjadi nasabah
yang fanatik akan electronic banking serta menciptakan image sebagai global
banking;
7. Cepat mengetahui kebutuhan maupun keluhan nasabah sehingga bank dapat lebih
cepat memperbaiki produk maupun layanannya untuk di sesuaikan dengan
kebutuhan nasabah.14
b. Bagi Nasabah
Adapun tujuan electronic banking bagi pihak nasabah yaitu:
1. Mempermudah nasabah dalam bertransaksi perbankan tanpa harus datang ke kantor
cabang;
2. Mempercepat kegiatan transaksi perbankan;
3. Menghemat biaya seperti menghemat ongkos jalan ke kantor cabang.15
Manfaat electronic banking bagi pihak nasabah adalah:
1. Nasabah dapat menjaga hubungan dan melakukan transaksi langsung dengan
beberapa bank dan perusahaan pelayanan finansial hanya dengan menggunakan
jaringan yang sama;
2. Nasabah dan bank menjadi lebih mandiri dan tidak lagi bergantung pada satu
distributor saja;
3. Nasabah dapat berhubungan dengan semua institusi finansial mereka tanpa harus
memiliki perangkat lunak, penyedia jaringan penghubung yang berbeda;
4. Pengurangan biaya transaksi, karena bank berusaha untuk menyediakan harga yang
lebih rendah untuk dapat bersaing dengan bank lain.16
2.1.6. Sistem Keamanan Electronik Banking
14
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-internet-banking-tujuan-dan.html di ambil tanggal 26
Agustus 2016 15
http://www.kompas.com di ambil tanggal 26 Agustus 2016 16
Mary J.Cronin, op. cit. h.176.
29
Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam penggunaan electronic
banking adalah sistem keamanan dalam transaksi perbankan dengan menggunakan
internet. Hingga saat ini masalah yang paling sering muncul adalah adanya pencurian
PIN nasabah. PIN curian ini kemudian di manfaatkan oleh orang yang sesungguhnya
tidak berhak untuk mencari keuntungannya sendiri. Sehingga sudah menjadi tanggung
jawab pihak bank untuk meyakinkan bahwa transaksi perbankan berjalan aman. Salah
satu usaha yang di lakukan oleh pihak bank adalah dengan menyediakan perangkat
keamanan untuk mencegah para hacker mengganggu transaksi mereka.17
Terdapat dua jenis sistem keamanan yang di pakai dalam electronic banking
antara lain:
1. Sistem Cryptography
Sistem ini menggunakan angka-angka yang dikenal dengan kunci (key). Sistem
ini disebut juga dengan sistem sandi. Ada dua tipe cryptography yaitu simetris dan
asimetris. Pada sistem simetris ini menggunakan kode kunci yang sama bagi penerima
dan pengirin pesan. Kelemahan dari cryptography simetris adalah kunci ini harus di
kirim kepada pihak penerima dan hal ini memungkinkan seseorang untuk
mengganggu ditengah jalan. Sistem cryptography asimetris juga mempunyai
kelemahan yaitu jumlah kecepatan pengiriman data menjadi berkurang karena adanya
tambahan kode. Sistem ini biasanya di gunakan untuk mengenali nasabah dan
melindungi informasi finansial nasabah.18
2. Sistem Firewall
Firewall merupakan sistem yang digunakan untuk mencegah pihak-pihak yang
tidak di izinkan untuk memasuki daerah yang dilindungi dalam unit pusat kerja
perusahaan. Firewall berusaha untuk mencegah pihak-pihak yang mencoba masuk
tanpa izin dengan cara melipat gandakan dan mempersulit hambatan-hambatan yang
ada. Namun yang perlu di ingatkan adalah bahwa sistem firewall ini tidak dapat
mencegah masuknya virus atau gangguan yang berasal dari dalam perusahaan itu
sendiri.19
1.1.7 Pengaturan Electronic Banking
Dalam UU Perbankan tidak terdapat suatu ketentuan khusus yang mengatur
mengenai electronic banking tetapi dalam hal ini pengaturan mengenai electronic
17
http://www.ebizzasia.com/, Di ambil tanggal 5 September 2011. 18
Gary Lewis dan Kenneth Thygerson, The Financial Institution Internet Source Book, Mc.Graw-Hill, New
York, 1997, h. 100-101. 19
Ibid h. 102.
30
banking dapat dilihat bahwa secara tidak langsung ada suatu kepercayaan yang
diberikan nasabah kepada pihak bank sehingga nasabah merasa aman dalam
menggunakan produk yang ditawarkan oleh pihak bank tersebut, dasar dari hubungan
kepercayaan ini termuat dalam Pasal 29 ayat (4). Kemudian pihak bank dalam menjaga
kepercayaan yang telah diberikan nasabah kepadanya pihak bank mengemban tanggung
jawab untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam segala hal yang dilakukannya
seperti yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2).
Selain itu pengaturan mengenai electronic banking ini dapat ditemukan dalam
peraturan-peraturan lainnya. Yang antara lain UU ITE, UU Perlindungan Konsumen
dan PBI No 9/15/PBI/2007. Dalam UU ITE Pasal yang mengatur mengenai electronic
banking terdapat dalam Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 sampai
pasal 22. Dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) dijelaskan bahwa pelaku usaha yang
menawarkan produk mengenai sistem electronic harus memberikan keterangan yang
lengkap serta dalam menyelenggarakan transaksi electronic dapat disertifikasi oleh
lembaga sertifikasi keandalan. Dalam Pasal 15 juga di jelaskan bahwa setiap
penyelenggara sistem electronic harus secara andal dan aman serta bertanggungjawab
terhadap beroperasinya sistem electronic tersebut. Pengaturan mengenai electronic
banking ini secara utuh diatur dalam Bab V tentang transaksi electronic yang terdapat
dalam Pasal 17-22 UU ITE dalam pasal tersebut mengatur mengenai seluruh transaksi
electronic baik dalam lingkup regional maupun internasional.
Selanjutnya pengaturan mengenai electronic banking ini terdapat dalam UU
Perlindungan konsumen tetapi sebenarnya dalam UU ini juga tidak dijelaskan secara
jelas mengenai electronic banking, maka dalam hal ini electronic banking dalam UU
Perlindungan Konsumen dapat dikatakan sebagai suatu jasa yang diberikan bank
kepada nasabahnya. Dalam UU Perlindungan Konsumen pengaturan mengenai jasa
31
berupa electronic banking ini dapat dilihat dalam Pasal 3 huruf f yang menyatakan
perlindungan konsumen bertujuan meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen. Dalam hal memberikan suatu pelayanan yang
baik bagi nasabahnya terutama pada jasa yang di sediakan, pelaku usaha memiliki
kewajiban seperti yang tertera dalam Pasal 7 huruf d dan huruf g yang menyatakan
bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa
yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu yang berlaku
pelaku usaha juga wajib memberikan ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan jasa yang diperdagangkan.
Pengaturan selanjutnya dalam UU Perlindungan Konsumen ini terdapat dalam
Pasal 10 huruf c dan huruf e yang menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu
barang dan/atau jasa dan dalam hal menawarkan barang atau jasa tersebut pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk memberitahu kepada konsumen yaitu nasabah mengenai
bahaya penggunaan barang dan jasa yang diedarkan. Dalam hal terdapat suatu kerugian
yang dialami oleh nasabah akibat produk electronic banking yang ditawarkan oleh
pihak makan maka sesuai dengan Pasal 26 maka pelaku usaha wajib memenuhi
jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Dalam UU
Perlindungan Konsumen ini lebih menekankan pada sisi tanggung jawab serta hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam menjalanka usahanya. Sehingga dengan
hadirnya UU ini diharapkan mampu untuk menangani segala permasalahan yang timbul
antara pelaku usaha yaitu pihak bank dengan nasabah.
32
Pengaturan mengenai electronic banking ini juga terdapat dalam PBI
No.9/15/PBI/2007 Pasal 22 menyatakan bahwa
(1) Bank yang menyelenggarakan kegiatan electronic banking wajib memenuhi
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. ketentuan Bank Indonesia yang berlaku
meliputi ketentuan yang mengatur mengenai produk, seperti ketentuan tentang
penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan
ketentuan lainnya seperti ketentuan tentang penerapan prinsip mengenal nasabah
(know your customer) dan ketentuan tentang penerapan manajemen risiko serta
ketentuan-ketentuan lain yang mengatur prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha
bank.
(2) Bank harus memberikan edukasi kepada nasabah mengenai produk electronic
banking dan pengamanannya secara berkesinambungan. edukasi yang diberikan
oleh bank kepada nasabah dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan pemahaman
nasabah atas karakteristik produk electronic banking, baik dari aspek manfaat,
risiko, pengamanan dan kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak lain yang
mengakibatkan kerugian nasabah.
Dalam Pasal 23
(1) Setiap rencana penerbitan produk electronic banking baru harus dimuat dalam
rencana bisnis bank.
(2) Setiap rencana penerbitan produk electronic banking yang bersifat transaksional
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
produk tersebut diterbitkan
(3) Pelaporan rencana produk electronic banking sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak berlaku bagi produk electronic banking sepanjang terdapat ketentuan Bank
Indonesia yang secara khusus mengatur persyaratan persetujuan produk tersebut.
(4) Laporan rencana penerbitan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Bukti-bukti kesiapan untuk menyelenggarakan electronic banking yang paling
kurang memuat:
1) Struktur organisasi yang mendukung termasuk pengawasan dari pihak manajemen;
2) Kebijakan, sistem, prosedur dan kewenangan dalam penerbitan produk electronic
banking;
3) Kesiapan infrastruktur teknologi informasi untuk mendukung produk electronic
banking;
4) Hasil analisis dan identifikasi risiko terhadap risiko yang melekat pada produk
electronic banking;
5) Kesiapan penerapan manajemen risiko khususnya pengendalian pengamanan
(security control) untuk memastikan terpenuhinya prinsip kerahasiaan
(confidentiality), integritas (integrity), keaslian (authentication), non repudiation
dan ketersediaan (availability);
6) Hasil analisis aspek hukum;
7) Uraian sistem informasi akuntansi;
8) Program perlindungan dan edukasi nasabah.
b. Hasil analisis bisnis mengenai proyeksi produk baru 1 (satu) tahun kedepan.
(5) Penyampaian pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilengkapi
dengan hasil pemeriksaan dari pihak independen untuk memberikan pendapat atas
karakteristik produk dan kecukupan pengamanan sistem teknologi informasi terkait
33
produk serta kepatuhan terhadap ketentuan dan atau praktek-praktek yang berlaku
dalam dunia internasional.
(6) Dalam hal teknologi informasi yang digunakan dalam menyelenggarakan kegiatan
electronic banking dilakukan oleh pihak penyedia jasa maka berlaku pula
ketentuan sebagaimana diatur dalam bagian penyelenggaraan teknologi informasi
oleh pihak penyedia jasa teknologi informasi.
(7) Realisasi rencana penerbitan produk electronic banking wajib dilaporkan paling
lambat 1 (satu) bulan sejak rencana dilaksanakan dengan menggunakan format
laporan perubahan mendasar teknologi
Informasi.
1.2. Pembahasan
1.2.1. Perlindungan Hukum bagi Nasabah Pengguna Electronic
Banking
Seperti yang telah di paparkan sebelumnya mengenai konsep perlindungan
hukum pada sub bab ini penulis akan menjelaskan secara lebih terperinci mengenai
perlindungan hukum yang didapat oleh nasabah jika nasabah mengalami suatu kerugian
akibat suatu transaksi electronic. tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya suatu
kerugian yang di almai oleh nasabah akibat menggunakan suatu produk dari bank
berupa fasilitas electronic banking memyebabkan hubungan antara bank dengan
nasabah menjadi rusak. salah satu hubungan yang menonjol dari nasabah dan bank
adalah hubungan berdasarkan kepercayaan. Nasabah menyimpan uangnya di bank
dengan harapan akan memperoleh rasa aman atas uang yang di simpannya tersebut.
Tetapi berbeda halnya apabila nasabah mengalami suatu kerugian akibat penggunaan
produk electronic banking maka, kepercayaan nasabah kepada pihak bank akan
berkurang atau bahkan nasabah sudah tidak percaya lagi dan hal tersebut juga dapat
berimbas pada batalnya suatu perjanjian atau kontak baik tertullis maupun lisan antara
nasabah dengan pihak bank yang menungkinkan nasabah tidak akan menggunakan jasa
dari bank yang bersangkutan. Hal ini yang kemuadian menjadi catatan bagi pemerintah
untuk mengeluarkan beberapa peraturan guna melindungi nasabah pengguna electronic
banking. Yang selanjutnya peraturan tersebut juga dapat di gunakan untuk
34
meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap bank. Karena banyaknya peraturan
perundang-undangan yang dapat digunakan nasabah pengguna electronic banking
untuk memperoleh perlindungan hukum maka, penulis akan menjelaskan satu persatu
konsep perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada.
Penulis mengutip pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang mengatakan
bahwa hukum merupakan sistem yang berarti hukum itu merupakan tatanan yaitu suatu
kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan erat satu sama lain atau dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang memiliki interaksi satu sama lain dan
berkerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan
terhadap komplek unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan
pengertian hukum20
Bertolak dari pendapat sudikno mertokusumo tersebut, penulis akan
memaparkan perlindungan hukum yang di dapatkan oleh nasabah pengguna electronic
banking yaitu berupa self regulation dan government regulation. Self regulation adalah
kebijakan yang dibuat oleh pihak bank untuk melindungi nasabah berupa pembuatan
sistem electronic banking yang berstandar Internasional, pengamanan yang baik dari
pihak bank itu sendiri dan perjanjian yang dibuat antara pihak bank dan nasabah
terhadap segala resiko yang terjadi dalam pemanfaatan produk electronic banking.
Sedangkan yang dimaksud government regulation adalah kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah berbentuk perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi nasabah
pengguna layanan electronic banking yang terdiri dari UU Perbankan, UU BI, SEBI,
PBI, UU OJK dan POJK, UU ITE, UU Perlindungan Konsumen, KUHP, KUH Perdata.
Guna menemukan hukum apa yang paling ideal untuk melindungi nasabah pengguna
20
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1998,h.102.
35
electronic banking dari kemungkinan timbulnya suatu kerugian. Government regulation
tersebut terdiri dari;
1. UU Perbankan
Dalam UU Perbankan Ketentuan yang dapat digunakan untuk menetapkan dan
memberikan perlindungan hukum atas data pribadi nasabah dalam penyelenggaraan
layanan electronic banking dapat dicermati dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan
yang menyatakan;
“Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang di lakukan melalui bank.”21
Aturan tersebut dapat digunakan oleh bank sebagai langkah prefentif dalam
meminimalkan terjadinya suatu kerugian yang dialami oleh nasabah pengguna
electronic banking akibat ketidak tahuan nasabah dalam menggunakan produk
electronic banking yang disediakan oleh pihak bank. Maka dari itu bank harus secara
aktif memberikan informasi-informasi sehubungan dengan risiko kerugian atas
pemanfaatan layanan electronic banking. Tetapi jika pihak bank lupa atau bahkan lalai
dalam memberikan informasi atas produk electronic banking yang digunakan oleh
nasabah maka pihak banklah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami
nasabah.
Selanjutnya, ketentuan lain dalam UU Perbankan yang mengatur mengenai
perlindungan hukum bagi nasabah pengguna electronic banking ini adalah ketentuan
Pasal 40 ayat (1) dan (2) yang menyatakan;
Pasal 40 ayat (1)
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal
44, dan Pasal 44A.”
21
Pasal 29 ayat (4), op.cit.
36
Pasal 40 ayat (2)
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi Pihak Terafiliasi.”
Ketentuan dalam Pasal tersebut merupakan suatu langkat represif yang
dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada nasabah
pengguna electronic banking karena Pasal tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi
para penegak hukum dalam rangka melakukan penyidikan untuk menemukan bukti
terjadinya suatu kejahatan atau pelangaran dalam transaksi melalui electronic banking.
Selain itu ketentuan yang terdapat dalam Pasal 40 di atas mewajibkan bank menjaga
seluruh rahasia nasabahnya yang dalam kaitannya dengan transaksi electronic adalah
PIN, login ID dan password nasabah yang dimiliki oleh pihak bank.
Dalam UU Perbankan terdapat beberapa Pasal yang digolongkan sebagai tindak
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggran. Dengan digolongkan sebagai tindakan
kejahatan, diharapkan akan lebih terbentuk suatu keketatan dalam UU Perbankan yang
selanjutnya dapat meminimalkan terjadinya suatu kejahatan dalam dunia perbakan.
Mengenai tindak pidana kejahatan dibidang electronic banking, hal ini termuat dalam
Pasal 49 ayat (2) butir b menyatakan bahwa;
“tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-
undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta
denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Pasal ini dapat digunakan nasabah untuk menuntut pihak bank jika pihak bank
melakukan kesalahan atau kelalaian yang bertentangan dengan UU Perbankan ataupun
37
peraturan perundang-undangan lainnya yang menyebabkan kerugian bagi nasabah. Hal
tersebut dapat di kategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. 22
Sehingga dapat dikatakana bahwa dalam UU Perbankan sudah terdapat suatu
bentuk perlindungan hukum bagi nasabah pengguna electronic banking baik secara
preventive maupun refresif yang bertujuan untuk melindungi setiap hak dan
kepentingan nasabah yang merasa dirugikan karena suatu produk yang di tawarkan oleh
pihak bank.
1. Bank Indonesia (BI)
Selain UU Perbankan yang dapat digunakan untuk memberi perlindungan pada
nasabah pengguna electronic banking, ketentuan lain yang berhubungan dengan
perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh bank dalam lingkup hukum perbankan
adalah ketentuan-ketentuan yang di keluarkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa
Keuangan. Ketentuan dalam Bank Indonesia tersebut antara lain;
1) Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang penerapan prinsip mengenal
nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia
6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang penilaian dan pengenaan sanksi
atas penerapan prinsip mengenal nasabah dan kewajiban lain terkait dengan UU
tentang tindak pidana pencucian uang. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip
yang di terapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan
transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan serta dalam
menerapkan prinsip mengenal nasabah, bank wajib menetapkan kebijakan
penerimaan nasabah, menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi
nasabah, menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi nasabah serta menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen resiko
yang berkaitan dengan penerapan prinsip mengenal nasabah.
2) Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen risiko
bagi bank umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20
April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada aktivitas pelayanan jasa
bank melalui internet pokok-pokok pengaturannya antara lain;
a. Bank yang menyelenggarakan kegiatan electronic banking wajib menerapkan
manajemen risiko pada aktivitas electronic banking secara efektif;
b. Penerapan manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan,
prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu pada pedoman penerapan
22
Ibid, h.147.
38
manajemen risiko pada aktivitas pelayanan jasa bank melalui internet (electronic
banking), yang di tetapkan dalam lampiran Surat Edaran Bank Indonesia;
c. Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan
kegiatan electronic banking adalah:
a) Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
Komisaris dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko
yang terkait dengan aktivitas electronic banking, termasuk penetapan
akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola risiko
tersebut;
Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap aspek utama dari
prosedur pengendalian pengamanan bank.
b) Pengendalian pengamanan (security control)
Bank harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian
(otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan transaksi
melalui electronic banking;
Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin
bahwa transaksi tidak dapat di ingkari oleh nasabah (non repudiation) dan
menetapkan tanggung jawab dalam transaksi electronc banking;
Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem electronic
banking, database dan aplikasi lainnya;
Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses
(privileges) yang tepat terhadap sistem electronic banking, database dan
aplikasi lainnya;
Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi
integritas data, catatan atau arsip dan informasi pada transaksi electronic
banking;
Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang
jelas untuk seluruh transaksi electronic banking;
Bank harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan
informasi penting pada electronic banking. Langkah tersebut harus sesuai
dengan sensitivitas informasi yang di keluarkan dan/atau di simpan dalam
database.23
3) Manajemen Resiko Hukum dan Risiko Reputasi
a. Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang
memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat
mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui
electronic banking;
b. Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan
kerahasiaan nasabah di terapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat
kedudukan bank menyediakan produk dan jasa electronic banking;
c. Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan
usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa electronic
banking;
d. Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk
mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari
kejadian yang tidak di perkirakan (internal dan eksternal) yang dapat
menghambat penyediaan sistem dan jasa electronic banking;
23
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Resiko Bagi Bank Umum.
39
4) Dalam PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Bank
Indonesia mewajibkan seluruh bank untuk menyelesaikan setiap pengaduan
nasabah yang terkait dengan adanya potensi kerugian finansial pada sisi nasabah.
Dalam PBI ini diatur mengenai tata cara penerimaan, penanganan. dan juga
pemantauan penyelesaian pengaduan. Selain itu, bank di wajibkan pula untuk
memberikan laporan triwulanan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan
penyelesaian pengaduan nasabah tersebut. Pada prinsipnya, PBI di atas mengatur
bahwa bank tidak di perkenankan menolak setiap pengaduan yang di ajukan
secara lisan maupun tertulis. Untuk pengaduan lisan, bank wajib
menyelesaikannya dalam waktu 2 hari kerja sedangkan untuk pengaduan tertulis
wajib diselesaikan dalam waktu 20 hari kerja dan dapat diperpanjang hingga 20
hari kerja berikutnya apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu. Untuk
memastikan bahwa bank telah melaksanakan ketentuan penyelesaian pengaduan
nasabah, maka setiap triwulan bank diwajibkan menyampaikan laporan kepada
Bank Indonesia mengenai kasus-kasus pengaduan yang sedang dan telah
diselesaikan oleh bank. Laporan ini nantinya akan di susun sedemikian rupa
sehingga akan mudah di ketahui produk apa yang paling bermasalah dan jenis
permasalahan yang paling sering di kemukakan nasabah. Melalui laporan ini pula
Bank Indonesia akan dapat memantau permasalahan yang kemungkinan dapat
berkembang menjadi permasalahan yang bersifat sistemik sehingga dapat segera
dilakukan langkah-langkah preventif untuk mencegah ekskalasi permasalahan
yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan. 24
5) PBI No. 8/5/PDI/2006 tentang Mediasi Perbankan di nyatakan bahwa
penyelenggaraan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia pada intinya mencakup
bahwa nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi
kepada Bank Indonesia. Proses mediasi yang di lakukan Bank Indonesia hanya
sengketa dengan nilai klaim maksimum sebesar Rp500.000.000.00 (lima ratus
juta rupiah). Proses mediasi dapat dilaksanakan apabila kasus yang diajukan
memenuhi persyaratan. Pelaksanaan proses mediasi sejak ditanda tanganinya
perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan akta
kesepakatan di laksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dan dapat di
perpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan
kesepakatan nasabah dan bank. Akta Kesepakatan dapat memuat kesepakatan
menyeluruh, kesepakatan sebagian atau tidak tercapainya kesepakatan atas kasus
yang di sengketakan.25
6) Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Bank wajib menerapkan
Manajemen Risiko secara efektif baik untuk bank secara individual maupun
untuk Bank secara konsolidasi dengan perusahaan anak, yang paling kurang
mencakup 4 (empat) pilar yaitu: 26
a. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi;
b. Kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit;
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian
risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
24
Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah 25
Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PDI/2006 tentang Mediasi Perbankan 26
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
40
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh27
7) Peraturan Bank Indonesia No.9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen
Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum dalam Pasal
3 dijelaskan mengenai ruang lingkup manajemen resiko teknologi informasi
yang menyatakan bahwa penerapan manajemen risiko dalam penggunaan
teknologi informasi oleh bank wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha bank. kompleksitas usaha meliputi
antara lain keragaman dalam jenis transaksi/produk/jasa dan jaringan kantor
serta teknologi pendukung yang digunakan. Penerapan manajemen resiko
dalam penggunaan teknologi informasi yang mencakup mengenai wewenang
dan tanggung jawab bagi direksi dinyatakan dalam pasal 4 yang mengatakan
bahwa.
a. Menetapkan rencana strategis teknologi informasi dan kebijakan bank terkait
penggunaan teknologi informasi dan memastikan bahwa :
1. Teknologi informasi yang digunakan bank dapat mendukung perkembangan
usaha, pencapaian tujuan bisnis bank dan kelangsungan pelayanan kepada
nasabah;
2. Terdapat upaya peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait
dengan penggunaan teknologi informasi upaya peningkatan kompetensi
sumber daya manusia dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan
pendidikan atau pelatihan.
3. Penerapan proses manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi
dilaksanakan secara memadai dan efektif;
4. Tersedianya kebijakan dan prosedur teknologi informasi yang memadai dan
dikomunikasikan serta diterapkan secara efektif baik
Pada satuan kerja penyelenggara maupun pengguna teknologi informasi;
5. Terdapat sistem pengukuran kinerja proses penyelenggaraan Teknologi
Informasi yang paling kurang dapat:
Mendukung proses pemantauan terhadap implementasi strategi;
Mendukung penyelesaian proyek;
Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia dan investasi pada
infrastruktur;
Meningkatkan kinerja proses penyelenggaraan teknologi informasi dan
kualitas layanan penyampaian hasil proses kepada pengguna.
Sedangkan proses manajemen resiko terkait teknologi informasi terdapat dalam
Pasal 10 yang menyatakan
(1) Bank wajib melakukan proses manajemen risiko yang mencakup identifikasi,
pengukuran, pemantauan dan pengendalian atas risiko terkait penggunaan
teknologi informasi.
(2) Proses manajemen risiko dilakukan terhadap aspek-aspek terkait
Teknologi informasi yang paling kurang mencakup pengembangan dan
pengadaan teknologi informasi, operasional teknologi informasi, jaringan
komunkasi, pengamanan informasi, business continuity plan, end user
27
Husein Umar, 2001, Manajemen Risiko Bisni, Pendekatan Finansial dan Nonfinancial, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. h.97.
41
computing, electronic banking, dan penggunaan pihak penyedia jasa teknologi
informasi.
(3) Dalam hal bank menggunakan jasa pihak lain untuk menyelenggarakan
teknologi informasi, bank wajib memastikan bahwa pihak penyedia jasa
teknologi informasi menerapkan juga manajemen risiko yang paling kurang
sesuai dengan ketentuan ini.
Dan dipertegas dengan Pasal 12
(1) Bank wajib mengidentifikasi dan memantau serta mengendalikan risiko yang
terdapat pada aktivitas operasional teknologi informasi, pada jaringan
komunikasi serta pada end user computing untuk memastikan efektifitas,
efisiensi dan keamanan aktivitas tersebut antara lain dengan aktivitas
operasional teknologi informasi mencakup aktivitas pada pusat data (data
center), disaster recovery center maupun pada pengguna teknologi informasi.
a. Menerapkan pengendalian fisik dan lingkungan terhadap fasilitas pusat data
(data center) dan disaster recovery center;
b. Menerapkan pengendalian hak akses secara memadai sesuai kewenangan yang
ditetapkan;
c. Menerapkan pengendalian pada saat input, proses, dan output dari informasi;
d. Memperhatikan risiko yang mungkin timbul dari ketergantungan bank
terhadap penggunaan jaringan komunikasi;
e. Memastikan aspek desain dan pengoperasian dalam implementasi jaringan
komunikasi sesuai dengan kebutuhan;
f. Melakukan pemantauan kegiatan operasional teknologi informasi
Termasuk adanya audit trail;
g. Melakukan pemantauan penggunaan aplikasi yang dikembangkan atau
diadakan oleh satuan kerja di luar satuan kerja teknologi informasi.
(4) Bagi bank yang memiliki unit usaha yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, wajib memiliki sistem yang dapat menghasilkan
laporan yang terpisah bagi kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah.
Yang dimaksud memiliki sistem yang dapat menghasilkan laporan yang
terpisah adalah yang dapat mengidentifikasikan input dan proses serta output
dari transaksi berdasarkan prinsip syariah.28
8) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR dan Surat
Edaran Nomor 27/9/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang tentang Penggunaan
Teknologi Sistem Informasi oleh Bank yang memuat bahwa;
1. Bank wajib menyampaikan laporan rencana perubahan sistem teknologi
informasi (tsi) yang menyangkut perubahan konfigurasi dan prosedur
pengoperasian komputer yang terkait dengan rencana penyelenggaraan
internet banking selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kalender sebelum
pelaksanaan.
2. Bagi bank yang dikecualikan untuk menyampaikan laporan dalam hal
penyelenggaraan aktivitas baru electronic banking tersebut telah efektif
dilaksanakan oleh bank sebelum bank menyelesaikan action plan kewajiban
untuk menyampaikan laporan realisasi rencana perubahan TSI yang
28
Peraturan Bank Indonesia No.9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan
Teknologi Informasi oleh Bank Umum
42
menyangkut electronic banking selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah rencana dimaksud dilaksanakan29
Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh BI di atas adalah suatu bentuk
perlindungan huku yang di berikan BI guna melindungi setiap nasabah pengguna
electronic banking yang mengalami kerugian, karena ketentuan di atas juga mengatur
mengenai ketentuan pengaduan nasabah atas kegiatan suatu bank yang dirasa
merugikan nasabah.
3. Otoritas Jasa Keuangan
Selain perlindundan hukum dari UU Perbankan dan ketentuan-ketentuan dalam
BI, perlindungan hukum yang diberikan dunia perbankan kepada nasabah juga dapat
dilihat dengan berdirinya OJK dan peraturan-peraturan yang di kelurkannya. Dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang selanjutnya di sebut UU OJK. Terdapat
Pasal yang dapat dijadikan acuan bagi nasabah dan OJK untuk perlindungan hukum
bagi nasabah pengguna electrtonic banking yang terdapat dalam Pasal 28 dan Pasal 29.
Pasal 28 menyatakan bahwa
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, ojk berwenang melakukan
tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, yang meliputi:
a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor
jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan
tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
Aturan yang di keluarkan OJK ini mewajibkan pihak bank untuk memberikan
informasi yang benar dan jelas mengenai suatu produk yang ditawarkan oleh pihak
bank yang dalam hal ini electronic banking guna untuk meminimalkan tingkat kerugian
yang dapat dialami oleh nasabah akibat penggunaan produk electronic banking. Selain
itu juga dalam aturan tersebut menjelaskan mengenai kewenangan OJK untuk
29
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/164/KEP/DIR dan Surat Edaran Nomor 27/9/UPPB
tanggal 31 Maret 1995 tentang tentang Penggunaan Teknologi Sistem Informasi oleh Bank
43
mengentikan atau memberikan sanksi dikarenakan suatu kegiatan atau suatu jasa yang
ditawarkan pihak bank tersebut mempunyai potensi menyebabkan suatu kerugian bagi
nasabahnya.
Sedangkan Pasal 29 menyatakn bahwa;
OJK melakukan pelayanan pengaduan Konsumen yang meliputi:
1) Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen yang
dirugikan oleh pelaku dilembaga jasa keuangan;
2) Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku dilembaga
jasa keuangan; dan
3) Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.30
Berkaitan dengan Pasal 29 di atas OJK menerbitkan beberapa aturan terkaitan
dengan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan mediasi
perbankan yang telah di alihkan ke OJK. Yang antara lain
a. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan (“POJK No.1/2013”);
b. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“POJK No. 1/2014”); dan
c. Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang
Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (“SE OJK No. 2/2014”)
Untuk selanjutnya semua peraturan di atas disebut Peraturan OJK. Walaupun
demikian, Peraturan OJK tidak mencabut keberlakuan Peraturan BI selama ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan BI tidak bertentangan dengan Peraturan OJK. Tahapan
penyelesaian pengaduan konsumen pada bank dan tahapan penyelesaian sengketa
melalui OJK adalah sebagai berikut;
a. Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Bank
POJK No.1/2013 mewajibkan setiap bank untuk memiliki unit yang dibentuk
secara khusus disetiap kantor bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan
yang diajukan oleh konsumen tanpa dipungut bayaran. Pengaduan harus didasari atas
30
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
44
adanya kerugiana atau potensi kerugian finansial pada konsumen karena kesalahan atau
kelalaian bank.
Ganti rugi diberikan untuk kerugian yang bersifat material, dengan ketentuan
konsumen telah memenuhi kewajibannya dan terdapat ketidak sesuaian antara produk
dan/atau layanan bank yang diterima dengan yang di perjanjikan, pengaduan diajukan
paling lama 30 hari sejak diketahuinya produk dan/atau layanan yang tidak sesuai
dengan perjanjian dan kerugian berdampak langsung pada konsumen. Ganti rugi yang
ditetapkan oleh OJK maksimum sebesar nilai kerugian Konsumen.31
b. Penyelesaian Sengketa Melalui OJK
Jika pengaduan Konsumen tidak dapat diselesaikan oleh bank, maka konsumen
dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa di sektor perbankan. Berdasarkan POJK No. 1/2014 lembaga
alternatif penyelesaian sengketa di sektor perbankan dibentuk oleh bank-bank yang
dikoordinasi oleh asosiasi perbankan, yang berwenang untuk memeriksa sengketa dan
menyelesaikannya melalui mediasi, ajudikasi atau arbitrase. 32
c. Yurisdiksi Penyelesaian Sengketa Melalui OJK
Berdasarkan SEBI No. 8/2006 jo. POJK No.1/2013 sengketa yang dapat
diajukan penyelesaiannya melalui OJK adalah sengketa keperdataan dengan nilai
sengketa yang diajukan maksimum sebesar Rp. 500.000.000. Jumlah maksimum nilai
sengketa sebagaimana dimaksud sebelumnya dapat berupa nilai kumulatif dari kerugian
finansial yang telah terjadi pada konsumen, potensi kerugian karena penundaan atau
tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan konsumen dengan pihak lain, dan atau
biaya-biaya yang telah dikeluarkan konsumen untuk mendapatkan penyelesaian
permasalahan terkait.
Kerugian immateriil, antara lain karena pencemaran nama baik dan perbuatan
tidak menyenangkan, tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan nilai sengketa. Selain
itu, sengketa yang diajukan untuk penyelesaian melalui OJK juga harus tidak sedang
dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau
lembaga mediasi, sehingga dapat difasilitasi oleh OJK dan di ajukan paling lambat 60
(enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan disampaikan
oleh bank kepada konsumen. 33
b. Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen menurut Surat
Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 adalah sebagai berikut.
1. PUJK wajib melayani dan menyelesaikan adanya pengaduan konsumen sebelum
pengaduan tersebut disampaikan kepada pihak lain.
2. PUJK wajib segera menindak lanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat
20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan.
3. Dalam hal terdapat kondisi tertentu, PUJK dapat memperpanjang jangka waktu
sampai dengan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja berikutnya.
31
Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan 32
Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
45
4. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pengaduan wajib diberitahukan secara
tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum jangka waktu
berakhir.
5. PUJK harus mempunyai prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan yang
sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. penerapan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi, dan efektifitas;
b. pelaksanaan penerimaan pengaduan konsumen melalui berbagai cara antara lain
tatap muka, email dan surat namun tidak termasuk pengaduan yang dilakukan
melalui pemberitaan di media massa;
c. Tatacara komunikasi kepada konsumen paling kurang mencakup :
Prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan dalam format yang mudah
dimengerti dan mudah diakses oleh konsumen; dan
Penawaran penyelesaian jika dari hasil analisa dan evaluasi yang dilakukan oleh
PUJK terjadinya pengaduan disebabkan kesalahan dari PUJK.
d. merahasiakan informasi mengenai Konsumen yang melakukan pengaduan kepada
pihak manapun, kecuali:
kepada OJK;
dalam rangka penyelesaian pengaduan;
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan; dan/atau
atas persetujuan konsumen34
4. UU Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen atau yang di singkat UU Perlindungan Konsmen diatur mengenai kewajiban
pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan. Hal ini merupan suatu self regulation dari pihak bank untuk
meminimalkan terjadinya kerugian yang akan dialami oleh nasabah dikemudian hari
karena kurangnya informasi yang diberikan pihak bank pada nasabah.
Dalam Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen diatur mengenai tanggung jawab
pelaku usaha yang menyatakan bahwa;
34
Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian
Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan
46
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.35
Dalam Pasal ini tanngung jawab pelaku usaha berupa seluruh kerugian yang
dialami oleh konsumen tetapi hal ini tidak berlaku apabila kerugian yang di derita oleh
nasabah tersebut dikarenakan kesalahan atau kelalaian nasabah itu sendiri. Dari
ketentuan di atas maka di buatlah suatu aturan yang dirasa dapat di jadikan patokan
guna menyelesaikan permasalah pengenai tanggung jawab akibat kerugian yang di
timbulkan karena adanya transaksi di bank. Aturan tersebut adalah mengenai klasula
baku yang terdapat dalam Pasal 18, yang menyatakan bahwa;
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang di tujukan untuk di
perdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
35
Pasal 19 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perbankan
47
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah di tetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) di nyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan uu ini.36
Pembuatan klausula baku ini diharapkan dapat menjadi patokan baik pelaku
usaha dan nasabah untuk dapat menghilangkan atau paling tidak meminimalisir
terjadinya kerugian bagi nasabah. Sedangkan sanksi yang mengatur mengenai hal
tersebut di atur dalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan bahwa;
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal
17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar
rupiah).”
5. UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Trankasksi Elektronik atau yang disingkat UU ITE Bab VII Pasal 30 hingga Pasal 33
dan Pasal 35 mengatur mengenai hal yang dilarang dalam melakukan transaksi
electronik banking yang selanjutnya hal tersebut dapat menjadi perlindungan hukum
yang diberikan oleh pemerintah yang dituangkan dalam UU ITE guna untuk
melindungi nasabah pengguna electronic banking Pasal-Pasal tersebut menyatakan;
Pasal 30
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.
36
Ibid Pasal 18
48
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk
memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar,
menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Dari Pasal 30 di atas pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi nasabah
yang mengalami kerugian akibat penggunaan produk electronic banking yang dibajak
atau di kendalikan pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu pemerintah
memberikan sanksi pidana seperti yang termuat dalam Pasal 46 UU ITE yang
menyatakan bahwa
Pasal 46
(1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 31
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau sistem
elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa
pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang di
transmisikan.
Dari Pasal 31 di atas pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi nasabah
yang mengalami kerugian secara finansial yang diakibatkan karena adanya
penyalahgunaan teknologi yaitu berupa sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 47 UU
ITE yang menyatakan bahwa.
“Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
49
Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”
Pasal 32
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa
pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa
pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat
rahasia menjadi dapat di akses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak
sebagaimana mestinya.
Dari Pasal 32 di atas pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi nasabah
yang mengalami kerugian secara finansial yang diakibatkan karena adanya
penyalahgunaan teknologi yaitu berupa sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 48 UU
ITE yang menyatakan bahwa
(1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 33
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau
mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya. dari Pasal 33 di atas pemerintah memberikan perlindungan hukum
bagi nasabah yang mengalami kerugian yang diakibatkan karena adanya
penyalahgunaan teknologi yaitu berupa sanksi pidana yang terdapat dalam
Pasal 49 UU ITE yang menyatakan bahwa setiap orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, di pidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 35
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut di anggap seolah-olah data
yang otentik”
50
Dari Pasal 35 di atas pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi nasabah
yang mengalami kerugian yang diakibatkan karena adanya penyalahgunaan teknologi
yaitu berupa sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU ITE yang
menyatakan bahwa
(1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 di
pidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).37
6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam KUHP tidak terdapat Pasal yang membahas mengenai kejahatan dalam
sistem electronic banking. Tetapi ada beberapa Pasal yang dapat digunakan untuk
melindungi nasabah pengguna electronic banking terhadap tindak kejahatan didunia
perbankan. Yang antara lain terdapat dalam Pasal 406 ayat (1) yang menyatakan
bahwa;
Barangsiapa dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan,
merusak, membikin tak dapat di pakai atau menghilangkan barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, di ancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
Pasal ini dapat dikenakan dalam kasus hacking yang menyebabkan sistem milik
orang lain seperti website atau program menjadi tidak berfungsi dan tidak dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya yang selanjutnya pelaku kejahatan tersebut
memanfaatkan website milik orang lain untuk melakukan tindakan kejahatannya. Pasal
362 KUHP juga mengatur mengenai perlindungan hukum bagi nasabah, yang
mengalami kerugian karena pencurian sejumlah uang atau seluruh uang milik nasabah
pengguna electronic banking yang menyatakan;
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain. Dengan maksud untuk di miliki secara melawan hukum
37
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
51
di ancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
Pasal 378 KUHP tentang penipuan juga menjadi salah satu Pasal yang dapat
dikaitkan dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah pengguna electronic banking
dalam kaitannya saat nasabah ingin melakukan transaksi si pelaku membelokan
sejumlah uang atau seluruh uang nasabah kerekeningnya dengan beberapa modus
penipuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Pasal yang dapat digunakan untuk
melindungi nasabah adalah Pasal 378 yang menyatakan;
“barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama
palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat atau rangkaian
kebohongan …”38
7. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Dalam KUHPerdata Pasal 1367, disebutkan mengenai ketentuan ganti kerugian,
yang menyatakan bahwa.
Pasal 1367
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang di sebabkan
perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau di
sebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Orangtua
dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang di sebabkan oleh anak-anak
yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka
melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang
mengangkat orang lain…”39
Apabila dikaitkan dengan kegiatan dalam hal penggunaan produk bank
khususnya electronic banking yang menyebabkan kerugian bagi nasabah. Pasal tersebut
dapat diartikan bahwa bank akan bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang
38
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 39
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
52
dialami nasabah jika bank telah memenuhi unsur-unsur yang tertuang dalam Pasal
tersebut, unsur tersebut meliputi;
1. Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh bank yang bertentangan dengan
ketentuan dalam UU Perbankan dan perbuatan tersebut tidak terdapat unsur
pembenar;
2. Perbuatan yang dilakukan oleh bank telah menimbulkan kerugian bagi nasabah
penyimpan;
3. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
bank dengan kerugian yang di derita oleh nasabah penyimpan.40
Hubungan antara bank dan nasabah adalah hubungan kontraktual atau hubungan
berdasarkan atas perjanjian, oleh sebab itu jika salah satu pihak tidak melakukan hal
sebagaimana dimaksudkan dalam perjanjian tersebut maka dapat dikatakan bahwa
terjadi wanprestasi atas perjanjian tersebut. Akibat hukum bagi pihak yang telah
melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:
a. Membayar kerugian yang diderita (ganti rugi);
b. Pembatalan perjanjian;
c. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak di
penuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
d. Membayar biaya perkara, kalau sampai di perkarakan di depan hakim.
Pihak yang melakukan wanprestasi wajib membayar ganti rugi, setelah
dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi yang tertera dalam Pasal 1243
KUHPerdata. Ganti rugi terdiri dari biaya, rugi, dan bunga yang tertera dalam Pasal
1244 KUH Perdata - 1246 KUH Perdata. Maka dari itu jika ada pihak baik bank,
nasabah ataupun pihak ketiga yang melakukan wanprestasi maka pihak tersebut harus
menganti kerugian yang dialami oleh nasabah, tetapi jika nasabah sendiri yang
menyebabkan kerugian bagi dirinya maka nasabah tidak dapat menuntut pihak bank
untuk melalukan ganti rugi.
Dari paparan di atas dapat di katakana bahwa perlindungan hukum yang
dikeluarkan pemerintah bagi nasabah pengguna electronic banking tidak hanya terbatas
40
ibid
53
pada peraturan yang terdapat dalam UU Perbankan, BI dan OJK melainkan juga
terdapat dalam beberapa peraturan-peraturan lainnya yang juga memiliki kekuatan
hukum yang sama dan fungsi yang sama yaitu guna melindungi nasabah pengguna
electronic banking.
Berikut ini adalah gambaran mengenai perlindungan hukum dari berbagai
peraturan yang ada seperti yang telah dipaparkan di atas
Bank Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan
UU ITE
KUHP
KUHPerdata
UU Perlindungan Konsumen
UU Perbankan
1.2.3 Gambaran Sharing Responsibility dalam perlindungan hukum
bagi nasabah pengguna electronic banking
Perlindungan hukum yang di buat pemerintah dan di tuangkan dari berbagai
peraturan-peraturan di atas dapat digunakan untuk melindungi nasabah pengguna
electronic banking. Lalu bagaimana dengan bank, jika suatu kesalahan atau kelalaian
54
yang menyebabkan nasabah mengalami kerugian disebabkan karena nasabah itu sendiri
atau pihak ketiga. Apakah bank yang harus menganti kerugian untuk kesalahan yang
nasabah perbuat. Hal ini dirasa tidak fair apabila semua beban tanggung jawab
diserahkan kepada pihak bank. Maka dari itu dalam sub bab ini penulis akan
memaparkan mengenai pembagian tanggung jawab antara pihak bank, nasabah maupun
pihak ketiga.
Tetapi sebelum membahas mengenai sharing responsibility terlebih dahulu
penulis akan menggambarkan pihak mana saja yang terlibat dalam transaksi electronic
banking yang antara lain
a. Nasabah Bank (Bilateral)
b. Nasabah Pihak ketiga Bank (Multilateral)
c. Multilateral Pihak Bank
Selanjutnya pengaturan mengenai sharing responsibility terdapat dalam Pasal
30 OJK menyatakan bahwa;
1) Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, ojk berwenang melakukan
pembelaan hukum, yang meliputi:
a. Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan
untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan lembaga jasa keuangan
dimaksud;
b. Mengajukan gugatan:
1. Untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak
yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penugasan pihak yang
menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan
itikad tidak baik;dan/atau
2. untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada
konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
2) Ganti kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b angka 2 hanya digunakan
untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.41
Pasal tersebut menyatakan bahwa apabila terjadi suatu kerugian yang dialami
nasabah, baik karena perbuatan pihak bank, pihak ketiga atau pihak bank dan pihak
41
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Informasi dan Trankasisi Electronik
55
ketiga maka OJK berhak untuk mengajukan gugatan guna untuk melindungi hak dari
nasabah pengguna electronic banking dan meminta pihak bank maupun pihak ketiga
untuk mengembalikan uang yang hilang akibat perbuatan bank atupun pihak ketiga.
Tetapi Pasal ini tidak berlaku apabila kerugian yang di derita oleh nasabah tersebut
dikarenakan perbuatannya atau kelalainnya sendiri.
UU Perlindungan Konsumen yang selama ini menjadi pedoman nasabah selaku
konsumen dalam memperoleh suatu perlindungan atas hak yang dimilikinya juga
mengatur mengenai sharing responsibility hal ini termuat dalam Pasal 5 butir a, Pasal 6
butir b,c,d dan pasal 27 butir d. Yang menyatakan bahwa;
Pasal 5 butir a
Kewajiban konsumen adalah :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
Dalam Pasal ini mengandung arti bahwa selain pihak bank yang harus aktif
memberika informasi menggenai produk electronic banking yang dimilikinya pihak
nasabah juga mempunyai kewajiban untuk mengikuti petunjuk dan informasi yang
telah disediakan oleh pihak bank agar tidak terjadi kerugian dikemudian hari yang
dapat merugikan nasabah sendiri akibat perbuatan atau kelalaiannya.
Pasal 27 butir d UU Perkos juga membebaskan pelaku usaha yang dalam hal ini
pihak bank. Pasal 27 butir d tersebut menyatkan bahwa
“pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung
jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;”42
Hal ini juga didukung dengan adanya Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen yang
melindungi pihak bank apabila kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian
pada nasabah tersebut bukan disebabkan karena kesalahan atau kelalian pihak bank
42
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
56
maka pihak bank dapat derdalih seperti yang tertera dalam Pasal 6 butir b,c dan d yang
menyatakan bahwa;
Hak pelaku usaha adalah :
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Dalam Pasal 15 ayat 1 UU ITE di sebutkan bahwa;
1. Setiap penyelengara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik
secara handal dan aman serta bertanggungjawab terhadap beroprasinya sistem
elektronik sebagai mestinya.
Dalam Pasal ini juga termuat bahwa setiap bank yang menyelenggarakan sistem
electronic banking harus menyelenggarakan sistem tersebut secara handal dan aman
serta bertanggungjawab terhadap beroprasinya sistem electronic banking tersebut
sebagai mestinya. Secara a contrario dapat dianalisis bahwa apabila dapat dibuktikan
penyelenggaraan electronic banking yang dilakukan oleh bank ternyata tidak aman,
maka pihak bank bertanggung jawab atau dipersalahkan terkait dengan terjadinya
gangguan yang menyebabkan kerugian terhadap nasabah tetapi sebaliknya apabila
sitem electronic banking yang di miliki oleh pihak bank aman dan pihak bank tidak
melakukan kesalahan maka pihak bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang
dialami oleh nasabah.
Dalam Pasal 21 UU ITE juga menyebutkan bahwa
(1) Pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak
yang dikuasakan olehnya, atau melalui agen elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi
elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. Jika dilakukan melalui agen elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
transaksi elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.
57
(3) Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik
akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap sistem elektronik, segala akibat
hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.
(4) Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik
akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung
jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat
dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak
pengguna sistem elektronik.43
Dalam KUHPerdata juga di sebutkan mengenai sharing responsibility hal ini
termuat dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan bahwa.
Pasal 1365
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian
itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”
Pasal 1366
“Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang
Di sebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian
Yang di sebabkan kelalaian atau kesembronoannya”44
Dari ketentuan di atas yang didapatkan dari berbagai peraturan perundangan
yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila kerugian materil yang diderita
nasabah pengguna electronic banking di sebabkan oleh karena kesalahan dari nasabah
sendiri, maka nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan kepada pihak bank karena
kesalahan tersebut dilakukan oleh nasabah bank pengguna electronic banking itu
sendiri.
Jika kerugian materil yang diderita oleh nasabah pengguna electronic banking
disebabkan oleh karena kesalahan dari pihak bank maka, pihak bank harus memenuhi
tuntutan nasabah dan bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi sesuai dengan
kerugian yang telah diderita oleh nasabah pengguna electronic banking.
43
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 44
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
58
Jika kerugian materil yang diderita oleh nasabah pengguna electronic banking
disebabkan karena pihak ketiga maka, pihak ketigalah yang harus memenuhi tuntutan
serta bertanggung jawab atas kerugian yang diderita nasabah pengguna electronic
banking.
Atau dapat dikatakan bahwa siapa yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah
pengguna electronic banking maka dialah yang harus mengganti sejumlah kerugian
yang diakibatkan karena perbuatanya. Di dalam KUH Perdata juga dikenal istilah
tanggung renteng yang diatur dalam pasal 1278 KUH Perdata sampai dengan Pasal
1295 KUH Perdata. Tanggung renteng dapat diartikan sebagai suatu perikatan dimana
beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berutang berhadapan dengan satu
orang kreditor, dimana salah satu dari debitur itu telah membayar utangnya pada
kreditor, maka pembayaran itu akan membebaskan teman-teman yang lain dari utang.
Prinsip tanggung renteng ini sebenarnya tidak dapat diterapkan dalam hal pertanggung
jawaban atas kerugian yang dialami oleh nasabah pengguna electronic banking
dikarenakan dalam hal pertanggung jawaban atas kerugian yang dialami nasabah hanya
dibebankan kepada pihak yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah itu sendiri. Tetapi
prinsip ini dapat muncul atau bahkan diterapkan dalam transaksi electronic banking
apabila ada suatu perjanjian antara pihak bank dan nasabah sebelumnya.
Seperti yang telah di paparkan di atas mengenai perlindungan hukum bagi
nasabah pengguna electroning banking serta sharing responsibility dalam penggunaan
produk electronic banking yang di tawarkan oleh pihak bank. Penulis akan
menganalisis apakah sudah benar dan sudah tepat dan apakah hukum yang berlaku
sekarang sudah ideal untuk menerapkan suatu sanksi bagi pihak yang melanggar
ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah pengguna
electronic banking.
59
Saat nasabah ingin mempunyai produk electronic banking yang ditawarkan oleh
pihak bank, maka nasabah mempunyai kewajiban untuk menyetujui berbagai
persyaratan yang dibuat oleh pihak bank. Ketika nasabah telah setuju dengan persyatan
tersebut pihak bank memberikan produk electronic banking yang dapat diakses oleh
nasabah beserta dengan paswoard, login ID dan PIN. Dan nasabah selaku konsumen
mempunyai tanggung jawab untuk menjaga paswoard, login ID dan PIN dari pihak lain
dari kemungkinan pihak lain menggunakannya untuk keuntungan dirinya sendiri.
Selain kewajiban yang ditekankan pada nasabah pihak bank mempunyai tanggung
jawab untuk mengamankan sistem electronic banking serta menjaga rahasia nasabahnya
seperti yang termuat dalam pasal 1 angka 28 dan pasal 40 hal ini di maksudkan agar
nasabah yang menggunakan produk electronic banking terhidar dari ancaman yang
berakibat kerugian pada nasabah. Hal ini juga telah di realisasikan pihak bank dengan
menggunakan suatu sistem yang bersandar internasional dalam pengamanan sistem
electronic banking.
Tetapi walaupun pihak bank sudah berusaha keras untuk memberikan
perlindungan bagi nasabah tidak dapat dipungkiri bahwa resiko kerugian tetaplah ada.
Kerugian tersebut dapat di akibatkan karena pihak bank, nasabah sendiri maupun pihak
ketiga. jika kerugian tersebut disebabkan oleh bank maka dapat dikatakan hal ini di
sebabkan karena bank lalai atau bahkan tidak memberikan informasi dengan jelas
mengenai penggunaan produk electronic banking dan adannya gangguan (error) atau
virus yang menyerang sistem electroning banking milik bank yang ketika diakses oleh
nasabah virus tersebut masuk ke perangkat nasabah baik berupa laptop, computer atau
handphone nasabah yang pada ahkirnya menyebabkan nasabah kehilangan sejumlah
uang yang disimpan pada bank tersebut maka jelaslah bahwa pihak bank selaku pelaku
usaha yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang di alami oleh nasabah. Hal ini
60
didukung oleh UU Perlindungan Konsumen Pasal 7 huruf f disebutkan bahwa pelaku
usaha yaitu pihak bank mempunyai kewajiban untuk memberikan ganti rugi atas
kerugian akibat penggunaan suatu barang atau jasa yang dalam hal ini adalah electronic
banking Pasal 7 ini di pertegas dengan adanya Pasal 19 yang membahas mengenai
tanggung jawab pelaku usaha dan pasal pasal 1365-1366 KUHPerdata. Dalam Pasal
tersebut jelas disebutkan mengenai prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability
adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung
jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan.
tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Prinsip strick liability ini disebut juga
dengan liability without fault bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
memberikan ganti rugi kepada nasabah pengguna electronic banking bawasannya
dalam hal pemanfaatan produk electronic banking tersebut merugikan nasabah seperti
ketentuan-ketentuan yang telah dipaparkan di atas tetapi Pasal tersebut dapat di
patahkan apabila pihak bank dapat membuktikan bahwa tidak melakukan kesalahan
yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah.
Tetapi jika kerugian yang di alami oleh nasabah dikarenakan perbuatan nasabah
sendiri hal ini dapat disebabkan karena nasabah telah lalai dalam penggunaan produk
electronic banking, tedapat virus yang menyerang perangkat nasabah yang tidak
diketahui nasabah, pemakaian laman electronic banking yang tidak resmi atau bahkan
nasabah lalai dan memberitahukan password, ID login dan PIN pada orang lain yang
memungkinkan orang lain untuk mudah mengakses data nasabah pengguna electronic
banking maka nasabahlah yang harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri untuk
kerugian yang di deritanya.
61
Jika kerugian yang di alami oleh nasabah disebabkan karena pihak ketiga hal ini
dikarenakan pihak ketiga secara sengaja mengincar data nasabah pengguna electronic
banking yang kemudian menyusupkan suatu virus yang menyerang perangkat nasabah
sehingga pihak ketiga dengan mudah dapat mengakses data nasabah dan membelokan
sejumlah uang nasabah ke reneningnya maka dapat dikatakana bahwa tanggung jawab
atas kerugian yang dialmai oleh nasabah tersebu berada pada pihak ketiga.
Dalam kaitannya dengan tuntutan pada pihak ketiga untuk menganti kerugian
yang dialami oleh nasabah apabila nasabah mengalami kerugian, hal ini menjadi suatu
pekerjaan yang sulit apabila pihak bank harus membuktikan bahwa kerugian yang
dialami nasabah disebabkan karena pihak ketiga. selain itu juga ada kesenjangan jika
tanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh nasabah tersebut menjadi kesalahan
pihak ketiga, karena pada dasrnya pihak banklah yang mengelola sistem electronic
banking secara keseluruhan dan apabila terjadi suatu kerugian yang diakibatkan oleh
pihak ketiga itu berarti ada kelemahan dalam sistem electronic banking yang dimiliki
oleh pihak bank tersebut karena dalam UU ITE Pasal 15 menyatakan bahwa setiap bank
yang menyelenggarakan sistem electronic banking maka bank tersebut harus
bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan electronic banking yang aman dan
handal kepada nasabahnya.
Dan karena itu maka tidak dapat dipersalahkan pada pihak ketiga saja apabila
pihak ketiga mengambil atau membelokan sejumlah uang nasabah karna pada dasarnya
kesalahan terdapat pada pihak bank yang kurang memperhatikan sistem keamanan
electronic banking. Hal ini juga didukung dengan Pasal 1 angka 28 UU Perbankan yang
mengatakan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Pasal ini juga di pertegas
dengan adanya pasal 40 yang mewajibkan bank untuk merahasiakan keterangan
62
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Yang dalam hal ini adalah PIN,
password, login ID milik nasabah yang juga dimiliki oleh pihak bank.
Jadi dengan kata lain bank memiliki kewajiban untuk menjaga seluruh rahasia
nasabahnya maka apabila nasabah sudah menjaga rahasia banknya dengan baik dan
tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai PIN, login ID dan Password dapat
dikatakan bahwa yang melakukan kesalahan adalah pihak bank yaitu dalam pengaturan
self regulation yang di keluarkan yang menyebabkan pihak ketiga dapat melakukan
kejahatan melalui sistem electronic banking nasabah. Tetapi berbeda halnya jika
nasabah menggunakan laman atau website electronic banking yang tidak resmi yang
memang sengaja dibuat oleh pihak ketiga utuk mengelabuhi nasabah pengguna
electronic banking guna untuk membelokkan sebagian uang atau seluruh uang milih
nasabah. Maka dalam hal ini nasabahlah yang diangap cerobah dan lali sehingga
tanggung jawab atas kerugian ada pada nasabah sendiri. Hal ini tertera dalam Pasal 19
UU ITE yang mengharuskan nasabah menggunakan sistem electronic yang disepakati.
Beban pembuktian seperti yang tertera dalam Pasal 22 UU Perlindungan
Konsumen memang menjadi tanggung jawab pihak bank selaku pelaku usaha. Jadi
apabila pihak bank selaku pelaku usaha dapat menemukan pihak ketiga yang
membelokan sejumlah atau bahkan seluruh uang nasabah tersebut. Tanggung jawab
pihak bank hanya sebatas meminta pihak ketiga untuk mengembalikan sejumlah uang
yang diambil dari nasabah. Tetapi jika pihak nasabah ingin melakukan proses hukum
selanjutnya kepada pihak kegita, itu menjadi hak dan kewenangan dari nasabah sendiri.
Seperti yang dijelaskan di atas mengenai batas tanggung jawab pihak bank,
nasabah dan pihak ketiga. batas tanggung jawab tersebut juga diatur dalam berbagai
peraturan yang ada. Tetapi disayangkan bahwa dalam UU Perbankan, UU BI, SEBI dan
PBI tidak mengatur mengenai batas tanggung jawab tersebut. Dalam UU perbankan
63
hanya mengatur mengenai informasi yang wajib diberikan pihak bank pada nasabah,
kewajibab pihak bank untuk menjaga rahasia nasabahnya serta sanksi pidana yang
ditetapkan apabila pelaku usaha melanggar ketentuan perundang-undangan. Begitu pula
dengan UU BI, SEBI dan PBI dalam UU BI, SEBI dan PBI tidak diatur mengenai batas
tanggung jawab yang di atur dalam peraturan tersebut hanya manajemen resiko yang
harus disediakan oleh pihak bank guna untuk menyelesaikan pengaduan dan sengketa
nasabah mengenai produk yang di tawarkan oleh pihak bank.
Begitu pula dalam UU OJK, dalam UU ini tidak disebutkan secara jelas
mengenai batas tanggung jawab baik pihak bank, nasabah maupun pihak ketiga. hanya
terdapat satu Pasal yaitu Pasal 30 UU ITE yang mengatur mengenai kewenangan OJK
untuk mengajukan tuntutan apabila masyarakat atau nasabah merasa di rugikan karena
produk yan di tawarkan oleh pihak bank. Tetapi dalam POJK ketentuan mengenai batas
tanggung jawab bank ini tidak di jelaskan melalui POJK ini hanya manajemen resiko
yang di tekankan dalam hal pengadua nasabah dan penyelesaian sengketa antara bank
dengan nasabah.
Maka dari itu perlu UU atau peraturan lain yang guna mengatur mengenai
batasan tanggung jawab dalam penggunaan electronic banking ini di karenakan
peraturan inti dari UU Perbankan, UU BI, SEBI, PBI, OJK dan POJK yang seharusnya
mengatur hal tersebut tetapi faktanya tidak ada satu ketentuan khusus yang mengatur
mengenai batas tanggung jawab ini. Maka dalam menganalisis hal tersebut diperlukan
aturan lain guna untuk menyelesaikan permasalahan yag sering muncul dalam
penggunaan produc electronic banking. Peraturan yang mengatur mengenai batas
tanggung jawab ini terdapat dalam UU ITE, UU Perkos, KUHP dan KUHPerdata
seperti yang tertera di atas.
64
Dalam PBI dan POJK hanya ada aturan mengenai pengaduan nasabah yang
mengalami kerugian. Tetapi apabila nasabah tidak puas akan hasil dan kesepakatan
yang di keluarkan oleh pihak bank maka nasabah mempunyai hak untuk menagjukan
gugatan dalam lingkup pengadilan seperti yang tertera dalam Pasal 45 UU Perkos.
Dalam KUHP terdapat suatu sanksi pidana guna untuk menyelesaikan sengketa antara
bank, nasabah dan pihak ketiga yang terdapat dalam Pasal 406, Pasal 362 dan Pasal 378
KUHP.
Dari papran di atas juga telah memberikan gambaran bahwa kurangnya suatu
aturan yang tepat dalam UU Perbankan, UU BI, UU OJK, SEBI, PBI dan POJK dalam
kaitannya dengan batasan tanggung jawab. Tetapi peraturan mengenai batasan
tanggung jawab antara pihak bank, nasabah dan pihak ketiga justru didapatkan dalam
UU ITE, UU Perkos, KUHP dan KUHPerdata. Sehingga dalam hal ini seharusnya ada
suatu aturan khusus dalam UU Perbankan, UU BI, SEBI, PBI, OJK dan POJK yang
mengatur mengenai batas tanggung jawab yang memungkinkan terdapat suatu keadilan
baik bagi nasabah yang mengalami kerugian maupun pihak bank apabila kesalah tidak
di sebabkan karena kesalah pihak bank. Selain itu juga beluma ada suatu hukum yang
ideal dalam UU Perbankan, UU BI, SEBI, PBI, UU OJK, POJK yang mengatur
mengenai hal tersebut sehingga dalam memecahkan suatu masalah yang berhubungan
dengan electronic banking masih diperlukan pengarahan dari berbagai peraturan-
peraturan yang tersedia selain dari UU Perbankan, UU BI, SEBI, PBI, UU OJK dan
POJK. Oleh karena itu sangat ideal menurut penulis bila pengarahan tentang electronic
banking diatur dalam UU Perbankan sebagai government regulation.