bab ii tinjauan pustaka dan pengembangan hipotesis...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Manajemen laba
Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi
dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk
memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan
operasi yang netral dari proses tersebut). Menurut Scott (2009), manajemen laba
adalah tindakan manajer untuk melaporkan laba yang dapat memaksimalkan
kepentingan pribadi atau perusahaan dengan menggunakan kebijakan metode
akuntansi. Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa manajemen laba terjadi
ketika eksekutif suatu badan usaha menggunakan kebijakan dalam menyusun
laporan keuangan dan membentuk transaksi untuk mengubah laporan keuangan.
Tujuannya adalah memanipulasi besaran laba yang dilaporkan kepada para
pemegang saham dan mempengaruhi hasil perjanjian yang bergantung pada
angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Fischer dan Rosenzweig (1995)
memandang manajemen laba sebagai serangkaian langkah yang dilakukan
manajer untuk meningkatkan atau menurunkan jumlah laba yang dilaporkan
dalam tahun berjalan yang merupakan tanggung jawabnya tanpa menyebabkan
penurunan atau peningkatan keuntungan yang dicapai suatu badan usaha dalam
jangka panjang.
10
Ada beberapa perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan
mengapa manajemen laba dilakukan oleh manajer, yaitu perspektif informasi dan
oportunis. Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyarankan bahwa
manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan
pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. Upaya mempengaruhi
informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan memilih, menggunakan,
dan mengubah metode dan prosedur akuntansi. Perspektif oportunis merupakan
pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku manajer
untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena
memiliki informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain.
Perilaku manajer yang berhubungan dengan pelaksanaan manajemen laba
juga dapat dimulai dari pendekatan keagenan (agency theory) (Jensen dan
Meckling, 1976). Dalam teori keagenan dinyatakan bahwa praktik manajemen
laba yang dilakukan manajemen suatu badan usaha dipengaruhi oleh adanya
konflik kepentingan. Agen (manajemen) yang semestinya melaksanakan fungsi
pelayanan kepada prinsipal ternyata memiliki tujuan yang berbeda dengan tujuan
prinsipal. Manajemen selaku agen yang berusaha lebih mengutamakan
kepentingan pribadinya terlebih dahulu dengan mengorbankan kepentingan
pemilik selaku prinsipal mencerminan perilaku oportunis dari manjemen tersebut.
Konflik kepentingan antara kedua belah pihak (manajemen dan pemilik) muncul
dikarenakan masing-masing pihak berusaha memaksimumkan utilitasnya. Teori
keagenan menjelaskan apabila perusahaan berada dalam kinerja buruk, manajer
dapat bertindak oportunis dengan menaikkan laba akuntansi guna
11
menyembunyikan kinerja yang buruk, sebaliknya bila perusahaan dalam kinerja
baik manajer bertindak oportunis dengan menurunkan laba akuntansinya untuk
menunda kinerja yang baik. Jika dikaitkan dengan hubungan keagenan, maka
manajer memiliki informasi yang lebih baik, lebih banyak, dan lebih cepat
dibandingkan dengan pihak eksternal perusahaan seperti investor dan kreditor.
Artinya manajemen memiliki asimetri informasi sehingga mereka mampu
mengendalikan informasi yang ada di dalam suatu badan usaha. Asimetri
informasi inilah yang memberikan insentif kepada manajemen untuk melakukan
moral hazard dalam bentuk manajemen laba dengan tujuan untuk memaksimalkan
kemakmurannya.
Fenomena manajemen laba merupakan topik yang telah lama muncul baik
dalam dunia akademik maupun bisnis. Penelitian De Angelo (1988), Holthausen
dan Sloan (1995) menunjukkan bahwa manajemen laba telah meluas dan ada
dalam setiap pelaporan keuangan yang disampaikan oleh perusahaan. Mereka
memberikan bukti empiris bahwa manajemen laba ada dalam setiap laporan
keuangan kuartalan dan tingkat manajemen laba yang terbesar ditemukan pada
kuartal ketiga. Upaya ini dapat dijalankan melalui kebijakan-kebijakan akuntansi
yang dianggap menguntungkan mereka. Teori akuntansi positif yang
dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (1986) menjelaskan mengapa kebijakan
akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan laporan keuangan, dan untuk memprediksi kebijakan
akuntansi yang hendak dipilih oleh perusahaan dalam kondisi tertentu. Teori ini
didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan merupakan suatu muara bagi
12
berbagai kontrak yang datang padanya (nexus of contracts). Misalnya, kontrak
dengan karyawan (termasuk manajer), pemasok, dan dengan pemberi modal.
Sebagai suatu kumpulan dari berbagai kontrak, secara rasional perusahaan ingin
meminimalkan contracting cost yang berkaitan dengan kontrak-kontrak tersebut,
seperti kos negosiasi, pemantauan kinerja kontrak, kemungkinan kebangkrutan
atau kegagalan, dan lain-lain. Beberapa dari kontrak tersebut melibatkan variabel-
variabel akuntansi, dan teori akuntansi positif berargumentasi bahwa perusahaan
akan memanfaatkan kebijakan akuntansi guna meminimumkan contracting cost.
Scott (2009: 346-355) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya
manajemen laba adalah sebagai berikut.
1. Motivasi Program Bonus
Motivasi ini menunjukkan kecenderungan manajemen yang secara
oportunistik mengelola laba bersih untuk memaksimalkan bonus mereka
berdasarkan program kompensasi perusahaan.
2. Motivasi Politik (Political Motivations)
Perusahaan besar yang aktivitasnya berhubungan dengan publik
atau perusahaan yang bergerak dalam industri strategis seperti minyak dan
gas akan sangat mudah untuk diawasi. Perusahaan seperti ini cenderung
untuk mengelola labanya.
3. Motivasi Perpajakan (Taxation Motivations)
Penghematan pajak menjadi insentif bagi manajer untuk
mempercepat pengakuan biaya dan menunda pengakuan pendapatan.
13
4. Motivasi Perubahan Chief Executif Officer (Changes of CEO Mativations)
Manajemen laba juga terjadi disekitar waktu pergantian CEO.
Hipotesis program bonus memprediksi bahwa ketika waktu mendekati
pengunduran diri CEO, maka tindakan yang dilakukan adalah
memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonus mereka. Sebaliknya,
CEO yang kinerjanya buruk akan melakukan manajemen laba untuk
memaksimalkan laba mereka dengan tujuan mencegah atau menunda
pemberhentian mereka.
5. Initial Public Offering (IPO)
Perusahaan go public belum memiliki nilai pasar, dan
menyebabkan manajer perusahaan tersebut melakukan manajemen laba
dalam prospektus mereka. Terdapat kemungkinan bahwa manajer
perusahaan go public akan mengelola prospektusnya dengan harapan dapat
menaikkan harga saham.
6. Motivasi Perjanjian Utang (Debt Covenants Motivations)
Manajemen laba dengan tujuan untuk memenuhi perjanjian utang
timbul dari kontrak utang jangka panjang. Perjanjian utang bertujuan
melindungi peminjam terhadap tindakan manajer. Pelanggaran terhadap
covenant mengakibatkan cost yang tinggi terhadap perusahaan. Oleh
karena itu, manajer berusaha untuk menghindari terjadinya pelanggaran
terhadap covenant.
Scott (2009) juga mengidentifikasikan adanya empat pola yang dilakukan
manajemen untuk melakukan manajemen atas laba sebagai berikut ini.
14
1. Taking a bath.
Ketika perusahaan melaporkan adanya kerugian, maka manajemen
melakukan kebijakan untuk melaporkan kerugian dengan jumlah yang
besar sekaligus.
2. Income minimization.
Kebijakan ini dilakukan ketika laba yang diperoleh perusahaan
tinggi atau meningkat. Hal yang umum dilakukan manajemen dalam
praktek ini adalah dengan meminimalkan laba. Contohnya adalah dengan
membebankan beban penelitian dan pengembangan lebih besar di periode
berjalan.
3. Income maximization.
Kebijakan ini dilakukan ketika laba yang diperoleh perusahaan
rendah atau menurun. Hal yang umum dilakukan manajemen dalam
praktek ini adalah dengan memaksimalkan laba. Contohnya adalah dengan
mengalokasikan pendapatan tahun mendatang di periode berjalan.
4. Income smoothing.
Kebijakan ini dilakukan karena adanya motivasi manajemen untuk
mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan.
2.1.2 Konsentrasi Kepemilikan
Fenomena kepemilikan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia adalah
terkonsentrasi. Kepemilikan terkonsentrasi adalah konsentrasi hak aliran kas dan
konsentrasi hak kontrol keluarga, pemerintah, institusi keuangan yang dimiliki
secara luas, perusahaan yang dimiliki secara luas, atau lain-lain sebagai pemegang
15
saham pengendali. Fenomena ini ditunjukkan secara empiris oleh Claessens et al.
(2002), Febrianto (2005), dan Siregar et al. (2006). Kepemilikan terkonsentrasi
bisa jadi mendorong pemegang saham pengendali untuk melakukan ekspropriasi.
Ekspropriasi adalah suatu proses penggunaan hak kontrol atau kendali seseorang
untuk memaksimalkan kesejahteraan sendiri dengan distribusi kekayaan dari
pihak lain (Claessens et al., 2002). Ekspropriasi sangat mungkin dilakukan karena
pemegang saham pengendali dapat memanfaatkan keterbatasan-keterbatasan
hukum dalam suatu negara yang menganut hukum civil seperti Indonesia.
Menurut Johnson et al. (2000), negara-negara menganut hukum civil menekankan
pada hukum yang dapat diprediksi dan mempercayai pada peraturan perundang-
undangan untuk mengatur perilaku kepentingan pribadi. Undang-undang dalam
sistem hukum civil dibuat oleh legislator (La Porta et al., 1999). Hal seperti ini
merupakan insentif bagi pemegang saham pengendali untuk secara kreatif
mengatur transaksi-transaksi yang tidak adil sehingga sesuai dengan isi undang-
undang.
Peningkatan ekspropriasi oleh pemegang saham pengendali
mengimplikasikan efek entrenchment, karena pemegang saham pengendali
memiliki kendali yang kuat untuk menggunakan perusahaan dalam usaha
memenuhi kepentingannya dibanding kepentingan seluruh pemegang saham
(Bozec dan Laurin, 2008). Entrenchment adalah tindakan pemegang saham
pengendali yang dilindungi oleh hak kontrolnya untuk melakukan ekspropriasi
(Fan dan Wong, 2002). Efek entrenchment mencakup ekspropriasi laba
perusahaan yang ditransfer kepada perusahaan lain yang masih dikendalikan oleh
16
pemegang saham pengendali. Pemegang saham pengendali dapat juga melakukan
ekspropriasi tentang pencarian tujuan yang tidak memaksimalkan laba
perusahaan. Secara singkatnya, efek entrenchment memprediksi bahwa struktur
kepemilikan yang terkonsentrasi (misalnya pada perusahaan BUMN) akan
mendorong praktik-praktik maksimisasi laba seperti pada manajemen laba.
Kebalikan dari efek entrenchment, pemegang saham pengendali juga
memiliki hak aliran kas yang cukup sehingga dapat mencegah mereka untuk
mengekspropriasi pemegang saham non-pengendali. Lebih besar konsentrasi hak
aliran kas, lebih besar insentif pemegang saham pengendali menjalankan
perusahaan secara benar. Hal ini dikenal dengan efek alignment. Alignment adalah
tindakan pemegang saham pengendali yang selaras dengan kepentingan pemegang
saham non-pengendali. La Porta et al. (1999) menyatakan bahwa efek alignment
pada struktur kepemilikan yang semakin terkonsentrasi sering terjadi di negara
yang sistem hukumnya masih berkembang seperti di Asia Tenggara. Hal ini
dikarenakan struktur kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi secara alami pada
negara-negara tersebut yang artinya hubungannya bersifat positif. Pada kasus
perusahaan yang dimiliki negara, efek alignment juga berlaku khususnya pada
saat akan terjadi Initial Public Offering (IPO) ketika perusahaan BUMN yang
lebih besar akan menjadi induk perusahaan yang akan IPO, demi agar perusahaan
BUMN akan dijadikan dasar bagi perhitungan prospek arus kas masa depan,
sehingga harga IPO maksimal dapat di capai. Ketika kepemilikan perusahaan
induk bertambah, dorongan untuk melakukan ekspropriasi akan menurun
sehingga tercipta yang disebut sebagai efek alignment (Ding et al., 2007).
17
2.1.3 Manajemen Laba pada perusahaan BUMN dan Non-BUMN
Praktik manajemen laba adalah praktik yang dapat terjadi pada berbagai
jenis perusahaan yang telah go public, baik itu perusahaan milik negara (BUMN)
maupun swasta (non-BUMN), karena motivasi melakukan manajemen laba dapat
muncul tanpa membedakan status kepemilikan perusahaan. Misalnya, dalam hal
pemberian bonus baik pada BUMN maupun non-BUMN, umumnya besaran
bonus bagi manajer ditentukan berdasarkan prestasi yang diraih oleh perusahaan.
Prestasi ini biasanya dapat diukur melalui pencapaian laba perusahaan. Mengingat
bahwa skema bonus berdasarkan laba merupakan cara yang paling populer dalam
memberikan penghargaan kepada eksekutif perusahaan, maka adalah logis bila
manajer yang remunerasinya didasarkan pada tingkat laba akan memanipulasi
laba tersebut untuk memaksimalkan penerimaan remunerasinya (Watts dan
Zimmerman, 1986).
Praktik manajemen laba dapat terjadi baik pada perusahaan BUMN
maupun non-BUMN, namun besar-kecilnya potensi kejadian itu dapat berbeda.
Fenomena ini hanya muncul pada perusahaan BUMN yang telah go public,
sehingga tidak dapat digeneralisasi pada semua perusahaan BUMN (Givoly et al.,
2010). Ding et al. (2007) menyatakan bahwa motivasi melakukan manajemen laba
pada perusahaan BUMN lebih kecil daripada perusahaan non-BUMN. Hal ini
dikarenakan perbedaan kualitas governance. Menurutnya, perusahaan BUMN
memiliki kualitas praktik governance yang lebih baik daripada perusahaan non-
BUMN, sehingga perusahaan BUMN memiliki agency problem yang lebih kecil
dan akibatnya motivasi melakukan manajemen laba semakin rendah (Beatty et al.,
18
2002). Pendapat ini didukung oleh Ball dan Shivakumar (2005) yang menyatakan
motivasi melakukan manajemen laba pada perusahaan BUMN justru lebih rendah
daripada perusahaan non-BUMN. Hal ini dikarenakan perusahaan BUMN
memiliki tuntutan transparansi dan kualitas pelaporan keuangan yang lebih tinggi
daripada perusahaan non-BUMN.
Hasil yang berbeda menunjukkan bahwa kepemilikan negara adalah
penyebab utama inefisiensi perusahaan (Wang dan Judge, 2011). Sebagai contoh,
Chen dan Yuan (2004) yang telah menemukan bukti bahwa perusahaan milik
negara di Cina lebih besar mengelola laba daripada perusahaan swasta (Capalbo et
al., 2013), dan cenderung untuk melakukannya terutama melalui transaksi non-
operasi dengan pihak terkait (tunneling). Literatur yang ada menunjukkan bahwa
kepemilikan negara memiliki kualitas tata kelola yang lebih rendah dibandingkan
dengan kepemilikan swasta (Shleifer, 1998), sehingga lebih memiliki motivasi
untuk mengelola laba.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Akuntansi Positif
Teori yang dipelopori oleh Watts dan Zimmerman (1986) memaparkan
suatu teori akuntansi yang berusaha mengungkapkan bahwa faktor-faktor
ekonomi tertentu atau ciri-ciri suatu unit usaha tertentu bisa dikaitkan dengan
perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan. Manajemen laba diduga
muncul atau dilakukan oleh manajer atau para pembuat laporan keuangan suatu
organisasi karena mengharapkan suatu manfaat dari tindakan yang dilakukan
dalam merekayasa laba.
19
Teori akuntansi positif yang diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman
(1986) memberikan tiga hipotesis yang mendorong perusahaan untuk melakukan
manajemen laba, yaitu sebagai berikut.
1. The bonus plan hypothesis
Manajer perusahaan yang memiliki program bonus yang terkait
dengan angka-angka akuntansi cenderung untuk memilih prosedur
akuntansi yang menggeser reported earnings dari future period ke current
period (menaikkan laba yang dilaporkan sekarang), ceteris paribus.
2. The debt covenant hypothesis
Perusahaan yang semakin mendekati pelanggaran debt covenant
(perjanjian kontrak hutang) cenderung untuk memilih prosedur akuntansi
yang menggeser reported earnings dari future periods ke current period
(menaikkan laba yang dilaporkan sekarang), ceteris paribus.
3. The political cost hypothesis
Semakin besar political cost yang dihadapi suatu perusahaan, maka
manajer cenderung untuk memilih prosedur akuntansi yang
menangguhkan reported earnings dari current ke future period
(menurunkan laba yang dilaporkan sekarang), ceteris paribus.
2.2.2 Teori Agensi
Teori keagenan merupakan teori yang mampu menjelaskan terjadinya
praktik manajemen laba. Salno dan Baridwan (2000) menyatakan bahwa
penjelasan tentang konsep manajemen laba tidak terlepas dari teori keagenan
(agency theory). Anthony dan Govindarajan (1995) menyatakan bahwa konsep
20
teori keagenan adalah hubungan atau kontrak yang terjadi antara prinsipal dan
agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan
prinsipal, termasuk pendelegasian otoritas dan pengambilan keputusan dari
prinsipal kepada agen. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham,
pemegang saham bertindak sebagai prinsipal, dan CEO (Chief Executive Officer)
sebagai agen mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak
sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-
mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik
kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal termotivasi mengadakan
kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas perusahaannya yang
selalu meningkat. Disisi lain, agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh
investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Asumsi bahwa masing-masing
individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sesuai dengan
pernyataan Eisenhardt (1989) yang menyatakan bahwa teori agensi menggunakan
tiga asumsi sifat manusia yaitu: 1). manusia pada umumya mementingkan diri
sendiri (self interest); 2). manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi
masa mendatang (bounded rationality); 3). manusia selalu menghindari resiko
(risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai
manusia juga akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadinya.
21
Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena principal tidak
dapat memonitor aktivitas CEO sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO
bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham. Agen mempunyai lebih
banyak informasi mengenai perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang
mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal
dan agen (Nasution dan Doddy, 2007). Ketidakseimbangan informasi ini disebut
dengan asimetri informasi. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang
terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agent untuk menyajikan informasi
yang tidak sebenarnya kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan
dengan pengukuran kinerja agen. Hal ini memacu agen untuk memikirkan
bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk
memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan agen tersebut adalah
manajemen laba (Bontis dan Richardson, 2000).
2.2.2.1 Efek Entrenchment
Entrenchment merupakan tindakan pemegang saham pengendali yang
dilindungi oleh hak kontrolnya untuk melakukan ekspropriasi (Fan dan Wong,
2002). Menurut La Porta et al. (1999), hak kontrol adalah hak suara untuk
menentukan kebijakan perusahaan. PSAK No. 4 Revisi 2009 (2009) menegaskan
bahwa pengendalian merupakan kekuasaan untuk mengatur kebijakan keuangan
dan operasional entitas untuk memperoleh manfaat dari entitas tersebut.
Pemegang saham pengendali dengan hak kontrol yang kuat menggunakan
perusahaan untuk kepentingan pribadi dibanding kepentingan pemegang saham
non-pengendali. Hal ini mengimplikasikan efek entrenchment pemegang saham
22
pengendali. Beberapa peneliti telah membuktikan efek entrenchment seperti Stulz
(1988) dan Claessens et al. (2002).
Efek entrenchment dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini.
Peningkatan suatu variabel meningkatkan variabel lainnya (berbanding lurus).
Gambar 2.1
Efek Entrenchment
2.2.2.2 Efek Alignment
Kebalikan dari entrenchment, alignment adalah tindakan pemegang saham
pengendali yang selaras dengan kepentingan pemegang saham non-pengendali.
Pemegang saham pengendali memiliki hak aliran kas yang cukup untuk mencegah
keinginannya untuk mengekspropriasi pemegang saham non-pengendali dan
perusahaan. Semakin besar konsentrasi hak atas aliran kas atau hak kontrol yang
kuat, maka semakin besar insentif pemegang saham pengendali menjalankan
perusahaan secara benar. Hal ini merupakan efek alignment.
Beberapa peneliti yang membuktikan efek alignment seperti La Porta et al.
(1999) dan Claessens et al. (2002). Hak aliran kas yang lebih besar merupakan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
23
komitmen pemegang saham pengendali untuk membatasi ekspropriasi (La Porta
et al., 1999), karena ekspropriasi dapat merugikan pemegang saham pengendali
(Claessens et al., 2002).
Efek alignment dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini. Peningkatan
suatu variabel menurunkan variabel lainnya (berbanding terbalik).
Gambar 2.2
Efek Alignment
2.3 Penelitian Terdahulu
Dalam pasar modal yang telah berkembang, terjadi pemisahan antara
kepemilikan dengan manajemen. Dalam basis pemegang saham yang luas,
manajemen laba dilakukan karena keinginan untuk menopang harga saham
perusahaan. Harga lebih sering menjadi kunci dasar dalam kompensasi
manajerial, yang mungkin termasuk dalam opsi saham atau rencana insentif
lainnya.
Manajemen laba adalah sebuah fenomena yang sulit dihindari, karena
merupakan dampak dari penggunaan dasar akrual yang digunakan dalam
penyusunan laporan keuangan. Dasar akrual dipilih untuk menjadikan laporan
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
24
keuangan yang normatif, yaitu laporan keuangan yang benar-benar mencerminkan
kondisi perusahaan yang sebenarnya. Menurut Healy dan Wahlen (1999),
manajemen laba cenderung terjadi pada saat manajeman menggunakan judgment
mereka dalam membuat pelaporan keuangan dan prosedur transaksi. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi kontraktual dan menyesatkan pihak
lain dalam mengambil keputusan. Dalam penelitian yang menggunakan topik
manajemen laba, beberapa penelitian tersebut mengaitkan struktur kepemilikan
dengan tindakan manajemen dalam melakukan manajemen laba. Penelitian Chen
dan Yuan (2004), Capalbo et al. (2013), Ding et al. (2007) dan Wang dan Yung
(2011) membandingkan manajemen laba yang terjadi pada struktur kepemilikan
berbeda antara perusahaan milik negara dengan perusahaan milik swasta.
Hasilnya menunjukan bahwa terdapat perbedaan tingkat manajemen laba antara
kedua konsenterasi kepemilikan perusahaan tersebut. Chen dan Yuan (2004) dan
Capalbo et al. (2014) menunjukan praktik manajemen laba pada perusahaan milik
negara yang lebih tinggi daripada perusahaan swasta. Sebaliknya, Wang dan Yung
(2011) dan Ding et al. (2007) menunjukan bahwa efek entranchment pada
konsentrasi kepemilikan terhadap manajemen laba perusahaan milik negara lebih
rendah dari pada perusahaan swasta.
Motivasi perusahaan BUMN melakukan manajemen laba berbeda daripada
perusahaan non-BUMN karena terdapat perbedaan kualitas governance yang
menjadikan agency problem yang berbeda pula. Penelitian Beatty et al. (2002)
dan Ball dan Shivakumar (2005) menjelaskan bahwa agency problem yang
terdapat di BUMN lebih rendah, sehingga motivasi melakukan manajemen laba
25
pada perusahaan BUMN justru lebih rendah daripada perusahaan non-BUMN.
Hal ini dikarenakan perusahaan BUMN memiliki tuntutan transparansi dan
kualitas pelaporan keuangan yang lebih tinggi daripada perusahaan non-BUMN.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai
perbandingan praktik manajemen laba perusahaan milik negara dengan
perusahaan swasta hasilnya belum konsisten. Hal ini menjadi motivasi penulis
untuk menguji kembali perbandingan hubungan antara struktur kepemilikan
dengan praktik manajemen laba antara perusahaan milik negara dengan
perusahaan swasta di Indonesia.
2.4 Pengembangan Hipotesis
2.4.1 Hipotesis Hubungan Konsentrasi Kepemilikan dengan Manajemen
Laba
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan
memainkan peran penting dalam membentuk tata kelola perusahaan dan kinerja
perusahaan (Shleifer dan Vishny, 1986; McGuinness dan Ferguson, 2005). Dalam
pasar modal yang telah berkembang, dengan adanya pemisahan antara
kepemilikan dengan manajemen dan basis pemegang saham yang luas,
manajemen laba dilakukan karena keinginan untuk menopang harga saham
perusahaan. Para eksekutif puncak mengelola pendapatan mereka secara agresif,
melalui pelaku manipulasi akuntansi maupun melalui kebijakan perusahaan yang
dirancang untuk meningkatkan kinerja perusahaan mereka (Hermawan dan
Adinda, 2011; Ding et al., 2007).
26
Claessens et al. (2002) menyatakan hak kontrol berimplikasi pada
ekspropriasi pemegang saham non-pengendali. Pemegang saham pengendali
tertarik untuk mendapatkan manfaat yang tidak diberikan kepada pemegang
saham non-pengendali. La Porta et al. (1999) juga menegaskan bahwa pemegang
saham pengendali secara efektif mengendalikan perusahaan. Pemegang saham
pengendali mencoba untuk mengeksploitasi posisinya dan mencari keuntungan
pribadi. Untuk menyembunyikan ekspropriasi, pemegang saham pengendali lebih
memilik melakukan manajemen laba, karena stakeholder tidak mudah mendeteksi
tindakan ini (Haw et al., 2004). Hal ini kemungkinan terjadi karena kenaikan hak
kontrol memfasilitasi pemegang saham pengendali secara kuat untuk
mengendalikan proses penyusunan laporan keuangan.
Penelitian ini menduga hak kontrol memotivasi pemegang saham
pengendali untuk mengatur laba, sehingga konsentrasi kepemilikan berbanding
lurus dengan manajemen laba (efek entrenchment). Untuk menguji dugaan
tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut.
H1a : Konsentrasi kepemilikan berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
Meskipun peneliti terdahulu telah mendokumentasikan hubungan positif
antara konsentrasi kepemilikan dan manajemen laba, secara khusus belum banyak
penelitian terdahulu yang meneliti apakah hubungan positif linear menjadi tak
terbatas. Sebagai fakta, jika kepemilikan perusahaan induk bertambah, maka
dorongan untuk melakukan ekspropriasi akan menurun sehingga tercipta yang
disebut sebagai efek alignment (Ding et al., 2007). Alignment adalah tindakan
pemegang saham pengendali yang selaras dengan kepentingan pemegang saham
27
non-pengendali. Berdasarkan literatur tersebut, peneliti menyajikan beberapa
kemungkinan alasan mengapa penulis percaya bahwa hubungan mungkin tidak
lagi linier untuk perusahaan dengan manajemen laba yang tinggi, melainkan
melengkung.
Morck et al. (1988) dan McConnell dan Servaes (1990) menguji hubungan
insider shareholding dengan nilai perusahaan. Mereka melaporkan pola bentuk U
dari hubungan tersebut. Penjelasan mereka adalah bahwa, pada tingkat yang lebih
rendah dari insider shareholding, efek alignment mendominasi efek
entrenchment, tetapi pada titik tertentu efek entrenchment mendominasi efek
keselarasan. Akibatnya, nilai perusahaan pertama meningkatkan, dan kemudian
menurun, dengan konsentrasi kepemilikan. Bentuk pola U yang serupa juga
diperolah Xu dan Wang (1999) dalam menguji kinerja dengan struktur
kepemilikan perusahaan yang listing di Cina. Pada awalnya, efek alignment
mendominasi hubungan tersebut, kemudian pada titik tertentu efek entrenchment
yang lebih mendominasi.
Disisi lain, Ding et al. (2007) membuktikan pola bentuk U yang terbalik
dalam penelitian tentang hubungan antara konsentrasi kepemilikan saham dengan
manajemen laba. Pada awalnya, pemegang saham besar cenderung
memaksimalkan laba akuntansi untuk mendapatkan manfaat di masa depan (efek
entrenchment). Namun, ketika konsentrasi kepemilikan mencapai tingkat yang
tinggi, komitmen pemilik pengendali membangun reputasi untuk tidak mengambil
alih pemegang saham minoritas (Gomes, 2000), dan lebih mungkin untuk
28
berusaha melestarikan potensi pertumbuhannya di masa mendatang dengan
meminimalkan laba akuntansi (efek alignment).
Penelitian ini juga memprediksi munculnya bentuk pola U tersebut
terbalik (Ding et al, 2007). Pada konsentrasi kepemilikan yang lebih tinggi akan
terjadi efek alignment terhadap manajemen laba. Maka hipotesis yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut.
H1b : Hubungan antara konsentrasi kepemilikan dan manajemen laba
adalah melengkung berbentuk U terbalik dan manajemen laba tertinggi terjadi
pada tingkat menengah dari konsentrasi kepemilikan.
2.4.2 Hipotesis Hubungan Konsentrasi Kepemilikan dengan Manajemen
Laba antara Perusahaan BUMN dan Non-BUMN
Dalam agency theory mengasumsikan bahwa masing-masing individu
semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan
konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Agency problem yang terdapat
dalam tiap perusahaan sangat berkaitan dengan kualitas governance perusahaan
tersebut. Perusahaan yang sepenuhnya milik pemerintah cenderung memiliki
mekanisme pemantauan yang lebih baik (Beatty et al., 2002), sehingga motivasi
perusahaan milik pemerintah melakukan manajemen laba semakin rendah (Ding
et al. 2007; Wang dan Yung, 2011).
Pengenalan konsep corporate governance di Indonesia secara resmi
dilakukan pada tahun 1999, ketika pemerintah membentuk komite nasional
tentang corporate governance dan menghasilkan kode corporate governance yang
kemudian direvisi pada tahun 2006. Kode ini kemudian menjadi referensi bagi
29
perusahaan di Indonesia termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam
menjalankan aktivitas bisnis mereka (Kamal, 2011). Penerapan kode ini
tampaknya lebih berpengaruh terhadap BUMN dengan perusahaan terbuka. Hal
ini ditunjukkan dengan banyaknya penghargaan yang diperoleh BUMN dalam
Indonesian Good Corporate Governance Awards and Conference.
Sebanyak 30 perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
(BEI) diumumkan sebagai Top 30 emiten dengan skor corporate governance
tertinggi tahun 2013. Skor tersebut berdasarkan hasil penilaian Indonesian
Institute for Corporate Directorship (IICD) yang menggunakan acuan ASEAN
Corporate Governance Scorecard dalam menilai praktek corporate governance
perusahaan terbuka di Indonesia. Dua dari tiga perusahaan dengan skor corporate
governance tertinggi (Top 3) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Penelitian ini menduga corporate governance pada perusahaan milik
swasta lebih rendah daripada perusahaan negara di Indonesia. Corporate
governance yang rendah dapat menciptakan kesempatan dan lebih memotivasi
manajemen untuk melakukan manajemen laba. Berdasarkan uraian tersebut, maka
hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut.
H2 : Pengaruh konsentrasi kepemilikan terhadap manajemen laba lebih kuat
jika perusahaan dimiliki oleh swasta.
2.5 Variabel Kontrol
Dalam penelitian ini menggunakan variabel kontrol untuk data menangkap
apakah ada pengaruh-pengaruh lain yang berbeda antara lain corporate
governance, hubungan politik, penjualan dan leverage.
30
2.5.1 Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba
Mekanisme corporate governance akan memberikan dorongan yang tepat
kepada dewan dan manajemen untuk mencapai tujuan yang menjadi kepentingan
perusahaan dan pemegang saham serta memberikan pengawasan yang efektif.
Dewan komisaris sebagai salah satu organ perusahaan memiliki peran penting
dalam pelaksanaan corporate governance secara efektif. Dalam melaksanakan
tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk komite-komite, salah satunya adalah
komite audit. Dewan komisaris dan komite audit dapat dikatakan sebagai struktur
tata kelola perusahaan yang efektif hanya ketika mereka melaksanakan
tanggungjawabnya sebagai fungsi pengawasan dalam membatasi tindakan
manajemen laba yang dilakukan manajemen (Hermawan, 2011).
2.5.2 Pengaruh Koneksi Politik terhadap Manajemen laba
Perusahaan yang dikendalikan pemerintah akan mendapatkan berbagai
keuntungan melalui kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah secara
langsung (misalnya kebijakan terkait barrier to entry bagi perusahaan lain)
maupun tidak langsung seperti kemudahan untuk memperoleh pinjaman dana dari
perbankan (Charumilind et al., 2006). Keterkaitan antara koneksi politik dan
manajemen laba diteliti oleh Li et al. (2013) di China menemukan bahwa
perusahaan dengan koneksi politik tinggi akan termotivasi melakukan manajemen
laba. Alasannya adalah koneksi politik membuat pengelola perusahaan lebih
berani melakukan tindakan-tindakan yang tidak profesional karena mendapat
“perlindungan” dari pemerintah. Jika para pemodal menarik dananya akibat
31
tindakan tersebut maka ada pemerintah yang siap menggantikan sumber modal
tersebut.
2.5.3 Pengaruh Penjualan terhadap Manajemen Laba
Penjualan yang dimiliki perusahaan, dapat memotivasi manajer dalam
memperoleh laba. Menurut Kim et al. (2003) bahwa perusahaan yang memiliki
pertumbuhan penjualan yang tinggi, kemungkinan tidak termotivasi dalam
melakukan tindakan manipulasi laba untuk melaporkan laba. Sebaliknya, jika
perusahaan memiliki pertumbuhan penjualan rendah, maka akan memiliki
kecenderungan untuk menyesatkan laporan laba atau perubahan laba melalui
tindakan manipulasi laba. Namun demikian, perusahaan dengan tingkat
pertumbuhan penjualan yang tinggi juga memiliki motivasi dalam melakukan
manajemen laba, ketika dihadapkan pada permasalahan untuk tetap
mempertahankan tren laba dan tren penjualan. Myers dan Skinner (2000)
menjelaskan bahwa sebagian besar perusahaan memiliki kencenderungan untuk
mengontrol angka pertumbuhan penjualan yang dapat berdampak pada
pengukuran besar kecilnya perusahaan.
2.5.4 Pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba
Semakin tinggi nilai leverage maka risiko yang akan dihadapi investor
akan semakin tinggi dan para investor akan meminta keuntungan yang semakin
besar. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki leverage tinggi (risiko tinggi)
akan mengurangi persepsi negatif akibat risiko tinggi tersebut dengan melakukan
praktik manajemen laba. Penelitian Dewi dan Prasetiono (2012) dan Yusuf dan
32
Soraya (2004) menemukan bahwa leverage memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tindakan manajemen laba.
2.6 Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir teoritis digunakan sebagai dasar untuk merumuskan
hipotesis yang menunjukkan pengaruh konsentrasi kepemilikan terhadap
manajemen laba. Tipe kepemilikan mempunyai pengaruh terhadap hubungan
antara konsentrasi kepemilikan dengan manajemen laba. Faktor-faktor lain seperti
corporate governance, hubungan politik, penjualan, dan leverage juga perlu
diperhatikan dalam manajemen laba.
Model kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Berfikir
H2
H1a,b
Konsentrasi
Kepemilikan
Corporate Governance
Hubungan Politik
Penjualan
Leverage
Manajemen Laba
Tipe Kepemilikan
Variabel Kontrol