bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian, dan analisis a ...€¦ · dengan demikian, keberatan...
TRANSCRIPT
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Eksepsi
1.1 Pengertian dan TujuanEksepsi
Exceptie ( Belanda ) , exception( Inggris ) secara umum berarti
pengecualian.Akan tetapi, dalam konteks Hukum Acara, bermakna
tangkisan atau bantahan( objection). Bisa juga berarti pembelaan ( Plea)
yang diajukan tergugat terhadap materi pokok gugtan penggugat.
Namun tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi:
a. ditujukan kepada hal – hal yang menyangkut syarat- syarat atau
formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan, menggandung
cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak
sah yang karenana guatan tidak dapat diterima ( inadmissible);
b. dengan demikian, keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi,
tidak diajuakan, ditak menyinggung bantahan terhadap pokok
perkara ( verweer ten principale). Bantahan atau tangkisan terhadap
materi pokok perkara, diajukan sebagai bagian tersendiri mengikuti
eksepsi.1
1Yahya Harahap., Hukum Acara Perdata., Jakarta; Sinar Grafika., 2004., hlm 418
16
Tujuan pokok pengaujuan eksepsi, yaitu agar pengadilan mengakhiri
proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara.
Pengakhiran yang diminta melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan:
a. menjatuhkan putusan negatif itu, yang menyatakan gugtan tidak
dapat diterima ( niet ontvankelijk );
b. berdasarkan putusan negatif itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa
menyinggung penyelesaian materi pokok perkara.2
1.2 Cara Mengajukan Eksepsi
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal
133, Pasal 134, dan Pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan
ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan
berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat
pengajuan eksespsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.
a. Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif
(Exceptio Declinatoir)
Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134
HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa : “ Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan
tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di
sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak
mengajukannya sejak proses dimulai sampai sebelum putusan
dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada tingkat banding dan
2 Ibid., hlm 48-419
17
kasasi’. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur
sebagai berikut:
dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya,
maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang
ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan
dirinya tidak berwenang.
Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang
mengadili perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan
secara absolut berada diluar yurisdiksinya atau termasuk dalam
kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti
dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan
eksepsi tentang itu.
b. Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompentensi relatif diatur dalam
pasal 125 (2) dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal
tersebut dapat dijelaskan hal sebagai berikut :
1. Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan
secara lisan hal tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh
karenanya PN tidak boleh menolak dan mengesampingkannya,
hakim harus menerima dan mencatatnya dalam berita acara
sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana
mestinya.
18
2. selain itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan
secara tulisan (in writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125
ayat (2) Jo. Pasal 121 HIR. Menurut Pasal 121 HIR, tergugat
pada hari sidang yangditentukan diberi hak mengajukan
jawaban tertulis, sedang pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan
dalam surat jawaban terguugat dapat mengajukan eksepsi
kompetensi relatif yang menyatakan perkara yang
disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang
bersangkutan. Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam
surat jawaban, berarti pengajuannya bersama-sama dan
merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan terhadap
pokok perkara.
Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi
diluar eksepsi mengenai kompetensi yang cara pengajuannya diatur
dalam pasal 114 Rv. Semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi
absolut harus disampaikan bersama sama dengan jawaban pertama
terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan bersamaan maka
hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.
Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan
tertulis, sepanjang eksepsi disampaikan sekaligus bersama dengan
bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut terdiri
dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka
harus dilakukan secara sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan.
19
Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban
pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114
Rv.Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa
dan diputus bersama-sama pokok perkara. Berdasarkan pasal 136
HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa
dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara dengan demikian
pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok
perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan
akhir.
Dan jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, yaitu
dengan amar putusan : mengabulkan eksepsi tergugat dan
menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard). Dan bila eksepsi ditolak maka pengadilan
akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok perkara
sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan
yang terjadi secara tuntas antara penggugat dan tergugat.
1.3 Jenis Eksepsi
1. Eksepsi kompetensi
a. Tidak berwenang mengadili secara absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4
(empat) lingkungan pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer),
Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).
20
b. Tidak berwenang mengadili secara relatif
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu
pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch
Reglement (“HIR”). Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132
Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi kewenangan
absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses
pemeriksaan berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai
sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125 ayat
(2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif
diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama
terhadap materi pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat
tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi
relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim
untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan
eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara.
Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk
putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi
kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir
(Eind Vonnis).
2. Eksepsi syarat formil
a. Surat kuasa khusus tidak sah
21
Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-
sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat umum (Putusan
Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak
mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123
HIR, surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang
(Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).
b. Error in Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona
apabila diajukan oleh anak dibawah umur (Pasal 1330 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka
yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal
452 KUH Perdata), seseorang yang tidak memiliki kedudukan
hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona
standi in judicio).
c. Nebis in Idem
Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak
yang sama, obyek yang sama, dan materi pokok yang sama
sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.
d. Gugatan Prematur
Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor
hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan
tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris
belum meninggal dunia.
22
e. Obscuur LibelObscuur libel dapat disebut secara sederhana
sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya terletak pada:
1. hukum yang menjadi dasar gugatan,
2. ketidakjelasan mengenai objek gugatan, misalnya dalam hal
tanah tidak disebutkan luas atau letak atau batas dari tanah
tersebut.
3. petitum yang tidak jelas, atau
4. terdapat kontradiksi antara posita dan petitum
Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi
lain dan eksepsi kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara
terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama dengan bantahan
pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak
tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal
136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi
diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan
demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan
pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan
akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif,
sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif
berdasarkan pokok perkara.
2. Tugas Hakim
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut,
23
hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya secara
profesional sebgaimana yang diatur dalam undang – undang.
Beberapa tugas hakim dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, antara lain:3
1. Tugas pokok dalam bidang peradila ( teknis yudisial ), diantaranya
adalah:
a. Menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaika setiap perkara
yang diajukan kepadanya;
b. Mengaadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang ( Pasal
5 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman);
c. Membantu para pencarikeadilan dan berusaha sekeras – kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan demitercapainya peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan ( Pasal 5 Ayat 2 Undang –
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman );
d. Tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak / kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 16 Ayat
1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
2. Tugas yuridis, yaitu meberi keterangan,pertimbangan dan nasihat –
nasihat tentng soal – soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila
3 Bambag Sutioso,Sri Hastuti Puspitasari., Aspek- Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia.,Yogyakarta;UII Press Yogyakarta, 2005., hlm, 125-126
24
diminta ( Pasal 27 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman );
3. Tugas Akademis/ ilmiah dlam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai – nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dlam masyarakat ( Pasal 28 Ayat 1
Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun secara konkret tugas hakum dalam mengadili suatu perkara melalui
3 tindakan secara bertahap:4
a. Mengkonstatir ( mengkonstatasi ) yaitu mengakui atau membenarkan
telah terjadinya peristiwa yang telah dajukan para pihak di muka
persidangan. Syaratnya adalah peristiwa konkret itu harus dibuktikan
terlebih dahulu, tanpa pebuktian hakim tidak boleh menyatakan suatu
peristiwa konkret itu benar – benar terjadi. Jadi mengkonstatir peristiwa
berarti juga membuktikan atau mengaggap telah terbuktinya peristiwa
tersebut.
b. Mengkwalifisir ( menghkwalifikasi), yaitu menilai peritiwa yang telah
dianggap benar- benar terjadi termasuk dalam hubungan hukum yang
amanah atau seperti apa. Dengan kata lain mengkwalifisir adalah
menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir denga
jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa terebut.
c. Mengkonstituir ( mengkonstitusi ) atau meberikan konstitusinya, yaitu
hakim menetapkan hukumnya dan meberikan keadilan kepada yang
4 Ibid., hal 126-127
25
bersangkutan. Disini hakim mengambil kesimpulan dari padanya
promisse mayor ( peraturan hukumnya ) dan premisse minor (
peristiwanya ). Dalam memberikan putusan , hakim perlu
memperhatikan faktor yag seharusnya diterapkan secara proposional
yaitu: keadilan, kepastian hukumnya dan kemanfaatannya.
3. Perselisihan Hubungan Industrial
3.1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial.
Hubungan Industrial pada dasarnya merupakan suatu hubungan
hukum yang dilakukan antara pengusaha dengan pekerja. Adakalanya
hubungan itu mengalami suatu perselisihan, dimana perselisihan itu
dapat terjadi pada siapapun yang sedang melakukan hubungan hukum.5
Secara historis, pengertian perselisihan perburuhan adalah
pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat
buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya
persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat – syarat kerja,
dan/atau keadaan perburuhan ( Pasal 1 Ayat 1 Huruf C Undang -
Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Peneyelesaian Perselisihan
Perburuhan ).6 Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Kep.5A/Men/1994, istilah perburuhan di ganti menjadi perselisihan
hubungan industrial.
5Asri Wijayanti, Op.,cit, hlm 178
6Abdul Khakim,SH,M.Hum, 2014, Dasar - Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia ,
Cetakan ke 4 Edisi Revisi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hlm 143
26
Pengertian Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 22 Undang- Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan junto Pasal 1 Angka 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, memuat bahwa:
“ Perselisihan Hubungan Industrial ialah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan.”
Berdasarkan rumusan ini, khusus untuk perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubugan kerja, dapat ditarik
unsur - unsur pembentuk perselisihan hubungan industrial diluar
perusahaan, yaitu:7
- Formalitas : perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan;
- subjek hukum : pengusaha atau gabungan pengusaha di satu pihak
dengan buruh atau serikat buruh di pihak lain;
- objek : perusahaan, perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
7Abdul Rachmad Budiono,SH,MH, Hukum Perburuhan di Indonesia, jakarta, PT Raja Grafindo
persada,1995,hlm 215
27
kerja, dan perselisihan antar serikat buruh diluar
perusahaan.
Apabila tiga unsur pembentuk ini muncul, maka akan muncul
perselisihan hubungan industrial.
Ada pula perbadaan unsur mengenai perselisihan antar serikat
buruh/ pekerja dalam satu perusahaan, yakni ( berdasarkan Pasal
1Angka 5 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial):8
- Formalitas : perselisihan;
- subjek hukum : serikat pekerja/buruh di satu pihak dengan serikat
pekerja/buruh lainnya di pihak lain dalam satu
perusahaan;
- objek : tidak ada persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatan pekerja/buruh.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 dengan Pasal 1 Angka Undang –
Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, yang menyatakan tidak semua Perselisihan
Hubungan Industrial bersubyek pengusaha/gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau gabungan serikat pekerja/buruh di dalam konteks di
luar perusahaan saja tetapi juga tentang serikat pekerja/buruh di satu
8ibid.,hlm 216
28
pihak dengan serikat pekerja/buruh lainnya di pihak lain dalam satu
perusahaan.
3.2. Pihak dalam Perselisihan Hubungan Industrial.
Pihak yang terdapat dalam perselisihan hubungan industrial yakni :
1. Pekerja
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1
angka 4 memberikan pengertian Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
apapun. Pengertian ini agak umum, namun maknanya lebih luas
karena dapat mencakup semua orang yag bekerja pada siapa saja
baik perorangan, persekutuan, badan hukum, atau badan usaha
lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah
selama ini diidentikkan denga uang, padahal ada pula buruh/pekerja
yang menerima imbalan dalam bentuk barang.
2. Pengusaha/Pemberi Kerja
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 4 UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Adanya istilah “perseorangan” dalam pengertian pemberi kerja oleh
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut Pasal 1
Angka 5 yang dimaksud pengusaha adalah orang perseorangan,
29
persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri; orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum
yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Orgaisasi Pekerja/Buruh (Serikat Pekerja)
Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan
hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan
sewenang-wenang oleh pihak pengusaha. Keberhasilan maksud ini
sangat tergantung dari kesadaran para pekerja untuk
mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka aka
semakin kuat. Sebaliknya semakin lemah, maka semakin tidak
berdaya dalam melakukan tugasnya. Karena itulah kaum pekerja di
Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau
organisasi.
4. Organisasi Pengusaha
Gabungan dari beberpa pengusaha yang membentuk suatu wadah
untuk meningktkan suatu perekonomian.
Hampir sama dengan Hukum Acara Perdata, hanya saja dalam
Perselisihan Hubungan Industrial lebih ditegaskan lagi bahwa Serikat
Pekerja dan organisasi pengusha dapat bertindak sebagai kuasa hukum
30
untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili
anggotanya.
5. Pemerintah
Campur tangan pemerintah dimaksudkan untuk menciptakan
hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena jika antara pekerja dan
pengusaha yang memiliki perbedaan secara sosial ekonomi
diserahkan sepenuhnya kepada para pihak maka tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit
tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang
lemah. Atas dasar itu, pemerintah turut campur tangan melalui
peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian
hak dan kewajiban kepada para pihak.
Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum di bidang
ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan hak-hak normatif
pekerja yang pada gilirannya mempunyai dampak terhadap stabilitas
usaha. Selain itu pengawasan ketenagakerjaan juga dapat membidik
pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku sehingga akan tercipta suasana
kerja yang harmonis.
3.3. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial.
Iman Soepomo, menyebutan awalnya perselisihan hubungan
industrial dibedakan menjadi dua yakni:9
9Iman Soepomo,1985, Pengantar Hukum Perburuhan, Djembatan,Jakarta,hlm 97
31
a. Perselisihan hak ( rechtsgeschillen )
Yaitu perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak
memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjajian
perburuhan, atau ketentuan perundang – undangan
ketenagaerjaan, contohnya:
pengusaha tidak membayar gaji sesuai dengan perjanjian,
tidak membayar upah lembur, tidak mmembayar
tunjangan hari keagamaan, tidak memeberikan jaminan
sosial;
pekerja/buruh tidak mau bekerja dengan baik sesuai
dengan perjanjian atau perjanjian kerja bersama ( PKB).
b. Perselisihan kepentingan ( belangengeschil )
Yaitu perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syarat –
syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian
paham mengenai syarat – syarat kerja dan atau keadaan
perburuhan, contohnya:
pekerja/buruh meminta fasilitas istirahat yang memadahi;
pekerja/buruh menuntut kenaikan tunjangan makan;
pekerja/buruh menuntut pelengseran pejabt perusahaan;
dan lain sebagainya.
Berdasarkan Pasal 2 Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan bahwa
32
jenis Perselisihan Hubungan Industrial ada empat macam, dapat
diuraikan sebagai berikut:
a) Perselisihan Hak
Pasal 1 Angka 2 Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menegaskan
bahwa perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena
tidak terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan
atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang –
undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama ( PKB ).
Subyek hukum dari perselisihan hak adalah pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/buruh.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur pembentuk dari perselisihan hak adalah:10
a. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan
pelaksanaan terhadap ketentuan peraturan perundang –
undangan;
b. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan
pelaksanaan terhadap ketentuan perjanjian kerja;
c. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan
pelaksanaan terhadap peraturan perusahaan;
10
Abdul Rachmad Budiono,SH,MH, , op.,cit ,hlm 218
33
d. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan
pelaksanaan terhadap ketentuan perjanjian kerja bersama;
e. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang – undangan;
f. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran
terhadap ketentuan perjanjian kerja;
g. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran
terhadap peraturan perusahaan;
h. tidak terpenuhinya hak akibat adanya perbedaan penafsiran
terhadap ketentuan perjanjian kerja bersama.
b) Perselisihan Kepentingan
Pasal 1 Angka 3 Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menegaskan
bahwa perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang
timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat –
syarat kerja, atau peraturan perusahaan, atau peraturan kerja
bersama.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur pembentuk dari perselisihan kepentingan adalah:11
a. ada perselisihan;
b. dalam hubungan kerja;
11
Ibid., hlm 219
34
c. tidak ada kesesuaian pendapat;
d. mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat – syarat
kerja;
e. di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
c) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Pasal 1 Angka 4 Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menegaskan
bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak ( bisa pekerja/buru atau
pengusaha ). Hal yang sering terjadi adalah pemutusan
hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha, maka dari itu pasal
– pasal dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan lebih mengacu pda perlindungan
pekerja/buruh.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur pembentuk dari perselisihan pemutusan hubungan kerja
adalah:12
a. tidak ada kesesuaian pendapat;
b. pengakhiran hubungan kerja;
12
Ibid.,hlm 220
35
c. dilakukan oleh salah satu pihak.
d) Perselisihan Serikat Pekerja dalam satu Perusahaan
Pasal 1 Angka 5 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menegaskan bahwa perselisihan antar serikat pekerja/ serikat
buruh dalam satu perusahaan adalah perselisihan antara serikat
buruh dengan serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan,
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat
pekerjaan.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
unsur pembentuk perselisihan antar serikat pekerja/ serikat
buruh dalam satu perusahaan adalah:13
a. ada perselisihan antar serikat pekerja/buruh;
b. dalam satu perusahaan;
c. tidak ada persesuaian paham mengenai keanggotaan, atau
tidak ada persesuaian paham mengenai pelaksanaan hak
keserikatpekerjaan, atau tidak ada persesuaianpaham
mengenai pelaksanaan kewajiban keserikatpekerjaan.
3.4. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industria, prosedur
13
Ibid.,hlm 221
36
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ditempuh dalam empat
tahap, berikut uraian keempat tahap Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial:
1. Bipartit
Sebelum perselisihan diajukan ke Lembaga Penyelesaian
Perselisihan, setiap perselisihan wajib diupayakan penyelesiannya
secara bipartit terlebih dahulu, yaitu dengan jalan musyawarah antara
kedua belah pihak yakni pengusaha dan pekerja.
Pada ketentuan pasal 3 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga
dijelaskan bahwa Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
dimulainya perundingan, dan apabila dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka
perundingan bipartit dianggap gagal.
Sehingga jika bipartit berhasil maka para pihak harus
menandatangani sebuah perjanjian kesepakatan dan apabila
perundingan bipartit gagal , maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan
bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit
telah dilakukan, dan instansi yang bertanggung jawab di
37
bidangketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para
pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi
atau melalui arbitrase.
Untuk itu setiap perundingan entah itu sepakat atau tidak harus
dibuat risalah yang ditanda tangani oleh para pihak yang isinya
sekurang – kurangnya harus memuat tentang:
a. nama lengkap dan alamat para pihak;
b. tanggal dan tempat perundingan;
c. pokok masalah atau alasan perselisihan;
d. pendapat para pihak;
e. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan
perundingan.
2. Mediasi
Pasal 1 Angka 11 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mediasi
adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral. Orang yang dapat bertindak sebagai mediator adalah pegawai
instansi pemerintahyang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator
38
yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan. Dalam waktu paling lama 7 ( tujuh ) hari kerja setelah
menerima pelimpahan perkara perselisihan, mediator harus sudah
mengadakan penenlitian mengenai duduk perkaranya dan segera
mengadakan sidang mediasi.
Jika mediasi berhasil maka para pihak membuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Dan apabila hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui mediasi,maka:
a. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya 10(sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi
pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada mediator yang isinyamenyetujui atau menolak anjuran
39
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari
kerjasetelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
dimaksud pada huruf c dianggap menolakanjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah
selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk
kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
PerjanjianBersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Mediator harus telah menyelesaikan tugas mediasi dalam jangka
30 ( tiga puluh ) hari kerja sejak menerima pelimpahan perselisihan.
Apabila jangka waktu terlampau maka mediator dapat dikenai sanksi
administratif berupa hukuman disiplin sesuai peraturan perundang –
undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
3. Konsiliasi atau Arbitrase
a) Konsiliasi
Pasal 1 Angka 13 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
40
oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator adalah
seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator
ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan
wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
menerima permintaan penyelesaian perselisihan, secara tertulis,
konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya
perkara dan selambatlambatnya pada hari kerja kedelapan harus
sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh konsiliator guna
penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib memberikan
keterangan termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-
surat yang diperlukan. Konsiliator wajib merahasiakan semua
keterangan yang diminta.
Dalam hal tercapai kesepakatan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
konsiliator dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
41
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui konsiliasi,maka:
a. konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
b. anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam
waktu selambat-lambatnya 10(sepuluh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c. para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis
kepada konsiliator yang isinyamenyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis;
d. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana
dimaksud pada huruf c dianggap menolak
anjuran tertulis;
e. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud pada huruf a, maka,dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus
sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar diPengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian
Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
42
di wilayah Perjanjian Bersama di daftarkan untuk mendapat
penetapan eksekusi dan dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di
luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, maka
pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Konsiliator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima
permintaan penyelesaian perselisihan, dan Konsiliator berhak
mendapat honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian
perselisihan yang dibebankan kepada negara.
b) Arbitrase
Pasal 1 Angka 15 Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Arbitrase
adalah penyelesaian suatu perselisihankepentingan, dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di
luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis
dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak
dan bersifat final. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh
43
para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh
Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat
final.14
Arbiter yang berwenang menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri dan
wilayah kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.15
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbiter
dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih, selain
itu kesepakatan para pihak yang berselisih harus dinyatakan secara
tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan
masing-masing pihak mendapatkan 1 (satu)yang mempunyai
kekuatan hukum yang sama.16
Surat perjanjian arbitrase, sekurang-kurangnya memuat:
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
yang berselisih;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbitrase untuk
diselesaikan dan diambil putusan; 14
Erman, Rajaguguk.2000. Arbritrase dan Putusan Pengeadilan. Jakarta: Chandra Pratama hlm 34 15
Ibid., hlm 34 16
Ibid., hlm 35
44
c. jumlah arbiter yang disepakati;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase; dan
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
para pihak yang berselisih.
Dalam hal ini pihak yang telah menandatangani surat perjanjian
arbitrase berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan
oleh Menteri dengan menunjuk arbiter tunggal atau beberapa
arbiter (majelis) dalam jumlah gasal sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
orang.
Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk harus membuat perjanjian
penunjukan arbiter dengan para pihak yang berselisih, sekurang-
kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:17
a. nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak
yang berselisih dan arbiter;
b. pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang
diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil
keputusan;
c. biaya arbitrase dan honorarium arbiter;
d. pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan
menjalankan keputusan arbitrase;
17
Ibid., hlm 37
45
e. tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan
para pihak yang berselisih dan arbiter;
f. pernyataan arbiter atau para arbiter untuk tidak melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya;
g. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang
berselisih.
Apabila Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri atau
meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti
yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari kerja sejak
penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbitrer. Pemeriksaan
atas perselisihan harus dimulai dalam waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian
penunjukan arbitrer dan atas kesepakatan para pihak, arbiter
berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian
perselisihan hubungan industrial 1 (satu) kali perpanjangan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau
majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang
berselisih menghendaki lain. Penyelesaian perselisihan hubungan
46
industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan
kedua belah pihak yang berselisih.
Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib
membuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak
yang berselisih dan arbiter ataumajelis arbiter dan didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrialpada Pengadilan Negeri di wilayah
arbiter mengadakan perdamaian;
Pendaftaran Akta Perdamaian dilakukan sebagai berikut:
a. Akta Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti
pendaftaran dan merupakan bagian yangtidak terpisahkan dari Akta
Perdamaian;
b. apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikadapat mengajukan permohonan eksekusi
kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada PengadilanNegeri di
wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan
eksekusi;
c. dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar wilayah hukum
Pengadilan Hubungan Industrialpada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapatm
engajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada PengadilanNegeri di wilayah domisili pemohon
Seksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
47
Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter
meneruskan sidang arbitrase dan Putusan arbitrase harusmemuat:
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA";
b. nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c. nama lengkap dan alamat para pihak;
d. hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh
para pihak yang berselisih;
e. ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para
pihak yang berselisih;
f. pertimbangan yang menjadi dasar putusan;
g. pokok putusan;
h. tempat dan tanggal putusan;
i. mulai berlakunya putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.
4. Pengadilan Hubungan Industrial
Berdasarkan Pasal 1 Angka 17 Undang – Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
Pengadilan Hubungan Industrial adalah Pengadilan Khusus yang
dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap Perselisihan
Hubungan Industrial.
48
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan Pengadilan Khusus
yang berada pada lingkungan Peradilan Umum, dan Hukum Acara
yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku.
Pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Pengadilan
Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus:
a. di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan;
c. di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja;
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan kecuali yang diatur
secara khusus dalam undang-undang.
Biasanya dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial,
pihak-pihak yang beperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya
eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah), berikut susunan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
c. Panitera Muda; dan
49
d. Panitera Pengganti.
Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung
terdiri dari:
a. Hakim Agung;
b. Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c. Panitera.
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan
Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung,
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e. berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) kecuali
bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan
sarjana hukum; dan
h. berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima)
tahun.
50
4. Serikat Pekerja
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 Ayat 2 Undang – Undang Dasar
Tahun 1945 menyatakan: “Bahwa tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Dalam hal ini untuk mendapatkan kedudukan yang layak diperlukan suatu
jaminan bagi kaum pekerja atau buruh menghadapi pihak pengusaha
dikeluarkanlah Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja, dimana permasalahan ketenagakerjaan yang semula
berasal dari ranah privaatrechtelijke kini juga menjadi publiekrechtelijk.18
Dalam rangka mewujudkan kesejahterakan masyarakat yang
berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945, maka setiap
orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Maka dari itu
perlunya perlindungan terhadap pekerja agar pemberi kerja dan atau
pengusaha tidak berbuat semena – mena, salah satunya dengan mendirikan
sebuah perkumpulan dari pekerja yang dinamakan serikat pekerja.19
18
Sri Wahyu Handayani ., JAMINAN PEMERINTAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP PENYELENGGARAAN SERIKAT PEKERJA SEBAGAI HAK AZASI
MANUSIA, dalam Jurnal Kosmik Hukum, Vol 16 No. 1 Januari 2016,Fakultas Hukum,
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm 3- 4
19
Dr. Bahder Johan Nasution, S.H., M.Hum.., dalam Jurnal Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari
2015., hlm 2
51
Sebab ak menjadi anggota serikat pekerja / serikat buruh merupakan
hak asasi pekerja yang diatur dalam Pasal 28 E Ayat (3) Undang – Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yakni: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dalam hubungan antara pekerja/buruh dengan pemberi kerja atau
pengusaha , secara yuridis pekerja adalah bebas karena prinsip di negara
Indonesia tidak seorangpun boleh diperbudak maupun diperhamba, namun
secara sosiologis pekerja ini tidak bebas karena pekerja sebagai orang yang
tidak mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya. Dalam hal ini
pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan
untuk melindungi pihak yang lemah yaitu pekerja/buruh dari kekuasaan
pengusaha.
Sebagai bentuk konkrit dari sebuah perlindungan dari hak – hak yang
ada dalam diri setiap pekerja maka berdasar ketentuan Pasal 1 angka 17
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 junto Pasal 1 angka 1 Undang –
Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Serikat Pekerja
adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja baik di
perusahaan mapun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela, serta melindungi kepentingan pekerja serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Sedangkan Federasi Serikat Pekerja adalah gabungan serikat pekerja,
dimana dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan atau
52
bentuk lain sesuai kehendak pekerja sekurang – kurangnya dibentuk oleh
lima serikat pekerja, sedangkan konfederasi serikat pekerja adalah
gabungan federasi Serikat Pekerja yang dibentuk dari gabungan 3 federasi
serikat pekerja. Serikat federasi dan konfedersi serikat pekerja dibentuk
bertujuan utuk memberikan perlindungan, pembelaan hak, dan kepentingan
serta mengkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja dan keluarganya. 20
Pada dasarnya Serikat pekerja, federasi serikat pekerja, dan konfederasi
serikat pekerja harus sesuai, tidak boleh bertentangan dengan kententuan
Dasar Negara Bangsa Indonesia yakni Pancasila dan Undang – Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia
4.1. Dasar Pengaturan Serikat Pekerja.
Untuk mengantisipasi permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi
antara pekerja dan pemberi kerja maka dibuatlah peraturan perundang –
undangan tentang ketenagakerjaan untuk menjaga dan melindungi hak
dan kewajibaan baik pengusaha maupun pekerja, agar tercipta
keberlangsungan usaha dalam rangka meningkatkan produktivitas
kerja sekaligus kesejahteraaan tenaga kerja terjamin.
Pengaruh kekuatan kapitalis Internasional dari Word Trade
Organization ( WTO ), Internatinal Monetary Fund ( IMF ) terhadap
Indonesia yang bawasannya dikenal sebagai negara berkembang cukup
memeberikan perubahan. Dimana Indonesia dituntut melakukan
20
Zaeni Asyhadie , Hukum Kerja ( Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja ),s
53
reformasi terhadap hukum ketenagakerjaan agar menberikan
perlindungan ( protection ) terhadap pekerja karena hukum
ketenagakerjaan Indonesia sudah dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.21
Oleh sebab itu lahirlah tiga undang – undang
ketenagakerjaan yakni:
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja /
Serikat Buruh;
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisian Hubungan Industrial.
Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perindungan Hak untuk Berorganisasi ( Freedom of Associaion and
Protection of the Rights to Organise ) dan Konvensi ILO Nomor 98
tentang Dasar – Dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan untuk
Berunding Bersama ( The Application of the Principles of the Right to
Organise and to Bargain Collectevely ), ini diakomodasi sepenuhnya
dalam ketentuan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
-
21Sri Wahyu Handayani., Jaminan Pemerintah Negara Republik Indonesia Terhadap
Penyelenggaraan Serikat Pekerja Sebagai Hak Azasi Manusia, dalam Jurnal Kosmik
Hukum, Vol 16 No. 1 Januari 2016,Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto,
54
Serikat Pekerja / Serikat Buruh, yang mengatur pemberian perlidungan
kepada serikat pekerja/ serikat buruh dalam rangka:22
a. Pembentukan Serikat Pekerja / Serikat Buruh;
b. Keanggotaan Serikat Pekerja / Serikat Buruh;
c. Pemberitahuan dan pencatatan keberadaan Serikat Pekerja /
Serikat Buruh;
d. Hak dan kewajiban;
e. Hak berorgansasi;
f. Keuangan dan harta kekayaan;
g. Penyelesaian perselisihan;
h. Pengawasan dan penyidikan,serta
i. Pengaturan sanksi.
4.2. Sifat Serikat Pekerja.
Ketentuan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, ditegaskan bahwa Serikat Pekerja,
Federasi dan Konfederasi Serikat Pekerja memiliki sifat,yakni:23
a. Bebas, bermakna bahwa dalam menerima anggota dan atau
memperjuangkan Kepentingan Buruh, Serikat Buruh, Federasi
dan Konfederasi Serikat Pekerja.
b. Terbuka, bermakna bahwa dalam menerima anggota dan atau
memperjuangkan kepentingan Pekerja, Serikat Pekerja, Federasi
22
Adrian Sutendi,SH,MH, 2009, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika,hlm 253-254
23
Abdul Rachmd Budiono, Hukum Perburuhan,2011, ., hlm 180
55
dan Konfederasi Serikat Pekerja tidak membedakan aliran politik,
agama, suku bangsa, dan jenis kelamin;
c. Mandiri, bermakna bahwa dalam mendirikan, menjalankan dan
mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri,
tidak dikendalikan oleh pihak lain diluar organsasi;
d. Demokratis, bermakna bahwa dalam pembentuan organisasi,
pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dn
kewajiban organisasi dilalukan dengan prinsip demokrasi;
e. Bertanggung jawab, bermakna bahwa dalam mencapai tujuan dan
melaksanakan hak dan kewajibannya, Serikat Pekerja bertangung
jawab kepada anggotanya, masyarakat dan negara.
4.3. Tujuan Serikat Pekerja.
Dalam Pasal 4 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, tujuan dari Serikat Pekerja, Federasi,
Konfederasi Serikat Pekerja adalah memberikan perlindungan,
pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan
yang layak bagi pekerja dan keluarganya.
4.4. Fungsi Serikat Pekerja.
Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat 2 Undang – Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, fungsi
dari Serikat Pekerja adalah:
b. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan
penyelesaiaan perselisihan industrial;
56
c. Sebagai wakil pekerja dalam lembaga kerjasama di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatan;
d. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan seusai dengan tingkatan;
e. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentinga anggotanya;
f. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan
pekerja sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku;s
g. Sebagai wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham di
perusahaan.
4.5. Pembentukan Serikat Pekerja.
Definisi serikat pekerja/buruh yang diatur dalam Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
ditegaskan bahwa: " organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab
guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.” Di dalam penjabaran tersebut dapat ditarik pemahaman
bawasanya setiap pekerja boleh mendirikan suatu serikat pekerja di
perusahaan dan Serikat Pekerja di luar perusahaan. Serikat Pekerja di
57
perusahaan yaitu serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para
pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan (Pasal
1Aangka 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja). Sedangkan, Serikat Pekerja di luar perusahaan adalah serikat
pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh yang tidak
bekerja di perusahaan (Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja).
Karena Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja, menganut multi union system yaitu memberikan kebebasan
kepada pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja/serikat buruh.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja, menegaskan bahwa pembentukan serikat
pekerja dapat dilakukan jika:
o Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh ( Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja );
o Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-
kurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh ( Pasal 6
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja );
o Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh
sekurang-kurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat
buruh. ( Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja.
58
Berdasarkan hal tersebut pembentukan serikat pekerja/serikat buruh
dapat dilakukan jika : “ Setiap serikat pekerja/serikat buruh harus
memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dimana sekurang-
kurangnya memuat ( Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang Nomor
21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja) :
a. Nama dan lambang;
b. Dasar negara, asas, dan tujuan;
c. Tanggal pendirian;
d. Tempat kedudukan;
e. Keanggotaan dan kepengurusan;
f. Sumber dan pertanggung jawaban keuangan; dan
g. Ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga
4.6. Keanggotaan Serikat Pekerja.
Organisasi serikat pekerja merupakan wadah yang berisi anggota
dari serikat pekerja itu sendiri. Pengaturan mengenai keanggotaan
serikat pekerja terdapat dalam pasal 12 sampai dengan 17 Undang -
Undang Nomor 21 tentang Serikat Buruh. Selain itu sebagaimana
ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
PER.06/MEN/IV/2005 tahun 2005 tentang Pedoman Verifikasi
Keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Permenakertrans 6/2005)
Pasal 1 Angka 3 dijelaskan definisi dari anggota serikat pekerja adalah
59
pekerja/buruh yang menyatakan diri secara tertulis menjadi anggota
suatu serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam ketentuan Undang - Undang Nomor 21 tentang Serikat
Buruh Pasal 12 dijelaskan bahwa serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa
membedakan aliran politik, agama, suku dan jenis kelamin, sedangkan
pasal 13 dalam Undang - Undang Nomor 21 tentang Serikat Buruh
memberikan kebebasan bagi serikat pekerja / serikat buruh untuk
mengatur tentang keanggotaan berdasarkan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga masing-masing serikat buruh.
Meskipun tentang keanggotaan diatur bebas berdasarkan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga masing-masing serikat buruh,
Undang - Undang juga memberikan syarat berkaitan dengan
keanggotaan serikat buruh, sebagai berikut:24
(1) Seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari
satu serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan.
(2) Dalam hal seorang pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja/serikat
buruh, yang bersangkutan harus menyatakan secara tertulis satu
serikat pekerja/serikat buruh yang dipilihnya.
24
I Wayan Gede Wiryawan, S.H., M.H., “Relevansi Kebebasan Berserikat Dengan Perlindungan
Pekerja Pada Era Reformasi”, dalam Jurnal Advokasi, Vol., 5, 2015,hlm 8
60
Demikian halnya jika buruh hendak berhenti dari keanggotaan
suatu serikat buruh, maka Serikat Pekerja menyatakan bahwa pekerja
yang bersangkutan harus membuat pernyataan pengunduran dirinya
secara tertulis. Ketentuan uandang – undang yang menyatakan serikat
pekerja /buruh tidak boleh dibatasi, akan tetapi pada prakteknya, sering
dijumpai praktek pembatasan keanggotaan. Pembatasan ini umumnya
dilakukan terutama berdasarkan perbedaan status hubungan kerja,
misalkan serikat buruh hanya menerima keanggotaan bagi buruh
dengan status hubungan kerja perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT) saja. Jika beberapa serikat pekerja diketahui menolak
keanggotaan bagi pekerja dengan status hubungan kerja perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) dan outsourcing, justru dapat melemahkan
serikat pekerja itu sendiri.
4.7. Pemberitahuan dan Pencatatan Serikat Pekerja.
Tata cara pemeberitahuan dan pencatatan Serikat Pekerja diatur
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Nomor
Kep.16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, yang secara umum diuraikan sebagai berikut:
A. Pemberitahuan
1. Serikat pekerja/ serikat buruh yang telah dibentuk
memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/
Kota berdasarkan domisili, untuk dicatat;
2. Pemberitahuan tertulis dilampiri syarat – syarat:
- Daftar nama anggota pembentuk;
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan
- Susunan dan nama pengurus.
61
3. Dalam anggaran dasar tersebut sekurang – kurangnya harus
memuat:
- Nama dan lambang serikat pekerja/ serikat buruh;
- Dasar negara, asas, dan tujuan yang tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Republik
Indonesia 1995;
- Tenggal pendirian;
- Tempat kedudukan;
- Persyaratan menjadi anggota dan persyaratan
pemberhentiannya;
- Hak dan kewajiban anggota;
- Persyaratan menjadi pengurus dan persyaratan
pemberhentiannya;
- Hak dan kewajiban pengurus;
- Sumber, tata cara penggunaan dan pertanggungjawaban
keuangan;
- Ketentuan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga.
4. Pemberitahuan dimaksud menggunakan formulir sesuai yang
ditetapkan oleh menteri.
B. Pencatatan
1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakeraan
kabupaten/ kota wajib mencatat dan memerikan nomor bukti
pencatatan atau menangguhkan pencatatan;
2. Pencatatan dimaksud sekurang kurangnya memuat:
- Nama dan alamat Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
- Nama anggota pembentuk;
- Susunan dan nama pengurus;
- Tanggal pembuatan dan perubahan anggaran dasar dan/ atau
anggaran rumah tangga;
- Nomor bukti pencatatan, dan
- Tanggal pencatatan.
3. Tanggal pencatatan dan pemberian nomor bukti pencatatan
dilakukan selambat – lambatnya 21 hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pemberitahuan;
4. Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh setelah menerima
nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis
kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatanya.
Karena pada dasarnya ketika serikat pekerja yang sudah dicatatkan di
Dinas Ketenagakerjan Kabupaten atau Kota setempat maka serikat
pekerja sudah memiliki hak dan kewajiban sebagai serikat pekerja
62
salah satunya berhak mewakili anggotanya beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial.
4.8. Hak dan Kewajiban Serikat Pekerja.
Serikat pekerja, federasi maupun konfederasi yang sudah memiliki
nomor bukti pecatatan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 Ayat 1 Undang
– Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, berhak untuk:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/ buruh dalam menyelesaikan perselisihan
industrial;
c. mewakili pekerja/ buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan usaha peningkatan kesejahteraan, pekerja atau buruh;
e. melakukan kegitan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentanan dengan perauran perundang – undangan yang
berlaku.
Selain itu dalam Pasal 26 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, menyatakan bahwa: “ Serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh dapat berafiliasi dan/atau bekerja sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh internasional dan/atau organisasi internasional
lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Serikat pekerja, federasi maupun konfederasi yang sudah memiliki
nomor bukti pecatatan sesuai dengan ketentuan pasal 27 Undang –
Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
berkewajiban untuk:
63
a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-
hak dan memperjuangkan kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan
keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya
sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Dan berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang – Undang Nomor 21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh
untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau
tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi
anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan
serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan
sementara, menurunkassn jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat
buruh.
4.9. Pembubaran Serikat Pekerja.
Berdasarkan Pasal 37 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar dalam hal :
a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga;
b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk
selama-lamanya yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja
bagi seluruh pekerja/serikat buruh di perusahaan setelah seluruh
kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh diselesaikan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. dinyatakan dengan putusan Pengadilan.
Sedangkan Pasal 38 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan bahwa
Pengadilan dapat membubarkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi
dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dalam hal :
64
b. serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/ serikat buruh mempunyai asas yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945;
c. pengurus dan/atau anggota atas nama serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
terbukti melakukan kejahatan terhadap keamanan negara dan
dijatuhi pidana penjara sekurang kurangnya 5 (lima) tahun yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dan Pasal 39 Undang – Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, juga menyatakan bahwa:
2) Bubarnya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikatpekerja/serikat buruh tidak melepaskan para
pengurus dari tanggung jawab dan kewajibannya, baik terhadap
anggota maupun terhadap pihak lain.
3) Pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
terbukti bersalah menurut keputusan pengadilan yang
menyebabkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibubarkan tidak
boleh membentuk dan menjadi pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh lain selama 3 (tiga) tahun sejak putusan
pengadilan mengenai pembubaran serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
telah mempunyai kekuatan hukum teta.
Dalam hal ini berdasarkan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7
Tahun 2012 yang berhak menerima kuasa dari Pekerja yang ingin mengajukan
gugatan dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial adalah pengurus dari
serikat pekerja yang tercatat pada instasi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan pada perusahaan yang bersangkutan dimana pekerja telah
menjadi anggotanya.
B. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yakni Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial Tingkat Pertama Nomor 42/PDT.SUS-
65
PHI/2016/PN.SMG dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Tingkat
Kasasi Nomor 349.K/PDT.SUS-PHI/2017, yang akan diuraikan sebagai
berikut:
1. Para Pihak
Pihak yang ada dalam Perkara Perselisihan Hubungan Industrial ini antara
lain yakni:
Penggugat : Mochmad Nasori, umur 46 tahun, laki – laki, yang merupakan
karyawan PT Sinar Mas Multifinace yang bertempat tinggal di Dukuh
Karangwidoro RT 001/RW. 006, Kelurahan Karang Asem Utara, Kabupaten
Batang, yang dalam hal ini diwakili oleh kuasanya M.A Tholib, selaku
anggota DPC PPMI ( Dewan Pengurus Cabang Persaudaraan Pekerja
Muslim Indonesia ) Kota Pekalongan yang beralamat di Jalan Terinasi
Nomor 9 Pajang Wetan, Kota Pekalongan, yang telah di tunjuk dan
berwenang untuk dan atas nama organisasi sesuai Surat keputusan DPP
PPMI Nomor 77/KPTS/DPPPPMI/XII/2015 melawan PT Sinar Mas
Multifinance selaku Tergugat, yang berkedudukan di jalan Jendral
Soedirman Kabupaten Batang.
2. Duduk Perkara
Dalam kasus ini Mochamad Nasori selaku Penggugat yang merupakan
pekerja yang bekerja di perusahaan Tergugat dengan status hubungan kerja
karyawan tetap sejak bulan Juli 2011 dibagian Marketing Motor di Outlet
Batang kurang lebih 4 bulan, kemudian bulan Oktober 2011 dimutasi
secara lisan di bagian DebtcollectorDivisi Motor Outlet Batang selama
66
kurang lebih 1 tahun, dan dimutasi kembali secara lisan ke bagian
Marketing sampai dengan gugatan ini diajukan. PT. Sinar Mas Multifinance
yang beralamat di Jalan Jendral Sudirman Kabupaten Batang selaku
Tergugat ini memberikan upah terakhir kepada Mochmad Nasori selaku
Penggugat sebesar Rp. 1.290.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh ribu
rupiah). Penggugat di Putus Hubungan Kerja secara sepihak oleh
Tergugatpada tanggal 28 April 2015.Pemutusan Hubungan Kerja secara
sepihak yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat, oleh Penggugat
dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003,
Penggugat telah mengupayakan musyawarah melalui perundingan bipartit
dengan Tergugat atas Pemutusan Hubungan Kerja sepihak tersebut, namun
perundingan yang telah diupayakan tidak menghasilkan persetujuan maka
Penggugat mengajukan Permohonan Perselisihan Hubungan Industrial pada
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Batang, dimana tidak mencapai
kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat, sehingga pihak Mediator
mengeluarkan Anjuran Tertulis Nomor: 560/1234, tertanggal 18 Agustus
2015, dengan isi anjuran sebagai berikut :
Menganjurkan
1) Pihak PT. Sinar Mas Multifinance segera membayarkan
pesangon Sdr. M. Nasori sebesar :5 bln x Rp. 1.290.000,- x 2 x
15% = Rp. 14.853.000,- (empat belas juta delapan ratus lima
puluh tiga ribu rupiah).
2) Membayar Tunjangan Hari raya (THR) tahun 2015 sebesar 1 kali
gaji Rp. 1.290.000,- (satu juta dua ratus sembilan puluh ribu
rupiah).
67
3) Membayar gaji yang belum dibayarkan selama belum ada
keputusan, sampai dengan bulan Agustus sejumlah Rp.
5.160.000,- (lima juta seratus enam puluh ribu rupiah).
4) Agar kedua belah pihak memberikan jawaban atas anjuran
tersebut, selambat-lambatnya dalam waktu 10 hari kerja setelah
menerima surat anjuran ini.
Karena tidak mencapai kesepakatan maka Penggugat mengajukan
gugatan a quo melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Semarang guna mendapatkan penyelesaian dan
kepastian hukum atas Perselisihan Hubungan Industrial yang terjadi
antara Penggugat dan Tergugat, sebagaimana telah diatur dalam
ketentuan Pasal 14 juncto Pasal 13 ayat (2) huruf a Undang-Undang
No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya
dipersidangan Penggugat telah mengajukan bukti-bukti surat berupa:
1. Foto Copy Surat Anjuran dari Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Batang dengan Nomor 560/1234 tanggal
18 Agustus 2015, yang diberi tanda bukti P.1;
2. Foto Copy Risalah Mediasi dari Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Batang tertanggal 18 Agustus 2015,
yang diberi tanda bukti P.2;
3. Foto Copy rincian rekening gaji atas nama Mochamad Nasori,
yang diberi tanda bukti P.3;
4. Foto Copy Kartu Tanda Anggota (KTA) PPMI atas nama
Mochamad Nasori, yang diberi tanda bukti P.4;
68
5. Foto Copy Surat Keputusan Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan
Pekerja Muslim Indonesia (DPP PPMI) Nomor 77/KPTS/DPP
PPMI/XII/2015, yang diberi tanda bukti P.5.
3. Tuntutan Penggugat
Dalam petitumnya Penggugat meminta Majelis Hakim Mengabulkan
Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
1. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat telah
berakhir / putus karena Pemutusan Hubungan Kerja;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar uang pesangon, uang
penggantian hak dan upah terakhir Penggugatsebesar = Rp.
42.485.000,- (empat puluh dua juta empat ratus delapan puluh lima
ribu rupiah);
Hak Penggugat (Masa Kerja 4 tahun 10 bulan)
Uang Pesangon
= 2 x 5 bulan upah x upah terakhir yang diterima
= 2 x 5 x Rp. 1.290.000,- = Rp. 12.900.000,-
Uang Penghargaan Masa Kerja
= 2 x upah terakhir yang di terima
= 2 x Rp. 1.290.000,- = Rp. 2.580.000,-
Uang Penggantian Hak
= 15% (uang perumahan, pengobatan, & perawatan) x (uang
pesangon + uang penghargaan masa kerja)
= 15% x (Rp. 12.900.000,- + Rp. 2.580.000,-)
= 15% x (Rp. 15.480.000,-) = Rp. 2.322.000,-
Upah terakhir bulan April 2015 s/d Agustus 2016 belum
dibayarkan= Rp. 1.290.000 x 17 bulan = Rp. 21.930.000,-
Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) tahun 2015 & 2016
= Rp. 1.290.000,- + Rp. 1.463.000,- = Rp. 2.753.000,-
Total Yang seharusnya diterima Penggugat
= Uang Pesangon + uang Penghargaan Masa Kerja + uang
penggantian hak + Upah Terakhir Bulan April 2015 s/d Agustus
2016 belum dibayar + Tunjangan Hari raya Keagamaan (THR)
tahun 2015 & 2016 = Rp. 42.485.000,- Terbilang (empat puluh dua
juta empat ratus delapan puluh lima ribu rupiah).
3. Menghukum Tergugat untuk membayar semua biaya yang timbul
dalam perkara ini;
69
4. Eksepsi Tergugat
Penggugat dalam mengajukan gugatan diwakili oleh Kuasa Hukum
yang disebut Tim Pembela Pekerja Muslim Indonesia (TPPMI), yang
mana berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 24 Agustus 2016
bertindak untuk dan atas nama Penggugat sebagaimana di amanatkan
dalam Pasal 87 Undang Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan
"Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial untuk mewakili anggotanya.
Serikat Pekerja federasi dan konfederasi Serikat Pekerja
keabsahannya diatur didalam Undang - Undang Nomor 21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja khususnya dalam pasal 11 ayat 1 yang
menyatakan " Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga" dan Pasal 11 ayat 2 menyatakan "
Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-
kurangnya harus memuat:
a. nama dan lambang;
b. dasar negara, asas, dan tujuan;
c. tanggal pendirian;
d. tempat kedudukan;
e. keanggotaan dan kepengurusan;
f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga.
70
Oleh karena itu untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana
yang telah diamanatkan Undang Undang, dengan ini Tergugat
memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial yang
memeriksa perkara ini agar kiranya dapat menanyakan kepada
organisasi Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia atau yag disebut
Tim Pembela Pekerja Muslim Indonesia (TPPMI) selaku Kuasa Hukum
Para Tergugat untuk menunjukan Anggaran Dasar dimaksud serta
memeriksa dengan teliti dan seksama mengenai keabsahan Anggaran
Dasar tersebut sebagaimana yang diatur didalam Undang Undang
Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, dan apabila ternyata
Kuasa Hukum dari Penggugat tidak terdapat Anggaran Dasar dimaksud
atau Anggaran Dasar dari Kuasa Hukum Para Tergugat tidak memenuhi
syarat syarat yang diatur didalam Undang Undang No 21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja maka dengan ini telah jelas bahwa Gugatan
yang diajukan melalui kuasa hukum Penggugat cacat formil karena
Kuasa hukum Penggugat tidak memiliki Kapasitas Hukum untuk
menggugat.
5. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial dalam Putusan Tingkat Pertama Nomor 42 /Pdt.Sus-
PHI/2016/PN. SMG.
Bahwa eksepsi Tergugat pada angka 1 menyatakan Kedudukan Hukum
(Legal Standing) Kuasa Hukum Penggugat perlu dibuktikan dengan
menunjukkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi
71
Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Majelis berpendapat
bahwa pemeriksaan bukti Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga
sudah menyangkut materi pokok perkara, oleh karenanya eksepsi tersebut
dinyatakan ditolak.
6. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat Kasasi Nomor
349.K/Pdt.Sus-PHI/2017.
Bahwa dalam perkara a quo kuasa Penggugat tidak dapat menunjukan
bukti pencatatan organisasinya pada instansi bidang ketenagakerjaan pada
perusahaan yang bersangkutan, dengan demikian kuasa Penggugat tidak
memiliki legal standing untuk mewakili Penggugat, maka dari itu eksepsi
Tergugat diterima dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
C. ANALISIS
Jika dilihat dari kasus posisi yang dijabarkan di atas, maka dapat diambil 3
point analisi yakni:
1. Ketepatan Alasan Ekspesi Tergugat tentang Legal Standing.
Jika dalam eksepsi tergugat yang menyatakan bahwa pentingnya bukti
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dalam perkara ini penulis
berpendapat pada dasarnya setiap pekerja dapat membentuk suatu
perkumpulan yang minimal terdiri dari 10 ( sepuluh ) orang untuk
membentuk serikat pekerja. gabungan 5 ( lima ) serikat pekerja dapat
membentuk 1( satu ) federasi serikat pekerja , dan setiap 3 federasi serikat
pekerja dapat membentuk 1 ( satu ) konfederasi serikat pekerja. Dalam ini
72
Tim Pembela Pekerja Muslim Indonesia merupakan sebuah Federasi serikat
Pekerja yang beralamat di Jalan Jatinegara Barat III Nomor 68F, Jakarta
Timur13330 karena merupakan gabungan dari beberapa serikat pekerja.
Oleh sebab itu untuk membentuk serikat pekerja, federasi serikat pekerja
maupun konfederasi serikat pekerja harus di daftarkan terlebih dahulu ke
Dinas Ketenagakerjaan domisili.
Syarat yang harus dipenuhi sebelum mendaftarkan adalah Serikat Pekerja
federasi dan konfederasi Serikat Pekerja dalam pasal 11 ayat 1 yang
menyatakan " Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga" dan Pasal 11 ayat 2 menyatakan " Anggaran dasar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
h. nama dan lambang;
i. dasar negara, asas, dan tujuan;
j. tanggal pendirian;
k. tempat kedudukan;
l. keanggotaan dan kepengurusan;
m. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
n. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah
tangga.
Maka dari itu setelah terpenuhinya pasal 11 maka berdasarkan Pasal 18
Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat pekerja junto ,
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Nomor
Kep.16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat
Buruhyang secara umum diuraikan sebagai berikut:
a. Pemberitahuan
73
1. Serikat pekerja/ serikat buruh yang telah dibentuk
memberitahukan secara tertulis kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota
berdasarkan domisili, untuk dicatat;
2. Pemberitahuan tertulis dilampiri syarat – syarat:
Daftar nama anggota pembentuk;
Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan
Susunan dan nama pengurus.
3. Dalam anggaran dasar tersebut sekurang – kurangnya harus
memuat:
- Nama dan lambang serikat pekerja/ serikat buruh;
- Dasar negara, asas, dan tujuan yang tidak bertentangan
dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Republik
Indonesia 1995;
- Tenggal pendirian;
- Tempat kedudukan;
- Persyaratan menjadi anggota dan persyaratan
pemberhentiannya;
- Hak dan kewajiban anggota;
- Persyaratan menjadi pengurus dan persyaratan
pemberhentiannya;
- Hak dan kewajiban pengurus;
74
- Sumber, tata cara penggunaan dan pertanggungjawaban
keuangan.
b. Setelah melengkapi berkas berdasarkan ketentuan diatas Instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakeraan kabupaten/ kota
wajib mencatat dan memerikan nomor bukti pencatatan atau
menangguhkan pencatatan.
Dalam hal pencatatan serikat pekerja, federasi serikat pekerja maupun
konfederasi serikat pekerja merupakan syarat mutlak yang tidak dapat
diabaikan. Untuk itu tidak tepat bila Tergugat mempersoalkan pentingnya
bukti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ( ADART)
dipengadilan. Karena Pengadilan tidak memiliki wewenang untuk
memeriksa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ( ADART) lagi ,
sebab hal tersebut merupakan kewenangan Dinas Ketenagakerjaan yang
tertuang dalam syarat pencatatan serikat pekerja, federasi serikat pekerja dan
konfederasi serikat pekerja. Dengan kata lain jika suatu serikat pekerja,
federasi serikat pekerja dan konfederasi serikat pekerja sudah memliki bukti
pencatatan maka mereka sudah dapat dikatakan sah sebagai sebuah serikat
pekerja, federasi serikat pekerja dan konfederasi serikat pekerja yang dapat
memiliki hak dan kewajiban salah satunya mewakili pekerja dalam
Perselisihan Hubungan Industrial.
Untuk itu seharusnya alasan eksepsi Tergugat harus menekankan pada bukti
pencatatan serikat pekerja bukan malah mempersoalkan mengenai ada
75
tidaknya anggaran dasar dan anggran rumah tangga dari federasi serikat
pekerja Tim Pembela Pekerja Muslim Indonesia ( TPPMI ).
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama Nomor
42/PDT-SUS-PHI/2016/PN SMG yang Menolak Eksepsi Tergugat
Mengenai Legal Standing Federasi Serikat Pekerja Tim Pembela
Pekerja Muslim Indonesia.
Dalam Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
Tingkat Pertama Nomor 42/PDT-SUS-PHI/2016/PN SMG yang
menyatakan eksepsi Tergugat ditolak, dikarenakan pemeriksaan bukti
Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga sudah menyangkut materi
pokok perkara. Menurut pendapat penulis alasan ditolaknya eksepsi legal
standing tidak tepat dan Majelis Hakim kurang teliti dalam memeriksa
perkara, karena pada dasarnya alasan eksepsi Legal standing tentang
keabsahan TPPMI jika di tinjau dari Surat kuasa khususnya maka surat
kuasa khusus terseut tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat
kuasa bersifat umum, surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat bukan atas nama yang
berwenang . Karena dalam hal ini penggugat di wakili Federsi Serikat
pekerja bernama TPPMI sebagai kuasa hukum yang berasal dari serikat
buruh, perlu menunjukan kartu tanda anggota pekerja yang diwakili, Serikat
Kerja sebagai pengurus organisasi, dan bukti pencatatan serikat buruh dari
dinas ketenagakerjaan.
76
Selain itu pada Putusan Tingkat pertaman ini dalam pertimbangan pokok
perkara harus bertumpu pada bukti pencatatan sebagai syarat mutlak dan
wajib dilaksanakan sebagaimana ketentuan Pasal 20 Ayat 1 Undang –
Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Serikat Pekerja.
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat Kasasi Nomor
349.K/PDT-SUS-PHI/2017 yang Menerima Eksepsi Tergugat Mengenai
Legal Standing Federasi Serikat Pekerja Tim Pembela Pekerja Muslim
Indonesia.
Dalam Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
Tingkat Kasasi Nomor 349.K/PDT-SUS-PHI/2017 yang menyatakan
eksepsi Tergugat ditolak, dikarenakan dalam hal ini Pengugat yang diwakili
federasi Tim Pembela Pekerja Muslim Indonesia ( TPPMI ) tidak
mencatumkan bukti pencatatan. Penulis sependapat dengan putusan tersebut
karena pencatatan merupakan syarat mutlak yang harus dilaksanakan.
Pentingnya bukti pencatatan merupakan syarat mutlak yang wajib dipenuhi
berdasarkan Pasal 20 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2004
tentang Serikat Pekerja, Setelah mendapatkan nomor bukti pencatatan dari
Dinas Ketenagakerjaan yang terkait maka Serikat pekerja, federasi maupun
konfederasi berhak untuk:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/ buruh dalam menyelesaikan perselisihan
industrial;
c. mewakili pekerja/ buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
77
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan
dengan usaha peningkatan kesejahteraan, pekerja atau buruh;
Melakukan kegitan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang tidak
bertentanan dengan perauran perundang – undangan yang
berlaku.
Selain memiliki hak juga serikat pekerja yang telahmemiliki nomor
bukti pencatatan berkewajiban untuk:
a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-
hak dan memperjuangkan kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan
keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada
anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga.
Selain itu tidak adanya bukti keanggotaan Mochmmad Nasori yang bergabung
dalam TPPMI juga menjadi suatu yang cukup dan patut pula di telaah. Penulis
dalam hal ini juga berpijak Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012
Kamar Perdata Khusus PHI poin ke V adalah Serikat Pekerja dapat mewakili
beracara di Pengadilan Hubungan Industrial dan dalam hal ini yang berhak
menerima kuasa dari Pekerja yang ingin mengajukan gugatan dalam perkara
Perselisihan Hubungan Industrial adalah pengurus dari serikat pekerja yang
tercatat pada instasi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada
78
perusahaan yang bersangkutan dimana pekerja telah menjadi anggotanya, dan
dalam hal ini Kuasa Penggugat tidak dapat menunjukkan bukti pencatatan
organisasinya pada Instasi Bidang Ketenagakerjaan pada perusahaan yang
bersangkutan, maka dari itu pentingnya bukti pencatatan meruapakan syarat
mutlak yang harus dipenuhi.