bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · ketentuan yang diharapkan untuk memberikan ......
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beban Gempa
Beban gempa adalah beban yang bekerja pada suatu struktur akibat dari
pergerakan tanah yang disebabkan karena adanya gempa bumi (baik itu gempa
tektonik atau vulkanik) yang mempengaruhi struktur tersebut.
2.1.1 Beban Gempa menurut SNI 1726:2002
Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI 1726:2002 digunakan faktor-
faktor yang disesuaikan dengan perencanaan suatu struktur yang terdiri dari
wilayah gempa, percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I),
faktor reduksi gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut
digunakan untuk menghitung faktor respon gempa (Ca) dengan rumus:
𝐶𝑎 =𝐴𝑟
𝑇 (2. 1)
dengan
𝐴𝑟 = 𝐴𝑚 × 𝑇𝑐 (2. 2)
𝑇 = 𝜁 × 𝑛 (2. 3)
𝐴𝑚 = 0.25 × 𝐴𝑜 (2. 4)
dimana:
Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C
Am= Percepatan respons maksimum
T = Waktu getar alami struktur gedung (detik)
ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung
n = Jumlah tingkat
Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor respon
gempa vertikal (Cv) dengan rumus:
𝐶𝑣 = Ψ × 𝐴0 × 𝐼 (2. 5)
dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat
struktur gedung berada.
5
2.1.2 Beban Gempa menurut SNI 1720:2012
Peraturan perencanaan beban gempa pada gedung-gedung di Indonesia
yang berlaku saat ini diatur dalam SNI Gempa 1726:2012. Pada peraturan ini
dijelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perhitungan untuk
analisis beban gempa sebagai berikut:
1. Geografis
Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi
gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang berbeda
memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula.
2. Faktor keutamaan gedung
Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung
dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1, untuk
kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV memiliki
faktor 1.5.
3. Kategori Desain Seismik
Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C, D,
E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A Tabel A5.
4. Sistem penahan gaya seismik
Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi
gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem (Ω0),
dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai dengan
Tabel A6 pada lampiran A.
2.2 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012
SNI-1726-2012 mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung merupakan peraturan gempa terbaru
yang menggantikan SNI-1726-2002. Perubahan yang ada terdapat pada revisi yang
terkait dengan kategori desain seismik (KDS). Sebagai contoh daerah Bali selatan
yang sebelumnya berada pada wilayah gempa V dengan resiko gempa sedang
menjadi KDS D. Tabel 2.1 menunjukkan perbandingan dari kedua SNI tersebut.
6
Tabel 2.1 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012
No SNI-1726-2002 SNI-1726-2012
1 Nilai faktor keutamaan diatur
pada Tabel A.1 SNI-1726-2002.
Pada SNI ini nilai I ditentukan
berdasarkan perkalian nilai I1 dan
I2 pada Tabel A.1.
Dalam menentukan kategori risiko
bangunan dan faktor keutamaan
bangunan bergantung dari fungsi/jenis
pemanfaatan bangunan tersebut. Nilai
faktor keutamaan diatur pada Tabel
A.2 SNI-1726-2012.
2 Jenis tanah pada SNI-1726-2002
Pasal 4.6.3 ditetapkan dalam tiga
kategori, yakni tanah keras, tanah
sedang dan tanah lunak.
Berdasarkan sifat-sifat tanah pada
situs, maka situs harus diklasifikasi
sebagai kelas situs SA, SB, SC, SD,
SE, atau SF.
3 Penentuan wilayah gempa
disesuaikan dengan lokasi/daerah
pada Peta Wilayah Gempa
Indonesia pada Pasal 4.7.1 SNI-
1726-2002. Indonesia ditetapkan
terbagi dalam 6 wilayah gempa,
wilayah gempa 1 adalah wilayah
dengan kegempaan paling rendah
dan wilayah 6 dengan kegempaan
paling tinggi.
Parameter spektrum respons
percepatan pada periode pendek (SMS)
dan periode 1 detik (SD1) yang sesuai
dengan pengaruh klasifikasi situs,
harus ditentukan dengan perumusan
berikut.
SDS =3
2 FaSs (2. 6)
SD1 = 3
2 FvS1 (2. 7)
4 Untuk menentukan pengaruh
gempa rencana pada struktur
gedung, maka untuk masing-
masing wilayah gempa ditetapkan
Spektrum Respons Gempa
Rencana C-T, dengan bentuk
tipikal seperti Gambar 2.1
Bila spektrum respons desain
diperlukan oleh tata cara ini dan
prosedur gerak tanah dari spesifik-situs
tidak digunakan, maka kurva spektrum
respons desain harus dikembangkan
dengan mengacu pada Gambar 2.2
sesuai SNI-1726-2012
7
Tabel 2.1 Lanjutan
Gambar 2.1 Bentuk tipikal spektrum
respons gempa rencana
Sumber: SNI-1726 (2002)
Gambar 2.2 Spektrum respons
desain
Sumber: SNI-1726 (2012)
5 Nilai faktor reduksi gempa
ditentukan berdasarkan tingkat
daktilitas struktur dan jenis sistem
struktur yang digunakan. Nilai
maksimum faktor tersebut (Rm)
untuk beberapa sistem struktur diatur
pada Tabel 3 SNI-1726-2002.
Faktor koefisien modifikasi respon
(R), pembesaran defleksi (Cd), dan
faktor kuat lebih sistem (Ωo)
ditentukan berdasarkan Tabel 9
SNI-1726-2012. Faktor-faktor
tersebut ditentukan berdasarkan
sistem penahan gaya seismik
struktur bangunan.
6 Pasal 5.6 SNI-1726-2002 mengatur
pembatasan waktu getar alami
fundamental untuk mencegah
penggunaan struktur gedung yang
terlalu fleksibel. Nilai waktu getar
alami fundamental T1 dari struktur
gedung harus dibatasi, bergantung
pada koefisien ζ untuk wilayah
gempa tempat struktur gedung
berada dan jumlah tingkatnya n
menurut persamaan
T1 < ζ . n (2. 8)
Untuk menentukan perioda
fundamental struktur (T), digunakan
perioda fundamental pendekatan
(Ta). Periode fundamental
pendekatan (Ta) dalam detik,
ditentukan dari persamaan berikut:
Ta = x
nt hC (2. 9)
Keterangan:
hn = ketinggian struktur dalam
(m)
di atas dasar sampai tingkat
tertinggi struktur
8
Tabel 2.1 Lanjutan
Keterangan:
ζ = koefisein sesuai wilayah gempa
(Tabel A.2 Lampiran A)
n = jumlah tingkat
Koefisien Ct dan x ditentukan
berdasarkan Tabel A.9 Lampiran A.
Ta = 0,1N (2. 10)
Keterangan:
N = jumlah tingkat
7. Gaya geser dasar dari metode statik
ekuivalen dihitung berdasarkan
persamaan berikut.
V1 = 𝐶1.I
𝑅 Wt (2. 11)
Keterangan:
V1 = gaya geser dasar nominal
C1 = faktor respons gempa
untuk waktu getar fundamental
I = faktor keutamaan
R = faktor reduksi gempa
Wt = berat total struktur
Persamaan yang digunakan dalam
menghitung gaya geser dasar dalam
metode statik ekuivalen adalah
sebagai berikut:
V = Cs. W (2. 12)
Keterangan:
V = gaya geser dasar
Cs = koefisien respons seismik
W = berat bangunan
Cs =
e
DS
I
R
S (2. 13)
Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan
persamaan tersebut tidak boleh kurang
dari persamaan berikut:
Cs=0,044SDSIe>0,01 (2. 14)
Sebagai tambahan, untuk struktur
yang berlokasi di daerah dengan S1
sama dengan atau lebih besar dari 0,6
g, maka Cs harus tidak kurang dari
persamaan berikut:
9
Tabel 2.1 Lanjutan
Cs=
eI
R
S15,0 (2. 15)
8. Beban geser nominal (V) menurut
Pasal 6.1.2 SNI-1726-2002 harus
didistribusikan sepanjang tinggi
struktur gedung menjadi beban-
beban gempa nominal statik
ekuivalen Fi yang menangkap pada
pusat massa lantai tingkat ke-i
menurut persamaan:
Fi =
n
i
ii
ii
zw
zw
1
V (2. 16)
Keterangan:
Fi = gaya statik ekuivalen
pada
lantai ke-i
Wi = berat lantai ke-i (beban
mati dan beban hidup)
Zi = ketinggian lantai ke-i dari
dasar
Gaya gempa lateral di tingkat harus
ditentukan dari persamaan berikut:
Fx = Cvx V (2. 17)
Dan,
Cvx =
n
i
k
ii
k
xx
hw
hw
1
(2. 18)
Keterangan:
Cvx = faktor distribusi vertikal
wi dan wx = berat total bangunan
pada tingkat i atau x
hi dan hx = tinggi dari dasar sampai
tingkat i atau x
k = eksponen yang terkait
dengan perioda
struktur
Sumber: SNI-1726 (2002) dan SNI-1726 (2012)
2.3 Perkuatan Struktur
Perkuatan (retrofitting) merupakan usaha untuk memperkuat struktur atau
memperbaiki struktur yang sudah ada untuk mengembalikan keadaan struktur
kembali berfungsi seperti awal dibangun atau layak dihuni. Ada berbagai hal yang
menyebabkan sebuah struktur memerlukan perkuatan contohnya seperti kerusakan
10
akibat gempa, bangunan yang sudah tua dan penambahan beban pada suatu
struktur. Dari hal hal tersebut perkuatan merupakan solusi tepat jika dibandingkan
dengan biaya untuk membangun bangunan kembali. Terdapat berbagai macam
metode perkuatan yang umum digunakan pada struktur beton bertulang, antara lain
penambahan komponen struktur (kolom, dinding), peningkatan kekuatan elemen
struktur (pembesaran dimensi, penambahan lapisan berupa pelat baja atau bahan
komposit seperti FRP), pengurangan berat komponen non struktur dan penambahan
breising. Keefektifan dari metode perkuatan struktur tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.3
Gambar 2.3 Perbandingan breising terhadap masing masing perkuatan Sumber: IST Group (2004)
Gambar 2.3 menunjukan perbandingan antara masing-masing perkuatan
dengan rangka tanpa perkuatan. Monolithic wall memiliki kekakuan yang sangat
tinggi namum memiliki daktilitas yang sangat rendah. Post-Cast wall memiliki
kekuatan yang berada dibawah monolithic wall diikuti concrete blocks yang
daktilitasnya meningkat berbanding dengan penuruan kekuatan gaya lateral.
Perkuatan breising relatif memberikan kekuatan dengan daktilitas yang tidak jauh
dari rangka tanpa perkuatan.
11
2.4 Struktur Rangka Breising
Breising adalah suatu sistem rangka batang vertikal yang memikul beban
lateral melalui kekakuan aksial portal. Interaksi breising dan portal ketika
menerima beban lateral, breising bersimpangan layaknya sebuah rangka batang,
sedangkan portal kaku bersimpangan geser. Breising merupakan metode yang
sangat efesien dan ekonomis untuk menahan gaya horisontal pada struktur rangka.
Breising efesien karena bekerja diagonal pada tegangan aksial dan menyebabkan
kebutuhan untuk ukuran batang breising kecil, dalam memberikan kekakuan dan
kekuatan terhadap gaya geser horisontal (Smith and Coull, 1991).
Geometrik rangka breising di kelompokkan berdasarkan dari karakter
daktilitasnya. Salah satunya rangka breising konsentrik dan rangka breising
eksentrik. Pada rangka breising konsentrik sumbu dari semua batang berpotongan
pada satu titik sehingga gaya pada batang adalah axial. Rangka breising konsentrik
memiliki jumlah kekakuan yang besar namun daktilitas yang dimiliki rendah.
Rangka breising konsentrik merupakan pilihan tepat untuk penahan beban lateral
diarea aktivitas seismik yang minim dimana daktilitas yang tinggi tidak penting.
Disisi lain rangka breising eksentrik memanfaatkan elemen link untuk membawa
lentur dan geser kedalam rangka, yang menurunkan kekakuan untuk rasio berat
badan tapi meningkatan daktilitas (Kowalczyk, 1995). Gambar 2.4 menampilkan
tipe – tipe dari breising konsentrik
Gambar 2.4 Tipe-tipe Breising Konsentrik Sumber: AISC 341-10 ( 2010)
12
2.4.1 Sistem Rangka Breising Konsentrik Biasa
Rangka breising konsentrik biasa dapat diaplikasikan untuk rangka breising
yang terhubung secara konsentris. Eksentrisitas yang lebih rendah dibandingkan
panjang balok diizinkan jika, breising diperhitungkan untuk momen eksentrik
dengan perkuatan beban gempa. Rangka breising konsentrik biasa didesain dengan
ketentuan yang diharapkan untuk memberikan kapasitas simpangan inelastik yang
terbatas pada bagian dan sambungannya. Pada perencanaan SRBKB tidak
memerlukan analisis tambahan. Rasio kelangsingan breising adalah KL/r ≤
4√𝐸/𝐹𝑦 (AISC 341-10, 2010).
2.4.2 Sistem Rangka Breising Konsentrik Khusus
Menurut AISC 341-10 (2010) rangka batang breising konsentrik khusus
dapat diaplikasikan untuk rangka breising yang terdiri dari batang yang terhubung
secara konsentris. Kebutuhan kekuatan dari kolom, balok dan sambungan dalam
rangka batang breising konsentrik khusus didasarkan pada kombinasi beban dan
fungsi penggunaan gedung yang telah termasuk perkuatan beban seismik. Dalam
menentukan perkuatan beban gempa, pengaruh dari gaya horizontal termasuk kuat
lebih, Emh harus diambil sebagai gaya terbesar ditentukan dari 2 analisis berikut:
- Analisis yang mengasumsikan semua breising untuk menahan kekuatan
yang sesuai dengan kekuatan breising diharapkan pada tekanan dan tarikan.
- Analisis yang mengasumsikan semua breising untuk menahan gaya yang
sesuai dengan kekuatan yang diharapkan dan semua breising dalam tekan
diasumsikan untuk menahan kekuatan tekuk yang diharapkan.
Breising harus ditentukan untuk mengabaikan tekan atau tarik yang berasal
dari beban gravitasi. Analisis harus mempertimbangkan kedua arah dari
pembebanan rangka. Penjabaran kekuatan pasca tekuk breising harus diambil
maksimal 0,3 kali dari kekuatan breising pada tekanan yang diinginkan. Sedangkan
untuk penjabaran dari kekuatan tarik breising dirumuskan sebagai berikut:
Ry = fy . Ag (2. 19)
Keterangan:
Ry adalah ratio dari tegangan leleh yang diinginkan
fy adalah tegangan leleh minimum dari baja yang digunakan
Ag adalah luas kotor (mm2)
13
Untuk pendistribusian beban lateral breising, salah satu dari gaya paralel ke
breising setidaknya antara 30% sampai 70% dari total gaya lateral. Sepanjang garis
itu gaya lateral ditahan oleh tarik breising, kecuali jika kekuatan yang tersedia dari
setiap breising pada tekanan lebih besar dari kebutuhan kekuatan yang dihasilkan
kombinasi beban yang ditentukan oleh kode bangunan yang berlaku termasuk
perkuatan beban gempa. Untuk tujuan dari ketentuan ini, batang dari breising
didefinisikan sebagai batang sendiri atau batang paralel dengan rencana
mengimbangi ≤10% dari dimensi bangunan tegak lurus pada batang breising.
Kolom dan breising harus memenuhi persyaratan daktilitas yang tinggi dan untuk
balok harus memenuhi kecukupan daktilitas.
Breising harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Kelangsingan breising memiliki KL/r ≤ 200
2. Jarak konektor harus menyesuaikan dengan rasio kelangsingan a/ri. Elemen
individual antara konektor tidak melebihi 0,4 kali rasio kelangsingan dari
batang yang dibuat. Jumlah dari ketersediaan kekuatan geser dari konektor
harus sama atau melampaui kekuatan tarik yang tersedia dari setiap elemen.
Jarak konektor harus seragam, tidak kurang dari 2 konektor harus digunakan
pada batang yang akan dibuat. Konektor tidak boleh berada ditengah dari
seperempat panjang breising. Kecuali dimana tekuk dari breising sekitar tekuk
kritis tidak menyebabkan geser dalam sambungan. Desain sambungan harus
mematuhi ketentuan ini.
3. Luas bersih efektif breising tidak boleh kurang dari luas kotor breising.
Spesifikasi minimum kekuatan leleh dari tulangan harus setidaknya sama
dengan spesifikasi minimum kekuatan leleh dari breising. sambungan dari
tulangan ke breising harus mempunyai kecukupan kekuatan untuk
mengembalikan kekuatan tulangan yang diharapkan pada setiap sisi dari bagian
yang direduksi.
Sambungan breising bisa berupa las atau sambungan breising yaitu
kekuatan tarik, kekuatan tekan dan akomodasi dari tekuk breising. Hubungan
kolom harus memenuhi alur pengelasan agar pembuatan sambungan mampu
melengkapi penetrasi join alur pengelasan dan kolom harus didesain untuk
14
mengembangkan setidaknya 50% lebih rendah dari kekuatan flexurel yang tersedia
pada sambungan breising.
2.5 Material Beton
Beton (concrete) merupakan campuran semen portland atau semen hidrolis
lainnya, agregat halus, agregat kasar dan air dengan atau tanpa bahan campuran
tambahan (admixture) (SNI 2847, 2013). Parameter utama yang mempengaruhi
dari kualitas beton adalah kekuatan dan ketahanan. Efek merugikan jangka panjang
dari material beton adalah pengurangan kekuatan dan bisa mengakibatkan
kegagalan tak terduga. Menurut (Nawy, 2009) properti kekerasan beton dibagi
menjadi 2 kategori yaitu properti dari jangka pendek dan properti dari jangka
panjang. Untuk properti jangka pendek kekuatan dalam tekanan, tarik dan geser
serta kekakuan diukur dengan modulus elastisitas. Sedangakan untuk properti
jangka panjang bisa diklasifikasikan pada susut dan rangkak.
Hubungan dari tegangan dan regangan material beton sangat penting untuk
pengembangan analisis dan desain serta prosedur penggunaan pada struktur beton.
Gambar 2.5 menunjukan kurva tegangan regangan yang didapatkan dari tes
menggunakan beton silinder yang dibebani selama beberapa menit. Bagian pertama
dari kurva dapat dianggap linear sebesar 40 % dari kekuatan ultimit f’c. Setelah
sekitar 70 % dari kegagalan tegangan, material kehilangan sebagian besar dari
kekakuannya yang meningkatkan kelinieran kurva dari diagram. Pada beban
ultimit, retak pararel terhadap arah dari beban datang terlihat jelas dan menjadi awal
mula kegagalan
Gambar 2.5 Kurva Tegangan Regangan
15
Modulus elastisitas beton adalah perbandingan antara tegangan dan
regangan beton. Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti, nilainya
bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan,
karakteristik, perbandingan semen dan agregat. Kurva modulus elastisitas beton
ditunjukan pada gambar 2.6. Peraturan gedung menurut SNI 2847-2013
memberikan modulus elastisitas Ec dengan persamaan sebagai berikut:
Ec =33wc1.5√𝑓’𝑐 psi (0.043wc
1.5√𝑓’𝑐) untuk 90 < wc < 155 lb/ft3 (2. 20)
atau
Ec = 57000 √𝑓’𝑐 psi (4700√𝑓’𝑐 Mpa) (2. 21)
Keterangan:
wc = berat jenis dari beton
f’c = kekuatan tekan beton
Gambar 2.6 Kurva Hubungan Modulus Elastisitas dengan Tegangan Regangan
2.6 Analisis Pushover
Analisis statik non-linear pushover merupakan salah satu analisis kinerja
berbasis desain yang menjadi sarana dalam mencari kapasitas dari suatu struktur.
Konsep dari analisis pushover yaitu memberikan pola beban statik tertentu dalam
arah lateral yang ditingkatkan secara bertahap pada suatu struktur sampai struktur
tersebut mencapai target displacement tertentu atau mencapai pola keruntuhan
tertentu. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui nilai-nilai gaya geser dasar
untuk perpindahan lantai atap tertentu. Nilai-nilai yang didapatkan tersebut
Titik
Leleh
Kekuatan Tekan Ultimit
16
kemudian dipetakan menjadi suatu kurva kapasitas dari struktur. Selain itu, analisis
pushover juga dapat memperlihatkan secara visual perilaku struktur pada saat
kondisi elastis, plastis, dan sampai terjadinya keruntuhan pada elemen-elemen
strukturnya baik secara dua atau tiga dimensi.
Menurut Dewobroto (2005) tahapan utama dalam analisa pushover adalah:
1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur.
Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan
untuk menyusun kurva pushover.
2. Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola distribusi gaya
lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga
diharapkan simpangan yang terjadi hampir sama atau mendekati simpangan
yang terjadi akibat gempa. Oleh karena sifat gempa adalah tidak pasti, maka
perlu dibuat beberapa pola pembebanan lateral yang berbeda untuk
mendapatkan kondisi yang paling menentukan.
3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan).
Titik kontrol didorong sampai batas perpindahan tersebut, yang mencerminkan
perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang
ditentukan.
4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target
perpindahan: merupakan hal utama dari perencanaan berbasis kinerja.
Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika
memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan
simpangan maupun kekuatan.Karena yang dievaluasi adalah komponen maka
jumlahnya relative sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus
dikerjakan oleh komputer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja yang terdapat
secara built-in pada program SAP2000, mengacu pada FEMA - 356). Oleh
karena itulah mengapa pembahasan perencanaan berbasis kinerja banyak
mengacu pada dokumen FEMA.
2.6.1 Sendi Plastis
Sendi plastis adalah penggambaran dari perilaku pasca-leleh yang
terkonsentrasi dalam satu atau lebih derajat kebebasan. Sifat sendi plastis adalah
sebutan pengaturan dari sifat kaku-plastis yang dapat diberikan pada satu atau lebih
17
elemen rangka. Perilaku gaya-perpindahan plastis dapat ditentukan untuk tiap
derajat kebebasan gaya (aksial dan geser), begitu pula perilaku momen-rotasi
plastis dapat ditentukan untuk tiap derajat kebebasan momen (lentur dan torsi).
Derajat kebebasan yang tidak ditentukan tetap dalam kondisi elastis. Pada
SAP2000, sendi plastis hanya dapat diaplikasikan pada elemen rangka.
Untuk tiap derajat kebebasan, kurva gaya-perpindahan (force-displacement)
didefinisikan agar memberikan nilai leleh dan simpangan plastis setelah leleh. Hal
ini dilakukan dalam hubungan dari kurva dengan nilai pada lima titik, A-B-C-D-E,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Titik-titik tersebut dijelaskan sebagai
berikut (Computers and Structures, 2015):
- Titik A selalu merupakan titik awal.
- Titik B mewakili pelelehan. Perpindahan atau rotasi pada titik B akan dikurangi
dari simpangan pada titik C, D, dan E. Hanya simpangan plastis yang melewati
titik B diperlihatkan oleh sendi plastis.
- Titik C mewakili kapasitas ultimit untuk analisis pushover.
- Titik D mewakili kekuatan sisa untuk analisis pushover.
- Titik E mewakili kegagalan total. Setelah titik E, sendi plastis akan jauh
berkurang sampai titik F (tidak diperlihatkan) secara langsung dibawah titik E
pada sumbu horizontal.
Hal lain terkait analisis statis pushover mengacu pada manual SAP2000.
Gambar 2.7 Kurva simpangan plastis untuk gaya vs perpindahan Sumber: Computers and Structures (2015)
18
2.7 Perancangan Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerja
Perancangan bangunan tahan gempa bertujuan untuk mempertahankan
setiap pelayanan vital dari fungsi bangunan, membatasi ketidaknyamanan
penghunian dan kerusakan bangunan hingga masih dapat diperbaiki ketika terjadi
gempa ringan sampai sedang dan menghindari terjadinya korban jiwa oleh
runtuhnya bangunan akibat gempa kuat (SNI 1726, 2002). Perancangan bangunan
tahan gempa berbasis kinerja merupakan proses yang dapat digunakan untuk
perancangan bangunan baru maupun perkuatan bangunan yang sudah ada dengan
pemahaman terhadap aspek resiko keselamatan (life), kesiapan pakai (occupancy),
dan resiko kerugian finansial yang timbul akibat beban gempa (economic loss).
FEMA 273 (1997) menetapkan level kinerja untuk perancangan struktur tahan
gempa yang ditampilkan dalam Tabel 2.2 dan Gambar 2.8.
Tabel 2.2 Tingkat Kinerja Struktur menurut FEMA 273
Level Kinerja Keterangan
Operational Tidak ada pergeseran permanen, struktur masih dapat
mempertahankan kekuatan dan kekakuan awal. Retak kecil
terjadi pada elemen struktur dan semua sistem penting struktur
berfungsi secara normal
Immediate
Occupancy (IO)
Tidak ada kerusakan pada elemen struktur dan hanya
kerusakan ringan komponen non struktural dan bangunan tetap
dapat berfungsi tanpa terganggu masalah perbaikan.
Life Safety
(LS)
Terjadi kerusakan elemen struktural maupun non struktural
tetapi tidak terjadi keruntuhan. Bangunan masih dapat
digunakan setelah dilakukan perbaikan.
Collapse
Prevention
(CP)
Terjadi kerusakan komponen struktural dan non struktural,
bangunan hampir runtuh, dan kecelakaan akibat kejatuhan
material bangunan sangat mungkin terjadi.
Sumber: FEMA 273 (1997)
Gambar 2.8 Ilustrasi Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja Sumber: Fema 273 (1997)
19
Gambar 2.8 menampilkan kurva perbandingan gaya geser dan perpindahan
dengan kategori dari level kinerja dan persentase kerusakannya. Hal penting dari
perancangan berbasis kinerja adalah penetapan sasaran kinerja bangunan terhadap
gempa. Sasaran kinerja terdiri dari gempa rencana yang ditentukan (earthquake
hazard) dan batas kerusakan yang diizinkan atau tingkat kinerja secara kualitatif
yang digambarkan dalam kurva hubungan gaya-lendutan dari perilaku struktur
secara global terhadap beban lateral.
2.7.1 Kinerja Batas Ultimit menurut SNI 1726:2002
Menurut SNI 1726, (2002) kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan
oleh simpangan dan simpangan antar-tingkat maksimum struktur gedung akibat
pengaruh gempa rencana dalam kondisi struktur gedung di ambang keruntuhan.
Simpangan itu digunakan untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan
struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk
mencegah benturan berbahaya antar gedung atau bagian struktur gedung yang
dipisah dengan sela pemisah (sela delatasi). Simpangan ultimit dihitung dengan
rumus:
δℎ = δ × ξ (2. 22)
Dimana untuk struktur gedung beraturan: ξ = 0,7 R dan struktur gedung tidak
beraturan:
ξ =0,7 R
𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑆𝑘𝑎𝑙𝑎 (2. 23)
Dimana R adalah faktor reduksi gempa struktur gedung tersebut dan faktor skala
tidak boleh diambil kurang dari 80% nilai respons ragamnya yang pertama.
Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas ultimit struktur gedung, dalam
segala hal simpangan antar-tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung
tidak boleh melampaui 0,02 kali tingkat yang bersangkutan. Jarak pemisah antar-
gedung harus ditentukan paling sedikit sama dengan jumlah simpangan maksimum
masing-masing struktur gedung pada batas itu. Dalam segala hal masing-masing
jarak tersebut tidak boleh kurang dari 0,025 kali ketinggian, batas itu diukur dari
batas penjepitan lateral. Dua bagian struktur gedung yang tidak direncanakan untuk
bekerja sama sebagai satu kesatuan dalam mengatasi gempa rencana, harus
dipisahkan yang satu terhadap yang lainnya dengan suatu sela pemisah (sela
delatasi) yang lebarnya paling sedikit harus sama dengan jumlah simpangan
20
masing-masing bagian struktur gedung pada batas itu. Dalam segala hal, lebar sela
pemisah ditetapkan tidak boleh kurang dari 75 mm. Sela pemisah harus
direncanakan detailnya dan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa
bebas dari benda-benda penghalang. Lebar sela pemisah juga harus memenuhi
semua toleransi pelaksanaan.
2.8 Titik Kinerja dan Target Perpindahan
Titik kinerja dan target perpindahan merupakan perpindahan maksimum
yang terjadi saat bangunan mengalami gempa rencana. Untuk mendapatkan
perilaku struktur pasca keruntuhan digunakan analisa pushover untuk
mendapatkan kurva hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral dengan
titik kontrol minimal 150% dari titik kinerja/target perpindahan. Kurva pushover
dengan minimal 150% dari titik kinerja digunakan untuk melihat perilaku
bangunan pada kondisi yang melebihi rencananya. Titik kinerja/target
perpindahan merupakan rata-rata nilai dari beban gempa rencana sehingga
bangunan yang direncanakan harus memiliki nilai yang lebih besar dari titik
kinerja/target perpindahan.
Level kinerja adalah pembatasan derajat kerusakan yang ditentukan oleh
kerusakan fisik struktur dan elemen struktur sehingga tidak membahayakan
keselamatan pengguna gedung. Kriteria evaluasi level kinerja kondisi bangunan
didasarkan pada gaya dan deformasi yang terjadi pada target perpindahan atau
titik kinerja. Jadi parameter target perpindahan dan titik kinerja sangat penting
peranannya bagi perencanaan berbasis kinerja. Ada beberapa cara menentukan
target perpindahan yaitu metoda koefisien perpindahan (Displacement Coeficient
Method) FEMA 356 dan metode koefisien yang dimodifikasi (Displacement
Modification) FEMA 440. Sedangkan pada titik kinerja (performance point)
digunakan Metoda Spektrum Kapasitas (Capacity Spectrum Method) ATC 40.
Persyaratan perpindahan dari SNI 1726-2002 juga dapat dijadikan sebagai kriteria
kinerja.
2.8.1 Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356)
Menurut FEMA 356, (2000) metode koefisien perpindahan merupakan
metoda utama untuk prosedur statik nonlinier. Penyelesaian dilakukan dengan
21
memodifikasi respons elastis linier dari sistem SDOF ekivalen dengan faktor
koefisien C0 , C1 , C2 dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global maksimum
(elastis dan inelastis) yang disebut “target perpindahan”, δt . Proses dimulai dengan
menetapkan waktu getar efektif, Te yang memperhitungkan kondisi inelastis
bangunan. Waktu getar alami efektif mencerminkan kekakuan linier dari sistem
SDOF ekivalen. Jika di-plot-kan pada spektrum respon elastis akan menunjukkan
percepatan gerakan tanah pada saat gempa yaitu akselerasi puncak, Sa, versus
waktu getar, T. Rendaman yang digunakan selalu 5% yang mewakili level yang
diharapkan terjadi pada struktur yang mempunyai respons pada daerah elastis.
Puncak perpindahan spektra elastis, Sd berhubungan langsung dengan akselerasi
spektra Sa, dengan hubungan berikut:
𝑆𝑑 = 𝑇𝑒
2
4𝜋2𝑆𝑎 (2. 24)
Selanjutnya target perpindahan δt, ditentukan rumus berikut:
δt = 𝐶0𝐶1𝐶2𝐶3𝑆𝑎 (𝑇𝑒
2𝜋)
2
g (2. 25)
Te adalah waktu getar alami efektif yang memperhitungkan kondisi inelastic
C0 adalah koefisien faktor bentuk, untuk merubah perpindahan spektral menjadi
perpindahan atap, umumnya memakai faktor partisipasi ragam yang pertama (first
mode participation factor) atau berdasarkan Tabel 3-2 dari FEMA 356.
C1 adalah faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik
maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastik linier. Untuk Te
≥ Ts maka C1 = 1 sedangkan Te < Ts maka,
C1 = [1.0 + (R-1)Ts/Tc]/R (2. 26)
TS adalah waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respons spektrum
pada titik dimana terdapat transisi bagian akselerasi konstan ke bagian
kecepatan konstan.
22
R adalah rasio “kuat elastik perlu” terhadap “koefisien kuat leleh dihitung dengan
rumus: 𝑅 = 𝑆𝑎
𝑉𝑦/𝑤𝐶𝑚 (2. 27)
Sa adalah akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar
alami efektif pada arah yang ditinjau.
Vy adalah gaya geser dasar pada saat leleh, dari idealisasi kurva pushover menjadi
bilinier
W adalah total beban mati dan beban hidup yang dapat direduksi.
Cm adalah faktor massa efektif yang diambil dari Tabel 3-1 dari FEMA 356.
C2 adalah koefisien untuk memperhitungkan efek “pinching” dari hubungan beban-
deformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan, berdasarkan Tabel 3-3
dari FEMA 356.
C3 adalah koefisien untuk memperhitungkan pembesaran simpangan lateral akibat
adanya efek P-delta. Koefisen diperoleh secara empiris dari studi statistik
analisa riwayat waktu non-linier dari SDOF dan diambil berdasarkan
pertimbangan engineering judgement, dimana perilaku hubungan gaya
geser dasar – lendutan pada kondisi pasca leleh kekakuan positif kurva
maka C3 = 1, sedangkan jika perilaku pasca lelehnya negative (kurva
menurun) maka:
𝐶3 = 1.0 + |𝛼|(𝑅−1)3/2
𝑇𝑒 (2. 28)
adalah rasio kekakuan pasca leleh terhadap kekakuan elastik efektif, dimana
hubungan gaya lendutan diidealisasikan sebagai kurva bilinier (lihat waktu
getar efektif).
g adalah percepatan gravitasi 9.81 m/det2
Gambar 2.9 menampilkan kurva idealisasi gaya dan perpindahan yang
terjadi sesuai dengan grafik pushover. Hasil grafik pushover dibagi menjadi 2
bagian dalam kemiringan pasca leleh positi dan pasca leleh negatif
23
Gambar 2.9 Perilaku pasca leleh struktur Sumber: FEMA 356 (2000)
Berdasarkan FEMA 273 level kinerja ditentukan oleh persentase drift ratio
dari model struktur. Level kinerja struktur terbagi menjadi 3 kategori yaitu
Immediate Occupancy, Life safety dan Collapse Prevention. Tabel 2.3 menunjukan
level kinerja berdasarkan persentase dari drift.
Tabel 2.3 Level Kinerja Struktur
Sumber: FEMA 356 (2000)
2.8.2 Metode Modifikasi Perpindahan (FEMA 440)
Menurut FEMA 440, (2005) metode modifikasi perpindahan merupakan
metode koefisien perpindahan dari FEMA 356 yang telah dimodifikasi dan
diperbaiki. Persamaan yang digunakan untuk menghitung target perpindahan tetap
sama yaitu sesuai persamaan 2.24. Akan tetapi ada perubahan dalam menghitung
factor C1 dan C2 sebagai berikut:
24
𝐶1 = 1 + 𝑅−1
𝑎𝑇𝑒2 (2. 29)
Dimana Te adalah waktu getar efektif dari struktur SDOF dalam detik, R adalah
rasio kekuatan yang dihitung dengan Persamaan 2.15. Konstanta a adalah sama dengan
130, 90 dan 60 untuk site kategori B, C dan D. Untuk waktu getar kurang dari 0.2 detik
maka nilai C1 pada 0.2 detik dapat dipakai. Untuk waktu getar lebih dari 1.0 detik maka
C1 dapat dianggap sama dengan 1.
𝐶2 = 1 + 1
800 (
𝑅−1
𝑇𝑒)
2
(2. 30)
Untuk waktu getar kurang dari 0.2 detik maka nilai C2 pada 0.2 detik dapat
dipakai. Untuk waktu getar lebih dari 0.7 detik maka C2 dapat dianggap sama dengan 1.
2.8.3 Metode Spektrum Kapasitas ATC 40
Dalam Metoda Spektrum Kapasitas kurva hubungan gaya dan
perpindahan diplot-kan dalam format ADRS (acceleration displacement
response spectra). Spektrum demand didapat dengan mengubah spektrum respon
yang biasanya dinyatakan dalam spektra percepatan (Sa) dan periode (T) menjadi
format spectra percepatan (Sa) dan spectra perpindahan (Sd). Format yang baru
ini disebut Acceleration-Displacement Respon Spectra (ADRS). Gerakan tanah
gempa juga dikonversi ke format ADRS yang nantinya digunakan untuk mencari
gaya gempa perlu. Pada format tersebut waktu getar ditunjukkan sebagai garis
radial dari titik pusat sumbu. Format ADRS ditampilkan pada gambar 2.10.
Gambar 2.10 Penentuan Titik Kinerja menurut Metode Spektrum Kapasitas Sumber: ATC 40 (1996)
25
Level kinerja ATC 40 ditentukan berdasarkan perpindahan yang terjadi
pada struktur. Kinerja menurut ATC 40 dibagi menjadi 4 level kinerja yaitu
Intermediate Occupancy, Damage Control, Life Safety, dan Structural Stability.
Pada Structural Stability Vi adalah total gaya geser lateral pada tingkat I dan Pi
adalah total beban gravitasi dari beban mati dan beban hidup. Pembagian level
kinerja munurut ATC 40 ditunjukan pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Deformation Limit menurut ATC 40
Interstory Drift
Limit
Intermediate
Occupancy
Damage
Control Life Safety
Structural
Stability
Max. Total Roof
Displacement 0.01 0.01-0.02 0.02 0.33 Vi/Pi
Max. Inelastic Drift 0.005 0.005-0.015 No. Limit No. Limit
Sumber: ATC 40 (1996)
2.9 Penelitian Terkait Penggunaan Breising Sebagai Perkuatan Struktur
Rangka Beton Bertulang
Penggunaan breising sebagai perkuatan suatu struktur bukanlah hal yang
baru dalam bidang konstruksi. Selain sudah banyak diterapkan dalam struktur
gedung, bebarapa penelitian juga telah banyak dilakukan untuk membuktikan
keefektifan dari penggunaan breising. Penelitian tersebut antara lain:
2.9.1 Youssef et al (2007)
Penelitian tentang kinerja seismik rangka breising baja yang diperkuat
dengan breising baja konsentrik telah dilakukan oleh Youssef et al (2007) dengan
membuat dan membebani 2 model struktur dengan skala yang diperkecil sebesar
2/5 dari aslinya. Model 1 rangka tanpa perkuatan yang dirancang sesuai dengan
persyaratan SRPMM, sedangkan model 2 rangka tanpa perkuatan dengan breising
baja X dengan pendetailan biasa. Gambar 2.11 menampilkan pendetailan dan beban
pada model rangka tanpa perkuatan dan rangka breising. Kedua model dibebani
siklik sampai runtuh dan hubungan antara beban dengan simpangan serta pola retak
dicatat. Data-data pengujian disajikan pada Tabel 2.5.
26
Gambar 2.11 (a) Detail rangka tanpa perkuatan (b) Detail rangka breising Sumber: Youssef et.al (2007)
Tabel 2.5 Data model setelah dari hasil pengujian
Balok Kolom Beban
retak
Beban
leleh
Beban
Maks
Model 1 140x160mm 140x160mm
Tulangan 2M10 4M15 30 kN 37,5 kN 55 kN
Sengkang ∅6-35 ∅6-35
Model 2 140x160mm 140x160mm
Tulangan 2M10 4M10
Sengkang ∅6-70 ∅6-70 90 kN 105 kN 140 kN
Breising L25x25x3,2 Sumber: Youssef et.al (2007)
Hasil pengujian menunjukkan hubungan beban dan rasio simpangan seperti
pada Gambar 2.12. dimana kurva menunjukkan dari rangka mulai retak hingga
keadaan ultimit. Rangka breising mampu menahan hingga beban 140 kN ,
sedangkan rangka momen hanya mampu menahan hingga beban 55 kN.
Gambar 2.12 Hubungan Beban dan Rasio Simpangan Sumber: Youssef et.al (2007)
(a) (b)
27
Gambar 2.12 menunjukan rangka breising jauh lebih kuat dan kaku
dibandingkan dengan rangka momen dengan pendetailan khusus untuk seismik.
Kemudian rangka breising yang dirancang dengan faktor reduksi beban yang sama
dengan faktor reduksi untuk SRPMM menunjukan perilaku yang memadai dalam
menahan beban gempa. Dan untuk perencanaan rangka breising baja dapat
dilakukan dengan cara konvensional tanpa pendetailan khusus.
2.9.2 Massumi dan Absalan (2013)
Penelitian tentang interaksi antara sistem breising dan rangka pemikul
momen pada rangka beton bertulang dengan breising baja telah dilakukan oleh
Massumi dan Absalan (2013) dengan menguji dan memodel 2 buah rangka beton
bertulang yang dirancang dengan peraturan lama. Satu rangka diperkuat dengan
breising baja (BF1) sedangkan yang lain tidak diperkuat dengan breising baja
(UBF1). Interaksi antara rangka momen dengan rangka dengan breising dianalisis
dengan membuat model tambahan menggunakan software ANSYS dengan breising
ada BF1 dihilangkan tetapi sambungan pelat buhul tetap (UBF2).
Gambar 2.13 menampilkan detail struktur yang akan diujikan setelah
diskala 1/2,5 menghasilkan panjang 1,92 m dengan tinggi 1,26 m dengan ukuran
pondasi yaitu panjang 0,8 m lebar 0,3 m dan tinggi 0,3 m. Ukuran balok dan kolom
yaitu 120x120 mm, ukuran breising 20x20x2 mm dengan kuat leleh sekitar 240
MPa dan kuat tekan beton f’c 25 MPa. Untuk pendetailan sambungan breising
digunakan plat gusset dengan ukuran L 100x100x10 mm dan PL 100x100x8 mm
sebagai dudukan pelat.
(a) (b)
28
Gambar 2.13 (a) Rangka momen (b) Rangka momen dengan pelat buhul (c)
Rangka breising beserta pelat buhul (d) Detail pelat buhul
Sumber: Massumi dan Absalan (2013)
Pengujian kedua model tersebut dilakukan dengan memberikan beban
vertikal berupa beban gravitasi lantai yang dibantu dengan turnbuckle yang
tertancap ke bawah dan beban lateral. Gambar 2.14 menunjukan pola keretakan
rangka dengan breising, dimana penambahan pelat buhul juga memberi kontribusi
dalam bentuk pola keretakan,
Gambar 2.14 Pola retak dari pengujian Sumber: Massumi dan Absalan (2013)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan breising pada rangka
beton bertulang meningkatkan kekuatan, kekakuan dan kapasitas absorpsi energi
struktur. disamping itu interaksi antara rangka beton bertulang dan sistem breising
memiliki dampak positif terhadap perilaku struktur, yakni meningkatkan kekuatan
ultimit struktur.
(c) (d)
29
Hasil pengujian software ANSYS juga menghasilkan peningkatan kekuatan
yang signifikan untuk rangka dengan penambahan breising. Ternyata pelat buhul
juga memberikan kekuatan pada rangka momen. Hasil interaksi keseluruhan
elemen tersebut menghasilkan perkuatan yang ditinjau dari penambahan masing-
masing elemen sampai 100%.
Peningkatan yang signifikan bisa dilihat pada gambar 2.15. Beban lateral
yang mampu diterima oleh rangka breising BF1 mencapai 60 kN, sedangkan rangka
momen hanya mampu menahan beban sampai 13 kN. Rangka dengan pelat buhul
mampu menahan beban sekitar 24 kN, ini membuktikan pelat buhul juga
memperkuat struktur.
Gambar 2.15 Hubungan antara beban lateral load dan lateral displacement Rangka
tanpa breising UBF1, rangka dengan plat buhul UBF2, dan rangka breising BF1 Sumber: Massumi dan Absalan (2013)
2.9.3 Massumi dan Tasnimi (2008)
Penelitian tentang pengaruh perbedaan detail sambungan breising X pada
struktur beton bertulang yang diperkuat dengan sistem breising telah dilakukan oleh
Massumi dan Tasnimi (2008). Penelitian dilakukan untuk menemukan detail
sambungan breising yang efektif pada rangka beton dengan membuat 8 benda uji
untuk sambungan breising yang berbeda yang telah diskala 1:2:5.
Dalam penelitian ini dibuat dua rangka tanpa breising dengan kode UBF11
dan UBF12 sebagai kontrol spesimen dan lima pendetailan sambungan antara
rangka dan breising yang berbeda dengan kode BF11, BF12, BF21, BF22, BF23,
dan BF31. Gambar 2.16 menunjukan pendetailan sambungan dari masing-masing
spesimen Untuk BF11 dan BF12 menggunakan baut sebagai sambungan plat buhul
pada rangka batang. Pada BF11 baut tertancap pada kolom dan balok, sedangkan
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15 20 25 30
Lat
eral
Lo
ad k
N
Lateral Displacemett (mm)
UBF1
UBF2
BF1
30
pada BF21 hanya tertancap pada kolom. Pada BF21, BF22 dan BF23 sambungan
breising pada rangka batang menggunakan jaket baja. Pada BF21 tidak ada
hubungan antara jaket baja dengan permukaan beton, sedangkan pada BF22 dan
BF23 digunakan perekat epoxy untuk menyatukan jaket baja kepermukaan kolom
beton dan bagian dari balok. Pada BF31 breising telah ditetapkan pada pojok kolom
dan balok dengan pengelasan sebelum pengecoran.
Gambar 2.16 Detail sambungan
Sumber: Massumi dan Tasnimi (2008)
Pada penelitian ini, kolom dibangun kaku di atas pondasi beton bertulang
dengan dimensi 800 x 300 mm. Sampel dites di bawah beban lateral yang berulang
dan beban vertical sebesar 18 kN. Dari lima tipe detail sambungan breising X,
dengan sambungan baut yang terhubung pada balok dan kolom (BF11) mampu
meningkatkan kekakuan rangka, sehingga dapat digunakan untuk bangunan rendah
sampai sedang. Sambungan baut hanya pada kolom (BF12) tidak cukup kuat dan
mengalami kerusakan yang sangat signifikan, meskipun dapat digunakan untuk
langkah awal. BF21 tidak direkomendasikan untuk diterapkan karena detail dengan
bentuk jaket baja tanpa perekat epoxy menyebabkan slip pada sistem breising.
Untuk tipe BF22 dan BF23 yang direkatkan dengan perekat epoxy serta BF31 yang
diletakkan pada beton memiliki kinerja yang lebih baik dari rangka batang lainnya.
Beban siklik menyebabkan kekuatan dan kekakuan berkurang dan
perpindahan meningkat pada perilaku inelastik. Breising X pada beton bertulang
mendukung sebagian besar gaya lateral, tetapi keruntuhan rangka disebabkan oleh
leleh dari tarik breising dan terjadi kegagalan tekuk dari tekanan breising.
31
2.9.4 Viswanath et.al (2010)
Penelitian tentang tipe breising terbaik sebagai perkuatan rangka beton
dalam menahan beban gempa telah dilakukan oleh Viswanath et.al (2010). Breising
baja merupakan salah satu sistem struktur yang umum digunakan untuk menahan
beban gempa pada gedung tingkat tinggi. Breising baja lebih ekonomis, mudah
dikerjakan dan fleksibel dalam desain kekuatan dan kekakuan. Ada banyak tipe
breising yang bisa digunakan sebagai perkuatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang tipe breising yang paling efektif untuk digunakan.
Dalam pemodelan struktur gedung digunakan software STAAD Pro V8i
untuk membuat model 3D. Beban lateral yang diaplikasikan pada gedung
berdasarkan Indian Standards. Gedung diasumsikan berada pada zona gempa IV
sesuai dengan IS 1893:2002. Perletakan struktur tersebut diasumsikan sebagai jepit
dan interaksi antara struktur dengan tanah diabaikan.
Terdapat empat tipe breising yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
breising diagonal, breising X berpotongan, breising K dan breising X. Selain
keempat tipe breising tersebut, analisis juga dilakukan terhadap struktur yang tidak
diperkuat dengan menggunakan breising. Jadi dibuat lima model struktur bangunan
bertingkat 4. Untuk bangunan bertingkat 8, 12 dan 16 dianalisis dalam zona gempa
IV dan diperkuat dengan breising tipe X.
Hasil analisis gedung bertingkat 4 tersebut dibagi dalam 2 parameter yaitu
perpindahan lateral dan gaya-gaya dalam pada kolom. Penambahan breising
mampu mereduksi perpindahan lateral maksimum yang terjadi pada model gedung.
Dari segi gaya-gaya dalam maksimum, dapat disimpulkan bahwa penambahan
breising meningkatkan gaya aksial yang dapat diterima pada struktur dan adanya
penurunan momen dan gaya geser pada kolom yang terhubungan dengan breising.
Breising mampu mengurangi kebutuhan lentur dan geser pada balok dan kolom dan
mentransfer beban lateral melalui mekanisme beban aksial. Dari kedua parameter
tersebut, breising tipe X terbukti lebih efektif dalam memperkuat struktur gedung
bertingkat 4 dari tipe bresing yang lain.
Pada analisis gedung bertingkat 8, 12 dan 16 digunakan breising tipe X
sebagai perkuatan struktur gedung tersebut. Setelah dilakukan analisis, didapatkan
hasil bahwa pada gedung yang diperkuat breising terjadi reduksi perpindahan
32
maksimum sebesar 62-74 % jika dibandingkan dengan gedung tanpa perkuatan
breising. Tipe breising X merupakan tipe yang paling efektif dalam perkuatan
struktur gedung bertingkat.
2.9.5 Ismail et.al (2015)
Ismail et.al (2015) telah melakukan penelitian tentang perkuatan gedung
dengan menggunakan breising baja yang dilakukan pada Gedung STKIP ADZKIA
Padang, dengan kondisi gedung tersebut telah rusak (balok melendut dan retak pada
dinding). Hasil evaluasi kinerja dan kekuatan struktur kondisi eksisting berdasarkan
SNI 2012 diperoleh bahwa bangunan sekolah STKIP ADZKIA Padang tidak cukup
kuat menahan kombinasi beban-beban yang bekerja pada struktur. Oleh karena itu,
perlu dilakukan perkuatan pada struktur gedung tersebut dan metode perkuatan
yang direkomendasikan adalah menambahkan breising aja tipe V terbalik.
Gedung STKIP ADZKIA dimodel dan dianalisis dengan bantuan software
analisis struktur ETABS 9.7.1. Setelah pemodelan struktur, selanjutnya dilakukan
analisis struktur gedung yang telah diperkuat dengan breising baja. Hasil analisis
menunjukkan bahwa, pemasangan breising baja pada struktur lantai menyebabkan
penurunan pada gaya dalam balok mencapai ±70% dibandingkan kondisi eksisting.
Perbandingan simpangan antar lantai yang terjadi pada struktur antara kondisi
eksisting dengan setelah dipasang breising baja mengalami penurunan simpangan
maksimum sekitar kurang lebih 60% untuk arah X dan kurang lebih 65% untuk arah
Y.
2.9.6 Maheri (2009)
Penelitian tentang breising baja internal pada rangka beton bertulang telah
dilakukan oleh Maheri (2009). Penelitian dilakukan pada beberapa parameter
respon seismik seperti uji pushover, uji siklik dan faktor perilaku seismik,
kemudian ditambah sambungan kuat lebih dan alat pelepas tekan.
Pada pengujian uji pushover dibuat 4 model yang diskala 1:3,2 yaitu 2
model tanpa breising dan 2 model dengan breising X dengan semua unit rangka
daktail. Hasil dari pengujian pushover menunjukkan bahwa terjadi peningkatan 3,5
kali untuk kapasitas beban lateral. Peningkatan juga terjadi pada kekakuan sampai
breising tersebut mengalami kegagalan atau tekuk. Kekakuan juga ditunjukkan
pada kurva perpindahan. Penggunaan breising mengakibatkan 5 kali peningkatan
33
kekakuan yang mengindikasi penyerapan energi yang besar. Untuk daktilitas, kuat
lebih dan faktor kinerja menunjukkan bahwa breising lebih cocok untuk desain
berdasarkan kekuatan daripada desain daktail.
Penelitian tentang uji siklik dilakukan dengan memodel rangka momen
beton bertulang dengan rangka breising X beton bertulang yang diskala 2/5. Rangka
momen F1 didesain menurut ACI 318-01 dengan pendetailan khusus untuk desain
gempa. Detail penulangan untuk rangka momen yaitu 4M10 untuk balok dan 4M15
untuk kolom dengan sengkang 35 mm. Sedangkan breising balok dan kolom
menggunakan 4M10 dengan sengkang 70 mm. Breising dihubungkan ketulangan
dengan pelat gusset dengan ukuran 150x150x8 mm yang dihubungkan dengan baut.
Pada sistem breising dibuat 2 jenis tipe breising yaitu FX1 penampang sudut ganda
2L 25x25x32 mm dan FX2 penampang kanal C 3x35 mm. Uji siklik dilakukan
dengan memberi beban gravitasi menggunakan hydraulik. Dari hasil tes
menunjukkan bahwa rangka breising FX1 memiliki kekakuan 2 kali lipat dari
kekakuan lateral rangka pemikul momen. Tetapi kekakuan akan sama seperti
rangka pemikul momen setelah terjadi tekuk. Hal itu juga berlaku pada rangka
breising FX2 walaupun memiliki kekakuan lateral lebih baik dari rangka breising
FX1. Untuk hasil analisis dari ketiga model tersebut, rangka breising memiliki
kinerja yang lebih baik dari rangka momen pada kapasitas kekakuan dan
kelenturan. Penambahan breising menyebabkan penurunan daktilitas dari rangka
daktail, tetapi penurunan daktilitas tersebut tidak mempengaruhi kapasitas
kehilangan energi dari rangka.
Kapasitas kekuatan dari rangka beton bertulang dan sistem breising
merupakan pertimbangan yang penting dalam menentukan sambungan breising.
Penelitian ini dilakukan dengan membuat 3 model benda uji yang diskala 1:3,5
dengn 1 rangka momen dan 2 rangka breising yang dites dengan beban siklik.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan sistem breising ke rangka beton
bertulang mengakibatkan kapasitas dari rangka beton bertulang meningkat melebihi
kapasitas dari sistem breising. Kemudian untuk mengetahui evaluasi dari
sambungan breising dibuat skala penuh dari breising X pada rangka beton
bertulang. Model dianalisis dengan The Open SEES (Open System for Earthquake
Engginering Simulation) dengan model validasi yang diambil dari tes siklik rangka
34
momen dan rangka breising. Hasil analisis menunjukkan bahwa sambungan
mengurangi panjang efektif dari balok dan kolom rangka beton bertulang dan
kekakuan dari rangka berkurang.
Untuk meningkatkan daktilitas, mempertahankan kekuatan, dan kapasitas
kekakuan penambahan knee bracing direkomendasikan berdasarkan hasil tes. Knee
bracing digunakan pada konstruksi baja untuk meningkatkan daktilitas dan untuk
meningkatkan ketahanan gempa pada rangka. Analisis dilakukan dengan membuat
4 model rangka untuk dites pushover yaitu 2 rangka tanpa breising dan 2 rangka
dengan sudut breising. Dari tes tersebut didapatkan bahwa kapasitas ultimit dari
Knee bracing lebih besar 2,5 kali dari rangka tanpa breising. Knee bracing
memungkinkan rangka untuk memiliki kapasitas dan kekakuan yang cukup dengan
kapasitas yang baik untuk menyerap energi. Kurva pushover juga menunjukkan
peningkatan daktilitas rangka dengan knee bracing dibandingkan breising X.
Alat pelepas tekan dipasang pada batang breising untuk melepas gaya tekan.
Batang dibagi 2 bagian dan dilas diujung dengan pelat baja dari alat pelepas tekan.
Dibuat 2 benda uji dengan alat tersebut kemudian dibandingkan dengan 2 benda uji
tanpa breising dan 2 benda uji dengan breising X. Pengujian dilakukan dengan
beban yang sama dan berulang-ulang. Parameter gempa dievaluasi dari hasil tes
termasuk degradasi kekakuan, kapasitas kehilangan energi dan daktilitas. Pada
degradasi kekakuan dengan penggunaan alat pelepas tekan, dapat meminimalkan
keretakan pada rangka beton bertulang dan ketahanan kekakuan lateral dari rangka
hampir konstan. Penggunaan alat pelepas tekan pada breising tidak berpengaruh
terhadap kapasitas kehilangan energi. Pada daktilitas pengaruh alat pelepas tekan
mampu meningkatkan daktilitas pada rangka breising.