bab ii tinjauan tentang taubat dan kesehatan...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN TENTANG TAUBAT DAN KESEHATAN MENTAL
A. Tinjauan Taubat
1. Pengertian Taubat
Secara etimologi, taubat berasal dari bahasa arab yaitu, taba-
yatubu-taubatan. Yang berarti kembali, orang yang kembali disebut taib
dan kembalinya berulang-ulang dan terus-menerus disebut tawwab.
(Rahmad, 1959: 8).
Sedangkan pengertian taubat menurut syara’ atau dalam
terminologi Islam seperti yang diungkapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
“taubat yang sungguh-sungguh ialah menjauhkan diri dari perbuatan dosa,
menyesali atas dosa yang pernah dilakukan pada waktu yang lalu, serta
yakin tidak akan berbuat yang serupa pada waktu mendatang” (Tim, 1992:
1210).1
Selain pengertian di atas ada beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Al-Jurjani dalam al-Takrifat berpendapat “Taubat adalah kembali
kepada Allah dengan melepaskan segala keterikatan hati dan perbuatan
dosa dan melaksanakan semua kewajiban Allah SWT”.
1 Para sufi tarekat Chistiyyah telah menjelaskan tiga jenis taubat : (1) Taubat masa
sekarang yang berarti bahwa manusia harus menyesali dosa-dosanya. (2) Taubat masa lalu yang mengingatkan manusia atas keharusan memenuhi hak-hak orang lain. Jika seseorang telah mencela orang lain secara tidak pada tempatnya, dia harus minta maaf dari korban rasa bencinya itu. Jika seseorang telah melakukan perbutan zina, dia harus memohon ampunan kepada Allah. (3) Taubat masa depan yang berarti bahwa orang harus memutuskan untuk tidak berbuat dosa lagi (Astuti, 2002: 401).
21
b. Pendapat Hamka dalam tafsir al-Azhar, taubat artinya kembali.
Maksudnya setelah menempuh kepada jalan yang sangat sesat, segera
kembali (Tim, 1993: 1210).
c. Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan taubat ialah menjauhklan diri
dari perbuatan dosa yang pernah dilakukan pada waktu yang lalu, serta
yakin tidak akan berbuat yang serupa pada waktu yang mendatang
(Tim, 1993: 1210).
d. Abdur Rehman Shad mengatakan, taubat berarti menyesali dosa yang
telah dilakukan, disebabkan karena disesatkan dari jalan yang benar
oleh syetan atau oleh gerak hatinya sendiri yang hina. Kemudian
kembali mengikuti jalan agama yang benar (Shad, 1985: 61).
e. Ibnu Abbas R.A berpendapat, taubat nasuha adalah menyesali dengan
hati, memohon ampunan dengan lisan, menjauhi dengan badan, dan
bertekad kuat untuk tidak kembali mengerjakan (Tim, 1993: 1211).
Dalam tafsir al-Maraghi surat 18 : 40 disebutkan “barang siapa
yang taubat dari maksiat yang telah dikerjakannya dan dia menyesal atas
perbuatannya dan membersihkan dirinya dengan mengerjakan amal-
amalan saleh, maka sesungguhnya dia betul-betul taubat kepada Allah
dengan taubat nasuha (Tim, 1993: 1211).
22
Dalam pengertian yang lain, taubat itu terdiri dari tiga tingkatan:
pertama menyesali atas kesalahan, kedua mencabut diri dari kesalahan,
dan ketiga mengganti kesalahan itu dengan amal kebajikan.2
Dari pengertian tersebut, maka dapat dipahami bahwa esensi taubat
ialah kembali lagi ke jalan Allah setelah menyadari dan menyesal bahwa
dirinya telah berbuat sesuatu kesalahan, kemudian mohon ampun kepada
Allah SWT. dan memperbaiki diri dengan cara tidak melakukan lagi
kesalahan yang serupa dan berusaha beramal shaleh sesuai dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya (Tim, 1993, 1210).
2. Dasar dan Kewajiban Taubat
Dasar dan kewajiban taubat sudah dijelaskan dalam nash-nash al-
Quran dan al-Hadits. Bahkan bagi orang yang terbuka mata hatinya dan
orang yang dadanya dilapangkan Allah dengan cahaya iman, hal itu
tampak jelas oleh mata hatinya. Dengan cahaya hati ia mampu
meneropong apa yang dihadapinya dalam alam kegelapan, kebodohan
2 Dalam tradisi tasawuf, taubat dikategorikan dalam tiga tingkatan. Pertama, taubat bagi
kalangan awwâm. Yakni taubat pada tingkatan yang paling dasar. Di mana seseorang yang melakukan taubat dituntut untuk memenuhi persyaratan yang paling minimal. Yaitu menyesali segala perilaku kesalahan yang telah dilakukan, dengan sepenuh hati, serta meninggalkan perilaku kesalahan tersebut untuk selama-lamanya. Lebih dari itu juga harus diikuti dengan keyakinan untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Jika perilaku kesalahan tersebut berhubungan dengan sesama manusia, maka dia harus meminta maaf kepada yang bersangkutan. Dan apabila berkaitan dengan harta benda, ia harus mengembalikannya. Dengan kata lain, taubat pada tingkatan pertama berarti kembali dari kemaksiatan atau kejahatan menuju kebaikan.
Pada tingkatan kedua, taubat berarti kembali dari yang baik menuju yang lebih baik. Seseorang yang bertaubat pada tingkatan ini, dituntut untuk kembali dari perbuatan yang lebih baik menuju perbuatan yang terbaik. Dalam dirinya ada semangat untuk senantiasa meningkatkan kadar kebaikan dan ketaatannya untuk menjadi lebih baik lagi dan lebih taat lagi. Adapun taubat yang ketiga yaitu kembali dari yang terbaik menuju kepada Allah. Pada tingkatan ini seseorang yang bertaubat akan berbuat yang terbaik dengan tanpa motivasi apapun kecuali karena Allah dan untuk Allah (Muhammad, 2002: 30-31).
23
tanpa perlu bantuan petunjuk jalan pada setiap langkahnya (Al-Ghazali,
1983: 7).
Jadi arti wajib adalah segala sesuatu yang dengan sendirinya
mendatangkan kebahagiaan abadi dan keselamatan dari siksa abadi serta
sebagai perantara bagi kebahagiaan abadi yaitu pertemuan dengan Allah
SWT (Al-Ghazali, 1983: 8).
Para pemuka agama sepakat terhadap wajibnya taubat. Artinya
wajib mengetahui bahwa dosa dan maksiat merusakkan dan menjauhkan
dari Allah SWT. Hal ini masuk dalam lingkungan wajib iman, tetapi
kadang mengejutkan orang yang melalaikannya, maka arti dari pada
mengetahuinya adalah memberantas kelalaian tersebut (Al-Ghazali, 1983:
10).
Adapun menyesali kembali masa lampau dan menaati adalah
wajib. Itulah rohnya taubat karena sempurnalah pertemuan dengan Tuhan
bahkan kesusahan hati yang tidak putus-putusnya mungkin bisa terjadi
setelah melihat kenyataan bahwa umur telah habis dan tenggelam dalam
murka Allah SWT (Al-Ghazali, 1983: 11).
Demikian itulah keimanan yang diperoleh dengan menggunakan
kecerdikan akal, jadi taubat yang wajib bukan karena hamba yang
melakukannya. Tetapi hal itu bersumber dari pengetahuan, penyesalan,
perbuatan, kehendak dan kemampuan dari orang yang mampu (Al-
Ghazali, 1983: 307). Dengan demikian, maka taubat adalah wajib bagi
seluruh manusia atau hamba Allah SWT.
24
3. Dosa yang harus ditaubati
Jika taubat itu wajib hukumnya, maka mengetahui sesuatu yang
tidak akan terlaksana taubat kecuali dengannya juga wajib hukumnya,
seperti mengetahui dosa (Ridho dan Addimsyaqi, 1993: 675).
Dosa adalah segala sesuatu yang menyalahi perintah Allah baik
menyangkut keharusan meninggalkan atau melakukan suatu perkara.
Adapun pendorong dalam melakukan dosa itu meliputi 4 (empat) sifat,
yaitu :
a. Sifat Rububiyah (ketuhanan)
Sesuatu yang menyamai sifat-sifat rubiyah dan harus
ditinggalkan dari seorang hamba adalah seperti sifat sombong
membanggakan diri, cinta pujian dan sanjungan, cinta keabadian dan
suka mencari ketinggian diri di antara orang banyak. Dari sifat itulah
muncul berbagai macam dosa besar yang banyak dilalaikan oleh
manusia, bahkan tidak dianggap dosa padahal sifat-sifat tersebut
merupakan pembina rasa yang sangat besar dan merupakan biang
segala kemaksiatan.
b. Sifat-sifat Syaithaniyyah (kesetanan)
Dari sifat-sifat ini melahirkan pikiran selalu hendak menipu
dan memperkosa hak orang lain. Seperti penipuan, kezaliman,
kemaksiatan, dan kedengkian.
25
c. Sifat Bahimiah (kebinatangan)
Dari sifat ini muncul kerakusan dan ketamakan terhadap
pemenuhan syahwat perut dan kemaluan yang berbuntut timbulnya
perzinaan, homoseksual, pencurian memakan harta anak yatim dan
menumpuk-numpuk harta benda dunia untuk memenuhi pemuasaan
syahwat.
d. Syabu’iyah (kebuasan)
Dalam sifat ini menimbulkan kemarahan dan kebencian dan
serangan terhadap orang lain dengan pukulan, caci maki pembunuhan
dan pengrusakan harta benda dan akan muncul pula berbagai macam
dosa. Itulah induk segala dosa dan sumber-sumbernya (Ridho dan
Addimsyaqi, 1993: 676).
Keempat sifat tersebut tumbuh secara berangsur-angsur sesuai
dengan perkembangan tubuh, apabila telah mencapai usia empat puluh
tahun barulah tumbuh akan sempurna yang akan melahirkan iman.
Jika sifat-sifat tersebut melahirkan kejahatan dan dosa sedangkan
dosa merupakan hijab (dinding) yang menghalangi antaranya dengan
Tuhannya, maka setiap manusia wajib membersihkan dosa dengan
bertaubat (Sjukur, 1980: 40).
4. Syarat Taubat yang bisa diterima oleh Allah SWT.
Dalam kitab Riyadus Shalihin, Imam Nawawi mengatakan, ulama
telah mengatakan, untuk merupakan suatu kewajiban atas setiap dosa, jika
kemaksiatan itu dilakukan di antara seorang hamba dengan Allah SWT.
26
semata dan tidak ada kaitannya dengan sesama manusia, maka syarat
taubat ada tiga yaitu :
a. Tidak akan mengulang kemaksiatan itu lagi
b. Menyesali perbuatan yang telah lalu
c. Selamanya harus bertekad untuk tidak mengulangi lagi.
Jika dalam satu syarat di atas ada tidak terpenuhi maka, oleh Ibnu
Qodamah al-Maqdisi dikatakan taubatnya tidaklah syah (Al-Maqdisi,
1996: 3).
Itulah syarat-syarat untuk bertaubat, apabila itu berhasil dikerjakan
dan secara penuh diamalkan, maka itulah taubat yang sesungguhnya yaitu
taubat yang sejati. Dalam al-Quran dinamakan taubatan nasuha.
5. Manfaat Taubat
Perasaan berdosa menyebabkan manusia merasa negatif dan
gelisah. Akibatnya akan timbul berbagai gejala penyakit jiwa. Oleh karena
itu al-Quran membekali kita dengan suatu metode yang unik dan berhasil
dalam menyembuhkan perasaan berdosa yaitu metode taubat.
Dengan bertaubat kepada Allah SWT. maka akan membuat
diampuninya berbagai dosa dan menguatkan dalam diri manusia harapan
akan ridho Allah SWT., sehingga ini akan meredakan kegelisahannya.
Kemudian, taubat biasanya mendorong manusia untuk memperbaiki
dirinya dan meluruskannya, sehingga tidak lagi terjerumus dalam
kesalahan dan maksiat. Maka dari itu dengan bertaubat membuat
meningkatnya penghargaan dan kepercayaan terhadap diri sendiri,
27
penerimaan diri dan menimbulkan perasaan tenang dan tenteram dalam
jiwa (Najati, 1985: 328). Dengan bertaubat orang akan memperoleh
kelegaan batin, karena ia merasa pengakuan dosa dan penyesalan dirinya
didengar, diperhatian dan diterima oleh Allah SWT. serta merasa
memperoleh ampunan dan kasih sayang-Nya kembali. Apabila orang
bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha dan dapat meyakini sifat
Allah SWT. yang Maha penerima taubat, Pengampun dan Penyayang,
maka ia akan dapat menjadikan taubat sebagai pengobatan (Jaya, 1995:
123).
B. Tinjauan Kesehatan Mental
Pada bagian ini akan dikaji pengertian kesehatan mental dari berbagai
tokoh yang berkompeten dengan berbagai varian dan konsepnya.
1. Pengertian Kesehatan Mental
Sebagai sebuah disiplin keilmuan di bidang psikologi, kesehatan
mental atau hygiene mental adalah ilmu yang mempelajari masalah
kesehatan mental dan bertujuan untuk mencegah serta mengobati
(menyembuhkan) individu dari gangguan kejiwaan (Kartono dan jenny
Andari, 1989: 3). Sebagai kondisi kejiwaan manusia, kesehatan mental
memiliki banyak pengertian. Hal ini disebabkan karena adanya pemaknaan
kesehatan mental dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi empirik tertentu
yang merupakan bagian dari teori kesehatan mental (Mujib dkk, 2001:
133).
28
Di balik keanekaragaman konsep mengenai kesehatan jiwa,
beberapa ahli mengemukakan semacam orientasi umum dan pola-pola
wawasan kesehatan mental. Saparinah Sadli dalam Suroso (2001: 132),
mengemukakan tiga orientasi kesehatan mental, yakni : pertama, orientasi
klasik : seseorang dianggap sehat bila ia tidak mempunyai keluhan tertentu
seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak
berguna yang semuanya menimbulkan perasaan sakit atau rasa tidak sehat
serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak
dianut di lingkungan kedokteran. Kedua, orientasi penyesuaian diri :
seseorang dianggap sehat mental bila ia mampu mengembangkan dirinya
sesuai dengan tuntutan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya.
Ketiga, orientasi pengembangan potensi : seseorang dianggap mencapai
taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan
potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang
lain dan dirinya sendiri.
Di sisi lain Daradjat (1984: 3-4) mengemukakan lima buah rumusan
kesehatan mental yang lazim dianut oleh para ahli, yakni :
a. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa
(neurosis) dan penyakit jiwa (psikosis).
b. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia
hidup.
29
c. Kesehatan mental adalah keharmonisan yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan
dan konflik batin.
d. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
untuk mengembangkan serta memanfaatkan potensi, bakat, dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa
kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan
dan penyakit jiwa.
e. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian
diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungan, berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Bastaman (1995: 133-134) kesehatan mental memiliki
empat pola wawasan. Pertama : pola wawasan simptomatis, di mana
mental yang sehat ditandai dengan bebasnya seseorang dari gejala-gejala
gangguan kejiwaan. Kedua : pola wawasan penyesuaian diri, yang
menekankan pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri sebagai
unsur utama kesehatan mental. Ketiga : pola wawasan pengembangan
potensi, di mana mental yang sehat terjadi bila individu mampu
mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga mendatangkan
manfaat, dan keempat : pola wawasan berorientasi agama, berpandangan
30
bahwa agama atau kerohaniaan memiliki daya yang dapat menunjang
kesehatan mental. Dalam perspektif ini kesehatan mental diperoleh
sebagai hasil dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, serta penerapan
ajaran agama dalam hidup.
Atas dasar keempat pola wawasan ini, Bastaman dalam el-Qudsi
(1989: 34-48) menarik kesimpulan bahwa tolak ukur kesehatan mental ada
empat yang meliputi : pertama, bebas dari ganguan dan penyakit
kejiwaan. Kedua, mampu menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan
antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan. Ketiga,
mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap sifat
dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan
lingkungan. Keempat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta berupaya
menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Sesuai dengan kemajuan pengetahuan, pengertian terhadap
kesehatan mental mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian terhadap
kesehatan mental bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada gangguan dan
penyakit jiwa. Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap
perlu bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja.
Padahal kesehatan mental tersebut diperlukan bagi setiap orang yang
merindukan ketentraman dan kebahagiaan3.
3 Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang kesehatan mental.
Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya seseorang dari gangguan kejiwan dan penyakitnya, akan tetapi, orang yang sehat mentalnya memiliki karakter utama sebagai berikut : Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik, pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik, integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan yang terjadi. Otonomi diri
31
Dari sini dapat dipahami bahwa kesehatan mental tidak hanya
memanifestasikan diri dalam menampakkan tanda-tanda tanpa adanya
gangguan batin saja, akan tetapi posisi pribadinya juga harmonis dan baik,
selaras dengan dunia luar dan di dalam dirinya sendiri, dan baik harmonis
pula dengan lingkungannya. Dengan demikian, orang yang sehat
mentalnya itu secara mudah bisa melakukan adaptasi (penyesuaian diri),
selalu aktif berpartisipasi, bisa menerapkan diri dengan lancar pada setiap
perubahan sosial, selalu baik melaksanakan realisasi diri dan senantiasa
dapat menikmati kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya
(Kartono dan Jenny Andari, 1989: 6).
Dari beberapa pengertian kesehatan mental yang telah diungkap di
atas, menunjukan bahwa ternyata pengertian kesehatan mental sangat luas.
Namun demikian, itu belum mencakup seluruh bidang kehidupan manusia.
Manusia hidup mempunyai pegangan hidup yaitu agama, sedangkan
pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, tidak menyangkut
atau menyinggung aspek agama. Padahal agama merupakan petunjuk bagi
manusia serta menghendaki manusia memperoleh ketentraman hati,
kedamaian dan kebahagiaan hidupnya. Pada posisi inilah, Zakiyah
Daradjat, memberikan definisi mengenai kesehatan mental sebagai
berikut:
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan
yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati dan kepekaan sosial dan kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik.
32
lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat. Dengan rumusan lain kesehatan mental ialah suatu ilmu yang berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, baik hubungannya dengan diri sendiri, maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan (Daradjat, 2001: 4).
Dengan masuknya aspek agama, seperti keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan dalam kesehatan mental, pengertiannya menjadi lebih
luas, karena sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Aspek
agama dalam perumusan kesehatan mental sudah seharusnya dimasukkan,
karena agama memiliki peranan yang besar dalam kehidupan manusia.
Agama merupakan salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu
dipenuhi oleh setiap orang yang merindukan ketentraman dan
kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia akan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan tidak terpenuhi kecuali dengan agama.
Memahami masalah kesehatan mental secara luas adalah penting di
zaman ini. Hal ini dikarenakan walaupun kemajuan ilmu teknologi, dan
industrialisasi dapat memberikan kemudahan dan kesenangan kepada
manusia tetapi semuanya itu belum dapat menjamin kesejahteraan dan
kebahagiaan jiwa. Ini disebabkan kemajuan yang membawa pada
perubahan dalam kehidupan sosial dan budaya manusia dan sudah barang
tentu mempengaruhi kehidupan jiwa. Semakin maju kebudayaan dan
peradaban, semakin kompleks pula masalah dan kebutuhan hidup manusia.
Adalah suatu kenyataan bahwa kesehatan mental berhubungan dengan
berbagai segi kesejahteraan masyarakat seperti, kemiskinan, pendidikan,
33
pekerjaan, dan perumahan. Misalnya kemiskinan dapat membuat
kesejahteraan masyarakat terganggu sehingga mengakibatkan
terganggunya kesehatan mental. Banyak kasus bunuh diri disebabkan
bukan saja karena frustasi tetapi juga karena kemiskinan dan kurangnya
tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang. Untuk mengatasi masalah ini
agama dapat membantu manusia mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.
Agama membimbing manusia mencapai kebaikan dan kebahagian di dunia
dan akhirat.
Ada diskripsi menarik dari Organisasi Kesehatan Se-Dunia dalam
memberikan kriteria jiwa atau mental yang sehat. Menurut organisasi ini,
mental yang sehat adalah mental yang dapat menyesuaikan diri secara
konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya,
memperoleh kepuasaan dari hasil jerih payah usahanya, merasa lebih puas
memberi daripada menerima, secara relatif bebas dari rasa tegang dan
cemas, berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling
memuaskan, menerima kekecewaaan untuk dipakainya sebagai pelajaran
untuk kemudian hari, menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian
yang kreatif dan konstruktif dan mempunyai rasa kasih sayang yang besar
dan pada tahun 1984, WHO menyempurnakan batasan sehat dengan
menambahkan satu elemen spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang
dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya dalam arti fisik, psikologi dan
sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual agama (empat dimensi sehat,
bio-psiko-sosial-spiritual) (Hawari: 1996: 12).
34
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa peranan agama sangat
penting dalam kesehatan mental. Adanya unsur keimanan dan ketakwaan
menambah keyakinan kita untuk menjaga kesehatan mental. Keimanan
dan ketakwaan di sini adalah beriman dan bertakwa kepada Allah SWT,
karena dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya manusia dengan mudah
dapat mengatasi segala gangguan dan penyakit mental, demi terwujudnya
harapan manusia mencapai hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Dalam
konteks kekinian kesehatan mental menjadi hal yang menarik karena ada
tantangan modernitas yang kian komplek yang memacu manusia untuk
sekuat tenaga berakselerasi dengan zaman. Dari sinilah konsekwensi-
konsekwensi modernitas muncul. Kalau diperhatikan manusia dalam
kehidupannya memunculkan fenomena yang bermacam-macam yang
terlihat. Ada orang yang kelihatannya selalu berbicara dan bahagia, walau
apapun keadaan yang dihadapinya, dia disenangi orang, tidak ada orang
yang membencinya dan pekerjaannya selalu berjalan dengan lancar,
sebaliknya ada pula orang yang sering mengeluh dan bersedih hati, tidak
cocok dengan orang lain dalam pekerjaannya, tidak bersemangat serta
tidak dapat memikul tanggung jawab. Hidupnya dipenuhi kegelisahan,
kecemasan, dan ketidakpuasan dan mudah diserang oleh penyakit-penyakit
yang jarang dapat diobati. Mereka tidak pernah merasakan bahagia, di
samping itu adapula orang yang dalam hidupnya suka menganggu,
melanggar hak dan ketenangan orang lain, suka mengadu domba,
memfitnah, menyeleweng, menganiaya dan menipu.
35
Gejala-gejala kegelisahaan masyarakat itulah yang mendorong para
ahli ilmu jiwa untuk berusaha menyelidiki apa yang menyebabkan tingkah
laku orang berbeda-beda, meskipun kondisinya sama, juga apa sebabnya
ada orang yang tidak mampu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan
dalam hidup ini. Usaha ini menumbuhkan satu cabang termuda dari ilmu
jiwa yaitu kesehatan mental. Menurut Kartono (1989: 3-5) dalam Higiene
Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, secara etimologi kesehatan
mental (mental hygiene) berasal dari kata mental dan hygeia. Hygeia ialah
nama dewi kesehatan Yunani dan hygiene berarti ilmu kesehatan,
sedangkan mental berasal dari bahasa latin mens, atau mentis, yang
mempunyai arti jiwa, nyawa, sukma, roh semangat mental hygiene sering
disebut pula sebagai psiko-hygiene. Psyche (dari kata Yunani Psuche)
artinya nafas, asas kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma dan semangat4.
Menurut Daradjat (2001: 11-14) dalam Kesehatan Mental banyak
pengertian tentang kesehatan mental yang diberikan oleh para ahli, sesuai
dengan pandangan dan bidangnya masing-masing. Setidaknya ada empat
definisi dasar. Pertama, kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari
4 Lebih lanjut Kartini Kartono menjelaskan bahwa ada orang yang membedakan antara mental hygiene dan psiko-hygiene. Bagi yang membedakan kedua istilah ini mental hygiene lebih terfokus pada kehidupan kerohanian, sedangkan psiko-hygiene menonjolkan manusia sebagai totalitas psiko-fisik atau psiko-somantis, tetapi dalam hal ini Kartini Kartono lebih lanjut memilih pada penyamaan arti keduanya, yaitu sebagai ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-fisik yang komplek. Oleh sebab itu ilmu kesehatan mental ini erat hubungannya dengan tekanan konflik-konflik pribadi yang terdapat dalam diri manusia. Tekanan-tekanan batin dan konflik-konflik pribadi itu sering mengganggu ketenangan hidup seseorang. Dengan demikian, mental hygiene mempunyai tema sentral, bagaimana metode seseorang untuk mencari jalan keluar dari segenap persoalan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha untuk mendapatkan kebersihan jiwa dalam pengertian tidak terganggu oleh berbagai macam ketegangan, ketakutan dan konflik terbuka serta konflik batin. Intinya adalah untuk mendapatkan keseimbangan jiwa, menegakkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik serta mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian.
36
segala gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala
penyakit jiwa (psychose). Definisi yang ini, banyak mendapat sambutan
dari kalangan psikiater (kedokteran jiwa). Menurut definisi ini, orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari segala gangguan dan
penyakit jiwa5.
Menurut Jaelani (2000: 87-88), ada dua langkah untuk mencapai
kesehatan mental yaitu pengobatan, pencegahan dan pembinaan. Langkah
pengobatan dalam kesehatan mental adalah usaha-usaha yang ditempuh
untuk menyembuhkan dan merawat orang yang mengalami gangguan dan
sakit kejiwaan sehingga dapat menjadi sehat dan wajar kembali. Langkah
pencegahan dalam kesehatan mental adalah metode yang digunakan
manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan
atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian,
manusia dapat menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan
goncangan batin dan ketidaktentraman hati. Usaha lain di samping
merupakan usaha pribadi setiap orang, juga termasuk usaha pemerintah
untuk memperbaiki dan mempertinggi sistem kebudayaan dan peradaban.
Langkah pembinaan, ditujukan untuk menjaga kondisi mental yang sudah
baik termasuk meliputi cara yang ditempuh manusia untuk meningkatkan
rasa gembira, bahagia, dan kemampuan menggunakan segala potensi yang
5 Neurosa adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kecemasan sebagai gejala utama, yang
dapat dirasakan oleh individu dan diekspresikan secara langsung atau diatasinya secara tidak sadar dengan mengunakan mekanisme psikologis. Psychosa adalah fungsi kepribadian dalam menilai realitas, hubungan, persepsi, tanggapan, afektif seseorang sampai taraf tertentu, sehingga tidak memungkinkan lagi melakukan lagi tugas-tugas secara memuaskan.
37
ada seoptimal mungkin seperti memperkuat ingatan, fantasi, kemauan dan
kepribadiannya.
2. Pandangan Islam Mengenai Kesehatan Mental
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam
pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan
yang sehat merupakan hasil sampingan (by product) dari kondisi pribadi
yang matang secara emosional, intelektual dan sosial terutama matang
pula ketuhanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
demikian dalam Islam menyatakan, bahwa betapa pentingnya
pengembangan pribadi-pribadi meraih kualitas “urusan paripurna” yang
otaknya sarat dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya
iman dan takwa kepada Allah, sikap dan tingkah lakunya benar-benar
merealisasikannya nilai-nilai ke-islaman yang mantap dan teguh, otaknya
terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan,
rasa kesatuan, kedamaian dan kasih sayang. Kesan demikian pasti
jiwanyapun sehat, suatu manusia yang bertipe ideal.
Sejak dikembangkan metode-metode dalam psikoterapi yaitu
berkaitan dengan metode mistik dan spiritual, maka agama menjadi
standar utama dalam melihat kesehatan mental seseorang. Tolak ukur dari
setiap definisi kesehatan mental dalam konsepsi agama Islam, sehingga
orang-orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berusaha secara sadar
merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu dijalaninya
38
sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia secara sadar berupaya untuk
mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat, kemampuan, sifat
serta kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif (Bastaman, 2001: 135).
Inti utama masalah kesehatan mental menurut Islam adalah
bagaimana menumbuhkembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) serta
sekaligus menghilangkan sifat-sifat tercela (mazmumah) pada pribadi
seseorang. Dalam Islam sifat-sifat terpuji adalah sifat Ilahiyah sedangkan
sifat-sifat tercela adalah sifat syaitaniyah.
Demikian juga pandangan Islam terhadap kesehatan mental antara
lain dapat dilihat peran agama Islam sendiri bagi kehidupan manusia,
agama Islam memberikan tugas dan tujuan bagi kehidupan manusia di
dunia dan di akhirat. Misalnya tugas dan tujuan manusia di dunia adalah
untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifahnya di bumi, yaitu
dengan melaksanakan konsep ibadat dan khalifah, orang yang dapat
mengembangkan potensi jiwa dan memperoleh kesehatan mentalnya.
Peranan ajaran Islam demikian dapat membantu orang dalam mengatasi
jiwanya dan mencegahnya dari gangguan kejiwaan serta membina
kesehatan mental.
Berdasarkan pemikiran di atas maka setidak-tidaknya ada empat
prinsip keagaman dan falsafah yang mendasari pandangan Islam tentang
kesehatan mental. Pertama, prinsip dan falsafah tentang maksud dan
tujuan Allah menciptakan manusia dan alam semesta. Kedua, keadaan dan
sifat-sifat Allah yang hubungannya dengan sifat-sifat manusia. Ketiga,
39
keadaan amanah dan fungsi manusia dijadikan Allah sebagai khalifah di
muka bumi ini. Keempat, perjanjian antara Allah dan manusia sewaktu
dilahirkan atau masih dalam kandungan (Jaya, 1995: 87). Maksud dan
tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk beribadah
dalam pengertian yang luas kegiatannya mencakup aspek kehidupan
manusia, baik bersifat i’tikad, pemikiran, sosial, jasmani, rohani, ahlak dan
keindahan.
3. Beberapa Prinsip dan Langkah Mencapai Kesehatan Mental
Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan mental ialah fundamen
atau dasar-dasar yang harus ditegakkan manusia guna mendapatkan
kesehatan mental dan terhindar dari gangguan kejiwaaan. Kartono (2000:
29-30) mengemukakan beberapa prinsip kesehatan mental yaitu, pertama :
pemenuhan kebutuhan pokok yaitu bahwa setiap manusia memiliki
dorongan untuk memenuhi kebutuhan pokok, baik yang bersifat fisik,
psikis maupun sosial. Kedua : posisi atau status sosial, setiap individu
selalu berusaha mencari posisi dan status sosial dalam lingkungannya.
Tetapi manusia membutuhkan rasa cinta kasih dan simpati, karena rasa
cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa aman (assurance), keberanian
dan harapan-harapan di masa yang akan datang. Ketiga : kepuasan,
kepuasan yaitu kesadaran manusia untuk menilai dan penguasaan dirinya
yang akan memberikan rasa senang, puas dan bahagia.
Senada dengan hal tersebut, Jaelani (2000: 83-86) mengemukakan
delapan pokok prinsip-prinsip kesehatan mental yaitu :
40
1. Gambaran dan sikap baik terhadap diri sendiri
Yaitu orang yang mau menerima keadaan dirinya sendiri apa
adanya, dan percaya terhadap dirinya sendiri sehingga mampu
beradaptasi dengan orang lain, lingkungan dan Tuhan.
2. Keterpaduan atau integrasi diri
Yaitu keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri,
kesatuan pandang (falsafah) hidup, dan sanggup mengatasi stres
(ketegangan emosi), yang berarti keseimbangan kekuatan id, ego, dan
super egonya.
3. Perwujudan diri
Yaitu kemampuan mempergunakan potensi jiwa dan memiliki
gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri serta peningkatan
motivasi dan semangat hidup.
4. Berkemampuan untuk menerima orang lain, melakukan aktivitas
sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal.
Yaitu mau bekerja sama dengan orang lain dan melakukan
pekerjaan sosial yang menggugah hati dan tidak menyendiri dari
lingkungan, hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan aman,
damai dan bahagia dalam hidup bermasyarakat di lingkungan tempat
tinggalnya.
5. Berminat dalam tugas dan kerja
Yaitu pribadi yang sehat dan normal adalah orang yang aktif,
produktif dan berminat dalam tugas dan pekerjaannya. Ia dapat
41
bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan sehingga
menumbuhkan rasa kepuasan, kegembiraan, dan kebahagiaan.
6. Agama, cita-cita dan falsafah hidup.
Yaitu dengan agama manusia dapat terbantu dalam mengatasi
persoalan hidup yang di luar kesanggupannya sebagai manusia yang
lemah, dengan cita-cita manusia dapat bersemangat dan bergairah
dalam perjuangan hidup yang berorientasi ke masa depan, membentuk
kehidupan secara tertib, dan mengadakan perwujudan diri dengan
baik. Dengan falsafah hidup manusia dapat menghadapi tantangan
yang dihadapinya dengan mudah.
7. Pengawasan diri
Yaitu mampu mengendalikan keinginan atau hawa nafsu yang
bersifat negatif dan lebih menggunakan akal pikiran dalam setiap
perbuatan atau tingkah lakunya.
8. Rasa benar dan tanggung jawab
Yaitu membebaskan manusia dari perasaan berdosa, bersalah,
dan kecewa sehingga menimbulkan perasaan aman agar manusia dapat
melakukan kebaikan dan kesuksesan dalam hidup.
Demikian beberapa prinsip kesehatan mental, pengembangan dan
penyesuaian diri yang merupakan dasar dari kebahagiaan hidup manusia.
Oleh karena itu kekurangan pelaksanaan prinsip-prinsip itu akan
mengurangi kebahagiaannya. Derajat kebahagiaan antara lain dapat diukur
dari kemantapan pelaksanaan prinsip-prinsip kesehatan mental tersebut.
42
Sedangkan untuk mencapai kesehatan mental ada tiga langkah atau
metode yang harus ditempuh manusia, yaitu pengobatan (kuratif),
pencegahan (preventif) dan pembinaan (konstruktif). Langkah pengobatan
dalam kesehatan mental adalah usaha-usaha yang ditempuh untuk
menyembuhkan dan merawat orang yang mengalami gangguan dan sakit
kejiwaan sehingga dapat menjadi sehat dan wajar kembali.
Langkah pencegahan dalam kesehatan mental adalah metode yang
digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna
meniadakan atau mengurangi terjadinya ganguan kejiwaan. Dengan
demikian, manusia dapat menjaga dirinya dan orang lain dari
kemungkinan goncangan batin dan ketidaktentraman hati. Usaha ini di
samping usaha pribadi setiap orang, juga termasuk usaha pemerintah untuk
memperbaiki dan mempertinggi kebudayaan dan peradaban. Langkah
pembinaan, ditujukan untuk menjaga kondisi mental yang sudah baik
termasuk meliputi cara yang ditempuh manusia untuk meningkatkan rasa
gembira, bahagia, dan kemampuan menggunakan segala potensi yang ada
seoptimal mungkin seperti memperkuat ingatan, fantasi, kemauan, dan
kepribadiannya (Jaelani, 2000: 88-91).
Apabila ketiga metode di atas dapat dimanifestasikan manusia ke
dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat menghindarkan seseorang dari
gangguan mental dan menciptakan suatu pribadi yang sehat mentalnya
sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupannya dengan
43
menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dirinya dan orang
sekitarnya.
C. Taubat dan Relevansinya dengan Kesehatan mental
Taubat adalah masalah-masalah penting dalam semua ajaran
agama, termasuk agama Islam. Karena taubat merupakan kebutuhan
kejiwaan manusia. Oleh karena itu, pembahasan taubat dan relevansinya
dengan kesehatan mental sangat erat keduanya.
Perbuatan yang melanggar, baik bertindak buruk untuk dirinya atau
orang lain pasti akan terkena hukum. Perbuatan tercela yang jelas
berakibat buruk sangat dilarang oleh Allah. karena perbuatan seperti ini
akan membawa kepada perbuatan maksiat yang dimasukkan dalam
kategori dalam perbuatan dosa (Baradja, 1994: 27).
Dengan demikian, timbul kesalahan dan kegelisahan yang dialami
bersumber dari perasaan dan emosi yang ada di dalam hati. Emosi yang
berlebihan disebabkan tindakan dan perbuatan diluar kemauan hati nurani
akan berakibat rasa kesal dan resah. Perasaan ini tidak bisa hanya dengan
terapi penenang atau pelepasan dengan rileksi. Tetapi perasaan ini harus
dibarengi dengan pengakaun diri atas tindakan pelanggaran terhadap Allah
tersebut dan minta ampun kepada-Nya dengan cara bertaubat (Baradja,
1994: 46).
44
Apabila seorang muslim benar-benar taubat dan konsisten dalam
mentaati Allah, menyembahnya dan beramal saleh, maka dirinya akan
menjadi tenang, jiwanya akan menjadi tenteram, dan perasaan berdosa
yang menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan kepribadian akan sirna
Pada hakekatnya taubat dilihat dari segi kejiwaan adalah suatu
kombinasi dari fungsi-fungsi kejiwaan yang terdiri atas kesadaran
sepenuhnya tentang jeleknya dosa dan maksiat yang diperbuat dengan
sepenuh hati yang disertai dengan rasa sedih dan takut kepada Allah SWT.
keinginan kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa dengan segera, tekad
yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan maksiat dan
perbaikan diri di masa yang akan datang melakukan perbuatan baik dan
ketaatan secara secara terus menerus kembali kepda Allah dengan sepenuh
keimanan, ketaqwaan, dan ketaatan serta terjalinnya kembali hubungan
yang baik dengan sesama manusia (Jaya, 1995: 52-53). Dengan demikian
kepribadian orang yang bertaubat dalam kehidupannya menjadi sehat,
tenang dan sejahtera kembali.
D. Tinjauan bimbingan dan konseling Islam terhadap konsep taubat sebagai
pembentuk mental yang sehat
1. Pengertian bimbingan dan konseling Islam
Dipandang dari segi terminology, ada dua macam istilah yaitu
bimbingan dan konseling. Istilah bimbingan merupakan terjemahan dari
45
bahasa inggris “guidance”, dan istilah konseling dari bahasa inggris
“counseling” yang dalam bahasa Indonesia berarti penyuluh.
a. Bimbingan islami
Istilah bimbingan merupakan terjemahan dari bahasa inggris
yaitu “guidance”, yang berasal dari kata kerja to guide yang berarti
menunjukan, memberi jalan, atau menuntun orang lain ke arah tujuan
yang lebih bermanfaat bagi hidupnya di masa kini dan masa yang akan
datang (Arifin, 1994: 1).
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan beberapa
pendapat para ahli tentang definisi bimbingan secara umum :
1) Menurut Bimo Walgito
Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang
diberikan kepada individu atau sekumpulan individu-individu
dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam
kehidupan agar individu atau sekumpulan individu-individu itu
dapat mencapai kesejahteraan hidupnya (Walgito, 1995: 4).
2) Priyatno dan Erman Anti
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan oleh orang ahli kepada seseorang atau beberapa orang,
baik anak-anak, remaja maupun dewasa; agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan
mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dansarana yang
46
ada dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku
(Priyatno dan Erman Anti, 1999: 99).
Dari beberapa pengertian bimbingan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud bimbingan adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada seorang
atau beberapa orang agar mampu mengembangkan potensi (bakat,
minat dan kemampuan yang dimiliki, mengenali dirinya sendiri,
mengatasi persoalan-persoalan sehingga mereka dapat menentukan
sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab tanpa bergantung
kepada orang lain).
Setelah mengetahui pengertian agama dari sudut pandangan
umum, maka perlu juga dikemukakan juga pengertian bimbingan dari
sudut pandang Islam yang dirumuskan oleh Musnamar (1992: 5),
“Bimbingan Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
agar mampu hidup selaras dengan ketemtuan Allah, sehingga dapat
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan dalam proses pemberian bantuan terhadap individu. Namun
dalam bimbingan Islam konsepnya bersumber pada al-Qur’an dan al-
Hadits.
b. Konseling Islam
Konseling berasal dari bahasa inggris, yaitu counseling.
Sedangkan kata counseling dari kata to counsel yang artinya
47
memberikan nasehat atau memberi anjuran kepada orang lain secara
face to face (berhadapan muka satu sama lain) dan juga bisa diartikan
advice, yang artinya nasehat atau petuah (Echols dan Hasan Shadily,
1992: 150).
Definisi konseling Islam sebagaimana dikatakan oleh beberapa
ahli di antara adalah :
1. Hasan Langgulung
Konseling adalah proses yang bertujuan menolong
seseorang yang mengidap kegoncangan emosi sosial yang belum
sampai pada tingkat kegoncangan psikologis atau kegoncangan
akal agar ia dapat menghindari diri dari padanya (Langgulung,
1986: 452).
2. Priyatno dan Erman Anti
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut
konselor) kepada individu yang sedang mengalami masalah
(disebut klien), yang bermuara pada teratasinya masalah yang
dihadapi klien (Priyatno dan Erman Anti, 1999: 105).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa
konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan
oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami
masalah, agar individu dapat mengatasi permasalahn yang
dihadapinya.
48
Setelah diketahui pengertian konseling dari sudut pandang
umum, maka perlu dikemukakan juga pengertian konsleing dari
sudut pandang Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Adz-
Dzaky (2004: 137), bahwa :
“Konseling Islam berarti suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan akal pikirannya, kejiwaanya, keimanan, dan keyakinan serta dapat menanggulang problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada al-Qur’an dan al-Sunah Rasulullah SAW”.
2. Fungsi bimbingan dan konseling Islam terhadap konsep taubat
Bimbingan dan konseling sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas, mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi preventif atau pencegahan, yakni mencegah timbulnya masalah
pada seseorang.
b. Fungsi kuratif atau korektif, yakni memecahkan atau menanggulangi
masalah yang sedang dihadapi seseorang.
c. Fungsi preventif dan developmental, yakni memelihara agar keadaan
yang tidak baik menjadi baik kembali, dan mengembangkan keadaan
yang sudah baik menjadi lebih baik (Musnamar, 1992: 4). Dalam
pengertian lain fungsi developmental adalah membantu individu
memperoleh ketegasan nilai-nilai anutannya, mereviu pembuatan
keputusan yang dibuatnya (Mappiare, 1996: 29).
49
Dari pengertian dan fungsi bimbingan konseling di atas, maka
dapat dilihat adanya keterkaitan antara bimbingan konseling Islam dengan
konsep taubat. Hal ini bisa diketahui dari faktor intern pada substansi
bimbingan dan konseling, yaitu pada materi. Dalam hal ini taubat
merupakan salah satu materi yang layak dipakai dalam proses bimbingan
dan konseling Islam. Secara umum materi bimbingan dan konseling Islam
adalah meliputi aqidah, ibadah, dan syari’ah. Dari ketiga materi itu
nampaknya taubat masuk dalam kategori materi aqidah.
Jika dilihat pada faktor ekstern pada bimbingan dan konseling
(faktor pelaksanaan). Nampaknya materi taubat perlu mendapatkan
penanganan yang serius. Artinya adanya manusia bertaubat karena adanya
yang mengajak dalam hal itu.
Taubat sendiri dilihat dari segi kejiwaan adalah suatu kombinasi
dari fungsi-fungsi kejiwaan yang terdiri atas kesadaran sepenuhnya
tentang jeleknya dosa dan maksiat yang diperbuat dengan sepenuh hati
yang disertai dengan rasa sedih dan takut kepada Allah. Keinginan kuat
untuk meninggalkan perbuatan dosa dengan segera, tekad yang kuat untuk
tidak mengulangi perbuatan dosa dan maksiat dan perbaikan diri di masa
yang akan datang, melakukan perbuatan baik dan ketaatan secara terus
menerus, kembali kepada Allah dengan sepenuh keimanan, ketaqwaan dan
ketaatan serta terjalinnya kembali hubungan yang baik dengan sesama
manusia (Jaya, 1995: 52-53).
50
Timbulnya kesalahan dan kegelisahan yang dialami manusia
bersumber dari perasaan dan emosi yang ada di dalam hati. Emosi yang
berlebihan disebabkan tindakan dan perbuatan di luar kemauan hati dan
karena tindakan melanggar perintah Allah. Jika hal itu terjadi maka
seharusnya yang dilakukan adalah minta ampun kepada-Nya dengan cara
bertaubat (Baradja, 1994: 27).
Oleh karena itu jika seorang muslim benar-benar bertaubat dan
konsisten dalam mentaati Allah, menyembah-Nya dan beramal shaleh,
melalui bimbingan dan konseling Islam, maka dirinya akan menjadi
tenang, jiwanya akan menjadi tenteram dan perasaan berdosa yang
menimbulkan kegelisahan, dan kegoncangan kepribadian akan sirna
(Baradja, 1994: 46).
Sebagaimana dikatakan Adz-Dzaky (2004: 457), bahwa jika
seseorang hamba Allah telah benar-benar bertaubat dan konsisten tidak
akan mengulangi perbuatan dosa kembali maka ia akan mencapai tingkat
kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu integritasnya jiwa
muthmainnah (jiwa yang tentram), jiwa radhiyah (jiwa yang meridhai) dan
jiwa yang mardiyah (yang diridhai).
E. Pentingnya dakwah tentang taubat sebagai pencegah gangguan kejiwaan
Dakwah adalah suatu usaha untuk mengajak, menyeru dan
mempengaruhi manusia agar selalu berpegang pada ajaran Allah guna
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Usaha mengajak dan
51
mempengaruhi manusia agar pindah dari suatu situasi ke suatu situasi yang
sesuai dengan petunjuk dan ajaran Allah. Hal ini merupakan kewajiban bagi
kaum muslimin dan muslimat (Sanwar, 1985: 34).
Menurut Hasymi (1994: 28) dakwah adalah mengajak orang untuk
meyakini dan mengamalkan aqidah dan syariat islamiyah yang telah terlebih
dahulu diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri. Adapun tujuan
dakwah adalah terwujudnya manusia yang mendapat ridha, naungan, rahman
dan rahim Allah SWT.
Sejalan dengan tujuan dakwah, yaitu dalam rangka beramar ma’ruf
nahi mungkar. Hal ini sesuai dengan tujuan taubat yang secara garis besar
dapat diartikan menyesali perbuatan jahatnya kemudian kembali ke jalan yang
diridhai-Nya (amar ma’ruf nahi mungkar).
Begitu mudahnya seseorang terjerumus kejurang kenistaan seperti
berjudi, minum-minuman keras, dan sering melakukan maksiat yang semua
itu pada akhirnya membuat jiwa mereka kaku, hati mereka beku akan
kebenaran dari Allah SWT. mereka tidak sadar bahwa perbuatan seperti itu
yang sebenarnya akan menghancurkan kepribadiannya. Hal inilah yang
membuat mereka tidak memiliki mental spiritual yang tinggi, akibatnya
mereka mudah terkena gangguan kejiwaan.
Jika hal tersebut semakin parah dan tambah parah, upaya apa yang
seharusnya dilakukannya, dan siapa yang mau membimbing mereka ke arah
yang lebih baik. Padahal jika tidak ada yang membimbing apakah mereka bisa
kembali pada jalan Allah. kalaupun ada yang mendapat hidayah dari Allah
52
tentu tidak semua dari mereka mendapatkannya. Jawabannya tiada lain
adalah, bahwa dari golongan manusia itu hendaklah ada yang menyeru untuk
kembali kepada jalan yang diridhai Allah yaitu dengan bertaubat.
Sebagaimana dalam firman Allah :
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن )104(المنكر وأولئك هم المفلحون
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali ‘Imran, 3: 104).
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa upaya berdakwah setidaknya
bisa menjadikan mereka yang berbuat dosa merasa bersalah, menyesal akan
perbuatan yang dilakukan, serta berjanji untuk melaksanakan semua perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Disinilah letak pentingnya taubat.
Oleh karena itu, dengan bertaubat mereka akan memiliki stabilitas
emosional yang tinggi dan tidak mudah mengalami stress, depresi dan frustasi.
Dengan jiwa muthmainnah maka akan senantiasa mengajak kembali kepada
fitrah Ilahiyah Tuhannya. Dengan jiwa radhiyah, yaitu jiwa yang tulus, bening
dan lapang dada terhadap Allah, terhadap kebijaksanaan Qudrat dan Iradat-
Nya. Dan jiwa mardhiyah, yaitu jiwa yang telah memperoleh gelar
kehormatan dari Allah.
Dengan demikian, melalui bertaubat seseorang akan memperoleh
kesempurnaan jiwa yang menjadikan jiwa (mental) yang sehat, yakni
menyatunya jiwa yang selalu ingin kembali kepada fitrah Tuhannya dengan
53
penuh kemampuan bersikap tulus dan lapang dada. Sebagaimana firman Allah
SWT :
ارجعي إلى ربك راضية مرضية )27(ياأيتها النفس المطمئنة )30(وادخلي جنتي)29(فادخلي في عبادي)28(
Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. Al-Fajr, 89: 27-30).