bab ii tinjauan teori a. media, politik dan budaya 1 ... · pdf filetinjauan teori a. media,...

55
BAB II Tinjauan Teori A. Media, Politik dan Budaya 1. Wacana: Bahasa dan Pergelaran Kuasa Membahas media massa sebagai representasi kekuasaan dapat diamati dari aspek produksi wacana dalam media, praktek bahasa yang dipakai serta pengetahuan yang dihasilkan. Bagian ini akan membahas teori tentang bahasa serta kekuasaan yang dihasilkan. Bahasa dan kekuasaan biasanya dibahas secara terpisah, yang pertama masuk dalam kajian linguistik sementara yang terakhir masuk dalam ilmu politik. Dalam pandangan empiris-positivis, bahasa semata dipahami sebagai alat komunikasi atau sebuah sistem kode dan nilai yang menunjuk pada suatu realitas monolitik. Bahasa dianggap tidak memiliki kendala atau pun distorsi sejauh ia dinyatakan secara logis, sintaktis dan memiliki hubungan dengan pengamatan empiris. 7 Sementara teori politik konvensional melihat bentuk kekuasan sebagai suatu kepemilikan kedaulatan individu atau kelas, bentuk kekuasaan dianalisis dengan memfokuskan diri pada medan geopolitik dengan tipologi kekuasaannya. 8 Pandangan seperti ini ditolak oleh aliran lain semisal fenomenologi dan kritis, bahkan pembahasan lebih radikal tentang bahasa dan kekuasaan muncul dalam aliran pasca-strukturalisme, terutama melalui konsep kuasa-pengetahuan Michel 7 Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana di Panggung Orde Baru,” dalam Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan 1996. hal: 18-19. 8 Ibid, hal: 21 10

Upload: hoangkhue

Post on 07-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

Tinjauan Teori

A. Media, Politik dan Budaya

1. Wacana: Bahasa dan Pergelaran Kuasa

Membahas media massa sebagai representasi kekuasaan dapat diamati dari

aspek produksi wacana dalam media, praktek bahasa yang dipakai serta

pengetahuan yang dihasilkan. Bagian ini akan membahas teori tentang bahasa

serta kekuasaan yang dihasilkan.

Bahasa dan kekuasaan biasanya dibahas secara terpisah, yang pertama

masuk dalam kajian linguistik sementara yang terakhir masuk dalam ilmu politik.

Dalam pandangan empiris-positivis, bahasa semata dipahami sebagai alat

komunikasi atau sebuah sistem kode dan nilai yang menunjuk pada suatu realitas

monolitik. Bahasa dianggap tidak memiliki kendala atau pun distorsi sejauh ia

dinyatakan secara logis, sintaktis dan memiliki hubungan dengan pengamatan

empiris.7 Sementara teori politik konvensional melihat bentuk kekuasan sebagai

suatu kepemilikan kedaulatan individu atau kelas, bentuk kekuasaan dianalisis

dengan memfokuskan diri pada medan geopolitik dengan tipologi kekuasaannya.8

Pandangan seperti ini ditolak oleh aliran lain semisal fenomenologi dan kritis,

bahkan pembahasan lebih radikal tentang bahasa dan kekuasaan muncul dalam

aliran pasca-strukturalisme, terutama melalui konsep kuasa-pengetahuan Michel

7 Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana di Panggung Orde

Baru,” dalam Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan 1996. hal: 18-19.

8 Ibid, hal: 21

10

Foucault yang melihat pengetahuan dan kekuasaan dalam satu lingkup yang sulit

dipisahkan.

Pergeseran fokus kajian kekuasaan muncul dari perubahan pemahaman yang

mendasar terhadap bahasa. Perubahan tersebut mencakup dua dimensi, Ontologis

dan Epistemologis, bahasa dilihat sebagai praktek, paradigma dan representasi.9

Dalam dimensi Ontologis, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk

mengetahui, tapi sebagai bagian yang ada. Bahasa tidak dilihat sebagai sesuatu

yang netral dan konsisten melainkan sebagai produk zaman, kumulasi ekspresi

suatu kebudayaan, atau sebagai representasi kekuasaan. Bahasa adalah partisipan

yang turut bermain dalam proses tahu, proses budaya dan politik, bukan cermin

transparan yang menangkap dan memantulkan obyek secara jernih. Dengan

pemahaman semacam itu, terjadi dilema eksistensial dalam proses mengetahui,

karena proses mecari tahu dan menyampaikan pengetahuan sepenuhnya

berlangsung melalui bahasa, pada sisi lain distorsi penggunaan bahasa dapat

menjauhkan kita dari realitas.10 Ketika ingin mengetahui kecenderungan

kelompok lain, kita harus memakai bahasa, dan kelompok lain dapat memperjelas

atau sebaliknya mengaburkan kekuatan dan kecenderungan kelompoknya juga

melalui bahasa. Maka posisi sosial politik sebuah kelompok tergantung pada

praktek bahasa yang dipakai.

Dengan demikian, Pada dimensi Epistemologis, yang dilihat adalah bahasa

sebagai praktek, bagaimana bahasa terus menerus disebarkan dan terungkap

dalam pembicaraan dan tulisan dalam interlokusi dan peristiwa nyata, penggunaan 9 Mochtar Pabottingi, Komunikasi Politik dalam Transformasi Ilmu Politik, dalam Prisma 6, Juni

1991. hal: 14 10 Ibid.

11

bahasa macam ini oleh Ricoeur disebut discourse,11 dalam bahasa indonesia

disebut diskursus atau wacana. Jika bahasa sebagai praktek dan digunakan dalam

peristiwa nyata, maka individu yang terlibat dalam praktek bahasa dituntut

berpihak dan menentukan posisi.12

Sebagai wacana, bahasa dilihat sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak

universal. Wacana terikat waktu, tempat dan konteks pergulatan politis-ideologis

tertentu. Setiap jaman atau kekuasaan mempunyai praktek bahasa sendiri, dan

praktek bahasa ini menggiring kita pada jalur dan arah pemikiran tertentu, maka

bahasa di sini berfungsi sebagai Paradigma. Menurut Foucault, bahasa sebagai

paradigma bisa disamakan dengan doktrin yang mengikat orang pada jenis

praktek bahasa tertentu dan tidak memungkinkan mereka melakukan praktek

bahasa lain. Di sini terjadi penghambaan ganda, penghambaan orang pada bahasa

dan penghambaan bahasa pada sekelompok pemegang kekuasan tertentu.13

Pemahaman ini lahir dari kenyataan bahwa di mana pun kita tidak bebas

menuliskan atau mengatakan apa saja yang kita kehendaki, kita terikat oleh

‘aturan’ yang melekat pada latar atau konteks peristiwa masing-masing. Setiap

situasi mempunyai wacana sendiri, misalnya pemakaian bahasa di pengadilan

11 Dalam Mochtar Pabottingi, Ibid, hal: 16 12 Bahasa yang dimaksud agaknya lebih mirip dengan pengertian bahasa jawa dalam lingkup

kehidupan orang jawa sehari-hari. Dalam bahasa jawa ada klasifiksi penggunaan bahasa, jawa ngoko (kasar) dan krama (halus). Bahasa tidak bersifat netral sebab pengguna bahasa harus menilai lawan bicaranya melalui penggunaan bahasa, apakah lebih tua dan dihormati, mempunyai posisi sejajar dengan pembicara atau lebih rendah, apakah harus menggunakan bahasa ngoko atau krama. Penilaian terhadap lawan bicara harus dilakukan sebab jika salah menggunakan bahasa akan disebut ‘durung njawani’, bukan hanya berarti tidak bisa bahasa jawa tapi sekaligus ter-eksklusi atau dikeluarkan dari ‘dunia jawa,’ dianggap sebagai orang yang tidak tahu nilai, norma, dan belum dianggap sebagai orang jawa. Lihat pembahasan senada dalam tulisan Ariel Heryanto, Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia, Prisma No.1 tahun XVII, terutama hal: 5

13 Loc.cit.

12

berbeda dengan bahasa yang dipakai antar teman maupun di sekolah. Setiap

jaman mempunyai praktek bahasa sendiri tergantung penguasa, misalnya saat

Orde Lama bahasa Indonesia dikuasai oleh wacana ‘revolusioer’, sementara pada

masa Orde Baru wacana kita didominasi kata ‘Pembangunan’.

Selain dipahami sebagai praktek dan paradigma, bahasa juga dilihat sebagai

Representasi. Bagaimana bahasa menggambarkan sesuatu, tidak hanya obyek

benda tapi juga manusia serta peristiwa tertentu. Menurut John Fiske, representasi

dilakukan melalui tiga proses.14 Pertama, peristiwa yang ditandakan (encode)

sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh

individu. Aspek yang dilihat berkaitan dengan fisik seperti pakaian, lingkungan,

ucapan, suara ekspresi, gerak-gerik dan perilaku. Kedua, bagaimana realitas itu

digambarkan dengan menggunakan perangkat teknis seperti kata, kalimat,

proposisi, grafik dsb. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan dalam kode

representasional, bagaimana obyek digambarkan sehingga dapat dimengerti. Dan

ketiga, peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima

secara ideologis. Agar dapat dimengerti gambaran tersebut harus disesuaikan

dengan koherensi sosial seperti kelas sosial, kepercayaan dan wacana dominan.

Representasi bahasa membentuk jenis subjek, tema dan strategi wacana

tertentu. Dalam bahasa tergambar hubungan-hubungan politis sebab bahasa adalah

ruang pergelaran kuasa-kuasa tertentu. Menurut Foucault tindakan manusia,

praksis yang dibentuk untuk menangkap aturan-aturan dan memberinya makna

tidak hanya dicari lewat memahami subyek dan kepentingan yang dicarinya, tapi

14 Dalam Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001,

hal:114-115

13

juga dengan melihat praksis yang melekat dalam wacana dan turut menciptakan

subjek, objek serta hubungan antar mereka.15

Konsep kuasa-pengetahuan adalah konsep paling menonjol dalam teori

wacana Foucault. Penyelenggaraan kekuasaan terus-menerus akan menciptakan

pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek

kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain.16 Jalinan antara

kekuasaan dan pengetahuan begitu kuat sehingga tidak mungkin ada kekuasaan

tanpa ditopang pengetahuan, dan sebaliknya tidak mungkin pergelaran

pengetahuan tanpa menghasilkan efek kuasa.

Hubungan kekuasaan tak dapat terwujud, disusun dan dimapankan tanpa

mengumpulkan, mengedarkan dan memberdayakan wacana tertentu. Wacana

yang terbentuk lewat berbagai sarana, misalnya buku, film, pidato dan media

massa membentuk pengetahuan yang diterima individu sebagai kebenaran, dan

pengetahuan ini dipakai sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Menurut Foucault,

mustahil penyelenggaraan kekuasaan tanpa suatu “ekonomi politik kebenaran”

yang beroperasi melalui dan berdasarkan jalinan dengan kekuasaan.17 Kebenaran

bukan sesuatu yang datang dari langit, juga bukan sebuah konsep yang abstrak

melainkan diproduksi. Setiap kekuasaan menghasilkan kebenaran sendiri yang

disebarkan melalui wacana, dan khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran

15 Muhammad A.S. Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran “Discursive Practice”,” dalam

Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan 1996. hal: 84.

16 George J. Aditjondro, Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas, Kalam edisi 1-1994. hal 54.

17 Untuk pembahasan lebih lengkap tentang ekonomi politik kebenaran, lihat tulisan George J. Aditjondro, Ibid, hal: 60.

14

yang ditetapkan tersebut.18 Jika wacana dipahami sebagai paradigma, pemikiran

seseorang akan tunduk dan terarah pada kebenaran sebagaimana didefinisikan

dalam wacana yang dibentuk dan disebarkan oleh kekuasaan. Dengan demikian

kekuasaan tidak menindas secara langsung tapi membentuk regulasi dan

normalisasi dalam bidang tertentu, mengontrol, mengatur dan mendisiplinkan

individu, membentuk kategori-kategori perilaku sebagai baik dan buruk.

Wacana menghasilkan kekuasaan yang tidak menindas secara langsung

sebab wacana menghasilkan otoritas legitimatif berdasarkan pengetahuan yang

terbentuk dalam tiap wilayah diskursif. Setiap bidang wacana mempunyai kuasa

serta otoritas masing-masing, misalnya ahli ekonomi, politik, hukum dsb. Mereka

mempunyai otoritas dan berkuasa di bidang masing-masing dan “menghalangi”

pihak yang dianggap tidak mempunyai kapabilitas untuk masuk dalam bidang itu.

Menurut Foucault, salah satu sifat wacana adalah mampu menghimpun berbagai

wacana dalam masyarakat dan berfungsi melestarikan hubungan kekuasaan.

Dalam mayarakat sebenarnya terdapat bebagai macam wacana, tapi kekuasaan

memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi wacana dominan

sedangkan wacana lainnya terpinggirkan.19 Dominasi wacana dilakukan lewat

berbagai medium, semisal buku, pidato, film, media massa dan lain-lain.

Praktek-praktek diskursif membentuk legitimasi dan delegitimasi terhadap

kelompok lain, misalnya melalui representasi maupun misrepresentasi. Legitimasi

dilakukan melalui representasi atau penggambaran kelompok sendiri secara positif

berdasarkan kebenaran yang beredar melalui wacana yang dibentuk. Sebaliknya

18 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Media, Yogyakarta: LkiS,2001, hal: 67. 19 Ibid, hal. 77.

15

delegitimasi terhadap kelompok lain dapat dilakukan dengan cara misrepresentasi

atau penggambaran secara keliru. Misalnya dengan memakai standart kebenaran

sama, tapi bukan menggambarkan secara positif melainkan mengkonfrontasikan

kelompok lain sebagai kelompok yang menyimpang karena tidak sesuai dengan

standart kebenaran yang beredar dalam wacana dominan. Dalam media, awak

media dapat mendukung praktek delegitimasi dengan cara menghalangi atau

membatasi kelompok lain untuk masuk dalam media, menggambarkan kelompok

tersebut sebagai pihak yang bukan ahlinya, tidak layak sebagai sumber yang dapat

dipercaya, tidak kredibel, meragukan visi, pengetahuan serta latar belakangnya.20

Penyerangan terhadap kelompok lain juga bisa dilakukan dengan menampilkan

tokoh dari pihak lain yang dianggap otoritatif dan sah untuk membuat penilaian

serta klarifikasi. Strategi wacana semacam ini bisa menimbulkan apa yang disebut

van Dijk sebagai Inferiorisasi,21 kelompok yang terus menerus terdelegitimasi

akan menerima dirinya sebagai orang kecil, pinggiran, sebagai pihak yang

memang bersalah, tidak pantas untuk dipercaya dan dihargai.

2. Berita dalam Pandangan Cultural Studies

Salah satu ciri Cultural Studies adalah mengkaji persoalan dari sudut praktik

kebudayaan dan kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah mengungkapkan

hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi

20 Agus Sudibyo, Citra Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru, Yogyakarta: Bigraf, 1999.

hal.20-21 21 Ibid.

16

praktek kebudayaan.22 Menurut Raymond Williams, budaya bisa diartikan sebagai

cara hidup yang dijalankan dan dipegang teguh, makna dan nilai yang

menginformasikan tindakan manusia, diwujudkan dalam dan melalui hubungan

sosial, kehidupan politik dan lainnya.23 Namun budaya tidak turun dari langit,

agar menjadi dominan dan efektif, perlu dikukuhkan lewat institusi yang ada

dalam masyarakat misalnya institusi pendidikan, media massa serta institusi lain.

Media massa mendapat perhatian penting dalam Cultural Studies sebab saat

sekarang media massa memasuki hampir seluruh dimensi kehidupan individu dan

sosial, berpengaruh penting dalam penyebaran nilai dan pandangan tertentu

melalui pesan yang disampaikan, baik dalam bentuk berita maupun produk lain.

Sebagai produk media, berita dilihat sebagai teks kebudayaan sebab terbentuk

melalui konstruksi individu wartawan maupun institusi media yang melibatkan

pandangan, nilai dan evaluasi dalam konteks tertentu lewat bahasa. Pada akhirnya

realitas yang didefinisikan media membentuk praktek sosial tertentu dalam

masyarakat. Karena realitas terbentuk melalui praktek bahasa, maka peristiwa

yang ada dalam berita tidak dilihat sebagai cermin realitas, dan media tidak dilihat

sebagai institusi netral sebab mengukuhkan praktek sosial melalui realitas yang

didefinisikan oleh kelompok tertentu lewat praktek bahasa.

22 Ziauddin Sardar dan Borin van Loon, Mengenal Cultural Studies for Beginners, (terj), Bandung:

Mizan, 2001, hal. 9. 23 Seperti dikutip Stuart Hall, Raymond Williams menyatakan, “culture is the way social live is

experienced and handled, meanings and values which inform human action, which are embodied in and mediate social relations, political live, etc.” Lihat Chris Newbold, “Approach to Cultural Hegemony Within Cultural Studies,” dalam Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed), Approaches to Media, A Reade,r Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 329

17

Berita adalah produk utama media massa disamping opini, iklan serta rubrik

lainnya. Menurut Micthel V. Charnley, berita adalah laporan tercepat dari suatu

fakta atau kejadian yang faktual, menarik bagi sebagian besar pembaca serta

menyangkut kepentingan mereka.24 Tidak ada definisi tunggal mengenai berita

sebab banyak faktor yang membangun sebuah berita, seperti dikemukakan Earl

English dan Clarence Hach, “News is difficult to define, because it involves many

variable factors,” (berita sulit didefinisikan sebab mencakup banyak faktor

variabel).25 Pembahasan di sini tidak terfokus pada definisi berita, tapi lebih

ditekankan pada elemen-elemen yang membangun berita serpti bahasa dan

makna, realitas serta institusi media. Uraian berikut lebih banyak didasarkan pada

pemikiran Stuart Hall, pendiri Centre for Contemporary Cultural Studies di

Univesitas Birmingham Inggris.

2.1. Bahasa dan Makna

Titik pijak Cultural Studies yang dapat dipakai dalam melihat produksi

berita adalah bahasa dan makna. Perhatiannya bukan hanya pada tataran pesan

yang disampaikan, tapi merambah bangunan makna yang ada di balik pesan.

Dalam kajian Antropologi Budaya, Sapir-Whorf mempunyai hipotesis menarik,

dia mengatakan bahwa setiap budaya mempunyai cara yang berbeda dalam

mengklasifikasikan dunia, dan akan direfleksikan dalam struktur semantik serta

24 Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, Bandung: Remadja Rosdakarya, 1999, hal. 2 25 Ibid.

18

linguistik yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda.26 Berdasarkan hipotesis

tersebut, Stuart Hall berpendapat bahwa kejadian dan segala sesuatu yang ada di

dunia tidak mengandung makna tunggal, utuh dan hakiki dalam dirinya sendiri

melainkan ditransfer melalui bahasa. Makna yang disampaikan lewat bahasa

adalah produksi sosial, sebuah praktek, sebab tidak ada bahasa yang bersifat

personal, bahasa senantiasa disusun dalam lingkup sosial, untuk berhubungan dan

memahami orang lain. Dengan begitu, dunia dibuat menjadi bermakna melalui

bahasa dan simbolisasi.

Karena makna tidak ada dengan sendirinya tapi diproduksi, maka agar satu

makna menjadi dominan harus diproduksi secara tetap dibanding makna lain.

Makna tersebut harus mendapat kepercayaan, legitimasi dan diterima secara

umum. Pada sisi lain, produksi makna juga menyangkut marjinalisasi, penilaian

secara rendah dan delegitimasi terhadap konstruksi makna alternatif.27 Jika makna

tidak tergantung pada bagaimana adanya tapi bagaimana sesuatu ditandakan

(signified), maka suatu kejadian dapat ditandakan dengan cara berbeda. Makna

tidak ditentukan oleh struktur realitas yang ada dalam dirinya, tapi ditentukan oleh

keberhasilan kerja pemaknaan melalui praktek sosial. Dengan begitu makna

menjadi arena perjuangan kelompok, setiap kelompok sosial bisa jadi mempunyai

makna yang berbeda terhadap satu hal, tapi agar satu makna menjadi dominan,

harus memenangkan kompetisi tersebut lewat representasi melalui bahasa.

Dengan demikian, fungsi bahasa sebenarnya tidak hanya mengambarkan dunia,

26 Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam

Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 355

27 Ibid.

19

tapi mengaturnya. Bahkan John Austin mempunyai motto, “we not only say things

in words, we do things with words.”.28

Karena fakta tidak tersedia dengan sendirinya tapi digambarkan lewat

bahasa, maka satu fakta agar menjadi sebuah berita harus direpresentasikan

kembali melalui kata dan kalimat yang dapat dimengerti oleh jurnalis maupun

pembacanya. Tapi bahasa yang direpresentitasikan oleh wartawan adalah bahasa

yang menang dalam arena perjuangan makna dan pada sisi lain menyingkirkan

makna alternatif. Karena itu bahasa harus dilihat sebagai agen yang menyusun

realitas, bukan sebagai alat pengiriman netral yang secara langsung menunjukkan

sebuah dunia tanpa melalui praktek bahasa.

2.2. Realitas

Jika dunia dibentuk melalui praktek bahasa, maka realitas di dalamnya juga

tergantung pada praktek bahasa yang dilakukan. Berbeda dengan paradigma

positivistik yang melihat relitas sebagai sesuatu yang ada di luar individu dan

dapat diamati, Cultural Studies melihat realitas atau peristiwa yang diliput media

merupakan sesuatu yang ditentukan secara sosial. Menurut Stuart Hall, tidak ada

sesuatu yang hidup kecuali ada dalam dan untuk bahasa atau wacana. Meskipun

dunia hidup di luar bahasa, kita hanya bisa merasakannya melalui penerimaan

dalam wacana.29 Definisi mengenai realitas ini diproduksi secara terus-menerus

melalui praktek bahasa, dan selalu bermakna sebagai pendefinisian secara selektif

28 Steven Connor, Theory and Cultural Value, Blackwell publisher,Oxford UK. & Cambridge

USA, hal. 103. 29 Dalam Robert A. Hackett, “Decline of A Paradigm?, Bias and Objectivity in News Media

Studies,” dalam Critical Studies in Mass Communication, Vol.1, No. 3, hal. 258

20

atas realitas yang hendak ditampilkan.30 Namun pendefinisian ini tidak hanya

dilihat sebagai bentuk distorsi atau pun refleksi dari sesuatu yang nyata,

konstruksi realitas semacam ini dilihat sebagai proses pembentukan realitas sosial

secara aktif.

Menurut Stuart Hall, berita tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai

laporan tentang seperangkat fakta yang ada dengan sendirinya, realitas yang ada

dalam berita merupakan hasil konstruksi media dengan cara tertentu. Media tidak

cuma mereproduksi tapi mendefinisikan realitas dengan memilih definisi tertentu.

Realitas tersebut ditopang dan diproduksi melalui praktek bahasa, melalui

pendefinisian secara selektif bagaimana realitas tersebut digambarkan. Dengan

demikian, berita bukan sekedar pembawa makna yang sudah ada sebelumnya.

Media dilihat sebagai pembentuk realitas yang melibatkan proses seleksi dan

presentasi, penyusunan dan penentuan, membuat sesuatu menjadi berarti. Media

menyeleksi, menyusun, menampilkan dan mengkondisikan makna. Bukan hanya

memindahkan makna yang sudah ada sebelumnya, tapi sebagai kerja aktif

membuat sesuatu lebih berarti.31

Realitas dalam media tidak dapat dilihat semata sebagai seperangkat fakta

sebab sudah terdistorsi oleh kelompok dominan, sebagai hasil ideologi atau

pandangan tertentu yang memenangkan perjuangan makna lewat praktek bahasa.

30 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001, hal. 34 31 Tepatnya Stuart Hall menyatakan bahwa berita sebagai: “the result of a particular way of

constructing reality. The media defined, not merely reproduced, “reality”. Definitions of reality were sustained and produced through all those linguistic practices (in the broad sense) by means of which selective definitions of “the real” were represented. It implies the active work o selecting and presenting, of structuring and shaping: not merely the transmitting of an already existing meaning, but more active labour of making things mean.” Dalam Robert Hackett, op. cit, hal. 258

21

Tiap kelompok mungkin mempunyai “kebutuhan” terhadap sebuah peristiwa dan

akan berusaha mengendalikan atau mendefinisikan realitas dengan cara yang

berbeda. Karena itu bisa dimengerti kenapa satu masalah menjadi berita besar dan

kadang sama sekali disembunyikan dari publik, kenapa satu peristiwa diberitakan

dengan menonjolkan aspek tertentu. Menurut Molotch dan Lester, peristiwa

adalah apa yang biasa kita perhatikan, suatu peristiwa dinilai penting tergantung

pada manfaat yang bisa diambil oleh orang atau kelompok yang mencoba

mengendalikan pengalaman.32

2.3. Institusi Media

Institusi media mendapat perhatian utama dalam Cultural Studies sebab saat

ini media massa mengukuhkan kepemimpinannya dalam wilayah budaya secara

meyakinkan dibanding saluran budaya tradisional yang ada sebelumnya. Media

mempunyai arti penting sebab hampir keseluruhan wilayah informasi publik,

produksi dan konsumsi pengetahuan sosial tergantung pada alat komunikasi

modern tersebut. Media massa mempunyai tanggung jawab dalam menyediakan

dasar bagi kelompok sosial untuk mengkonstruksi kesan (Image) tentang

kehidupan, makna, praktek dan nilai kelompok lain. Selain itu, media massa

menyediakan kesan, gambaran serta ide tentang totalitas sosial, media massa

menyediakan sebuah konsensus. Seakan semua bagian yang ada dan terpecah-

pecah bisa disatukan sebagai satu kesatuan yang utuh.

32 Dalam Robert Hackett, Ibid. hal. 257-258.

22

Dalam pandangan Stuart Hall, media mempunyai fungsi kultural yang

sangat besar.33 Pertama, menyediakan dan mengkonstruksi kesan (image) serta

pengetahuan sosial secara selektif yang melaluinya kita dapat merasakan ‘dunia’,

melihat kehidupan orang lain, dan secara imajiner mengkonstruksi kembali

kehidupan kita dan kehidupan pihak lain dalam suatu dunia yang dapat dimengerti

secara keseluruhan, media massa membawa kita pada sebuah totalitas kehidupan.

Kedua, merefleksikan kembali kesan pluralitas yang telah dibentuk media,

menyediakan kosa kata, gaya hidup dan ideologi yang jadi tujuan bersama. Dalam

media massa, jenis-jenis pengetahuan sosial yang berbeda diklasifikasi, diurut

(ranking) dan ditertibkan, kemudian diletakkan pada konteks rujukan dalam peta

realitas yang dipilih oleh media.

Seperti dikatakan Halloran, fungsi media adalah menyediakan realitas sosial

yang belum ada sebelumnya, atau memberi arah baru pada kecenderungan yang

sudah ada. Media menyediakan kriteria mengenai sikap maupun perilaku baru

yang dapat diterima secara sosial, sedangkan kesalahan anggota masyarakat dalam

mengadopsinya digambarkan sebagai bentuk penyimpangan sosial yang tidak bisa

diterima.34 Pengetahuan sosial yang diedarkan media massa disusun dalam

klasifikasi normatif dan evaluatif, dalam makna dan interpretasi yang dipilih.

Karena tidak ada wacana, ideologi atau sistem nilai yang utuh dalam semua

pengetahuan sosial, maka seharusnya lebih banyak nilai dan makna dibandingkan

dengan apa yang didefinisikan oleh kelompok dominan. Media secara selektif

33 Stuart Hall, “Culture, The Media and Ideological Effect,” dalam James Curran, Michael

Gurevitch dan Janet Woollacott (ed), Mass Communication and Society, Beverly Hills: Sage publication, 1977. hal. 340-342

34 Dalam Stuart Hall, Ibid.

23

mengklasifikasikan sistem nilai tersebut berdasarkan pemetaan yang ditetapkan

oleh kelompok dominan. Jika dalam kehidupan sosial tidak ada pengetahuan

tunggal, maka proses seleksi yang dilakukan media massa juga menyingkirkan

pengetahuan alternatif. Di sini, kerja media bersifat ideologis sebab mengukuhkan

peraturan tiap bidang, secara aktif menguasai realitas tertentu, menawarkan

pemetaan dan kode yang menandakan wilayah dan menetapkan kejadian dalam

konteksnya masing-masing sesuai kepentingan kelas dominan dan menyingkirkan

wacana yang tidak dibutuhkan oleh kelas dominan.

Fungsi ketiga media massa adalah mengorganisasikan, menyusun dan

membawa apa yang telah secara selektif digambarkan dan diklasifikasikan. Di sini

tingkat integrasi dan kepaduan, hubungan dan kesatuan imajiner mulai dibangun,

dan pada saat yang sama kepentingan kelas, kekuasaan dan eksploitasi digelar

melalui opini publik dan konsensus. Namun media tidak begitu saja merefleksikan

dan mengokohkan konsensus secara langsung, media lebih dilihat sebagai institusi

yang membantu memproduksi konsensus yang membentuk kesadaran. Konsensus

yang terbentuk melalui media tidak dilihat sebagai sesuatu yang alamiah sebab

terjadi dalam pertukaran yang tidak seimbang antara kelompok dominan dan

pinggiran, antara massa yang tidak mempunyai akses terhadap pusat kekuasaan

versus kelompok yang mampu mengorganisir opini secara besar.

Media bersifat ideologis bukan karena memihak kelompok dominan secara

langsung dan terang-terangan. Agar dalam operasionalisasi sehari-hari tampak

seimbang dan independen, media tidak secara langsung mengambil petunjuk dari

penguasa maupun kelompok dominan, atau secara sadar membelokkan berita

24

untuk melapangkan definisi dominan. Tapi media harus sensitif terhadap dan

hanya bisa bertahan secara legitimate dengan beroperasi dalam batasan atau

kerangka yang ‘disetujui oleh setiap orang’ untuk menjadi konsensus. Media

mengorientasikan dirinya dalam konsensus, pada saat yang sama berusaha

membentuk konsensus dan menjalankannya sesuai kebiasaan yang berkembang,

media menjadi bagian dalam proses dialektik dari produksi kesadaran. Media

membentuk sekaligus merefleksikan konsensus, lantas mengorientasikannya

dalam wilayah kekuatan kepentingan sosial kelas dominan dalam negara.35

Dari uraian di atas, bisa dilihat bagaimana proses komunikasi yang terjadi

dalam kehidupan sosial ternyata tidak berjalan seimbang sebab kelompok tertentu

mempunyai kekuasaan dan akses lebih besar dibanding kelompok lain. Pergulatan

sosial lewat praktek bahasa dan perjuangan dalam memenangkan makna yang

berlangsung dalam arena sosial dan ditopang media massa hanya mengukuhkan

dominasi kelompok tertentu dan menindas atau menyingkirkan wacana alternatif

yang dibawa kelompok lain. Realitas yang terbentuk dan dikukuhkan media sering

kali menguntungkan kelas dominan dan dilembagakan dalam wilayah kehidupan

sosial. Seperti dikemukakan oleh Stuart Hall, media massa mendefinisikan dan

mengkonstruksi hubungan sosial dan politik, menjadi sarana produksi ekonomi,

media massa menjadi kekuatan utama (Material Force) dalam sistem industri

modern, mendefinisikan teknologi dan mendominasi budaya.36

35 Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam

Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 362.

36 Stuart Hall, “Ideology and Communication Theory,” dalam Brenda Dervins et al. (ed) Rethinking Communication: Paradigm Issues. Newbury Park: Sage Publication, 1986, hal. 43.

25

3. Ekonomi Politik Media

Perspektif ekonomi politik berusaha menjelaskan bagaimana dan oleh siapa

kekuasaan dalam media dijalankan, pusat perhatian analisisnya adalah struktur

kepemilikan dan kontrol yang dijalankan dalam media. Perspektif ini mengadopsi

pendekatan Marxist yang didasarkan pada asumsi bahwa isi media serta makna

yang terkandung dalam pesan media ditentukan oleh basis ekonomi di mana pesan

tersebut diproduksi. Organisasi media komersial harus memenuhi kebutuhan

pengiklan dan membuat produk yang bisa memenuhi kebutuhan audien secara

maksimal, dengan demikian media komersial dikontrol oleh institusi politik

dominan, pemerintah tingkat menengah sampai tingkat bawah, atau kerja media

harus sesuai dengan konsesus yang ada dalam masyarakat.

Namun penjabaran secara detil mengenai pengaruh determinasi ekonomi

terhadap isi pesan media bersifat kompleks dan seringkali problematis. Menurut

James Curran, minimal ada dua hal yang harus diperhatikan dalam melihat

hubungan antara determinasi ekonomi dan isi pesan media dalam perspektif

ekonomi politik. Pertama, pada level mikro dilihat melalui ideologi profesional

dan praktik kerja yang ada dalam institusi media. Kedua, pada level makro

melihat interaksi institusi media dengan lingkungan sosial politiknya.37

Kajian tentang ideologi profesional berasal dari studi tentang kepercayaan,

nilai dan prosedur kerja profesional yang berakar dari sosiologi profesi. Dalam

jurnalisme, kajian mengenai profesionalisme memunculkan tuntutan yang kuat

tentang otonomi profesional yang diturunkan dari prinsip demokrasi, yaitu 37 James Curran (et. al), “The Study of The Media: Theoritical Approach”, dalam Oliver Boyd-

Barrett& Peter Graham, Media, Knowledge and Power, Rootledge, London&New York: Open University, 1990, hal: 66-70

26

kebebasan berkespresi dan hak untuk tahu bagi publik. Ideologi profesional juga

mengembangkan komitmen untuk menghargai nilai-nilai semacam obyektivitas,

imparsialitas (tidak memihak) dan fairness (kejujuran).

Masalah profesionalisme dalam media massa mengundang perdebatan

antara kaum pluralist dan Marxist. Kalangan pluralist percaya bahwa klaim

otonomi dan komitmen untuk menjalankan prinsip obyektivitas dan imparsialitas

sebagai panduan dan aturan kerja profesional bisa dilaksanakan. Tapi pandangan

tersebut ditolak oleh kaum Marxist, mereka menganggap klaim obyektivitas dan

imparsialitas dalam profesionalisme tunduk dalam ideologi dominan. Kontrol

terhadap proses produksi pesan dan makna oleh media profesional dibatasi dan

ditentukan oleh budaya dominan. Namun kedua kubu setuju terhadap pandangan

bahwa institusi dan kelompok yang kuat dalam masyarakat mempunyai akses

khusus terhadap media, sebab mereka dianggap lebih kredibel dan terpercaya, dan

karena mereka punya sumber dalam proses informasi mereka bisa menawarkan

pandangannya kepada media dengan cara yang atraktif dan berguna.

Pada level makro, interaksi antara media dengan sumber dari institusi politik

dan negara merupakan titik krusial yang harus dilihat dalam memahami proses

produksi dalam media. Organisasi media hidup dalam hubungan yang

menguntungkan dengan lingkungannya, bukan hanya dalam hal ekonomi tapi juga

“bahan mentah” bagi isi yang dibuat oleh media. Dalam pandangan pluralist,

saling ketergantungan antara media dan institusi dala masyarakat cenderung

seimbang. Pada satu sisi media tergantung pada institusi sentral dalam masyarakat

untuk mendapatkan “bahan mentah”, pada sisi lain institusi sosial juga tergantung

27

pada media untuk mengkomunikasikan pandangannya kepada publik. Dalam

pandangan Marxist, otonomi media cenderung bersifat relatif dan marjinal. Media

dilihat sebagai institusi yang terbelenggu dalam struktur kekuasaan berjalan

seiring dengan institusi dominan dalam masyarakat. Dalam pandangan ini media

mereproduksi pandangan institusi dominan, bukan sebagai perspektif alternatif

tapi sebagai pusat perspektif yang natural dan nyata.

4. Relasi Makna Teks antara Media dan Audien

Dalam studi media terdapat dua pandangan mengenai bagaimana khalayak

menafsirkan teks. Pandangan pertama melihat khalayak sebagai pihak yang pasif.

Media dibayangkan sebagai entitas yang otonom dan aktif, sementara khalayak

sebagai entitas yang pasif. Pandangan kedua melihat khalayak sebagai entitas

yang aktif dan dinamis dalam memilih media dan berita apa yang sesuai dengan

dirinya, bahkan khalayak juga dinilai aktif dalam memaknai isi media.38 Pada

masa Perang Dunia, media dilihat sebagai agen propaganda yang mempunyai

pengaruh sangat kuat dan berperan sebagai pencuci otak bagi khalayak dan pada

sisi lain khalayak dilihat sebagai pihak yang pasif. Namun dalam masa berikutnya,

teori efek kuat semacam teori peluru maupun jarum hipodermik mulai direvisi.

Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa publik bersifat aktif

dalam mengkonsumsi teks. Teori semacam uses and gratification berpendapat

bahwa publik atau audien lebih bersifat aktif menggunakan media secara variatif

sesuai dengan kebutuhannya.

38 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta:LKiS, 2001, hal: 13-14

28

Penelitian uses and gratification mengalihkan perhatian dari ide tentang efek

“terukur” media terhadap khalayak menjadi analisis tentang bagaimana publik

menggunakan media. Penelitian ini dirintis dari bidang kajian psikologi sosial

yang memperkenalkan konsep bahwa persepsi audien terhadap pesan secara

radikal bisa berbeda dari makna yang dimaksudkan oleh pembuat pesan.

Subyektivitas audien dikonstruksi melalui interaksi dengan kondisi material

tertentu yang ada dan keragaman bentuk-bentuk simbolik. Pandangan ini biasanya

dikaitkan dengan konsepsi simbolik suatu kebudayaan dan memeriksa interaksi

makna simbolik dalam komunikasi.39

Menurut Stevenson, kajian tentang produksi makna harus dikaitkan dengan

kekuasaan. Karena itu, kajian mengenai kemampuan interpretaif audien terhadap

pesan simbolik juga harus diletakkan dalam teori sosial kritis dan normatif. Salah

satu kajian yang melihat pengaruh media terhadap audien adalah esai Stuart Hall

tentang encoding/decoding. Hall berpendapat, ada perbedaan mendasar dalam

proses sosial antara penyusunan dan penerimaan pesan atau teks media. Bentuk-

bentuk budaya diterima dan ditafsirkan melalui perpaduan antara sejarah spesifik

relasi institusional, politik, budaya, dan akses terhadap teknologi yang relevan.40

Dalam pandangan Stuart Hall, ada tiga bentuk pembacaan audien terhadap

pesan yang dibuat oleh pembuat teks.41 Pertama, posisi pembacaan dominan

(dominant-hegemonic position). Posisi ini terjadi ketika penulis menggunakan

kode-kode yang bisa diterima umum, sehingga pembaca akan menafsirkan dan

39 Nick Stevenson, Understanding Media Culture, Social Theory and Mass Communication,

London. Thousand Oaks.New Delhi: Sage Publications, 1995, hal: 76-77. 40 Ibid, hal: 78 41 dalam Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis teks Media, Op cit, hal: 94-96

29

membaca pesan atau tanda yang sudah diterima umum. Dalam posisi ini

diasumsikan tidak ada perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca. Penulis

menggunakan kode-kode budaya, posisi politik yang diyakini dan menjadi

kepercayaan pembaca, sehingga pesan tersebut terjadi kesesuaian ketika sampai

ke tangan pembaca.

Kedua, pembacaan yang dinegosiasikan (negotiated code/position). Dalam

posisi ini tidak ada pembacaan dominan, kode yang disampaikan oleh penulis

ditafsirkan secara terus-menerus di antara kedua pihak. Penulis menggunakan

kode aatau kepercayaan poitik yang dipunyai khalayak, tapi ketika diterima oleh

khalayak tidak dibaca dalam pengertian umum, tetapi pembaca akan mengunakan

kepercayaan dan keyakinan tersebut dan dikompromikan dengan kode yang

disediakan oleh penulis.

Ketiga, pembacaan oposisi (oppositional code/position) posisi ini kebalikan

dari posisi pertama karena pembaca menandakan kode secara berbeda atau

berseberangan dengan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Pembacaan

oposisi muncul kalau penulis tidak menggunakan kerangka acuan budaya atau

kepercayaan politik khalayak pembacanya, sehingga pembaca akan menggunakan

kerangka budaya atau politik sendiri.

David Morley meneliti program televisi Nationwide dengan menggunakan

konsep yang dikembangkan oleh Stuart Hall. Dengan berpijak pada pendapat

Hall, Morley menyatakan bahwa proses pemaknaan tergantung pada struktur

internal pesan media dan latar belakang kultural penonton. Untuk memahami

bagaimana teks dikaitkan dengan praanggapan kultural audien, Morley melihat

30

pada bagaimana teks memposisikan audien. Nationwide memposisikan audien

terutama sebagai warga negara secara individual yang hidup komunitas politik

nasional.42 Karena itu, dalam analisis ideologi yang harus dilakukan adalah

dengan mengungkapkan bagaimana suatu teks memproduksi posisi subyek. Hasil

pengamatan Morley menunjukkan, dengan menggunakan strategi pemaknaan

(decoding) yang berbeda, makna dominan dalam teks dapat dilawan dengan

menggunakan strategi pembacaan kultural audien.

B. Dialektika Perkembangan Pers Indonesia

3. Pers Indonesia Dalam Konstelasi Sistem Pers Dunia

Tingkat demokratisasi sebuah negara dapat dilihat dari kehidupan pers

negara tersebut, sejauh mana negara menjamin kemerdekaan pers sehingga bisa

menjalankan fungsi kontrol sosialnya secara optimal. Secara ideal pers diharapkan

menjadi pilar keempat demokrasi atau sebagai “anjing penjaga” bagi penguasa

dalam menjalankan kekuasaan. Dilihat dari sudut pandang Public Sphere, pers

diharapkan menjadi elemen dasar proses demokrasi, menjadi arena dan saluran

debat terbuka, menyebarkan informasi serta opini secara luas dan terbebas dari

kekuasaan negara serta pasar. Selain fungsi politik, pers juga mempunyai dimensi

ekonomi. Pers butuh modal untuk menghidupi diri serta orang-orang di dalamnya.

Bahkan saat sekarang ada kecenderungan di mana pers mengarah sebagai industri

skala besar, menjadi konglomerasi yang menjangkau bidang usaha lain.

42 Nick Stevenson, Op. Cit, hal: 79

31

Pers Indonesia juga lahir dari semangat kebebasan serta idealisme untuk

memberdayakan masyarakat serta sebagai alat kontrol sosial. Namun dalam

prakteknya idealisme tidak selalu bisa menjadi ruh kehidupan pers, batasan

struktural maupun kultural siap menjegal. Batasan itu bisa muncul dari negara,

kapital maupun dari dalam masyarakat sendiri. Pada satu sisi pers berusaha

mewujud sebagai “pejuang” atau “aktivis” maupun “anjing penjaga” yang berdiri

berhadapan dengan penguasa dan berjuang melawan rejim yang represif. Namun

pada sisi lain pers juga butuh modal untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Lebih dari itu, pers bisa berjalan sebagai instutusi kapital yang berorientasi pada

pasar dan keuntungan.

Tinjauan tentang sistem pers biasanya mengacu pada empat sistem pers

yang sudah dikenal yaitu sistem pers Liberal, Otoriter, Marxis dan Tanggung

Jawab Sosial. Namun ketika perang dingin berakhir yang ditandai runtuhnya Uni

Soviet, Herbert Altschull memperkecil pembagian sistem pers menjadi tiga, yakni

Sistem Pasar yang ada negara kapitalis, Sistem Marxis yang ada dalam negara

sosialis dan Sistem Berkembang yang ada di negara sedang berkembang.43 Dari

pembagian tersebut, Altschull merumuskan kebebasan pers masing-masing sistem

sebagai berikut:

Sistem Pasar, kebebasan pers terwujud dengan memberi kebebasan kepada

wartawan dari segala bentuk kontrol eksternal. Pers juga tidak difokuskan untuk

melayani kekuasaan negara, juga tidak membutuhkan kebijaksanaan pers nasional

untuk menjamin adanya kebebasan pers. Sistem Marxis, pers dituntut untuk

43 Ana Nadya Abrar, Panduan Buat Pers Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993, hal:3

32

menyiarkan pendapat semua golongan masyarakat. Orientasi kebebasan pers

dalam sistem marxis adalah untuk menghambat dan menangkal ancaman dari luar.

Pers juga butuh kebijaksanaan pers nasional untuk menjamin pelaksanaan

kebebasan pers sesuai kehendak pemerintah. Sistem Berkembang, wartawan bebas

menentukan mana yang dianggap sebagai baik dan buruk, namun kepentingan

nasional dinilai lebih penting dibanding kebebasan pers. Sistem ini juga

membutuhkan kebijaksanaan pers nasional untuk melindungi kebebasan pers yang

legal.

Dari perbedaan kebebasan pers antara masing-masing sistem, tujuan

jurnalisme dari masing-masing sistem juga berbeda. Dalam Sistem Pasar, tujuan

jurnalismenya adalah untuk mencari kebenaran, memenuhi tangggung jawab

sosial, mendidik dalam arti sebenarnya dan melayani khalayak dengan jujur dan

mendukung doktrin kapitalis. Pada Sistem Marxis, tujuan jurnalismenya adalah

menyelidiki kebenaran dan mendidik khalayak dalam pengertian politik, namun

pengertian mendidik ditentukan oleh negara atau partai. Sistem ini juga bertujuan

melayani khalayak dengan tuntutan agar khalayak mendukung doktrin sosialis dan

membentuk pandanagn serta perilaku. Dalam Sistem Berkembang, tujuan

jurnalisme yang harus dicapai adalah melayani kebenaran dan memenuhi

tanggung jawab sosial. Sistem ini juga bertujuan mendidik khalayak dalam

penegertian politik, namun kriteria mendidik tidak ditentukan oleh pemerintah

maupun pers. Melayani khalayak bersama dengan pemerintah untuk mencapai

33

tujuan yang berbeda dan menggunakan jurnalisme damai sebagai alat

perdamaian.44

Lantas termasuk sistem mana pers Indonesia? penggolongannya tidak bisa

ditetapkan secara mutlak dengan memasukkan semua ciri yang ada dalam setiap

sistem, tapi berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dalam pers

Indonesia. Pada masa Orde Baru, tetatnya kontrol pemerintah terhadap pers

membuat pers Indonesia dikategorikan dalam pers otoriter

Secara politik, pers Indonesia pasca reformasi bebas dari campur tangan

pemerintah sejak Departemen Penerangan dibubarkan. Pers bebas mengkritik

berbagai kebijakan pemerintah, suatu hal yang tidak mudah dilakukan pada masa

Orde Baru. Meskipun saat ini telah dibentuk Departemen Komunikasi dan

Informasi, otoritas lembaga ini tidak seperti Departemen Penerangan yang begitu

berkuasa pada jaman Orde Baru. Aturan tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers

(SIUPP) juga telah dicabut dan seiring dengan itu banyak bermunculan media

baru. Kebebasan pers juga diatur dalam Undang-Undang Pers.

Secara ekonomi, pers diakui sebagai lembaga ekonomi, walaupun tujuannya

hanya sebatas untuk kesejahteraan karyawan (pasal 3, ayat 2: Undang-Undang

Pers tahun 1999). Kebebasan pers di Indonesia pasca reformasi memepunyai

beberapa implikasi, pada satu sisi media menjadi partisan, condong kepada salah

satu kelompok sosial. Namun pada sisi lain muatan berita cenderung bombastis,

berkisar pada masalah seks, kekerasan, kejahatan dan hiburan. Tujuannya adalah

untuk menarik pangsa pasar yang luas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.

44 Ana Nadya Abrar, Media dan Minimnya Semangat Gender, Pantau edisi 08/Maret-April 2000,

hal: 75

34

Kecenderungan pers Indonesia pasca reformasi mengarah menjadi industri

padat modal, berteknologi tinggi dan profesionalisme manajemen, semua

mengarah pada pers industri yang tidak berbeda dengan pers pasar.

Kecenderungan yang ada dalam pers Indonesia sejalan dengan pers barat, yaitu

pers bebas dari campur tangan pemerintah, hubungan antara pers dan pemerintah

saling berhadapan, pers sebagai ajang bisnis besar, mempunyai pengaruh kuat

dalam kehidupan sosial politik dan teknik persurat-kabaran sudah modern dengan

ditunjang teknologi tinggi.45

Dorongan kuat ke arah kapitalisme media membawa pers Indonesia dalam

kekuatan yang oleh van Peursen disebut sebagai “kekuatan dan daya-daya tak

berwajah,” sebuah kecenderungan yang berlangsung dalam masyarakat modern

karena perkembangan teknologi, pola organisasi dan struktur masyarakat yang

menimbulkan desakan-desakan tertentu sehingga memaksanya bertindak dan

berperilaku tertentu, tunduk dalam kekuasaan politik atau justru larut dalam

kekuasaan pemilik modal.46 Pasca reformasi, kecenderungan pers untuk tunduk

dalam kekuasaan politik semakin kecil, justru yang lebih kuat adalah

kecenderungan untuk larut dalam tekanan pemilik modal. Lebih jauh pers

Indonesia bisa terjebak dalam cengkeraman kapitalisme global yang mengarahkan

pada suatau kebebasan pers yang berpihak pada kepentingan modal dan tidak

sepenuhnya fungsional bagi proses demokratisasi.47

45 F. Rachmadi, Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, Jakarta: Gramedia, 1991, hal:

48. 46 Rizal Malarangeng, Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Harian Kompas dan Suara Karya, seri

monograf Fisipol UGM, 1994, hal: 1 47 Dedy N. Hidayat (ed), Pers Dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta:

Gramedia, 2000, hal: 445

35

Ada satu hal menarik yang terjadi dalam pers Indonesia pasca reformasi,

ketika tidak ada lagi otoritarianisme negara, justru muncul kecenderungan di mana

pers mendapat tekanan dari masyarakat, baik secara komunal maupun personal.

Batasan-batasan struktrural dan kultural tersebut kadang harus membuat pers

melakukan kompromi, bahkan harus tunduk. Berikut akan diuraikan secara

singkat beberapa moment maupun kecenderungan yang terjadi dalam perjalanan

kehidupan pers Indonesia.

2. Pers Indonesia Masa Penjajahan

Sejarah perjuangan pers Indonesia dalam mewujudkan idealisme dimulai

sejak republik ini masih dalam cengkeraman penjajah. Dalam masa perjuangan,

Tirtoadisoeryo mendirikan Medan Prijaji, surat kabar pertama yang dibiayai,

disunting dan diterbitkan oleh orang Indonesia.48 Sebenarnya pada kurun waktu

sebelumnya telah muncul beberapa surat kabar yang diterbitkan oleh Belanda dan

orang cina, baik dalam bahasa belanda, melayu maupun cina. Dan ketika muncul

berbagai organisasi kebangsaan, pers juga mengelompokkan diri sesuai aliran

politik dan organisasinya.

Pada masa perjuangan, pers menjadi partner bagi para pemimpin

pergerakan. Kaum pergerakan juga berperan sebagai wartawan dan penulis dalam

surat kabar. Peran penting pers masa itu adalah memperluas penggunaan bahasa

48 Yazuo Hanazaki, Pers Terjebak (terj), Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998, hal: 9

36

Indonesia, pers menjadi simbol perlawanan dan sebagai medium identitas

persatuan nasional.49

Pada saat yang sama pers Indonesia juga berhadapan dengan pemerintah

kolonial Belanda. Karena khawatir dengan munculnya pers nasionalis, pada tahun

1931 Belanda mengeluarkan Ordonansi Pers (Persbreidel Ordonnantie), dengan

peraturan itu pemerintah berhak menghentikan penerbitan surat kabar untuk

sementara demi ketertiban umum. Dengan undang-undang tersebut, penutupan

pers paling lama berlangsung selama delapan hari. Bila pers yang dibungkam

masih melawan, pembredelan masih bisa diperpanjang selama 30 hari lagi. Untuk

media mingguan, jangka waktu pembredelan paling lama tiga kali edisi media

tersebut, setelah itu pers boleh terbit kembali.50 Akibat peraturan tersebut, sekitar

27 surat kabar nasionalis ditutup oleh Belanda.

Ketika Jepang menggantikan kedudukan Belanda, pers menjadi alat

propaganda perang dan memobilisasi rakyat demi kepentingan Jepang. Pada tahun

1942 sampai 1945, pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16

tentang Surat Izin Terbit (SIT), sensor preventif dan menempatkan penasehat yang

berwarga negara Jepang di kantor pers pribumi.51

3. Pers Indonesia Masa Bung Karno

Ketika Indonesia merdeka, surat kabar yang sebelumnya dikuasai penjajah

diambil alih oleh Indonesia. Pertumbuhan pers pada masa awal kemerdekaan

belum memperlihatkan pertumbuhan maksimal. Ketika Indonesia memberlakukan 49 Ibid, hal:10 50 Buruk Pemerintah, Pers Dicacah, Tempo, 26 Januari 2000, hal: 102. 51 Ibid.

37

UUD Sementara Tahun 1950, pemerintah menjamin kekebasan pers sehingga

muncul berbagai surat kabar. Setiap orang bisa menerbitkan surat kabar atau

majalah tanpa harus meminta ijin dari penguasa, cukup dengan menunjukkan

bahwa dia punya uang.52 Era liberal ditandai dengan peningkatan jumlah surat

kabar dan oplahnya. Pada tahun 1950 terdapat 67 harian berbahasa Indonesia

dengan tiras sekitar 338.300 eksemplar dan pada tahun 1957 meningkat menjadi

96 harian dengan oplah mencapai 888.950 eksemplar.53

Kebebasan politik dalam Demokrasi Liberal (1950-1959) berimbas pada

kehidupan pers. Surat kabar bebas berafiliasi dengan partai tertentu, bahkan

beberapa partai menjadikan surat kabar sebagai organ politik, seperti Harian

Rakjat (organ PKI), Pedoman (berorientasi pada PSI), Suluh Indonesia (organ

PNI) dan Abadi (organ Masyumi). Pada masa ini Mochtar Lubis juga menerbitkan

Indonesia Raja (1949), surat kabar yang berpengaruh karena keberaniannya dalam

membongkar skandal korupsi yang melibatkan Menteri Luar Negeri Roeslan

Abdoel Gani, mengkritik Undang-Undang Kerjasama Pertahanan (Mutual

Security Act) dengan Amerika, bahkan menyoroti perkawinan rahasia Bung Karno

dengan Hartini.54

Dalam pandangan Orde Baru, kondisi pers Indonesia pada masa Demokrasi

Liberal dinilai sebagai kondisi terburuk karena menyebabkan kekacauan politik,

menjadi alat organisasi politik dan melayani kepentingan faksi, sehingga gagal

meciptakan stabilitas nasional. Namun pengamat barat E. Schumacher justru

52 Yazuo Hanazaki Op Cit. hal: 12 53 Ibid. hal: 13 54 Ibid. hal: 14

38

menilai kebebasan saat itu sebagai kebebasan sepenuhnya yang tidak mungkin

dicapai oleh negara-negara barat sekalipun.55

Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin Tahun 1959, pers

berada dalam kondisi terjepit. Sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Bung

Karno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan harus mendaftarkan diri

untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) dengan syarat-syarat tertentu, misalnya

harus patuh kepada Manifesto Politik Soekarno, ikut berjuang menentang

imperialisme, kolonialisme, federalisme dan separatisme.56 ketika diberlakukan

undang-undang darurat perang, peta kekuatan pers cenderung seimbang. Hampir

semua surat kabar pernah dibredel oleh penguasa perang. Menurut Harold Crouch

dan Ulf Sundhaussen, surat kabar Harian Rakjat milik PKI tergolong surat kabar

yang paling sering dibredel. Dengan demikian, pada masa ini tidak ada pers

dominan yang bisa menciptakan opini publik secara maksimal, baik pers komunis

maupun non komunis berada dalam posisi seimbang karena sama-sama menjadi

sasaran intimidasi penguasa militer/perang.57

Ketika kekuatan politik pada masa Demokrasi Terpimpin (terutama tahun

1962-1965) didominasi oleh tiga kekuatan: Bung Karno, militer dan PKI, peta

kekuatan pers juga ikut berubah. Ketika PKI dekat dengan Bung Karno, pers

komunis dan simpatisannya (biasanya pers nasional sayap kiri) menduduki posisi

dominan dalam menciptakan opini publik dan politik serta mempengaruhi

kebijaksanaan pemerintah. Surat kabar Harian Rakjat tirasnya mencapai 75.000

55 Ibid. hal: 15 56 Ibid. hal: 16 57 lihat catatan kaki nomor 7 dalam Akhmad Zaini Abar, 1966-1974, Kisah Pers Indonesia,

Yogyakarta: LkiS, 1995, hal: 51

39

eksemplar pada tahun 1964, dan pada tahun 1965 mencapai 85.000 eksemplar.58

Tapi domimasi pers komunis dalam menciptakan opini publik dan mempengaruhi

kebijaksanaan pemerintah bukan dominasi utuh. Penciptaan opini publik serta

pengaruhnya dalam menetukan kebijaksanaan politik yang dilakukan pers

komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan politis dan retoris Bung

Karno, meskipun di balik itu terselip kepentingan PKI dan simpatisan-

simpatisannya.59

Sedangkan pers yang non atau anti komunis saat itu tergolong pers periferal

atau pinggiran. Pers yang tergolong periferal meliputi pers agama, pers kelompok

BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), dan pers militer. Pers agama adalah pers

yang berafiliasi dengan partai agama, misalnya surat kabar Duta Masyarakat

(berafiliasi dengan Partai Nahdatul Ulama), Sinar Harapan berafiliasi dengan

Partai Kristen Indonesia (Parkindo) lahir pada 27 april 1961, serta harian Kompas

yang lahir 28 Juni 1965 berafiliasi dengan Partai Katolik. Kompas tergolong pers

yang moderat dalam menghadapi aksi-aksi politik PKI.60

Untuk melawan pengaruh komunis yang makin meluas, Adam Malik, B.M.

Diah serta kelompok anti komunis lainnya mendirikan Badan Pendukung

Soekarnoisme (BPS). Pers kelompok BPS antara lain harian Merdeka milik B.M

Diah, Berita Indonesia (simpatisan Partai Murba), Indonesian observer dan Warta

Berita semuanya terbit di Jakarta, Indonesia Baru dan Waspada (Medan), Suara

Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Yongyakarta), Harian Suara Rakyat

(Surabaya) dan Pikiran Rakyat (Bandung) yang tergolong progresif dalam 58 Op Cit. hal: 17 59 Akhmad Zaini Abar, Loc Cit 60 Ibid, hal: 52

40

menentang aksi-aksi politik PKI.61 Konflik antara golongan komunis dengan non

komunis masuk dalam dunia pers, misalnya perseteruan antara surat kabar Harian

Rakjat dengan Merdeka. Karena Bung Karno menilai PKI lebih berguna bagi

landasan politiknya, Bung Karno melarang keberadaan BPS, dan pada periode

Februari sampai Maret 1965 sekitar 27 surat kabar pendukung BPS dibubarkan.62

Untuk mengimbangi kekuatan komunis pasca pembubaran BPS, Angkatan

Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Pada

saat yang sama Frans Seda dari Partai Katolik juga berniat mendirikan surat kabar,

Jenderal A.H. Nasution dan A.Yani mendukung gagasan tersebut. Maka lahirlah

surat kabar Kompas yang dipercayakan kepada P.K. Ojong dan Jacob Oetama.

Harian Berita Yudha terbit pada 9 februari 1965 di bawah kontrol kepala Pusat

Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto. Harian Angkatan

Bersenjata terbit pada 15 maret 1965 berada di bawah kontrol Kepala Perangan

Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua harian ini diterbitkan sebagai reaksi

dan tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS.63

Pada Bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan peraturan bahwa surat

kabar harus berasal dari sembilan partai politik yang ada. Aturan ini sebagai usaha

Bung Karno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai dapat langsung

mengendalikan pers.

Selama masa Demokrasi Terpimpin, meski tingkat inflasi sangat tinggi dan

harga kertas koran impor sangat mahal, jumlah tiras surat kabar saat itu cukup

tinggi. Pada tahun 1961 terdapat 61 penerbitan dengan tiras 692.500 eksemplar, 61 Ibid, hal: 52-53 62 Yazuo Hanazaki Op. Cit. hal: 18 63 Akhmad Zaini Abar, Op. Cit hal: 53

41

dan empat tahun kemudian meningkat menjadi 114 surat kabar dengan tiras

mencapai 1.469.350 eksemplar. 64

4. Pers Masa Orde baru

Konflik antara PKI dan militer berakhir setelah peristiwa G30S, militer

keluar sebagai pemenang. Kekuatan PKI hancur dalam waktu yang singkat, dan

kekuasaan Bung Karno diambil alih oleh Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas

Maret (Supersemar) dan secara bertahap naik menjadi presiden Indonesia kedua.

Pangdam VII/Jakarta Raya Mayjen Umar Wirahadikusumah menandatangani

surat perintah no.01/Drt/10/1965 yang memerintahkan kepada Panglima Daerah

Kepolisian VII/Jakarta Raya utuk menguasai semua perusahaan percetakan.

Khusus untuk percetakan Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata supaya

dilakukan pengamanan fisik.65

Tribuana Said mencatat penerbitan yang dibreidel permanen karena di tuduh

terlibat dan mendukung peristiwa G30S, antara lain: Harian Rakjat, Kebudayaan

Baru, Bintang Timur, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional, Gelora Indonesia, Ibu

Kota, Huo Chi Pao, Chung Cheng Pao, Suluh Indonesia, Bintang Minggu, Berita

Minggu, semuanya terbit di Jakarta. Warta Bandung (Bandung); Gema Massa

(Semarang); majalah Waspada (Yogyakarta); Jalan Rakyat, Jawa Timur, Trompet

Masyarakat, Indonesia, Generasi (Surabaya); Suara Khatulistiwa, Kalimantan

Membangun, Duta Nusa (Pontianak); Pikiran Rakyat, Trikora (Palembang);

Suara Persatuan (Padang); Sinar Massa dan Berita Rovolusi (Pekan Baru); 64 Yazuo Hanazaki Op. Cit. hal: 18 65 Y. Krisnawan, Pers Memihak Golkar?, Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992, Jakarta: Institut

Studi Arus informasi, 1997, hal: 24-25.

42

Harian Harapan, Goting Royong, Bendera Revolusi, Pembangunan, Patriot,

Angin Timur, Tavip serta Bintang rakyat (Medan).66 Setelah membreidel 46 surat

kabar dan majalah, militer juga mengadakan pebersihan terhadap ratusan

wartawan yang punya hubungan dengan PKI.67

Pasca G30S, peta kekuatan pers Indonesia didominasi oleh pers militer. Pers

yang tidak dibreidel seperti Kompas, Duta masyarakat dan Sinar Harapan pun

ada dalam pengaruh militer, semua penerbitan harus minta izin penguasa militer

agar dapat terus melanjutkan penerbitannya. Dengan alasan negara dalam keadaan

bahaya, semua berita tentang politik dan militer harus sesuai dengan versi

penguasa militer, sehingga secara langsung maupun tidak, media massa saat itu

ikut dalam “kampanye” untuk menumpas PKI dan simpatisan-simpatisannya.

Militer (terutama Angkatan Darat) mendapat keuntungan dari pemberitaan

pers non/anti komunis, misalnya muncul isu tentang penyiksaan yang dilakukan

PKI terhadap para jenderal yang diculik, berita tentang kejahatan politik yang

dilakukan oleh orang-orang PKI seperti Subandrio, Omar Dhani dan lainnya

sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahmillub. Berita-berita tersebut

memudahkan kelompok anti komunis dalam memobilisasi massa untuk

menghancurkan PKI berserta simpatisannya. Sebaliknya pers anti komunis juga

mendapat keuntungan dari militer, mereka merasa mendapat teman perjuangan

dalam melawan musuh utamanya, PKI.

Sebagai pejabat baru, Soeharto butuh dukungan untuk mengkonsolidasikan

kekuasaan, maka pers dibiarkan menjadi lebih bebas dibanding masa Demokrasi

66 Akhmad Zaini Abar,, Op. Cit, hal: 54-55. 67 Yazuo Hanazaki, Op. Cit. hal: 19

43

Terpimpin. Pada periode tahun 1965-1972, Soeharto mengeluarkan Surat ijin

Terbit (SIT) mencapai 1.559 buah,68 ia juga menghidupkan kembali beberapa

surat kabar yang dilarang terbit pada masa kekuasaan Bung Karno seperti

Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober1968), Pedoman (November

1968) dan Abadi (Desember 1968).69

Pers Indonesia pada awal masa kekuasaan Orde Baru lebih berorientasi

kepada rakyat dan sangat kritis ketika meliput keadaan yang kontras pada masa

itu. Pada tahun 1969, surat kabar Indonesia Raya memuat laporan tentang

pembantaian sekitar 2.000-3.000 orang tahanan politik di Purwodadi (Jawa

Tengah) dan pemerintah tidak melakukan tindakan apapun berkaitan dengan

berita tersebut. kemudian surat kabar Sinar Harapan juga mengangkat kasus

penyelewengan di Pertamina dan pemerintah juga tidak mengambil tindakan.70

Namun kebebasan itu hanya bertahan sebentar, lambat laun pemerintah

mulai turut campur dalam kehidupan pers. Pada tahun 1971, ketika jadwal pemilu

semakin dekat, Ali Moertopo sebagai aparat Operasi Khusus (Opsus) ikut campur

dalam pemilihan ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pemerintah

menghendaki B.M. Diah agar terpilih kembali sebagai ketua PWI, namun

beberapa cabang yang tidak menyukai B.M. Diah lebih memilih Rosihan Anwar

sebagai kandidat. Pada saat kongres ke-14 PWI di Palembang, Rosihan Anwar

tepilih menjadi ketua, tapi pemerintah tetap mengangkat B.M. Diah sebagai ketua,

68 Ibid. hal: 19. 69 Akhmad Zaini Abar,, Op. Cit, hal: 56. 70 Yazuo Hanazaki Op Cit. hal: 20.

44

akibatnya kepengurusan PWI terpecah menjadi dua kelompok, PWI Rosihan dan

PWI Diah. Namun pada bulan Maret 1971 kedua kelompok tersebut bersatu.71

Ketika suhu politik semakin tinggi, pemerintah lebih ketat lagi dalam

mengawasi pers. Pada tahun 1973, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro mencabut

Surat Ijin Terbit (SIT) surat kabar Sinar Harapan untuk sementara dengan

tuduhan membocorkan rahasia negara karena menyiarkan isi RAPBN 19743-1974

sebelum pemerintah mengumumkannya secara resmi.72 Pada hari berikutnya

Kopkamtib juga memperingatkan harian Pos Kota, Kami dan Merdeka supaya

tidak lagi menyiarkan intrik-intrik politik yang tidak benar.

4.1. Peristiwa Malari

Meskipun sering mendapat tekanan dari pemerintah, pers masih terus

berusaha melancarkan kritik terhadap kebijakan yang diambil oleh Orde Baru, dan

pada bulan Oktober 1973, pers mendapat rekan seperjuangan yaitu mahasiswa

yang bangkit kembali melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota seperti

Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Mereka mengkritik politik pembangunan yang

dipilih Orde Baru serta kebijakan ekonomi yang dijalankannya bersifat pilih kasih

sehingga hanya menguntungkan pengusaha non pribumi. Mereka juga menyoroti

keberadaan Asisten Pribadi Presiden (Aspri) yang tingkah laku politik dan

ekonominya dinilai buruk dan tercela. Demonstrasi terus berlangsung sampai awal

tahun 1974. Selain mahasiswa dan pers, cendekiawan seperti Soedjatmoko,

Suhadi Mangkusuwondo dan Darojatun K. Jakti sebelumnya juga mengkritik arah

71 Ibid. 72 Akhmad Zaini Abar,, Op. Cit, hal: 71.

45

dan politik pembangunan yang dipilih Orde Baru. Bahkan di akhir tahun 1973

Bung Hatta melontarkan kritik tajam, pembangunan Orde Baru menurutnya telah

memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi masyarakat.

Kritik yang dilakukan pers dan mahasiswa pada paruh awal bulan Januari

1974 semakin tajam ketika harga kebutuhan pokok melonjak naik. Karena suasana

makin panas, Presiden Soeharto menerima 85 orang delegasi dari 35 Dewan

Mahasiswa yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Pertemuan tersebut

membahas berbagai masalah yang hangat dan menjadi keprihatinan masyarakat.

Mereka mengajukan beberapa tuntutan:73

1. Mengenai kepemimpinan yang hendaknya terbuka

2. Lembaga penyalur pendapat rakyat hendaknya kuat dan terbuka

3. Politik luar negeri hendaknya mementingkan kepentingan dan

kebanggaan nasional

4. Pembangunan hendaknya menjamin keseimbangan pertumbuhan

ekonomi, sosial dan politik serta distribusi hasil pembangunan yang

merata.

Hasil dialog tersebut oleh mahasiswa dianggap belum memuaskan dan

mereka bertekad untuk melanjutkan aksi-aksi mereka di jalan. Maka pada tanggal

14 januari mereka demonstrasi di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma

memprotes kedatangan Tanaka, Perdana Menteri Jepang saat itu. Demonstrasi

besar juga terjadi pada hari berikutnya di Jakarta, mereka menentang masuknya

modal asing (terutama Jepang) serta tingkah laku tercela pengusaha Jepang di

73 Ibid, hal: 200

46

Indonesia. Mereka menuntut pembubaran Aspri; penurunan harga dan

pemberantasan korupsi. Namun demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan

massa. Ribuan massa di luar mahasiswa melakukan perusakan serta pembakaran

mobil atau motor merek Jepang, gedung dan lainnya. kerusuhan ini juga

merenggut 11 nyawa dan ratusan orang luka-luka.

Iklim kebebasan pers yang dirasakan pada masa awal kekuasaan Orde Baru

lenyap setelah terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974.

Malari menandai putusnya aliansi antara pemimpin Orde Baru dengan mahasiswa

dan kaum intelektual yang mendukung Soeharto dalam menjatuhkan Soekarno.

Pemerintah menangkap dan menahan sejumlah aktivis mahasiswa dan

cendekiawan yang suka mengkritik kebijakan pemerintah. Selain itu pemerintah

juga membreidel 12 surat kabar yang dianggap terlalu kritis dan berani yaitu

harian Abadi, Indonesia Raya, Kami, Pedoman, Nusantara, Jakarta Times,

mingguan Wenang, Mahasiswa Indonesia (Bandung), majalah Pemuda Indonesia,

Ekspresi, harian Suluh Berita (Surabaya), mingguan Indonesia Pos (Ujung

Pandang).

Setelah peristiwa Malari, pembredelan terhadap pers terus berlangsung.74.

Misalnya ketika mahasiswa demo besar-besaran menentang pencalonan kembali

Soeharto sebagai presiden Indonesia serta kampanye anti korupsi, pers meliputnya

secara besar-besaran. Akibatnya pada tanggal 20 Januari 1978 pemerintah cabut

izin 14 penerbitan, termasuk 7 surat kabat utama Jakarta. Pada tahun 1986 Sinar

74 Pembredelan-pembredelan terhadap media cetak bisa kita lihat dalam tahun-tahun 1978, tahun

1983, tahun 1986, tahun 1987, tahun 1990, dan tahun 1994. Baca dalam Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers dan Politik Indonesia”, dalam Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1997, hal. 60.

47

Harapan dibredel karena menyoroti rencana pemerintah untuk mencabut izin 44

monopoli impor, surat kabar tersebut juga menjelaskan bahwa ijin impor tersebut

dimiliki keluarga Soeharto serta pengusaha yang dekat dengan penguasa Orde

Baru.75 Peristiwa Malari dan pembredelan yang masih terus dilakukan sesudah itu

membuat membuat radikalitas Pers Indonesia terus menurun, bahkan dalam tubuh

pers ada ketakutan untuk menyampaikan kritik, terutama kritik kepada penguasa

Tekanan-tekanan yang dilakukan oleh penguasa membuat pers sangat akomodatif

terhadap kehendak dan kepentingan penguasa. Wajah dan bahasa kekuasaan

banyak diproduksi dan direproduksi oleh pers, baik secara sadar ataupun tidak

sadar.

4.2. Pembredelan Tempo 1994

Sejarah pembredelan terhadap pers terus mengalami pasang surut dalam

kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Namun pembredelan terhadap majalah

Tempo, Detik dan Monitor perlu dibahas di sini karena pembredelan tersebut

melahirkan fenomena menarik yakni perlawanan kaum jurnalis terhadap penguasa

dan lahirnya kelompok jurnalis oposan.

Pada tahun 1994 Menristek B.J. Habibie berencana membeli 39 kapal selam

bekas dari Jerman, namun tanpa ada konsultasi dengan pihak Angkatan Bersenjata

RI (ABRI). Ketika hendak dibawa pulang ke Indonesia, salah satu dari kapal

selam tersebut hampir tenggelam di perairan Spanyol. Saat sampai di Indonesia,

lagi-lagi terjadi masalah, anggaran dana untuk perbaikan kapal selam tidak

75 Hanazaki, Op. Cit, hal: 23

48

disetujui oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad karena dinilai terlalu besar.

Meskipun Habibie merevisi anggaran tersebut, Mar’ie masih memintanya untuk

lebih memperkecil anggaran tersebut. Masalah kapal selam dan perselisihan dua

menteri dalam masalah anggaran tersebut tidak luput dari pemberitaan pers.76

Melihat liputan pers yang cukup tajam, Soeharto dalam sebuah kesempatan

menyatakan akan menegur dengan keras pers yang dianggap mengganggu

stabilitas nasional, yaitu media yang memberitakan tentang perselisihan para

menteri.

Orang-orang kalangan pers sendiri mengira ucapan Soeharto hanya akan

diwujudkan dalam bentuk teguran keras, bukan pembredelan. Namun pada 21

Juni 1994, Subrata, Dirjen Pers dan Grafika Departemen Penerangan mengadakan

jumpa pers yang menjelaskan tentang pencabutan izin majalah Tempo, Editor dan

Detik.

Ternyata masyarakat tidak tinggal diam menghadapi pembredelan tersebut,

beberapa organisasi sosial membuat pernyataan keprihatinan atas pemberdelan

yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kalangan pers juga tidak mau kalah, ada

rasa simpati dalam rekan-rekan pers yang antara lain diwujudkan dengan

mengangkat tulisan tentang pembredelan. Bahkan para intelektual dan mahasiswa

juga mengorganisir demonstrasi di berbagai kota besar di Indonesia untuk

menentang kebijakan Orde Baru terhadap pers, aksi tersebut juga diikuti oleh

kalangan wartawan. Melihat aksi yang marak dan dilakukan oleh beberapa

kalangan, pemerintah tidak tinggal diam, pada tanggal 27 Juni pemerintah

76 Ibid, hal: 148

49

mengirimkan pasukan keamanan untuk membubarkan secara paksa para

demonstran dan menangkap para aktivis.

Namun para wartawan terus menggalang kekuatan untuk menentang represi

yang dilakukan terhadap mereka. Pada 7 Agustus 1994 para wartawan mendirikan

Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka mendeklarasikan pernyataan sikap

yang dikenal sebagai “Deklarasi Sirnagalih” yang berisi pernyataan menolak

segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor dan pembredelan yang

mengingkari kebebasan bependapat dan hak warga negara dalam memperoleh

informasi.77 AJI lantas mendaftarkan diri sebagai anggota International Federation

of Journalist (IFJ) di Brussel. Secara terang-terangan AJI meyatakan mengambil

sikap oposisi terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu

notabene berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah. AJI juga mendirikan

majalah Independen pada tahun 1995, sebuah media bawah tanah yang menyoroti

kebijakan-kebijakan pemerintah, oplahnya mencapai 10.000 eksemplar.

Orde Baru tak pernah tinggal diam menghadapi pergerakan kaum jurnalis,

pemerintah terus mengekang gerakan para wartawan yang tergabung dalam AJI.

Melalui PWI, pemerintah berusaha memotong gerakan para anggota AJI dengan

mencabut keanggotaannya dari PWI dan membuat rekomendasi terhadap media

massa untuk tidak mempekerjakan wartawan yang tergabung dalam AJI.. Kuatnya

dominasi PWI saat itu membuat media mengambil kebijakan yang dinilai paling

aman. Dua reporter Jakarta Post tidak diijinkan meliput acara APEC serta tidak

memperpanjang kontrak wartawan lainnya yang ikut bergabung dalam AJI.

77 Ibid, hal.165

50

4.3. Munculnya Kapitalisme Media

Secara politis kontrol pemerintah terhadap pers memang semakin ketat.

Namun keberhasilan ekonomi Orde Baru berpengaruh terhadap kemajuan bidang

pendidikan serta standart kehidupan sehingga minat baca masyarakat juga ikut

meningkat. Pada akhir tahun 1970-an pers Indonesia telah berhasil memenuhi

syarat sebagai media massa, antara lain dilihat dari jumlah surat kabar yang

dipasarkan.78 Sebelum peristiwa Malari, pers Indonesia digerakkan oleh semangat

idealisme, dimodali oleh editor, didukung pengusaha kecil dan menengah yang

masih satu aliran dengan surat kabar yang disokongnya. Berita belum dianggap

sebagai suatu komoditi, walaupun Tempo misalnya sudah didirikan dengan

dukungan pengusaha-pengusaha besar.79

Namun pada paruh kedua perkembangan ekonomi dasawarsa 80-an,

perusahaan pers mulai tumbuh pesat, meski hanya terkonsentrasi pada beberapa

gelintir orang. Kecenderungan konglomerasi ini mengancam kelangsungan hidup

pers karena pada satu sisi perusahaan pers kecil perlahan-lahan dikuasai oleh

segelintir orang. Konglomerasi dilihat sebagai ancaman karena dengan terpusat

pada segelintir orang, media dalam satu konglomerasi cenderung mempunyai isi

yang sama, hal tersebut berpotensi untuk memonopoli wacana mapuan pendapat

umum.

Daniel Dhakidae mengatakan, pers Indonesia pada pemerintahan Orde

Baru mengalami transformasi dari sebuah wadah wacana politik menuju pers

78 Ibid, hal.26 79 David T. Hill, Kata Pengantar untuk buku Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia,

Kasus Koran Indonesia Raya, LSPP, Jakarta, 1995, hal. 16-17.

51

industri komersial.80. Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dari bisnis

pers menjadi semacam pelarian bagi wartawan karena dalam situasi represif sulit

bagi wartawan untuk mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Namun

keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin

tumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan utama, prioritas

pers Indonesia adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.81

Memang secara politis penguasa Orde Baru mengekang kehidupan pers

agar tidak bersikap kritis terhadap neguasa, namun pada sisi lain pemerintah justru

mengembangkan industri media dengan memberikan lisensi untuk mendirikan

media baru. Langkah ini bisa dilihat sebagai usaha untuk tetap melanggengkan

dominasi terhadap media, sebab pemerintah hanya memberi lisensi kepada

keluarga maupun konglomerat yang dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan

memberikan lisensi kepada keluarga dan pengusaha yang dekat dengan penguasa,

pemeritah tetap bisa mengendalikan bahkan menjadikan media sebagai

perpanjangan tangan negara dalam mempengaruhi ataupun mengarahkan pendapat

umum masyarakat.82

Perkembangan menuju kapitalisme industri media pada era Orde Baru

yang mengarah kepada kepemilikan modal melalui proses-proses komersialisasi,

liberalisasi, dan internasionalisasi tidak lepas dari intervensi negara dalam sektor

80 Daniel Dhakidae, “The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political

Economy of Indonesian News Industry” (Disertasi), sebagaimana dikutip Krishna Sen and David T Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford, University Press, 2000, hal. 51.

81 Lukas Luwarso, “Pers Indonesia: Pergulatan Untuk Kebebasan, dalam Atmakusumah” (Penyunting), 10 Pelajaran Untuk Wartawan, LSPP kerja sama dengan Kedubes Swiss dan UNESCO, Jakarta, 2000, hal. 76.

82 David T. Hill, Kata Pengantar untuk buku Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia, Kasus Koran Indonesia Raya, LSPP, Jakarta, 1995, hal. 18.

52

industri media.83 Pertama, proses komersialisasi media tidak lepas dari kebijakan-

kebijakan rezim Orba, khususnya pada awal pemerintahan. Peralihan dari Pers

Perjuangan atau Pers Politik menjadi Pers Industri antara lain difasilitasi oleh

pencabutan ketentuan produk rezim Orde Lama yang mengharuskan semua media

berafiliasi dengan organisasi atau partai politik tertentu (Kepmenpen RI No.

29/1965). Pencabutan ketentuan itu mendorong pers untuk makin berorientasi ke

pasar dan dikelola secara komersial. Bila pada era sebelumnya para wartawan

lebih mementingkan idealisme pers dan cenderung menganggap urusan-urusan

teknis bisnis sebagai interupsi yang tidak menyenangkan, maka pada masa Orde

Baru para wartawan semakin menempatkan aspek bisnis sebagai bagian integral

dari kegiatan jurnalisitik mereka bila mereka tidak ingin media mereka tersingkir

dari pasar.84

Kedua, dominasi peran negara dalam proses liberalisasi industri media,

khususnya dari segi penambahan pemain dalam industri media, terlihat dari

jumlah lisensi yang diberikan untuk mendirikan perusahaan pers. Tetapi dengan

kewenangan negara untuk memberikan lisensi, barriers to entry ke pasar media

tidak sepenuhnya “alamiah”. Bagi mereka yang ingin menjadi pemain dalam

industri media, halangan yang harus mereka hadapi tidak hanya bersumber dari

kondisi persaingan pasar, melainkan juga halangan politis yang diciptakan oleh

83 Dedy N. Hidayat, “Pers Dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy N. Hidayat, et.

al, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal. 143.

84 Walaupun demikian, intervensi rezim Orde Baru dalam proses komersialisasi industri media tidak di arahkan untuk membentuk industri yang mandiri. Di samping berbagai kontrol politik yang ada, penguasa Orde Baru juga menerapkan kontrol dari segi ekonomi, antara lain dengan monopoli pemasokan kertas koran oleh Aspex Papers yang di miliki oleh Bob Hasan, salah seorang kroni presiden Soeharto pada waktu itu.

53

penguasa. Kasus-kasus pemberian lisensi secara selektif, sebagaimana halnya

kasus-kasus pencabutan izin terbit yang didasarkan azas pertimbangan politis,

tercatat cukup banyak.85

Dari segi politik, masuknya para kroni dan anggota keluarga Candana ke

sektor industri media merupakan bagian dari proses political vertical integration

antara unsur-unsur elite penguasa dengan unsur-unsur pers. Terlebih lagi bila

integrasi tersebut didasarkan atas motivasi kepentingan politik. Motivasi para

kroni dan anggota keluarga Soeharto untuk melakukan investasi di sektor industri

media memang bisa didasarkan atas kepentingan ekspansi bisnis dalam sektor

tersebut.86

Keberhasilan industri pers, peningkatan tiras dan jumlah iklan yang

berjalan seiring dengan pengendalian pers oleh pemerintah membuat pers

Indonesia menjadi kurang militan dan lebih defensif. Di bawah berbagai kekangan

kebijaksanaan pers Orde Baru, menurut Todung Mulya Lubis, banyak surat kabar

menjadi mapan sebagai perusahaan bisnis, dan tidak lagi sekedar sebagai surat

kabar, pers juga tergantung dari kebaikan pemerintah.87

4.4. Kontradiksi Dalam Pers Orde Baru

Sebuah rezim yang dikenal otoriter, kuat dan berkuasa selama tiga puluh

tahun pada akhirnya harus tumbang diterjang gelombang reformasi. Faktor yang

dianggap bisa menjelaskan penyebab tumbangnya Orde Baru adalah kontradiksi

85 Dedy N. Hidayat, “Pers Dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy N. Hidayat, et.

al, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal. 144.

86 Ibid, hal: 146. 87 Yasuo Hanazaki, Op. Cit, hal: 26.

54

yang ada dalam sistem yang telah dibangunnya, termasuk sistem kapitalisme

terutama kapitalisme dalam sektor media massa yang kadang-kadang justru

bertentangan dengan kapitalisme global. Faktor lain yang juga menentukan

runtuhnya rezim adalah peran agen sosial, yakni intelektual, aktivis dan pers, baik

individu maupun institusi. Pembahasan di sini akan melihat pada peran pers dalam

proses “Revolusi Mei” baik masalah kontradiksi dalam industri media maupun

kontradiksi antara agen dengan struktur kekuasaan media.

Secara umum, kontradiksi yang terjadi dalam industri media mencakup

sejumlah dimensi. Pertama, kontradiksi yang bersumber dari posisi ganda pers,

di satu pihak sebagai instrumen hegemoni dalam struktur politik otoritarian Orde

Baru, dan di lain pihak sebagai institusi kapitalis dalam sektor industri media.

Sebagai instrumen hegemoni, media -melalui komoditi informasi dan hiburan

yang diproduksi- diharapkan berperan menjaga stabilitas struktur otoritarian yang

ada serta stabilitas hegemoni ide-ide yang dijadikan pembenaran eksistensi

struktur otoritarian Orde Baru. Untuk itu semua produksi informasi dan hiburan

harus sesuai dengan horison pemikiran dan kepentingan rezim Orde Baru. Di lain

pihak, sebagai institusi kapital yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi

modal, pers harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika

persaingan pasar. Karena itu, pers berusaha menyajikan produk informasi yang

memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi ekonomi dan politik yang lebih

berani.88

88 Dedy N. Hidayat, Op. Cit hal: 152.

55

Kontradiksi kedua adalah benturan kepentingan untuk melakukan ekspansi

kapitalisme di sektor industri media –di mana negara perlu memainkan peran

untuk berdiri di atas kepentingan pemilik modal atau kepentingan akumulasi

modal secara umum di sektor industri media– dan kepentingan sekelompok

pemilik modal, khususnya para kroni yang menanamkan modalnya di sektor

media. Kepentingan pertama menuntut mobilisasi pemilik modal sebanyak

mungkin untuk melakukan investasi atau ekspansi di sektor media sejauh tidak

bertentangan dengan kepentingan politik rezim penguasa. Namun pemilik modal

yang “memenuhi kriteria politik” tidak sedikit, termasuk pemilik modal yang

mampu melakukan investasi di sektor televisi, maka dominasi para kroni di sektor

tersebut bisa terancam. Pertimbangan seperti itu, di samping tentu pertimbangan

politik, mungkin juga mendasari pemberian lisensi secara selektif di sektor

industri televisi, yakni lisensi hanya diberikan kepada para kroni Soeharto, tetapi

tidak kepada konglomerat lain, khususnya yang telah memiliki pengalaman di

sektor media cetak.89

Kontradiksi ketiga menyangkut posisi perkembangan kapitalisme Orde

Baru sebagai bagian dari sistem kapitalisme global. Impuls ke arah liberalisme

sistem kapitalisme global serta prinsip perdagangan bebas lintas negara telah

memunculkan kontradiksi di sektor media, yakni antara tuntutan untuk membuka

diri terhadap investasi modal asing dan kepentingan untuk melakukan proteksi

terhadap kepentingan segmen kapitalis domestik tertentu yang akan terpukul oleh

masuknya modal besar dari luar. Sejumlah pemilik modal domestik yang mampu

89 Ibid, hal: 152.

56

mengundang masuknya pemodal asing sebagai partner, khususnya para kroni

Soeharto, jelas akan diuntungkan oleh masuknya pemodal asing. Di sisi lain,

pemodal asing sendiri mungkin juga akan cenderung bekerja sama dengan para

kroni yang memiliki aset kekuasaan politik.90

Kontradiksi keempat berkaitan dengan fakta bahwa meskipun dalam era

Orde Baru usaha pers lebih merupakan capitalist venture yang sekaligus dikontrol

secara ketat oleh penguasa demi kepentingan politik penguasa, tradisi pers sebagai

“pers perjuangan” yang mempunyai misi ideal masih tetap hidup di kalangan

tertentu jurnalis senior. Generasi baru jurnalis Indonesia, walaupun oleh sejumlah

pengamat dinilai semakin banyak terdiri dari kelompok yang apolitis dan

menerima ideologi profesional yang menekankan objektifitas pemberitaan,

pemisahan fakta dan opini, dan metode-metode ilmiah dalam pengumpulan serta

analisis data, ternyata masih memiliki segmen aktivis yang bersikap kritis

terhadap Orde Baru serta terlibat atau memiliki kedekatan dengan kegiatan

advokasi sejumlah isu kemasyarakatan. Mereka memiliki konsepsi bahwa pers

adalah the fourth estate yang memainkan peran sebagai watch dog, pers tidak

boleh netral dalam masalah yang bertentangan dengan prinsip kebenaran,

keadilan, demokrasi, hak-hak azasi, dan sebagainya. Konflik-konflik antara

pimpinan atau pemilik media (yang mewakili kepentingan ekonomi usaha pers

atau kepentingan politik penguasa) dan pekerja industri media, khususnya para

jurnalis muda, telah cukup banyak diungkap.91 Kelompok jurnalis profesional ini

semakin banyak yang lulus dari perguruan tinggi, dan merupakan bagian dari

90 Ibid , hal: 153. 91 Ibid, hal: 154.

57

kelas menengah yang memiliki akses ke berbagai media serta sumber informasi

internasional dan bersikap kritis terhadap rezim penguasa.

Akhirnya, kontradiksi yang tidak kalah penting adalah antara kepentingan

industri media untuk memperoleh keuntungan dan kepentingan konsumen untuk

memperoleh informasi yang objektif, netral dan berimbang. Tuntutan untuk

memperoleh informasi dalam kualitas seperti itu khususnya muncul dari kalangan

kelas menengah yang selain memiliki daya beli (salah satu karakteristik utama

yang meningkatkan nilai lebih khalayak media sebagai komoditi di pasar

pengiklan) juga memiliki sikap kritis serta menggunakan pemberitaan media

internasional sebagai standar menilai kualitas produksi informasi media lokal.92

Kontradiksi dalam struktur industri media pada gilirannya juga melahirkan

pengelompokan sosial, yang saling berinteraksi dalam bentuk aliansi atau konflik.

Hubungan konflik, baik latent maupun manifest, secara garis besar melibatkan

kelompok rezim penguasa Orde Baru (beserta kelompok dan organisasi yang

berafiliasi pada rezim penguasa, seperti PWI, pemilik modal dan jurnalis pro-

pemerintah) dan berbagai kelompok lain dalam tubuh industri media. Para jurnalis

ada yang tetap tergabung dalam mainstream media misalnya tergabung dalam

PWI, atau memilih oposisi dengan menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen

(AJI) maupun kelompok jurnalis media alternatif (seperti SiaR, Kabar Dari Pijar)

yang lahir sebagai salah satu bentuk resistensi terhadap represi rezim penguasa

setelah kasus pembredelan tahun 1994.93

92 Ibid, hal: 155. 93 Ibid.

58

5. Pers Pasca Reformasi

Dengan berakhirnya rezim Orde Baru, industri pers tanah air mengalami

perubahan signifikan sebagai akibat dari tuntutan reformasi. Perubahan tersebut

diawali dengan deregulasi industri pers oleh Menteri Penerangan Yunus Josfiah

pada masa pemerintahan Presiden Habibie, yakni dicabutnya Permenpen No.

01/Per/Menpen/1984 tentang ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)

yang pada masa lalu menjadi dasar hukum pembredelan sejumlah media. Sebagai

gantinya, dikeluarkan surat keputusan Menteri Penerangan yang memberikan

kemudahan dalam memperoleh SIUPP (SK No. 132/1998). SIUPP bisa diperoleh

hanya dengan mengisi formulir permohonan, akte pendirian perusahaan, dan

susunan pengurus penerbitan pers. Bila pada masa Orde Baru pengajuan

permohonan SIUPP butuh rekomendasi PWI, hal itu sekarang tidak diperlukan

lagi. Pemerintahan habibie juga mencabut SK No. 47/Kep/Menpen/75 mengenai

pengukuhan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia,94

sehingga kaum jurnalis bebas membentuk organisasi wartawan dan pada sisi lain

mengakui keberadaan organisasi wartawan non pemerintah yang telah muncul

pada masa Orde baru seperti AJI.

Deregulasi ke arah liberalisasi industri pers yang ditempuh pasca Orde

Baru makin meningkatkan kondisi pasar dan meningkatkan persaingan dalam

industri pers, baik dalam merebut khalayak maupun pengiklan. Ini berarti tekanan

pasar terhadap pers akan semakin meningkat. Meningkatnya tekanan pasar secara

langsung akan amat berpotensi menempatkan dominasi kepentingan modal dalam

94 Tim Editor, “Pers Pasca Orde Baru: Rich Media Poor Democracy?”, dalam Dedy N. Hidayat dkk, “Pers

daam Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal: 451.

59

penentuan kebijakan pemberitaan serta proses-proses produksi komoditi informasi

dan hiburan.95

Deregulasi industri pers pada hakikatnya adalah penghapusan state

regulation dan diganti oleh market regulation, di mana mekanisme pasar lebih

ditentukan oleh the invisible hand berupa kaidah permintaan-penawaran, logika

sirkuit modal, rasionalitas maksimalisasi produksi dan konsumsi. Mekanisme

pasar akan menciptakan tekanan-tekanan agar setiap pelaku pasar memenuhi

kaidah, logika, serta rasionalitas yang berlaku.

Memang banyak yang menilai semakin besar peran yang dimainkan oleh

kekuatan pasar akan semakin besar pula “kebebasan” konsumen untuk melakukan

pilihan. Namun di sisi lain, “kebebasan” konsumen untuk memilih dalam pasar

bebas informasi dan hiburan itu sendiri sebenarnya dibatasi oleh berbagai kondisi

struktural. Selain itu, regulasi industri pers yang sepenuhnya diserahkan kepada

“the invisible hand” mekanisme pasar tidak selalu identik dengan kebebasan pers

atau kebebasan publik untuk mengemukakan pendapat, untuk memperoleh akses

ke media, atau memperoleh keragaman opini, versi, dan perspektif pemberitaan.96

Karena itu, tekanan pasar –yang tidak hanya berupa pemenuhan selera

publik dan kepentingan pengiklan– serta kepentingan-kepentingan akumulasi

modal, secara sistematis berpotensi mempengaruhi kualitas kebebasan pers di

tanah air dalam berbagai segi. Pertama, hanya media yang mampu memenuhi

permintaan pasar, khususnya pasar pengiklan, yang akan terus bertahan. Kedua,

95 Ibidt, hal: 452. 96 Ibid, hal: 453.

60

isu-isu yang ditampilkan oleh media cenderung terbatas pada isu-isu yang tidak

bertentangan dengan kepentingan eskpansi dan akumulasi modal di sektor industri

media.

Ketiga, bagi kelompok publik yang tidak memiliki kemampuan untuk

mengorganisasikan kekuatan massa, peluang untuk memperoleh akses ke media

guna menyuarakan isu kepentingan mereka tentu akan diperkecil oleh kepentingan

industri yang cenderung menampilkan berita yang memiliki nilai jual atau

memiliki bobot politik, karena menyangkut kepentingan kelompok politik yang

besar dan terorganisir.97

Keempat, sejumlah isu sosial, yang sebenarnya menyangkut kebutuhan

dasar segmen masyarakat tertentu, seperti isu tunawisma dan pengangguran

cenderung dinilai tidak memiliki nilai berita yang bisa dijual. Kelima, dominasi

kepentingan akumulasi modal dan keuntungan industri media akan membuat

akses ke media amat terbatas, yaitu hanya bagi mereka yang memiliki

kemampuan ekonomi. Keenam, era liberalisasi industri pers dewasa ini juga amat

berpotensi menciptakan hambatan bagi berkembangnya pers yang bebas, yang

mampu menyuarakan berbagai kepentingan publik dan memberikan akses

memadai kepada publik.98

Dengan demikian, kebebasan pers dalam konteks liberalisasi industri pers

dewasa ini tidak secara langsung merupakan kebebasan pers yang fungsional bagi

proses-proses demokratisasi. Di satu pihak, institusi pers sebagai satu kombinasi

antara kegiatan pers dan kepentingan modal memang telah terbebas dari kekangan

97 Ibid, hal: 454. 98 Ibid, hal: 455.

61

rezim penguasa, namun di lain pihak tampak semakin tidak bisa melepaskan diri

dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses “alami”

akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditi

informasi. Kebebasan pers yang fungsional bagi proses demokratisasi, yaitu

kebebasan pers yang mampu menciptakan public sphere dalam sebuah sistem

demokrasi -dimana wacana publik mengenal legitimasi penguasa berlangsung

dalam kawasan yang relatif terlindung dari intervensi politik penguasa dan

penetrasi kepentingan modal- masih harus terus diperjuangkan oleh publik.

6. Pers dan Tekanan Massa

Meskipun setelah masa reformasi pers bebas dari tekanan penguasa dan

tidak ada lagi aturan-aturan yang mengancam kebebasan pers, namun hal itu tidak

berarti pers benar-benar bebas. Ada fenomena yang cukup menonjol dalam pers

Indonesia, di mana jurnalis mengalami berbagai tekanan baik bersifat fisik seperti

penembakan, pemukulan, penusukan dan penghilangan, maupun kekerasan non

fisik seperti ancaman, teror, penghinaan, pelecehan dan pelarangan meliput.99 Jika

pada masa sebelumnya kekerasan dilakukan oleh aparat pemerintah/militer/polisi,

trend yang terjadi sekarang adalah kekerasan justru dilakukan oleh kelompok sipil

yang merasa tidak puas dengan pemberitaan sebuah media. Dalam catatan Aliansi

Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Mei 2000 sampai Mei 2001 telah terjadi

beberapa serangan fisik yang dilakukan oleh satgas partai poltik, ormas sipil

99 Hanif Suranto dkk, Laporan Tahunan 1998/1999 Pers Indonesia Pasca Soeharto, Setelah

Tekanan Penguasa Melemah, Jakarta: LSPP dan AJI, 1999, hal: 62

62

bahkan mahasiswa.100 Hampir setiap bulan selalu terjadi tindak kekerasan

terhadap wartawan, mulai dari sekedar ancaman hingga penculikan dan

penganiayaan berat yang akibatkan jatuhnya korban jiwa.

Pada periode tersebut AJI mencatat terjadi 88 kasus kekeraan terhadap

wartawan oleh masyarakat sipil. Pelakunya adalah ormas dan underbow

organisasi politik tertentu, beberapa di antaranya adalah bagian dari kelompok

berkuasa saat itu seperti Satgas PDIP, Banser/Ansor, dan pendukung

Bupati/Walikota.101 Selain dilakukan oleh kelompok yang menjadi bagian dari

kelompok penguasa, kerasan terhadap wartawan juga dilakukan oleh ormas-ormas

yang membawa nama kelompok besar masyarakat, etnis lokal mayoritas, serta

kelompok massa yang membawa nama Islam.

Peristiwa penyerbuan yang menarik perhatian publik adalah pendudukan

kantor Jawa Pos oleh orang-orang NU dan Banser-Ansor. Kejadian tersebut dipicu

oleh pemberitaan Jawa Pos yang menampilkan berita tentang PKB dan PBNU

dengan menampilkan infografis gambar ketua PBNU Hasyim Muzadi, padahal

seharusnya yang terpasang adalah gambar Hasyim wahid. Akibat pendudukan

tersebut aktivitas jurnalistik tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga pada

hari berikutnya surat kabar Jawa Pos tidak terbit.

Kelompok yang membawa atribut Islam sepanjang tahun 2000-2001 tercatat

telah melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis dan media sebanyak 11

kali.102 Paling banyak dilakukan oleh Laskar Jihad yakni 7 kali, pelaku lainnya

100 Eddy Suprapto dkk, Annual Report 2000-2001:Euforia, Konsentrasi Modal dan Tekanan

Massa, AJI, Jakarta, 2001, hal: 77 101 Ibid, hal: 80 102 Ibid, hal: 81

63

adalah Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta (FKUIS), Front Pemuda Islam

Surakarta (FPIS), Front Pembela Islam (FPI) dan Front Umat Islam (FUI).

Beberapa wartawan dari BBC, AFP, serta wartawan freelance ditangkap dan

dianiaya ketika hendak meliput aktivitas di kamp latihan Laskar Jihad. Mereka

juga diancam akan dibunuh jika memberitakan peristiwa tersebut. Di Solo, FKUIS

menuntut Pos Kita minta maaf di lima media cetak karena memuat berita yang

dinilai tendensius dan provokatif karena memuat berita tentang ancaman

pembakaran gereja-gereja di Solo.

Pengusaha juga ikut melakukan tindakan kekerasan terhadap wartawan,

masalahnya juga hampir sama, yakni tidak puas dengan pemberitaan yang dibuat

oleh media. Kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha biasanya dilakukan sendiri

atau memakai tangan orang lain. Wartawan harian Lantang diculik selama tiga

hari dan dianiaya oleh sidikat pembuat vcd porno, diduga terkait dengan

pemberitaan tentang sindikat pembuat vcd porno yang melibatkan bintang lokal

berusia muda. Sedangkan Mustafa, wartawan harian Utusan diculik dan disekap

selama berjam-jam karena mengungkap kegiatan bisnis Among, pengusaha Riau,

karena kegiatan bisnis tersebut mengandung manipulasi.103 Kekerasan oleh

pengusaha terhadap pers juga terjadi pada tahun 2003, anak buah Tomy Winata

menyerbu kantor redaksi Tempo terkait berita tentang dugaan keterlibatan Tomy

Winata dalam proyek Pasar Tanah Abang. Kasus ini Akhirnya masuk ke

pengadilan.

103 Ibid, hal: 89

64