bab ii tinjauan teori...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring
atau Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2007). Sedangkan menurut Reeves (2001) tonsilitis
merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus
β hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga
disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000). Tonsilektomi adalah pengangkatan tonsil dan
struktur adenoid, bagian jaringan limfoid yang mengelilingi faring melalui
pembedahan (Nettina, 2006)
Berdasarkan pengertian di atas kesimpulan dari penulis adalah tonsilitis
merupakan suatu peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri ataupun virus,
prosesnya bisa akut atau kronis.
1
Menurut Soepardi (2007) macam-macam tonsilitis yaitu :
1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka
kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan klien.
b. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β
hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan
tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan
detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini
menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
2
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne
bacterium diphteriae. Penularannya melalui udara, benda atau
makanan yang terkontaminasi. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak
berusia kurang dari 10 tahun frekuensi tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.
b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat
dalam susu sapi.
c. Angina plaut vincent ( stomatitis ulsero membranosa )
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala
pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.
e. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
3
B. Anatomi Fisiologi
Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari faring dan
secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin ini terdiri dari jaringan limfoid
dari dasar lidah (tonsil lidah), dua tonsil tekak, adenoid, dan jaringan limfoid pada
dinding posterior. Jaringan ini berperan sebagai pertahanan terhadap infeksi, tetapi ia
dapat menjadi tempat infeksi akut atau kronis (Behrman, 2000)
Gambar 1
Anatomi tonsil
(Price, 2006)
4
Tonsil terdiri atas:
1. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas faring dan terletak di
belakang koana.
2. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
3. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh
dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Peradangan
pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah satu gangguan
Telinga, Hidung dan Tenggorokan ( THT ).
Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral. Imunitas
seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat “memakan“ kuman dan
virus serta membunuhnya. Sedangkan imunitas humoral bekerja karena adanya sel
(limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh
kuman dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid
terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi amandel
yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang berulang ini akan
5
menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun
yang
banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat melebihi
ukuran yang normal.
(Price, 2006 ; Syaifudin, 2006)
C. Etiologi
Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh
infeksi virus (Soepardi, 2007)
D. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya, sel-sel
darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan memicu
tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi
kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri
dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang
6
berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis
akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan
menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat
menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening
melemah di dalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan,
seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72
jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus,
proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan
7
dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfe submandibula.
(Reeves, 2001)
E. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala tonsilitis seperti demam mendadak, nyeri tenggorokan,
ngorok, dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut Mansjoer
(2000) adalah suhu tubuh naik sampai 40◦C, rasa gatal atau kering di tenggorokan,
lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga).
Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring
hiperemisis, tonsil membengkak, hiperemisis.
F. Komplikasi
8
Komplikasi tonsilitis akut dan kronik adalah :
1. Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini
terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A (Soepardi, 2007)
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan
dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga (Soepardi, 2007)
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid (Soepardi, 2007)
4. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus,
bakter, lingkungan, maupun karena alergi (Reeves, 2001)
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari
sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara
dari dinding yang terdiri dari membran mukosa (Reeves, 2001)
9
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharinx. Sama halnya dengan sinusitis, rhinitis bisa berupa penyakit kronis
dan akut yang kebanyakan disebabkan oleh virus dan alergi (Reeves, 2001)
G. Tumbuh kembang anak
Tumbuh kembang anak usia sekolah (6 sampai 12 tahun) menurut Sukarmin
(2009) yaitu motorik anak usia sekolah biasanya lebih mampu menggunakan otot-otot
kasar dari pada otot-otot halus. Misalnya lompat tali, badminton, bola voly pada akhir
masa sekolah motorik halus lebih berkurang, anak laki-laki lebih aktif dari pada anak
perempuan.
Sosial emosional mencari lingkungan yang lebih luas sehingga cenderung
sering pergi dari rumahnya untuk bermain dengan teman, saat ini sekolah sangat
berperan untuk membentuk pribadi anak, di sekolah anak harus berinteraksi dengan
orang lain selain keluarganya, sehingga peranan guru sangatlah besar. Pertumbuhan
fisik anak berat badannya meningkat 2 sampai 3 kg/tahun, tinggi badan meningkat 6
sampai 7 cm/tahun.
10
H. Dampak hospitalisasi pada anak
Anak merasa cemas karena berpisah dengan kelompok sosialnya seperti
teman-temanya dan keluarga, anak kehilangan kontrol (perubahan peran dalam
keluarga, mengalami kelemahan fisik, takut mati, kehilangan kegiatan dalam
kelompok) dan reaksi terhadap nyeri (anak mampu mengkomunikasikan rasa nyeri,
mampu mengontrol perilaku jika merasa nyeri dengan cara : menggigit bibir dan
mengenggam sesuatu dengan erat).
(Sukarmin, 2009)
I. Penatalaksanaan
11
Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :
1. Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari,
jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
2. Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) dilakukan jika:
a. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
b. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
c. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
d. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut :
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur
atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klidomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
12
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3 kali
negatif.
d. Pemberian antipiretik
2. Penatalaksanaan tonsillitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical
Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya tonsilektomi
yaitu:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi
yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas,
sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
13
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa atau otitis media supurataif
(Soepardi, 2007)
Penatalaksanaan tonsilektomi :
1) Perawatan pra Operasi :
a) Lakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorok secara seksama dan
dapatkan kultur yang diperlukan untuk menentukan ada tidak dan sumber
infeksi.
b) Ambil spesimen darah untuk pemeriksaan praoperasi untuk menentukan
adanya risiko perdarahan : waktu pembekuan, pulasan trombosit, masa
protrombin, masa tromboplastin parsial
c) Lakukan pengkajian praoperasi :
Perdarahan pada anak atau keluarga, kaji status hidrasi, siapkan anak secara
khusus untuk menghadapi apa yang diharapkan pada masa pascaoperasi,
gunakan teknik-teknik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak (buku,
boneka, gambar), bicaralah pada anak tentang hal-hal baru yang akan dilihat di
kamar operasi, dan jelaskan jika terdapat konsep-konsep yang salah, bantu
14
orang tua menyiapkan anak mereka dengan membicarakan istilah yang umum
terlebih dahulu
mengenai pembedahan dan berkembang ke informasi yang lebih spesifik,
yakinkan orang tua bahwa tingkat komplikasi rendah dan masa pemulihan
biasanya cepat, anjurkan orang tua untuk tetap bersama anak dan membantu
memberikan perawatan.
2) Perawatan pascaoperasi :
a) Kaji nyeri dengan sering dan berikan analgesik sesuai indikasi.
b) Kaji dengan sering adanya tanda-tanda perdarahan pasca operasi.
c) Siapkan alat pengisap dan alat-alat nasal untuk berjaga-jaga seandainya terjadi
kedaruratan.
d) Pada saat anak masih berada dalam pengaruh anestesi, beri posisi telungkup
atau semi telungkup pada anak dengan kepala dimiringkan ke samping untuk
mencegah aspirasi
e) Biarkan anak memperoleh posisi yang nyaman sendiri setelah ia sadar
(orangtua boleh menggendong anak ).
f) Pada awalnya anak dapat mengalami muntah darah lama. Jika diperlukan
pengisapan, hindari trauma pada orofaring.
g) Ingatkan anak untuk tidak batuk atau membersihkan tenggorok kecuali jika
perlu.
h) Berikan asupan cairan yang adekuat; beri es batu 1 sampai 2 jam setelah sadar
dari anestesi. Saat muntah susah berhenti, berikan air jernih dengan hati-hati.
15
i) Tawarkan jus jeruk dingin disaring karena cairan itulah yang paling baik
ditoleransi pada saat ini, kemudian berikan es loli dan air dingin selama 12
sampai 24 jam pertama.
j) Ada beberapa kontroversi yang berkaitan dengan pemberian susu dan es krim
pada malam pembedahan : dapat menenangkan dan mengurangi
pembengkakan, tetapi dapat meningkatkan produksi mukus yang menyebabkan
anak lebih sering membersihkan tenggorokanya, meningkatkan risiko
perdarahan.
k) Berikan collar es pada leher, jika anak menjadi gelisah, lepas collar es tersebut.
l) Bilas mulut pasien dengan air dingin atau larutan alkalin.
m)Jaga agar anak dan lingkungan sekitar bebas dari drainase bernoda darah untuk
membantu menurunkan kecemasan.
n) Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak ketika anak sadar.
(Nettina, 2006)
J. Pengkajian Fokus dan Pemeriksaan Penunjang
1. Fokus pengkajian menurut Firman (2006) yaitu :
a. Wawancara
1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsilitis)
2) Apakah pengobatan adekuat
3) Kapan gejala itu muncul
16
4) Bagaimana pola makannya
5) Apakah rutin atau rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut Doenges (2000), yaitu :
a) Integritas Ego
Gejala : Perasaan takut, khawatir
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
b) Makanan atau Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi
c) Hygiene
Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk
d) Nyeri atau keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-hati
Gejala : Sakit tenggorokan kronik, penyebaran nyeri ke telinga
e) Pernapasan
Gejala : Riwayat menghisap asap rokok (mungkin ada anggota keluarga
yang merokok), tinggal di tempat yang berdebu.
f) Tenggorokan
Inspeksi : Tonsil membesar dan berwarna kemerahan.
Palpasi : Terdapat nyeri tekan, pembesaran kelenjar limfoid.
17
L. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Doenges (2000):
1. Pre Operasi
a. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake tidak adekuat.
b. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan respon inflamasi.
c. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan respon inflamasi.
d. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan akan dilakukannya
tonsilektomi.
2. Post Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
b. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sekret.
c. Risiko komplikasi : perdarahan berhubungan dengan pembedahan
d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan .
e. Risiko infeksi berhubungan dengan pemajanan mikroorganisme.
19
M. Fokus Intervensi
1. Pre Operasi
a. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil : kebutuhan nutrisi klien adekuat, tidak ada tanda malnutrisi,
mampu menghabiskan makanan sesuai porsi yang diberikan.
Intervensi :
1) Awasi masukan dan berat badan sesuai indikasi
Rasional : memberikan informasi sehubungan dengan kebutuhan nutrisi dan
keefektifan terapi
2) Auskultasi bunyi usus
Rasional : makanan hanya dimulai setelah bunyi usus membaik
3) Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai toleransi.
Rasional : kandungan makanan dapat mengakibatkan ketidaktoleransian,
memerlukan perubahan pada kecepatan
20
4) Berikan diet nutrisi seimbang (makanan cair atau halus) atau makanan
selang sesuai indikasi
Rasional : mempertahankan nutrisi yang seimbang
(Doenges, 2000)
b. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan respon inflamasi.
Tujuan : nyeri berkurang atau terkontrol.
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang, skala
nyeri menurun
Intervensi:
1) Monitor perkembangan nyeri
Rasional : mengetahui perkembangan tindakan dari yang dilakukan.
2) Monitor tanda-tanda vital darah dan nadi.
Rasional : mengetahui keadaan pasien
3) Berikan tindakan nyaman dan hiburan
Rasional : meningkatkan relaksasi dan membantu pasien memfokuskan
perhatian pada sesuatu di samping diri sendiri atau
ketidaknyamanan.
4) Selidiki perubahan karakteristik nyeri, periksa mulut dan tenggorokan.
21
Rasional : dapat menunjukkan terjadinya komplikasi yang memerlukan
evaluasi lanjutan.
5) Catatan indikator non-verbal respon automatik terhadap nyeri evaluasi efek samping
Rasional : dapat meningkatkan kerjasama dan partisipasi dalam program
pengobatan
(Doenges, 2000)
c. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan respon inflamasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh
normal
Kriteria hasil : suhu tubuh normal ( 36ºC sampai 37ºC ) tubuh tidak terasa
panas, klien tidak gelisah.
Intervensi :
1) Pantau suhu tubuh, perhatikan menggigil atau diaphoresis
Rasional : suhu 38,1°C-41,1°C menunjukan infeksius
2) Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : suhu ruangan harus diubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal.
3) Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol
Rasional : dapat membantu menurunkan suhu tubuh
4) Berikan antipiretik
Rasional : obat antipiretik sebagai obat penurun demam
22
(Doenges, 2000)
d. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan akan dilakukanya
tonsilektomi.
Tujuan : cemas berkurang atau hilang.
Kriteria hasil : kecemasan berkurang, klien tampak tenang.
Intervensi :
1) Jelaskan prosedur bedah kepada anak dan orang tua dengan menggunakan bahasa
yang sederhana.
Rasional : informasi yang demikian dapat mengurangi rasa takut dan
kecemasan dengan mempersiapkan anak dan orang tua.
2) Jelaskan bahwa tergantung waktu pembedahan, anak mungkin tidak diberi
makan atau minum setelah tengah malam pada hari pembedahan dilakukan
untuk mencegah anak muntah dan aspirasi selama pembedahan.
Rasional : anak mungkin terjadi takut jika ia tidak memperoleh makanan
atau minuman sepanjang malam, atau pagi hari sebelum
pembedahan.
3) Jelaskan kepada orang tua bahwa pembedahan mungkin tidak dilakukan
jika anak memiliki tanda dan gejala infeksi akut, termasuk peningkatan
suhu, hidung terdapat sekret, dan nyeri pada telinga pada hari pembedahan.
Rasional : pembedahan tidak dapat dilakukan dalam kondisi ini,
sehubungan dengan risiko septikemia atau infeksi meluas.
23
4) Beri tahu orang tua tentang kemungkinan lama pembedahan dan tempat
mereka menungggu selama prosedur dan periode pemulihan.
Rasional : tidak mengetahui berapa lama pembedahan berlangsung dapat
membuat orang tua cemas selama pembedahan.
5) Jelaskan kepada anak dan orang tua tentang kemungkinan kondisi pasca
operasi.
Rasional : memahami apa yang akan terjadi setelah prosedur, dapat
mengurangi rasa cemas
(Doenges, 2000)
2. Post Operasi.
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
Tujuan : tidak ada masalah tentang nyeri, nyeri dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil : melaporkan nyeri berkurang dan ekspresi wajah tampak rileks.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
Rasional : sebagai dasar penentuan intervensi berikutnya.
2) Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi atau latihan nafas dalam.
24
Rasional : teknik distraksi atau latihan nafas dalam dapat mengurangi nyeri.
3) Tingkatkan istirahat klien
Rasional : istirahat dapat melupakan dari rasa nyeri
4) Anjurkan klien untuk mengurangi nyeri dengan minum air dingin atau es,
hindarkan makanan panas, pedas, keras dan melakukan teknik relaksasi
Rasional : tindakan non analgesik diberikan dengan cara alternatif untuk
mengurangi nyeri dan menghilangkan ketidaknyamanan
5) Ciptakan lingkungan tenang dan nyaman
Rasional : menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan
istirahat.
(Doenges, 2000)
b. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret
Tujuan : jalan nafas efektif.
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan, risiko ketidakefektifan
jalan nafas dapat teratasi ditandai dengan tidak adanya sekret
Intervensi :
1) Pantau irama atau frekuensi irama pernafasan.
Rasional : pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi.
25
2) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya mengi, krekles atau
ronkhi.
Rasional : bunyi nafas krekles dan ronkhi terdengar pada inspirasi atau
ekspirasi pada respon terhadap pegumpulan sekret.
3) Kaji klien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk
pada sandaran tempat tidur.
Rasional : peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi
pernafasan
4) Dorong klien untuk mengeluarkan lendir secara perlahan.
Rasional : membersihkan jalan nafas dan membantu mencegah komplikasi
pernafasan
(Doenges, 2000)
c. Risiko komplikasi: perdarahan berhubungan dengan pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam,
diharapkan komplikasi perdarahan tidak terjadi.
kriteria hasil : Kulit tidak sianosis, tanda-tanda vital normal, klien tenang dan
rileks.
Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital.
26
Rasional : jika ada peningkatan suhu tubuh kemungkinan infeksi.
2) Kaji adanya perdarahan.
Rasional : mengetahui tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.
3) Lakukan kompres air es pada leher
Rasional : mengurangi perdarahan
4) Awasi batuk dan bicara karena akan mengiritasi luka
Rasional : batuk dan bicara meningkatkan tekanan abdomen dan dapat
mencetuskan perdarahan.
5) Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : kulit dingin, denyut nadi lemah indikasi penurunan sirkulasi
perifer.
(Doenges, 2000)
d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi.
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan risiko kekurangan
volume cairan dapat teratasi ditandai dengan tanda vital stabil,
27
membran mukosa lembab, turgor kulit baik, capilary refill time
normal.
Intervensi :
1) Kaji atau ukur dan catat jumlah perdarahan
Rasional : potensi kekurangan cairan, khususnya jika tidak ada tambahan
cairan
2) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : perubahan tekanan darah, nadi dapat digunakan untuk perkiraan
kehilangan darah.
3) Catat respon fisiologis individual pasien terhadap perdarahan, misalnya perubahan
mental, kelemahan, gelisah, ansietas, pucat, berkeringat, peningkatan suhu.
Rasional : simtomatologi dapat berguna dalam mengukur berat badan atau
lamanya episode perdarahan
4) Awasi batuk dan bicara karena akan mengiritasi luka dan menambah perdarahan
Rasional : aktifitas batuk dan bicara meningkatkan tekanan intra abdomen
dan dapat mencetuskan perdarahan langit-langit.
(Doenges, 2000)
e. Risiko infeksi berhubungan dengan pemajanan mikroorganisme.
Tujuan : menyatakan pemahaman penyebab atau faktor risiko individu.
Kriteria hasil : mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan
risiko infeksi, tidak ada tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vital
normal.
Intervensi :
28
1) Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : jika ada peningkatan suhu tubuh kemungkinan infeksi.
2) Lakukan perawatan luka aseptik dan lakukan pencucian tangan yang baik.
Rasional : mencegah risiko infeksi
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif.
Rasional : mengurangi infeksi nosokomial.
4) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
Rasional : mencegah perkembangan mikroorganisme
29