bab ii tinjauan umum akta pemberian hak … 2.pdfjaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu,...
TRANSCRIPT
35
BAB II
TINJAUAN UMUM
AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN, SERTIPIKAT HAK
TANGGUNGAN DAN OVERMACHT
1.1 Akta Pemberian Hak Tanggungan
2.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Dan Sertipikat Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah lembaga jaminan untuk benda tidak bergerak
yang berupa tanah. Menurut Boedi Harsono hak tanggungan adalah penguasaan
hak atas tanah berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan
digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil
dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur
kepadanya.1 Menurut C.S.T Kansil hak tanggungan adalah:
Jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain. Dalam arti bahwa jika debitur cidera janji kreditur pemegang Hak
Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan
jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahului dari kreditur-kreditur yang lain.2
Definisi hak tanggungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Hak Tanggungan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan
merumuskan:
1H.Salim HS II, loc.cit.
2C.S.T Kansil dan Christine ST Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hukum Hak
Tanggungan Atas Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 7.
36
Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Dari rumusan pasal diatas, maka dapat ditarik unsur-unsur dari hak tanggungan
tersebut antara lain:
1. Jaminan yang dibebankan adalah hak atas tanah;
2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
3. Untuk pelunasan hutang tertentu;
4. Memberikan kedudukan-kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Hak tanggungan merupakan salah satu perjanjian jaminan. Gerald G Thain
mendefinisikan perjanjian jaminan: (secured transaction) a secured transaction
is a matter in which there is a loan in which the creditor/secured party is given
rights in collateral that secures the loan according to its terms. If the loan is
repaid according to its terms, then the scured party’s ability to claim an interest
in the collateral is extinggushed.3 (Terjemahan bebas : perjanjian jaminan adalah
suatu kondisi yang mana terdapat suatu pinjaman dimana kreditor/pihak terjamin
memperoleh hak-hak atas atas barang jaminan yang akan menjamin hutang
tersebut dan hak-hak ini dapat dipaksakan berlakunya apabila hutang tersebut
tidak dibayarkan kembali sesuai dengan yang diperjanjikan. Jika hutang sudah
3Gerald G Thain, 2004, A Basic Outline of The Law of Secured
Transaction, Wisconsin, hal 153.
37
dibayar kembali sesuai perjanjian, maka kemampuan kreditor untuk mengajukan
tuntutan atas kepentingannnya terhadap jaminan menjadi hapus).
Definisi APHT berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Hak
Tanggungan merumuskan adalah “Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berisi
pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk
pelunasan piutangnya”. Bentuk APHT diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 Tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). APHT dibuat oleh pejabat yang
berwenang yaitu PPAT. Kewenangan PPAT untuk membuat APHT diatur dalam
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3746, selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998) yang
merumuskan:
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran, perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
38
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Berdasarkan rumusan pasal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa salah
satu wewenang PPAT adalah membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum pemberian hak tanggungan (APHT). Selain berwenang
membuat APHT wewenang lain yang dimiliki oleh seorang PPAT adalah
membuat Akta Jual beli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Inbreng, Akta
Pemberian Hak Bersama, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai, dan
SKMHT.
Sertipikat hak tanggungan adalah tanda bukti adanya hak tanggungan
yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang memuat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang
mengenai hak atas tanah.4 Sertipikat hak tanggungan terdiri dari sertipikat hak
tanggungan dan salinan APHT yang didaftarkan. Sertipikat hak tanggungan diatur
dalam Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 14 Undang-Undang Hak
Tanggungan merumuskan:
(1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku.
(2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
4Henny Tanuwidjaja, 2012, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah
Lembaga Hukum Notariat, Reflika Aditama, Bandung, hal 37.
39
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai
pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
(4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan.
(5) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak
Tanggungan.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut maka dapat didefinisikan sertipikat
hak tanggungan adalah sertipikat yang dikeluarkan oleh badan pertanahan
nasional yang menjadi tanda bukti adanya hak tanggungan, yang memuat irah-
irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.2 Subjek dan Obyek Hak Tanggungan
Subyek pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan maupun badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan terhadap obyek
hak tanggungan yang bersangkutan.5 Ketentuan ini sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang merumuskan
“Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan”. Orang perorangan yang berwenang memberikan
hak tanggungan adalah orang yang memiliki hak atas tanah (orang yang tercantum
dalam sertipikat hak atas tanah), selain itu orang tersebut juga harus cakap untuk
5Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan (Asas-Asas, ketentuan
Pokok dan Masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan), Alumni, Bandung
(selanjutnya disebut Sutan Remy Sjahdeini II), hal 75.
40
membuat suatu perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 330 KUH Perdata juncto
1330 KUH Perdata yang merumuskan tentang kecakapan.
Pasal 330 KUH Perdata merumuskan “ belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah
kawin”. Pasal 1330 KUH Perdata merumuskan:
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah
1. Orang-orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Jika orang perorangan tersebut sudah menikah, maka terdapat beberapa ketentuan
yang telah ditentukan oleh undang-undang antara lain:
1. Jika suami istri dalam perkawinan tidak membuat perjanjian kawin sehingga
terjadi percampuran harta seluruhnya, maka setiap pemberian jaminan harta
suami-istri dalam perkawinan tanpa perjanjian kawin, termasuk pemberian
jamainan kebendaan dalam bentuk hak tanggungan oleh suami atau istri harus
mendapat persetujuan dari istri atau suami yang bereda dalam persatuan harta
seluruhnya tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa harta
kekayaan dalam percampuran seluruhnya menjadi harta bersama yang terikat
menjadi satu, dimana masing-masing pihak tidak dapat berbuat bebas tanpa
persetujuan atau dengan bantuan dari pihak lainnya.
2. Jika suami-istri dalam perkawinan membuat perjanjian kawin tanpa
percampuran harta sama sekali, maka masing-masing adalah bebas untuk
memberikan penjaminan harta kekayaan, termasuk pemberian jaminan
kebendaan dalam bentuk hak tanggungan, maka pemberian jaminan maka
41
pemberian jaminan kebendaan mengikat demi hukum, hanya jika obyek hak
tanggungan yang dijaminkan secara kebendaan tersebut sah yang
memberikan penjamijan tersebut. Dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 1315
KUH Perdata juncto Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata
merumuskan “Seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri”. Pasal 1340 KUH Perdata merumuskan
“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga, persetujuan tidak dapat
memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan
dalam Pasal 1317 KUH Perdata”.
3. Jika antara suami-istri diadakan perjanjian kawin dengan percampuran harta
terbatas, maka dalam hal suami-istri memberikan penjaminan harta kekayaan,
termasuk pemberian jaminan kebendaan dalam bentuk hak tanggungan, maka
sebelum penjaminan dilakukan maka harus dibuktikan terlebih dahulu
kepemilikan dari kebendaan yang dijadikan obyek hak tanggungan. Dalam
hal:
I. Kebendaan yang dijadikan obyek hak tanggungan adalah milik
bersama yang terikat dari suami istri dalam perkawinan, maka
pemberian jaminan kebendaan, termasuk hak tanggungan harus
dilakukan bersama-sama oleh suami istri atau setidaknya salah satu
telah memperoleh persetujuan dari yang lainnya.
II. Selanjutnya jika kebendaan yang dijadikan obyek hak tanggungan
adalah milik suami atau istri secara mandiri atau bebas, maka
42
pemberian penjaminan dalam bentuk hak tanggungan dapat
dilakukan secara mandiri oleh masing-masing suami atau istri
tersebut.
Untuk badan hukum Perseroan Terbatas, pemberi hak tanggungan dan
penerima hak tanggungan ditentukan oleh anggaran dasar. Pasal 98 angka (1)
Undang-Undang Perseroan Terbatas merumuskan “ Direksi mewakili perseroan
baik didalam maupun di dalam pengadilan” Berdasarkan rumusan pasal tersebut,
maka Direksi memiliki wewenang untuk mewakili perseroan. Pasal 102 angka (1)
Undang-Undang Perseroan Terbatas merumuskan:
Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk:
a. Mengalihkan kekayaan perseroan atau;
b. Menjadikan jaminan hutang kekayaan perseroan yang merupakan lebih
dari 50 % (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih perseroan dalam 1
(satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan datu sama lain maupun
tidak.
Tindakan direksi untuk menjaminkan kekayaan perseroan wajib
mendapatkan persetujuan dari rapat umum pemegang saham, atau telah
mendapatkan persetujuan dari komisaris perseroan. Tindakan menjaminkan
kekayaan perseroan dilakukan oleh direksi, namun direksi juga dapat memberikan
kuasa kepada pegawai perseroan untuk melakukan tindakan pemberian maupun
penerimaan hak tanggungan. Ketentuan ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
103 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang merumuskan “Direksi dapat
memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan persero atau lebih, atau
orang lain untuk dan atas nama perseroan untuk melakukan tindakan hukum
tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa”.
43
Kesimpulannya Direksi dapat memberikan kuasa kepada karyawan
perseroan untuk melakukan tindakan memberi dan menerima hak tanggungan.
Penerima hak tanggungan adalah orang dan badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak berpiutang.
Penerima hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum
yang berkedukan sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan ini sebagaimana yang
dirumuskan pada Pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan yang merumuskan
“Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang”. Pemegang Hak tanggungan
berdasarkan rumusan pasal diatas adalah siapapun juga yang berwenang
melakukan perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu baik orang
perseorangan warga negara indonesia maupun orang asing dan badan hukum.6
Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah, namun tidak semua hak atas
tanah dapat dibebani hak tanggungan. Undang-Undang Hak Tanggungan sudah
menentukan hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan yaitu dalam
Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan yang merumuskan:
(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan.
(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak
Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di-
bebani Hak Tanggungan.
(3) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan
6Ibid, hal 79
44
milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas
dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
Berdasarkan rumusan pasal diatas, maka obyek hak atas tanah yang dapat
dibebani hak tanggungan antara lain:
1. Hak Milik
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
mendefinisikan hak milik sebagai “hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dimiliki orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”. Turun
menurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya
masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia maka hak miliknya dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya, sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek
pemegang hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dan tidak mempunyai batas waktu
tertentu, mudah dipertahankan dari ganggungan pihak lain dan tidak mudah
hapus. Terpenuh memiliki arti hak milik atas tanah memberi wewenang kepada
pemegang hak paling luas jika dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.7
Subjek hak milik menurut Undang-Undang Pokok Agraria adalah warga negara
Indonesia dan badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, hal ini
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal
21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria merumuskan “Hanya warga negara
Indonesia dapat mempunyai hak milik.”, sedangkan Pasal 21 ayat (2) Undang-
Undang Pokok Agraria merumuskan “ Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan
7Urip Santoso, op.cit, hal 90.
45
hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya”. Badan hukum
yang dapat mempunyai tanah hak milik diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat
Mempunyai Hak Milik Atas Tanah yaitu bank-bank yang didirikan oleh negara,
badan keagamaan, koperasi pertanian, dan badan sosial.8
2. Hak Guna Usaha
Hak guna usaha berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Agraria adalah “ Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut
dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”. Subjek
hak guna usaha menurut Pasal 30 Undang-Undang Pokok Agraria juncto Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643,
selanjutnya disebut PP Nomor 40 Tahun 1996) adalah warga negara Indonesia
dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia (badan hukum Indonesia).
Jangka waktu hak guna usaha menurut Pasal 29 Undang-Undang Pokok
Agraria paling lama adalah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk pertama kalinya dan
dapat diperpanjang paling lama selama 25 (dua puluh lima) tahun. Pasal 8
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik
8Urip Santoso, op.cit, hal 93.
46
Indonesia Tahun 1996 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643, selanjutnya disebut PP Nomor 40 Tahun
1996) mengatur jangka waktu hak guna usaha untuk pertama kalinya paling
lama 35 (tiga puluh lima) tahun, dapat diperpanjang paling lama 25 (dua puluh
lima) tahun dan dapat diperbaharui selama 35 (tiga puluh lima) tahun.
3. Hak Guna Bangunan
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
hak guna bangungan adalah ”Hak guna bangungan adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Terjadinya hak guna bangunan
berdasarkan asal tanahnya dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu hak guna bangunan
atas tanah negara, hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan, dan hak guna
bangunan atas tanah hak milik. Jangka waktu hak guna bangunan atas tanah
negara dan hak guna bangunan atas hak pengelolaan paling lama adalah 30 (tiga
puluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun, sedangkan hak
guna bangunan atas tanah hak milik adalah paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan
tidak ada perpanjangan jangka waktu.9 Subjek pemegang hak guna bangunan
menurut Pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria adalah warga negara Indonesia
dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia (badan hukum Indonesia).
4. Hak Pakai
9Urip Santoso, op.cit, hal 109.
47
Hak pakai diatur dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Agraria. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria merumuskan
definsi hak pakai:
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan ketentuan Undang-undang ini.
Subyek hak pakai sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 42 Undang-
Undang Pokok Agraria adalah warga negara Indonesia, Orang-Orang yang
berkedudukan Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum yang memiliki perwakilan di
Indonesia. Asal tanah hak pakai adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah hak milik dan tanah hak pengelolaan.
Terjadinya hak pakai berdasarkan asal tanahnya dibagi menjadi 3 (tiga)
yaitu hak pakai atas tanah negara, hak pakai atas tanah hak pengelolaan, hak
pakai atas tanah hak milik. Ketiga jenis hak pakai tersebut memilik jangka waktu
yang berbeda. Untuk hak pakai atas tanah negara dan hak pakai atas tanah hak
pengelolaan memiliki jangka waktu pertama kali paling lama 25 (dua puluh lima)
tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun,
dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima)
tahun. Hak pakai atas hak milik memiliki jangka waktu paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi. Undang-Undang Pokok
Agraria tidak mengatur bahwa hak pakai dijadikan jaminan hutang dengan
48
dibebani hak tanggungan. Pembebanan hak pakai dengan hak tanggungan diatur
dalam Pasal 53 PP Nomor 40 Tahun 1996 yaitu hak pakai atas tanah negara dan
hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat dibebani hak
tanggungan, sedangkan hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat dijadikan
jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.10
5. Hak Atas Tanah Berikut Bangunan, Tanaman, Dan Hasil Karya.
Obyek hak tanggungan berikutnya adalah hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan
dengan tanah dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan didalam akta pemberian hak atas
tanah yang bersangkutan. Hal ini berarti segala bangunan dan hasil karya serta
tanah yang berada diatas hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan
merupakan bagian dari obyek hak tanggungan tersebut
Selain kelima jenis hak atas tanah tersebut diatas, obyek hak tanggungan
juga dapat berupa bangunan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun
yang berdiri diatas hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Tanah hak
milik yang sudah diwakafkan tidak dapat dibebani hak tanggungan, karena sifat
dan tujuannya tidak lagi dapat dipindahtangankan, demikian pula tanah yang
digunakan sebagai sarana peribadahan. Tanah tersebut baru boleh dibebani hak
10
Urip Santoso, op.cit, hal 120.
49
tanggungan bila tidak lagi digunakan sebagai sarana peribadahan sehingga dapat
dipindahtangankan dan dibebani hak tanggungan.11
Hak tanggungan memiliki asas yang mendasarinya. Asas-asas ini didasari
oleh ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Asas-asas
tersebut antara lain;
1. Asas Droit De Preference
Hak Tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan
dibandingkan kreditur yang lain. Asas ini dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan merumuskan:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.
Asas droit de preference berarti hak tanggungan memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu dengan kreditor-kreditor lainnya.12
Hak Tanggungan bisa dibebankan lebih dari satu kreditur. Penentuan peringkat
hak tanggungan hanya dapat ditentukan berdasarkan pada saat pendaftarannya.
Apabila pendaftarannya dilakukan pada saat yang bersamaan barulah peringkat
11
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Djambatan, Jakarta, hal
427. 12
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan
Widjaja I), hal 145.
50
hak tanggungan ditentukan berdasarkan pada saat pembuatan APHT. Hal ini
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Hak Tanggungan yang
merumuskan:
(1) Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.
(2) Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu
Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan
menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama
ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu dengan kreditor-
kreditor lainnya kemudian diterapkan didalam Pasal 20 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Hak Tanggungan. Pasal 20 ayat (1) huruf b Undang-Undang Hak
Tanggungan merumuskan:
Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak
tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan pada
dasarnya mengatur bahwa hak tanggungan diberikan sebagai jaminan pelunasan
utang, yang bersifat mendahulukan kreditor yang berkedudukan sebagai
pemegang hak tanggungan untuk menjual tanah yang menjadi obyek hak
tanggungan apabila debitur yang memberikan hak tanggungan melakukan
wanprestasi. Ini diartikan bahwa kreditor memiliki hak untuk mengambil
pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan dari obyek yang telah
dibebani hak tanggungan tersebut. Jika hasil penjualan lebih besar dari nilai
51
pertanggungan yang tercantum dalam APHT maka sisanya akan dikembalikan
kepada debitur selaku pemberi hak tanggungan.
2. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-Bagi (Onsplitsbaarheid)
Pasal 2 Undang-Undang Hak Tanggungan mengatur bahwa Hak
Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Secara lengkap
Pasal 2 Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan:
(1) Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(2) Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan,
bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara
angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah
yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan
dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak
Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk
menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Tidak dapat dibagi-bagi (onsplitsbaarheid) bermakna bahwa hak
tanggungan membebani secara utuh obyek hak tanggungan dan setiap bagian
daripadanya, meskipun sebagian utang yang dijaminkan telah dilunasi tidak
berarti bahwa sebagian obyek hak tanggungan tersebut telah dinyatakan lunas.
Hal ini karena hak tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek hak
tanggungan sebagai satu kesatuan untuk sisa utang yang belum dilunasi.13
Pasal
2 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan kemudian memberikan suatu
pengecualian atas pemberlakuan asas ini yaitu dengan diperjanjikan secara tegas
dalam APHT.
13
Ibid, hal 146.
52
3. Hak Tanggungan Hanya Dibebankan Pada Hak Atas Tanah Yang Telah Ada
Asas ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan.
Pasal 8 ayat (2) merumuskan “Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada
pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan”.
Asas ini sebelumnya juga sudah ada dalam hipotek. Menurut Pasal 1175
KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan pada benda-benda yang sudah
ada. Hipotek atas benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari adalah batal,
begitupun juga dengan hak tanggungan. Ini berarti obyek hak tanggungan sudah
harus ditentukan sebelumnya yaitu hak atas tanah yang sudah berbentuk
sertipikat. Jika tanah yang akan dijaminakan masih berupa pipil, maka harus
status pipil tersebut harus ditingkatkan menjadi sertipikat melalui proses konversi
pipil menjadi sertipikat yang dilakukan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional
berdasarkan permohonan pemilik pipil tersebut. Hal ini harus dilakukan karena
hak tanggungan hanya dapat dibebankan terhadap tanah yang secara yuridis sudah
tercatat dalam buku tanah yang ada di Badan Pertanahan Nasional.
4. Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Selain Atas Tanahnya Juga Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan mengatur
tentang obyek hak tanggungan. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan
merumuskan sebagai berikut:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
53
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Kesimpulan dari rumusan pasal diatas adalah yang bisa dijadikan jaminan
bukan hanya yang berkaitan dengan tanah saja melainkan juga benda-benda yang
berada diatas tanah yang dibebani hak tanggungan dan merupakan milik
pemegang hak atas tanah tersebut. Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, hal-
hal ikutan seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai benda-benda yang
berkaitan dengan tanah.
5. Hak Tanggungan Adalah Perjanjian Accesoir
Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri
sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan
perjanjian Induk. Perjanjian induk bagi perjanjian hak tanggungan adalah
perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin.14
APHT
ditandatangani setelah dilakukan penandatanganan perjanjian induk yang berupa
hutang piutang atau perjanjian kredit. Sifatnya sebagai perjanjian accecoir
keberadaan hak tanggungan sangat bergantung pada keberadaan perjanjian kredit
sebagai perjanjian pokoknya. Apabila kredit yang dijamin dengan hak tanggungan
tersebut tersebut telah lunas, maka hak tanggungan tersebut menjadi hapus.
6. Hak Tanggungan Dapat Beralih atau Dipindahkan
Hak tanggungan lahir dari suatu perjanjian yang bersifat accesoir yang
mengikuti perikatan pokok yaitu perjanjian kredit. Sejalan dengan hal itu Pasal 16
Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan sebagai berikut:
14
Ibid, hal 28.
54
(1) Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie,
subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut
beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
(2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku
tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek
Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat Hak
Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Tanggal pencatatan pada buku-tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat
yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika
hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari
kerja berikutnya.
(5) Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari
tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Ketentuan pasal diatas telah secara tegas merumuskan bahwa hak tanggungan
dapat beralih, dengan terjadinya peralihan atau perpindahan hak miik atas piutang
yang dijaminan dengan hak tanggungan tersebut, peralihan atau perpindahan hak
milik atas piutang tersebut, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 16 ayat
(1) Undang-Undang Hak Tanggungan.
7. Hak Tanggungan Dapat Dijadikan Jaminan Untuk Utang Yang Telah Ada
Hak Tanggungan memperbolehkan menjaminkan hutang yang akan ada,
sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan:
Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa
utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu
atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan
dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain
yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.
55
Utang yang dijamin dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang
sudah ada maupun yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan sebelumnya.15
Contoh utang yang sudah ada misalnya utang yang timbul dari perjanjian kredit
antara bank selaku kreditor dan masyarakat selaku debitur. Jumlahnya pun dapat
ditentukan secara tetap di dalam perjanjian yang bersangkutan dan dapat pula
ditentukan kemudian berdasarkan cara perhitungan yang ditentukan dalam
perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan,
misalnya utang bunga atas pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang
jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.
Perjanjian yang dapat menimbulkan hubungan utang-piutang dapat berupa
perjanjian pinjam-meminjam maupun perjanjian lain, misalnya perjanjian
pengelolaan harta kekayaan orang yang belum dewasa atau yang berada dibawah
pengampuan, yang diikuti dengan pemberian hak tanggungan oleh pihak
pengelola (Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan).
8. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih Dari Satu Hutang
Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu hutang. Hal ini
didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Hak
Tanggungan yang merumuskan “Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu
hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang atau lebih
yang berasal dari beberapa hubungan hukum”.
15
Sutan Remy Sjahdeini II, op.cit, hal 29.
56
9. Hak Tanggungan Mengikuti Obyeknya (Droit De Suite.)
Hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek hak tanggungan itu
beralih kepada pihak lain. Asas ini termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Hak
Tanggungan yang merumuskan, “Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya
dalam tangan siapapun objek tersebut berada”. Asas ini disebut juga sebagai asas
droit de suite. Pemiliki dengan hak kebendaan tersebut berhak untuk menuntutnya
kembali, dengan atau tanpa disertai dengan ganti kerugian.16
10. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan Atas Tanah Tertentu
Asas ini merupakan asas spesialis dari hak tanggungan, baik subyek,
obyek maupun utang yang dijamin. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf e ”uraian
yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan”. Maksudnya ketentuan pasal
tersebut adalah rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan atau
bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai
kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya. Hal ini juga menghindari salah
eksekusi karena tanah yang dijadikan obyek hak tanggungan sudah jelas
disebutkan.
11. Hak Tanggungan Wajib Diumumkan (Asas Publisitas)
Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan merumuskan “Hak
Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4). Ketentuan yang ada dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-
Undang Hak Tanggungan tersebut secara tegas telah dijelaskan bahwa saat
pendaftaran pembebanan hak tanggungan adalah saat lahirnya hak tanggungan
16
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja I, op.cit, hal 171.
57
tersebut. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka hak tanggungan dianggap tidak
pernah ada. Selain itu hanya dengan pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi
umum memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya
pembebanan hak tanggungan atas suatu tanah.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini sebagaimana dikutip Supriadi
mengemukakan asas publisitas ini merupakan asas yang terdapat dalam hipotik
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1179 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa pembukuan hipotek harus dilakukan dalam register umum yang khusus
disediakan untuk itu. Jika pembukuannya demikian tidak dilakukan, hipotik yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan apapun, juga tidak mempunyai kekuatan
terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijaminkan dengan hipotek) .17
12. Hak Tanggungan Dapat Diberikan Dengan Disertai Dengan Disertai Janji-Janji
Tertentu
Asas hak tanggungan ini termuat dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-
Undang Hak Tanggungan. Janji-janji yang disebutkan dalam pasal ini bersifat
fakultatif yang artinya boleh dicantumkan atau tidak, baik seuruhnya maupun
sebagian dan tidak limitatif atau dapat diperjanjikan lain selain yang disebutkan
dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan.
13.Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan Untuk Dimiliki Sendiri Oleh
Pemegang Hak Tanggungan Apabila Cedera Janji
Pengaturan mengenai asas ini terdapat dalam Pasal 12 Undang-Undang
Hak Tanggungan merumuskan “Janji yang memberikan kewenangan kepada
17
Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal 182.
58
pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila
debitor cidera janji, batal demi hukum”. Ketentuan ini ada dalam rangka
melindungi kepentingan debitor dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama
jika nilai obyek hak tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin.
Pemegang hak tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik
obyek hak tanggungan karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah
dilarang bagi pemegang hak tanggungan untuk menjadi pembeli obyek hak
tanggungan asalkan melalui prosedur eksekusi hak tanggungan yang diatur
dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan.
14. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah Dan Pasti
Prioritas pertama pemegang hak tanggungan adalah untuk menjual
obyek hak tanggungan apabila terjadi cidera janji. sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Titel eksekutorial yang
terdapat dalam sertifikat hak tanggungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, obyek hak tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan
dengan hak mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya. Dengan
disebutkannya 2 (dua) dasar eksekusi diatas dalam Pasal 20 Undang-Undang
Hak Tanggungan, terpenuhi maksud pembentukan undang-undang akan cara
pelaksanaan eksekusi yang mudah dan pasti.
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan hak tanggungan
adalah lembaga jaminan untuk benda tidak bergerak yang berupa tanah. Subyek
59
pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan maupun badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan terhadap obyek haak
tanggungan yang bersangkutan subyek penerima hak tanggungan adalah orang
perorangan atau badan hukum yang berkedukan sebagai pihak yang berpiutang.
Obyek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan hak
pakai, baik atas hak milik maupun atas negara dan hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas
tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan didalam akta pemberian
hak atas tanah yang bersangkutan.
Asas-asas yang mendasari hak tanggungan antara lain asas droit de
preference hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (onsplitsbaarheid), hak
tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada, hak
tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, hak tanggungan adalah perjanjian accesoir, hak
tanggungan dapat beralih atau dipindahkan, hak tanggungan dapat dijadikan
jaminan untuk utang yang telah ada hak tanggungan dapat menjamin lebih dari
satu hutang, hak tanggungan mengikuti obyeknya (droit de suite) hak tanggungan
hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu, hak tanggungan wajib diumumkan
(asas publisitas), hak tanggungan dapat diberikan dengan disertai dengan disertai
janji-janji tertentu, hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki
sendiri oleh pemegang hak tanggungan apabila cedera janji dan pelaksanaan
eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti.
60
2.1.3 Tata Cara Penetapan Akta Pemberian Hak Tanggungan
Tata cara penetapan pemberian hak tanggungan dalam Undang-Undang
Hak Tanggungan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu yang pertama pemberian hak
tanggungan melalui SKMHT yang dilanjutkan dengan APHT dan yang kedua
melalui APHT. Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan
SKMHT digunakan dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir
dihadapan PPAT, diperkenankan penggunaan SKMHT. Sejalan dengan itu, surat
kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi hak tanggungan dan harus
memenuhi persyaratan. Untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar, wajib diikuti
dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan,
sedangkan terhadap hak atas tanah yang belum terdaftar harus dipenuhi dalam
waktu 3 (tiga) bulan.18
Alasan lain penggunaan SKMHT adalah sertipikat hak
atas tanah yang akan menjadi jaminan belum melalui proses cheking pada kantor
Badan Pertanahan Nasional setempat. Sehingga tidak bisa dilakukan pengikatan
dengan APHT langsung.
Pemberian hak tanggungan yang didasarkan oleh SKMHT diatur dalam
Pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pasal 15 Undang-Undang hak
Tanggungan merumuskan;
(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta
notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada
membebankan Hak Tanggungan;
b. tidak memuat kuasa substitusi;
18
Adrian Sutendi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,
hal 62.
61
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan
nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila
debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali
atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa
tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah
yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
(4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah
yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku
dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk
menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang
ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau
waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat batal demi hukum.
Berdasarkan rumusan pasal diatas, maka substansi yang terdapat dalam SKMHT
antara lain :
a. Tanggal ditandatanganinya surat kuasa
b. Identitas para pihak yang terlibat
c. Obyek kuasa, yaitu hak atas tanah, luas dan lokasi tanah
d. Janji –janji baik dari pemberi kuasa maupun dari penerima kuasa
e. Identitas saksi dan tanda tangan para pihak.
SKMHT merupakan kuasa untuk membebankan hak tanggungan ini
meliputi kuasa untuk menghadap pejabat (dalam hal ini Notaris atau PPAT dan
pejabat di Kantor Badan Pertanahan Nasional) untuk memberikan keterangan-
keterangan yang diperlukan dalam proses pemberian dan pendaftaran hak
tanggungan, serta memperlihatkan dan menyerahkan surat-surat yang diminta,
62
membuat/minta dibuatkan serta menandatangani APHT serta surat-surat lain yang
diperlukan.
Dalam SKMHT pemberi kuasa memberi pernyataan bahwa obyek hak
tanggungan benar milik pemberi kuasa, tidak tersangkut dalam sengketa, bebas
dari sitaan dan dari beban-beban apapun. Selain itu dalam SKMHT juga
mencantumkan janji-janji dari pemberi kuasa (debitur atau penjamin) dan dari
penerima kuasa (kreditur). Kuasa yang diberikan dengan SKMHT ini tidak dapat
ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan tidak berakhir karena sebab apapun
kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT.
Pemberian hak tanggungan dengan APHT diatur dalam Pasal 10 Undang-
Undang Hak Tanggungan. Pasal 10 Undang-Undang Hak Tanggungan
merumuskan:
(1) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian
utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut.
(2) Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan
tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan Hapusnya hak tanggungan.
Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan isi yang sifatnya wajib
untuk sahnya APHT. Ketentuan mengenai isi APHT tersebut yang sifatnya wajib
bagi sahnya pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Jika tidak
63
dicantumkan secara lengkap maka APHT yang besangkutan batal demi hukum.19
Substansi dari APHT diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Hak Tanggungan
yang merumuskan:
(1) Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan
apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia,
baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia,
dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT
tempat pembuatan Akta Pemberian HakTanggungan dianggap
sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
(2) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji,
antara lain:
a. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di
muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari
pemegang Hak Tanggungan;
b. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali
dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
c. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh
cidera janji;
d. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk menyelamatkan obyek HakTanggungan, jika hal
itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah
menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak
Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan
undang-undang;
e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan
apabila debitor cidera janji;
19
Boedi Harsono, op.cit, hal 441.
64
f. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama
bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak
Tanggungan;
g. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan
haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak
Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau
dicabut haknya untuk kepentingan umum;
i. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh
atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak
Tanggungan diasuransikan;
j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek
Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
k. janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Berdasarkan rumusan pasal diatas, maka hal –hal yang dimuat dalam APHT
antara lain:
1. Tanggal dibuatnya APHT.
2. Subyek dalam akta, yaitu pemberi hak tanggungan (debitur) dan
penerima hak tanggungan (kreditur).
3. Obyeknya, yaitu hak atas tanah.
4. Janji-janji sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 11 ayat (2)
undang-undang hak tanggungan.
5. Asuransi.
6. Domisili hukum yang dipilih para pihak jika terjadi sengketa.
7. Identitas para saksi.
8. Tandatangan para pihak, saksi dan PPAT.
Pendaftaran APHT dirumuskan dalam Pasal 13 hingga Pasal 14 Undang-
Undang Hak Tanggungan. Setelah APHT dibuat oleh PPAT dan kemudian
65
ditandatangani oleh para pihak, kemudian APHT tersebut bersama warkah dan
sertipikat tanda bukti hak atas tanah didaftarkan di kantor pertanahan setempat.
Tata cara pendaftaran dikemukan sebagai berikut:
1. PPAT dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah ditandatangani, APHT dan
warkah lainnya wajib didaftarkan kepada kantor pertanahan setempat.
Warkah tersebut antara lain
a. Surat pengantar dari PPAT rangkap 2 (dua) dan memuat daftar
jenis surat-surat yang disampaikan.
b. Surat permohonan hak tanggungan dan penerima hak tanggungan.
c. Fotocopy surat identitas pemberi dan pemegang hak tanggungan.
d. Sertipikat asli hak atas tanah yang dijadikan obyek hak
tanggungan.
e. Lembar kedua APHT.
f. Salinan APHT yang telah diparaf oleh PPAT yang kemudian
disahkan sebagai salinan oleh Kepala kantor Pertanahan untuk
pembuatan hak tanggungan.
g. Bukti pelunasan biaya pendaftaran hak tanggungan (Pasal 1
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak
Tanggungan).20
2. Kantor pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya
dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan
20
Salim HS I, op.cit, hal 180.
66
serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
3. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran.
Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka buku tanah yang
bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.
Pendaftaran tentu memiliki fungsi. Fungsi Pendaftaran APHT pada kantor
Badan Pertanahan Nasional antara lain:
1. Untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya hak tanggungan
terhadap para pihak dan pihak ketiga.
2. Untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak atau
berwenang bahwa tanah tersebut telah dibebankan hak tanggungan.
3. Hak tanggungan yang lahir lebih dahulu memiliki kedudukan yang lebih
tinggi daripada yang lahir kemudian.
4. Untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditur bahwa manakala
debitor cedera janji, maka kreditur mendapat hak preferen sehingga
mendahului dari kreditor-kreditor lain.
5. Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditur terhadap gangguan
pihak ketiga.
67
6. Apabila APHT itu didaftarkan dalam register umum, maka janji yang
terdapat dalam APHT mempunyai daya berlaku kebendaan dan juga
berkekuatan terhadap seorang pemegang/atau pemilik baru.21
Tidak dilakukannya pencatatan akan mengakibatkan tidak berlakunya
perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak terhadap pihak ketiga. Pihak
ketiga boleh percaya pada publikasi yang telah dilakukan, kecacatan dalam
publikasi tidak dapat dipergunakan untuk merugikan hak dan kepentingan pihak
ketiga yang beritikad baik.22
Hak tersebut berarti publikasi dan pencatatan
diabaikan, maka para pihak tidak dapat mendalilkan hubungan yang ada diantara
para pihak terhadap pihak ketiga.
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan pemberian hak
tanggungan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian hak tanggungan
dengan SKMHT yang kemudian dilanjutkan dengan APHT, dan yang kedua
dengan APHT. APHT tersebut bersama warkah dan sertipikat tanda bukti hak atas
tanah didaftarkan di kantor pertanahan setempat paling lambat 7 (tujuh hari)
setelah ditandatangani. Badan Pertanahan Nasional membuat buku tanah hak
tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi
obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas
21
Herowati Poesoko, 2007, Parate Execute Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma dan kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang
PREESindo, Yogyakarta, hal 108. 22
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Kebendaan Pada
Umumnya, Prenada Media, Jakarta (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja II ) hal 67.
68
tanah yang bersangkutan. Kemudian dikeluarkan sertipikat hak tanggungan dan
sertipikat hak atas tanah yang sudah dibebani hak tanggungan.
2.1.4 Fungsi Sertipikat Hak Tanggungan
Sertifikat hak tanggungan merupakan tanda bukti seseorang mempunyai
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang dimiliki oleh pemberi
jaminan atau debitur, hak tanggungan ini yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada pemegang hak tanggungan dibandingkan kreditur-kreditur
lainnya. Setelah diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional sertifikat hak
tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan beserta salinan APHT
dan sertipikat hak atas tanah yang sudah dibebani hak tanggungan.
Setelah sertipikat hak tanggungan terbit maka sertipikat hak tanggungan,
salinan APHT dan asli sertipikat hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan
diserahkan kembali kepada kreditur (bank) dan disimpan sampai hutangnya lunas.
Selain sebagai bukti jaminan, sertipikat hak tanggungan juga berfungsi sebagai
sebagai alas hak untuk melaksanakan eksekusi bila debitur wanprestasi. Hal ini
disebabkan karena dalam sertipikat hak tanggungan terdapat irah-irah “Demi
Keadailan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang membuat sertipikat hak
tanggungan memiliki kekuataan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Nilai yang dapat
ditagih oleh bank atas eksekusi hak tanggungan tersebut hanya sebesar nilai yang
tercantum dalam APHT.
Berdasaran pemaparan diatas maka dapat disampaikan bahwa fungsi
sertipikat hak tanggungan adalah sebagai tanda bukti kreditur atas hak tanggungan
69
yang diperolehnya dari pemegang hak tanggungan. Fungsi kedua adalah sebagai
dasar eksekusi langsung terhadap jaminan debitur jika kelak debitur melakukan
wanprestasi terhadap kreditur.
1.2 Overmacht
2.2.1 Pengertian Overmacht
Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris yaitu overmarcht,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan force majeur. Overmacht atau
keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaannya. Menurut Riduan Syahrani overmacht sebagai suatu keadaan
sedemikian rupa karena keadaan mana suatu perikatan terpaksa tidak dapat
dipenuhi dan peraturan hukum terpaksa tidak diindahkan sebagaimana mestinya.23
Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244 KUH
Perdata sampai Pasal 1245 KUH Perdata dan Pasal 1444 KUH Perdata sampai
dengan Pasal 1445 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata merumuskan:
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi
dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang
tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu
pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.
Pasal 1245 KUH Perdata merumuskan: “Tidaklah biaya rugi dan bunga,
harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian
tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
23
Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,
Alumni, Bandung (selanjutnya disebut Riduan Syahrani II), hal 234.
70
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang”. Selanjutnya Pasal 1444 KUH Perdata merumuskan:
(1) Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat
diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu
musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
(2) Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan
ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak
terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan
cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan
kepadanya.
(3) Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang
dimajukannya itu.
(4) Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau
hilang, hilangnya barang itu tidak sekali-kali membebaskan orang yang
mencuri barang dari kewajibannya mengganti harganya.
Pasal 1445 KUH Perdata merumuskan “Jika barang yang terutang, di luar
salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka
si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi
mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan
tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.” Definisi overmacht
selain dalam KUH Perdata, juga dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan yang lain lain antara lain:
a) Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1999 Nomor
54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833)
merumuskan bahwa keadaan memaksa atau force majeur sebagai suatu
kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemampuan para pihak yang
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
71
b) Pasal 29 ayat (1) keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran negara
Republik Indonesia Nomor 4330) yang dimaksud dengan keadaan kahar
adalah suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak sehingga
kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi
Selain definisi dari peraturan perundang-undangan, definisi Overmacht
juga dikemukakan oleh para Sarjana antara lain:
1. R Subekti mendefinisikan overmacht sebagai keadaan debitur
menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu
disebabkan oleh hal hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan dimana
ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang
timbul diluar dugaan tadi, atau dengan kata lain hal tidak terlaksananya
perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah karena
kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah satu alpa dan orang yang
tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi yang diancamkan atas kelalaian.24
2. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir pendapat Vollmar
mendefinisikan overmacht adalah suatu keadaan dimana debitur sama
sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau
masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan
24
R. Subekti, 1992, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta (selanjutnya
disebut R. Subekti I), hal 55.
72
pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa diluar
kemampuan manusia dan menimbulkan kerugian yang sangat besar.25
3. R.Setiawan mendefinisikan overmacht adalah suatu keadaan yang terjadi
setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya. Dalam hal ini debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak
harus menanggung risiko serta hal tersebut tidak dapat diduga pada
waktu persetujuan dibuat.26
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan overmacht atau
keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan
prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaanya, seperti bencana alam dan lain-lain.
2.2.2 Unsur-Unsur Overmarcht
Berdasarkan rumusan pasal dan pendapat para sarjana, maka dapat
disimpulkan unsur-unsur Overmarcht terdiri dari:
a. Peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya.
b. Debitur tidak dapat dipertanggungjawabkan.
c. Debitur tidak memiliki itikad buruk.
d. Suatu keadaan yang tidak disengaja oleh debitur.
e. Keadaan tersebut dapat menghalangi debitur untuk memenuhi prestasi
atau kewajiban.
25
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perdata, Hukum bagian
A, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
(selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I ), hal 20.
26
R.Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin,
Bandung, hal 27.
73
f. Jika prestasi dilakukan maka akan terkena larangan atau sanksi.
g. keadaan diluar kesalahan debitur.
h. Debitur tidak mengalami kegagalan dalam memenuhi prestasi.
i. Kejadian/keadaan tersebut tidak dapat dihindari oleh debitur maupun
pihak lain.
j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan maupun kelalaian.
2.2.3 Ruang Lingkup Overmarcht
Berbagai peristiwa dan keadaan dapat menyebabkan overmacht. Ruang
lingkup overmacht pun dalam berbagai peraturan berbeda beda. Hal ini
disebabakan karena karakteristik tiap peraturan berbeda-beda. Peristiwa alam
merupakan peristiwa yang paling sering menyebabkan terjadinya overmacht,
karena sangat sulit untuk memprediksi peristiwa alam yang akan terjadi. Berikut
ruang lingkup overmacht dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan
kontrak kerja:
a. Ruang Lingkup overmacht dalam Peraturan Perundang-Undangan.
1. Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa
- Peperangan;
- Kerusuhan;
- Revolusi;
- Bencana alam seperti banjir, gempa bumi,gunung meletus,tanah
longsor;
- Pemogokan;
- Kebakaran;
74
- Gangguan industri lain.
2. Peraturan Perbankan.
- Kerusuhan massa;
- Perang;
- Sabotase;
- Kebakaran;
- Bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dibenarkan oleh
penguasa atau pejabat dari instansi terkait didaerah setempat.27
3. Peraturan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan.
- Amukan masa;
- Keadaan yang secara teknis tidak mungkin dielakkan oleh
pengemudi;
4. Peraturan Pertambangan Minyak dan Batu Bara.
- Perang;
- Kerusuhan sipil;
- Pemberontakan;
- Epidemic;
- Gempa bumi;
- Banjir;
- Kebakaran;
- Bencana alam diluar kemampuan manusia.
27
Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal 78
75
- Selain itu dalam peraturan pertambangan dan mineral dikenal
istilah “keadaan yang menghalangi” yang terdiri dari
i. Blokade;
ii. Pemogokan;
iii. Perselisihan perburuhan diluar kesalahan pemegang IUP
(Izin Usaha Pertambangan) atau IUPK (Izin Usaha
Pertambangan Khusus) dan;
iv. Peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh
pemerintah yang menghambat kegiatan usaha
pertambangan yang sedang dilaksanakan.
b. Ruang Lingkup overmacht dalam beberapa Kontrak
1. Kontrak karya
- Peperangan;
- Pemberontakan;
- Kerusuhan sipil;
- Blokade;
- Sabotase;
- Embargo;
- Pemogokan dan perselisihan perburuhan lainnya;
- Keributan;
- Epidemic;
- Gempa bumi;
76
- Angin ribu banjir atau keadaan keadaan cuaca lainnya yang
merugikan;
- Ledakan;
- Kebakaran;
- Petir;
- Perintah atau petunjuk (adverse order atau direction)
pemerintahan atau perangkatnya atau subdivisinya yang
merugikan;
- Kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar
terhadap kegiatan perusahaan.28
2. Kontrak Agen Pembayaran Jumlah Bunga dan Pokok Obligasi
Kepada Pemegang Obligasi oleh PT KSEI melalui Pemegang
Rekening untuk dan atas nama Perusahaan Terdaftar.
- Banjir;
- Gempa bumi;
- Gunung meletus;
- Perang;
- Pemogokan;
- Bencana nuklir;
- Huru hara;
- Perdagangan efek dibursa efek dihentikan untuk sementara
waktu atau dibatasi oleh instansi yang berwenang;
28
Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal 79.
77
- Perubahan di bidang politik, pasar modal, ekonomi, dan
moneter;
- Perubahan di bidang terkait dengan usaha perusahaan
terdaftar dan;
- Terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang
bersifat nasional.29
Dari uraian diatas, secara garis besar penyebab overmacht dapat
dikelompokan menjadi 5 (lima) yaitu.
1) Overmacht Karena Faktor Alam
Overmacht karena faktor alam adalah overmacht yang disebabkan oleh
keadaan alam yang tidak dapat diduga dan dihindari oleh setiap orang karena
bersifat alamiah tanpa unsur kesengajaan. Peristiwa termasuk dalam
overmacht ini adalah banjir, tanah longsor, gempa bumi, badai, guntur,
gunung meletus, topan, cuaca buruk, petir, gelombang pasang, keadaan
keadaan cuaca lain yang merugikan, bencana alam diluar kemampuan
manusia, dan bencana alam yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari
instansi terkait di daerah setempat.
2) Ovemacht Karena Kondisi sosial dan keadaan darurat.
Ovemacht karena kondisi sosial dan keadaan darurat adalah overmacht yang
ditimbulkan oleh situasi atau kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang
bersifat segera dan berlangsung dengan singkat tanpa dapat diprediksi
sebelumnya. Peristiwa yang termasuk dalam overmacht tersebut adalah
29
Rahmat S.S Soemadipradja, op.cit, hal 80.
78
peperangan, pemberontakan, operasi militer, sabotase, blokade, pemogokan,
dan perselisihan buruh, kebakaran, epidemik, terorisme, peledakan, ledakan
kebakaran, kerusuhan, bencana nuklir, radioaktif, dan keadaan keadaan diluar
kekuasaan manusia yang langsung mempengaruhi jalanya pekerjaan, serta
keadaan darurat lain yang ditetapkan pemerintah.
3) Overmacht Karena Keadaan Ekonomi (moneter)
Overmacht karena keadaan ekonomi adalah overmacht yang disebabkan oleh
adanya situasi ekonomi yang berubah, ada kebijakan ekonomi tertentu, atau
segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor ekonomi. Peristiwa yang
termasuk dalam overmacht ini adalah terjadi perubahan kondisi
perekonomian atau peraturan perundang-undangan sedemikian rupa sehingga
mengakibatkan tidak dapat dipenuhinya prestasi, timbulnya gejolak moneter
yang menyebakan kenaikan biaya bank, embargo ekonomi, perubahan
dibidang politik, pasar modal, ekonomi dan moneter.
4) Overmacht Karena Kebijakan Atau Peraturan Yang Ditetapkan Pemerintah.
Overmacht karena kebijakan atau peraturan yang ditetapkan pemerintah
adalah overmacht yang disebabkan oleh suatu keadaan dimana terjadi
perubahan kebijakan pemerintah atau hapus atau dikeluarkannya kebijakan
baru yang berdampak pada kegiatan yang sedang berlangsung, contohnya
perdagangan efek di bursa efek dihentikan sementara oleh instansi yang
berwenang, terjadi perubahan perundang-undangan yang menghambat
kegiatan usaha yang sedang dilaksanakan.
79
5) Overmach Karena Keadaan Teknis Yang Tidak Terduga.
Overmach karena keadaan teknis yang tidak terduga adalah overmacht yang
disebabkan oleh peristiwa rusaknya atau berkurangnya fungsi peralatan
teknis atau operasional yang berperan penting bagi kelangsungan proses
produksi suatu perusahaan, dan hal tersebut tidak dapat diduga akan terjadi
sebelumnya. Peristiwa yang termasuk dalam overmacht ini contohnya yaitu
terjadinya kegagalan sistem orientasi perbankan yang bersifat nasional,
kerusakan pada mesin-mesin yang berpengaruh besar terhadap kegiatan
perusahaan.
2.2.4. Jenis-Jenis Overmacht
Overmacht dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Jenis-jenis overmacht
diklasifikasikan berdasarkan sasaran, pelaksanaan prestasi dan jangka waktu
berlakunya keadaan yang menyebabkan overmacht yang diuraikan sebagaimana
berikut
a. Berdasarkan sasaran yang terkena, overmacht dibedakan menjadi overmacht
objektif dan subjektif yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Overmacht Objektif
Overmacht objektif ini terjadi atas benda yang merupakan obyek
perjanjian tersebut. Hal ini berarti keadaan benda tersebut sedemikan
rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai dengan
perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, tanpa adanya kesalahan dari
debitur contohnya benda yang menjadi obyek perjanjian terbakar
sehingga pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan.
80
2. Overmacht Subyektif
Overmacht subyektif terjadi bila overmacht tersebut terjadi bukan dalam
hubungannya dengan obyek dari perjanjian yang bersangkutan, tetapi
dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu
sendiri. Contoh overmacht subyektif debitur saat akan mengantarkan
barang yang diperjanjikan terkena serangan jantung sehingga tidak bisa
mengantarkan barang yang menjadi obyek perjanjian.30
b. Berdasarkan kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam perjanjian, overmacht
dibedakan menjadi overmacht absolut dan overmacht relatif yang akan
dijelaskan sebagai berikut:
a) Overmacht Absolut
Overmacht absolut adalah suatu overmacht yang terjadi sehingga
prestasi dari perjanjian sama sekali tidak mungkin dilakukan. Contoh
overmacht absolut barang yang menjadi obyek perjanjian musnah
terbakar, dalam hal ini perjanjian tersebut tidak mungkin untuk
dilaksanakan.
b) Overmacht Relatif
Overmacht relatif adalah suatu keadaan overmacht yang menyebabkan
debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya, namun pelaksanaan
prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar.
Pengorbanan ini tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang
30
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak, (Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal
115.
81
di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya
kerugian yang sangat besar.
c. Berdasarkan segi waktu berlakunya keadaan yang mengakibatkan terjadinya,
overmacht dibedakan menjadi overmacht permanen dan overmacht temporer
yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Overmacht Permanen
Suatu overmacht dikatakan overmacht permanen jika sama sekali
sampai kapanpun suatu prestasi yang terbit dari perjanjian tidak
mungkin dilakukan lagi. Contoh overmacht permanen jika barang
yang menjadi obyek perjanjian musnah diterjang banjir.
2. Overmacht Temporer
Suatu Overmacht dikatakan overmacht temporer jika terhadap
pemenuhan prestasi dari perjanjian tersebut tidak mungkin
dilakukan untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi
peristiwa dimana setelah peristiwa tersebut terhenti prestasi
tersebut dapat dipenuhi kembali. Contoh overmacht temporer jika
barang objek perjanjian tersebut tidak mungkin dikirim ke tempat
kreditur karena terjadinya pergolakan sosial seperti kerusuhan
ditempat kreditur tersebut, akan tetapi ketika keadaan sudah
menjadi aman, barang tersebut bisa dikirim kembali.
82
2.2.5 Akibat Hukum Overmacht Bagi Para Pihak
Akibat hukum overmacht menurut pendapat Mariam Darus Badrulzaman
bahwa keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tersebut tidak lagi berkerja
(werking) walaupun perikatannya sendiri masih ada, dalam hal ini maka :
1. Debitur tidak dapat dituntut agar perikatan tersebut dipenuhi.
2. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu
tidak dapat menuntut.
3. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian.
4. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan keadaan memaksa adalah
sebagai berikut;
a. Debitur tidak dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa itu
dengan jalan penangkisan (eksepsi).
b. Berdasarkan jabatan hakim tidak dapat menolak gugatan
berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang memikul beban
untuk membuktikan adanya keadaan memaksa. 31
Abdul Kadir Muhamad membedakan keadaan memaksa yang bersifat
obyektif dan subyektif. Keadaan memaksa yang bersifat obyektif dan bersifat
tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the
agreement would be void from the outset). Konsekuensi dari perikatan batal ialah
pemulihan keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan jika
perikatan itu sudah dilaksanakan, tetapi jika satu pihak sudah mengeluarkan
biaya-biaya untuk melaksanakan perjanjian itu sebelum waktu pembebasan,
31
Rahmat S.S.Soemadipradja, op.cit, hal 49.
83
pengadilan berdasarkan kebijaksanaanya boleh memperkenankannya memperoleh
semua biaya dari pihak lainnya atau menahan uang yang sudah dibayar. Dalam
hal keadaan memaksa yang bersifat subyektif dan sementara Keadaan memaksa
itu hanya mempunyai daya menangguhkan dan kewajiban prestasi hidup kembali
jika keadaan memaksa sudah tidak ada lagi.32
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disampaikan akibat hukum
overmacht bagi para pihak adalah debitur tidak dapat dituntut agar perikatan
tersebut dipenuhi, kemudian tidak dapat mengatakan debitur berada dalam
keadaan lalai dan karena itu kreditur tidak dapat menuntut, dan kreditur tidak
dapat meminta pemutusan perjanjian.
32
Rahmat S.S.Soemadipradja, op.cit, hal 48.