bab ii tinjauan umum peraturan daerah dan … · 2020. 10. 19. · kepada daerah dan dalam...
TRANSCRIPT
19
BAB II
TINJAUAN UMUM PERATURAN DAERAH DAN
PENEGAKAN HUKUMNYA
A. Tinjauan Umum Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dapat dirunut
dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sedangkan, alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah
menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara
Indonesia yaitu pemerintah nasional yang bertanggung jawab mengatur dan
mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah
Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.13
Selanjutnya, Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan adalah
dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk
pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian
membentuk daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian,
13
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), Hal. 51.
20
Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintahan daerah berwenang untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.14
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu, melalui
otonomi luas dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.15
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan
kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan
tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu, pemerintahan daerah pada negara
kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Sejalan dengan
itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian
integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana
memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk
14
Ibid., Hal. 52. 15
Ibid., Hal. 53.
21
mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan
mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.16
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum
nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih
luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya, maka
Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan
lokal dan sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan daerah, baik dalam
bentuk Peraturan Daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga
memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian, akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan
kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara
keseluruhan.17
Pada hakikatnya, otonomi daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan dibantu oleh perangkat
daerah. Urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada di tangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan
adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar
pelaksanaan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjalan sesuai
16
Ibid., Hal. 55. 17
M. Busrizalti, Hukum Pemda; Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total
Media, 2013), Hal. 28.
22
dengan kebijakan nasional, maka Presiden berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.18
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh
Menteri Negara dan setiap Menteri bertanggung jawab atas urusan pemerintahan
tertentu dalam pemerintahan. Sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab Menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke daerah.
Konsekuensi Menteri sebagai pembantu Presiden adalah kewajiban Menteri atas
nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar
penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
berkewajiban membuat Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk
dijadikan pedoman bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang diserahkan ke daerah dan menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan pengawasan
yang bersifat teknis, sedangkan kementerian melaksanakan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu
menciptakan harmonisasi antarkementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
18
Ibid., Hal. 29.
23
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah secara keseluruhan.19
Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi
mandat oleh rakyat untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah. Dengan demikian, maka DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan
sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai
fungsi pembentukan Peraturan Daerah, anggaran, dan pengawasan, sedangkan
Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Peraturan Daerah dan
kebijakan daerah. Dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, DPRD dan Kepala Daerah dibantu oleh
perangkat daerah.20
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah, maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas,
wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang, namun
cukup diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah secara keseluruhan guna memudahkan
pengaturannya secara terintegrasi.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah Urusan Pemerintahan
19
Ibid., Hal. 30. 20
Ibid., Hal. 33.
24
Absolut dan ada Urusan Pemerintahan Konkuren. Urusan Pemerintahan Konkuren
terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.
Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang
terkait pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait
pelayanan dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak
konstitusional masyarakat.21
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara daerah provinsi
dengan daerah kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahan sama,
perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan
tersebut. Walaupun daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota mempunyai
urusan pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap
akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat
oleh Pemerintah Pusat.22
Di samping Urusan Pemerintahan Absolut dan Urusan Pemerintahan
Konkuren, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dikenal adanya Urusan Pemerintahan Umum.
Urusan Pemerintahan Umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin
hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan sebagai
21
Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Total Media,
2008), Hal. 46. 22
Ibid., Hal. 47.
25
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memfasilitasi kehidupan
demokratis. Presiden dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan Umum di daerah
melimpahkan kepada Gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada
Bupati/Walikota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.23
Mengingat kondisi geografis yang sangat luas, maka untuk efektifitas dan
efisiensi pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota, Presiden sebagai penanggung
jawab akhir pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan kewenangannya
kepada Gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan kepada daerah kabupaten/kota agar melaksanakan
otonominya dalam koridor NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk
efektifitas pelaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah Pusat, Gubernur dibantu
oleh perangkat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena perannya
sebagai wakil Pemerintah Pusat, maka hubungan Gubernur dengan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota bersifat hierarkis.24
Salah satu aspek dalam penataan daerah adalah pembentukan daerah
baru. Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu, maka
pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti
kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan
pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan,
23
Ibid., Hal. 48. 24
Ibid., Hal. 50.
26
serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat
menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah.25
Pembentukan daerah didahului dengan masa persiapan selama 3 (tiga)
tahun dengan tujuan untuk penyiapan daerah tersebut menjadi daerah. Apabila
setelah tiga tahun hasil evaluasi menunjukkan daerah persiapan tersebut tidak
memenuhi syarat untuk menjadi daerah, statusnya dikembalikan ke daerah
induknya. Apabila daerah persiapan setelah melalui masa pembinaan selama tiga
tahun memenuhi syarat untuk menjadi daerah, maka daerah persiapan tersebut
dibentuk melalui undang-undang menjadi daerah.
Setiap daerah sesuai karakter daerahnya akan mempunyai prioritas yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam upaya menyejahterakan
masyarakat. Ini merupakan pendekatan yang bersifat asimetris, artinya walaupun
daerah sama-sama diberikan otonomi yang seluas-luasnya, namun prioritas urusan
pemerintahan yang dikerjakan akan berbeda satu daerah dengan daerah lainnya.
Konsekuensi logis dari pendekatan asimetris tersebut maka daerah akan
mempunyai prioritas urusan pemerintahan dan kelembagaan yang berbeda satu
dengan lainnya sesuai dengan karakter daerah dan kebutuhan masyarakatnya.
Besaran organisasi perangkat daerah, baik untuk mengakomodasikan
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, paling sedikit
mempertimbangkan faktor jumlah penduduk, luasan wilayah, beban kerja, dan
kemampuan keuangan daerah. Untuk mengakomodasi variasi beban kerja setiap
urusan pemerintahan yang berbeda-beda pada setiap daerah, maka besaran
organisasi perangkat daerah juga tidak sama antara satu daerah dengan daerah
25
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Alumni, 2008), Hal. 113.
27
lainnya. Dari argumen tersebut dibentuk tipelogi dinas atau badan daerah sesuai
dengan besarannya agar terbentuk perangkat daerah yang efektif dan efisien.26
Untuk menciptakan sinergi dalam pengembangan potensi unggulan
antara organisasi perangkat daerah dengan kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian di pusat, diperlukan adanya pemetaan dari kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian di pusat untuk mengetahui daerah-daerah yang
mempunyai potensi unggulan atau prioritas sesuai dengan bidang tugas
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang kewenangannya
didesentralisasikan ke daerah. Dari hasil pemetaan tersebut kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian akan mengetahui daerah-daerah mana saja yang
mempunyai potensi unggulan yang sesuai dengan bidang tugas
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan. Daerah
tersebut yang kemudian akan menjadi stakeholder utama dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.27
Penyerahan sumber keuangan daerah, baik berupa pajak daerah dan
retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan, merupakan konsekuensi dari
adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah yang diselenggarakan
berdasarkan asas otonomi. Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, daerah harus mempunyai sumber keuangan agar daerah tersebut
mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya.
Pemberian sumber keuangan kepada daerah harus seimbang dengan beban atau
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Keseimbangan sumber
keuangan ini merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang
26
Ibid., Hal. 114. 27
Ibid., Hal. 115.
28
diserahkan kepada daerah. Ketika daerah mempunyai kemampuan keuangan yang
kurang mencukupi untuk membiayai urusan pemerintahan dan khususnya Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar, Pemerintah Pusat dapat
menggunakan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membantu daerah
sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai.28
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan daerah
membuat Peraturan Daerah sebagai dasar hukum bagi daerah dalam
menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat
serta kekhasan dari daerah tersebut. Peraturan Daerah yang dibuat oleh daerah
hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi daerah yang bersangkutan. Walaupun
demikian, Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh daerah tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Di samping itu, Peraturan
Daerah sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah
penyusunan Peraturan Daerah.29
Daerah melaksanakan otonomi daerah yang berasal dari kewenangan
Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab
akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi
logisnya kewenangan untuk membatalkan Peraturan Daerah ada di tangan
Presiden. Adalah tidak efisien apabila Presiden yang langsung membatalkan
Peraturan Daerah. Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan Peraturan
28
Ibid., Hal. 120. 29
Siswanto Sunarno, Hukum… Op. Cit., Hal. 128.
29
Daerah Provinsi kepada Menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggung
jawab atas otonomi daerah. Sedangkan, untuk pembatalan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, Presiden melimpahkan kewenangannya kepada Gubernur selaku
wakil Pemerintah Pusat di daerah.30
Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pembatalan
Peraturan Daerah, maka Pemerintah Daerah Provinsi dapat mengajukan keberatan
pembatalan Peraturan Daerah Provinsi yang dilakukan oleh Menteri kepada
Presiden. Sedangkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengajukan
keberatan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dilakukan
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri. Dari sisi
penyelenggaraan pemerintahan daerah, keputusan yang diambil oleh Presiden dan
Menteri bersifat final.31
Dalam rangka menciptakan tertib administrasi pelaporan Peraturan
Daerah, setiap Peraturan Daerah yang akan diundangkan harus mendapatkan
nomor register terlebih dahulu. Peraturan Daerah Provinsi harus mendapatkan
nomor register dari kementerian, sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
mendapatkan nomor register dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Dengan adanya pemberian nomor register tersebut, akan terhimpun informasi
mengenai keseluruhan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh daerah dan sekaligus
juga informasi Peraturan Daerah secara nasional.32
Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan
bangsa tersebut. Untuk itu, maka diperlukan adanya perlindungan terhadap
kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di daerah
30
Ibid., Hal. 130. 31
Ibid., Hal. 131. 32
Ibid., Hal. 135.
30
dalam memajukan daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas daerah
untuk meningkatkan daya saing daerah. Untuk itu, perlu adanya kriteria yang
objektif yang dapat dijadikan pegangan bagi pejabat daerah untuk melakukan
kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut, inovasi akan terpacu dan
berkembang tanpa ada kekhawatiran menjadi objek pelanggaran hukum.33
Pada dasarnya, perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditujukan untuk mendorong lebih
terciptanya daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah
dalam menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan pelayanan publik
maupun melalui peningkatan daya saing daerah. Perubahan ini bertujuan untuk
memacu sinergi dalam berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah dengan Pemerintah Pusat.
Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dilakukan pengaturan yang bersifat afirmatif yang
dimulai dari pemetaan urusan pemerintahan yang akan menjadi prioritas daerah
dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut akan
tercipta sinergi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang urusan
pemerintahannya didesentralisasikan ke daerah. Sinergi urusan pemerintahan akan
melahirkan sinergi kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
karena setiap kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian akan tahu siapa
pemangku kepentingan (stakeholder) dari kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara nasional.
Sinergi urusan pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi
33
Victor Jusuf Sedubun, Pembentukan dan Pengawasan Peraturan Daerah yang Berciri
Khas Daerah, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), Hal. 21.
31
dalam perencanaan pembangunan antara kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dengan daerah untuk mencapai target nasional. Manfaat
lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap daerah-daerah yang
menjadi stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target nasional tersebut.
Sinergi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan sulit tercapai
tanpa adanya dukungan personel yang memadai, baik dalam jumlah maupun
standar kompetensi, yang diperlukan untuk melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah. Dengan cara tersebut, Pemerintah Daerah akan
mempunyai birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan
kompetensinya.
Langkah berikutnya adalah adanya jaminan pelayanan publik yang
disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu, setiap Pemerintah
Daerah wajib membuat maklumat pelayanan publik sehingga masyarakat di
daerah tersebut tahu jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana
mendapatkan aksesnya serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk
memperoleh pelayanan publik tersebut, serta adanya saluran keluhan manakala
pelayanan publik yang didapat tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Langkah akhir untuk memperkuat otonomi daerah adalah adanya
mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas dan
tegas. Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas
tersebut memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan dan pengawasan dari
kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan umum serta
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan pembinaan
32
teknis. Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan pembinaan dan
pengawasan teknis akan memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten/kota,
memerlukan peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari Gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa Peraturan Daerah adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah.34
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah
membentuk Peraturan Daerah. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah. Peraturan Daerah memuat materi muatan
mengenai penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta
penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Selain materi muatan tersebut, Peraturan Daerah dapat memuat materi
muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.35
Asas pembentukan dan materi muatan Peraturan Daerah berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan
34
Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587. 35
Pasal 236 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
33
berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Peraturan Daerah mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan
yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan
Peraturan Daerah. Pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud di atas
dilakukan secara efektif dan efisien.
Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya
paksaan penegakan/pelaksanaan Peraturan Daerah seluruhnya atau sebagian
kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Daerah juga dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah). Selain itu, Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan
atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud di atas sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.36
Selain sanksi sebagaimana dimaksud di atas, Peraturan Daerah dapat
memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan
sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut berupa:
1. Teguran lisan
2. Teguran tertulis
3. Penghentian sementara kegiatan
4. Penghentian tetap kegiatan
5. Pencabutan sementara izin
36
Pasal 238 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
34
6. Pencabutan tetap izin
7. Denda administratif
8. Sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.37
Dalam pembentukan Peraturan Daerah, harus diperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun asas-asas dalam
pembentukan Peraturan Daerah yaitu sebagai berikut:
1. Asas kejelasan tujuan
Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap
jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.
3. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan.
37
Pasal 238 Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
35
4. Asas dapat dilaksanakan
Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
6. Asas kejelasan rumusan
Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang
jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Asas keterbukaan
Asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
36
luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.38
B. Gambaran Umum Kota Pekanbaru
Kota Pekanbaru dahulunya merupakan sebuah perkampungan kecil yang
berada di pinggir Sungai Siak, yang dikenal dengan nama Senapelan. Senapelan
pada saat itu dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Batin. Senapelan
kemudian berkembang menjadi kawasan pemukiman baru bagi penduduk dan
seiring berjalannya waktu berganti nama menjadi Dusun Payung Sekaki. Pada 9
April 1689, diperbarui sebuah perjanjian antara Kerajaan Johor dengan
Vereenigne Oostindische Compagnie (VOC), yang intinya memberikan hak yang
lebih luas kepada VOC dalam berdagang. Kemudian, VOC mendirikan sebuah
„loji‟ di daerah yang bernama Petapahan, yang pada saat itu merupakan kawasan
yang maju dan strategis. Akan tetapi, kapal-kapal VOC tidak dapat masuk ke
Petapahan. Oleh karena itu, Senapelan dijadikan tempat perhentian kapal-kapal
VOC. Selanjutnya, pelayaran dari Senapelan ke Petapahan dilanjutkan dengan
menggunakan perahu-perahu kecil. Sejak saat itu, Senapelan menjadi pelabuhan
tempat penumpukan berbagai komoditas perdagangan, baik yang di bawa dari luar
maupun yang dibawa dari daerah pedalaman.39
Perkembangan Senapelan juga berkaitan erat dengan perkembangan
Kerajaan Siak Sri Inderapura. Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah yang menetap di
Senapelan membangun sebuah istana yang terletak di sekitar komplek Masjid
38
Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234. 39
http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Minggu tanggal 23
Juni 2019, pukul 20.15 WIB.
37
Raya Pekanbaru sekarang. Sultan kemudian berinisiatif membuat sebuah pasar
(pekan) di Senapelan, namun tidak berkembang. Pembuatan pekan ini kemudian
dilanjutkan oleh putranya, yaitu Raja Muda Muhammad Ali yang bergelar Sultan
Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, namun lokasinya dipindahkan dari
lokasi awal ke lokasi Pelabuhan Pekanbaru sekarang. Pekan yang baru inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal nama Kota Pekanbaru. Menurut catatan sejarah,
Senapelan, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pekanbaru, secara resmi
didirikan pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau 23 Juni 1784 M oleh
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah. Tanggal inilah yang sampai hari
ini diperangati sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.40
Sepeninggal Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, jalannya
pemerintahan di Senapelan diserahkan kepada Datuk Bandar yang dibantu oleh
empat datuk besar, yaitu Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir,
dan Datuk Kampar. Keempat datuk tersebut bertanggung jawab kepada Raja di
Siak Sri Inderapura.41
Saat ini, Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau. Sebelum itu,
Kota Pekanbaru mengalami beberapa dinamika perubahan dalam perjalanannya,
antara lain yaitu:
1. Berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Siak Sri Inderapura Nomor 1 pada
19 Oktober 1919, Kota Pekanbaru merupakan sebuah distrik dari Kerajaan
Siak Sri Inderapura.
40
http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Minggu tanggal 23
Juni 2019, pukul 20.15 WIB. 41
http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Minggu tanggal 23
Juni 2019, pukul 20.05 WIB.
38
2. Pada tahun 1932, Kota Pekanbaru masuk ke dalam wilayah Kampar Kiri
yang dipimpin oleh seorang Controleor yang berkedudukan di Pekanbaru.
3. Pada tanggal 8 Maret 1942, Kota Pekanbaru diubah dari distrik menjadi
GUM oleh Jepang, yang dikepalai oleh seorang Gunco, yaitu Gubernur
Militer Go Kung.
4. Berdasarkan Ketetapan Gubernur Sumatera Nomor 103 pada 17 Mei 1956
di Kota Medan, Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut harminte
atau kota baru dengan nama Kota Praja Pekanbaru.
5. Berdasarkan Kepmendagri Nomor 54/1/44-25 pada 20 Januari 1959,
Pekanbaru ditunjuk menjadi ibukota Provinsi Riau menggantikan Tanjung
Pinang, dan memperoleh kenaikan status dengan nama Kota Madya Tingkat
II Pekanbaru.42
Berdasarkan data yang ada pada Pemerintah Kota Pekanbaru, sejak
Negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 hingga saat sekarang ini, Kota
Pekanbaru telah mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 14 kali.
Tabel - II.1
Sejarah Walikota Pekanbaru
No. Nama Walikota Masa Jabatan
1 Datuk Wan Abdul Rahman 17 Mei 1946 - 11 November 1950
2 Datuk Wan Ahmad 11 November 1950 - 7 Mei 1953
3 Tengku Ilyas 7 Mei 1953 - 1 Juni 1956
4 Muhammad Yunus 1 Juni 1956 - 14 Mei 1958
5 OK Jamil 14 Mei 1958 - 9 November 1959
6 Datuk Wan Abdul Rahman 9 November 1959 - 29 Maret 1962
7 Tengku Bey 29 Maret 1962 - 1 Juni 1968
42
http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Minggu tanggal 23
Juni 2019, pukul 20.15 WIB.
39
8 Raja Rusli 1 Juni 1968 - 10 Desember 1970
9 Abdul Rahman Hamid 10 Desember 1970 - 5 Juli 1981
10 Ibrahim Arsyad 5 Juli 1981 - 21 Juli 1986
11 Farouq Alwi 21 Juli 1986 - 22 Juli 1991
12 Oesman Effendi Apan 22 Juli 1991 - 18 Juli 2001
13 Herman Abdullah 18 Juli 2001 - 18 Juli 2011
14 Firdaus 25 Januari 2012 - sekarang
Sumber: http//www.pekanbaru.go.id
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 1 Tahun 2001,
Visi Pekanbaru 2021 adalah “Terwujudnya Kota Pekanbaru sebagai Pusat
Perdagangan dan Jasa, Pendidikan, serta Pusat Kebudayaan Melayu Menuju
Masyarakat Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa”.43
Untuk mewujudkan Visi Pekanbaru 2021, maka Walikota Pekanbaru, Dr.
H. Firdaus, S.T., M.T. menetapkan visi Kota Pekanbaru pada masa
pemerintahannya adalah “Terwujudnya Pekanbaru sebagai Kota Metropolitan
yang Madani”. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka ditetapkan beberapa misi
Kota Pekanbaru, yaitu:
1. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki
kompetensi tinggi, bermoral, beriman dan bertaqwa, serta mampu bersaing
di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui peningkatan
kemampuan/keterampilan tenaga kerja, pembangunan kesehatan,
kependudukan, dan keluarga sejahtera.
43
http://www.pekanbaru.go.id/visi-pekanbaru-2021, diakses pada hari Sabtu tanggal 13
Januari 2018, pukul 20.00 WIB.
40
3. Mewujudkan masyarakat berbudaya melayu, bermartabat, dan bermarwah
yang menjalankan kehidupan beragama, memiliki iman dan taqwa,
berkeadilan tanpa membedakan satu dengan yang lainnya, serta hidup dalam
rukun dan damai.
4. Meningkatkan infrastruktur daerah, baik prasarana jalan, air bersih, energi
listrik, penanganan limbah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, terutama
infrastruktur pada kawasan industri, pariwisata, serta daerah pinggiran kota.
5. Mewujudkan penataan ruang dan pemanfaatan lahan yang efektif dan
pelestarian lingkungan hidup dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.
6. Meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat dengan meningkatkan
investasi bidang industri, perdagangan, jasa, dan pemberdayaan ekonomi
kerakyatan dengan dukungan fasilitas yang memadai dan iklim usaha yang
kondusif.
C. Gambaran Umum Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun
2002 tentang Hiburan Umum
Berdasarkan Pasal 1 Huruf d Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3
Tahun 2002 tentang Hiburan Umum, yang dimaksud dengan hiburan umum
adalah semua jenis pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian dengan nama atau
bentuk apapun yang ditonton dan/atau dinikmati oleh setiap orang dengan
dipungut bayaran, tetapi tidak termasuk penggunaan fasilitas olahraga atau
lapangan yang digunakan untuk umum.
41
Adapun jenis-jenis hiburan umum menurut Peraturan Daerah Kota
Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum antara lain yaitu:
1. Karaoke, yaitu ruangan tertutup yang digunakan untuk bernyanyi dengan
menayangkan lirik lagu dan musiknya melalui televisi.
2. Bioskop, yaitu ruangan terbuka maupun tertutup yang digunakan untuk
menonton film dengan layar yang lebar dengan tujuan untuk memberikan
hiburan maupun pengetahuan umum.
3. Pub, yaitu ruangan tertutup yang menampilkan nyanyian yang diiringi
musik oleh seseorang atau beberapa orang dengan tujuan memberikan
hiburan.
4. Cafe, yaitu suatu restoran yang menyediakan berbagai jenis makanan ringan
dan minuman serta diiringi dengan suara musik untuk menghibur
pengunjungnya.
5. Rental video, CD, dan LD, yaitu jasa hiburan dalam bentuk penyewaan
kaset yang menayangkan film atau sejenisnya.
6. Taman rekreasi atau Taman pancing, yaitu hamparan alam yang alami
maupun alam buatan yang telah ditata dengan baik dan menarik serta
dilengkapi dengan sarana permainan dan panggung pertunjukan dengan
tujuan untuk tempat bersantai.
7. Kebun binatang, yaitu suatu ekosistem buatan yang digunakan untuk
memelihara dan merawat berbagai jenis hewan untuk dipertontonkan
kepada pengunjung dengan tujuan memberikan hiburan.
8. Video game atau Play station, yaitu sebuah permainan ketangkasan yang
dilakukan oleh seseorang dan/atau beberapa orang tanpa diikuti dengan
42
adanya hadiah untuk pemenangnya karena tujuannya untuk memberikan
hiburan.
9. Grup band atau Orgen tunggal (terbuka atau tertutup), yaitu pertunjukan
nyanyian dengan diiringi musik yang ditampilkan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang tujuannya untuk menghibur.
10. Billyard, yaitu kegiatan olahraga yang dilakukan oleh seseorang dan/atau
beberapa orang dengan menggunakan meja dan peralatan yang khusus.44
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002
tentang Hiburan Umum disebutkan bahwa izin hiburan yang dibolehkan atau
dapat diberikan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru kepada seseorang atau badan
usaha harus dilengkapi dengan ketentuan dan syarat yang ditentukan oleh
Pemerintah Kota Pekanbaru dan instansi terkait.
Ketentuan dan syarat sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum
di atas yaitu:
1. Jarak lokasi/tempat usaha hiburan minimal 1.000 meter dari tempat ibadah
atau sekolah, kecuali hiburan yang berlokasi dalam lingkungan hotel, plaza,
pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan swasta, taman rekreasi/taman
pancing, dan kebun binatang.
2. Tidak mengganggu ketenangan masyarakat dan/atau lingkungan.
3. Tidak tempat transaksi obat-obatan terlarang.
4. Tidak menggunakan obat-obatan terlarang.
5. Tidak menjual minuman keras.
44
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Hiburan Umum.
43
6. Tidak menyediakan wanita malam dan/atau penghibur (WTS).
7. Tidak tempat prostitusi.
8. Tidak tempat kegiatan perjudian.
9. Melengkapi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam suatu Surat Keputusan
Walikota.45
Waktu operasional untuk buka dan tutup tempat-tempat hiburan yang
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Hiburan Umum yaitu:
1. Karaoke diizinkan buka dari jam 08.00 sampai jam 22.00 WIB.
2. Bioskop diizinkan pagi buka dari jam 09.00 sampai jam 13.00 WIB, siang
buka dari jam 14.00 sampai jam 17.00 WIB, malam buka dari jam 20.00
sampai jam 23.00 WIB, sedangkan pertunjukan tengah malam hanya boleh
dibuka pada malam minggu dari jam 24.00 sampai jam 02.00 WIB.
3. Pub diizinkan buka dari jam 08.00 sampai jam 22.00 WIB.
4. Cafe diizinkan buka dari jam 08.00 sampai jam 21.00 WIB.
5. Rental video, CD, dan LD diizinkan buka dari jam 08.00 sampai jam 20.00
WIB.
6. Taman rekreasi atau Taman pancing diizinkan buka dari jam 08.00 sampai
jam 17.00 WIB.
7. Kebun binatang diizinkan buka dari jam 08.00 sampai jam 17.00 WIB.
8. Video game atau Play station diizinkan buka dari jam 08.00 sampai jam
17.00 WIB.
45
Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum.
44
9. Grup band atau Orgen tunggal (terbuka atau tertutup) diizinkan buka dari
jam 11.00 sampai jam 23.00 WIB.
10. Billyard diizinkan buka dari jam 08.00 sampai jam 22.00 WIB.46
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002
tentang Hiburan Umum disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha yang
menyelenggarakan usaha/kegiatan hiburan sesuai dengan jenis hiburan umum
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, wajib memiliki Izin Gangguan dari
Walikota Pekanbaru atau pejabat yang ditunjuk. Tata cara pengajuan Izin
Gangguan tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru
Nomor 7 Tahun 2000 tentang Izin Tempat Usaha. Jenis hiburan yang dapat
diterbitkan izinnya oleh Pemerintah Kota Pekanbaru hanya hiburan umum yang
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Hiburan Umum.47
Retribusi Izin Tempat Hiburan Umum yang mengandung dampak
lingkungan adalah Retribusi Izin Gangguan yang merupakan jasa pelayanan yang
diberikan Pemerintah Kota Pekanbaru kepada orang atau badan usaha dalam
mendapatkan Izin Tempat Usahan Hiburan, sedangkan Retribusi Izin Tempat
Hiburan Umum yang mengandung dampak lingkungan adalah Retribusi Izin Non
Gangguan yang merupakan jasa pelayanan yang diberikan Pemerintah Kota
Pekanbaru kepada orang atau badan usaha dalam mendapatkan Izin Tempat
Usahan Hiburan. Retribusi tersebut mengacu pada Peraturan Daerah Kota
Pekanbaru Nomor 7 Tahun 2000 tentang Izin Tempat Usaha.48
46
Pasal 5 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum. 47
Pasal 6 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum. 48
Pasal 7 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum.
45
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002
tentang Hiburan Umum disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha yang
mengajukan Izin Tempat Hiburan Umum harus telebih dahulu mendapat
rekomendasi dari Ketua RT, Ketua RW, Lurah, dan Camat setempat. Persyaratan
perizinan untuk jenis hiburan umum yang mengandung dampak lingkungan
maupun yang tidak mengandung dampak lingkungan berpedoman pada Peraturan
Daerah Kota Pekanbaru Nomor 7 Tahun 2000 tentang Izin Tempat Usaha. Izin
Operasional Penyelenggaraan Hiburan Umum dikeluarkan oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru.49
Bagi usaha tempat hiburan umum yang sudah ada namun belum memiliki
izin dari Pemerintah Kota Pekanbaru, maka dikenakan denda sebesar 50% dari
perhitungan/penetapan Retribusi Izin. Usaha tempat hiburan umum yang tidak
memiliki izin dan tidak memenuhi ketentuan dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka usaha tersebut dapat disegel dan/atau ditutup oleh Tim Yustisi
Pemerintah Kota Pekanbaru. Bagi pemilik usaha yang tidak mengurus izin dalam
jangka waktu yang telah ditentukan, maka usaha tempat hiburan umum tersebut
dinyatakan batal demi hukum.50
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan hidup, dibutuhkan adanya
penegakan hukum yang tegas terhadap siapapun yang merusaknya. Menurut
Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu usaha yang dilakukan untuk
49
Pasal 8 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum. 50
Pasal 9 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum.
46
mewujudkan ide-ide mengenai keadilan menjadi sebuah kenyataan.51
Akan tetapi,
proses penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto,
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu faktor hukum itu
sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana yang mendukung penegakan hukum,
faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan
erat karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan tolak ukur dari
efektivitas penegakan hukum.52
Faktor hukum itu sendiri
Undang-undang merupakan produk hukum yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden. Seperti diketahui, Presiden dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat merupakan pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik
dan dipilih melalui pemilihan umum. Sebagian besar anggota Dewan Perwakilan
Rakyat merupakan pengurus aktif di partai politik. Pada saat mereka membuat
undang-undang, dapat dipastikan bahwa mereka juga membawa kepentingan
partai politiknya masing-masing. Begitu juga halnya dengan Peraturan Daerah
sebagai norma hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan persetujuan bersama Walikota. Walikota Pekanbaru merupakan ketua
salah satu partai politik di Kota Pekanbaru, sedangkan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah merupakan anggota partai politik yang dicalonkan dalam
pemilihan umum. Oleh karena itu, kepentingan politik akan lebih dominan
ditonjolkan dalam pembentukan Peraturan Daerah.
Asas-asas peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu:
51
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 25. 52
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). hlm. 8-9.
47
1. Peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Artinya, suatu
Peraturan Daerah hanya boleh diimplementasikan terhadap peristiwa hukum
yang terjadi setelah Peraturan Daerah tersebut disahkan.
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang
kedudukannya lebih tinggi mempunyai kekuatan hukum yang lebih tinggi
pula, yang dikenal dengan istilah „hierarki peraturan perundang-undangan‟.
3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
4. Peraturan perundang-undangan yang baru disahkan dapat membatalkan
peraturan perundang-undangan yang telah berlaku sebelumnya apabila
mengatur mengenai suatu hal yang sama.
5. Peraturan perundang-undang yang telah disahkan tidak dapat digugat,
kecuali apabila diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi bagi
undang-undang dank e Mahkamah Agung bagi Peraturan Daerah.
6. Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu sarana untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat melalui implementasi yang efektif dan
inovasinya.
Faktor penegak hukum
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan masyarakat
lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan sekaligus di tengah-tengah
masyarakat. Di satu sisi, seorang penegak hukum merupakan aparatur negara yang
harus netral dalam menjalankan tugasnya menegakkan peraturan. Di sisi lain,
seorang penegak hukum juga memiliki keluarga dan hidup bermasyarakat sebagai
makhluk sosial. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya konflik
48
kepentingan dalam penegakan hukum pada saat seorang penegak hukum yang
netral harus berhadapan dengan keluarganya maupun anggota masyarakat yang
dikenalnya.
Faktor penegak hukum merupakan titik sentral dalam penegakan hukum.
Hal ini karena peraturan perundang-undangan dibuat oleh aparatur penegak
hukum, implementasinya dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum, dan
aparatur penegak hukum dianggap sebagai panutan dalam kepatuhan hukum oleh
masyarakat. Seorang penegak hukum dalam proses penegakan hukum dapat
menerapkan pendekatan pola isolasi dan pola integrasi.
Pendekatan pola isolasi yaitu:
1. Pengalaman dari masyarakat yang pernah berhubungan dengan aparatur
penegak hukum, yang merasakan adanya intervensi terhadap kepentingan-
kepentingan pribadinya.
2. Peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi yang melibatkan aparatur penegak
hukum dalam tindakan kekerasan sehingga menimbulkan rasa takut di
tengah-tengah masyarakat.
3. Ada pemberian „cap‟ yang negatif kepada anggota masyarakat yang pernah
berhubungan dengan aparatur penegak hukum pada kelompok masyarakat
dengan taraf stigmatisasi yang tinggi.
4. Adanya batasan bahwa aparatur penegak hukum untuk berhubungan dengan
masyarakat karena ada kelompok tertentu yang diduga akan dapat
memberikan pengaruh buruk kepada aparatur penegak hukum.
Sedangkan, pendekatan pola interaksi yaitu:
49
1. Sebagian besar masyarakat menerima seorang penegak hukum sebagai
bagian dari struktur sosial di tengah-tengah masyarakat.
2. Masyarakat membutuhkan perlindungan terhadap keselamatan jiwa maupun
harta bendanya sehingga tidak menutp kemungkinan adanya pendekatan
secara emosional dengan aparatur penegak hukum.
Adapun kelebihan dari pendekatan pola isolasi dibandingkan dengan
pendekatan pola interaksi adalah:
1. Hubungan yang formal dalam interaksi sosial merupakan faktor yang
mendukung netralitas bagi aparatur penegak hukum dalam menegakkan
hukum.
2. Apabila aparatur penegak hukum menjadi pelopor pembaruan hukum, maka
pendekatan pola isolasi memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk
melaksanakannya.
3. Adanya kemungkinan bahwa tugas-tugas aparatur penegak hukum secara
paralel berlangsung bersamaan dengan perasaan masyarakat yang anti
terhadap aparatur penegak hukum.
4. Pendekatan pola isolasi memungkinkan terbentuknya profesionalitas bagi
aparatur penegak hukum.
Badan Satpol PP Kota Pekanbaru merupakan instansi pemerintahan yang
diberikan kewenangan dalam penegakan hukum Peraturan Daerah Kota
Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Hiburan Umum. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi
Pamong Praja disebutkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas
yaitu menegakkan Peraturan Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan
50
ketentraman masyarakat, serta perlindungan masyarakat. Dalam penyelenggaraan
tugasnya tersebut, Badan Satpol PP Kota Pekanbaru memiliki fungsi sebagai
berikut:
1. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, serta
perlindungan masyarakat.
2. Pelaksanaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan
Walikota.
3. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat di Kota Pekanbaru.
4. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat di Kota Pekanbaru.
5. Pelaksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan
Walikota serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan/atau aparatur lainnya.
6. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar
mematuhi dan mentaati Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota.
7. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Walikota Pekanbaru.53
Faktor sarana yang mendukung penegakan hukum
Tanpa adanya sarana yang lengkap dalam penegakan hukum, maka tidak
mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan yang
dicita-citakan. Sarana yang mendukung penegakan hukum antara lain mencakup
53
Hasil wawancara dengan Kepala Badan Satpol PP Kota Pekanbaru yang diwakili oleh
Bapak Rudi Aprianda, S.H., Kepala Bidang Pengawasan dan Penegakan Peraturan Daerah Badan
Satpol PP Kota Pekanbaru, bertempat di Kantor Badan Satpol PP Kota Pekanbaru yang beralamat
di Jalan Jend. Sudirman Nomor 464 Pekanbaru, hari Jum‟at tanggal 9 Agustus 2019.
51
sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil dalam menjalankan
tugasnya, organisasi penegak hukum yang baik, peralatan operasional dalam
penegakan hukum yang layak dan memadai, dukungan keuangan yang cukup, dan
lain sebagainya. Apabila hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya.54
Faktor masyarakat
Peraturan perundang-undangan berasal dari masyarakat dan bertujuan
untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat merupakan subjek
utama dalam proses penegakan hukum. Oleh karena itu, masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum melalui berbagai pendekatan yang
dilakukannya. Masyarakat wajib mengetahui hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya dalam hukum. Apabila masyarakat memiliki tingkat kesadaran
hukum yang tinggi, maka peraturan perundang-undangan dapat
diimplementasikan sebagaimana yang telah dicita-citakan.55
Faktor kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus
oleh sekelompok masyarakat tertentu dan dapat diterima oleh anggota
masyarakatnya, serta diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan
mengandung nilai baik dan buruk. Oleh karena itu, peraturan perundang-
undangan yang berlaku ada yang bertentangan dengan kebiasaan yang dianggap
benar di tengah-tengah kelompok masyarakat tertentu, sehingga sulit untuk
diimplementasikan.
54
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). hlm. 23. 55
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). hlm. 28.