bab ii tinjaun umum tentang perjanjian kredit … ii.pdf · kredit merupakan sesuatu yang...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
DAN JAMINAN KREDIT
2.1.Pengertian Perjanjian Kredit
Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Subekti mengukapkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.26 Sementara pengertian kredit menurut para ahli Achmad
Anwari memberikan arti kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh satu pihak
kepada pihak lain dan prestasi (jasa) itu akan dikembalikan lagi pada waktu
tertentu yang akan datang dengan disertai suatu kontra prestasi (balas jasa berupa
biaya).27 Menurut Djuhaendah Hasan dari beberapa pengertian yang dikemukakan
para sarjana dalam literatur kredit adalah suatu perjanjian yang objeknya dapat
berupa uang atau barang, meskipun titik temu antara semua pendapat sarjana itu
akan menuju keapada pengertian peminjaman uang.28 Didalam pasal 1 angka 11
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan pengertian Kredit adalah
penyedian uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
26 Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, h.1. 27 Achmad Anwari, 1980, Praktek Perbankan di Indonesia, Balai Aksara, Jakarta, h.14. 28 Djuhaendah Hasan, op.cit, h. 149.
Berdasarkan jangka waktu dan penggunaanya kredit dapat digolongkan
menjadi tiga jenis, yaitu :
1) Kredit investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang
diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam
rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasaan, ataupun pendirian proyek
baru;
2) Kredit modal kerja, yaitu kredit modal kerja yang diberikan baik dalam
rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis
dalam siklus usaha dengan jangka waktu maksimal satu tahun dan dapat
diperpanjang sesuia kesepakatan antara pihak yang bersangkutan;
3) Kredit konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan
kepada debitur untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi
dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan
bulanan nasabah debitur yang bersangkutan.29
Pengertian perjanjian kredit di dalam KUH Perdata tidak ditemukan.
Perjanjian dalam KUHPerdata yang mirip dengan perjanjian kredit yaitu
perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku III Bab XIII. Ciri-Ciri
perjanjian kredit yang membedakan dengan perjanjian pinjam-meminjam yaitu
sebagai berikut :
1) Perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil. Hal ini
jelas berbeda dengan pinjam meminjam yang bersifat riil dalam pasal
1754 KUH Perdata.
29Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, h.60-61.
2) Tujuan dan syarat kredit, menurut ketentuan pasal 1755 KUH Predata,
uang yang diperoleh oleh debitur dari kreditur menjadi milik debitur. Oleh
karena itu dalam perjanjian pinjam meminjam uang, debitur sebagai
pemilik uang berkuasa penuh untuk menggunakan uang tersebut untuk
keperluan apapun dan kreditur tidak berhak mencampuri tujuan pemakaian
uang tersebut. Hal tersebut tidak berlaku untuk perjanjian kredit bank.
Penggunaan kredit harus dilakukan sesuai dengan tujuan kredit
sebagaimana ditetapkan di dalam perjanjian kredit. Pemakain kredit oleh
nasabah debitur yang menyimpang dari tujuan kredit memberikan hak
kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit tersebut secara sepihak
dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh sisa kredit.
3) Syarat penggunaan kredit, kredit bank hanya dapat digunakan menurut
cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindah
bukuan. Pada perjanjian kredit bank, kreditur tidak diserahkan oleh bank
ke dalam kekuasaan mutlak debitur. Kredit diberikan dalam bentuk yang
penarikan atau penggunaannya selalu di bawah pengawasan bank. Dilihat
dari hal ini, maka perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-
meminjam uang. Dalam perjanjian pinjam meminjam uang, uang yang
dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan
debitur dengan tidak disyaratkan bagaimana caranya debitur akan
menggunakan uang pinjaman tersebut30.
30 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Insitut Bankir Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Sutan Remy Sjahdeini I), h.160-161.
Dari hal itu, maka Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil
antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan
hubungan hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali
pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi
yang telah disepakati oleh para pihak.
2.2.Fungsi dan Jenis Perjanjian Kredit Bank
2.2.1 Fungsi Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan maupun pelaksanaan kredit itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai
beberapa fungsi, yaitu diantaranya:
1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya
perjanjian lain yang mengikutinya (misalnya perjanjian pengikatan
jaminan).
2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiaban diantara kreditor dan debitor dan
3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit31.
2.2.2. Jenis-Jenis Perjanjian Kredit
Secara yuridis bahwa terdapat dua jenis perjanjian kredit yang digunakan
bank, yaitu;
1) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan 31 H.R Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.183.
Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit di bawah tangan adalah
perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya
dibuat di antara mereka (kreditor dan debitor) tanpa notaris. Akta
perjanjian kredit dibawah tangan ini memiliki beberapa kelemahan, antara
lain:
a. Apabila akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan
karena misalnya alasan debitor wanprestasi, maka seandainya debitor
yang bersangkutan menyangkal atau memungkiri tandatangannya
akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang
telah dibuat tersebut. Dalam pasal 1877 KUH Perdata disebutkan
bahwa jika seseorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, maka
Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan atau
tandatangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan, tentunya hal ini
akan merepotkan bank.
b. Oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana
formulirnya telah disediakan oleh bank (formulir baku), maka ada
kemungkinan terdapat kekurangan data-data yang seharusnya
dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit, bahkan dapat
terjadi karena alasan-alasan pelayanan, penandatanganan perjanjian
dilakukan walaupun formulir perjanjian masih dalam bentuk blangko
kosong, bila terjadi perselisihan, debitor dapat menyangkal
menandatangani akta perjanjian tersebut atau mengelak mengakui
perjanjian kredit dengan alasan yang bersangkutan menandatangani
blangko kosong.
c. Apabila akta perjanjian kredit dibawah tangan tersebut hilang karena
sebab apapun, maka bank tidak lagi memiliki arsip asli mengenai
adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti, keadaan ini akan
membuat posisi bank menjadi lemah bila terjadi perselisihan.
Berbeda dengan akta perjanjian kredit notaril, walaupun arsip di
bank hilang, masih ada arsip lainnya di notaris.
2) Perjanjian Kredit Notaril
Yang dimaksud dengan perjanjian kredit notaril (otentik) adalah perjanjian
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau
dihadapan notaris. Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal
1868 KUH Perdata. Dari ketentuan/definisi akta otentik yang diberikan
oleh Pasal 1868 KUH Perdata tersebut, dapat ditemukan beberapa hal
sebagai berikut :
(1) Yang berwenang membuat akta-otentik adalah notaris, terkecuali
wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang
lain.Pejabat lain yang dapat membuat akta otentik adalah misalnya
seorang panitera dalam sidang-pengadilan, seorang juru sita, seorang
jaksa atau polisi dalam membuat pemeriksaan pendahuluan, seorang
pegawai catatan sipil yang membuat akta kelahiran atau perkawinan,
pemerintah dalam membuat peraturan, sedang orang lain adalah yang
dikenal sebagai “onbezoldigde-hulpmagistraten” ex pasal 39 (6) HIR
yang dapat pula membuat proses verbal suatu akta otentik.
(2) akta otentik dapat dibedakan dalam : yang dibuat “oleh” dan yang
dibuat “dihadapan” pejabat umum. Jika dalam hal “membuat proses
verbal akta” adalah menulis apa yang dilihat dan yang dialami sendiri
oleh seorang notaris tentan perbuatan (handeling) dan kejadian
(daadzaken); membaca dan menadatangani hanya bersama para saksi
akta tersebut di luar hadirnya atau karena atau karena penolakan para
penghadap maka dalam hal “membuat partij akta” notaris membaca isi
akta tersebut, disusul oleh penandatangan akta tersebut oleh para
penghadap dan para saksi, terakhir oleh notaris itu sendiri.
(3) isi dari akta otentik adalah : semua “perbuatan” yang oleh undang-
undang diwajibkan dibuat didalam akta otentik dan semua perjanjian
dan penguasaan yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan.
Suatu akta otentik dapat berisikan suatu perbuatan hukum yang
diwajibakan oleh undang-undang, jadi bukan perbuatan oleh seseorang
notaris atas kehendaknya sendiri.
(4) akta otentik memberikan kepastian mengenai atau tentang
penanggalan. Seorang notaris memberi kepastian tentang penanggalan
pada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta
bersangkutan tahun, bulan, dan tanggal pada waktu mana akta tersebut
dibuat. Pelanggaran dari kewajiban tersebut berakibat akta tersebut
kehilangan sifat otentiknya dan dengan demikian hanya berkekuatan
akta di bawah tangan ( pasal 25 S. 1860-3) Reglement tentang jabatan
notaris di Indonesia.32
2.3. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit
Di dalam praktek perbankan dikenal beberapa prinsip yang digunakan
dalam pemberian kredit pada pihak debitur. Prinsip-Prinspin tersebut antara lain :
1) Prinsip kepercayaan, maksudnya bahwa kredit adalah kepercayaan
kreditur bagi debitur, sekaligus kepercayaan bahwa debitur akan
mengembalikan hutangnya,
2) Prinsip kehati-hatian adalah salah satu konkretisasi dari prinsip
kepercayaan dalam pemberian kredit.
3) Prinsip 5C’s Meliputi :
a. Watak (character), yaitu kepribadian, moral dan kejujuran pemohon
kredit;
b. Modal (capital), yaitu modal dari pemohon kredit yang untuk
mengembangkan usahanya memerlukan bantuan bank.
c. Kemampuan (capacity), yaitu kemampuan untuk mengendalika,
memimpin, menguasai bidang usahanya, kesungguhan dan melihat
perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon berjalan dengan baik
dan memberikan untung (rendable);
d. Kondisi ekonomi (condition of economic), yaitu situasi ekonomi pada
waktu dan jangka waktu tertentu, dimana kredit diberikan bank pada
pemohon;
32Ibid, h.186-187
e. Jaminan (collateral), adalah kekayaan yang dapat diikat sebagai
jaminan, guna kepastian pelunasan di belakang hari, kalau menerima
kredit tidak melunasi hutangnya. Jaminan kredit tersebut harus dapat
diyakini sebagai jaminan yang baik dan berharga sehingga akan dapat
memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain jaminan kredit sebagai
pengamanan pelunasan kredit, jaminan kredit sebagai pendorong
motivasi debitur, dan fungsi yang terkait dengan pelaksanaan
ketentuan perbankan.33
4) Prinsip 5 P, meliputi :
a. Para pihak (party), dilakukan penggolongan calon debitur yang dibagi
dalam beberapa golongan berdasarkan character, capacity, dan capital.
b. Tujuan (purpose) maksudnya analisis tentang tujuan penggunaan
kredit yang telah disampaikan oleh calon debitur;
c. Pembayaran (payment), artinya sumber pembayaran dari calon debitur;
d. Perolehan laba (profitability) yaitu penilaian terhadapa kemampuan
calon debitur untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya;
e. Perlindungan (protection) merupakan analisis terhadap sarana
perlindungan terhadap kreditur.
5) Prinsip 3 R meliputi :
a. Return, adalah penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh perusahaan
peminjam setelah memperoleh kredit;
33 M. Bahsan, op.cit, h.70.
b. Repayment adalah meperhitungkan kemampuan, jadwal dan jangka waktu
pembayaran kredit oleh debitur, tetapi perusahaannya tetap berjalan;
c. Risk bearing ability adalah besarnya kemampuan perusahaan debitur
untuk menghindari resiko, dan apakah resiko perusahaan debitur besar
atau kecil.34
2.4. Jaminan Dalam Perjanjian Kredit
2.4.1 Pengertian Jaminan
Dalam Bahasa Belanda istilah jaminan memiliki terjemahan yaitu
Zekerheid atau cutie yang mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin
dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitur terhadap
barang-barangnya. Menurut dalam Pasal 1131 KUH Perdata Jaminan yaitu
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah
ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan
perorangan debitur itu”. Hartono Hadisoeprapto mengungkapkan jaminan adalah
sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa
debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul
dari suatu perikatan35.
Pengertian kata jaminan kredit dalam perpektif Undang-Undang No.07
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun
1998 disebutkan dalam ketentuan pasal 8 ayat (1) bahwa “dalam memberikan
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah , Bank Umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan 34 Djuhaendah Hasan, op.cit, h. 21. 35 M. Bahsan, op.cit, h.70.
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Istilah
jaminan dalam perspektif Undang-Undang No.07 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 diartikan sebagai “keyakinan
atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan”.36
Berkaitan dengan pemberian kredit bank tetap meminta agunan dari
pemohon kredit selain analisis itikad baik dan kemampuan permohonan kredit.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Perbankan yang
mengartikan Agunan adalah “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur
kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah”. Perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir artinya
perjanjian pengiktan jaminan keberadaanya tergantung dari perjanjian pokonya
yaitu perjanjian kredit. Tujuan agunan ini untuk mendapatkan fasilitas pemberian
kredit dari bank.
2.5. Jenis-Jenis Jaminan Kredit
Pada umunya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam
Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya,
menurut sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan menguasainya dan
36 Djoni S. Gazali dan Racmadi Usman, op.cit, h.281
lain-lain.37 Menurut sifatnya, jaminan digolongkan menjadi jaminan perorangan
dan jaminan kebendaan. antara lain :
1) Jaminan Perorangan
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan yang
bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung
pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur
tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (contoh borgtocht).38
Dikenal asas kesamaan dalam hak peroranganyang diatur dalam Pasal
1311 dan 1312 KUH Perdat. asas ini memiliki arti bahwa tidak ada
pembedaan atas piutang terdahulu dengan piutang yang terjadi kemudian.
Semua debitur mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta kekayaan
debitur.
Pada jaminan perorangan kreditur mempunyai hak menuntut pemenuhan
piutangnya selain kepada debitur yang utama juga kepada penanggung atau
dapat menuntut pemenuhan kepada debitur lainnya. Jaminan perorangan yang
demikian dapat terjadi jika kreditur mempunyai seorang penjamin (borg) atau
jika pihak ketiga mengikatkan diri secara tanggung menanggung dalam
debitur. 39 Kata “perorangan” dalam jaminan perorangan harus diartikan
sebagai subjek hukum, yang terdiri dari orang-perorangan (manusia) dan
badan hukum. Oleh karena itu jaminan perorangan ini dapat berupa personal
37 Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, h.185. 38 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2007, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h.46-47. 39 Ibid, h. 48.
guaranty (jamina orang/pribadi) dan corporate guaranty (jaminan badan
hukum/ badan usaha).40 Terdapat 3 jenis jamina perorangan, yaitu :
a. Perjnajian penanggungan/Borgtocht (pasal 1820 KUH Perdata)
b. Perjanjian Garansi (Pasal 1316 KUH Perdata)
c. Perjanjian Tanggung-menanggung/tanggung renteng (Pasal 1278
KUH Perdata).
2) Jaminan Kebendaan
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengemukakan bahwa jaminan
kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang
mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu,
dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (dnoite
de suite) dan dapat diperalihkan (contoh hipotik, gadai dan lain-lain.41
Hukum jaminan di Indonesia mengenat 5 (lima) jenis hak jaminan
kebendaan :
a. Gadai
Hak gadai menurut KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab XX
Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161. Menurut Pasal 1150 KUH
Perdata, “Gadai adalah suatu huk yang diperoleh kreditur atas suatu
barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau oleh
kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi
wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya
40 Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, h.68-69.
41 Sri Soedewi, op.cit. h. 46-47.
dari barang itu dengan mendahului kreditur-kreditur lain; dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas
tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya
penyelamatan barang itu, yang dikeluarakan setelah barang itu
diserahkan sebagai gadai dan yang harus didahulukan”.Dari
pengertian gadai yang diatur dalam ketentuan Pasal 1150 KUH
Perdata, belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Sifat
umum gadai harus dicari lagi didalam ketentuan-ketentuan lain KUH
Perdata yaitu sebagai berikut42:
- Gadai berlaku untuk benda bergerak
Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak; baik
berwujud maupun tidak berwujud.
- Gadai bersifat kebendaan
Tujuan sifat kebendaan sebagaimana ketentuan Pasal 528
KUH Perdata adalah untuk memberikan jaminan bagi pemegang
gadai bahwa di kemudian hari piutangnya pasti dibayar dari nilai
jaminan.
- Benda gadai dikuasai oleh pemegang gadai
Sesuai dengan objek benda gadai yang merupakan benda
bergerak, maka harus ada hubungan yang nyata antara benda dan
pemcgang gadai. Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai
42 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai & Fducia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, h. 56-57.
kepada pemegang gadai. Benda gadai tidak boleh berada dalam
kekuasaan wakil atau petugas pemberi gadai. Ratio dari
penguasaan ini ialah sebagai publikasi untuk umum; bahwa hak
kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang
gadai.
Demikian juga hak gadai hapus apabila barang gadai keluar
dari kekuasaan penerima gadai kecuali jika barang itu hilang atau
dicuri padanya, sesuai dengan bunyi Pasal 1152 ayat (3) KUH
Perdata.
- Hak menjual sendiri benda gadai
Berdasarkan ketentuan Pasal 1155 ayat (1) KUH Perdata,
pemegang gadai berhak menjual sendiri benda gadai dalam hal
debitur wanprestasi. Dari hasil penjualan tersebut, pemegang gadai
berhak mengambil pelunasan piutang beserta bunga dan biaya dari
pendapatan penjualan tersebut.
- Hak yang didahulukan
Pasal 1133 jo Pasal 1150 KUH Perdata
- Hak accesoir
Perjanjian gadai merupakan perjanjian ikutan atau accesoir,
yaitu perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya yang dalam
hal ini yaitu perjanjian kredit. Dengan demikian perjanjian gadai
menjadi hapus apabila perjanjian kredit yang menjadi perjanjian
pokoknya berakhir.
Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai
(pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever, yaitu orang
atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda
bergerak selaku gadai kepada penerima gadai, untuk pinjaman uang
yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Pandnemer adalah orang
atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk
pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai
(pandgever).43
b. Hipotik
Pasal 1162 KUH Perdata mendefinisikan hipotik sebagai suatu
hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.
Sebagaimana halnya gadai, hipotik ini pun merupakan hak yang
bersifat accesoir. Pasal 1168 KUH Perdata menentukan bahwa hipotik
hanya dapat dilakukan oleh pemilik barang dan pemasangan hipotik
atau kuasa memasang hipotik harus dilakukan dengan akta Notaris,
sebagaimana ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata.
Objek hipotik sesuai dengan Pasal 1164 KUH Perdata adalah
bacang tidak bergerak. Hipotik tidak dapat dibebankan atas benda
bergerak. Dengan berlakunya UUHT, maka hak-hak atas tanah hanya
dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
43 H. Salim HS, 2003, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Sinar Grafika, Jakarta, h. 36.
Berdasar ketentuan Pasal 29 UUHT, ketentuan mengenai
Credieltierband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo.
Staat.sblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah
diubah dengan Staatsblad 1937-190 ja. Staatsblaal 1937-191 dan
ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai
pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-
benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Saat ini hipotik hanya dapat dibebankan atas:
- Kapal-kapal isi kotor 20 M3 dan terdaftar (Pasal 314 KUH Dagang
jo Pasal 49 Undang-Undang Pelayaran No. 21 Tahun 1992)
- Pesawat terbang dan helikopter (Pasal 12 Undang-Undang No. 15
Tahun 1992 tentang Penerbangan).
c. Hak Tanggungan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
(UUHT) disahkan pada tanggal 9 April 1996, 36 tahun setelah
pengamanatannya dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Lembaga hak tanggungan yang diatur oleh UUHT dimaksudkan
sebagai pengganti dari Hypotheek (hipotik) sebagaimana diatur dalam
Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan Credretvenband
yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah
dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57 UUPA masih
diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang
tentang Hak Tanggungan tersebut.44
Dari pengertian hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan adalah “hak jaminan
yangdibebankanpadahakalas tanah sebagaimanadimaksud
dalamUndang-UndangNomor1tahun1960tentangPeraturan
DasarPokok-PokokAgraria,berikutatautidakberikutbenda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untukpelunasanutangtertentu,yangmemberikankedudukan
yangdiutamakankepadakreditur tertentu terhadapkreditur-
kreditur lain”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak
tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang
tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
d. Fidusia
Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata
barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan
sistem civil law.45
Lembaga jaminan fidusia sesungguhnya sudah sangat tua dan
dikenal serta digunakan dalam masyarakat Romawi. Dalam hukum
44 Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sutan Remy Sjahdeini II), h.1-2.
45 Tan Kamelo I, op.cit. h.35.
Romawi lembaga jaminan ini dikenal dengan nama fiducia cum
creditore contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan
kreditor. Lembaga jaminan fidusia sebagaimana yang dikenal sekarang
dalam bentuk fiduciare eigendomsoverdracht atau FEO, yaitu
pengalihan hak milik secara kepercayaan timbul berkenaan dengan
adanya ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata tentang gadai yang
mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak
boleh berada pada pemberi gadai.
Berdasar pengertian fidusia dan jaminan fidusia yang diatur
dalam Pasal 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah
hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tiduk bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sehagaimnna dimuksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Jaminan fidusia dapat diuraikan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi
pengalihan hak kepemilikan, dimana pengalihan hak kepemilikan atas
benda yang menjadi objek jaminan fiducia dilakukan dengan cara
Ganstitutittn possessorium (verklaring van houderschap) yang berarti
pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan
penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia
seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan
penerima fidusia.46
Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu
yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud; yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang
bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan atau hipotek.
e. Sistem Resi Gudang (SRG)
Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 1 UUSRG, Sistem Resi Gudang adalah
kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan
penyelesaian transaksi Resi Gudang.
Sistem Resi Gudang merupakan salah satu instrumen penting dan efektif
dalam sistem pembiayaan perdagangan. Sistem Resi Gudang dapat
memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau
barang yang disimpan di gudang. Sistem Resi Gudang juga bermanfaat dalam
menstabilkan harga pasar dengan memfasilitasi cara penjualan yang dapat
dilakukan sepanjang tahun. Di samping itu, Sistem Resi Gudang dapat
digunakan oleh Pemerintah untuk pengendalian harga dan persediaan
nasional.
Sesuai dengan ketentuan penjelelasan umun Undang-Undang No.9 Tahun
2006 paragraf VI Resi Gudang sebagai alas hak (document of title) atas barang
46 Arie S. Hutagalung, 2007 “Analisa Yuridis Normatif Mengenai Pemberian dan Pendaftaran Jaminan Fidusia” dalam Kumpulan Transaksi Berjamin: (Secured Transaction) Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Jakarta, h.784.
dapat digunakan sebagai agunan karena Resi Gudang tersebut dijamin dengan
komoditas tertentu dalam pengawasan Pengelola Gudang yang terakreditasi.
Sistem Resi Gudang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pemasaran yang telah dikembangkan di berbagai negara. Sistem ini terbukti
telah mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri karena baik produsen
maupun sektor komersial dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan
setengah jadi menjadi suatu produk yang dapat diperjualbelikan secara luas.
bahwa hal ini dimungkinkan karena Resi Gudang juga merupakan instrumen
keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan.
derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka
yang jatuh tempo di bursa berjangka.