bab ii.doc contoh
DESCRIPTION
jhhvTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Nyeri
1. Pengertian
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tasmuri 2007).
Nyeri adalah suatu pengalaman yang dipelajari oleh pengaruh dari
situasi hidup masing-masing orang dan dapat timbul oleh berbagai stimuli
termasuk cemas/stress, tetapi reaksi terhadap nyeri tidak dapat diukur
secara obyektif (Long 2000).
Nyeri adalah suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang dapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual
maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
(International Association for Study of Pain (IASP) ).
2. Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
8
9
Berdasarkan letaknya nosireseptor dapat dikelompokan dalam
beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatik), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat ( kecepatan tranmisi 6 -
30 m/det ) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan
cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri
yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek nyeri yang
timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral, reseptor
ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak
sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.
10
3. Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan
bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat
ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri
dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan
(Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965)
mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan
nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut
kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A
dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk
mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu terdapat
mekanoreseptor neuron beta-A yang lebih tebal dan lebih cepat
melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme
pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat
seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang
dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika
11
impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat
endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. Tehnik distraksi, konseling
dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin
(Potter, 2005).
4. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien, arti nyeri bagi setiap
individu berbeda-beda antara lain :
a. Bahaya atau merusak.
b. Komplikasi seperti infeksi.
c. Penyakit yang berulang.
d. Penyakit baru.
e. Penyakit yang fatal.
f. Peningkatan ketidakmampuan.
g. Kehilangan mobilitas.
h. Menjadi tua.
i. Sembuh.
j. Perlu untuk penyembuhan.
k. Hukuman untuk berdosa.
l. Tantangan.
m. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain.
12
n. Sesuatu yang harus ditoleransi.
o. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki.
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial
budaya.
5. Respon fisiologis terhadap nyeri
Stimulus Simpatik ( nyeri ringan, moderat, dan superficial ) :
a. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate.
b. Peningkatan heart rate.
c. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP.
d. Peningkatan nilai gula darah.
e. Diaphoresis.
f. Peningkatan kekuatan otot.
g. Dilatasi pupil.
h. Penurunan motilitas GI.
Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam) :
a. Muka pucat.
b. Otot mengeras.
c. Penurunan HR dan BP.
d. Nafas cepat dan irreguler.
e. Nausea dan vomitus.
f. Kelelahan dan keletihan.
13
6. Respon tingkah laku terhadap nyeri
a. Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, Sesak nafas, mendengkur).
b. Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir).
c. Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan
gerakan jari dan tangan).
d. Kontak dengan orang lain atau interaksi sosial (Menghindari
percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang
perhatian, Fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri).
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat
bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa
menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan
membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien
dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan
terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan
perhatian terhadap nyeri.
7. Fase Nyeri
Meinhart dan Mc Caffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman
nyeri :
a. Fase antisipasi ( terjadi sebelum nyeri diterima )
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting,
karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
14
b. Fase sensasi ( terjadi saat nyeri terasa )
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu
bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu
orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus
kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan
mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan
tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa
bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah
sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari
stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu
dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan
sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Individu bisa
mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan itulah
yang digunakan untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan
nyeri. pengkajian secara teliti sangat diperlukan apabila seseorang
sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang
tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan
untuk membantu individu mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
15
c. Fase akibat ( terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti )
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada
fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri
bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa
pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang
berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
8. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau
meninggal jika nyeri diperiksakan (Meinhart dan Mc. Caffery 2005).
b. Jenis kelamin
Gill (2005) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda
secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi
faktor budaya bahwa tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri,
wanita boleh mengeluh nyeri.
16
c. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri.
d. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (2005), perhatian
yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk
mengatasi nyeri.
f. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
g. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa
lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih
mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi
nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
17
h. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang mal adaptif akan menyulitkan
seseorang mengatasi nyeri.
i. Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
perlindungan.
9. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan
tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri (Tasmuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif.
18
Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik.
Gambar 2.3 Skala Analog Visual.
Gambar 2.4 Skala Nyeri Bourbanis.
Keterangan :
1) 0 : Tidak nyeri.
2) 1 – 3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik.
3) 4 - 6 : Nyeri sedang : secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
19
4) 7 - 9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi.
5) 10 : Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan
atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah, namun
makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke
waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini klien
20
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala
ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan
saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tetapi juga
mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan
setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
21
B. Konsep Cemas
1. Definisi Cemas
Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian yang
menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai
berbagai keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi dalam berbagai
situasi kehidupan maupun pada saat sakit. Selain itu kecemasan dapat
menimbulkan reaksi tubuh yang akan terjadi secara berulang seperti rasa
kosong di perut, sesak nafas, jantung berdebar, keringat banyak, sakit
kepala, rasa mau buang air kecil dan sesuatu yang dicemaskan (Stuart and
Sundeen, 2005).
Cemas adalah perasaan yang dialami ketika seseorang terlalu
mengkhawatirkan kemungkinan peristiwa yang menakutkan yang terjadi
dimasa depan yang tidak bisa dikendalikan dan jika itu terjadi akan dinilai
sebagai “mengerikan”( Sivalitar, 2007 ).
Cemas adalah sebab dari resepsi dimana terdapat konflik
emosional antara id dan super ego (Freund, 2002).
2. Tanda dan Gejala
a. Tanda Fisik
1) Gemetar, berkedutan, merasa rikuh.
2) Sakit kepala.
3) Ketegangan otot.
4) Napas pendek, hiperventilasi.
5) Fatigabilitas.
6) Reaksi tercengang.
22
7) Hiperaktivitas otonom, meliputi:
a) Flushing dan pucat.
b) Takhikardia, palpitasi.
c) Berkeringat.
d) Tangan dingin.
e) Diare.
f) Xerostomia.
g) Polakiuria.
8) Parestesia.
9) Sulit menelan.
b. Gejala Psikologik
1) Rasa takut.
2) Sulit konsentrasi.
3) Hiperteliti.
4) Insomnia.
5) Turunnya libido.
6) Mengganjal di tenggorok.
7) Dongkol di ulu hati.
3. Etiologi
a. Biologik
1) Reaksi otonom berlebih dengan naiknya tonus simpatis.
2) Naiknya pelepasan katekolamin.
23
3) Naiknya metabolic norepinephrin, missal 3-metoksi-4-
hidroksifenil-glikol (MHPG). Infuse laktat percobaan menambah
norepineprin, menimbulkan kecemasan.
4) Turunnya masa tidur laten REM dan stadium 4 (serupa depresi).
5) Turunnya GABA memnyebabkan hiperaktivitas SSP (GABA
menghambat kemampuan SSP).
6) Serotonin naik menyebabkan kecemasan, naiknya aktivitas
dopamine energik berkaitan dengan cemas.
7) Pusat hiperaktif di korteks serebral temporal.
8) Lakus seruleus, pusat neuron noradrenergic, hiperaktif pada
stadium cemas.
b. Psikoanalitik
1) Implus tak sadar, missal: seks, sgresi mengancam meletus ke
dalam alam sadar dan menimbulkan kecemasan.
2) Mekanisme defens dipakai untuk mengatasi cemas.
3) Pergeseran (displacement) menimbulkan fobia.
4) Pembentukan reaksi undoing dan menimbulkan gangguan
obsesif-konfulsif.
5) Rubuhnya represi menimbulkan panik atau gangguan cemas
umum.
6) Agrofobia berkaitan dengan :
a) Hubungan bergantian-hostil dengan teman.
b) Takut impuls agresif atau seksual dari diri ke orang
lain/sebaliknya.
24
4. Faktor predisposisi
Menurut Stuart and sundeen (2000), factor predisposisi
kecemasan, yaitu:
a. Dalam pandangan psikoanalitik ansietas adalah konflik emosional
yang terjadi antara dua elemen ID dan superego, ID mewakili
dorongan insting dan impuls primitive seseorang, sedangkan
superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh
norma-norma budaya seseorang.
b. Menurut pandangan interpersonal ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
c. Menurut pandangan perilaku ansietas merupakan produk frustasi
yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
d. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan tindih dalam
gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
e. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak menggatung reseptor
khusus untuk benzodiazepines. Reseptor ini mungkin membantu
mengatur ansietas.
5. Respon Rentan Kecemasan
Rentan respon ansietas yaitu respon yang dapat menggambarkan
respon adaptif pada ansietas (Stuart dan Sundeen, 1988). diterbitkan
kembali konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa, 2005.
25
Adaptif Mal Adaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
Gambar 2.5 Rentang respon kecemasan stuart dan sudden
a. Ansietas Ringan
Ansietas berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa
kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini persepsi melebur dan pada
tahap ini individu akan berhati-hati dan waspada, individu berdorong
untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
Manifestasi yang muncul pada ansietas ringan :
1) Respon Fisiologis berupa : sesekali nafas pendek, nadi dan
tekanan naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir
bergetar.
2) Respon Kognitif berupa : lapang persepsi meluap, mampu
menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah,
menyelesaikan masalah secara efektif.
3) Respon Perilaku dan Emosi berupa : tidak dapat duduk dengan
tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.
(Stuart dan Sundeen,2005).
26
b. Ansietas Sedang
Pada tahap ini individu lebih memfokuskan terhadap hal
penting saat itu dan mengesampingkan hal lain. Pada tahap ini lahan
persepsi terhadap lingkungan menurun.
Manifestasi yang muncul pada ansietas sedang:
1) Respon Fisiologi berupa : sering nafas pendek, nadi dan tekanan
darah naik, mulut kering, anorexia, diare atau konstipasi, gelisah.
2) Respon Kognitif berupa : lapang persepsi menyempit, rangsangan
luar tidak mampu diterima, berfokus pada pada apa yang menjadi
perhatian.
3) Respon Perilaku dan Emosi berupa : gerakan tersentak-sentak
(meremar tangan) bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur,
perasaan tidak aman. (Stuart dan Sundeen,2005).
c. Ansietas Berat
Pada tahap ini lahan persepsi menjadi sangat sempit, individu
cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang
lain. Individu tidak mampu berfikir lagi dan dibutuhkan banyak
pengarahan dan tuntunan.
Manifestasi yang mungkin muncul pada ansietas berat :
1) Respon Fisiologis berupa : nafas pendek, nadi dan tekanan darah
naik, berkeringat, dan sakit kepala, penglihatan kabur,
ketegangan.
2) Respon Kognitif berupa : lapang persepsi sangat sempit, tidak
mampu menyelesaikan masalah.
27
3) Respon Perilaku dan Emosi berupa: perasaan ancaman
meningkat, pengucapan kata-kata cepat, (Stuart dan
Sundeen,2005).
d. Panik
Pada tahap ini individu sudah tidak dapat mengendalikan diri
lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa lagi walaupun sudah diberi
pengarahan atau tuntunan.
Manifestasi yang mungkin muncul pada panik:
1) Respon Fisiologis berupa : nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada,
pucat, hipotensi dan koordinasi rendah.
2) Respon Kognitif berupa : lapang sangat sempit, tidak dapat
berfikir logis.
3) Respon Perilaku dan Emosi berupa : mengantuk dan marah-marah,
ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali/control diri,
persepsi kacau. (Stuart dan Sundeen).
6. Gejala-Gejala Klinis Cemas
Keluhan-keluhan yang sering ditemukan oleh orang yang
mengalami gangguan kecemasan adalah sebagai berikut :
a. Cemas, khawatir, riwayat buruk, takut akan fikiran sendiri, mudah
tersinggung.
b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
c. Takut sendiri, takut keramaian dan takut banyak orang.
d. Gangguan pola tidur dan mimpi-mimpi yang menegangkan.
28
e. Keluhan-keluhan yang somatik, misalnya nyeri otot dan tulang,
berdebar-debar, sesak nafas, sakit kepala, pendengaran berdenging
atau (Titinus).
7. Gejala-gejala yang tercantum dalam HARS (Hamilton Anxiety Rating
Scale)
Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan
menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety
Rating Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang
didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami
kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 symptom yang nampak
pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi
diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).
Skala HARS pertama kali digunakan pertama kali pada tahun
1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi
standart dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial
clinic. Skala HARS teah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas
cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian
trial clinic yaitu ) 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukan bahwa
pengukuran kecemasan dengan menggunaka skala HARS akan diperoleh
hasil yang valid dan reliabel.
Skala HARS menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang
dikutip Nursalam (2003) penilaian kecemasan terdiri dari 14 item
meliputi:
29
a. Perasaan Cemas : cemas, firasat buruk, takut akan fikiran sendiri,
mudah tersinggung, mudah menangis, gemetar, gelisah.
b. Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat istirahat dengan tenang,
mudah terkejut, mudah menangis, gemetar gelisah.
c. Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada
binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan orang
banyak.
d. Gangguan Tidur : sukar memulai tidur, terbangun dimalam hari, tidur
tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi-mimpi buruk,
mimpi yang menakutkan.
e. Gangguan Kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun,
sering bingung.
f. Depresi : kehilangan minat, berkurangnya kesenangan pada hoby,
sedih, perasaan berubah-ubah setiap hari, bangun dini hari.
g. Gejala Nomatik : nyeri otot, kaku, kedutan otot, gigi gemeratak, suara
tidak stabil.
h. Gejala Sensorik : telinga berdenging, penglihatan kabur, muka merah
atau pucat, merasa lelah atau lemah, perasaan ditusuk-tusuk.
i. Gejala Kardiovaskuler : denyut nadi cepat, berdebar-debar, nyeri
dada, denyut nadi mengeras, merasa lesu atau lemas seperti mau
pingsan, denyut jantung menghilang atau berhenti sekejap.
j. Gejala Respiratory : rasa tertekan didada, perasaan tercekik, merasa
nafas pendek atau sesak, sering menarik nafas panjang.
30
k. Gejala Gastro Intestianal : sulit menelan, perut melilit, berat badan
menurun, nyeri sebelum dan sesudah makan, rasa panas diperut, rasa
penuh atau kembung, mual, muntah, buang air besar lembek dan sulit.
l. Gejala Urogenital : sering buang air kecil, tidak dapat menahan buang
air kecil, tidak haid, darah haid sedikit, darah haid berlebihan, masa
haid amat pendek, masa haid berkepanjangan, haid beberapa kali
sebulan, frigid, ejakulasi dini, ereksi melemah atau hilang.
m. Gejala Vegetatif atau Otonom : mulut kering, muka merah, mudah
berkeringat, kepala pusing atau sakit kepala.
n. Tingkah Laku atau Sikap saat Wawancara : gelisah, tidak tenang,
muka tegang, jari gemetar, nafas pendek dan cepat tonus atau
ketegangan otot meningkat.
Setelah memperoleh data yang diperlukan maka langkah
selanjutnya adalah menganalisa data-data yang telah diperoleh melalui
pengamatan peneliti lalu pada setiap pengamatan diberikan penilaian
sebagai berikut :
a. Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali.
b. Skor 1 : gejala ringan.
c. Skor 2 : gejala sedang.
d. Skor 3 : gejala berat.
e. Skor 4 : gejala berat atau semua gejala.
Kemudian untuk menentukan derajat yang kecemasan dilakukan
penjumlahan atau scor dari 14 item HARS sebagai berikut : Penilaian
31
hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1 sampai dengan 14
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Skor < 14 : tidak ada kecemasan.
b. Skor 14-20 : kecemasan ringan.
c. Skor 21-27 : kecemasan sedang.
d. Skor 28-41 : kecemasan berat.
e. Skor 41-56 : sangat berat atau panik.
8. Mekanisme Koping Terhadap Kecemasan
Ketika mengalami ansietas, individu atau keluarga menggunakan
berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidak
mampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab
utama terjadinya peristiwa patologis. Pola yang sering digunakan
seseorang untuk ansietas ringan cenderung tetap dominan ketika ansietas
terhambat. Ansietas tingkat ringan ditanggulangi dengan dua jenis
mekanisme koping. (Stuart dan Sundeen).
a. Reaksi Orientasi Tugas :
1) Berorientasi terhadap tindakan untuk memahami tuntunan dari
situasi stress secara realistik dapat berupa konstriktif atau
dekstruktif.
2) Perilaku menyerang biasanya untuk menghilangkan sumber
ancaman secara fisik maupun psikologis.
3) Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan,
merubah tujuan, memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang.
32
b. Mekanisme Pertahanan Ego :
Membantu mengalami ansietas yang sedang, tetapi jika
berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri dan
distorsi realitas maka mekanisme ini dapat merupakan respon
terhadap stress. Ada beberapa mekanisme pertahanan ego yang sering
digunakan antara lain :
1) Denial (mengingkari)
Menghindari realitas ketidak setujuan dengan mengabaikan
atau menolak untuk mrngenalinya, kemungkinan merupakan
mekanisme pertahanan diri yang paling sederhana dan paling
primitive.
2) Displacement (salah pindah)
Mengalihkan yang seharusnya diarahkan pada benda atau
orang tertentu, ke benda atau orang yang netral atau tidak
membahayakan.
3) Proyeksi
Meningkatkan pikiran atau impuls dirinya atau
keinginannya untuk tidak dapat ditoleransi perasaan emosional
atau motivasi kepada orang lain.
4) Rasionalisasi
Memberikan penjelasan yang diterima secara sosial atau
tampaknya masuk akal untuk menyesuaikan perasaan, perilaku
dan motif yang tidak bisa diterima.
33
5) Regresi
Menghindari stress dari karakteristik dari tahap lebih awal.
(W.f.Maramis,2003).
9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cemas
a. Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat ini
dilahirkan sampai pada saat berulang tahun (Elizabeth, 2006).
Semakin cukup umur semakin matang tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan semakin matang dalam berfikir dan bekerja.
Dari segi kepercayaan seseorang yang lebih dewasa akan lebih
dipercaya dari pada orang yang belum cukup dewasa. Hal ini sebagai
akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa. Semakin tua seseorang
semakin konstruktif dalam penggunaan koping terhadap masalah
yang dihadapi. Makin mudah umur seseorang makin mengalami
permasalahan dan mempenmgaruhi tingkat kecemasannya. (Huklock,
2005).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat
kecemasan, yaitu dijelaskan bahwa stress sering dialami pada wanita
dari pada pria dikarenakan wanita mempunyai kepribadian yang labil
dan immature, juga adanya peran hormon yang mempengaruhi
kondisi emosi sehingga mudah meledak, mudah cemas, dan curiga.
(Stuart 2006)
34
c. Pendidikan dan status ekonomi
Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah pada
seseorang akan menyebabkan orang tersebut mudah mengalami
kecemasan. Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir, semakin tinggi tingkat
pendidikan akan semakin mudah berpikir rasional dan menangkap
informasi baru termasuk dalam menguraikan masalah yang baru
(Stuart and Sundeen, 2005).
d. Pengetahuan
Pengetahuan (Knwoledge) adalah suatu hasil dari tahu dan ini
terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melaui mata dan telinga.
Pengetahuan juga merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. (Notoatmodjo Soekidjo, 2003).
e. Lingkungan
Lingkungan adalah kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruh yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku
orang atau kelompok. Lingkungan adalah input terkecil kedalam diri
seseorang sebagai sistem adaptif yang melibatkan baik faktor
internal maupun eksternal.
35
f. Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama
untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya.
(Thomas, 2004). Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih
banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan berulang
dan banyak tantangan. (Erick, 2007). Bekerja umumnya adalah
kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi seseorang kan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga. (Markum, 2001).
Seseorang yang mempunyai pekerjaan penting dan memerlukan
aktifitas akan merasa tidak nyaman karena menjalani rawat inap di
rumah sakit, hal ini akan mempengaruhi terjadinya kecemasan (Baso,
2000).
g. Pengalaman
Menurut Horney dalam Trismiati (2006), sumber-sumber
ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan tersebut bersifat lebih
umum. Penyebab kecemasan menurut Horney, dapat berasal dari
berbagai kejadian di dalam kehidupan atau dapat terletak di dalam
diri seseorang, misalnya seseorang yang memiliki pengalaman dalam
menjalani suatu tindakan maka dalam dirinya akan lebih mampu
beradaptasi atau kecemasan yang timbul tidak terlalu besar.
10. Penanganan Kecemasan
Tindakan keperawatan yang dapat mendukung mekanisme tubuh
dalam menangani kecemasan sehingga dapat menurunkan kecemasan
36
sampai pada kondisi yang ringan atau sedang, Adapun tindakan
keperawatan yang dapat dilakukan adalah:
a. Memberi penjelasan atau informasi, penjelasan harus diberikan
sebagai bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien. Jika pasien
sangat cemas, mengulangi penjelasan sangat penting karena
kecemasan yang berlebih dapat menurunkan faktor intelektual.
b. Mengenali Perasaan, tugas perawat disini memotivasi pasien untuk
mengekspresikan kecemasannya dan memberikan kesempatan
mengungkapkan kecemasannya.
c. Mendukung Mekanisme Koping. Koping adalah cara yang dilakukan
individu menyelesaikan masalah.
d. Memfasilitasi Pemecahan masalah. Langkah-langkah dalam
pemecahan masalah adalah mengumpulkan data, mengidentifikasi
keleluasaan, mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kecemasan,
menentukan alternatif tindakan dalam mencapai tujuan.
Melaksanakan tujuan dan mengevaluasi efektivitas dan tindakan.
e. Melakukan tehnik relaksasi, ada empat komponen utama dari tehnik
relaksasi yaitu :
1) Lingkungan yang tenang, menghindari sebanyak mungkin
kebisingan.
2) Posisi yang nyaman, duduk tanpa ketegangan otot.
3) Sikap yang dapat diubah “mengosongkan fikiran dari alam
sadar”.
37
4) Keadaan Mental memusatkan perhatian pada suara, merubah
fikiran-fikiran secara internal menjadi fikiran yang lebih mudah
diterima.
C. Konsep IMA ( Infark Miokard Akut )
1. Definisi
IMA ( Infark Miokard Akut ) adalah nekrosis miokard akibat aliran
darah ke otot jantung terganggu ( Noer H. M Sjaifullah, 2005 ).
IMA ( Infark Miokard Akut ) adalah terjadinya nekrosis miokard
yang cepat disebabkan karena ketidak seimbangan yang kritis antara
aliran darah dan kebutuhan darah miokard. (M. Widiastuti Samekto,
2001).
IMA ( Infark Miokard Akut ) adalah kematian jaringan miokard
diakibatkan oleh kerusakan aliran darah koroner miokard, penyempitan
atau sumbatan arteri koroner diakibatkan aterosklerosis atau penurunan
aliran darah akibat syok atau perdarahan (Carpenito L.J. 2000).
IMA ( Infark Miokard Akut ) merupakan blok total yang mendadak
dari arteri koroner besar atau cabang-cabangnya. Lamanya kerusakan
miocard bervariasi dan bergantung kepada besar daerah yang diperfusi
oleh arteri yang tersumbat. Infark miocard akut dapat berakibat nekrosis
karena parut atau fibrosis dan mendatangkan kematian mendadak
(Barbara C. Long, 2004). Infark miokard akut mengacu pada proses
rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga
38
aliran darah koroner berkurang (Smetzler Suzanne C & Brenda G. Bare,
2002 ).
Dari keempat pengertian diatas maka dapat disimpulakan bahwa
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan suatu keadaan dimana terjadi
kerusakan atau kematian otot jantung yang disebabkan karena
berkurangnya atau terhambatnya aliran darah koroner secara tiba-tiba atau
kebutuhan oksigen meningkat secara mendadak tanpa disertai perfusi
arteri koroner yang cukup.
2. Klasifikasi
Berdasarkan lapisan otot yang terkena Infark Miokard Akut dapat
dibedakan :
a. Infark Miokard Akut Transmural, mengenai seluruh lapisan otot
jantung (dinding ventrikel).
b. Infark Miokard Akut Non Transmural atau Subendokardial Infark,
yitu infark otot jantung bagian dalam (mengenai sepertiga miokard).
Berdasarkan tempat oklusinya pada pembuluh darah koroner :
a. Infark Miokard Akut Anterior.
b. Infark Miokard Akut Posterior.
c. Infark Miokard Akut Inferior.
3. Etiologi
a. Penyebab utama adalah rupture plak aterosklerosis dengan akibat
spasme dan pembentukan gumpalan.
b. Hipertropi Ventrikel Kiri (HVK), idiopathic hypertropic subaortic
stenosis (IHSS).
39
c. Hipoksia yang disebabkan keracunan karbon monoksida atau
gangguan paru akut. Infark pada keadaan ini biasanya terjadi bila
kebutuhan miokard secara drmatic relative meningkat dibandingkan
aliran darah.
d. Emboli arteri koroner, yang mungkin disebabkan oleh kolesterol
atau infeksi.
e. Vasopasm arteri koroner.
f. Arteritis.
g. Abnormalitas Koroner, termasuk anurisma arteri koroner.
h. Kokain, amfetamin, dan efedrin. Meningkatnya afterload atau
perubahan inotropik, yang menyebabkan kenaikkan kebutuhan
miokard.
i. Vasospasm primer dari arteri koroner.
Faktor risiko untuk terjadinya pembentukan plak aterosklerosis
termasuk :
a. Umur laki-laki < 70 tahun.
b. Merokok.
c. Hiperkolesterol dan hipertrigliseridemia.
d. Diabetes militus.
e. Hipertensi tak terkontrol.
f. Kepribadian tipe A.
g. Riwayat keluarga.
h. Sadentary lifestyle.
40
4. Tanda dan Gejala
Keluhan utama adalah nyeri dada biasanya didaerah precordium
anterior dirasakan seperti diremas-remas, berat, tertekan dan terhimpit.
Nyeri mulai dirasakan dari rahang, leher, lengan, punggung dan
epigastrium. Lengan kiri lebih sering terasa nyeri dari pada lengan kanan.
Rasa sakit biasanya berlangsung lebih dari setengah jam dan jarang
berhubungan dengan aktivitas serta tidak hilang istirahat atau pemberian
nitrat. Nyeri disertai dengan rasa mual, muntah, sesak, pusing, keringat
dingin, berdebar-debar, gelisah, nyeri kepala berat dan sinkop. Sesak
nafas mungkin bersamaan dengan nyeri dada sebagai tanda kemampuan
atau fungsi vetrikel yang buruk pada keadaan iskemik akut. Nausea dan
nyeri abdomen sering dijumpai pada infark yang mengenai dinding
inferior. Pada penderita usia lanjut dan diabetes hanya menunjukkan
gejala kelelahan, lesu atau sinkop.
5. Proses Penyakit
Penyebab paling sering Infark Miokard Akut adalah penyempitan
pembuluh darah yang disebabkan oleh karena atheromatous. Pecahnya
plak menyebabkan terjadinya agregasi trombosit, pembentukan thrombus
dan akumulasi fibrin, perdarahan dalam plak dan beberapa tingkatan
vasospasm. Keadaan ini akan mengakibatkan sumbatan baik parsial
maupun total, yang berakibat iskemi miokard. Sumbatan total pembuluh
darah yang lebih dari 4-6 jam berakibat nekrosis miokard yang
irreversible tetapi reperfusi yang dilakukan dalam waktu ini dapat
menyelamatkan miokard dan menurunkan morbiditas dan mortalitas.
41
6. Komplikasi
Perluasan infark dan iskemia pasca infark, aritmia (sinus
bradikardi, supraventrikular, takiaritmia, aritmia ventricular, gangguan
konduksi), disfungsi otot jantung (gagal jantung kiri, hipotensi), infark
ventrikel kanan, defek mekanik, rupture miokard, aneurisma ventrikel
kiri, perikarditis, dan thrombus mural.
7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
a. Riwayat nyeri dada yang khas.
b. Gambaran EKG infark.
c. Peningkatan enzim jantung.
Berdasarkan kriteria WHO maka diagnosa dapat ditegakkan
apabila didapat dua dari tiga diagnosa diatas.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG
Peninggian gelombang S – T, iskemia : penurunan atau
datarnya gelombang T, menunjukkan cidera dengan adanya
gelombang Q menunjukkan cidera, nekrosis.
b. Enzim jantung dan isoenzim
CPK-MB meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24
jam, kembali normal dalam 36-48 jam. LDH meningkat dalam 12-24
jam, memuncak dalam 24-48 jam, dan memakan waktu lama untuk
kembali normal. AST meningkat terjadi dalam 6-12 jam, memuncak
dalam 24 jam, kembali normal dalam 3-4 hari.
42
c. Elektrolit
Ketidakseimbangan mempengaruhi konduksi dan
kontraktilitas, contoh hipokalemi atau hiperkalemi.
d. Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000 mm3) tampak pada hari kedua
setelah infark miokard berhubungan dengan proses inflamasi.
e. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner
dan dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi dan
mengkaji fungsi ventrikel kiri. Prosedur tidak selalu dilakukan pada
fase infark miokard kecuali mendekati bedah jantung angioplasti atau
emergensi.
f. Digital subtraction angiography (DSA)
Untuk menggambarkan status penanaman arteri dan mndeteksi
penyakit arteri perifer.
9. Penatalaksanaan
Menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dan meningkatkan
persediaan oksigen Pertolongan dasar (Basic Life Support) yaitu :
a. A : Airway control (jalan udara) hal ini bertujuan Agar jalan nafas
bebas dan bersih serta udara bisa mengalir ke paru.
b. B : Breathing support (pernafasan), hal ini bertujuan memberikan
bantuan pernafasan ventilasi buatan dan pemberian oksigenisasi.
Meskipun khasiatnya belum diakui untuk infark miokard akut tanpa
komplikasi, oksigen sebaiknya diberikan dengan kecepatan 2 – 4 L /
menit lewat kanula hidung.
43
c. C : Circulation support (sirkulasi), hal ini bertujuan untuk
memmbantu sirkulasi kompresi jantung luar.
Dengan cara melihat ada tidaknya denyut nadi, bila tidak ada bisa
dilakukan RKP (resusitasi Kardio Pulmoner) yaitu dengan kompresi :
a. Setiap kompresi dihitung keras-keras.
b. Waktu pemberian ventilasi dilakukan secara cepat 5 – 6 detik tanpa
ekhalasi.
c. Penekanan lebih menggunakan penekanan berat dari pada lengan dan
bahu.
d. Dilakukan harus teratur, berirama, dan menyentak atau mendadak.
Fase kompresi dan relaksasi mempunyai jangka waktu yang lama.
e. Telapak tangan tidak boleh lepas dari sternum.
f. Periksa arteri karotis setiap 4x siklus (± 1 menit)
Tabel 2.1 Penatalaksanaan Pertolongan dasar (Basic Life Support) Pada pasien IMA. Sumber : Barbara C. Long. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Kriteria pasien
Jumlah penolong
Rate ventilasi
Kompresi dadaRatio kompresi berbanding ventilasi
Kompresi dengan
RateKedalaman (cm)
Dewasa(>4 thn) 1
2 x/10 detik
2 tangan
80 x/menit (15 x/10 detik)
4 – 5 15 : 2
Catatan : Jika arteri karotis teraba, hentikan kompresi selama 5 detik.
44
g. Pertolongan Lanjut (Advanced Life Support) :
1) D : Drug and fluid (pemberian cairan dan obat-obatan),hal ini
bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri dada, vasodilator untuk
meningkatkan aliran darah koroner. Sedative seperti diazepam 3-
4x 2-5 mg peroral pada insomnia dapat ditambah flurazepam 15-
30 mg. analgesic seperti morfin 2,5-5 mg IV atau petidin 25-50
mg IM, lain-lain seperti nitrat, antagonis kalsium dan beta bloker.
Nitrogliserin 0,4-1,2 mg (sublingual) atau 1 – 2 mg (pasta
topikal). Antikoagulan seperti heparin 20000-40000 U/24 jam IV
tiap 4-6 jam atau drip IV dilakukan atas indikasi, diteruskan
dengan asetakumarol atau warfarin. Infuse dextrose 5% atau NaCl
0,9%.
2) E : Electrocardiography (EKG), hal ini bertujuan untuk
mengantisipasi timbulnya aritmia monitor EKG secara serial.
3) F : Fibrillation treatmen bertujuan untuk menentukan kerusakan
otak dan resusitasi serebral, untuk mengobati fibrilasi ventrikel
dilakukan DC – shock. Defibrilasi dilakukan 3 Joule / kg BB.
Dosis ulangan tertinggi adalah 5 Joule / kg BB dengan maksimal
400 Joule (Wsec).
Gelombang fibrilasi dapat halus (fine) atau kasar (coarse).
Gelombang yang halus biasanya kurang berespons dengan DC –
shock. Pemberian epinefrin dapat meningkatkan amplitude
gelombang fibrilasi dan membuat jantung lebih peka terhadap DC
– shock. Epinefrin diberikan Intravena sebanyak 0,5 – 1 ml
45
(konsentrasi 1 : 1000). Pijat Jantung Luar (PJL) dan ventilasi tetap
diberikan selama 1 – 2 menit, agar epinefrin dapat dialirkan dari
jantung. Kalsium – klorid 10 ml yang diberikan Intravena
mempunyai efek yang sama dengan epinefrin. Bila setelah DC –
shock 400 Joule diulangi fibrilasi ventrikel tetap ada , dapat diberi
lagi epinefrin Intravena , yang dapat diulangi setiap 3 – 5 menit.
Selama itu PJL dan ventilasi tetap dilakukan. Dapat pula diberikan
lidokain bolus Intravena 75 mg; ini akan meningkatkan respons
jantung terhadap DC – shock. Pemberian lidokain dapat diulangi
setiap 5 menit, tetapi dosis maksimal tidak boleh melebihi 200 –
300 mg. Bila DC – shock dan lidoakain belum berhasil
mengembalikan irama sinus, dapat diberikan propranolol 1 mg
Intravena, kemudian diikuti dengan DC – shock berikutnya.
Biasanya pasien sudah memberi respon dengan 2 – 3 kali
DC – shock, tetapi kadang-kadang diperlukan 9 kali atau lebih.
Bila dengan DC – shock ketiga belum ada respon, dianjurkan
untuk memakai defiblirator lain.
4) G : Gauging (penilaian), hal ini bertujuan untuk memonitor dan
mengevaluasi Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), pemeriksaan
dan penentuan penyebab dasar serta penilaian dapat tidaknya
pasien diselamatkan dan diteruskan pengobatan.
5) H : Human mentation, hal ini bertujuan untuk menentukan fungsi
otak apakah normal atau dapat pulih kembali.
46
6) I : Intensive care, hal ini bertujuan untuk perawatan intensive
jangka panjang. Mempertahankan homeostatis ekstra kranial dan
homeostatis intra kranial, antara lain dengan mengusahakan agar
fungsi pernafasan, kardiovaskuler, metabolik, fungsi ginjal dan
fungsi hati menjadi maksimal. Memastikan apakah pasien dapat
sembuh kembali atau adanya kematian serebral.
D. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-
konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang
akan dilakukan (Notoatmodjo, 2005).
47
Keterangan :
= yang diteliti
= yang tidak diteliti
Bagan 2.1 Kerangka Konsep Hubungan intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan pada pasien IMA di ruang ICCU RSUD Dr.ISKAK Tulungagung tahun 2012.
Pasien IMAFaktor –faktor yang mempengaruhi cemas :
a. Usiab. Jenis kelaminc. Pengetahuand. Pendidikan dan status ekonomie. Lingkunganf. Pekerjaang. Pengalaman
Nyeri :
a. Tidak nyerib. Nyeri ringanc. Nyeri sedangd. Nyeri berate. Nyeri sangat
berat
Cemas :
a. Ringanb. Sedangc. Beratd. Panik
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri :
a. Usia g. Pengalaman masa lalub. Jenis kelamin h. Pola kopingc. Kultur i. Support keluarga dan sosiald. Makna nyerie. Perhatianf. Ansietas
48
Keterangan Kerangka Konsep :
Pada pasien dengan diagnosa IMA (Infark Miokard Akut) sudah
pasti akan merasakan suatu suatu respon tubuh yang diakibatkan oleh
proses patologis pada jantung yaitu berupa rasa nyeri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri itu sendiri adalah : usia, jenis kelamin, kultur, makna
nyeri, perhatian, ansietas, pengalaman masa lalu, pola koping support
keluarga dan sosial. Intensitas nyeri yang sama dirasakan berbeda oleh
dua orang yang berbeda, untuk intensitas nyeri ini meliputi beberapa
tingkatan antara lain : tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat,nyeri sangat berat.
Setiap individu yang mengalami suatu proses nyeri tentunya selalu
diiringi respon tubuh yang berupa kecemasan, dan kecemasan itu sendiri
dipengaruhi oleh : usia, jenis kelamin, pengetahuan, pendidian, status
ekonomi, lingkungan, pekerjaan, pengalaman. Tidak hanya nyeri yang
mempunyai tingkatan, tetapi cemas juga mempunyai sebuah tingkatan,
antara lain : cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, panik.
Dalam penelitian ini yang akan diteliti oleh peneliti adalah
“Hubungan Intensitas Nyeri Dada Dengan Tingkat Kecemasan Pada
Pasien IMA di ruang ICCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Iskak
Tulungagung tahun 2013, sehingga dapat diketahui adakah hubungan
intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan pada pasien IMA di ruang
ICCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Iskak Tulungagung tahun 2013.
49
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian (Nursalam, 2003). Hipotesis dalam penelitian ini
adalah:
H1 : Ada hubungan intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan pada
pasien IMA.
H0 : Tidak ada hubungan intensitas nyeri dada dengan tingkat kecemasan
pada pasien IMA.