bab iii biografi dr. kartini kartono dan dr. …keluarga di bendrot jerman tahun 1974.4 adapun...
TRANSCRIPT
BAB III
BIOGRAFI Dr. KARTINI KARTONO DAN dr. JENNY
ANDARI DAN PEMIKIRANNYA TENTANG KESEHATAN
MENTAL DALAM KELUARGA
3.1. Biografi Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari
3.1.1. Dr. Kartini Kartono
Dr. Kartini Kartono lahir 1929 di Surabaya, Liek adalah
sebutan nama kecilnya, sedangkan Kartono berasal dari nama
suaminya. Beliau dosen tetap IKIP Bandung. Beliau juga guru besar
fakultas FISIP Universitas Katolik Parahyangan1 merangkap
mengajar Psikologi Umum, Psikologi Sosial, dan Metodologi Riset
sejak tahun 1969. Mulai tahun 1977 menjadi dosen tetap di
Universitas Islam Nusantara (Bandung). Ia juga mengajar di IKIP
Makasar dan UNJANI.2
Beliau mempunyai tujuh saudara, putri dari bapak Subardi ini
dikaruniai tujuh orang anak yaitu, Priambodo, Saraswati, Widodo,
Triwidayati, Wijoyo, Gayatri dan anak yang terakhir meninggal
dunia. Dr. Kartini Kartono memperoleh gelar kesarjanaan Pedagogik
atau Ilmu Pendidikan dari IKIP Sanata Dharma Yogyakarta pada
1 www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/06/0052.html-11Cached 2 Surat Bp. Anto (Putra Dr. Kartini Kartono) tanggal 21 Juni 2004.
41
tahun 1964. Pada tahun 1972 melengkapi studi post-graduate (S2)
selama 18 bulan di VRIJE UNIVERSITEIT Amsterdam untuk
politieke ontwikkeling verandering-processen, modernisatie,
urbanisatie on sociologie van Indonesia. Sekaligus menamatkan studi
untuk social werk/sociale arbeid (S2) selama dua tahun pada
Protestantse voortgezzette Opleiding voor Sociale Arbeid di
Amsterdam Nederland (Dipl. M. Sw.). Kemudian melanjutkan
pendidikan Post Doktoral (S3) pada lembaga pendidikan Pasca
Sarjana IKIP Bandung A.I dan A.II.3
Karir kerjanya dimulai sebagai Kopral TNI-AD (Brigade
XVII TRIP Jawa Timur) tahun 1945-1950, wartawan harian Suara
Rakyat Surabaya (1950-1952) dan guru SD, SMP (1953-1954), SMA
(1954-1958), kepala SMEA (1955-1958), SGKP/SKKA (1959-1960).
Beliau juga seorang konsultan Privat Psikologi, Edukatif, Sosial dan
Manajemen. Selain itu beliau juga aktif menulis berbagai macam
artikel di surat kabar dan majalah, mengunjungi beberapa seminar
pendidikan di Indonesia dan seminar pendidikan keagamaan Kristen-
Yahudi-Islam di Amsterdam tahun 1973 dan seminar agama dan
keluarga di Bendrot Jerman tahun 1974.4
Adapun karya-karya beliau yang dihasilkan seperti,
“Patologi Sosial I”. Dengan tidak mengabaikan faktor-faktor human
dan psikologis, buku ini mencoba manganalisa lebih tajam gejala-
3 Ibid., 4 Ibid.,
42
gejala Patologis Sosial dari segi sosial dan kulturalnya, agar kita
mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai macam-macam
penyakit masyarakat.5
Patologi Sosial 3 “Gangguan-gangguan Kejiwaan”. Buku ini
khusus menganalisa masalah gangguan kejiwaan/psikis yang
mengakibatkan ketidaklancaran, kerusakan-kerusakan pada fungsi
psikis serta fungsi-fungsi fisik. Informasi mengenai gejala-gejala
psikis bisa dipergunakan sebagai bahan studi, namun juga bisa
dipakai bagi tindakan preventif untuk pencegahan meluasnya gejala,
atau dipakai sebagai terapi penyembuhan.6
Pengantar Metodologi Riset Sosial. Ketrampilan sosial untuk
menangani masalah-masalah hidup sekarang bisa dicapai dengan
prosedur-prosedur ilmiah. Prosedur dipakai agar semua masalah bisa
di selesaikan. Dengan begitu penelitian, baik secara langsung maupun
tidak langsung, selalu disertai usaha mempertinggikondisi sosial dan
taraf kehidupan.7
Psikologi Anak. Di dalam buku ini di jeslaskan bahwa
pengalaman-pengalaman pada masa anak-anak itu merupakan
landasan dasar bagi bentuk kepribadian kita pada saat sekarang.8
5 Kartini Kartono, Patologi Sosial I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 6Kartini Kartono, Patologi Sosial 3 “Gangguan-gannguan Kejiwaan”, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002 7Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Mandar Maju, Bandung,
1979,hlm.v 8Kartini Kartono, Psikologi Anak, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hlm.5
43
“Psikologi Wanita Jilid I (Mengenal Gadis Remaja dan
Wanita Dewasa)”. Buku ringkas ini menyoroti Tingkah laku wanita
dan semua kehidupan psikis yang terdeferiensi sebagai produk dari
faktor-faktor anatomis, biologis, herediter, sosial, kultural dan
pedagogis.9
Psikologi Wanita Jilid II (Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan
Nenek). Buku ini berisi bahwa wanita merupakan bagian potensial
dan bagian yang terintegrasi dari dunia manusia.10
“Teori Kepribadian dan Mental Hygiene”. Buku ini
diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1970, buku tersebut
mengalami cetak ulang pada tahun 1972 tanpa mengalami perubahan
sedikitpun, tahun 1979 buku ini mengalami revisi total, dipisahkan
dan dijadikan menjadi dua buah buku masing-masing berjudul
“Mental Hygiene dan Teori-teori Kepribadian”.11
Adapun buku-buku pendidikan karya Dr. Kartini Kartono
adalah sebagai berikut :
1. Bimbingan Belajar
2. Politik Sebagai Bagian Dari Pendidikan Orang Dewasa
3. Holistik Mengenani Tujuan Pendidikan Nasional
4. Ilmu Mendidik Teoritis
9 Kartini Kartono, Psikologi Wanita Jilid I (Mengenal Gadis Remaja dan Wanita
Dewasa), , Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm.vi 10 Psikologi Wanita Jilid II (Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek), Mandar Maju,
Bandung . 1992, hlm. ix 11 Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam
Islam, Mandar Maju, Bandung, 1989
44
5. Jati Diri lewat jalur Pendidikan
6. Wawasan Politik Sebagai Pendidikan Nasional
7. Teori Kepribadian
8. Pengantar Metodologi dan Riset
9. Quo Vadis Tujuan Pendidikan12
Buku-buku lain karya Dr. Kartini Kartono seperti :
1. Psikologi Umum
2. Psikologi Wanita I dan II
3. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan)
4. Psikologi Menejemen Perusahan dan Industri
5. Psikologi Perkembangan
6. Mental Hygiene
7. Psikologi Abnormal dan Patologi Seks13
Buku-buku karya Kartini Kartono yang lain adalah :
1. Gangguan-Gangguan Kejiwaan
2. Menemukan Kembali Jati Diri
3. Pendidikan Politik.14
Sebagai seorang muslim buku-bukunya sebagian dipadukan
dengan ajaran Islam misalnya dalam buku “Mental Hygiene dan
Kesehatan Mental dalam Islam” yang disusun bersama dengan dr.
Jenny Andari, disamping mengemukakan teori-teori kesehatan mental
secara umum, dalam pengertian teori-teori yang didasarkan dengan
12 Surat Bp. Anto…. 13Ibid., 14 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Op.Cit., hlm. ii
45
ayat-ayat suci al-Qur'an. Buku tersebut penulis jadikan rujukan utama
pada penulisan skripsi ini. Sebagai ilmuwan beliau telah menulis
buku-buku yang berkisar tentang pendidikan, Psikologi, dan Politik.
Disamping itu puluhan artikel yang berkisar pada topik
tersebut diatas telah pula dihasilkannya. Beliau berpengalaman
sebagai dosen tamu pada beberapa perguruan tinggi, juga sebagai
penceramah pada seminar-seminar yang diadakan oleh LEMHANAS,
PB HMI, PP Muhammadiyah, Departemen Sosial. Dr. Kartini
Kartono yang beralamatkan di Jl. Aditia A.6 Perumahan Cipadung
Indah Bandung15, meninggal pada umur 70 tahun.
3.1.2. dr. Jenny Andari
dr. Jenny Andari. Beliau adalah salah seorang alumnus
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran tahun 1967.16
Sebagai dokter spesial ahli penyakit kulit dan kelamin, beliau
banyak berpengalaman tentang penyakit yang diakibatkan oleh
perbuatan seks yang melanggar norma maupun agama, dan hal
tersebut yang menjadikan manusia terganggu jiwanya bahkan ada
yang sampai menjadi gila.
Karena keahlian beliau dibidang penyakit kelamin dan kulit,
beliau selalu di banjiri pasien yang kebanyakan korban penyimpangan
seks dan hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran norma sosial,
moral, dan agama.
15 Surat Bp. Anto…., 16 www.fk.unpad.ac.id/jsp/alumni-th1967.jsp-80k -Cached
46
Disamping itu di masa hidupnya dr. Jenny Andari juga
seorang da’i yang memadukan keilmuwan kedokteran dengan ajaran
Islam.
Pengalaman-pengalaman tersebut kemudian di padukan
dengan kelilmuannya maka, muncullah buku yang disusun bersama
Dr. Kartini Kartono yang ahli dalam bidang Psikologi dan
pendidikan.
Salah satunya adalah “Hygiene Mental dan Kesehatan Mental
dalam Islam”.17 Buku tersebut penulis jadikan rujukan utama
pada penulisan skripsi ini.
Namun belum sampai buku tersebut selesai, beliau
menghadap yang kuasa karena penyakit kanker yang di derita.
Sehingga tulisan-tulisan dr. Jenny Andari ini banyak di sempurnakan
lagi oleh Dr. Kartini Kartono.
3.2. Pokok-pokok Pemikiran Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari
Tentang Kesehatan Mental dalam Keluarga
Setelah dijelaskan tentang biografi selanjutnya akan di sampaikan
tentang pokok-pokok pemikiran Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny andari
tentang kesehatan mental dalam Keluarga.
Makin kompleksnya masyarakat sebagai akibat kemajuan tekhnologi
muncul dalam zaman modern sekarang, banyak problem-problem sosial
sehingga, adaptasi terhadap masyarakat modern yang serba kompleks
17 Surat Bp. Anto….,
47
tersebut menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan penyesuaian diri dan
adjusment tersebut menyebabkan kebingungan kecemasan, ketakutan dan
frustasi. Frustasi dan ketakutan tersebut menimbulkan ketegangan-
ketegangan batin dan gangguan emosional yang menjadi persemaian subur
bagi timbulnya penyakit mental.
Mental Hygiene/Ilmu Kesehatan Mental adalah ilmu yang
mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah timbulnya
penyakit mental dan gangguan emosi dan berusaha mengurangi,
menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.18
Mental Hygiene mempunyai tema sentral bagaimana caranya orang
memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang di timbulkan oleh
macam-macam gangguan kesehatan hidup, serta berusaha mendapatkan
kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam
ketegangan, ketakutan, konflik terbuka dan konflik batin. Jadi ada usaha
mendapatkan :
1. Keseimbangan Jiwa
2. Menegakan kepribadian yang terintegrasi dengan baik serta
3. Mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan
keberanian.
Menurut Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari, kualitas rumah
tangga atau kehidupan keluarga jelas memainkan peranan penting sekali
dalam membentuk kepribadian anak menuju pada keseimbangan batin dan
18 Kartini Kartono dan Jenny Andari, Op. Cit., hlm.4
48
kesehatan mental anak-anak. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
memberikan fundasi primer bagi perkembangan.19
Ada beberapa pembahasan khusus yang akan dikemukakan
selanjutnya mengenai pemikiran Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari
tentang Kesehatan Mental Dalam Keluarga.
3.2.1. Pengaruh Kebiasaan, Sikap Hidup, dan Filsafat-filsafat Keluarga
Pola tingkah laku, fikiran, dan sugesti ayah ibu dapat
mencetak pola yang hampir sama pada anggota-anggota keluarga
lainnya. Oleh karena itu tradisi kebiasaan sehari-hari, sikap hidup,
cara berfikir, dan filsafat hidup keluarga itu sangat besar sekali
pengaruhnya dalam proses membentuk tingkah laku dan sikap
anggota keluarga terutama anak-anak. Misalnya, temperamen ayah
yang agresif meledak-leadak, suka marah sewenang-wenang, serta
kriminil, tidak hanya akan mentransformasikan efek temperamennya
saja, akan tetapi juga menimbulkan iklim yang mendemoralisir secara
psikis di tengah-tengah keluarga. Sekaligus juga merangsang
kemunculan reaksi-rekasi emosional yang implusif dan eksplosif pada
anak-anak yang mengindikasikan ketidaksehatan mental mereka.
Keluarga penuh konflik keras, keluarga radikal ekstrim,
semua itu biasanya menjadi sumber yang subur bagi munculnya
delinkuensi remaja dan ketidaksehatan mental anak-anaknya.
19 Ibid., hlm.166
49
Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andari hal itu disebabkan
antara lain sebagai berikut :
a. Ayah dan ibu terlalu pusing mengurusi permasalahan dan konflik-
konflik sendiri yang berlarut-larut, maka anak-anak kurang terurus,
tidak mendapatkan perhatian, tanpa kasih-sayang dan tuntutan
pendidikan bagi orang tuanya (pengabaian edukatif).
b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak menjadi tidak terpenuhi.
Mereka sangat kecewa dan merasa diabaikan. Keinginan dan
harapan anak-anak tidak terepenuhi atau tidak mendapatkan
kompensasinya (pengabaian psikofisik).
c. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang
diperlukan bagi hidup susila/etis, tidak mengenal tanggung jawab
dan disiplin. Sehingga mereka tidak memiliki kontrol diri dan
integrasi diri (pengabaian moril).20
Sebagai akibat dari ketiga jenis pengabaian di atas, anak
sering menjadi risau, bingung, sedih, malu, merasa tersudut sehingga
jiwanya kacau dan akhirnya mereka menjadi liar. Dikemudian hari
anak ini mencari kompensasi bagi kerisauan hatinya di luar
lingkungan keluarga. Lalu masuk pada gang immoril atau kumpulan
anak-anak kriminil. Pelanggaran kesetiaan dan loyalitas terhadap
patner hidup dalam keluarga, semua itu bisa memunculkan
kecenderungan macam-macam gangguan mental dan simptom
20 Ibid., hlm.168
50
delinkuensi pada anak-anak dan remaja. Maka perceraian diantara
suami dan isteri menjadi penentu bagi kemunculan anak-anak
neurotik dan tingkah laku a sosial.21
Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih
sayang dari orang tua selalu merasa tidak aman, dan merasa
kehilangan tempat berlindung. Mereka merasa pada seribu satu
penderitaan batin. Mereka mengembangkan reaksi kompensatoris
berbentuk dendam dan sikap bermusuh terhadap dunia luar. Mereka
mulai menghilang dari rumah dan mencari keseimbangan hidup yang
imajiner di tempat lain, sehingga pola hidupnya menjadi tidak
higeinis.22
Ada tipe anak yang terang-terangan menunjukan
ketidaksenangan kepada orang tuanya, dan mulai melawan atau
memberontak. Mereka melakukan perbuatan destruktif baik kepada
orang tua, harta benda orang tua, maupun terhadap orang-orang diluar
yang kelihatan tidak ramah terhadap mereka. Jelasnya anak merasa
tidak bahagia, merasa ditinggalkan dan tidak diperhatikan itu syarat
dipenuhi konflik batin dan mengalami frustasi kronis. Maka
sentimen-sentimen hebat itu jelas menghambat perkembangan relasi
manusiawi anak. Muncul kemudian disharmonis sosial, dan lenyaplah
kemampuan kontrol dirinya sehingga dengan mudah hanyut oleh arus
21 Ibid., hlm.169 22 Ibid.,
51
buruk ditengah masyarakat (misalnya kriminil, prostitusi, perjudian,
mengganja, dan lain-lain).23
Anak-anak ini memang sadar atau tidak menjadi gila, tetapi
kesadaran yang dikembangkan justru kesadaran yang salah. Anak-
anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sedikit sekali
atau tanpa mendapatkan supervisi atau pengawasan dan latihan
disiplin yang teratur, jelas tidak akan sanggup menginternalisasikan
dalam pribadi sendiri norma-norma hidup normal dan susila.
Sehingga untuk selama-lamanya anak-anak muda dan orang dewasa
macam itu tidak akan pernah mampu mengembangkan disiplin diri
dan pengendalian diri.
3.2.2. Struktur Masyarakat Kaya-Miskin dan Ketidaksehatan Mental
Di kota-kota besar terdapat perbedaan distribusi ekonomis dan
ekologis dari orang-orang yang berasal dari kelas sosial yang berbeda.
Secara otomatis dalam masyarakat tersebut banyak terdapat
kesenjangan antara golongan kaya dengan golongan miskin. Tidak
semua kelompok sosial dalam situasi demikian mendapatkan
kesempatan yang sama untuk menapak jalan menuju kearah
kekuasaan kekayaan dan keenakan hidup sehari-hari.
Besarnya ambisi material di tengah struktur keluarga, dan
kecilnya kesempatan untuk meraih sukses materiil ditengah
masyarakat memudahkan pemunculan kebiasaan hidup yang kriminil
23 Ibid., hlm.170.
52
dan asusila. Kejadian tersebut merangsang peningkatan jumlah
kejahatan dan kasus ketidaksehatan mental yang berasal dari
stratifikasi ekonomi rendah dengan pola struktur kemiskinan. Sebab
mereka tadi memiliki ambisi materiil yang tinggi dan tidak realistis.24
Di kalangan sub kebudayaan klas rendah (kebudayaan
pendapatan rendah) banyak remaja dan orang muda mengembangkan
reaksi delinkuen dan mekanisme reaktif yang patologis secara sosial.
Lingkungan hidup penuh derita, serba kekurangan, di tengah
kemiskinan dan kekejaman masyarakatnya, semua itu memunculkan
perangsangan emosi kekerasan maskulin sehingga, banyak diperlukan
banyak gerak-gerak bermain tipu muslihat dan kelicikan terhadap
orang lain. Sedangkan mereka yang tidak berani berbuat curang,
jahat, atau keras kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri
yaitu lari ke dunia khayal, melakukan bunuh diri, atau menderita
berbagai macam penyakit mental.25
Masyarakat yang serba ricuh, cepat berubah, dipenuhi
kekerasan, penjarahan, polusi dan lain-lain itu di samping mendorong
orang tua dan anak-anak menggunakan respon kriminil juga banyak
membuahkan tingkah laku neurotis psikotis dan psikopatis dan akan
muncul banyak penyimpangan yang majemuk yaitu kriminil, neurotik
dan psikopatis. Inilah tanda-tanda masyarakat yang tengah sakit.
Karena itu dapat dinyatakan bahwa tingkah mereka merupakan reaksi
24 Ibid., hlm.173-174. 25 Ibid., hlm.174.
53
terhadap kondisi keluarga yang serba berantakan dan kondisi sosial
masyarakat lingkungan yang tengah sakit.26
Anak-anak neurotik banyak yang berasal dari keluarga klas
menengah dengan tingkat ekonomi menengah dan tinggi, mereka ada
di tengah lingkungan familial yang konvensional dan cukup baik
secara sosial-ekonomis. Dalam suasana keluarga yang makmur dan
sejahtera itu biasanya mereka itu hidup bermanja-manja. Namun pada
umumnya keluarga mereka mengalami konflik-konflik hebat, juga
dalam keadaan krisis dan frustasi berat.27
Oleh kondisi keluarga yang berantakan itu, mereka ada yang
menggunakan obat-obat perangsang dan minuman keras. Sebabnya
adalah, Pertama kebiasaan tersebut dipakai untuk menghilangkan
kejemuan dan kejenuhan dalam iklim sejahtera yang serba kosong
yaitu hampa secara jiwani. Kedua, untuk melupakan dan
menghilangkan macam-macam konflik batin. Ketiga, untuk
memberikan kegairahan serta keberanian hidup yang semu.28
Kebiasaan-kebiasaan buruk tadi di samping memunculkan
ketidaksehatan mental, pasti juga memunculkan kebiasaan delinkuen.
Anak-anak muda yang dari kelas menengah, terutama yang ada di
kota-kota besar, biasanya punya banyak waktu kosong. Untuk
mengisi waktu luang itu mereka banyak menyibukkan diri dengan
kegiatan iseng, kebut-kebutan di jalan raya, dan menggunakan obat-
26 Ibid., hlm.174. 27 Ibid., hlm.175. 28 Ibid., hlm.178
54
obat bius. Maka di tengah segala macam frustasi mereka sebagai
akibat kondisi keluarga yang berantakan, dan pengabaian oleh orang
tua, anak-anak remaja itu mencari kompensasi bagi semua
kekecewaannya. Sebab mereka mengharapkan bantuan materiil,
dukungan moril, status sosial dan perlindungan dari para anggota
kelompok gang-gang.29
Dalam kondisi demikian itu mereka mendapatkan persetujuan
dan dorongan pembenaran untuk bereksperimen bersama yaitu pada
awalnya di mulai dengan kegiatan-kegiatan yang netral, sampai yang
sangat berbahaya, dan mengganggu keamanan umum. Biasanya
motif-motif perbuatan mereka itu bukan berupa pengejaran
keuntungan finansial, akan tetapi lebih banyak di dorong oleh
motivasi-motivasi :
a. Kebutuhan untuk menonjolkan ego sendiri,
b. Ada dorongan untuk menghilangkan kejemuan dan kejenuhan
dalam keadaan kemakmuran dan kesejahteraan serta mengisi
kekosongan hati30.
Keluarga yang mengalami maladjustmen yang tidak bisa
menyesuaikan diri terhadap tuntutan perubahan zaman jelas menjadi
persemaian subur bagi timbulnya kekalutan jiwa bagi anak-anak.
Keluarga tersebut tidak mengembangkan pola ketenangan, harmoni,
loyalitas, solidaritas keluarga, dan disiplin hidup yang baik;
29 Ibid., hlm.175-176. 30 Ibid., hlm.176
55
sebaliknya malah menjadi kacau berantakan. Sebab masing-masing
orang mengikuti kemauan sendiri, dan mau melanjutkan kebiasaan
hidup lama seperti sebelum kawin. Keluarga sedemikian itu jelas
mengacaukan perkembangan kepribadian anak.
Adakalanya keluarga berantakan tadi bisa mengikis kemauan
hidup anak. Dalam kondisi keputusasaan ini anak-anak ini berusaha
melakukan bunuh diri atau menjadi beringas agresif, bertingkah laku
ekstrim tanpa sebab apapun. Tingkah laku para remaja yang neurotik
dan delinkuen itu jelas merupakan ekspresi dari konflik-konflik batin
sendiri yang belum terselesaikan maka, perilaku tersebut di jadikan
alat pelepas bagi rasa-rasa ketakutan, kecemasan, kebingungan, dan
dendam yang ada di batin sendiri yang jelas tidak terpikul oleh
egonya terlebih lebih oleh mereka yang memiliki ego yang lemah.
Karena perubahan tingkah laku itu berlangsung atas dasar
konflik-konflik jasmani yang serius sekali, maka pada umumnya
mereka akan mengembangkan tingkah laku yang delinkuen neurotik
itu sampai usia dewasa dan tua. Dalam lingkungan yang sedemikian
mereka tidak pernah merasakan kehangatan, dan kasih sayang relasi
personal yang akrab dengan orang lain. Sebagai akibatnya, mereka
tadi untuk selama-lamanya tidak mampu menumbuhkan kapasitas
afeksi31.
31 Ibid., hlm. 178
56
Kartini Kartono menyebutkan bahwa anak psikopatik selalu
gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma sosial dan
norma hukum yang berlaku. Kekalutan mentalnya jelas tanpa adanya
pengorganisasian dan integrasi diri. Orangnya tidak pernah bisa
bertanggungjawab secara moril bahkan sering immoril. Sikap mereka
sangat abnormal, egoistis, kasar, kurang ajar, ganas, buas terhadap
siapapun juga, tanpa sebab. Mereka suka menyakiti orang lain dan
bisa membunuh orang lain tanpa motif apapun juga. Karena itu
mereka di masukan dalam golongan kaum kriminil yang berbahaya.32
3.2.3. Ayah-Ibu yang Abnormal dan dampak negatifnya
Pola hidup dan tingkah laku ayah-ibu (salah seorang anggota
keluarga) itu mudah menular kepada segenap anggota keluarga.
Temperamen orang tua, khususnya ayah yang agresif dan eksposif,
mudah marah dan sewenang-wenang, suka mabuk-mabukan dan
kriminil, jelas memberikan dampak yang mendemoralisir dalam
lingkungan keluarganya dan bisa merangsang emosi-emosi yang
mirip sama pada pribadi anak-anaknya.
Kualitas rumah tangga dengan pola kehidupannya
memberikan stempel-pembentuk pada kepribadian anak-anak.
Demikian pula semua jenis konflik familial dan ketegangan krisis
keluarga pada umumnya mengakibatkan bentuk ketidakimbangan
32 Ibid., hlm. 179
57
dalam kehidupan psikis anak-anak, serta memunculkan macam-
macam gangguan mental.
Selanjutnya, pola keluarga yang patologis juga membuahkan
macam-macam masalah psikologis, serta konflik terbuka dan tertutup
pada pribadi anak-anaknya, dan jelas menjadi penyebab utama
timbulnya kasus kejahatan remaja. Dengan begitu kericuhan batin dan
penyimpangan tingkah laku anak-anak itu merupakan pencerminan
dari gaya-hidup yang tipis dari satu keluarga yang “sakit” secara
sosial.33
Oleh karena itu setiap kondisi keluarga yang tidak
menguntungkan (buruk) akan selalu menimbulkan masalah psikologis
dan personal pada pribadi anaknya. Dengan akibat berupa, daya
penyesuaian diri dan integrasi diri anak menjadi sangat terganggu,
dan anak mengalami pelbagai gangguan mental. Jadi, perilaku anak-
anak tadi merupakan reaksi langsung terhadap permasalahan dan
kekacauan di dalam rumah tangga yang disharmonis.
Penolakan seorang ayah terhadap anak laki-lakinya, pada
umunya mengakibatkan munculnya remaja delinkuen. Ayah tersebut
menolak, meremehkan, dan memperhina anaknya, bahkan bersikap
kejam-keras dan sadis. Biasanya ayah jenis ini jarang ada di rumah,
dan tidak pernah memperhatikan nasib anak-isterinya. Adapun
sebabnya ialah sejak kecil anak melihat kekejaman-kekerasan dari
33 Ibid., hlm.179.
58
dunia sekitar dengan rasa kecurigaan dan kebencian, seperti dia
melihat tingkah laku dan kebiasaan ayahnya. Dia menganggap
manusia lain sebagai ancaman, seperti dia melihat ayahnya, yaitu
sebagai satu ancaman bagi diri sendiri dan ibunya. Ayahnya dan
orang lain itu di lihat sebagai monster yang suka menyakiti dan
menghukum anak-anak kecil dan ibunya.34
Lambat laun anak akan mengembangkan pola kebencian dan
dendam kepada dunia sekitar, lalu menjadi delinkuen atau kiminil.
Anak-anak muda yang delinkuen neurotik biasanya berasal dari
keluarga religius yang ketat dan fanatik, dalam mana penghayatan
pribadi mengenai ketidakberhargaan dan ketidakberdayaan personal
(perasaan inferior, minder) anak di perkuat oleh disiplin keras,
dogma-dogma dan fanatisme religius dari orang tua mereka.
Anak menyadari, bahwa tingkah laku, kebiasaan, fanatisme
dan kekerasan orang tuanya yang di terapkan kepada anak-anak itu
tidak adil, tidak manusiawi, dan munafik. Maka sebagai reaksi
terhadap perilaku orang tuanya anak-anak tadi mengembangkan
tingkah laku kriminil yang neurotik. Maka situasi dan kondisi
lingkungan awal kehidupan anak, yaitu keluarga (orang tua dan
kerabat dekat), jelas mempengaruhi pembentukan karakter, kebiasaan
dan sikap hidup anak-anaknya.35
34 Ibid., hlm.180. 35 Ibid., hlm.181.
59
Dengan begitu, kualitas delinkuensi, atau keseriusan penyakit-
penyakit mental atau jiwa yang di sandang oleh anak-anak dan para
remaja itu merupakan produk langsung dari kebiasaan keluarga yang
buruk. Sebagai akibat dari kebiasaan keluarga yang buruk tadi anak-
anak lalu menolak norma dan konvensi pergaulan hidup yang
umum/normal, dan sebaliknya lalu mengembangkan sikap pelarian
diri yang tidak normal; yaitu menjadi sakit secara psikis.
Struktur keluarga anak-anak bermasalah-neorotis, psikotis,
psikopatis, kriminil, dan immoril pada umumnya menunjukan
kelemahan atau cacat di fihak ibu seperti :
a. Ibu tidak menyadari fungsi kewanitaan dan keibuanya.
b. Kehidupan perasaan ibu-ibu tadi tidak mantap, labil, tidak
konsisten, sangat mudah berubah pendirian, tidak pernah
konsekuen, dan tidak bertanggung jawab secara moral. Mereka
tidak mempunyai relasi emosional yang hangat dengan anak-
anaknya. Bahkan reaksi emosionalnya tidak cocok dan tidak
harmonis dengan kehidupan perasaan anaknya.
c. Ibu-ibu yang sering melakukan perbuatan kriminil, dan melakukan
tindak a-susila menjadi WTS. Maka banyak anak dan remaja yang
berulang kali keluar masuk penjara dan sakit jiwanya karena diasuh
oleh ibu-ibu yang sedemikian itu.
60
d. Ibu-ibu yang neurotik dan menderita penyimpangan psikis
lainya.36
Sedangkan beberapa cacat di pihak ayah yang mengakibatkan
anak-anaknya menjadi delinkuen dan atau menderita gangguan
mental, dapat di tuliskan di bawah ini :
a. Ayah-ayah yang menolak, meremehkan, memperhina anak-
anaknya, terutama anak laki-laki.
b. Ayah-ayah yang kejam, sewenang wenang, bersikap sadis terhadap
anak-anaknya.
c. Mereka yang pada umumnya alkoholik dan egoistis.
d. Ayah-ayah yang menderita satu atau beberapa gangguan jiwa atau
defek mental, sehinggga tidak mampu melakukan fungsi
keayahannya.
e. Ayah-ayah yang selalu gagal dalam memberikan supervisi,
pendidikan,dan tuntutan moral kepada anak-anaknya, terutama
anak laki-lakinya.
f. Ayah-ayah yang mendidik anaknya dengan disiplin terlalu ketat
atau dengan disiplin yang tidak teratur. Biasanya ayah-ayah ini
tidak punya tanggung jawab moral, dan sering kontroversal dalam
kata-kata dan perbuatannya.
g. Ayah-ayah yang baru pulang dari penjara, tawanan atau
peperangan, yang di hantui perasaan benci, kecewa, marah,
36 Ibid., hlm.181-182
61
dendam, dan emosi-emosi negatif lainya; mereka akan memberikan
contoh yang buruk kepada anak-anak.
h. Ayah-ayah yang suka berpoligami berulang kali. Ayah yang
ekstrim radikal dan ateis pada umumnya memberikan contoh yang
buruk kepada anaknya.37
3.2.4. Peranan Keluarga dalam Memupuk Kesehatan Mental
Dapat kita pahami sekarang, bahwa faktor sosial paling utama
yang memberikan pengaruh predisposisional baik atau buruk ialah
keluarga. Selanjutnya, keluarga yang memberikan pengaruh
predisposisionsl psikotis (bisa berkembang menjadi gila) kepada
anak-anak para remaja dan orang-orang muda memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Keluarga dengan ayah ibu yang tidak mampu berfungsi sebagai
pendidik, yang defisien sebagai pendidik. Anak-anak akan
terganggu kondisi kejiwaanya dan tidak hygienis mentalnya,
disebabkan oleh banyaknya kekisruhan dan krisis yang di alami
oleh orang tua. Karena itu anak-anak tadi tidak bisa menjadi
dewasa secara psikis, dan tidak bisa mandiri dalam
kedewasaanya.
b. Tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psikososial. Orang
tua tidak sanggup mengintegrasikan anak-anak dalam keutuhan
keluarga. Masing-masing tercerai berai. Anak-anak tidak bisa
37 Ibid., 182-183
62
menyalurkan impuls-impuls kekanakanya lewat kanal-penyalur
yang wajar atau menurut jalan-jalan formal yang susila serta
penuh kasih sayang. Keluarga juga tidak mampu memberikan
peranan sosial dan status sosial kepada anak-anak, sehingga hali
ini memusnahkan martabat dan harga diri anak mereka merasa
sangat kecewa dan putus asa.38
Di bawah ini akan di tuliskan bentuk keluarga yang biasanya
memprodusir anak-anak yang mentalnya sakit atau neurotik
(terganggu sarafnya) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Keluarga yang menuntut kepatuhan total anak
Keluarga mau menerima dan menyayang anak, asal anak
tumbuh mutlak pada perintah orang tua, dan menjauhi larangan-
larangan tertentu. Anak juga harus sanggup menolak atau
menginginkan dorongan, impuls, dan keinginan sendiri. Perasaan,
keinginan, dan kemauan sendiri harus di tekan atau di buang.
Karena ada larangan dan tekanan dari orang tua, anak
mengembangkan mekanisme penangkal dan mekanisme pelarian
diri guna mengalahkan impuls-impuls dan keinginan sendiri. Anak
lalu membangun satu Uber-ich (aku-super atau hati nurani) yang
super-kuat, dan yang berketegangan tinggi.
Munculah kemudian banyak konflik intra psikis dan
gangguan relasional serta emosional dari orang tua itu sendiri. Jika
38 Ibid., hlm.183-184
63
anak mematuhi orang tua, maka dia akan di terima oleh orang tua,
walaupun penerimaan itu berlangsung secara paksaan dan otoriter
(yaitu dengan tujuan mendominir anak). Oleh kondisi tersebut di
atas lama kelamaan jiwa anak menjadi terganggu dan sakit, atau
anak menjadi neurotik
2. Dominasi dan kekuasaan mutlak serta otoriter orang tua
menimbulkan agresi pada diri anak.
Karena dominasi yang di paksa-paksakan, anak tidak
pernah mampu menemukan jalan hidupnya sendiri. Timbul
kemudian agresi dan penolakan kepada anak; dan berlangsunglah
banyak konflik intra psikis. Agresifitas ini kemudian berkembang
menjadi gejala neurotik. Sebab, penolakan orang tua, dan
sekaligus menuntut dependensi anak pada orang tua itulah yang
banyak menimbulkan konflik intra psikis pada anak, yang jelas
mencerminkan banyaknya konflik intrapsikis orang tua itu sendiri.
Karena itu gangguan psikis pada diri anak-anak pada intinya
merupakan perpanjangan dari gangguan-gangguan psikis, ilusi-
ilusi, delusi-delusi dan simptom patologis orang tuanya. Maka
pengaruh orang tua yang psikotis sifatnya, akan membuat anak-
anaknya menjadi gila dan pengaruh orang tua yang neurotis akan
membuat anak-anak menjadi neurotis pula.
64
3. Pengaruh ayah yang bertentangan dengan pengaruh ibu.
Khusus bila mereka berbeda pendirian, prinsip, dan
pandangan hidup, juga berbeda jalan hidup yang di tempuh.
Bagi anak, menganut prinsip salah seorang dari kedua
orang tuanya, berarti menentang pihak lainya. Berarti pula
pemalsuan terhadap realitas yang ada; dan anak harus mereaksi
secara tidak wajar. Dengan berbuat begitu anak akan mengalami
hambatan dalam perkembangan egonya dia merasa tidak pasti dan
tidak aman dalam lingkungan keluarganya, di samping tidak
mampu mengembangkan reality testingnya karena itu anak
menjadi semakin neurotik.
4. Pola hidup orang tua yang berantakan
Jika orang tua tidak konstan dalam emosi, fikiran, kelakuan,
apabila ayah dan ibu berbeda ideal simpati dan antipatinya;
berbeda pula pandangan hidupnya, dan tidak menaruh respek
terhadap satu sama lain saling menuduh dan bertengkar dengan
melibatkan anak-anaknya, maka pada diri anak pasti akan
berlangsung proses identifikasi yang menjurus pada keterbelahan.
Muncullah pribadi-pribadi terbelah yang neurotik sifatnya.39
Keluarga yang memberikan pengaruh buruk dan membuat
anak-anaknya menjadi gila itu jelas tidak melatih anak-anak belajar
melakukan adaptasi dengan masyarakat, dan tidak mengajar anak
39 Ibid., hlm.185-187
65
mengembangkan fungsi egonya. Ini bukan berarti bahwa orang tua
atau keluarga yang bersangkutan memang dengan sengaja
melakukan perbuatan itu. Sebab sebenarnyalah, bahwa mereka itu
sendiri adalah neurotik atau psikotik, diluar pengetahuan atau
diluar kesadaran mereka.
Oleh karena itu pada esensinya tidak ada garis demerkasi
yang jelas antara normalitas dan abnormalitas, antara kesehatan
mental dan ketidaksehatan mental, antara jiwa yang waras dengan
jiwa yang kurang waras. Sebab yang ada hanyalah derajat atau
tingkatan saja. Tidak ada insan yang kalis dari cobaan hidup setiap
manusia pasti akan mengalami kesulitan hidup ketakutan dan
ketegangan. Takut akan hal-hal yang diduga bisa mengancam
eksistensinya.
Dr. Kartini Kartono dan dr. Jenny Andari mencoba
menyajikan tentang bagaimana caranya mengetahui batas-batas
dari keadaan psikis yang memuncak dan bagaimanakah
mengatasinya dengan memberikan beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1. Apakah problem-problem yang remeh dan kekecewaan hati
yang kecil yang sering menyebabkan anda jadi cermat dan
bingung, serta mendorong ke dalam ketegangan ?
2. Apakah anda menemukan kesukaran dalam bergaul dengan
orang ?
66
3. Apakah keindahan dan kesenangan yang kecil menyentuh hati
anda ?
4. Apakah anda merasa tidak mampu menghentikan rasa cemas
dan takut ?
5. Apakah anda senantiasa merasa takut terhadap orang lain, dan
takut pada setiap situasi yang sebenarnnya tidak merugikan
anda ?
6. Apakah anda selalu merasa curiga pada orang lain dan tidak
percaya pada kawan sendiri ?
7. Apakah anda senantiasa mengalami rasa penderitaan batin ?
Jika jawaban anda “ya” pada pertanyaan di atas, maka hal ini
belum merupakan suatu bencana. Akan tetapi anda harus mulai
bersikap waspada dan menanggapi situasi sendiri dengan tindakan-
tindakan positif agar supaya kebiasaan-kebiasaan neurosa–berfikir–
berbuat yang kurang mapan itu tidak terus berlanjut tetapi bisa
diperbaiki.
Di bawah ini mereka memberikan beberapa petunjuk untuk
menanggapi kesulitan tersebut.
1. Mengeluarkan dan membicarakan kesulitan
2. Menghindari kesulitan untuk sementara waktu
3. Menyalurkan kemarahan
4. Bersedia menjadi pengalah yang baik
5. Berbuat kebaikan untuk orang lain dan memupuk sosialitas
67
6. Menyelesaikan suatu tugas dalam satu saat
7. Jangan menganggap diri terlampau super
8. Menerima segala kritik dengan dada lapang
9. Memberikan kemenangan pada orang lain
10. Menjadikan diri sendiri serba guna
11. Mengatur saat-saat rekreasi40
Oleh karena itu tugas utama para pekerja kesehatan mental
dalam menangani kasus-kasus ketidak sehatan mental ini ialah:
a) Menemukan dengan segera tanda-tanda keabnormalan yang
menjadi sinyal berbahaya bagi perkembangan pribadi
b) Mencegah perkembangannya, dan meniadakan konflik batin yang
serius.
c) Membimbing penderita memasuki kembali realitas hidup nyata,
dengan jalan mengembangkan sikap realitis, keberanian dan
bertanggung jawab di bantu oleh obat-obatan
Perkembangan keluarga yang sehat menurut Dr. Kartini
Kartono dan dr. Jenny Andari itu hanya bisa berlangsung apabila
keluarga bisa menyajikan kondisi sebagai berikut:
1. Keluarga bisa menuntun anak untuk bertanggung jawab, dan
belajar menemukan jalan hidupnya sendiri.
Yaitu berfikir, merasa, berkemauan, dan memecahkan semua
masalah ditengah keluarganya, dan kemudian masyarakat luas,
40 Ibid., hlm. 241-248
68
dengan caranya sendiri (diberikan kebebasan kepada anak untuk
mandiri), dan dengan tanggung jawab sendiri.
2. Orang tua bisa bersikap toleran terhadap emosi anak-anaknya, dan
bisa memberikan bimbingan penyalurannya dengan cara yang
sehat.
3. Adanya identifikasi anak yang sehat terhadap orang tua, guna
memperkuat kepribadian anak. Sebab tanpa identifikasi, akan
banyak memunculkan ketakutan dan kecemasan, serta membuat
anak menjadi neurotik. Tapi sebaliknya identifikasi total, dan kaku
akan menyebabkan pengingkaran individualitas anak, dan
memunculkan banyak konflik
4. Orang tua mampu membimbing anak menentukan sikap sendiri,
membuat rencana hidup yang realistis, dan memilih tujuan finalnya
sendiri.
Dengan berani dan tanggung jawab sendiri anak di dorong untuk
meraih tujuan hidup yang diinginkan, agar ia bisa berdiri dan
mampu membangun diri sendiri.
5. Orang tua memberikan contoh sikap hidup dan prilaku yang baik.
Berani menghadapi semua kesulitan dan tantangan dengan tekad
yang besar, dan menyingkiri mekanisme peralihan diri serta
pembelaan diri yang negatif (yang tidak sehat).41
41 Ibid., hlm. 187-189
69
Jelas bahwa manusia dilahirkan di dunia bukan hanya semisal
kertas kosong, yang akan terbentuk kepribadiannya oleh gambar,
tulisan dan pengaruh yang digoreskan oleh lingkungannya berupa
pengalaman dan pendidikan. Tetapi Islam lebih meyakini bahwa
manusia dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki potensi iman.
Sehingga dalam kehidupan. Selanjutnya dia akan mampu
mengembangkan potensi bawaan atau fitrahnya di bawah bimbingan
dan latihan pendidikannya khususnya keluarga.
Struktur spiritual seseorang, antara lain keimanan kepada
Allah, sebaiknya sejak kecil sudah mulai di kembangkan dengan
bantuan pendidikan.
Mendidik anak pada hakikatnya bukan membentuk pribadi
anak sesuai dengan konsep-konsep dan kehendak orang tuanya saja,
dan bukan dengan cara otoriter dan disiplin mati yang dilakukan
orang tua akan tetapi harus mengembangkan dan merangsang bekal
kemampuan yang telah dibawa anak sejak lahir yang di karuniakan
oleh Allah, dan memberikan tuntunan yang sesuai dengan isi hati
nurani anak beserta misi hidupnya.