bab iii esensi hukum€¦ · tujuan hukum ialah: tata tertib masyarakat yang damai dan adil....
TRANSCRIPT
57
BAB III
ESENSI HUKUM
A. Tujuan Hukum
Pandangan Teleologis yang berasal dari bahasa
Yunani telos (τέλος) bahwa segala sesuatu bereksistensi
untuk tujuan tertentu.1 Demikian segala sesuatu pasti
memiliki tujuan tidak terkecuali hukum. Tujuan
hukum mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai
yaitu merujuk pada sesuatu yang bersifat ideal
sehingga akan dirasakan abstrak dan bersifat tidak
operasional.2 Tujuan hukum untuk mencapai damai
sejahtera dalam masyarakat, dalam hal ketundukan
individu atau masyarakat terhadap hukum hanya
didasarkan karena adanya ketakutan akan sanksi yang
dilekatkan padanya jelas individu atau masyarakat
mentaati hukum hanya karena dipaksa, maka tidak
ada damai sejahtera dalam masyarakat melaksanakan
hukum tersebut karena hukum ditaati dengan rasa
takut.
1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 89. 2 Ibid., Hlm. 88.
Gustav Radbruch yang mengemukakan bahwa
hukum dalam tujuannya perlu berorientasi pada tiga
hal, 1). Kepastian hukum, 2).Keadilan, 3). Daya-guna
(doelmatigheid).3
Menurut Radbruch Kepastian hukum merupakan
tuntunan utama terhadap hukum ialah, supaya hukum
menjadi positif, dalam artian berlaku dengan pasti.
Hukum harus ditaati, dengan demikian hukum
sungguh-sungguh positif.4 Hukum dituntut untuk
memiliki kepastian dengan maksud bahwa hukum
tidak boleh berubah-ubah. Sebuah undang-undang
yang telah diberlakukan akan mengikat bagi setiap
orang dan sifatnya tetap sampai undang-undang
tersebut ditarik kembali. Permasalahan yang sering
terjadi akibat kekeliruan memahami makna dari
kepastian hukum adalah, sering kali bunyi bahkan
sifat redaksional dari sebuah pasal dalam undang-
undang dipertahankan secara mutlak, sehingga yang
terjadi sebagaimana ada ungkapan: lex duras sed
tamen scripta, yang artinya undang-undang adalah
keras, tetapi mau tidak mau memang demikian
bunyinya.
Hukum harus memiliki kepastian, untuk itu maka
hukum harus berupa peraturan tertulis. Akan tetapi
sangat penting untuk dipahami bahwa Undang-undang
3 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya
Media, Salatiga, 2011, Hlm. 33. 4 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya
Media, Salatiga, 2011, Hlm. 33-34.
59
tidak dapat menguras hukum.5 Karena meskipun
kaidah hukum dirumuskan melalui teks-teks dalam
undang-undang akan tetapi rumusan teks tersebut
tidak sepenuhnya dapat menampung isi dan maksud
kaidah hukumnya.6 Makin banyak hukum memenuhi
syarat “peraturan yang tepat”, yang sebanyak mungkin
meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam
peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan.
Itulah arti summum ius, summa iniura,7 atau lebih
sering kita dengar dengan ungkapan Keadilan tertinggi
adalah ketidakadilan yang tertinggi.8
Kepastian hukum seharusnya ditujukan untuk
melindungi kepentingan setiap individu agar mereka
mengetahui mengetahui perbuatan apas saja yang
dibolehkan dan sebaliknya perbuatan mana yang
dilarang sehingga mereka dilindungi dari tindakan
kesewenang-wenangan pemerintah.9 Individu-individu
inilah yang disebut para pencari keadilan yang memang
memerlukan kepastian akan tetapi kepastian yang
sesungguhnya tidak ditujuakan pada bentuk atau
5 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 53. 6 Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian
Hukum dan Penemuan Hukum dalam Konteks Hukum Nasional), Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, Hlm. 2.
7 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 13. 8 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 139 9 Ibid., Hlm. 137.
formal belaka10 tetapi kepada hasrat untuk memberikan
keadilan. Sebagaimana dikatakan oleh Sudikno bahwa:
bukan penerapan naskah undang-undang secara
membudak yang memberikan kepastian hukum, tetapi kehendak untuk memberi kepada pencari keadilan
yang dituntut mereka berdasarkan kepatutan. Oleh
karena itu kita boleh berkata bahwa kepastian yang
semu dulu, yang didasarkan atas naskah yang selalu
sedikit banyak kebetulan, digantikan oleh kepastian
dalam tingkat yang lebih tinggi, kepastian yang ditimbulkan dengan mengusahakan kepatutan.
Kepastian yang dulu diberikan oleh kata-kata telah
digantikan oleh kepastian yang diberikan oleh
keadilan.11
Pendapat berikutnya mengemukakakn tujuan
hukum adalah untuk kemanfaatan. Bahwa hukum
harus ditujuakan untuk sesuatu yang berfadah atau
memiliki manfaat. Penganut aliran utilitis yang
dipelopori oleh Jeremi Bentham mengatakan bahwa
hukum bertujuan untuk menjamin kebahagiaan yang
terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-
banyaknya (the greatest good of the greatest number)
pada hakekatnya yang menjadi inti ajaran teori utilitis
bahwa tujuan hukum adalah menghasilkan
kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi
jumlah orang yang terbanyak.12
Kelemahan dari ajaran ini adalah kebahagiaan
yang dikemukakan oleh aliran utiliti ini berupa
numerik jadi selama sudah ada sebagian besar
10 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 126. 11 Ibid., Hlm. 126. 12 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah
Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2008, Hlm. 80.
61
masyarakat yang mendapat keberuntungan oleh
hukum dengan demikian tidak masalah jika ada
sebagiab kecil yang dikorbankan haknya, padahal
hukum melihat dan melindungi manusia bukan hanya
dalam bentuk sebuah masyarakat akan tetapai hukum
juga harus melihat manusia dari eksistensinya sebagai
individu. Maka dari itu tidak dibenarkan kalau ada
sebagian individu yang dikorbankan haknya. Hukum
harus hadir untuk melindungi sampai pada pihak yang
paling lemah sekalipun demikian hukum tetap
berorientasi untuk memberikan keadilan. Sebagaimana
menurut O. Notohamidjojo bahwa: “Hukum yang
pertama bertujuan mewujudkan keadilan; dimana itu
tidak mungkin, hukum mengejar: daya guna atau
doelmatigheid.”13 Selanjutnya Notohamidjojo
menempatkan kepastian hukum sebagai salah satu
faset yang terpenting dari pada daya guna14
Tujuan hukum berikutnya yaitu keadilan,
menurut Radbruch bahwa keadilan sudah cukup
apabila kasus-kasus yang sama diperlakukan secara
sama.15 Sedangkan menurut
Sebagaimana dikatakan oleh Tegus Prasetyo
bahwa: “Orang dapat saja mengatakan tujuan hukum
adalah keadilan saja, dan itu berarti di dalam keadilan
13 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya
Media, Salatiga, 2011, Hlm. 35. 14 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya
Media, Salatiga, 2011, Hlm. 35. 15 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya
Media, Salatiga, 2011, Hlm. 34.
itu sudah pasti ada pula kepastian dan selalu saja
diperoleh manfaat.”16 Geny adalah salah satu ahli yang
juga mendukung bahwa hukum bertujuan merealisir
atau mewujudkan keadilan.17 ia berpendapat
sebagaimana dikutip oleh van Apeldoorn demikian:
Geny mengajarkan, bahwa tujuan hukum ialah semata-mata keadilan, akan tetapi merasa terpaksa
juga memasukkan kepentingan daya guna dan
kemanfaatan sebagai sesuatu unsur dari pengertian
keadilan: le juste contient dans ses flancs l’utile.18
Tujuan hukum satu-satunya adalah tidak lain
daripada mewujudkan keadilan. Bahwa pendapat yang
secara panjang lebar menguraikan bahwa hukum
bertujuan untuk tiga tujuan yaitu keadilan kepastian
dan kemanfaatan, rasionalisasi yang tepat bahwa kalau
keadilan yang dikejar maka kepastian dan kemanfaatan
secara otomatis akan terwujud, karena baik
kemanfaatan dan kepastian adalah bagian dari
keadilan itu sendiri. Jadi pada hakikatnya kepastian
dan kemanfaatan tidak diposisikan sejajar dengan
keadilan sebagai tujuan hukum akan tetapi sebagai
sarana untuk mencapai keadilan itu sendiri. Maka dari
itu tujuan hukum pastilah keadilan.
Bahkan Gustav Radbruch yang merupakan
pencetus tiga tujuan hukum yang kemudian dijadikan
rujukan utama para ahli-ahli hukum setelahnya dalam
16 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., Hlm. 133. 17 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah
Pengantar, Op.Cit., Hlm. 77. 18 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 16.
63
memperbincangkan tujuan hukum yaitu kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan. Radbruch pada akhirnya
mengoreksi pandangannya sendiri19 ia menyatakan
bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan.
Selanjutnya ia juga menyatakan, “Est autem jus a
justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam
jus.” Yang artinya: Akan tetapi hukum berasal dari
keadilan seperti lahir kandungan ibunya; oleh karena
itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.20
Dalam ajaran Aristoteles dikena adanya dua jenis
keadilan, yaitu keadilan distributief, dan keadilan
commutatief. Keadilan distributief adalah keadilan yang
memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut
jasanya “suum ciuque tribuere”21 Keadilan
communitatief adalah keadilan yang memberikan
kepada setiap orang sama banyaknya, bahwa adil apa
pada pergaulan dalam masyarakat setiap orang
diperlakukan sama tanpa memandang status,
kedudukan dan sebagainya.22
Sebagaimana dikatakan oleh Tegus Prasetyo
bahwa: “Orang dapat saja mengatakan tujuan hukum
19 Titon Slamet Kurnia, “Hukum dan Keadilan: Isu Bagian
Hulu dan Hilir,” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, Edisi April
2015, Hlm. 16-19. 20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 89. Dikutip dari Kurt Wilk, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dobin, Cambridge, Harvard
University Press, 1950, Hlm. 73. 21 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11-13. 22 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah
Pengantar, Op.Cit., Hlm. 79.
adalah keadilan saja, dan itu berarti di dalam keadilan
itu sudah pasti ada pula kepastian dan selalu saja
diperoleh manfaat.”23 Namun harus diantisipasi juga
bahwa peradilan akan lepas dan tanpa kontrol kalau
kita, membiarkan hakim bertindak sebagai bon juge24
untuk itu perintah kepada ahli hukum untuk tetap
berada ditengah-tengah dan tetap menjaga
keseimbangan antara keterikatan dan kebebasan.25
Dengan demikian ketertiban dapat dijaga sebagaimana
tujuan hukum ialah: tata tertib masyarakat yang damai
dan adil. Meniadakan pandangan keadilan dari hukum
berarti menyamakan hukum dengan kekuasaan.26
Hukum di atas segala-galanya harus adil.27
L.J. van Apeldoorn, dalam buku yang berjudul
Pengantar Ilmu Hukum mengatakan bahwa “Tujuan
hukum ialah: mengatur pergaulan hidup secara damai.
Hukum menghendaki perdamaian. Sebagaimana
diungkapkan dalam salah satu prolog dari hukum
rakyat “Frangka Salis”, lex salica”28 Lanjut van
Aperdoon bahwa: “apa yang kita sebut tertib hukum
mereka sebut damai (vrede). Keputusan hakim, disebut
vredeban (vredegebod), kejahatan berarti pelanggaran
perdamaian (vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak
23 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., Hlm. 133. 24 Hakim sendiri yang menentukan apa yang adil. 25 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 130. 26 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 16. 27 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 89. 28 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 10.
65
damai (vredelos), yaitu dikeluarkan dari perlindungan
hukum.”29
Dalam mewujudkan perdamaian sebagai tujuan,
hukum mewujudkannya dengan cara melindungi
kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu,
kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan
sebagainya terhadap hal-hal yang merugikannya.30
Untuk itu hukum harus menjaga keseimbangan dalam
melindungi kepentingan manusia sebagai individu
dengan kepentingan manusia sebagai sebuah kesatuan
masyarakat. Karena selain melindungi individu hukum
juga harus ditujukan untuk mengabdi kehidupan
bersama.31
Permasalahan yang selalu terjadi adalah
kepentingan dari manusia sebagai individu tidak jarang
atau bahkan lebih sering sifatnya bertentangan dengan
kepentingan manusia sebagai sebuah kesatuan
masyarakat. Pertentangan kepentingan ini selalu akan
menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara
semua orang melawan semua orang32, dalam hal ini
hukum selalu hadir sebagai perantara untuk
mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan yang bertentangan secara teliti dan
mengadakan keseimbangan di antaranya, karena
29 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11. 30 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11. 31 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 65. 32 Bellum omnium kontra omnes
hukum hanya dapat mencapai tujuan mengatur
pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan
yang adil.33 Dengan demikian tujuan hukum adalah,
adalah memberi keadaan adil dan tenang kepada
manusia dalam hubungannya satu sama lain.34 Guna
mewujudkan keadaan damai baik dalam diri manusia
serta dalam pergaulannya dengan masyarakat, atau
kedamaian lahir batin.
Dalam menimbang antara kepentingan individu
dengan kepentingan masyarakat adalah hak yang tidak
dapat terhindari bahwa hukum harus memberikan
pembatasan atas kebebasan manusia sebagai individu.
Mengenai pemahaman ini Sudikno berpendapat
demikian:
Kebebasan adalah barang yang berharga tetapi tiada
seorang pun yang dapat memikul kebebasan yang
mutlak, baik karena sebagai manusia yang bersifat sungguh-sungguh ia tidak mau mengambil
tanggungjawabnya, juga karena setiap kebebasan mau-
tidak mau mengorbankan kebebasan orang lain. 35
Pada hakikatnya kebebasan manusia tidak
dibatasi oleh hukum atau hukum tidak mengekangnya,
sehingga tidak tepat kalau dikatakan “hukum
mengorbankan kebebasan”. Yang terjadi adalah
manusia diikat oleh raionalitasnya sebagai mahluk
yang berakal budi yang memahami akan Nilai-nilai
universal, seperti kejujuran, keadilan, kebaikan hati
33 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 11. 34 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 57. 35 Ibid., Hlm. 126.
67
dan sebagainya. Oleh karena itu kebebasan manusia
disebut rasional, bila ia menggunakannya dengan
dibimbing oleh nilai-nilai tersebut.36
Manusia memiliki kebebasan akan tetapi
kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan
rasional. Pada dasarnya kebebasan rasional ini adalah
suatu kebebasan moral. Artinya bahwa nilai-nilai hidup
yang ditanggapi secara rasional, harus diterima sebagai
norma. Kebebasan moral ialah: kemampuan manusia
untuk mewujudkan hidupnya sesuai dengan prinsip-
prinsip moral.37
Pada dasarnya arti kebebasan yang sesungguhnya
adalah kebebasan yang sekaligus membawa keterikatan
diri untuk tidak merugikan sesama manusia yang
lain.38 Di satu sisi manusia memiliki kebebasan
sekaligus pada sisi yang lain manusia menghargai nilai-
nilai moral yaitu cinta kasih terhadap sesama.
Damai sejahtera sebagai tujuan hukum tidak akan
tercapai apabila hukum itu sendiri ditaati berdasarkan
semata-mata paksaan dari luar, akan tetapi untuk
mencapai damai sejahtera mau tidak mau hukum
harus ditaati berdasarkan kehendak sukarela dari
individu yang datang dari dalam, untuk mencapai hal
tersebut satu-satunya jalan adalah dengan melihat
pada hukum itu sendiri yaitu apakah hukum tersebut
36 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 57. 37 Ibid., Hlm. 59. 38 Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum , Rajawali
Press, Jakarta, 2013, Hlm. 133-134.
telah sesuai dengan nilai? Apakah norma yang
dikandung di dalamnya menuntun masyarakat kepada
hal yang baik? Dan yang paling penting apakah hukum
tersebut telah memberi keadaan adil dan tenang
kepada individu dan masyarakat dalam hubungannya
satu sama lain.39 Jawaban atas pertanyaan tersebut
akan sangat menentukan seperti apa kepatuhan
individu dan masyarakat terhadap hukum. Sudah
seyogyanya bahwa hukum yang adil sama sekali tidak
memerlukan paksaan untuk mentaatinya karena sudah
pasti individu dan masyarakat akan dengan sukarela
tunduk terhadap hukum yang demikian. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
hukum daya mengikatnya berasal dari dalam, pendapat
demikian sekaligus menepis pemahaman para ahli
hukum yang terdahulu yang selalu mengidentikkan
hukum dengan sifat mengikatnya yang berasal dari
luar atau lebih tepat dikatakan memiliki daya paksa
dari luar, karena sejahtera selalu berasal dari dalam
B. Opinio Necessitates
Bagaimana hukum itu menjadi objek rasa hormat
dari manusia, apakah karena hukum mengandung
sanksi? Atau apakah setelah seseorang mendapat
penindakan dari polisi karena melanggar hukum? Theo
Huijbers mengatakan bahwa: “Memang hormat itu
tidak akan timbul pada saat orang mendapat teguran
39 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 57.
69
dari polisi karena melanggar suatu peraturan.”40
Huijbers melanjutkan pendapatnya bahwa:
Akan tetapi mungkin sesudahnya orang yang
didenda akan berfikir lebih lanjut bahwa peraturan itu perlu supaya kehidupan bersama diatur dengan baik,
dan semua organ dapat menikmati ketentraman dan
keadilan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa jarak
antara hukum dan keadilan tidak jauh. Ada
kemungkinan bahwa orang yang mengerti makna
hukum ini, akan rela untuk menjadi taat pada
peraturan-peraturan.41
Penekanan penting atas pendapat di atas adalah
bahwa bukan sanksinya yang membuat orang itu sadar
melainkan karena ia berfikir bahwa hukum mengatur
kehidupan bersama akan memberikan kepadanya
ketentraman dan keadilan. Bahwa pada dasarnya
keputusan untuk taat kepada hukum terletak dari
dalam diri manusia itu sendiri bukan dari luar. Sebagai
mahluk yang berakal budi manusia berfikir terlebih
dahulu kemudian ia memperoleh kesimpulan untuk
menaati hukum atau tidak, Dalam hal hukum
memberikan kenikmatan baginya berupa ketentraman
dan keadilan42 jelas manusia akan memutuskan untuk
mentaati hukum. Dengan argumentasi seperti ini dapat
ditarik sebuah pemahaman bahwa ketaatan manusia
terhadap hukum adalah berasal dari dalam diri setiap
individu, dimana materi dan tujuan hukum akan
sangat mempengaruhi manusia untuk taat kepada
hukum.
40 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 11. 41 Ibid. 42 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 57.
Hukum yang dilekatkan paksaan tidak menjamin
bahwa manusia akan mentaatinya, mengapa dikatakan
demikian? Karena hukum dengan paksaan atau sanksi
seberat apapun dan ditunjang oleh lembaga yang
menegakkannya secara terorganisir dan rapi, kalau
materi dan tujuannya tidak adil dan membawa
kesengsaraan pada masyarakat maka pada akhirnya
manusia akan mencari cara untuk melawannya, akan
tetapi sebaliknya hukum yang adil akan mendapatkan
ketundukan sukarela dari manusia.
Adalah Teguh Prasetyo yang mengkonsepkan
teori Keadilan Bermartabat, yang dalam teorinya
mengatakan bahwa sistem hukum positif Indonesia
pada dasarnya tidak perlu mengambil hukum buatan
dunia luar43 melainkan harus menggali dan
menemukan hukum berasal dari dalam jiwa bangsa
Indonesia itu sendiri.44 Jika Indonesia dianalogikan
sebagai sebuah individu maka individu tersebut tidak
perlu mentaati hukum dari luar tetapi taat kepada
hukum yang berasal dari dalam dirinya, yang ia peroleh
melalui akal budinya, melalui kemampuannya untuk
membedakan hal yang baik dan buruk, dengan
demikian ia telah meninggikan martabatnya.
43 Yang dimaksud dengan dunia luar adalah sistem hukum
yang diadopsi dari negara-negara atau bangsa-bangsa lain yang
dalam konteks Indonesia adalah sistem hukum yang dianut dari
Belanda, 44 Menurut Teguh Prasetyo adalah sistem hukum yang
berdasarkan Pancasila. Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., Hlm. 17.
71
Argumetasi di atas membawa postulat bahwa
ketundukan terhadap hukum pada dasarnya berasal
dari dalam diri manusia. Bahwa keberadaan sanksi
dalam hukum adalah hal yang berbeda, dan ketaatan
manusia terhadap hukum tidak tergantung akan
adanya sanksi tetapi dari hati nurani manusia itu
sendiri. Mematuhi suatu kaidah hukum jarang sekali
terjadi hanya karena ada paksaan, tetapi karena dalam
masyarakat berlaku (berpengaruh) kebiasaan untuk
mematuhi kaidah-kaidah hukum. Kebiasaan-kebiasaan
itu menunjukkan bahwa orang jelas-jelas merasakan
dirinya berkewajiban untuk berperilaku sesuai dengan
kaidah hukum.45
“Llewellyn dan Hoebel melihat adanya dua faktor
utama dalam dinamika hukum, yaitu perkembangan
yang disadari dan tuntutan individual yang dilakukan
secara sadar.”46 Tuntutan individual secara sadar
itulah yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut
hukum.47
Sebagaimana dikatakan oleh Utrecht sebagaimana
dikutip oleh Soeroso, bahwa manusia menaati hukum
“karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan
itu dirasakan sebagai hukum. Mereka benar-benar
45 Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.
98. 46 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 53 47 Ibid., Hlm. 53
berkepentingan akan berlakunya hukum tersebut.48
Utrecht juga mengatakan bahwa orang menerima
hukum supaya ada rasa kedamaian.49 Kesadaran akan
perlunya aturan itulah yang biasanya disebut sebagai
opinio necessitates.”50
Opinio necessitates mengindikasikan hukum tidak
diterima sebagai paksaan, tetapi hukum diterima
secara sukarela supaya ada rasa kedamaian.
C. Keberlakuan Hukum
Konsep hukum adalah Ius yaitu keadilan yang
termasifestasi dalam asas, kaidah/norma, dan aturan
hukum. Yang membentuk sebuah tataran dalam sistem
hukum.
Asas hukum itu memberi dimensi etis kepada
hukum.51 Demikian bahwa asas hukum di dalamnya
mengandung nila moral. Asas hukum adalah intisari
atau jantungnya hukum. Kaidah hukum tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya tidak
kaidah hukum tidak boleh melanggar hak-asasi
48 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum , Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, Hlm. 56. 49 Ibid. 50 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 53. 51 Sudikno Mertokusumo, Penemun Hukum: Sebuah
Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, Hlm. 8.
73
masnusia atau bertentangan dengan kaidah kaidah
hukum alam.52 Norma atau kaidah dituangkan
kedalam aturan-aturan hukum yang bersifat
kongkret.53
Aturan yang di dalamnya berisikan norma yang
berpangkal pada asas hukumlah yang kemudian
memiliki predikat sebagai hukum, terlepas
mengandung sanksi atau tidak, sebenarnya sanksi
tersebut adalah bentuk dari atau tuntutan dari
penegakan hukum, karena aturan hukum didesain
sedemikian rupa untuk sebuah peristiwa tertentu
sehingga aturan tersebut juga harus didesain untuk
dapat diterapkan maka dari itu dilekatkanlah sanksi di
dalamnya.
Damai sejahtera sebagai tujuan hukum tidak akan
tercapai apabila hukum itu sendiri ditaati berdasarkan
semata-mata paksaan dari luar, akan tetapi untuk
mencapai damai sejahtera hukum harus ditaati
berdasarkan kehendak sukarela dari individu yang
datang dari dalam, untuk mencapai hal tersebut satu-
satunya jalan adalah dengan melihat pada hukum itu
sendiri yaitu, hukum tersebut telah sesuai dengan
nilai, norma yang dikandung di dalamnya menuntun
masyarakat kepada hal yang baik, hukum tersebut
52 Munir Fuadi, Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum,
Op.Cit., Hlm. 124. 53 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit.,Hlm. 44
memberi keadaan adil dan tenang kepada individu dan
masyarakat dalam hubungannya satu sama lain.54
Sudah seyogyanya bahwa hukum yang adil sama
sekali tidak memerlukan paksaan untuk mentaatinya
karena sudah pasti individu dan masyarakat akan
dengan sukarela tunduk terhadap hukum yang
demikian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya hukum daya mengikatnya berasal dari
dalam, pendapat demikian sekaligus menepis
pemahaman para ahli hukum yang terdahulu yang
selalu mengidentikkan hukum dengan sifatnya
mengikatnya berasal dari luar atau lebih tepat
dikatakan memiliki daya paksa dari luar.
Hukum memiliki dua faktor utama dalam
dinamikanya, yaitu perkembangan yang disadari dan
tuntutan individual yang dilakukan secara sadar.”55
Tuntutan individual secara sadar itulah yang disebut
hukum.56 Bahwa manusia menaati hukum karena
orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu
dirasakan sebagai hukum. Mereka benar-benar
berkepentingan akan berlakunya hukum tersebut.57
Utrecht juga mengatakan bahwa orang menerima
hukum supaya ada rasa kedamaian.58 Kesadaran akan
54 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., Hlm. 57. 55 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 53 56 Ibid., Hlm. 53 57 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum , Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, Hlm. 56. 58 Ibid.
75
perlunya aturan itulah yang biasanya disebut sebagai
opinio necessitates.”59
Hakekat hukum adalah terdapat pada sifatnya
yang normatifnya karenanya memang setiap orang
merasa berkewajiban untuk mentaatinya sebagai
sebuah norma dan sifat tersebut tidak akan hilang
bilamana pada prakteknya manusia tidak mentaatinya.
59 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit., Hlm. 53.