bab iii membaca dalam al-qur’an surat al-‘alaq...
TRANSCRIPT
41
BAB III
MEMBACA DALAM AL-QUR’AN SURAT
AL-‘ALAQ AYAT 1-5
A. Al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5
Surat ini oleh para ulama’ disepakati turun di Makah sebelum nabi
Muhammad saw. hijrah. Para ulama juga sepakat, bahwa wahyu al-Qur’an
yang pertama turun adalah lima ayat pertama surat al-‘Alaq. Atas dasar inilah,
Thabathaba’i berpendapat, dari konteks uraian ayat-ayatnya, maka tidak
mustahil bahwa keseluruhan ayat-ayat surat ini turun sekaligus.1 Berbeda
dengan pendapat di atas, Ibnu Asyur sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab
berpendapat bahwa lima ayat surat al-‘Alaq turun pada tanggal 17 Ramadhan.2
Pendapat kedua inilah yang banyak diikuti oleh kebanyakan ulama.
Nama yang populer pada masa sahabat Nabi saw. adalah surat Iqra’
Bismi Rabbika. Namanya yang tercantum dalam sekian banyak mushaf adalah
surat al-‘Alaq, namun juga ada yang menamainya dengan surat iqra’.3
Menurut Ibnu Katsir bahwa surat al-‘alaq ayat 1-5 merupakan surat yang
berbicara tentang permulaan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya,
awal dari nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya dan sebagai tanbih
(peringatan) tentang proses awal penciptaan manusia dari ‘alaqah. Ayat ini
juga menjelaskan kemuliaan Allah SWT. yang telah mengajarkan manusia
sesuatu hal (pengetahuan) yang belum diketahui, sehingga hamba dimuliakan
Allah dengan ilmu yang merupakan qudrat-Nya.4 Sementara itu, menurut Ali
al-Shabuni bahwa surat al-‘Alaq disebut juga dengan surat Iqra’, ayat ini turun
di Makah dengan memuat 3 hal: 1. menjelaskan awal turunnya wahyu kepada
nabi Muhammad saw; 2. menjelaskan kekuasaan Allah tentang penciptaan
1 Muhammad Husain al-T}abat}aba’i, al-Miza>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n, Juz 10, (Beirut:
Lebanon: t.th.), hlm. 369. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 15.
(Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 391. 3 Ibid. 4 Abu Fida al-Hafiz ibn Katsir al-Dimisqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 4, (Beirut:
Dar-al-Fikr, t.th.), hlm. 645.
42
manusia ; 3. menjelaskan tentang kisah celakanya Abu Jahal sebab mencegah
(melarang) nabi Muhammad saw. melaksanakan shalat.5
1. Redaksi Ayat dan Terjemahnya
اقرأ وربك ) 2(نسان من علقإلخلق ا )1(بك الذي خلقر مسابرأ اقم3(األكر( بالق لملمالذي ع)4( لعان إل ا مسناملمعي لم )5: العلق) . (5
-1( (1)Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan (2) Dialah Yang Menciptakan manusia dari segumpal darah (3)Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. al-‘Alaq: 1-5)6
2. Muna>sabah Ayat
Secara etimologi, muna>sabah berarti al-musyakalah dan al-
mugharabah yang berarti “saling menyerupai dan saling mendekati”.7
Salain arti itu, berarti pula “persesuaian, hubungan atau relevansi”.8 Secara
terminologis, muna>sabah adalah “adanya keserupaan dan kedekatan di
antara berbagai ayat, surat dan kalimat yang mengakibatkan adanya
hubungan”.9
Menurut Abdul Djalal mendefinisikan muna>sabah dengan hubungan
persesuaian antar ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat lain
yang sebelum sesudahnya.10 Hubungan tersebut bisa berbentuk keterikatan
makna ayat-ayat dan macam-macam hubungan atau keniscayaan dalam
pikiran, seperti hubungan sebab musabab, hubungan kesetaraan dan
5 Muhammad ‘Ali al-S{abuni, Safwah al-Tafa>si>r, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm.
580. 6 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 1079. 7 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 91. 8 Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 154. 9 Ramli Abdul Wahid, loc. cit. 10 Abdul Djalal, loc. cit.
43
hubungan perlawanan. Muna>sabah juga dapat dalam bentuk penguatan,
penafsiran dan penggantian.11
Seperti yang telah dikemukakan di atas, mengenai muna>sabah, para
mufassir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah, seorang
dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa al-Qur’an serta korelasi
antar ayat.12 Karena seperti diketahui, penyusunan ayat-ayat al-Qur’an
tidak didasarkan pada kronologi masa turunnya, tetapi pada korelasi
makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat terdahulu selalu berkaitan
dengan kandungan ayat kemudian.
Muna>sabah surat al-‘Alaq ayat 1-5 dapat dilihat dari muna>sabah
ayat dan muna>sabah surat sebagai berikut:
a. Muna>sabah ayat
Surat al-‘Alaq ayat 1-5 memiliki muna>sabah dengan ayat
sesedahnya, yaitu ayat 6 sebagai berikut:
) 6: العلق(كال إن اإلنسان ليطغى Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas (QS. Al-‘Alaq: 6)13
Kata كال dalam ayat di atas digunakan untuk menegur dengan keras.
Ayat ini juga memberikan pengertian, bahwa kandungan kalimat sesudahnya
berlawanan dengan isi pernyataan sebelumnya, yaitu betapa naifnya manusia.
Meski telah jelas keadaannya dan amat parah kemiskinannya dalam dirinya
sendiri, dan tidak ada lagi keraguan, bahwa Allah SWT. adalah Sang Pemilik
segalanya, namun manusia tetap bersikap melampaui batas. Ia menolak
11 Muna>sabah sangat penting perannya dalam penafsiran, di antaranya karena untuk 1.
menemukan makna yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat atau ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an, sehingga bagian dari al-Qur’an saling berhubungan dan tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral; 2. mempermudah pemahaman al-Qur’an; 3. memperkuat keyakinan atas kebenaran sebagai wahyu Allah; 4. menolak tuduhan, bahwa susunan al-Qur’an kacau. Ramli Abdul Wahid, op. cit., hlm. 94-95.
12 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Mizan: Bandung, 1998), hlm. 135.
13 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 1079.
44
menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhannya, sementara ia bertindak zalim
terhadap makhluk-Nya.14
b. Muna>sabah surat
Surat al-‘Alaq ayat 1-5 memiliki muna>sabah dengan surat
sesudahnya, yaitu surat al-Ti>n sebagai berikut:
)4: التني(لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقومي Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. al-Ti>n: 4)15
Kandungan surat sebelumnya, al-Ti>n lebih memfokuskan
pembicaraannya tentang aneka nikmat yang telah dianugerahkan Allah
SWT. kepada nabi Muhammad saw., sedangkan surat al-‘Alaq
mengingatkan beliau tentang kebersamaan Allah yang tujuan agar nabi
tidak ragu atau berkecil hati dalam menyampaikan risalah sesuai
dengan perintah-Nya.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, bahwa korelasi ayat di atas dengan
surat al-‘Alaq sebagai penjelasan dengan bentuk manusia (الصورة) yang
merujuk pada surat al-‘Alaq ayat 2, yaitu ا لقلق إلخع ان منسن ,16 bahwa
manusia diciptakan dari segumpal darah serta dalam bentuk yang
paling sempurna (paling baik dibandingkan dengan bentuk makhluk
lainnya). Di samping itu, surat al-‘Alaq juga menjelaskan tentang
keadaan akhirat yang merupakan penjelas bagi ayat sebelumnya.17
Selain surat al-Ti>n ayat 4, surat al-‘Alaq juga memiliki korelasi
dengan ayat terakhir surat al-D{uha ayat 11 sebagai berikut:
)11: الضحى(حدث وأما بنعمة ربك ف
14 Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, terj. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan,
1999), hlm. 252. 15 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 1076. 16 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi Akidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Lebanon:
Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.th.), hlm. 311. 17 Ibid.
45
Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (QS. al-D{uha: 11)18
Menurut Quraish Shihab, bahwa nabi saw. di sini diperintahkan
untuk membaca guna lebih memantapkan lagi hati beliau. Ayat di atas
bagaikan menyatakan: bacalah wahyu-wahyu Ilahi yang sebentar lagi
akan banyak engkau terima, dan baca juga alam dan masyarakatmu.
Bacalah agar engkau membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan.
Bacalah semua itu, tetapi dengan syarat hal tersebut engkau lakukan
“dengan” atau “demi” nama Tuhanmu yang selalu memelihara dan
membimbingmu dan yang menciptakan semua makhluk kapan dan di
manapun.19
3. Setting Sosial Budaya Bangsa Arab Waktu Turunnya Ayat 1-5
a. Zaman Jahiliyah
Periode sebelum Islam, masyarakat Arab dikenal dengan
“zaman Jahiliyah”. Disebut demikian karena adanya ketidakteraturan
politik, agama dan masyarakat sebelum datangnya Islam. Namun
sebenarnya ada sifat-sifat baik yang dialami di kalangan orang Arab
sebelum Islam. Sifat-sifat tersebut akan menjadi salah satu ciri bangsa
ini setelah zaman Islam. Mereka merupakan bangsa yang pintar
berpidato, lancar bicara, kuat ingatan, tegas keputusan, mahir berkuda,
loyal, amanah dan bebas dari pengaruh luar. Abul Hasan Ali Nadqi
menulis: “Tetapi isolasi yang berabad-abad di dalam Jazirah dan
desakan yang tidak wajar terhadap kepercayaan nenek moyang mereka
mengakibatkan moral dan kesehatan jiwa meraka sangat tidak
menentu. Pada abad ke-6 M mereka berada di lembah kebobrokan
moral, kebejatan dan kemusyrikan yang gelap dan selalu
memperturutkan nafsunya mengikuti sifat-sifat kehidupan primitif
yang lain”.
18 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 1071. 19 M. Quraish Shihab, Tafsir ..., op. cit., hlm. 392.
46
Selama berabad-abad tidak ada Nabi di kalangan bangsa Arab
sebelum Islam, tidak ada Nabi lagi setelah nabi Isma’il ‘alaihissalam.
Mereka tidak mempunyai ideology agama dan pengetahuan yang
berdasarkan wahyu.
Adapun tentang keadaan bangsa Arab pada zaman Jahiliyah
dapat ditinjau dari beberapa kondisi, di antaranya:
1) Kondisi sosial
2) Kondisi politik
3) Kondisi keagamaan.20
Untuk lebih memperjelas kondisi dan keadaan bangsa Arab
tersebut, perlulah penulis jelaskan kondisi dan keadaan bangsa Arab di
atas.
1) Kondisi social
Kondisi sosial bangsa Arab makin lama makin memburuk,
mereka lebih suka bermabuk-mabukan dari kehidupan itu sendiri.
Kesusatraan Arab kuno berbau minuman keras dan banyak
mengekspresikan minuman-minuman tersebut, took-toko minuman
keras lengkap dengan spanduknya dihiaasi dengan hiasan yang
semarak. Kesenangan berikutnya yang juga banyak digemari
adalah judi. Mengurangi perjudian dianggap pekerjaan tidak
hormat, seorang penjudi akan emmpertaruhkan segala yang
dimiliki dalam sekali taruhan, setelah kalah tentu akan pulang
dengan muka menunduk penuh duka. Riba juga sangat mereka
gemari. Orang yang berhutang terkadang harus membayar melebihi
hutangnya kepada pemilik uang.
Wanita di kalangan mereka tidak mempunyai hak dan
kehormatan sosial, mereka merupakan makhluk Tuhan yang paling
menderita kala itu. Mereka memandang wanita sebagai barang
yang bergerak dan sangat meremehkannya. Laki-laki bebas
20 Majid Alikhan, Muhammad saw. Rasul Terakhir, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 26-
27.
47
mengawini wanita berapapun dan kemudian menceraikannya
kapanpun diingini. Hak wariss wanita dicabut dengan semena-
mena. Para jandaa tidak diizinkan menikah lagi. Mereka juga
mengalami diskriminasi makanan dan aspek yang lain dalam
kehidupan berumah tangga.
Orang Arab kala itu malu mempunyai anak perempuan,
seringkali si bapak langsung mengubur bayi perempuannya hidup-
hidup walaupun tentu jiwanya menjerit-jerit. Banyak pula
membunuh anaknya karena takut miskin. Kesombongan dan takut
miskin merupakan sebab utama dilakukannya kekejaman ini.21
Salah satu tradisi umum dalam masyarakat Jahiliyah adalah
mengawini ibu tiri, bahkan kadang-kadang saudara perempuan
sendiri. Seorang anak laki-laki tertua mengawini janda ayahnya
(ibu tiri) sebagai warisan, seperti hak milik lainnya. “Kehidupan
yang menyedihkan itu mereka lakukan sebelum dating Rasulullah
saw., beliaulah yang kemudian mengangkat deerajat wanita dari
lembah kehinaan ke posisi yang terhormat dan bermartabat”.
Dan perbudakan juga sangat umum di klangan bangsa Ara,
budak diperlakukan sangat tidak manusiawi. Pemilik budak
memegang otoritass hidup matinya budak. Mereka tidak diizinkan
untuk kawin, baik di antara mereka sendiri maupun dengan orang
merdeka, bila melanggar mereka akan mendapat hukuman yang
menakutkan.22
2) Kondisi politik
Seluruh bangsa Arab benar-benar menikmati
kemerdekaannya, kekaisaran yang dipandang maju waktu itu.
Kekaisaran Romawi dan Persia tidak memperhatikan bangsa Arab,
malahan menganggapnya masyarakat biadab, miskin dan
kelaparan. Bangsa Arab sendiri terbagi dalam beberapa suku
21 Ibid., hlm. 27. 22 Ibid., hlm. 28.
48
bngsa, setiap suku mempunyai syeikhnya sendiri. Saling curiga
antar suku sudah demikian umum, sehingga insiden kecil saja
dapat membawa permusuhan dan dendam yang berlangsung
sampai beberapa generasi. Pepatah mereka mengatakan:
“Tolonglah saudaramu, baik sedang menganiaya ataupun dianiaya,
mereka sangat dipengaruhi oleh pepatah di atas. Kesombongan
antar suku sudah demikian kuat, sehingga setiap orang
menganggap dirinya dari keturunan yang paling mulia.
Insiden yang sangat remehpun dapat menyulut api
peperangan antar suku, seluruh Jazirah seperti sarang penyengat.
Sehingga seseorang tak pernah bisa menduga bilakah akan
dirampok atau dibunuh. Banyak orang diculik di depan mata
teman-temannya sendiri ketika sedang melakukan perjalanan
dalam kafilah. Kerajaan yang berkuasa waktu itu emmerlukan
armadaa yang kuat dan jaminan keselamatan dari kepala suku bila
kafilah mereka atau delegasi mereka hendak melakukan perjalanan
ke tempat lain.23
3) Kondisi keagamaan
Bangsa Arab adalah bangsa penyembah berhala, agama
mereka tidak bisa memberi sumbangan, baik material maupun
spiritual kepada mereka. Pada mulanya berhala yang mereka
sembah diperkenalkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan,
tetapi kemudian berubah status, setelah mereka mempertuhankan
berhala tersebut. Setiap kota, suku dan tempat mempunyai dewa
atau dewi sendiri-sendiri. Berhala-berhala tersebut mereka bikin
dengan bentuk yang bebas sesuai keinginan mereka. Ka’bah yang
dibangun nabi Ibrahim dan Isma’il di kelilingu 360 berhala, empat
yang utama al-Uzza, al-Latta, Manat dan Hubal sangat dipuja-puja
dan diharap-harap oleh hampir seluruh bangsa Arab. Dan setiap
rumah tangga di Makkah memiliki berhala pribadi, sehingga bila ia
23 Ibid., hlm. 29.
49
hendak melakukan perjalanan jauh, maka langkah terakhir sebelum
berangkat adalah menyembah dan memohon karunia kepada dewa
keluarga tersebut.
Mereka juga mempercayai malaikat, roh, jin, binatang,
matahari dan bulan. Malaikat mereka anggap sebagai puteri Tuhan,
sedang jin dianggap sebagai pemegang kekuasaan bersama Tuhan
dalam mengendalikan dunia dan beberapa pohon juga mereka beri
status dewa.
Karena itu masyarakat Arab sebelum Islam, tenggelam dalam
keburukan berbarisme dan tahyul. Kondisi moral dan spiritual
bangsa Arab sangat menyedihkan, begitu juga di bagian dunia yang
lain, sehingga sangat memerlukan campur tangan Tuhan.24
Karena itu ketika manusia merintih akibat penindasan dan
penganiayaan, kezhaliman dan ekkejaman, kemungkaran dan
tahyul, Allah yang Maha Kuasa mengirim utusan-Nya yang
terakhir Rasulullah Muhammad saw., untuk menyadarkan dan
untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan ke jalan yang
terang.25
b. Kondisi Bangsa Arab
Untuk mengetahui kondisi dan wilayah bangsa Arab secara
mendalam dapat dilihat dari empat aspek, yaitu aspek geografis,
antropologis, sosiologis, dan ekonomisnya.
1) Geografis
Jazirah Arab terletak di Asia Baratdaya. Ketiga pantainya
dikelilingi oleh Laut Merah di Barat, Teluk Arab dan Teluk Oman
di Timur serta Laut Arab di Selatan, menempati posisi yang unik
dalam peta dunia kuno, ketika Amerika dan Benua Australia belum
ditemukan. Ia terletak dititik pertemuan tiga benua Asia, Afrika
dan Eropa. Jazirah Arab merupakan Jazirah terbesar di dunia,
24 Ibid., hlm. 30-31. 25 Ibid., hlm. 32.
50
luasnya kira-kira 1.300.000 mil persegi. Secara geologis jazirah ini
merupakan perluasan sahara Afrika, dari sana kemudian dipisahkan
oleh celah Nil dan cekungan Laut Merah. Jazirah ini dibagi
menjadi beberapa bagian, yang terpenting ialah Hijaz, Nejd,
Yaman, Hadramaut dan Oman.
Dataran tinggi jazirah Arab membentang di sepanjang pantai
mencapai ketinggian antara 6000 sampai 9000 kaki di Hijaz,
tempat lahirnya Islam dengan dua kota suci Makkah dan Madinah.
Daerah di bagian Baratdaya, Yaman merupakan satu-satunya
daerah yang hujannya teratur dalam jazirah yang gersang ini,
sehingga terjaminlah pemanfaatan lahan. Nejd merupakan pusat
keramaian di jazirah tengah bagian utara, baik untuk padang
pengembalaan ternak. Selain kedua daerah ini hampir seluruh bumi
jazirah ini merupakan lahan tandus tetapi beberapa oase tersebar di
berbagai tempat.
Di sana tidak ada sungai dan hutan yang tetumbuhannya
selalu menghijau. Di seluruh jazirah hanya ada empat kelompok
kolam (hampir serupa dengan danau), yakni Ahsa, Kharj, Aflaj dan
Najran. Di samping itu banyak terdapat sumber air dan sumur-
sumur di beberapa daerah, khususnya di Madinah, Tha’if, Yaman,
Hadhramaut, Oman dan Makkah. Zamzam merupakan sumber air
yang paling terkenal di jazirah Arab.26
2) Antropologis
Orang-orang kuno yang ti9nggal di Arabia membentuk
suku-suku atau keluarga-keluarga. Sebagian dari mereka ada yang
membangun rumah tinggal permanen dan membangun perkotaan,
dengan demikian jadilah mereka penduduk kota. Tetapi
kebanyakan mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain mencari padang rumput yang subur untuk kambing
serta domba-domba mereka. Mereka dikenal sebagai suku Badui,
26 Ibid., hlm. 34-35.
51
penghuni padang pasir. Bila mereka berhenti sementara waktu di
suatu tempat, mereka tinggal dalam tenda-tenda. Selera hidup
mereka sama sekali berbeda dengan orang ko0ta. Mereka sangat
tergantung pada susu dan daging kambing atau onta, mereka tidak
suka bercocok tanam dan tidak mencoba mengembangkan
perdagangan dan kerajinan.27
3) Sosiologis
Bangsa Arab sebelum Islam, hidup bersuku-suku (kabilah-
kabilah) dan berdiri sendiri, satu sama lain kadang-kadang saling
bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional, yang ada
pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar perhubungan dalam
kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa ashabiyah (kesukuan) amat
kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bilamana terjadi salah
seorang di antara mereka teraniaya, maka seluruh anggota kabilah
itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “tolong
saudaramu baik dia menganiaya atau teraniaya”.
Sesudah bangsa Arab itu memeluk agama Islam, mulailah
dengan cepat rasa kekabilahan itu lenyap dari mereka, dan
timbullah dengan suburnya rasa kesatuan persaudaraan dan
kesatuan agama, yaitu kesatuan umat manusia id bawah satu
naungan panji kalimah syahadah. Dasar pertalian darah diganti
dengan dasar pertalian agama. Demikianlah bangsa Arab yang
tadinya hidup bercerai-berai, berkelompok-kelompok dan berkat
agama Islam mereka menjadi satu kesatuan bangsa, kesatuan umat
yang mempunyai pemerintahan pusat dan mereka tunduk kepada
satu hukum yaitu hukum Allah dan Rasul-Nya.
4) Ekonomis
Meskipun terdapat beberapa perhatian yang bersifat
konservatif, penaklukan Arab, pendudukan sebagian besar
penduduk Arab pada sejumlah pusat-pusat perkampungan militer
27 Ibid., hlm. 37.
52
dan konsolidasi rezim baru melahirkan gerakan perubahan yang
luas mengenai pola-pola perdagangan internasional, perniagaan
wagra kota dan pertanian. Dengan menyatukan beberapa wilayah
bagian Sasania dan Bizantium di Timur Tengah menajdi sebuah
pemerintahan, beberapa halangan politis dan strategis perdagangan
menjadi hilang dan sebuah fondasi utama untuk kebangkitan
perdagangan telah terhampar. Euphrate yang membatasi antara
Persia dan wilayah Bizantium telah musnah dan Transoxiana,
untuk pertama kalinya dalam sejarah disatukan menjadi sebuah
imperium Timur Tengah. Sekalipun demikian muncul beberpa
perbatasan baru antara Syiria dan Anatolia yang semula merupakan
bagian dari sebuah pemerintahan. Keprihatinan akan kemajuan
perdagangan mengilhami ekspansi Arab ke Asia Tengah dan India,
dan pengembangan kota-kota di Syiria Utara, Iraq, Iran dan
Transoxiana, Baasrah dan belakangan disusul Baghdad
berkembang menjadi dua kota sangat makmur.28
Pada saat yang sama, pemukiman juga mendukung
hancurnya perbedaan penduduk Arab dan non Arab. Sebagai
sebuah ibukota dan pusat perdagangan, Basrah menarik hasrat
pemukiman non Arab. Tentara dan administrator dari rezim lama
tergolong sebagia kelompok besar. Gubernur Arab memulangkan
pasukan dari wilayah Timur untuk bertugas sebagai polisi dan
pengawal. Juru tulis, pengumpul pajak, manajer perkebunan,
kepala-kepala kampung dan pemilik tanah bersama-sama menuju
pemerintahan pusat. Selain itu pedagang musiman, perdagangan
jarak jauh dan pekerjaan rendahan, termasuk di dalamnya para
nelayan tempat pemandian, tukang tenun dan pemintal berpindah
ke kota baru. Basrah yang berkembang menjadi pusat administrasi
dan menjadi pusat industri pakaian dan sebagai kota perdagangan
28 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam¸terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), hlm. 68.
53
yang berhubungan dengan Iran, India, Cina dan Arabia, maka
warga Arab menjadi pengusaha, pedaagang, seniman dan pekerja
untuk melengkapi minimnya gaji militer mereka dengan
pendapatan tambahan tersebut.29
B. Hakikat membaca dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5
1. Makna Membaca dalam Surat al-‘Alaq Ayat 1-5
Kata iqra’ ( رأاق ) terambil dari kata kerja qara’a (قرأ) yang pada
mulanya berarti menghimpun, sehingga apabila huruf atau katanya
dirangkai dan mengucapkan rangkaian kata itu, maka berarti telah
menghimpunnya atau membacanya. Kata ini berbeda artinya dengan
nad}ara, ra’a> dan bas}ar. Nad}ara berarti تأمل الشيء بالعين . Artinya mencita-
citakan sesuatu dengan mata.30 ra’a> adalah melihat dengan mata dengan
memperhitungkan satu hal yang diperhitungkan. Ra’a biasanya dikaitkan
dengan ilmu, sehingga berarti pandangan dengan mata dan hati.31 Bas}ar
adalah sama dengan mata ( العين) yang berarti kuatnya penglihatan dan
kuatnya idra’.32
Dengan demikian, realisasi perintah رأ اق pada ayat tersebut tidak
mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, dan tidak
pula harus diucapkan, sehingga terdengar oleh orang lain. Karena dalam
beberapa kamus ditemukan beraneka ragam arti dari kata tersebut, antara
lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain sebagainya yang semua bermuara
pada arti menghimpun. Di samping itu, bila diteliti ayat tersebut juga tidak
menyebutkan objek bacaan, dan ketika itu Jibril as. Ketika itu juga tidak
membaca teks tertulis. Oleh karena itu, dalam suatu riwayat dinyatakan
29 Ibid., hlm. 74. 30 Abu Fadl Hambal al-Di>n Muhammad ibn Mukarram ibn Manz}ur al-Afriki al-Misri,
Lisan al-‘Arab, Jilid 5, (Beirut: Dar al-Sadir, t.th.), hlm. 215. 31 Ibid., Jilid 14, hlm. 291. 32 Ibrahim Anis dll., al-Mu’ja>m al-Wasi>t}, Juz 1, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiah, 1996),
hlm. 59.
54
bahwa nabi saw. bertanya: “ma aqra’?” (ما أقرأ), apakah yang harus saya
baca?33
Menurut Quraish Shihab bahwa objek membaca pada ayat-ayat
yang menggunakan akar kata qara’a ditemukan bahwa ia terkadang
menyangkut suatu bacaan yang bersumber dari Tuhan (al-Qur’an dan kitab
suci sebelumnya), misalnya dalam surat al-Isra ayat 45 dan Yunus ayat 94,
namun juga terkadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan
himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari
Allah, misalnya dalam surat al-Isra’ ayat 14.34
Banyak penafsiran yang dikemukan oleh para ahli tafsir tentang
objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu al-
Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Qur’an
ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adanya ismi
rabbika sambil menilai huruf ba’ yang menyertai kata ismi adalah sisipan,
sehingga berarti bacalah dengan nama Tuhanmu atau berdzikirlah.
Namun demikian, mengapa Nabi saw. menjawab: “saya tidak dapat
membaca”. Seandainya yang dimaksud adalah perintah berdzikir tentu
beliau tidak menjawab demikian, karena jauh sebelum datang wahyu
beliau senantiasa melakukannya.35
a. Abu Fida al-Hafiz ibn Katsi>r al-Dimisqi
Menurut Ibn Katsi>r, bahwa surat al-‘Alaq ayat i-5 merupakan
salah satu permulaan rahmat Allah dari sekian ni’mat Allah kepada
hambanya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapannya sebagai berikut:
، وهن اول رمحة رحم اهللا ا العباد واول نعمة انعم اهللا ا عليهم وفيها التنبيه على ابتداء خلق الناس من علقة وان من كرمه تعاىل ان
36 .علم اإلنسان مامل يعلم فشرفه وكرمه بالعلم
33 M. Quraish Shihab, Tafsir ..., op. cit., hlm. 393. 34 M. Quraish Shihab, Membumikan .., loc. cit. 35 M. Quraish Shihab, Tafsir ..., loc. cit. 36 Abu Fida al-Hafiz ibn Katsi>r al-Dimisqi, op. cit., hlm. 645.
55
Artinya: Itu adalah awal dari salah satu rahmat-rahmat Allah yang diberikan kepada hambanya, dan awal dari salah satu ni’mat-ni’mat Allah yang diberikan kepada hambanya. Di dalam ayat itu mengandung peringatan tentang awal penciptaan manusia dari segumpak darah. Sesungguhnya salah satu dari kemuliaan Allah adalah mengajarkan manusia dari sesuatu yang ditidak tahu, kemudian memuliakan manusia dengan ilmu.
b. Fahr al-Ra>zi
Menurut Fahr al-Ra>zi, bahwa أ اقا برمس ركب dalam surat al-‘Alaq
ayat 1 berarti perintah membaca al-Qur’an dengan meminta
pertolongan kepada Allah SWT. Karena membaca ini sebagai alat
untuk mencapai kemudahan.37 Sementara itu, Firman Allah SWT. علم
لمبالق memiliki dua maksud, sebagai berikut:
بالقلم وجهان أحدمها ان املراد من القلم الكتابة الىت تعرف ا علموجعل القلم كتابة عنها والثاىن أن املراد علم , األمور الغائبة
38 .اإلنسان لكتابة بالقلمArtinya: redaksi ‘allama bi al-Qalam memiliki dua maksud.
Maksud pertama, bahwa dengan pena dapat digunakan untuk menulis segala sesuatu yang yang belum diketahui (gaib), sehingga fungsi pena ini adalah untuk menuliskannya. Kedua, berarti menerangkan kepada manusia bahwa untuk menulis digunakan alat bantu pena.
Pada ayat selanjutnya Allah berfirman: يعلم لم ام نسانإل ا ملع ,
artinya: Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Ayat ini pada dasarnya memiliki hubungan makna
dengan ayat sebelumnya, بالقلم علم . Menurut Fahr al-Ra>zi, ayat ini
berarti يعلمه لم ام لقلمنسان باإلا ملع .39 Artinya, Dia mengajarkan kepada
manusia dengan perantaraan qalam terhadap apa yang tidak
diketahuinya.
37 Fahr al-Ra>zi, Tafsir Fahr al-Ra>zi, Juz 31, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), hlm. 13. 38 Ibid., hlm. 17. 39 Ibid.
56
c. Abi Laits al-Samarqandi
Menurut Abi Laits al-Samarqandi, bahwa membaca dalam surat
itu adalah membaca dengan nama memohon pertolongan Allah SWT.
dan membaca wahyu yang telah diberikan nabi Muhammad saw. Oleh
karen itu, أ اقابرمس ركب dalam ayat ini mengandung maksud untuk
mengingat Allah SWT. yang telah menciptakan makhluk.40
d. Muhammad ‘Ali al-S{abuni
Muhammad ‘Ali al-S{abuni, menafsirkan ayat tersebut sebagai
berikut:
41وقد دل على كمال كرمه أنه علم العباد مامل يعلموا Artinya: “Sesungguhnya ayat tersebut menunjukkan kesempurnaan
kemuliaan Allah. Dialah dzat yang memberi pengetahuan kepada hamba-hamba-Nya terhadap sesuatu yang belum mereka ketahui”
Kata ‘alaq ( علق) sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad ‘Ali
al-S{abuni adalah jama’ dari kata ‘alaqah (علقة) yang berarti الجامد، الدم
بالرحم تعلق ألنها علقة سميت , artinya: darah yang menggumpal, dinamakan
‘alaqah karena berhubungan dengan rahim.42 Ayat kedua ini
menjelaskan tentang penciptaan manusia, yaitu berupa nutfah, yaitu
segumpal air yang telah terpadu dari mani laki-laki dan mani
perempuan, yang setelah 40 hari lamanya. Air itu telah menjelma jadi
segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma
pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (mud}gah).
e. Ahmad Must}afa al-Maraghi
Menurut al-Maraghi, bahwa manusia dapat membaca pada
dasarnya berkat kekuasaan Allah dan kehendak Allah yang telah
menciptakannya. Karena sebelum itu, manusia tidak pandai membaca
dan menulis. Kemudian datang perintah Allah agar manusia membaca,
40 Abu Laits Nashr ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim al-Samarqandi, Tafsi>r al-Samarqandi>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), hlm. 493.
41 Muhammad ‘Ali al-S{abuni, loc. cit. 42 Ibid., hlm. 554.
57
sekalipun tidak bisa menulis. Sebab Allah SWT. menurunkan sebuah
kitab kepadanya untuk dibaca, sekalipun ia tidak bisa menulisnya.43
Perintah رأاق sebagaimana dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5
merupakan perintah Allah yang diulang-ulang, sebab membaca tidak
bisa meresap ke dalam jiwa, melainkan setelah dilakukan dengan
berulang-ulang dan dibiasakan, sehingga membaca menjadi suatu
bakat. Karena dalam suku pertama saja, bacalah, telah terbuka
kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini, selanjutnya
Nabi saw., disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu
atas nama Allah, Tuhan yang telah menciptakan sebagaimana Firman
Allah SWT. dalam surat al-‘Alaq ayat 2 sebagai berikut: نسان من إلخلق ا
.Artinya, Dialah Yang Menciptakan manusia dari segumpal darah .علق
f. Wahbah al-Zuhaili
Menurut Wahbah al-Zuhaili, bahwa رأاق dalam surat al-‘Alaq
ayat 1-5 adalah perintah membaca yang diawali dengan menyebut
nama Tuhan atau membaca dengan meminta pertolongan kepada Allah
dengan menyebut namanya, yaitu dzat yang mewujudkan dan
menciptakan segala makhluk. Ayat ini mengandung isyarat, bahwa
Allah mensifatkan dzatnya sebagai khaliq sebagai peringatan terhadap
permulaan ni’mat-ni’mat Allah SWT. dan keagungan-Nya.44 Wahbah
al-Zuhaili menambahkan, bahwa membaca ( رأاق ) dalam potongan أاقر
ماألكر كبرو adalah sebagai li ita’ki>d (للتأآيد) sebagai penguat, bahwa
membaca tidak akan berhasil, kecuali dengan mengulang-ulang dan
mengulang kembali.45
g. Muhammad Abduh
43 Ahmad Must}afa al-Maraghi, Tafsi>r al-Mara>ghi, Juz 28, (Mesir: Must}afa Bab al-Halabi,
t.th.), hlm. 198. 44 Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hlm. 316. 45 Ibid., hlm. 317.
58
Bagi Muhammad Abduh, bahwa kelima ayat pertama dari surat
al-‘Alaq adalah komunikasi verbal pertama Allah SWT. kepada nabi
Muhammad saw. Menurutnya, dalam ayat ini bahwa yang dibaca
adalah nama ( بكر مساب ), sebab “nama” mengantarkan kepada
pengetahuan tentang dzat. Penciptaan kemampuan membaca akan
menarik perhatian manusia ke arah pengetahuan tentang dzat (Allah
SWT.) serta sifat-sifat-Nya semuanya. Karena membaca merupakan
suatu ilmu yang tersimpan dalam jiwa yang aktif, sedangkan
pengetahuan tersebut masuk ke dalam pikiran manusia atas perkenan
dan ijin Allah SWT., melalui kemurahan-Nya, ilmu-Nya, qudrat-Nya
serta iradah-Nya.46
h. Hamka
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah
ummi, yang boleh berarti buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak
pula pandai membaca dan menulis. Meskipun tidak pandai menulis,
namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya
diajarkannya, sehingga dia dapat menghafalnya di luar kepala, dengan
sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Allahlah yang menciptakan
semuanya, Rasul saw. yang tidak pandai menulis dan membaca itu akan
pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya, sehingga
jika wahyu-wahyu itu telah turun kelak. Bacaan itu diberi nama al-
Qur’an, karena al-Qur’an berarti bacaan, sehingga seakan-akan Allah
berfirman: bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.47
Sedangkan nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran
hidup itu adalah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha
Kasih dan Sayang kepada makhluk-Nya: لمالذي علم بالق , artinya: Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Itulah kekuasaan
Allah dan kemuliaan-Nya yang tertinggi, yang mengajarkan manusia
berbagai ilmu, dibuka-Nya rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci
46 Muhammad ‘Abduh, op. cit., hlm. 249. 47 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 10, (Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hlm. 8059.
59
untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam (pena), di
samping lidah untuk membaca, Allah pun mentakdirkan pula, bahwa
dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan
kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai
hal yang dapat dipahamkan oleh manusia.48
i. Quraish Shihab
Setelah Allah memerintahkan membaca dengan nama Allah yang
menciptakan manusia dari segumpal darah, maka Allah meneruskan
lagi menyuruh membaca dengan nama Tuhan. Sebagaimana tercermin
dalam surat sesudahnya: اقرأ وربك األآرم, artinya: Bacalah dan
Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Berkaitan dengan ayat ini, Quraish
Shihab berpendapat, bahwa kata rabbika disebut dalam al-Qur’an
sebanyak 224 kali. Kata tersebut biasa diterjemahkan dengan Tuhanmu.
Kata rabb (رب) berasal dari kata tarbiyah (تربية) yang berarti
“pendidikan”. Kata-kata yang bersumber dari akar kata ini memiliki arti
yang berbeda-beda, namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu pada arti
pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan.
Kata rabb apabila berdiri sendiri, maka yang dimaksudkan adalah
Tuhan yang tentunya antara lain karena Dialah yang melakukan
tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan,
peningkatan serta perbaikan makhluk yang didik-Nya.49
2. Urgensi Membaca dalam Surat al-‘Alaq Ayat 1-5
Perintah membaca sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah
SWT. dalam surat al-‘Alaq 1-5 sebagai wahyu pertama pada dasarnya
memuat perintah Nabi untuk membaca. Menurut Quraish Shihab, bahwa
perintah membaca (iqra’) adalah kata pertama dari wahyu pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad saw. Karena pentingnya kata ini, maka
dalam ayat tersebut diulang dua kali dalam rangkaian surat tersebut.
48 Hamka, op. cit., hlm. 8060. 49 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’am al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 82.
60
Mungkin mengherankan bahwa perintah tersebut ditujukan pertama kali
kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu kitab sebelum turun al-
Qur’an, bahkan Nabi dikenal sebagai pribadi yang tidak pandai membaca
suatu tulisan sampai akhir hayatnya. Namun keheranan ini akan hilang jika
disadari bahwa arti iqra’ adalah bentuk perintah yang tidak hanya ditujukan
kepada pribadi nabi Muhammad saw. semata-mata, namun juga untuk umat
manusia sepanjang sejarah kemanusiaan, karena realisasi/perintah tersebut
merupakan kunci pembuka jalan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.50
Semangat membaca sebagaimana dipesankan dalam surat al-‘Alaq
tersebut menurut Chabib Thoha memiliki empat prinsip pokok, yaitu:
1. Membaca Asma dan kemuliaan Allah
2. Membaca teknologi genetika
3. Membaca teknologi komunikasi
4. Membaca segala yang belum terbaca51
Chabib Thoha menambahkan, bahwa perintah membaca di sini
secara historis bukan hanya bersifat individual, melainkan menjadi sebuah
gerakan. Kebangkitan ini disertai dengan semangat kebersamaan dalam
menuntut ilmu. Kebersamaan antara pria dan wanita bukan sekedar
memiliki hak yang sama, melainkan semua kewajiban untuk menuntut ilmu
yang disertai dengan semangat keterbukaan dan tenggang rasa yang
tinggi.52 Hal ini sebagaimana tercermin dalam surat al-Mud}asir ayat 1-3
sebagai berikut:
ثردا المهاأي1(ي ( ذرفأن قم)2 (رفكب كبرو)3-1: املدثر ) (3( (1) Hai orang yang berkemul (berselimut), (2) bangunlah, lalu berilah peringatan! (3) dan Tuhanmu agungkanlah (QS. al-Mud}asir: 1-3)
Menurut Endang Saefudin Anshari, bahwa makna iqra adalah
bacalah dan bacakanlah dan ajarkanlah. Kandungan makna iqra’ secara
luas berarti wa tawasaubil haqq ( وتواصوا بالحق) dalam surat al-As}r ayat 3
50 Quraish Shihab, Membumikan ..., op. cit., hlm. 167 51 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 17 52 Ibid.
61
yang berarti” saling berwasiat kebenaran, yang mengandung arti: mencari,
menggali untuk menemukan kebenaran dan mengajarkan kebenaran kepada
orang lain.53
Kata iqra’ adalah fi’il amr (kata perintah) dari kata kerja qara’a
(membaca) dan dari masdar qira’atan dan qur’atan (bacaan). Dalam ilmu
Ushul fiqh, fiil amr itu menunjukkan pada wajib dan kewajiban, sesuatu
yang harus dikerjakan, dengan ketentuan apabila kewajiban itu
dilaksanakan, maka pelaksanaannya itu mendapat pahala. Sebaliknya
apabila kewajiban itu tidak dikerjakan, maka orang yang wajib
mengerjakannya itu berdosa. Dengan demikian, ber-iqra’ berarti membaca
dan membacakan, mempelajari dan mengajarkan, mencari, menggali untuk
menemukan kebenaran, kemudian pada gilirannya menyampaikan
kebenaran tersebut kepada orang lain, penilaian dan kepastian hukumnya
wajib, sesuatu yang harus ditunaikan, dengan pengertian lain apabila tugas
itu dilaksanakan, maka pelaksanaannya berpahala, dan sebaliknya bila
tugas itu tidak ditunaikan, maka orang yang bertugas itu berdosa.54
Atas dasar inilah, Muhammad ‘Ali al-S{abuni berpendapat sebagai
berikut:
هذا أول خطاب اهلى وجه اىل النيب صلى اهللا عليه وسلم وفيه دعوة اىل اى اقراء يا حممد . القراءة والكتابة والعلم، ألنه شعار دين اإلسالم
القران مبتدئا ومستعينا باسم ربك اجلليل، الذى خلق مجيع املخلوقات، 55 واوجد مجيع العوامل
Artinya: Ayat ini merupakan awal seruan ilahi kepada nabi saw. Di dalamnya terkandung nilai dakwah (ajakan) untuk membaca, menulis dan hikmah. Karena hal itu merupakan usaha syiar agama Islam. Maksudnya bacalah hai Muhammad al-Qur’an dengan diawali dan dengan pertolongan nama Tuhanmu yang
53 Endang Saefudin Anshari, “Iqra’ sebagai Mabda” dalam M. Chabib Thoha, F. Syukur
dan Priyono, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 87.
54 Ibid., hlm. 88. 55 Muhammad ‘Ali al-S{abuni, op. cit., hlm. 554.
62
Maha Luhur, yaitu dzat yang menciptakan segala makhluk, mewujudkan segala ilmu.
Perintah baca dari Allah dalam konteks mencari kearifan (wisdom)
juga mempunyai implikasi membacaa fenomena alam dan fenomena sosial
dengan segala dinamika yang tidak pernah berhenti. Alam dan lingkungan
seharusnya merupakan kelas terbuka untuk aktivitas pembelajaran. Dampak
positif dari cara pandang ini adalah alam dipandang sebagai the mother
nature (ibu pertiwi). Sebagai ibu yang dihormati setiap anak, haram besar
untuk dikotori dengan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Lingkungan sekitar biasa memperlihatkan kenyataan, bahwa manusia
sering memperlakukan bumi sebagai prostitute dalam rangka pemuasan diri
tanpa batas.56 Dengan demikian, membaca bukan sekedar fenomena
melihat tulisan sebagai catatan, namun juga peka terhadap situasi dan
kondisi sekitar. Dengan demikian, surat al-‘Alaq ayat 1-5 memiliki korelasi
dengan pembelajaran. Sebab surat al-‘Alaq ayat 1-5 merupakan alat
pendidikan yang secara langsung memperkenalkan tradisi baca dan tulis.
56 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu,
2004), hlm. 73.