bab iii metodologi penelitian dan pengolahan · pdf filebab iii metodologi penelitian dan...
TRANSCRIPT
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
3.1 Metodologi
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran. Zonasi
kerawanan longsoran adalah sebuah sistem untuk mengidentifikasi besar kerawanan suatu
daerah untuk longsor, dengan membagi/mengklasifikasi area - area tersebut berdasarkan faktor
-faktor penyebab longsor. Metode yang dipilih untuk melakukan zonasi adalah Metode
Anbalagan (1992) untuk pengkelasan faktor penyebab longsoran dan klasifikasi zona tingkat
kerawanan longsor dan Metode Sistem Informasi Geografi sebagai metode pengolahan data.
3.1.1. Metode Anbalagan (1992)
Metode Anbalagan (1992) adalah metode untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran
dengan cara pembobotan (weighting) dan pengkelasan (rating). Faktor - faktor yang digunakan
sebagai acuan pengkelasan kerawanan daerah tersebut untuk longsor adalah kemiringan
lereng, litologi, kebasahan lahan, relief relatif, dan tutupan lahan. Metode ini cukup sistematis
dan sederhana sehingga dapat digunakan dan dimengerti dengan efektif, dan efisien.
Pendekatan yang dikembangkan untuk melakukan zonasi kerawanan longsoran pada
Metode Anbalagan adalah skema pengkelasan numerik yang disebut faktor evaluasi bahaya
longsoran atau landslide hazard evaluation factor (LHEF).
3.1.1.1. Skema Pengkelasan Faktor Evaluasi Bahaya Longsoran (LHEF)
LHEF adalah sistem pengkelasan numerikal pada faktor - faktor penyebab longsoran
yang utama. Faktor - faktor tersebut meliputi geologi, kemiringan lereng, relief relatif, tutupan
lahan, dan kondisi airtanah (Tabel 3.1). Nilai maksimum untuk masing - masing faktor berbeda,
tergantung kepada seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi suatu lereng untuk
longsor. Nilai maksimum untuk jumlah seluruh nilai faktor - faktor tersebut adalah 10. Nilai 10
menunjukkan kondisi yang memiliki kemungkinan paling besar untuk terjadinya longsor.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
15
Berikut ini adalah uraian secara rinci faktor - faktor yang digunakan pada skema pengkelasan
LHEF.
a. Litologi
Kondisi litologi diperoleh dari peta geologi. Jenis litologi sangat berpengaruh terhadap
kemungkinan suatu lereng untuk longsor. Sebagai contoh, batuan seperti kuarsit, batugamping,
dan batuan beku merupakan batuan yang keras, kompak, dan tahan terhadap erosi sehingga
kecil kemungkinan terjadi longsoran pada daerah dengan litologi ini. Sebaliknya, batuan
sedimen campuran lunak dan sangat mudah tererosi memiliki kemungkinan yang sangat besar
untuk longsor.
b. Kemiringan Lereng
Sudut kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk antara bidang permukaan tanah
dengan bidang normal. Besar kecilnya kemiringan lereng di suatu area dipengaruhi oleh sejarah
proses geomorfologi. Setiap unit kemiringan lereng menunjukkan proses dan kontrol yang
terjadi di daerah tersebut. Peta kemiringan lereng dibuat dari peta topografi yang dibagi
berdasarkan banyaknya garis kontur yang melewati satu lereng. Kemiringan lereng pada
metode ini dikelaskan menjadi lima kelas yaitu sangat terjal (> 45o), terjal (35o – 45o), sedang
(25o – 35o), landai (16o – 25o) dan sangat landai (≤ 15o
c. Tutupan Lahan
).
Tutupan lahan adalah salah satu indikasi tidak langsung dari kestabilan lereng. lahan
gundul dan lahan yang jarang tanaman akan cepat tererosi sehingga menyebabkan lereng
menjadi tidak stabil. Sebaliknya, lahan yang ditanami banyak tumbuhan akan lebih resisten
terhadap erosi, sehingga lerengnya lebih stabil. Akar yang tertanam kuat dapat membuat
permukaan menjadi lebih sukar untuk bergerak. Pertanian secara umum dilakukan pada lahan
dengan kemiringan lereng yang rendah walaupun terkadang juga dilakukan pada lereng yang
sedikit terjal. Bagaimanapun, lahan pertanian adalah area yang mengalami pengairan berulang
seperti irigasi yang diperkirakan stabil.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
16
d. Kebasahan Lahan
Airtanah pada daerah berbukit umumnya mengalir pada saluran jalur diskontinuitas,
sehingga airtanah di daerah berbukit tidak memiliki pola aliran yang seragam. Analisis perilaku
airtanah pada daerah yang sangat luas dan pada kondisi seperti ini sangat sulit untuk dilakukan.
Oleh karena itu untuk melakukan analisis kondisi airtanah dengan dengan alokasi waktu yang
lebih kecil, maka dilakukan analisis terhadap kondisi keairan permukaan. Analisis kondisi
keairan pada permukaan diharapkan dapat mempresentasikan kondisi air tanahnya. Kondisi
keairan permukaan pada metode ini dikelaskan menjadi lima yaitu kering, lembab, basah,
merembes dan mengalir.
e. Relief Relatif
Relief Relatif adalah besaran yang menunjukkan selisih ketinggian antara puncak
tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu individu faset. Relief relatif pada metode ini
dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m), medium (101 -300 m) dan tinggi (> 300
m).
Berikut ini adalah tabel skema pengkelasan LHEF pada Metode Anbalagan (1992).
Tabel 3.1 Tabel skema pengkelasan faktor kerawanan terhadap longsoran (LHEF) pada Metode
Anbalagan (1992).
Deskripsi Faktor Kategori Nilai
Litologi
Kuarsit dan batugamping 0.2
Granit dan gabro 0.3
Gneiss 0.4
Batuan Sedimen dominan batupasir tersemen
dengan baik 1.0
Batuab Sedimen dominan batupasir tidak
tersemen dengan baik 1.3
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
17
Sabak dan filit 1.2
Sekis 1.3
Serpih berselingan dengan batulempung 1.8
Serpih, filit dan sekis yang sudah lapuk 2.0
Kemiringan Lereng
< 15o 0.5
16o – 25 0.8 o
26o - 35 1.2 o
36o – 45 1.7 o
>45 2.0 o
Relief Relatif
0 – 100 m 0.3
100 – 300 m 0.6
>300 m 1.0
Tutupan Lahan
Tanah pertanian dan pemukiman datar 0.65
Area tertutup hutan lebat 0.8
Area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat 1.2
Area jarang tertutup tumbuhan 1.5
Lahan gundul 2.0
Kebasahan Lahan
Kering 0.0
Lembab 0.2
Basah 0.5
Merembes 0.8
Mengalir 1.0
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
18
3.1.1.2. Perhitungan Jumlah Estimasi Bahaya Longsoran (TEHD) dan Penentuan Zonasi
Kerawanan Longsoran
Jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) merupakan indeks kemungkinan suatu faset
untuk longsor. Nilai TEHD masing – masing faset diperoleh dari kelima faktor yang mengontrol
bahaya longsoran yang telah dikelaskan menurut tabel pengkelasan LHEF. Nilai jumlah
kerawanan bahaya longsoran (TEHD) adalah jumlah nilai kerawanan dari litologi, kemiringan
lereng, relief relatif, tutupan lahan dan kondisi airtanah.
Setelah nilai jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) diperoleh, dapat diidentifikasi
tingkat kerawanan untuk mengalami longsor. Tingkat kerawanan tersebut dibedakan menjadi
lima kelas (Tabel 3.2), yaitu kerawanan sangat rendah, kerawanan rendah, kerawanan sedang,
kerawanan tinggi dan kerawanan sangat tinggi.
Tabel 3.2 Tabel skema pengkelasan nilai jumlah estimasi bahaya longsoran (TEHD) pada Metode
Anbalagan (1992)
Nilai TEHD Pembagian Zona
<3.5 Kerawanan Sangat Rendah
3.5 – 5.0 Kerawanan Rendah
5.1 – 6.0 Kerawanan Sedang
6.1 – 7.5 Kerawanan Tinggi
>7.5 Kerawanan Sangat Tinggi
3.1.2 Sistem Informasi Geografi
Sistem Informasi Geografi (Geographic Information System / GIS) adalah sistem
informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan).
Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk
membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis,
misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
19
memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari
sistem ini.
Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk investigasi ilmiah,
pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute.
Misalnya, SIG bisa membantu perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap
darurat saat terjadi bencana alam (Gambar 3.1), atau SIG dapat digunakan untuk mencari lahan
basah (wetlands) yang membutuhkan perlindungan dari polusi.
Gambar 3.1 Peta Gempabumi sebagai contoh hasil pengolahan dengan SIG
(ESRI, 2008)
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
20
3.1.2.1. Sejarah pengembangan
35000 tahun yang lalu, di dinding Gua Lascaux, Perancis, para pemburu Cro-Magnon
menggambar hewan mangsa mereka, juga garis yang dipercaya sebagai rute migrasi hewan-
hewan tersebut. Catatan awal ini sejalan dengan dua elemen struktur pada sistem informasi
gegrafis modern sekarang ini, arsip grafis yang terhubung ke database atribut.
Pada tahun 1700-an teknik survey modern untuk pemetaan topografis diterapkan,
termasuk juga versi awal pemetaan tematis, misalnya untuk keilmuan atau data sensus.
Awal abad ke-20 memperlihatkan pengembangan "litografi foto" dimana peta
dipisahkan menjadi beberapa lapisan (layer). Perkembangan perangkat keras komputer yang
dipacu oleh penelitian senjata nuklir membawa aplikasi pemetaan menjadi multifungsi pada
awal tahun 1960-an.
Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG yang bisa diterapkan di Ottawa,
Ontario oleh Departemen Energi, Pertambangan dan Sumber Daya. Dikembangkan oleh Roger
Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS - SIG Kanada), digunakan untuk
menyimpan, menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah
Kanada (CLI – Canadian Land Inventory) - sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan
di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakaan berbagai informasi pada tanah, pertanian,
pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1:250000. Faktor
pemeringkatan klasifikasi juga diterapkan untuk keperluan analisis.
3.1.2.2 GIS dengan CGIS
CGIS merupakan sistem pertama di dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi pemetaan
yang memiliki kemampuan timpang susun (overlay), penghitungan, pendijitalan/pemindaian
(digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat national yang membentang di atas Benua
Amerika, memasukkan garis sebagai arc yang memiliki topologi dan menyimpan atribut dan
informasi lokasional pada berkas terpisah. Pengembangya, seorang geografer bernama Roger
Tomlinson kemudian disebut "Bapak SIG".
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
21
Gambar 3.2 GIS dengan gvSIG
(http://en.wikipedia.org/wiki/GIS)
CGIS bertahan sampai tahun 1970-an dan memakan waktu lama untuk penyempurnaan
setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing denga aplikasi pemetaan komersil yang
dikeluarkan beberapa vendor seperti Intergraph. Perkembangan perangkat keras mikro
komputer memacu vendor lain seperti ESRI, CARIS, MapInfo, gvSIG dan berhasil membuat
banyak fitur SIG (Gambar 3.2), menggabung pendekatan generasi pertama pada pemisahan
informasi spasial dan atributnya, dengan pendekatan generasi kedua pada organisasi data
atribut menjadi struktur database. Perkembangan industri pada tahun 1980-an dan 1990-an
memacu lagi pertumbuhan SIG pada workstation UNIX dan komputer pribadi. Pada akhir abad
ke-20, pertumbuhan yang cepat di berbagai sistem dikonsolidasikan dan distandarisasikan
menjadi platform lebih sedikit, dan para pengguna mulai mengekspor menampilkan data SIG
lewat internet, yang membutuhkan standar pada format data dan transfer.
Indonesia sudah mengadopsi sistem ini sejak Pelita ke-2 ketika LIPI mengundang
UNESCO dalam menyusun "Kebijakan dan Program Pembangunan Lima Tahun Tahap Kedua
(1974-1979)" dalam pembangunan ilmu pengetahuan, teknologi dan riset.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
22
3.1.2.3. Sistem Informasi Geografi Modern
Teknologi SIG modern bekerja dengan basis komputer, sehingga data - data spasial
dalam bentuk fisik seperti lembaran kertas peta harus terlebih dahulu didigitasi menjadi data
komputer (elektronik).
Perkembangan Sistem Informasi Geografi sampai saat ini telah menghasilkan sebuah
sistem terpadu yang dapat mengintegrasikan data - data dari berbagai sumber yang memiliki
jenis yang berbeda - beda. Hal ini dapat dijelaskan dalam bentuk universal data spasial yang
selalu memiliki atribut lokasi data yang diwakili oleh tiga variabel yaitu x, y, dan z yang
menyatakan longitude, latitude, dan ketinggian.
Sistem Informasi Geografi merepresentasikan keadaan model bumi yang sebenarnya
yang disimpan dalam bentuk digital. Ada dua jenis yang digunakan untuk menyimpan data SIG
tersebut yatu raster dan vektor.
Tipe data raster disimpan dalam bentuk tabulasi data yang terdiri dari baris dan kolom,
dimana satu buah data diwakilkan oleh satu baris. Data pada tipe raster menutup seluruh
cakupan area data, sehingga jika diperluas atribut penyimpanan datanya, raster dapat
digunakan sebagai tipe penyimpanan band - band citra yang berisi nilai warna RGB (Red, Green,
Blue).
Sedangkan pada tipe data vektor, data yang disimpan berupa informasi geometri seperti
titik, garis, dan poligon untuk menyatakan bentuk data spasial. Karena bentuk datanya poligon
maka harus dipastikan bahwa data yang digunakan tidak tumpang tindih satu sama lain
(overlap). Banyak metode yang digunakan dalam merepresentasikan data - data spasial, seperti
Triangulated Irregular Network (TIN), raster dan garis kontur.
Raster dan vektor memiliki kelebihan dan kekurangannya masing - masing. Data raster
memiliki keunggulan dalam hal overlay, karena bentuk data pada kedua peta yang akan
ditumpangtindihkan telah sama yaitu pixel. Sedangkan pada data vektor, proses overlay cukup
rumit karena harus dilakukan penyesuaian jenis atau bentuk data. Tetapi data vektor dengan
bentuknya yang geometrikal membutuhkan kapasitas penyimpanan data yang lebih kecil
dibandingkan data raster. Selain itu data vektor mempunyai keunggulan dalam tampilan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
23
Tampilan vektor lebih baik dibandingkan raster terutama daerah - daerah batas objek karena
berbentuk garis, sedangkan data raster akan terlihat kotak - kotak karena bentuk datanya pixel.
3.1.2.4. Proyeksi dan Sistem Koordinat
Banyaknya lembaga dan peneliti yang membuat peta - peta membuat ketidaksesuaian
acuan alamat dan skala, sehingga data yang dibuat oleh peneliti atau lembaga yang berbeda
tidak dapat digunakan bersama - sama.
Untuk mengatasi hal tersebut, sebelum dianalisis, data - data tersebut harus disesuaikan
satu sama lain pada sistem pengkoordinatan yang dapat dikenali oleh SIG. Penyesuaian
tersebut mencakup beberapa hal, antara lain sistem koordinat dan proyeksi.
Bumi dapat direpresentasikan ke dalam beberapa model yang ditunjang oleh beberapa
sistem koordinat. Model yang paling sederhana adalah bola. Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, pemodelan bumi jadi lebih mendekati bentuk aslinya. Secara faktual, untuk
meningkatkan akurasi pemodelan tersebut, digunakan model yang berbeda - beda untuk
masing - masing wilayah (contoh : North American Datum, 1983 - NAD83 - bekerja dengan baik
di Amerika tetapi tidak di Eropa).
Proyeksi adalah hal yang sangat penting dalam pembuatan peta. Proyeksi adalah sebuah
kalkulasi matematika yang mempresentasikan bentuk permukaan bumi secara tiga dimensional
menjadi bentuk datar dua dimensional.
Seiring dengan semakin berkembangnya kemampuan SIG dalam mengolah data spasial
serta perkembangan kedetilan data, maka dibutuhkan perangkat keras komputer yang
mumpuni untuk melakukan proses - proses SIG.
3.2. Pengolahan Data
Data yang digunakan dan diolah dalam penelitian ini adalah data – data spasial.Data
spasial tersebut berupa peta – peta tematik dan citra satelit.
Peta – peta tematik yang digunakan sebagai data adalah peta kemiringan lereng, peta
relief relatif, dan peta litologi. Sedangkan citra satelit digunakan untuk membuat peta tutupan
lahan dan peta kebasahan lahan. Peta – peta tematik ini tidak didapatkan murni sebagai data
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
24
sekunder, tetapi sebagai data mentah yang harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan
peta – peta tematik data yang dibutuhkan dalam zonasi kerawanan longsoran dengan Metode
Anbalagan (1992).
Data – data mentah ini diperoleh dari berbagai sumber antara lain Bakosurtanal dan
Pusat Survei Geologi dan sebagainya. Data yang didapatkan dari Bakosurtanal adalah peta
digital yang berisikan data ketinggian (topografi), dan data tata guna lahan. Data yang
didapatkan dari Pusat Survei Geologi adalah data geologi yang didapatkan dari Peta Geologi
berskala 1 : 100000.
Peta – peta tematik tersebut disamakan terlebih dahulu menjadi skala 1 : 50000, dan
juga dilakukan penyamaan sistem koordinat peta menjadi sistem koordinat Universal Tranverse
Mercator (UTM), Zona 48S, dan WGS 84.
Data diolah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), sehingga data yang
akan diolah sebelumnya harus dikalibrasi, disamakan, dan disesuaikan ke dalam format digital
yang sama, yaitu ke dalam format ESRI Shape (.shp) pada perangkat lunak ArcMap.
Pengolahan data yang dilakukan adalah pengolahan data menjadi faktor – faktor yang
mengontrol terjadinya longsoran dengan menggunakan klasifikasi pengkelasan LHEF (Landslide
Hazard Evaluation Factor). Data – data yang digunakan diekstrak nilai bobot penyebab
longsornya. Sehingga memiliki satu nilai dari kelima faktornya (Gambar 3.3). Faktor – faktor
tersebut adalah :
1. Litologi, yang diolah dari peta geologi
2. Kemiringan lereng, yang diolah dari peta topografi
3. Tutupan lahan, yang diolah dari citra satelit
4. Kebasahan lahan, yang diolah dari citra satelit
5. Relatif relatif, yang diolah dari peta topografi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
25
Data TopografiBAKOSURTANAL
Citra SatelitLANDSAT 7
ETM+
Peta GeologiBadan Survey
Geologi
Peta Kemiringan
Lereng
Peta Relief Relatif
Peta Tutupan Lahan
Peta Kebasahan
Lahan
Peta Litologi
PERHITUNGAN NILAI FAKTORPEMBOBOTAN
(TEHD)
PETA KERAWANAN LONGSORAN
SKEMA PENGKELASAN METODE ANBALAGAN (1992) LANDSLIDE HAZARD EVALUATION FACTOR
Gambar 3.3 Diagram alir pengolahan data
3.2.1 Litologi
Litologi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam hal kerawanan longsoran.
Dalam hal ini yang berpengaruh adalah tingkat kekerasan dan kesolidan litologi tertentu.
Batuan yang memiliki sifat keras, kompak dan massif seperti batuan beku akan memilki
faktor kerawanan longsoran yang rendah. Sebaliknya batuan yang cenderung bersifat lunak,
tidak solid dan mudah terkikis seperti batulempung, batulanau, dan serpih akan memiliki faktor
kerentanan yang tinggi.
Data yang digunakan unuk peta faktor litologi adalah hasil gabungan peta geologi
berskala 1:100000 yang diterbitkan oleh Pusat Survey Geologi seperti yang terlihat pada
gambar. Informasi yang didapatkan dari data ini berupa satuan litostratigrafi atau formasi. Oleh
sebab itu penulis melakukan asumsi bahwa litologi yang ada dan diperhitungkan pada faktor
litologi ini adalah yang paling dominan pada masing – masing satuan litostratigrafi. Sebagai
contoh, aluvium akan diperhitungkan sebagai batulempung pada sistem pengkelasannya,
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
26
meskipun kenyataannya terdapat beberapa litologi lain yang tidak dominan pada aluvium ini
(Gambar 3.4).
Dalam pengolahan data pada faktor litologi ini, digunakan data geologi daerah
penelitian dalam bentuk digital, yang didalamnya terdiri dari batas area, koordinat dan
informasi geologi pada daerah tersebut. Kondisi litologi tersebut menjadi sumber peninjauan
pengkelasan yang sesuai dengan tabel pengkelasan LHEF Metode Anbalagan (1992).
Gambar 3.4 Peta faktor litologi bagian barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat , Jawa Barat
(Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972), Peta Geologi Lembar Garut dan Pameungpeuk (Alzwar, dkk., 1992), dan
Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono, M.,dkk., 1996) )
Pada tabel pengkelasan ini, batuan yang tidak solid dan mudah bergerak seperti
batulempung, batulanau, dan serpih diberi nilai pengkelasan tinggi, yang menandakan daerah
tersebut memiliki kerawanan tinggi terhadap longsoran jika ditinjau dari sudut pandang litologi.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
27
Sebaliknya, batuan – batuan yang solid dan masif seperti andesit memiliki nilai pengkelasan
yang rendah, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut jika ditinjau dari sudut pandang
litologinya memiliki kerawanan yang rendah terhadap longsoran.
3.2.2. Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng pada Metode Anbalagan (1992) didefinisikan dengan derajat lereng.
Derajat lereng adalah rasio dengan sudut antara tinggi lereng (vertikal) dan panjang lereng
(horizontal). Data yang digunakan dalam pembuatan peta kemiringan lereng ini adalah peta
topografi dan administrasi digital dari Bakosurtanal tahun 2002.
Perangkat lunak yang digunakan untuk menghasilkan peta kemiringan lereng adalah
ArcMap. Fasilitas yang digunakan pada perangkat lunak ini adalah konversi peta digital
topografi menjadi peta kemiringan lereng dengan metode Topo to Raster dan Slope. Topo to
Raster adalah metode interpolasi secara presisi (tidak secara linear) dari data poin, garis atau
poligon menjadi sebuah data raster. Dari data raster hasil interpolasi ini kemudian diubah
menjadi peta dengan sudut kemiringan lereng dengan metode Slope. Slope ini mengidentifikasi
setiap perubahan maksimum dari nilai ketinggian dari tiap sel yang terdapat pada peta digital
topografi yang sudah memiliki nilai ketinggiannya masing – masing. Hasil akhirnya adalah
sebuah peta kemiringan lereng daerah Cililin dengan skala 1 : 50000.
Pada peta tersebut telah dikelaskan nilai – nilai kemiringan sesuai dengan skema
pengkelasan LHEF pada Metode Anbalagan (1992). Terdapat lima kelas kemiringan lereng yaitu
di bawah 15o, 16o sampai 25o, 26o sampai 35o, 36 sampai 45o, dan lebih besar dari 45o (Gambar
3.5).
Terlihat bahwa pada daerah sebelah Timur dan Barat seperti Cikadu, Jatisari, Soreang,
Kopo dan Padasuka memiliki kemiringan lereng ≤15 o, sama halnya seperti daerah Muara
Payung. Untuk kemiringan yang lebih tajam lebih didominasi di daerah Utara dan Selatanseperti
Karang Tanjung, Karyamukti, Burinagara dan sebagainya berkisar antara 16° sampai lebih besar
dari 45° menerus hampir dari Utara ke Selatan. Untuk daerah pertengahan pada peta lebih
bervariasi dari ≤15° sampai 45° .
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
28
Gambar 3.5 Peta faktor kemiringan lereng bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
3.2.3. Tutupan Lahan
Peta tutupan lahan ini menggunakan pengkelasan seberapa besar kerapatan tutupan
tumbuhan pada suatu area. Data yang digunakan pada pengolahan faktor tutupan lahan ini
adalah berupa data raster yaitu Citra Satelit Landsat ETM+ band 3 dan 4 (2002) sebagai data
olahan.
Perangkat lunak yang digunakan pada pengolahan citra satelit untuk memperoleh
adalah ArcMap. Dengan perangkat lunak ini, citra yang sebelumnya beratribut delapan band
panjang gelombang, diambil 2 band saja yaitu band 3 dan 4 kemudian diolah dengan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
29
menggunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), sehingga citra satelit
hanya memiliki satu atribut saja yaitu nilai NDVI. Setelah itu dilakukan klasifikasi citra.
NDVI sendiri memiliki rumus :
NDVI = NIR – RED / NIR + RED
dimana :
NIR = nilai band infra merah (Band 4)
RED = Nilai band merah (Band 3)
(NDVI, Chesapeake Bay dan Mid-Atlantic from space,2008)
Setelah dilakukan proses klasifikasi, diperoleh peta tutupan lahan (Gambar 3.6). Peta
tutupan lahan hasil dari pengolahan citra tersebutlah yang selanjutnya dikelaskan menurut
tabel pengkelasan LHEF dari Metode Anbalagan (1992).
Gambar 3.6. Peta faktor tutupan lahan bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
30
Terdapat 5 kelas pada klasifikasi ini, yaitu tanah pertanian pemukiman datar, area tertutup
hutan lebat, area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat, area jarang tertutup tumbuhan, dan
lahan gundul.
3.2.4. Kebasahan Lahan
Kebasahan lahan dikontrol oleh seberapa besar kadar air yang terdapat pada
permukaan lahan. Untuk mendapatkan kebasahan, pendekatan dilakukan menggunakan citra
satelit. Pengolahan data yang digunakan adalah menggunakan Metode Tasseled Cap.
Citra satelit yang sebelumnya memiliki delapan band panjang gelombang sebagai
atributnya, diambil 6 band yaitu band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang kemudian diolah menggunakan
Metode Tasseled Cap. Hasil akhir dari metode ini adalah wetness atau kebasahan yang
kemudian diolah menjadi peta kebasahan lahan.
Rumus Tasseled Cap untuk wetness atau kebasahan :
((0.1509 x band 1) + (0.1793 x band 2) + (0.3299 x band 3) + (0.3406 x band 4)
+ (-0.7112 x band 5) + (-0.4572 x band 7)).
(Watkins, 2008)
Penulis menggunakan perangkat lunak ArcMap dalam mengolah citra satelit ini. Metode
Tasseled Cap ini pada dasarnya adalah sebuah faktor pengali terhadap band – band di atas,
yang kemudian dijumlahkan seluruhnya (Band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) sehingga mendapatkan nilai
wetness atau kebasahan.
Dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap ini, atribut wetness dikelaskan menjadi
5 tingkat kebasahan lahan menurut metode Anbalagan (1992), yaitu kering, lembab, basah,
merembes, dan mengalir. Setelah didapatkan atribut tingkat kebasahan hasil klasifikasi citra,
dilakukan pengkelasan menurut tabel LHEF sesuai dengan tingkat kebasahan lahannya. Terlihat
pada peta bahwa pada umumnya kondisi hampir di seluruh desa terlihat kering dan sebagian
basah dan lembab di daerah tengah yaitu Desa Kidangpananjung, Desa Gajahmekar, Desa
Sukamulya, Desa Batulayang, Desa Nanggerang dan Desa Buni Nagara Sebelah barat yang
diwakili oleh desa Rancapanggung termasuk daerah yang didominasi merembes dan sebagian
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
31
kering, dan basah. Sedangkan Desa Cikadu termasuk sebagian basah dan sebagian merembes.
Sebelah timur yaitu Desa Jatisari dan desa Soreang termasuk daerah sebagian merembes,
sebagian basah dan sebagian lembab. Begitupun Desa Kopo dan Desa Padasuka.
Terlihat bahwa daerah Cililin pada umumnya merupakan lahan gundul dan sebagian
merupakan area tertutup tumbuhan tidak terlalu lebat (Gambar 3.7). Hal ini dapat dilihat di
Desa Rancapanggung, Desa Bongas, Desa Batulayang, Desa Nanggerang, Desa Karyamukti, Desa
Buninagara, Desa Sukamulya, Desa Kidangpananjung, Desa Karangtanjung, Desa Singajaya, Desa
Tanjungwangi,Desa Situwangi dan Desa Gajah Mekar.
Gambar 3.7 Peta faktor kebasahan lahan bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
Sebelah timur dan barat peta menunjukkan dominasi area tertutup hutan lebat dan
tanah pertanian dan sebagian gundul yaitu terlihat di Desa Jejegong, Desa Soreang, Desa Kopo,
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
32
Desa Cikadu, Desa Rancapanggung, dan Desa Padasuka. Untuk area jarang tertutup tumbuhan,
tersebar hampir di seluruh area, hanya saja dalam jumlah yang kecil saja.
3.2.5. Relief Relatif
Relief Relatif adalah besaran yang menunjukkan selisih ketinggian antara puncak
tertinggi dan lembah yang paling rendah pada satu faset.
Data yang digunakan untuk relief relatif ini adalah peta digital bakosurtanal tahun 2002.
Dari data garis topografi tersebut diambil nilai titik tingginya. Proses ini dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak ArcMap. Metoda yang digunakan dari ArcMap tersebut adalah
Feature To Point, yaitu mengubah jenis data vektor menjadi data poin. Dalam hal ini data vektor
tersebut berupa garis atau polyline yang merepresentasikan topografi atau kontur. Data poin ini
diekstrak sesuai dengan bentuk dan posisi kontur. Sehingga, setelah diekstrak menggunakan
metoda Feature To Point, peneliti mendapatkan nilai titik tingginya (Gambar 3.8).
Gambar 3. 8 Peta faktor relief relatif bagian barat Kecamatan CIilin,Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
33
Setelah mendapatkan nilai titik tingginya peneliti mengubah data vektor yaitu kontur
menjadi data raster dengan menggunakan metode Topo To Raster dan Minus dimana nilai titik
tertinggi diselisihkan dengan nilai titik terendah. Nilai selisih tersebut yang nantinya digunakan
sebagai faktor relief relatif sesuai dengan tabel pengkelasan LHEF dari Metode Anbalagan
(1992).
Relief relatif pada metode ini dikelaskan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (<100 m),
medium (100 - 300 m) dan tinggi (> 300 m).
Dapat dilihat pada peta bahwa nilai relief relatif dengan nilai rendah atau <100 m dan
sebagian nilai medium mendominasi daerah timur dan barat, diantaranya Desa
Rancapanggung, Desa Cikadu, Desa Jejegong, Desa Soreang, Desa Jatisari, Desa Kopo, Desa
Rancapanggung. Untuk nilai medium (100 – 300 m) dan sebagian nilai tinggi (>300 m)
direpresentasikan oleh Desa Nanggerang, Desa Buninagara dan Singajaya. Sedangkan untuk
nilai tinggi (>300 m) dan sebagian nilai medium direpresentasikan oleh Desa Kidang Pananjung,
Desa Batulayang, Desa Karangtanjung, Desa Karyamukti dan Desa Mukapayung.
3.2.6. Peta Jumlah Estimasi Bahaya Longsoran (TEHD)
Peta Jumlah estimasi bahaya longsoran (THED), merupakan hasil penjumlahan dari peta
– peta faktor (Lampiran 1). Kelima faktor sebelumnya diintegrasikan ke dalam satu peta dengan
menggunakan metode overlay. Sehingga dalam peta tersebut terdapat lima atribut yang berisi
data tingkat kerentanan terhadap longsoran ditinjau dari kelima faktor menurut LHEF pada
Metode Anbalagan (1992)
Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas Geoprocessing pada
perangkat lunak ArcMap. Dengan fasilitas ini, dapat dibuat satu peta gabungan yang
merupakan hasil kompilasi dari kelima peta faktor dan memiliki seluruh atribut yang dimiliki
oleh kelima peta faktor tersebut. Kemudian, kelima nilai kerawanan masing – masing faktor
tersebut dijumlahkan menjadi nilai THED.
Peta TEHD tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam zonasi kerawanan longsoran
menjadi lima kelas kerawanan longsoran yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PENGOLAHAN DATA
Peta Kerawanan Longsoran dengan Menggunakan Metode Anbalagan dan Sistem Informasi Geografi : Studi Kasus di Bagian Barat Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat
34
sangat tinggi. Hasil akhir dari pengolahan data ini adalah sebuah peta kerawanan longsoran
berdasarkan Metode Anbalagan seperti yang terlihat pada (Gambar 3.9).
Gambar 3. 9 Peta kerawanan longsoran bagian barat Kecamatan CIlilin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat