bab iii pengembalian kerugian keuangan negara tp korupsi tdk hapuskan pidana
TRANSCRIPT
BAB III
PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARADALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TIDAK MENGHAPUSKAN
DIPIDANANYA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Latar belakang munculnya Undang-undang No. 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi
Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa ini dari masa orde lama, yang
terus mengalami penyempurnaan. Proses penyempurnaan tersebut
didasari oleh pemikiran bahwa undang-undang yang ada masih dirasakan
kurang efektif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dibawah ini :
1. Konsiderans Prt/Perpu/013/1958. 31
Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan
negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal
kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat, misalnya baik
koperasi, wakaf, maupun yang lainnya yang bersangkutan dengan
kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan berupa aturan
31. Download internet, konsiderans Prt/perpu/013/1958, hari Kamis tanggal 24 Nopember 2009 jam 11.15 Wib
32
pidana, pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat
memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut perbuatan korupsi.
Bahwa dalam hubungan pemberantasan perbuatan perbuatan
korupsi sebagaimana dimaksud di atas, perlu diadakan pula peraturan
yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta benda yang kurang
atau tidak terang siapa pemilik atau yang dicurigai cara memperolehnya.
2. Konsiderans Undang-undang nomor 24 PRp tahun 1960 tanggal 9
Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi. 32
Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan
negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal
dan atau kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat, bank,
korporasi, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan
si petindak pidana, perlu diadakan beberapa aturan pidana khusus dan
peraturan-peraturan khusus tentang pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut
perbuatan itu yang disebut tindak pidana korupsi.
Maksud diadakannya peraturan Peperpu tersebut ialah supaya dalam
tempo singkat dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang dewasa
32. Download internet,,UU No. 24/PRp tahun 1960, hari Kamis tanggal 24 Nopember 2009 jam 11.30 Wib hal 1
33
itu sangat meraja-lela sebagai akibat dari suasana seakan-akan
Pemerintah tidak mempunyai kewibawaan lagi. Oleh karena itu peraturan-
peraturan itu dimaksudkan untuk berlaku buat sementara waktu saja
(temporair).
Dan untuk memudahkan penuntut umum dan Hakim guna
mendapatkan bukti-bukti seperlunya, maka mengenai pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan diadakan ketentuan- ketentuan, yang
menyimpang dari acara pidana biasa, mengenai pemberian keterangan-
keterangan, pemeriksaan surat-surat dan pemeriksaan dirumah atau
kantor dan sebagainya, ketentuan-ketentuan mana dikuatkan dengan
sanksi seperlunya.
Acara pengusutan atau penuntutan yang menyimpang dari acara
biasa adalah sebagai berikut :
1. Tersangka dan setiap orang wajib memberi keterangan yang
dikehendaki oleh Jaksa; kewajiban ini tidak berlaku bagi anggota
yang sangat dekat [pasal 274 ayat (1) dan (3)], petugas agama dan
dokter-dokter; sedang bagi bank, kewajiban ini digantungkan kepada
syarat-syarat tertentu, sebagaimana dicantumkan dalam peraturan
mengenai Rahasia Bank (harus disebutkan nama tersangka, sebab-
sebab keterangan diminta, hubungan antara keterangan-keterangan
itu dengan perkara korupsinya dan izin dari Menteri Pertama). Tidak
34
memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan hukuman penjara
atau denda (periksa pasal 5 yo. pasal 18 dan 19).
2. Setiap orang, kecuali petugas agama dan dokter-dokter, yang dapat
menolaknya, wajib memperlihatkan surat-surat yang diminta oleh
Jaksa. Kewajiban bank dalam hal ini digunakan juga kepada syarat-
syarat tersebut dimuka ini (pasal 6).
3. Setiap waktu Jaksa dapat memasuki setiap tempat yang
dianggapnya perlu untuk tugas pengusutannya (pasal 8). Surat-surat
atau kiriman-kiriman yang melalui Jawatan Pos, Telegrap dan
Telepon, seberapa ada hubungannya dengan perkara pidana korupsi
yang bersangkutan, dapat dibuka atau diperiksa atau disita oleh
Jaksa (pasal 7).
Hakim diberi beberapa wewenang yang menyimpang dari acara
biasa, yakni : kewajiban terdakwa dan setiap orang, terkecuali
keluarganya yang terdekat (pasal 274 ayat (1) dan (3) H.I.R.). para
petugas agama dan dokter-dokter, untuk memberi keterangan kepada
Hakim yang memintanya; tidak memenuhi kewajiban ini diancam dengan
hukuman penjara atau denda (pasal 11, 12 dan pasal 18, 20 dan 21).
3. Konsiderans Undang-undang nomor 3 tahun 1971 tanggal 29 Maret
1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. 33
33. Download internet, UU No. 3 tahun 1971, hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009 jam 09.00 Wib hal 1
35
Bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan /
perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,
Undang-undang nomor 24 Prp tahun 1960 tentang pengusutan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi berhubung dengan
perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil
yang diharapkan dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu
diganti.
Dengan perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang
No.24 Prp. tahun 1960, banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan
Nasional, yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan
dipidana, ternyata tidak dapat dipidana karena perumusan tersebut
mensyaratkan bagi tindak pidana korupsi, adanya suatu kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Dalam
kenyataan banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara, tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan
atau pelanggaran. Perbuatan tersebut sesungguhnya bersifat koruptif
tidak dapat dipidana berdasarkan Undang-undang No. 24 Prp. tahun
1960, oleh karena tidak termasuk dalam perumusan tindak pidana korupsi
menurut Undang-undang tersebut. Untuk mencakup perbuatan semacam
itu rumusan tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa, hingga
36
meliputi perbuatan memperkaya diri-sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang dilakukan secara "melawan hukum" yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian
negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan
mengemukakan sarana "melawan hukum", yang mengandung pengertian
formil maupun materil, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah
memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu
"memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan", dari pada
memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan
atau pelanggaran seperti disyaratkan oleh Undang-undang No. 24 Prp.
tahun 1960.
Guna mempercepat dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan, ada beberapa ketentuan acara yang
menyimpang seperti :
1. Tersangka atau terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan setiap
orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh penyidik atau Hakim
(Pasal 6 dan 18 ayat (1).
37
2. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk memberikan
keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan
tindak pidana korupsi. Ketentuan tersebut tidak mengurangi
kewajiban atau kesempatan Jaksa untuk memberikan pembuktian
tentang kesalahan terdakwa (Pasal 17).
3. a. Kecuali beberapa anggota keluarga dekat yang meliputi ayah,
ibu, nenek, kakak, saudara kandung, isteriatau suami, anak,
cucu dari tersangka atau terdakwa, setiap orang wajib memberi
keterangan sebagai saksi atau ahli kepada penyidik maupun
Hakim (Pasal 7 dan 20).
b. Kecuali petugas agama, maka mereka yang menurut ketentuan
hukum yang berlaku harus merahasiakan pengetahuannya
berhubung dengan martabat, jabatan, atau pekerjaannya, wajib
memberi keterangan sebagai saksi kepada penyidik maupun
Hakim (Pasal 8 dan 21).
c. Dalam pemeriksaan di muka pengadilan saksi dilarang
menyebut nama atau alamat atau hal-hal lain yang memberi
kemungkinan dapat diketahuinya pelapor (Pasal 10 dan 19).
4. Penyidik setiap waktu berwenang memasuki setiap tempat yang
dipandang perlu dalam hubungannya dengan tugas pemeriksaan
(Pasal 13).
38
5. Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam
sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka ia dapat
diperiksa dan diputus oleh Hakim di luar kehadirannya (Pasal 23).
6. Perkara korupsi harus didahulukan dari perkara-perkara yang lain
untuk diajukan ke Pengadilan guna diperiksa dan diselesaikan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya (Pasal 4).
7. Barang kepunyaan terhukum dapat dirampas dan di samping itu
terhukum dapat dihukum untuk membayar uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan nilai harta benda yang
diperoleh dari korupsi (Pasal 34).
8. Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan ( Pasal 18 ayat
(1)) yang memuaskan sidang pengadilan tentang sumber
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat keterangan saksi lain, bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi (Pasal 18).
9. Baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan
di muka pengadilan, saksi dilarang menyebut nama atau alamat atau
hal-hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya pelapor
(Pasal 10 dan 19).
39
4. Konsiderans undang-undang nomor 31 tahun 1999 tanggal 16
Agustus 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi butir c.34
Bahwa undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga
diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah
dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi
yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan
keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan
rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini
dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara
34. Ibidt hal. 1
40
“melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan
perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut
perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara
tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk
pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-
undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara,
pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap
dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini
adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat
dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971.
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat
ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya,
yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang
lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan
pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi
pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana
tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
41
Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri,
yang antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau
masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa
yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang
tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif,
termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian
terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi
dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan, dan tidak mengurangi kewenangan penuntut umum untuk
membuktikan dakwaannya.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota
masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum
dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut,
42
Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-
undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur
masyarakat.
5. Konsiderans Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tanggal 21
Nopember 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31
tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi butir a
dan b. 35
Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas,
tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari
keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil
dalam memberantas tindak pidana korups, perlu diadakan perubahan atas
35. Progresif books, Op.Cit, hal. 1
43
undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas
sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka
pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan
demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan
cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman
penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi,
perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan perluasan
mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk,
dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan
saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi
tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan
dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
44
dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan mengenai "pembuktian
terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang
bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi
khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian
terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan
terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal
dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan
gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan
45
atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan
atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak
pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau
ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk
kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru
mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan
bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
B. Perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara
dikategorikan sebagai tindak pidana Korupsi
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja
telah menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai
delik formil, tetapi telah memperluas juga pengertian melawan hukum dari
delik korupsi dalam pengertian formil dan materiil serta memperluas
pengertian alat bukti petunjuk dari pasal 188 ayat 2 KUHAP, tidak hanya
46
dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa,
tetapi meliputi juga informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka
atau perforasi yang memiliki makna sebagaimana digariskan (pasal 26 A
UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999).
Dengan pengertian delik formil, maka perbuatan tersebut dapat di
pidana, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik, tanpa
harus dibuktikan lagi akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa.
Begitu juga terhadap pengembalian hasil korupsi, kepada negara, tidak
menghapus sifat melawan hukum perbuatan si pelaku tindak pidana
korupsi, karena itu pelaku tetap dapat diajukan ke pengadilan dan
dipidana.
Sedangkan pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil
menurut penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20
tahun 2001, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
47
tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
Perluasan perumusan asas legalitas tersebut dasar pemikirannya
adalah dalam rangka untuk mewujudkan dan sekaligus menjamin asas
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat,
dan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan hukum.
Perluasan perumusan asas legalitas dengan pengertian diatas, maka
batas-batas tindak pidana juga diperluas, yang tidak hanya didasarkan
pada kriteria formal menurut undang-undang, tetapi juga kriteria materiil
menurut hukum yang hidup (hukum tidak tertulis). Alur pemikiran yang
demikian merupakan penegasan dianutnya pandangan sifat melawan
hukum materiil. Dengan penegasan tersebut, maka sifat melawan hukum
materiil merupakan unsur mutlak dari tindak pidana, di samping sifat
melawan hukum formil.
Harus diakui, bahwa upaya menjerat para pelaku korupsi bukan
merupakan hal yang mudah, karena diperlukan suatu ketelitian,
kecermatan dan keuletan dalam mengungkap fakta-fakta hukum yang
akan dirumuskan ke dalam unsur delik yang didakwakan. Menghadapi hal
yang demikian itu, maka diperlukan adanya suatu upaya yang strategis,
terutama dalam hal penuntutan terkait dengan sistem pembuktian yang
48
dianut oleh hukum acara pidana kita berupa Negatief Wettelijk Stelsel,
sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 183 KUHAP, tidak saja
harus mengacu kepada minimal dua alat bukti, tetapi Hakim harus
mendapat keyakinan terhadap alat bukti tersebut bahwasanya perbuatan
terdakwa telah memenuhi unsur-unsur delik yang didakwakan.
Permasalahan yang muncul pada tanggal 25 Juli 2006 yang lalu,
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Yudicial Review No.
003/PUU-IV/2006, telah menyatakan, bahwa pengertian melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, sebagaimana tercantum di
dalam Penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20
tahun 2001, telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat lagi. Namun demikian putusan Yudicial Review tersebut
tidak serta merta menganulir putusan Mahkamah Agung yang selama ini
sudah menjadi yurisprudensi tetap. 36
Perspektif yang berbeda akan dikembangkan menyikapi putusan
yudicial review Mahkamah Konstitusi tersebut dan akan mempunyai
implikasi hukum terhadap upaya pemberantasan korupsi ke depan,
meskipun undang-undang tindak pidana korupsi mengatur juga jenis-jenis
lain dari delik korupsi yang tidak memuat unsur melawan hukum.
36. Download internet,,Putusan Mahkamah Konstitusi, No.003/PUU-IV/2006, hari Kamis tanggal 24 Nopember 2009 jam 13.00 Wib hal 63
49
Suatu penyimpangan, penggunaan anggaran dan pengelolaan
keuangan di daerah, tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
merugikan negara atau dapat merugikan negara dalam tindak pidana
korupsi, pertama perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dan kedua para pihak
ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik sipelaku sendiri, orang lain
atau korporasi (pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 th 1999 jo Undang-
Undang No. 20 th 2001).
Dengan demikian bahwa setiap perbuatan melawan hukum tertulis
(Normatif) yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara atau
keuangan daerah, jelas merupakan perbuatan tindak pidana korupsi
sebagaimana di atur didalam pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999
jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
C. Pengembalian kerugian keuangan negara tidak serta merta
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana Korupsi
Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian
keuangan Negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat
Undang-undang korupsi baik yang lama yaitu UU No. 3 tahun 1971
50
maupun yang baru yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001,
menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus
dikembalikan atau diganti oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Menurut Undang-undang korupsi tersebut, pengembalian kerugian
keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu
instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh
penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh
penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrument perdata
dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang
dirugikan terhadap pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau
ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia). Instrumen pidana lebih
lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah.
Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan
kasus perdata yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata
yang berlaku, baik materiil maupun formil.
Undang-undang Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 31 tahun
1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dengan tegas menyatakan penggunaan
instrumen perdata, sebagaimana pada pasal 32, 33, 34, UU No. 31 tahun
1999 dan pasal 38 C UU No. 20 tahun 2001.
Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan
instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut:
51
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk
membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik
menghentikan penyidikan yang dilakukan.
Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada
instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut
(pasal 32 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999)
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi,
meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-
unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum
(PU) menyerahkan putusan Hakim kepada Jaksa Pengacara Negara
atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan
perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan
negara (pasal 32 ayat (2) UU no.31 tahun 1999)
c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka
meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik
menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada Jaksa Pengacara
Negara atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan
52
gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (pasal 33 UU no.31
tahun 1999)
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan
berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU no.31 tahun 1999)
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana
korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang
pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut
diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan
gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38
C UU no.20 tahun 2001). Dalam kasus ini instansi yang dirugikan
dapat memberi kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara atau kuasa
hukumnya untuk mewakilinya.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian
kerugian keuangan negara menggunakan instrument perdata,
sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil,
meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
53
Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem
pembuktian materiil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian
formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktian materiil.
Dalam tindak pidana korupsi baik penuntut umum maupun terdakwa
sama-sama mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena
korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik
terbatas” (penjelasan pasal 37 UU no.31 tahun 1999)
Didalam penjelasan Pasal 32 Undang-undang No. 31 tahu 1999
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada
kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau
akuntan publik”
Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara
yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau
akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan atau diberi bobot
hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.
Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan
pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak
terbukti. Perhitungan instansi yang berwenang atau akuntan publik
tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim. Hakim tidak akan
54
serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang
benar, sah dan karenanya mengikat.
Kemudian Pasal 38 C UU No. 20 tahun 2001 menyatakan bahwa
terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga
berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan
untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata”. Dengan
bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (JPN atau instansi yang
dirugikan) pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat (terpidana).
Penggugat harus bisa membuktikan secara hukum bahwa harta benda
tergugat berasal dari tindak pidana korupsi; “dugaan atau patut diduga”
sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum dalam proses perdata.
Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini
dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat
penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam
undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan
kepada negara tidak menghapus sifat melawan hukum, perbuatan dan
pelaku tindak pidana korupsi akan tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap
dipidana sesuai dengan Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut :
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.
55
Penjelasan dari pasal tersebut adalah :
“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”.
56