bab iii profil jawa barat dan gambaran umum...
TRANSCRIPT
61
Bab III Profil Jawa Barat dan Gambaran Umum Pertanian
III.1 Profil Jawa Barat
Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan Propinsi
yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor: 378). Propinsi Jawa
Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Propinsi
Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten Subang
(1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok
(1999). Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam
bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Berikut peta Propinsi Jawa
Barat:
Gambar III.1 Peta Propinsi Jawa Barat (http://www.jabar.go.id)
62
Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki alam dan
pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan,
antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan
Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya
Perekonomian. Dalam kurun waktu 1994-1999, secara kuantitatif jumlah Wilayah
Pembantu Gubernur tetap 5 wilayah dengan tediri dari : 20 kabupaten dan 5
kotamadya, dan tahun 1999 jumlah kotamadya bertambah menjadi 8 kotamadya.
Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena Kotip Depok
pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom.
Tabel III.1 Data Kab/Kota Jawa Barat (Sumber: Survei Sosial Ekonomi Daerah Tahun 2005)
No Kabupaten/Kota Luas Wilayah (Km2)
Jumlah Penduduk
Kepadatan (Jiwa/Km2)
1 2 3 4 5 1 Kab. Bogor 3.440,71 3.945.111 1.147 2 Kab. Sukabumi 3.934,47 2.210.091 562 3 Kab. Cianjur 3.432,96 2.079.306 606 4 Kab. Cirebon 988,28 2.084.572 2.109 5 Kab. Indramayu 2.000,99 1.749.170 874 6 Kab. Kuningan 1.178,58 1.073.172 911 7 Kab. Majalengka 1.204,24 1.184.760 984 8 Kab. Bekasi 1.484,37 1.917.248 1.292 9 Kab. Karawang 1.737,53 1.939.674 1.116 10 Kab. Purwakarta 969,82 760.22 784 11 Kab. Subang 2.051,76 1.406.976 686 12 Kab. Bandung 2.000,91 4.134.504 2.066 13 Kab. Sumedang 1.522,21 1.043.340 685 14 Kab. Garut 3.065,19 2.260.478 737 15 Kab. Tasikmalaya 2.680,48 1.635.661 610 16 Kab. Ciamis 2.556,75 1.522.928 596 17 Kota Depok 200,29 1.353.249 6.756 18 Kota Bogor 21,56 833.523 38.661 19 Kota Sukabumi 12,15 278.418 22.915 20 Kota Cirebon 37,54 276.912 7.376 21 Kota Bekasi 210,49 1.931.976 9.178 22 Kota Bandung 167,27 2.290.464 13.693 23 Kota Cimahi 48,42 482.763 9.97 24 Kota Tasikmalaya 471,62 579.128 1.228 25 Kota Banjar 1.135,90 166.868 147
Jumlah 34.816,96 39.140.812
63
Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka Wilayah
Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi
Provinsi Banten dengan daerahnya meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten/Kota Tangerang serta Kota Cilegon.
Adanya perubahan itu, maka saat ini Provinsi Jawa Barat terdiri dari : 16 Kabupaten
dan 9 Kotamadya, dengan membawahkan 584 Kecamatan, 5.201 Desa dan 609
Kelurahan. Adapun monografinya Data tahun 2005
III.1.1 Visi dan Misi Jawa Barat
Visi Jawa Barat
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan melalui
pembaharuan mekanisme perencanaan pembangunan daerah dengan melibatkan
semua komponen masyarakat dalam setiap tahapan pelaksanaan. Pelibatan potensi
masyarakat tersebut antara lain ditempuh melalui berbagai dialog, seperti Dialog
Sunda 2010, Dialog Jawa Barat 2010, Dialog Rencana Regional Makro, Dialog
Rencana Tata Ruang Wilayah, Dialog Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, dan Dialog
Delapan Kawasan Andalan yang diikuti oleh unsur masyarakat, pakar Penguruan
Tinggi, dan Birokrat yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat.
Di samping itu dilaksanakan pula forum koordinasi pembangunan sebagai formulasi
baru RAKORBANG dengan nuansa dan semangat yang baru, serta diawali dari
motivasi untuk lebih menyerap aspirasi Kabupaten/Kota dan masyarakat.
Setelah mengalami proses yang panjang dan telaahan yang mendalam dari berbagai
pihak terkait dalam dialog-dialog interaktif, maka diformulasikan visi Jawa Barat
yaitu:
'JAWA BARAT DENGAN IMAN DAN TAKWA SEBAGAI PROVINSI
TERMAJU DI INDONESIA DAN MITRA TERDEPAN IBU KOTA NEGARA
TAHUN 2010'
Pada penetapan visi tersebut didasarkan kepada beberapa pengertian yaitu untuk
mencapai cita-cita Bangsa Indonesia, seluruh lapisan masyarakat Jawa Barat terutama
64
Penyelenggara Negara, para Elit Politik, para Cendekiawan dan Pemuka Masyarakat,
harus bersatu dan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa
Barat. Jawa Barat sudah selayaknya berupaya menjadi Provinsi termaju di Indonesia
mengingat banyaknya potensi baik berskala daerah maupun berskala nasional.
Seperti; potensi industri strategis, potensi perguruan tinggi, dukungan sumber daya
alam, faktor iklim dan budaya gotong royong dan ditunjang oleh kehidupan
masyarakat yang agamis.
Pengertian 'termaju' memberi implikasi munculnya ketergantungan provinsi-provinsi
lain kepada Jawa Barat. Sedangkan ketergantungan Provinsi Jawa Barat kepada
provinsi lain diusahakan sekecil mungkin. Provinsi Jawa Barat selama ini dijadikan
sebagai penyangga ibu Kota Negara dengan segala konsekuensinya harus bergeser
dan menjadi 'mitra' terdepan yang dilandasi dengan asas kesetaraan dan kesepahaman
dalam arti tidak lagi terekploitasi segala potensinya.
Misi Jawa Barat
Untuk mencapai visi yang telah ditetapkan, maka telah dirumuskan beberapa misi
dengan rincian sebagaimana berikut dibawah ini.
1. Menciptakan situasi kondusif melalui terselenggaranya reformasi politik sehat.
2. Mendorong berkembangnya masyarakat madani yang dilandasi nilai-nilai agama
dan nilai-nilai luhur budaya daerah ( silih asih, silih asah, silih asuh pikeun
ngawujudkeun masyarakat anu cageur, bageur, bener, pinter tur singer)
3. Meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat melalui pemerintahan yang
bersih dan terbuka.
4. Pemanfaatan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
5. Menjadikan Jawa Barat sebagai kawasan yang menarik untuk penanaman modal.
6. Memberdayakan potensi Lembaga Keuangan untuk mendorong usaha ekonomi
masyarakat.
65
7. Memberdayakan masyarakat melalui pemanfaatan IPTEK yang bersumber dari
Perguruan Tinggi serta Lembaga Penelitian Dan Pengembangan.
Provinsi Jawa Barat, sejak berdirinya sampai sekarang telah dipimpin oleh 11 orang
Gubernur, yaitu :
1) M Sutardjo Kartohadi (1945-1946),
2) Mr.Datuk Djamin (1946),
3) M.Sewaka (1946-1952),
4) R.Muhamad sanusi Hardjadinata (1952-1956),
5) R.Ipik Gandamana (1956-1960),
6) H. Mashidu (1960-1970),
7) Solihin GP (1970-1975),
8) H.Aang Kunaefi (1975-11985),
9) HR.Yogie SM (1985-1993),
10) R.Nuriana (1993-2003) dan
11) H.Danny Setiawan (2003 – sekarang).
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdiri dari unsur Sekertariat Daerah (Setda) yang
meliputi : Sekertaris daerah dan Assisten-Assisten : Pemerintahan, Perekonomian,
Adminsitrasi dan Kesejahteraan Sosial serta biro-biro yang seluruhnya 13 biro ; 20
Dinas ; 16 Badan ; 1 Kas Daerah, 1 Kantor Perwakilan pemerintah Provinsi Jawa
Barat, yang berkedudukan di Jakarta.
III.1.2 Kondisi Geografi
Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50 - 7°50 LS dan 104°48 -
104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut
Jawa bagian barat dan Banten serta DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan
dengan Provinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda
di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4
Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas
wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.
66
Gambar III.2 Peta Administrasi Jawa Barat (http://www.jabar.go.id)
Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat
terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah
berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai
serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah.
Dengan ditetapkannya Wilayah Banten menjadi Provinsi Banten, maka luas wilayah
Jawa Barat saat ini menjadi 34.816,96 (Data berdasarkan Survei Sosial/Ekonomi
2005)
III.1.3 Topografi
Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif
dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung
utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di
selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng
67
bukit yang landai di tengah ketinggian 100 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara
ketinggian 0 . 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.
III.1.4 Iklim
Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 90 C di Puncak Gunung Pangrango
dan 340 C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di
beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.
III.1.5 Populasi
Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten
terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk
meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.022 jiwa
per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk selama dasawasra 1990 - 2000
mencapai angka 2,17 %.
Sedangkan pada tahun 2003, jumlah penduduk telah bertambah menjadi 38.059.540
jiwa. Selanjutnya berdasarkan Survei Sosial dan Ekonomi pada Tahun 2004, jumlah
penduduk Jawa Barat, berkembang menjadi 39.140.812 jiwa.
Berdasarkan data dari BPS Jawa Barat menunjukan bahwa jumlah penduduk Jawa
Barat tahun 2005 terus berkembang dengan jumlah 39.960.869 jiwa dan pada tahun
2006 perkembangan jumlah penduduk terus meningkat menjadi 40.737.594 jiwa.
Penduduk Jawa Barat setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan karena
dalam setiap tahunnya jumlah penduduk Jawa Barat mengalami peningkatan di atas
2%, kepadatan penduduk ini dapat dilihat pada gambar peta kepadatan penduduk di
Jawa Barat di bawah ini:
68
Gambar. III.3 Peta Kepadatan Penduduk Jawa Barat (http://www.jabar.go.id)
III.1.6 Sosial Budaya
Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan
warisan budaya dan nilai-nilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang
berfalsafah pada silih asih, silih asah, silih asuh, yang secara harfiah berarti saling
mengasihi, saling memberi pengetahuan dan saling mengasuh diantara warga
masyarakat.
Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada
pepatah; “Herang Caina Beunang Laukna” yang berarti menyelesaikan masalah tanpa
menimbulkan masalah baru atau prinsip saling menguntungkan.
Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kebajikan.
Hal ini terekspresikan pada pepatah “Ulah Unggut Kalinduan, Ulah gedag
Kaanginan”; yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran serta
69
menyerasikan antara hati nurani dan rasionalitas, seperti terkandung dalam pepatah
“Sing Katepi ku Ati Sing Kahontal ku Akal”, yang berarti sebelum bertindak tetapkan
dulu dalam hati dan pikiran secara seksama. Jawa Barat di lihat dari aspek sumber
daya manusia memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan sebagai provinsi
yang mempunyai proporsi penduduk dengan tingkat pendidikan, jumlah lulusan strata
1, strata 2 dan strata 3, terbanyak dibandingkan dengan provinsi lain.
III.2 Gambaran Umum Pertanian di Jawa Barat
Sektor pertanian agribisnis dalam kebijakan pembangunan propinsi Jawa Barat tahun
2003 – 2008 diletakkan sebagai core pembangunan bidang ekonomi dimana
kebijakan pembangunan daerah, yaitu: 1). Kebijakan pembangunan sosial, 2).
Kebijakan pembangunan ekonomi, 3). Kebijakan infrastruktur, tata ruang dan
lingkungan hidup. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian, khususnya sub sektor
pertanian tanaman pangan dan holtikultura, telah diletakan sebagai andalan sekaligus
diharapkan mampu menjadi motor penggerak pembangunan sektor lainnya.
Kebijakan ini telah menunjukkan kesejalanannya dengan kebijakan pembangunan
bidang ekonomi nasional yaitu: Revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan
sebagai agenda dan peroiritas pembangunan ekonomi 2005 – 2009. Fokus kebijakan
tersebut adalah untuk memecahkan masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia
saat ini, yaitu kemiskinan, pengangguran, dan daya saing produk baik di pasar
domestik maupun di pasar internasional.
Berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2003, tentang Rencanan Tata Ruang Wilayah
Propinsi Jawa Barat, maka peluang untuk pengembangan pembangunan disemua
sektor di Jawa Barat sangat terbuka lebar bila melihat potensi dan karakteristik yang
dimiliki masing-masing wilayah, dalam perda tersebut ditetapkan 8 (delapan)
kawasan andalan yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi bagi
kawasan tersebut (counter magnit), prioritas pembangunan ekonomi juga diarahkan
pada kawasan dimaksud, adapun kawasan andalan di Jawa Barat adalah:
70
1. Bogor-Depok-Bekasi (Bodebek) Menjadikan Kawasan Andalan Bodebek unggul
dalam bidang industri, pariwisata, perdagangan dan jasa, sumber daya manusia
yang mempunyai keterkaitan dengan sumber daya lokal, berdaya saing,
berorientasi ekspor dan ramah lingkungan.
2. Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Mengembangkan Bopunjur sebagai kawasan
unggulan agribisnis dan pariwisata dengan memberdayakan masyarakat setempat
dan tetap mempertahankan fungsi konservasi.
3. Sukabumi dsk. Mengembangkan sektor agribisnis, peternakan, pariwisata dan
bisnis kelautan yang berwawasan lingkungan dengan memanfaatkan modal
investasi untuk menghasilkan daya saing global.
4. Cirebon-Indramayu-Majalengka-Kuningan. Mengembangkan Kawasan Ciayu-
majakuning menjadi kawasan agribisnis yang didukung sektor industri,
perdagangan dan jasa, perikanan laut dan darat, pertanian tanaman pangan,
kehutanan, perkebunan dan peternakan dengan meningkatkan fungsi pelabuhan.
5. Cekungan Bandung dsk Kawasan Cekungan Bandung sebagai pusat
pengembangan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung industri,
perdagangan dan jasa, pertanian hortikultura, pariwisata, perkebunan, perikanan,
peternakan, pendidikan dan pengetahuan.
6. Priangan Timur dsk Mewujudkan kawasan Priangan Timur menjadi sentra bisnis
dengan memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas pada
sektor agribisnis, industri, perkebunan, peternakan, perikanan laut dan darat,
kehutanan serta pariwisata.
7. Pangandaran dsk Mengembangkan Kawasan Pangandaran sebagai tujuan wisata
utama yang mempunyai daya saing dan berbasis masyarakat yang mampu
mengoptimalkan sumberdaya alam dengan menerapkan IPTEK untuk menjamin
peningkatan kesejahteraan pelaku ekonomi dengan tanpa merusak lingkungan
dan nilai-nilai budaya setempat.
8. Purwakarta-Subang-Karawang (Purwasuka) dsk Mengembangkan Purwasuka
sebagai kawasan unggul industri pengolahan, pariwisata, perkebunan, pertanian
tanaman pangan, perikanan darat, peternakan dan bisnis kelautan yang berdaya
71
saing tinggi dan berorientasi ekspor. (Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Jawa Barat, 2006)
Adapun 8 kawasan andalan apabila dilihat dalam bentuk gambar peta seperti pada
peta kawasan andalan dan kawasan tertingal Propinsi Jawa Barat pada gambar di
bawah ini:
Gambar III.4 Kawasan Andalan dan Kawasan Tertinggal Propinsi Jawa Barat (http://www.jabar.go.id)
Dengan melihat kondisi di atas, maka untuk mewujudkan akselerasi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan indikator tercapainya IPM = 80 pada tahun 2010,
tentunya merupakan hal yang sangat berat. Sehubungan dengan kondisi tersebut,
maka pembangunan sub sektor pertanian tanaman pangan dan holtikultura mulai
tahun 2005 perlu melaksanakan implementasi revitalisasi dan akselerasi dengan lebih
efektif dan efisien. Dalam kaitanya dengan hal ini, kebijakan dan langkah strategis
serta prioritas dan fokus kegiatan pembangunan pertanian tanaman pangan dan
72
holtikultura, ditempuh melalui tiga program pokok, yaitu: 1). Program Peningkatan
Ketahanan Pangan. 2). Program Pengembangan Agribisnis. 3). Program
Pemberdayaan SDM Pertanian.
Keadaan topografi Jawa Barat sangat beragam, yaitu sebelah utara terdiri dari daratan
rendah, sebelah tengah daratan tinggi bergunung-gunung dan disebelah selatan terdiri
dari daerah bukit-bukit dan pantai. Berdasarkan fisiografi, Jawa Barat dapat
distrasifikasikan kedalam tiga strata wilayah yaitu:
1. Strata wilayah daratan rendah pantai utara, yaitu wilayah yang dengan topografi
datar, dengan dominasi lahan sawah dan lahan keringnya sangat terbatas. Meliputi
Kabupatem Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Dengan
dominasi lahan tersebut, maka usaha tani yang dominan juga adalah padi sawah,
sehingga dijuluki dengan lumbung padi/beras, baik bagi Jawa Barat maupun bagi
Nasional.
2. Strata wilayah daratan tinggi bagian tengah, dimana antara lahan sawah dan lahan
kering hampir berimbang, dengan topografi umumnya berbukit sehingga berbagai
komoditi dapat dikembangkan: padi, palawija, sayuran, buah-buahan, tanaman
hias dan aneka tanaman lainnya. Meliputi Kabupaten Bogor, Purwakarta,
Bandung, Sumedang, Kuningan, Majalengka, serta bagian utara Kabupaten
Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
3. Strata Wilayah Jawa Barat Selatan, dengan topografi didominasi oleh bukit
pegunungan, dengan hanya sekidit lahan datar, sehingga luas sawah terbatas
umumnya disekitar sungai dan sekitar pantai. Pengembangan usaha tani tanaman
pangan harus hati-hati dengan mempertimbangkan kemiringan lahan dan dengan
usaha tani konservasi. Meliputi bagian selatan dari Kabupaten Sukabumi, Cianjur,
Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
73
III.2.1 Jenis Tanah
Jenis tanah di Jawa Barat dilihat dari sifat morfologisnya yang didasarkan kepada
azas-azas terjadinya tanah dan reaksi tanah, tanaman dan aktivitas manusia, maka
tanah di Jawa Barat bisa dibagi dalam Sembilan (9) jenis tanah (soil group).
Perbedaan jenis tanah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap jenis usaha tani
yang dilaksanakan pada tanah tersebut.
Sebaran tiap jenis tanah yang ada di propinsi Jawa Barat dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. Luas setiap jenis tanah dihitung dari peta tanah tinjau Propinsi Jawa
Barat yang dikeluarkan oleh Lembaga Pusat Penelitian Tanah. Dari tabel tersebut
terlihat bahwa di Propinsi Jawa Barat terdapat 3 jenis tanah utama yaitu: Latosol,
Podsolik merah kuning dan Aluvial.
Tabel III.2 Perkiraan Luas Tanah Jawa Barat Penggunaan Menurut Jenisnya (Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat 2000)
No. Jenis Tanah Luas
Penggunaan Km2 %
1 Latosol 17.138.871 37.017 Padi, Palawija, Kopi, Coklat, Lada, Buah-buahan, Sayuran, Ubi kayu
2 Podsolik merah kuning 12.081.059 26.093 Ladang, Hutan, Karet 3 Aluvial 7.456.152 16.104 Padi, Palawija, Perikanan darat 4 Andosol 3.152.567 6.809 Sayuran, Bunga, Teh, Kina, Kopi
tropis, Baik untuk obyek turisme. 5 Regosol 1.925.617 4.159 Kedelai, Kacang tanah, Kentang,
Tebu, Kapas, Sisal, Karet, Kina, Kelapa, Kelapa Sawit, Coklat, Teh,
Kina 6 Glei 1.822.831 3.937 Padi, Lada, Ubi jalar 7 Grumusol 1.792.736 3.872 Perkebunan, Padi, Kedelai, Tebu,
Kacang-kacangan, Tembakau, Hutan Jati
8 Mediteran 911.647 1.969 Padi, Jagung, Kapas 9 Organosol 19.446 0.042 Palawija, Padi, Karet Jumlah 46.300.926 100.00
III.2.2 Potensi Penggunaan Sumber Daya Lahan Pertanian
Lahan adalah merupakan salah satu faktor produksi, yang ketersediannya merupakan
salah satu syarat untuk dapat berlangsungnya proses produksi di bidang pertanian.
74
Produktivitas dari lahan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan, tekstur tanah,
serta ketersediaan air dan iklim yang cocok. Berdasarkan data Dinas Pertanian
Propinsi Jawa Barat mengenai data lahan pertanian Kabupaten/Kota terlampir.
Adapun rekapitulasi luas lahan pertanian di Jawa Barat dari tahun 1995 sampai
dengan tahun 2006 adalah sebagai berikut:
Tabel III.3 Rekapitulasi Luas Lahan Pertanian Jawa Barat Tahun 1995 – 2006 (Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat)
No Penggunan
Lahan Luas (Ha)
1995 1996 1997 1998 1999 2000
1 Lahan Sawah 1,152,074 1,139,699 1,129,209 1,129,019 1,132,558 1,127,088
2 Lahan Kering 3,249,752 3,262,127 3,272,617 3,272,807 3,270,270 3,275,740
4,401,826 4,401,826 4,401,826 4,401,826 4,402,828 4,402,828
No Penggunan
Lahan Luas (Ha)
2001 2002 2003 2004 2005 2006
1 Lahan Sawah 933,493 927,377 934,095 932,337 925,900 926,782
2 Lahan Kering 2,615,455 2,621,571 2,614,730 2,675,197 2,681,633 2,668,989
3,548,948 3,548,948 3,548,825 3,607,534 3,607,533 3,595,771
Data yang berkaitan dengan luas lahan baku pertanian di Jawa Barat berdasarkan
jaringan irigasi dan penggunaannya dikelompokkan pada tabel sebagai berikut:
Tabel III.4 Potensi Lahan Sawah Pertanian Berdasarkan Jaringan Irigasi dan Penggunaan di Jawa Barat Tahun 1995 – 2000
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat)
No. Jenis Lahan Sawah Luas Tahun (Ha)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 1 Pengairan Teknis 474,646 468,287 466,429 463,397 463,549 458,240
2 Pengairan 1/2 Teknis 122,224 127,379 121,191 123,408 122,464 127,766
3 Sederhana PU 101,893 107,593 102,413 105,357 108,107 109,257 4 Sederhana Non PU 205,129 202,607 203,769 203,582 199,140 206,677 5 Tadah Hujan 235,914 230,314 234,665 231,220 238,270 225,038 6 Pasang Surut 152 - - 746 - - 7 Lebak 945 505 8 493 160 8
8 Sementara tidak diusahakan 11,171 - - - - -
9 Polder & Lainnya - 3,014 734 816 868 102 Jumlah 1,152,074 1,139,699 1,129,209 1,129,019 1,132,558 1,127,088
75
Lahan pertanian khususnya untuk lahan sawah di Jawa Barat dari tahun 1995 sampai
dengan tahun 2000 mengalami pengurangan lahan, ini terlihat pada tabel di atas
menunjukkan bahwa pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1996 potensi lahan sawah
berkurang, begitu juga tahun 1997 dan tahun 1998 pada setiap tahunnya potensi lahan
sawah mengalami pengurangan lahan sawah, baru pada tahun 1999 mengalami
peningkatan lahan sawah semula 1.129.019 hektar menjadi 1.132.558 hektar, namun
pada tahun 2000 kembali lahan sawah mengalami pengurangan lahan sawah menjadi
1.127.088 hektar. Data lahan sawah pertanian Jawa Barat dari tahun 1995 sampai
dengan tahun 2000 di atas apabila dilihat dalam bentuk grafik seperti pada gambar
sebagai berikut:
Data Lahan Sawah Pertanian Tahun 1995 – 2000 di Jawa Barat
1,110,000
1,120,000
1,130,000
1,140,000
1,150,000
1,160,000
1995 1996 1997 1998 1999 2000
Tahun
Jum
lah
(hek
tar)
Lahan Sawah
Gambar III.5 Grafik Data Potensi Lahan Sawah Pertanian Jawa Barat Tahun 1995 – 2000
Potensi lahan kering (non sawah) di Jawa Barat dari tahun 1995 sampai dengan tahun
2000 berdasarkan jaringan irigasi dan penggunaannya mengalami peningkatan luas
lahan dalam setiap tahunnya, data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
76
Tabel III.5 Potensi Lahan Kering Pertanian Berdasarkan Jaringan Irigasi dan Penggunaan Jawa Barat Tahun 1995 – 2000
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat)
No. Jenis Lahan Kering Luas Tahun (Ha)
1995 1996 1997 1998 1999 2000 1 Pekarangan 478,729 492,538 501,321 506,681 501,658 502,600 2 Tegal/Kebun 809,658 822,306 831,929 849,269 851,025 849,888 3 Ladang/Hama 231,943 207,977 191,800 189,922 192,174 191,477 4 Pengembalaan 37,999 37,329 37,858 35,300 32,845 33,271 5 Rawa-rawa 12,306 12,354 12,325 13,271 20,916 20,932 6 Tambak-Kolam 70,171 72,272 70,122 68,348 69,237 70,196 7 Tidak diusahakan 47,840 41,984 39,244 41,048 39,497 39,054 8 Hutan Rakyat 207,656 215,466 231,862 235,571 234,466 240,986 9 Hutan Negara 788,349 779,106 775,080 751,306 751,561 752,573
10 Perkebunan 379,577 379,075 379,471 376,779 375,922 370,629 11 Lain-lain 185,524 201,720 201,605 211,915 200,969 204,134
Jumlah 3,249,752 3,262,127 3,272,617 3,272,807 3,270,270 3,275,740 Jumlah Total 4,401,826 4,401,826 4,401,826 4,401,826 4,402,828 4,402,828
Data lahan kering (non sawah) pertanian Jawa Barat dari tahun 2001 sampai dengan
tahun 2006 di atas apabila dilihat dalam bentuk grafik seperti pada gambar sebagai
berikut:
Data Lahan Kering (non sawah) Pertanian Tahun 1995 – 2000 di Jawa Barat
3,230,000
3,240,000
3,250,000
3,260,000
3,270,000
3,280,000
1995 1996 1997 1998 1999 2000
Tahun
Jum
lah
(Hek
tar)
Lahan Kering
Gambar III.6 Grafik Data Lahan Kering (non sawah) Pertanian di Jawa Barat
Tahun 1995 – 2000
77
Potensi lahan sawah di Jawa Barat dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006
berdasarkan jaringan irigasi dan penggunaannya mengalami perubahan luas lahan
dalam setiap tahunnya, data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel III.6 Potensi Lahan Sawah Pertanian Berdasarkan Jaringan Irigasi dan Penggunaan di Jawa Barat Tahun 2001 -2006
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat)
No. Jenis Lahan Sawah Luas Tahun (Ha)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 Pengairan Teknis 398,276 386,686 376,865 381,345 380,996 380,348
2 Pengairan 1/2 Teknis 112,966 120,123 121,964 120,412 116,443 116,544
3 Sederhana PU 90,933 99,487 101,495 99,432 92,543 102,501 4 Sederhana Non PU 172,524 156,710 160,097 153,655 158,304 151,094 5 Tadah Hujan 158,187 162,756 170,755 174,984 174,060 172,932 6 Pasang Surut - 50 50 96 46 13 7 Lebak - - - 465 567 470
8 Sementara tidak diusahakan - - - - -
9 Polder dan Lainnya 607 1,565 2,869 1,948 2,941 2,880 Jumlah 933,493 927,377 934,095 932,337 925,900 926,782
Data lahan sawah pertanian Jawa Barat dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 di
atas apabila dilihat dalam bentuk grafik seperti pada gambar sebagai berikut:
Data Potensi Lahan Sawah Pertanian Tahun 2001 – 2006 di Jawa Barat
920,000922,000924,000926,000928,000930,000932,000934,000936,000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Jum
lah
(Hek
tar)
Lahan Sawah
Gambar III.7 Grafik Data Potensi Lahan Sawah Pertanian Jawa Barat
Tahun 2001 – 2006
78
Untuk potensi lahan kering (non sawah) pertanian di Jawa Barat dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel III.7 Potensi Lahan Kering Pertanian Berdasarkan Jaringan Irigasi dan Penggunaan di Jawa Barat Tahun 2001 -2006
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat)
No. Jenis Lahan Kering Luas Tahun (Ha)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 Pekarangan 398,373 398,350 393,299 389,499 390,311 387,327 2 Tegal/Kebun 657,155 646,675 613,203 604,233 605,963 548,182 3 Ladang/Hama 146,440 162,887 171,156 182,849 201,909 243,435
4 Pengembalaan/Padang Rpt 32,426 33,406 31,396 34,456 32,794 31,615
5 Sementara tdk diusahakan 16,130 13,846 12,270 10,281 11,300 11,447
6 Ditanami pohon/Htn rakyat 201,145 211,624 218,741 237,152 239,134 248,234
7 Hutan Negara 595,440 579,521 572,995 622,519 622,793 601,118 8 Perkebunan 315,780 315,770 318,289 321,654 313,209 314,641 9 Lain-lain 185,652 190,557 213,510 190,715 192,653 211,016
10 Rawa-rawa 9,762 9,914 10,543 20,832 10,524 10,675 11 Tambak 33,582 35,940 36,218 36,420 36,703 34,898 12 Kolam/Tebat/Empang 23,569 23,034 23,111 24,588 24,340 26,401
Jumlah 2,615,455 2,621,571 2,614,730 2,675,197 2,681,633 2,668,989 Jumlah Total 3,548,948 3,548,948 3,548,825 3,607,534 3,607,533 3,595,771
Data lahan kering (non sawah) pertanian Jawa Barat dari tahun 2001 sampai dengan
tahun 2006 di atas dalam setiap tahunnya mengalami penambahan luas lahan kering
(non sawah), ini terlihat pada tahun 2001 – 2002 tidak mengalami penambahan luas
lahan karena tetap luas lahan pertaniannya.
Pada tahun 2003 lahan kering (non sawah) pertanian mengalami pengurangan luas
lahan, pada tahun 2004 terdapat perubahan luas lahan kering (non sawah) dimana luas
lahan kering (non sawah) pertanian meningkat atau lahan kering (non sawah)
bertambah, pada tahun 2005 mengalami sedikit perubahan lahan kering (non sawah)
pertanian dan pada tahun 2006 lahan kering mengalami perubahan luas lahan atau
pengurangan lahan kering (non sawah) pertanian. Apabila dilihat dalam bentuk grafik
seperti pada gambar di bawah ini.
79
Data Lahan Kering (non sawah) Pertanian Tahun 2001 – 2006 di Jawa Barat
2,580,0002,600,000
2,620,0002,640,000
2,660,0002,680,000
2,700,000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Jum
lah
(Hek
tar)
Lahan Kering
Gambar III.8 Grafik Data Lahan Kering (non sawah) Pertanian di Jawa Barat Tahun 2001 – 2006
Data di atas menunjukkan bahwa luas lahan sawah dan luas lahan kering (non sawah)
berdasarkan jaringan irigasi menunjukkan untuk lahan sawah semakin lama
mengalami pengurangan luas lahan sawah dan berubah menjadi lahan kering (non
sawah) dan untuk lahan kering (non sawah) semakin lama menunjukkan penambahan
luas lahan ini karena adannya perubahan dari lahan sawah sebagian berubah menjadi
lahan kering (non sawah).
Perubahan lahan tersebut oleh masyarakat di wilayah Jawa Barat dipergunakan
sebagai lahan pemukiman penduduk, lahan industri dan lainnya. Tentunya dengan
perubahan lahan ini akan mempengaruhi produktivitas padi di seluruh wilayah Jawa
Barat.
Adapun sebaran lahan sawah dan sebaran lahan kering (non sawah) untuk wilayah di
Kabupaten dan Kota di Jawa Barat berdasarkan Kabupaten / Kota adalah sebagai
berikut:
80
13
BEKASI
PURWAKARTA
BANDUNG
TASIKMALAYA
SUBANGINDRAMAYU
BOGORCIREBON
SUMEDANG
CIAN
JUR
SUKABUMI KUNINGAN
CIAMIS
KARAWANG
GARUT
MAJALENGKA
LUAS SAWAH : 75.000 - 100.000 HA
LUAS SAWAH : > 100.000 HA
LUAS SAWAH : 50.000 - 75.000 HA
LUAS SAWAH : 25.000 - 50.000 HA
LUAS SAWAH : < 25.000 HA
Gambar III.9 Sebaran Kab/Kota Berdasarkan Luas Lahan Sawah (Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat 2007)
Berdasarkan data gambar di atas lahan sawah berdasarkan wilayah Kabupaten / Kota
di Jawa Barat menunjukkan bahwa lahan sawah yang mempunyai luas lahan sawah
lebih dari 100.000 hektar adalah berada di wilayah Indramayu dan untuk wilayah
yang mempunyai luas lahan sawah kurang dari 25.000 hektar adalah daerah
Purwakarta.
Untuk sebaran lahan kering (non sawah) yang ada di Kabupaten / Kota di Jawa Barat
seperti pada gambar di bawah ini:
81
BEKASI
PURWAKARTA
BANDUNG
TASIKMALAYA
SUBANG INDRAMAYU
BOGOR
CIREBON
SUMEDANG
SUKABUMI KUNINGAN
CIAMIS
KARAWANG
GARUT
MAJALENGKA
LAHAN KERING : > 100.000 HA
LAHAN KERING : 50.000 - 75.000 HA
LAHAN KERING : 25.000 - 50.000 HA
LAHAN KERING : < 25. 000 HA
LAHAN KERING : 75.000 - 100.000 HA
CIANJUR
Gambar III.10 Sebaran Kab/Kota Berdasarkan Luas Lahan Kering (Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat 2007)
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa data wilayah yang mempunyai lahan
kering (non sawah) di atas 100.000 hektar adalah berada di wilayah Sukabumi,
Cianjur, Garut dan Tasikmalaya dan daerah yang mempunyai lahan kering (non
sawah) di bawah 25.000 hektar adalah terdapat di daerah Bekasi, Karawang,
Purwakarta, Indramayu dan Cirebon. Sumber daya lahan pertanian produktif
khususnya lahan sawah di Jawa Barat sebagian telah mengalami penciutan akibat
adanya desakan kawasan pemukiman penduduk, industri, sarana transportasi dan alih
82
fungsi lahan lainnya yang setiap tahunnya terus bertambah baik di wilayah Kabupaten
maupun Kota di Jawa Barat dan akan tidak menutup kemungkinan wilayah lain yang
berada di Indonesia.
Perubahan alih fungsi lahan yang lain salah satunnya adalah pelepasan aset lahan oleh
keluarga tani yang mencoba bermigrasi ke lapangan kerja lain dan dibeli oleh
investor untuk kepentingan non pertanian, kondisi inilah yang sering terjadi, sehingga
akibatnya terjadi penyimpangan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Pembangunan, yang telah ditetapkan baik oleh pemerintah
Kab/Kota maupun Propinsi Jawa Barat.
Adapun perubahan tata guna lahan di Jawa Barat berdasarkan data dari Badan
Perencanaan Jawa Barat dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2005 adalah sebagai
berikut:
Error! Objects cannot be created from editing field codes.
Gambar III.11 Perubahan Tata Guna Lahan Jawa Barat 1994 – 2005 (Sumber: Bapeda Jabar 2007)
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa untuk lahan sawah di Jawa Barat dari
tahun 1994 sampai dengan tahun 2005 menunjukkan adanya pengurangan lahan
sawah sebesar 27,1 %. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi dan berdampak kurang
baik terhadap produktivitas pertanian dan mempengaruhi turunnya daya dukung
lingkungan di Jawa Barat. Adapun gambar perubahan tata guna lahan sawah di
Propinsi Jawa Barat dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2005 adalah dapat dilihat
pada gambar dibawah ini sebagai berikut:
Error! Objects cannot be created from editing field codes.
Gambar III.12 Perubahan Tata Guna Lahan Sawah Jawa Barat 1994 – 2005 (Sumber : Bapeda Jabar 2007)
83
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa lahan sawah di Jawa Barat dari tahun
1994 sampai dengan tahun 2005 menunjukkan perubahan lahan sawah ke lahan non
sawah dan perubahan tersebut yang paling besar berubah menjadi kebun campuran
seluas 86.489,7 hektar dan perkebunan seluas 40.405,5 hektar.
III.2.3 Penduduk
Jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2006 mencapai 40, 74 juta orang. Pada
tahun 2003 baru mencapai 38,13 juta orang, dan pada tahun 2004 meningkat lagi
mencapai 39,14 juta orang, sedangkan pada tahun 2005 menjadi 39, 96 juta orang.
Pada tahun 2006 penduduk terbanyak di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Bandung
yang mencapai kepadatan sebesar 4,4 juta orang yang kemudian diikuti oleh
Kabupaten Bogor 4,22 juta orang sedangkan jumlah penduduk terkecil pada tahun
2006 terdapat di Kota Banjar dengan jumlah penduduk 0,18 juta orang.
Berikut data rekapitulasi jumlah penduduk di Jawa Barat dari tahun 1995 sampai
dengan tahun 2006 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat, seperti
dalam tabel berikut:
Tabel III.8 Jumlah Penduduk Tahun 1995 – 2006 (Sumber : BPS Jawa Barat)
No. Tahun Jumlah Penduduk
1 1995 35,494,829
2 1996 37,285,131
3 1997 39,206,787
4 1998 40,325,820
5 1999 42,428,584
6 2000 43,552,923
7 2001 36,075,355
8 2002 36,914,883
9 2003 37,980,422
84
10 2004 39,472,185
11 2005 39,960,869
12 2006 40,737,594
Data penduduk Jawa Barat dari tahun 1995 - 2006 di atas apabila dilihat dalam
bentuk grafik seperti pada gambar sebagai berikut:
Data Jumlah Penduduk Jawa Barat Tahun 1995 - 2006
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
30,000,000
35,000,000
40,000,000
45,000,000
50,000,000
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Jum
lah
(Jiw
a)
Jumlah Penduduk
Gambar III.13 Jumlah Penduduk Tahun 1995 – 2006
III.2.4 Produk Pangan Beras di Jawa Barat
Tanaman pangan meliputi tanaman bahan makanan, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Tanaman bahan makanan terdiri dari padi-padian, jagung, umbi-umbian dan kacang-
kacangan. Secara umum luas lahan sawah menurun dibandingkan dengan tahun lalu
sekitar 0,15 %. Sedangkan luas lahan kering bila dilihat menurut penggunaannya,
yang utama adalah jenis hutan negara mencapai 601.118 Ha atau 22,52% dari jumlah
lahan kering disusul oleh tegal/kebun 548.182 Ha (20,53%).
85
Pada tahun 2006 luas lahan padi mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan
dengan tahun 2005 demikian pula hasil produksinya. Untuk padi sawah luas panen
dan produksinya mengalami penurunan masing-masing sebesar 5,1 dan 3,98 persen.
Sementara padi ladang luas panen dan produksinya mengalami penurunan sebesar
4,98 %. Tetapi produksinya mengalami sedikit kenaikan sebesar 2,72 %. Hal ini
dimungkinkan oleh penggunaan teknik intensifikasi pertanian oleh petani seperti
penggunaan pupuk atau penggunaan bibit unggul dalam bercocok tanam. Hasil per
hektar mengalami kenaikkan yaitu sebesar 0,64 kuintal per hektar untuk padi sawah
dan 2,14 kuintal per hektar untuk padi ladang. Berikut penulis sajikan rekapitulasi
luas tanam, luas panen, hasil per hektar dan produksi padi di Jawa Barat dari tahun
1995 – 2006 sebagai berikut:
Tabel III.9 Rekapitulasi Data Pertanian Tahun 1995 – 2006 (Sumber: Data Statistik Dinas Pertanian Jawa Barat)
No. Tahun Keterangan
Luas Tanam (Ton)
Luas Panen (Ton)
Produktivitas (Kuintal/Ton)
Produksi (Ton)
1 1995 2,218,166 2,125,666 50.30 10,722,717
2 1996 2,208,227 2,118,956 50.72 10,747,659
3 1997 2,162,433 2,040,680 50.73 10,352,650
4 1998 2,313,072 2,182,996 46.79 10,213,812
5 1999 2,307,444 2,186,165 47.30 10,340,868
6 2000 2,326,946 2,206,929 49.27 10,873,344
7 2001 1,939,307 1,866,069 49.50 9,237,593
8 2002 1,923,797 1,792,320 51.15 9,166,872
9 2003 1,787,027 1,664,386 52.73 8,776,889
10 2004 2,013,571 1,880,142 51.07 9,602,302
11 2005 1,968,788 1,894,796 51.65 9,787,217
12 2006 1,940,876 1,798,247 52.38 9,417,864
Apabila produksi padi Jawa Barat tahun 1995 – 2006 dilihat dalam bentuk grafik
sebagai berikut:
86
Data Produksi Padi Jawa Barat Tahun 1995 - 2006
-
2,000,000
4,000,000
6,000,000
8,000,000
10,000,000
12,000,000
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Jum
lah
(Ton
)
Produksi Padi (Ton)
Gambar III.14 Produksi Padi Jawa Barat Tahun 1995 – 2006
III.2.5 Kecukupan Gizi dan Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi
setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai akses untuk
memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi (Soetrisno, 1998). Fokus
ketahanan pangan tidak hanya pada penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga
penyediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan rumah tangga bahkan individu
dalam memenuhi kebutuhan gizinya (Braun et al.1992) .
Ketahanan pangan Indonesia selama tiga dekade lalu, berada dalam kondisi yang
relatif baik yaitu ditunjukkan dengan ketersediaan pangan perkapita meningkat dari
2000 kkal/hari pada tahun 1960 an menjadi sekitar 2700 Kkal/hari awal tahun 1990-
an (FAO,1996). Tingkat kemiskinan menurun dari 40 % pada tahun 1976 menjadi
11 % pada tahun 1996. Kombinasi antara peningkatan ketersediaan pangan dan
penurunan tingkat kemiskinan tersebut membawa dampak pada peningkatan
ketahanan pangan dan perbaikan gizi baik pada tingkat nasional maupun tingkat
rumah tangga, akan tetapi krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada akhir tahun
87
1990-an sampai sekarang telah membawa dampak negatif terhadap ketahanan pangan,
kemiskinan dan status gizi masyarakat (Tabor, et al. 2000).
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok
meningkat tajam sehingga banyak keluarga mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pangan yang bergizi. Hal tersebut berdampak pada pemenuhan gizi anak
balita, khususnya baduta. Sehingga pada dua tahun terakhir ini kembali muncul
masalah gizi kurang (kwashiorkor, marasmus, dan kombinasi keduanya). Anak yang
bergizi baik akan tumbuh sesuai dengan potensi genetisnya namun sebaliknya anak
yang kekurangan gizi akan mengalami hambatan dalam pertumbuhannya (Meylina,
2000).
First Informal Consultation on Growth of Children (UNICEF, 1998) menyepakati
bahwa pertumbuhan anak merupakan indikator kunci (key indikator) dalam kesehatan
dan perkembangan anak sehingga dapat menggambarkan bagaimana suatu
masyarakat akan melaksanakan pembangunan. Jika pertumbuhan anak menjadi
indikator penting maka perhatian harus lebih diarahkan pada bagaimana agar anak
tetap berada pada garis pertumbuhan yang optimal sehingga sumber daya manusia
yang berkualitas dapat tercapai.
Sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu modal dasar pembangunan
karena dimensinya yang begitu kompleks dan salah satu yang paling mendasar adalah
faktor gizi masyarakat yang tercermin oleh keadaan gizi individu (Syarif, 1997).
Selain itu kualitas SDM dapat ditentukan oleh pembinaan kesehatan dan konsumsi
pangan. Pembinaan pertama dan utama terhadap anak terjadi di dalam keluarga,
seorang ibu mempunyai peran dan andil yang sangat besar dalam pembinaan anak.
Untuk mempersiapkan anak tersebut menjadi manusia yang berguna maka harus
dimulai sejak usia dini melalui peran ibu dan pola asuh yang baik (Darmadji, 1993).
Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin tumbuh kembang anak
88
yang optimal. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang dipraktekkan sehari-hari
seperti pemberian makan, pemeliharaan kesehatan, dan stimulasi mental serta
dukungan emosional dan kasih sayang akan memberikan kontribusi yang nyata
terhadap pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak (Engel et al, 1998; Husaini,
1997).
Anak baduta merupakan anggota keluarga yang memerlukan perhatian khusus dari
orang tuanya atau orang yang dekat dengannya dan sangat bergantung baik secara
fisik maupun emosi sehingga memerlukan pertolongan dalam berbagai kegiatan.
Namun yang terpenting bahwa pertumbuhan otak seorang anak sangat ditentukan
pada masa awal (baduta). Apabila anak pada usia tersebut mengalami kurang gizi
maka dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan otak yang mempengaruhi kualitas
dan tingkat kecerdasannya.
Faktor lain yang berkaitan dengan pertumbuhan anak baduta adalah penyakit infeksi.
Data Unicef (1998) menunjukkan bahwa 1000 anak balita di Indonesia meninggal
setiap hari selama tahun 1996 karena penyakit infeksi. Gangguan gizi pada masa
anak-anak berdampak negatif bukan hanya pada pertumbuhan fisik tetapi juga pada
perkembangan mental dan intelektual masa remaja dan dewasa (Seifert & Hoffnung,
1997).
Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan setiap rumah tangga dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan bagi anggota keluarganya dan memiliki
kemampuan untuk mengakses pangan secara fisik yang ditunjukkan oleh ketersediaan
pangan maupun secara ekonomi yang berkaitan dengan pendapatan dalam keluarga.
Ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun
ketersediaan pangan yang sesuai dengan norma gizi dan didukung oleh kemampuan
daya beli setiap rumah tangga. Jika konsumsi pangan merupakan indikator kerawanan
pangan rumah tangga maka dapat dikatakan bahwa rumah tangga yang rawan
89
ketahanan pangan, anggota keluarganya apabila mengkonsumsi makanan kurang dari
70 % kecukupan energi yang dianjurkan 2200 Kkal/hr.
Masalah ketahanan pangan secara nasional tidak berhenti pada saat suplai terpenuhi,
namun perlu diusut lebih lanjut untuk mengetahui pola distribusi dan tingkat
konsumsi hingga ke level rumah tangga. Dalam tahun terakhir kasus hunger paradox
banyak terungkap di berbagai daerah bahkan terjadi di sentra produsen beras. Kasus
kekurangan gizi, gizi buruk dan busung lapar di tengah tercukupinya pangan secara
nasional menggambarkan tidak meratanya distribusi dan akses oleh seluruh lapisan
masyarakat.Berdasarkan ketersediaan pangan sebagai sumber energi dan protein
jumlahnya lebih dari cukup. Pada tahun 2004 ketersediaan energi mencapai 3.031 k
kal/kap/hari dan protein sebesar 76,28 g/kap/hari, jauh melebihi angka kecukupan
gizi seperti yang direkomendasikan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi
yakni energi sebesar 2.200 K/kap/hari dan protein sebanyak 57 g/kap/hari.
Namun demikian besaran rata-rata energi dan protein yang dikonsumsi oleh
masyarakat masih lebih rendah. Konsumsi pada tahun 2004 untuk energi sebesar
1986 k kal/kap/hari dan protein 54,65 g/kap/hari. Hingga tahun 2005 pun tingkat
konsumsi masih berada dibawah rekomendasi kecukupan gizi. Faktor tersebut
mencerminkan bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang menghadapi kendala
dalam mengakses kecukupan pangan terutama berkaitan dengan faktor ekonomi.
III.3 Kebijakan dan Program Pertanian
III.3.1 Kebijakan Nasional
Strategi dan kebijakan pembangunan pertanian 2005-2009 disusun berlandaskan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Agenda pembangunan
ekonomi dalam RPJMN yang terkait dengan pembangunan pertanian, antara lain:
a) revitalisasi pertanian,
b) peningkatan investasi dan ekspor nonmigas;
c) pemantapan stabilisasi ekonomi makro;
90
d) penanggulangan kemiskinan;
e) pembangunan perdesaan; dan
f) perbaikan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Revitalisasi pertanian antara lain diarahkan untuk meningkatkan:
a) kemampuan produksi beras dalam negeri sebesar 90-95 persen dari kebutuhan;
b) diversifikasi produksi dan konsumsi pangan;
c) ketersediaan pangan asal ternak;
d) nilai tambah dan daya saing produk pertanian; dan
e) produksi dan ekspor komoditas pertanian.
Revitalisasi pertanian dalam arti luas dilakukan untuk mendukung pencapaian sasaran
penciptaan lapangan kerja terutama dipedesaan dan mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional. Sektor pertanian yang mencakup tanaman bahan makanan,
pertenrnakan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan kehutanan, pada tahun 2003
menyerap 46,3 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6,9 persen
dari total nilai ekspor nonmigas, dan memberikan kontribusi sebesar 15 persen dari
PDB nasional. Sektor pertanian juga berperan besar dalam penyediaan pangan untuk
mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka memenuhi hak atas pangan
Sasaran akhir dari Revitalisasi Pertanian adalah tingkat pertumbuhan sektor pertanian
rata-rata 3,52 persen per tahun dalam periode 2004-2009 dan meningkatnya
pendapatan dan kesejahteraan petani.
Sasaran antara lain :
1. Meningkatnya kemampuan petani untuk dapat menghasilkan komoditas yang
berdaya saing tinggi.
2. Terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri dengan tingkat ketersediaan
minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, untuk pengamanan kemandirian
pangan.
91
3. Diversifikasi produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan untuk menurunkan
ketergantungan pada beras.
4. Meningkatnya ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri.
5. Meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap protein hewani yang berasal dari
ternak dan ikan.
6. Meningkatnya daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan.
7. Maningkatnya produksi dan ekspor hasil pertanian dan perikanan.
8. Meningkatnya kemampuan petani dan nelayan dalam mengelola sumber daya
alam secara lestari dan bertanggung jawab.
9. Optimalnya nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu.
10. Meningkatnya hasil hutan nonkayu 30 persen dari produk tahun 2004.
11. Bertambahnya hutan tanaman minimal seluas 5 juta ha dan penyelesaian
penetapan kesatuan pemangkuan hutan sebagai acuan pengelolaan hutan produksi.
Arah kebijakan revitalisasi pertanian, dalam revitalisasi pertanian ditempuh dengan
empat langkah pokok, yaitu peningkatan kemampuan petani dan penguatan lembaga
pendukungnya, pengamanan ketahanan pangan, peningkatan produktivitas, produksi,
daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan perikanan, serta pemanfaatan hutan
untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan dengan tetap
memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan pembanguanan berkelanjutan.
Kebijakan dalam peningkatan kemampuan petani dan nelayan serta pelaku pertanian
dan perikanan lain serta penguatan lembaga pendukungnya, diarahkan untuk:
1. Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan petani, termasuk peternak, nelayan,
dan pembudidayaan ikan.
2. Menghidupkan dan memperkuat lembaga pertanian dan pedesaan untuk
meningkatkan akses petani dan nelayan terhadap sarana produktif, membangun
delivery system dukungan pemerintah untuk sektor pertanian, dan meningkatkan
skala pengusahaan yang dapat meningkatkan posisi tawar petani dan nelayan.
3. peningkatan kemampuam/kualitas SDM pertanian.
92
Kebijakan dalam pengamanan ketahanan pangan diarahkan untuk:
1. Mempertahankan tingkat produksi beras dalam negeri dengan ketersediaan
minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, agar kemandirian pangan nasional
dapat diamankan.
2. Meningkatkan ketersediaan pangan ternak dan ikan dari dalam negeri. Kebijakan
pengembangan peternakan diarahkan untuk meningkatkan populasi hewan dan
produksi pangan hewani dari produksi dalam negeri agar ketersediaan dan
keamanan pangan hewani dapat dapat lebuh terjamin untuk mendukung
peningkatan kualitas SDM.
3. Melakukan diversifikasi pangan untuk menurunkan ketergantungan pada beras
dengan melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui
kerjasama dengan industri pangan, untuk meningkatkan minat dan kemudahan
konsumsi pangan alternatif.
Kebijakan dalam peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah
produk pertanian dan perikanan diarahkan untuk:
1. Peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam mendukung ekonomi dan
tetap menjaga kelestariannya, melalui: (1) penataan dan perbaikan lingkungan
perbaikan budi daya; (2) penataan industri perikanan dan kegiatan ekonomi
masyarakat di wilayah pesisir; (3) perbaikan dan peningkatan pengelolaan sumber
daya perikanan tangkap, terutama di wilayah ZEEI; (4) pengembangan perikanan
samudera dan bioteknologi perikanan; (5) peningkatan peran aktif masyarakat dan
swasta dalam pengelolaan sumber daya perikanan; (6) peningkatan kualitas
pengelolaan dan nilai tambah produk perikanan melalui pengembang teknologi
pasca tangkap/panen; (7) percepatan peningkatan produk perikanan budidaya; (8)
peningkatan kemampuan SDM, penyuluh, dan pendamping perikanan; dan (9)
perkuat sistem kelembagaan, koordinasi, dan pengembangan peraturan
perundangan sebagai instumem penting untuk mempertegas pengelolaan sumber
daya perikanan yang ada.
93
2. Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu dengan
konsep pengembangan argobisnis. Pendekatan ini akan meningkatkan kelayakan
dalam pengembangan/skala ekonomi, sehingga akan lebih meningkatkan efisiensi
dan nilai tambah serta mendukung pembangunan pedesaan dan perekonomian
daerah.
3. Penyusunan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing produk pertanian
dan perikanan, misalnya dorongan dan insentif untuk peningkatan pasca panen
dan pengolahan hasil pertanian dan perikanan, peningkatan standar mutu
komoditas pertanian dan keamanan pangan, melindungi petani dan nelayan dari
persaingan yang tidak sehat.
4. Penguatan sistem pemasaran dan menejemen usaha untuk mengelola resiko usaha
pertanian serta untuk mendukung pengembangan argoindustri.
Pemanfaatan hutan untuk diversifikasi usaha dan mendukung produksi pangan
dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan hutan alam dan pengembangan hutan
tanaman dan hasil hutan nonkayu secara berkelanjutan dengan kebijakan yang
diarahkan pada:
1. Peningkatan nilai tambah dan manfaat hasil hutan kayu;
2. Pemberian insentif pengembangan hutan tanaman industri (HTI);
3. Peningkatan partisipasi kepada masyarakat luas dalam pengembangan hutan
tanaman;
4. Peningkatan produksi hasil hutan nonkayu untuk kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan.
Arah kebijakan dalam program pembangunan pertanian untuk program peningkatan
ketahanan pangan bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan
ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga sebagai bagian dari ketahanan
nasional. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini adalah:
94
1. Pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri, antara lain melalui
pengamanan lahan sawah daerah irigasi, peningkatan mutu intensifikasi, serta
optimalisasi dan perluasan area pertanian.
2. Peningkatan distribusi pangan, melalui penguatan kapasitas kelembagaan pangan
dan peningkatan infrastruktur perdesaan yang mendukung sistem distribusi
pangan, untuk menjamin keterjangkauan masyarakat atas pangan.
3. Peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil, melalui optimalisasi pemanfaatan
alat dan mesin pertanian untuk pasca panen dan pengolahan hasil, serta
pengembanan dan pemanfaatan teknologi pertanian untuk menurunkan
kehilangan hasil (looses).
4. Diversifikasi pangan, melalui peningkatan ketersediaan pangan hewani, buah dan
sayuran, perekayasaan sosial terhadap pola konsumsi masyarakat menuju pola
pangan dengan mutu yang semakin meningkat, dan peningkatan minat dan
kemudahan konsumsi pangan alternatif/pangan lokal.
5. Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, melalui peningkatan bantuan
pangan kepada keluarga miskin/rawan pangan, peningkatan pengawasan mutu
dan keamanan pangan, dan pengembangan sistem antisipasi dini terhadap
kerawanan pangan.
Progran pengembangan agribisnis ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya
usaha agrobisnis yang mencakup usaha di bidang agrobisnis hulu, on farm, hilir, dan
usaha jasa pendukungnya.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program ini meliputi:
1. Pengembangan diversifikasi usaha tani, melalui pengembangan usaha tani dengan
komoditas bernilai tinggi dan pengembangan kegiatan off-farm untuk
meningkatkan pendapatan dan nilai tambah;
2. Peningkatan nilai tambah produk pertanian dan perikanan melalui peningkatan
penanganan pascapanen, mutu, pengolahan hasil dan pemasaran, dan
pengembangan argoindustri di pedesaan;
95
3. Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian dan pedesaan, melalui
perbaikan jaringan irigasi dan jalan usaha tani, serta infrastruktur pedesaan
lainnya;
4. Peningkatan akses terhadap sumber daya produktif, terutama pemodalan;
5. Pengurangan hambatan perdagangan antarwilayah dan perlindungan dari sistem
perdagangan dunia yang tidak adil;
6. Peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset pertanian melalui
pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi yang
berwawasan lingkungan; dan
7. Pengembangan lembaga keuangan pedesaan dan sistem pendanaan yang layak
bagi usaha pertanian, antara lain melalui pengembangan dan penguatan lembaga
keuangan mikro/pedesaan, intensif pemodalan, dan pengembangan pola-pola
pembiayaan yang layak dan sesuai bagi usaha pertanian.
Program Peningkatan Kesejahteraan Petani bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
dan daya saing masyarakat pertanian, terutama petani yang tidak mendapat
menjangkau akses terhadap sumber daya usaha pertanian. Kegiatan pokok yang akan
dilakukan dalam program ini adalah:
1. Revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang secara
intensif perlu dikoordinasikan dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun
kabupaten;
2. Penumbuhan dan penguatan lembaga pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan
posisi tawar petani dan nelayan;
3. Penyederhanaan mekanisme dukungan kepada petani dan pengurangan hambatan
usaha pertanian;
4. Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia pertanian (a.1. petani, nelayan,
penyuluh dan aparat pembina)
5. Perlindungan terhadap petani dari persaingan usaha yang tidak sehat dan
perdagangan yang tidak adil; dan
6. Pengembangan upaya pengentasan kemiskinan.
96
Strategi umum untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan pertanian adalah
sebagai berikut:
a. Melaksanakan manajemen pembangunan yang bersih, transparan dan bebas KKN.
b. Meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen
pembangunan pertanian.
c. Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan.
d. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan memberdayakan SDM pertanian.
e. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian.
f. Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna.
g. Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian.
Empat belas (14) Arah kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembangunan pertanian
jangka panjang adalah:
a. Membangun basis bagi partisipasi petani;
b. Meningkatkan potensi basis produksi dan skala usaha pertanian;
c. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan sumberdaya insani pertanian yang
berkualitas;
d. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan infrastruktur pertanian:
e. Mewujudkan sistem pembiayaan pertanian tepat guna;
f. Mewujudkan sistem inovasi pertanian;
g. Penyediaan sistem insentif dan perlindungan bagi petani;
h. Mewujudkan sistem usahatani bernilai tinggi melalui intensifikasi, diverdifikasi
dan pewilayahan pengembangan komoditas unggulan;
i. Mewujudkan Agroindustri berbasis pertanian domestik di pedesaan;
j. Mewujudkan sistem rantai pasok terpadu berbasis kelembagaan pertanian yang
kokoh;
k. Menerapkan praktek pertanian dan manufaktur yang baik; dan
l. Mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berpihak kepada petani dan
pertanian.
97
Banyak kebijakan dan strategi yang terkait langsung dengan pembangunan pertanian,
namun kewenangannya berada di berbagai instansi lain. Kebijakan tersebut meliputi
kebijakan makro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan pengembangan
industri, kebijakan perdagangan, pemasaran, dan kerjasama internasional, kebijakan
pengembangan infrastruktur khususnya pengelolaan jaringan irigasi, rawa, dan
jaringan pengairan, kebijakan pengembangan kelembagaan (termasuk di dalamnya
lembaga keuangan, fungsi penelitian dan pengembangan, pengembangan SDM, dan
pengembangan organisasi petani), kebijakan pendayagunaan dan rehabilitasi
sumberdaya alam dan lingkungan, kebijakan pengembangan pusat pertumbuhan baru,
dan kebijakan pengembangan ketahanan pangan.
Beberapa kebijakan strategis yang perlu ditekankan dan memerlukan penanganan
segera yaitu:
a. Kebijakan ekonomi makro yang kondusif yaitu inflasi yang rendah, nilai tukar
yang stabil dan suku bunga riil positif.
b. Pembangunan infrastruktur pertanian meliputi pembangunan dan rehabilitasi
jaringan irigasi, perluasan lahan pertanian terutama di luar Jawa, pencegahan
konversi lahan terutama di Jawa, pengembangan jalan usaha tani dan jalan
produksi serta infrastruktur lainnya.
c. Kebijakan pembiayaan untuk mengembangkan lembaga keuangan yang khusus
melayani sektor pertanian, lembaga keuangan mikro, pembiayaan pola syariah,
dan lainnya.
d. Kebijakan perdagangan yang memfasilitasi kelancaran pemasaran baik di pasar
dalam negeri maupun ekspor. Selain itu, untuk melindungi sektor pertanian dari
persaingan di pasar dunia, diperlukan: (a) memperjuangkan konsep Strategic
Product (SP) dalam forum WTO; (b) penerapan tarif dan hambatan non-tarif
untuk komoditas-komoditas beras, kedelai, jagung, gula, beberapa produk
hortikultura dan peternakan.
98
e. Kebijakan pengembangan industri yang lebih menekankan pada agroindustri
skala kecil di perdesaan dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan pendapatan
petani.
f. Kebijakan investasi yang kondusif untuk lebih mendorong minat investor dalam
sektor pertanian.
g. Pembiayaan pembangunan yang lebih memprioritaskan anggaran untuk sektor
pertanian dan sektor-sektor pendukungnya.
h. Perhatian pemerintah daerah pada pembangunan pertanian meliputi: infrastuktur
pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi lingkup
pertanian, menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi daya saing
pertanian, serta alokasi APBD yang memadai.
Beberapa kebijakan yang langsung terkait dengan sektor pertanian dan dalam
kewenangan atau memerlukan masukkan dari Departemen Pertanian adalah sebagai
berikut:
b. Kebijakan dalam pelaksanaan manajemen pembangunan yang bersih, transparan,
dan bebas KKN, diarahkan untuk menyusun kebijakan peningkatan kesejahteraan
pegawai disertai penerapan reward and punishment secara konsisten.
c. Kebijakan dalam peningkatan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan
manajemen pembangunan pertanian, diarahkan untuk: (a) peningkatan
keterbukaan dalam perumusan kebijakan dan manajemen pembangunan
pertanian, (b) peningkatan evaluasi, pengawasan, dan pengendalian manajemen
pembangunan pertanian, (c) penyelarasan pembangunan pertanian antar sektor
dan wilayah.
d. Kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi secara
berkelanjutan diarahkan untuk: (a) peningkatan investasi swasta, (b) penataan
hak, kepemilikan dan penggunaan lahan, (c) kebijakan pewilayahan komoditas,
dan (d) penataan sistem pewarisan lahan pertanian.
e. Kebijakan dalam meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan SDM pertanian
diarahkan untuk: (a) menyusun kebijakan 16 revitalisasi penyuluhan,
99
pendampingan, pendidikan dan pelatihan pertanian, (b) peningkatan peran serta
masyarakat, (c) peningkatan kompetensi dan moral aparatur pertanian, (d)
penyelenggaraan pendidikan pertanian bagi petani, dan (e) pengembangan
kelembagaan petani.
f. Kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian
diarahkan untuk: (a) pengembangan sarana dan prasarana usaha pertanian, (b)
pengembangan lembaga keuangan perdesaan, (c) pengembangan sarana
pengolahan dan pemasaran.
g. Kebijakan dalam meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna
diarahkan untuk: (a) merespon permasalahan dan kebutuhan pengguna, (b)
mendukung optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian spesifik lokasi, (c)
pengembangan produk berdayasaing, (d) penyelarasan dan integrasi dengan
penguasaan IPTEK pertanian, dan (e) percepatan proses dan perluasan jaringan
diseminasi dan penjaringan umpan balik inovasi pertanian.
h. Kebijakan dalam meningkatkan promosi dan proteksi komoditas pertanian,
diarahkan untuk: (a) menyusun kebijakan subsidi tepat sasaran dalam sarana
produksi, harga output, dan bunga kredit untuk modal usahatani (b) peningkatan
ekspor dan pengendalian impor, (c) kebijakan penetapan tarif impor dan
pengaturan impor, (d) peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha, (e)
perbaikan kualitas dan standardisasi produk melalui penerapan teknologi
produksi, pengelolaan pasca panen dan pengolahan hasil, dan (f) penguatan
sistem pemasaran dan perlindungan usaha.
Dalam Perpres Nomor 7 tahun 2005 tentang RPJMN tahun 2004-2009 antara lain
diarahkan kemampuan produksi beras dalam negeri sebesar 90-95 persen dari
kebutuhan. Artinya kebutuhan beras dalam negeri sebaiknya dapat dipenuhi oleh
produksi dalam negeri paling tidak 90-95 %.
Bahwa pemerintah menargetkan agar terjaganya tingkat produksi beras dalam negeri
minimal 90 % menunjukan produksi beras sangat penting dan strategis karena
100
merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat. Hal ini dikarenakan pasar beras
internasional yang sangat tipis (thin market). Kebutuhan beras dalam waktu yang
sangat singkat sangat sulit dipenuhi pasar internasional dan karena pasarnya yang
sangat tipis, maka impor yang besar akan mendorong meningkatnya harga beras
dunia. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan produksi di atas 90 % juga terus
diupayakan bahkan dapat menjadi eksportir beras dunia. Toleransi impor sebesar
10 % dapat dibenarkan dan bisa saja terjadi bila produksi gagal tercapai.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka pemerintah membuat kebijakan
ketahanan pangan nasional yaitu sebagai berikut:
• Ketersediaan
• Meningkatkan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan
• Mengembangkan infrastruktur pertanian dan pedesaan
• Meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri
• Mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pemerintah dan
masyarakat
• Distribusi
• Meningkatkan sarana dan prasarana untuk efisiensi distribusi dan
perdagangan pangan
• Mengurangi dan atau menghilangkan Perda yang menghambat distribusi
pangan antar daerah
• Mengembangkan kelembagaan dan sarana fisik pengolahan dan pemasaran di
pedesaan
• Menyusun kebijakan harga pangan untuk melindungi produsen, pedagang dan
konsumen
• Konsumsi
• Meningkatkan kemampuan akses pangan rumah tangga sesuai kebutuhan
jumlah, mutu, keamanan dan gizi seimbang
101
• Mendorong, mengembangkan dan memfasilitasi peran serta masyarakat
• Mempercepat proses diversifikasi pangan kearah konsumsi yang beragam dan
bergizi seimbang
III.3.2 Kebijakan Propinsi Jawa Barat
Kebijakan pembangunan Provinsi Jawa Barat, yang telah menetapkan kasawan-
kawasan andalan dengan penetapan skala-skala prioritas (core) disetiap kawasan
andalan, dimana “ Pengembangan Agribisnis” telah menjadi pilihan sebagai core
hampir disetiap kawasan andalan, telah menunjukkan kesejalannya dengan kebijakan
pembangunan bidang ekonomi nasional yaitu “ revitalisasi pertanian, perikanan, dan
kehutanan” sebagai agenda dan prioritas pembangunan ekonomi 2005 – 2009.
Fokus dari kebijakan tersebut adalah untuk memecahkan masalah utama yang
dihadapi bangsa indonesia saat ini, yaitu tingginya kemiskinan dan pengangguran,
serta rendahnya daya saing produk indonesia, baik di pasar domestik maupun di pasar
internasional.
Dalam pemanfaatan ruang khususnya alih fungsi lahan pertanian di Propinsi Jawa
Barat. Pemerintah telah membuat suatu kebijakan yang dapat membantu kepentingan
Jawa Barat dalam pengelolaan lahan, dalam perspektif pengembangan wilayah
kepentingan Jawa Barat dalan hal penataan ruang adalah:
a. Mewujudkan keseimbangan daya beli, tingkat pendidikan dan derajat kesehatan
penduduk antar wilayah
b. Melaksanakan pembangunan berkelanjutan, berwawasan lingkungan termasuk
penghematan konsumsi energi
c. Menciptakan keserasian antara kawasan berfungsi lindung dan kawasan budidaya
d. Mewujudkan struktur ruang yang menjamin efisiensi infrastruktur wilayah dan
menarik bagi penanaman modal
102
Dalam hal penataan ruang adapun aspek pemanfaatan ruang di Jawa Barat adalah:
a. Mengarahkan pemanfaatan ruang yang berdasarkan sumberdaya potensial
setempat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
b. Menyesuaikan pemanfaatan ruang dengan daya dukung dan daya tampung DAS
c. Menata struktur ruang dan mengembangkan infrastruktur dengan fungsi yang
optimal terutama sebagai unsur yang menunjang aksesibilitas dan mampu
melayani kegiatan sosial ekonomi masyarakat
Rencana pola tata ruang Jawa Barat tahun 2010 terbagi dalam 2 (dua) kawasan yaitu
kawasan lindung dan kawasan budidaya. 1). Untuk kawasan lindung 45% yang
terbagi 2 yaitu: dalam kawasan hutan 19 % yang meliputi hutan konservasi dan hutan
lindung.
Luas kawasan hutan 26 % yang merupakan kawasan lindung non hutan. 2). Kawasan
budidaya 55 % yang terdiri dari dalam kawasan hutan 3 % yang merupakan hutan
produksi dan kawasan luar hutan 52 % yang terdiri dari sawah dan budidaya lain.
Titik berat pada pencapainan kawasan lindung 45% dan pengelolaan kawasan
budidaya khususnya lahan sawah.
Adapun kawasan budidaya sawah dalam Rencana Tata Ruang Jawa Barat seperti
pada gambar di bawah ini.
103
Gambar III.15 Kawasan Budidaya Sawah dalan Rencana Pola Tata Ruang Jawa
Barat 2010 (Sumber : Dokumen RTRWP Bapeda Jawa Barat, 2007)
Kebijakan alih fungsi lahan sesuai dengan PERDA RTRWP Jabar 2010 bahwa
Pengembangan kawasan budidaya lahan sawah bertujuan menjamin ketersediaan
produksi beras untuk swasembada beras Jawa Barat.
Rencana pengembangan kawasan budidaya lahan sawah :
a. Mempertahankan fungsi lahan di kawasan pertanian lahan basah, terutama lahan
sawah beririgasi teknis.
b. Meningkatkan produktivitas lahan sawah melalui upaya intensifikasi.
c. Mengembangkan infrastruktur sumberdaya air untuk menjamin ketersediaan air
dan jaringan irigasi.
Sasaran pengembangan kawasan budidaya lahan sawah :
a. Tidak adanya alih fungsi lahan sawah.
b. Meningkatnya produktivitas lahan sawah.
c. Terjaminnya ketersediaan air dan jaringan irigasi.
104
Pasal 17 (Perda 2/2003 tentang RTRWP Jabar) Untuk mewujudkan pola tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) Pasal 11 Peraturan Daerah ini, maka kebijakan
pola tata ruang kawasan budidaya adalah mempertahankan lahan sawah.
Pasal 73 Untuk mempertahankan lahan sawah terutama yang beririgasi teknis,
program pengembangannya adalah sebagai berikut :
a. pengukuhan kawasan pertanian lahan basah khususnya lahan sawah beririgasi
teknis;
b. peningkatan pelayanan infrastruktur pertanian untuk mempertahankan keberadaan
fungsi lahan sawah beririgasi teknis;
c. mengendalikan alih fungsi lahan sawah.
Pasal 74 yaitu
1. Pengukuhan kawasan pertanian lahan basah khususnya lahan sawah beririgasi
teknis sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 73 Peraturan Daerah ini,
dilakukan melalui kegiatan pemetaan dan penetapan lahan sawah beririgasi
teknis.
2. Peningkatan pelayanan infrastruktur pertanian untuk mempertahankan
keberadaan fungsi lahan sawah beririgasi teknis sebagaimana dimaksud dalam
huruf b Pasal 73 Peraturan Daerah ini, diprioritaskan melalui kegiatan
peningkatan jaringan irigasi, baik pada irigasi primer, sekunder dan tersier,
termasuk irigasi desa.
3. Pengendalian alih fungsi lahan sawah sebagaimana dimaksud huruf c Pasal 73
Peraturan Daerah ini dilákukan melalui mekanisme perizinan pemanfaatan
ruang.
Kebijakan ketahanan pangan di Jawa Barat tahun 2008 melalui Program Peningkatan
Ketahanan Pangan adalah sebagai berikut:
1) Pengendalian tingkat kerawanan pangan masyarakat
105
2) Peningkatan keragaman konsumsi, kualitas dan menurunnya ketergantungan pada
pangan pokok beras serta ketersediaannya sepanjang tahun
3) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi
pangan yang beragam, bergizi dan berimbang
Kesepakatan bersama Gubernur/Ketua dewan ketahanan pangan Propinsi dalam
konferensi dewan ketahanan pangan 2006 mengenai perwujudan ketahanan pangan
wilayah dan nasional adalah sebagai berikut:
1. Memperkuat upaya penurunan tingkat kelaparan dan kemiskinan sekurang-
kurangnya 1 persen per tahun sebagaimana komitmen Indonesia dalam Deklarasi
Roma tahun 1996 pada Konferensi Tingkat Tinggi Pangan Dunia serta untuk
mencapai Millenium Development Goals.
2. Meneguhkan dan memantapkan upaya-upaya diversifikasi konsumsi pangan yang
beragam, dan bergizi seimbang serta aman, sesuai dengan kondisi dan situasi
daerah, dengan mengutamakan sumber pangan lokal untuk mencegah
ketergantungan terhadap beras, sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH).
3. Melaksanakan pengamatan dini kerawanan pangan serta mengembangkan
cadangan pangan daerah dalam bentuk lumbung pangan masyarakat dan
kelembagaan cadangan pangan lainnya, untuk mengantisipasi kondisi darurat
(bencana alam, kerawanan pangan kronis dan lain-lain), yang mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat yang bersangkutan minimal 3 bulan.
4. Menjaga ketersediaan pangan melalui upaya-upaya peningkatan produksi dan
produktivitas pangan nabati dan hewani sesuai potensi wilayah masing-masing,
mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, serta memperlancar distribusi pangan.
5. Mempermudah akses petani terhadap sarana produksi termasuk lahan dan
permodalan.
6. Mengembangkan Desa Mandiri Pangan dengan melibatkan sektor terkait dan
mengalokasikan anggaran daerah serta menggalang sumber-sumber dana
masyarakat yang memadai.
106
7. Memantapkan kelembagaan struktural yaitu Badan Ketahanan Pangan dan
Penyuluhan Pertanian dalam arti luas serta kelembagaan fungsional Dewan
Ketahanan Pangan, serta menyediakan dana APBD yang memadai untuk
mewujudkan ketahanan pangan.
8. Meningkatkan sistem penyelenggaraan pendidikan dan penyuluhan pertanian,
kependudukan, pangan dan gizi, kesehatan serta lingkungan, menuju keluarga
sejahtera yang sadar pangan dan gizi.
9. Mengusulkan kepada Presiden untuk mempertimbangkan pembentukan
Kementerian/Lembaga setingkat Menteri yang bertanggungjawab penuh dalam
peningkatan ketahanan pangan dan gizi.
10. Meminta Dewan Ketahanan Pangan untuk menyusun indikator, instrumen,
monitoring dan evaluasi serta target : Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015.
Adapun sasaran ketahanan pangan Jawa Barat adalah sebagai berikut:
1) Sasaran ketahanan pangan manusia/rumah tangga yaitu: Masyarakat (manusia)
mampu mengkonsumsi pangan dengan gizi seimbang (tercapai status gizi baik)
2) Sasaran swasembada pangan komoditi yaitu: Produksi (komoditi) pangan cukup
untuk memenuhi kebutuhan domestik (tidak diperlukan impor)
Indikator ketahanan pangan adalah:
1) Ketersediaan : Pangan tersedia cukup untuk seluruh penduduk (volume,
keragaman, mutu, aman dikonsumsi)
2) Distribusi : Pasokan pangan merata ke seluruh wilayah, harga stabil dan
terjangkau
3) Konsumsi : Rumah tangga mampu mengakses cukup pangan dan mengelola
konsumsi sesuai kaidah gizi dan kesehatan
Adapun kerangka sistem ketahanan pangan di Jawa Barat adalah sebagai berikut:
107
Gambar III.16 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan di Jawa Barat
(Pemprop Jabar 2007)
Jawa Barat sampai saat ini dalam mempertahankan ketahanan pangan masih terfokus
pada komoditi beras, karena beras merupakan komoditi unggulan di Jawa barat,
antara lain:
1) Jawa Barat sebagai kontributor beras terbesar di Indonesia (18% = 6,24 juta
ton/tahun)
2) Jawa Barat penghasil beras kualitas terbaik (beras cianjur, sumedang, setra,
jembar)
3) Beras sebagai komoditi unggulan merupakan komitmen seluruh warga Jawa Barat
sejak tahun 2001
Adapun siklus perberasan di Jawa Barat adalah sebagai berikut:
NASIONAL, PROVINSI, KABUPATEN
RUMAH TANGGA INDIVIDU
KETERSEDIAAN
DISTRIBUSI
KONSUMSI
PENDAPATAN DAN AKSES
PANGAN
PENGELOLAAN
KONSUMSI & POLA ASUH
KELUARGA
SANITASI & KESEHATAN
KONSUMSI SESUAI
KEBUTUHAN GIZI
PEMANFAATAN OLEH TUBUH
OUTPUT Pemenuhan Hak Atas Pangan Sumber Daya Manusia Berkualitas Ketahanan Nasional
S T A T U S G I Z I
IINNPPUUTT Kebijakan dan Kinerja Sektor Ekonomi, Sosial dan Politk :
• Ekonomi
- Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Prasarana/Sarana
- Lahan/Pertanahan
- Sumberdaya Air/Irigasi
- Perhubungan/ Transportasi
- Permodalan
Kesra
- Kependudukan
- Pendidikan
- Kesehatan
Stabilitas dan Keamanan Nasional
108
Gambar III.17 Model Siklus Perberasan di Jawa Barat
(Sumber: Pemprop Jabar 2007)
Melalui sistem yang dikembangkan oleh Jawa Barat diharapkan beras mempunyai
nilai tambah tersendiri bagi warga Jawa Barat dan memberikan nilai tambah bagi para
petani agar dapat meningkatkan kehidupan petani di daerah. Terobosan strategi
perberasan di Jawa Barat telah dibentuk dan dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Error! Objects cannot be created from editing field codes.
Gambar III.18 Strategi Perberasan di Jawa Barat
(Sumber: Pemprop Jabar 2007)
III.3.3 Kebijakan, Program, dan Prioritas Pertanian Jawa Barat
Kebijakan dasar Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat dalam menjawab tantangan
pembangunan ke depan, pemerintah pusat telah menetapkan “Revitalisasi Pertanian”
sebagai perioritas dan agenda pembangunan bidang ekonomi tahun 2005 – 2009.
PASAR BERAS YANG TIDAK TERORGANISIR
PEDAGANG GABAH
INDUSTRI BERAS/ PENGGILINGAN PADI
PRODUSEN
PETANI
KONSUMEN
• LUEP
• RESI GUDANG
• LUMBUNG PANGAN
• TEKNOLOGI PASCA PANEN
PENATAAN PASAR BERAS
PANEN :
• HARGA GABAH JATUH
• KURANGNYA PENYULUHAN PASCA PANEN, PEMASARAN DAN MANAJEMEN USAHA
• PENURUNAN KUALITAS BERAS
• MUNCULNYA SPEKULAN BERAS
• DISTORSI RANTAI NIAGA
• PENINGKATAN TARGET RENDEMEN (65% )
• PERBAIKAN PENANGANAN PASCA PANEN
• KEMITRAAN USAHA DENGAN BULOG (SILO)
• REVITALISASI KELEMBAGAAN PETANI
• PERBAIKAN SISTEM PASAR
• GANGGUAN OPT
• AKSES LAHAN
• PENINGKATAN INFRASTRUKTUR
• PENYELAMATAN LAHAN PRODUKTIF/BERIRIGASI TEKNIS
PEDAGANG BERAS
109
dalam agendanya pula Pemerintah Propinsi Jawa Barat tahun 2003 – 2008 telah lebih
dahulu menetapkan kebijakan yang sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional
yaitu ditetapkannya Visi “Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna
Mendukung Pencapaian Visi Jawa Barat Tahun 2010“.
Mengacu pada kebijakan pola Dasar Pembangunan Propinsi Jawa Barat di atas, Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat telah merumuskan dan menetapkan
Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2006 – 2010, yang substansi mendasarnya
dituangkan dalam Visi “Sebagai Pengatur Handal Dalam Mewujudkan Agribisnis
Tanaman Pangan Termaju di Indonesia Tahun 2010“.
Untuk memberikan arah dan acuan dalam implementasi pelaksanaan kegiatan
operasional untuk mewujudkan visi tersebut, ditetapkan 3 misi berikut:
1. Mewujudkan sumberdaya manusia pertanian tanaman pangan yang maju, mandiri
dan produktif.
2. Mengembangkan pengaturan agribisnis tanaman pangan yang bernilai tambah,
berdayasaing tinggi, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
3. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya buatan
secara bijaksana, berwawasan lingkungan, serta menjamin kelestarian daya
dukungnya bagi pengembangan agribisnis tamanan pangan yang berkelanjutan.
Adapun kerangka logis program pembangunan pertanian tanaman pangan dan
holtikultura adalah sebagai berikut:
110
Pokok Permasalahan Faktor Penyebab
Gambar III.19 Kerangka Logis Program Pembangunan Pertanian I
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2006)
1. Pemilikan lahan sempit <0,25 Ha = 54,37 % RTP, 0,25-1,0 Ha= 37,34 % dan > 1,0 Ha = 8, 29% dengan petani gurem mencapai 2,5 juta (79%) dan buruh tani sekitar 2, 69 juta RTP.
2. Standar kompetensi petani rendah, akibat regenerasi tidak berlangsung secara baik (hanya 16% AKP berumur<30 tahun, sementara >50 tahun masih > 38% AKP, kinerja penyuluhan sangat menurun, serta standar pendidikan AKP umumnya rendah (lebih dari 80% standar pendidikan SR/SD dengan usia lanjut.
3. Nilai tambah usaha tani rendah, akibat rendahnya penerapan teknologi, modal, dan manajemen efisiensi proses produksi (tingkat terapan teknologi sekitar 65,53% dan efisiensi usaha tani sekitar 65,78%)
4. Optimalisasi lahan masih rendah (sekitar57%) perkembangan luas tanam palawija dan holtikultura unggulan masih terbatas dilahan kering, sementara dilahan sawah terbatas (<15%)
5. Produktivitas angkatan kerja pertanian rendah, akibat daya serap lapangan kerja terbatas pada on-farm, dengan tingkat kemampuan penyediaan sekitar 48,0% (627 juta hok dari kebutuhan sekitar 1,35 Milyar hok/th) serta tingkat upah yang belum layak (upah tenaga kerja pria sekitar Rp. 15.000 dan wanita sekitar Rp. 7.500/hari.
I Tingginya kemiskinan,
Pengangguran dan rendahnya daya saing
produk pertanian
Kemiskinan dan pengangguran di bidang pertanian lebih dari 50%
dari sekitar 27,18% RTP/10,15 juta
penduduk miskin di Jabar
111
Pokok Permasalahan Faktor Penyebab
1. Tingkat keunggulan kompetitif komoditi
padi secara umum berada di bawah komoditi palawija dan holtikultura unggulan
2. Menurunya tingkat kesuburan lahan sawah,
baik secara fisik, kimiawi maupun biologi 3. Lambatnya saya serap inovasi petani dan
rendahnya akses petani dalam off-farm hulu dan hilir
4. Bangan kelembagaan ekonomi petani
dipedesaan dan kelembagaan ekonomi pendukung
5. Terbatasnya investasi swasta/BUMN dalam
mengembangkan industri hulu dan industri hilir (agroindustri) di pedesaan
6. Masih kurangnya kelengkapan dan kualitas
sarana, prasarana dan infrastruktur di perdesaan, khususnya pada ekologi lahan sawah (kualitas sarana irigasi semakin menurun)
7. Semakin meningkatnya permintaan produksi
padi akibat laju pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi (sekitar 2% per tahun)
8. Semakin kecilnya skala usaha tani, akibat
alih fungsi lahan dan budaya waris.
II Semakin beratnya
upaya melestarikan peningkatan produksi
bahan pangan khususnya beras guna
meningkatkan ketahanan pangan
112
Gambar III.20 Kerangka Logis Program Pembangunan Pertanian II (Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2006)
Program Prioritas & Fokus Kegiatan Sasaran
1. Pemantapan dan penajaman kegia-tan program dan rencana kerja tahunan, peningkatan kualitas data statistik dan informasi, serta pe-ningkatan optimal monitoring ke-giatan dan evaluasi proses dan hasil pelaksanaan kegiatan program
2. Percepatan peningkatan kualitas dan daya ubah keadaan SDM petani serta produktivitas angkatan kerja pertanian.
3. Pengembangan skala usaha tani, sentra produksi, kawasan andalan, melalui peningkatan keberdayaan lembaga petani
4. Percepatan peningkatan optima-lisasi lahan dan penataan pola produksi dengan usaha tani terpadu komoditi unggulan
5. Percapatan peningkatan produk-tivitas den efisiensi proses pro-duksi, untuk mendorong nilai tambah dan daya saing produk pertanian TPH
6. Pengembangan kesempatan kerja-/usaha dengan peningkatan akses petani pada of-farm hulu dan hilir
7. Motivasi investasi dalam pengem-bagnan ogroindustri di pedesaan dan kemitraan agribisnis
8. Pengembangan regenerasi petani yang berjalan lebih baik ke kualitas SDM petani memenuhi standar kompetensi pelaku agribisnis yang kompetitif
9. Pengembangan agribisnis ramah lingkungan (organik, agen hayati dll)
1. Peningkatan ketahanan pangan
2. Peningkatan lapangan kerja/usaha, daya saing dan nilai tambah
3. Peningkatan kontribusi terhadap PDRB
4. Peningkatan daya dorong terhadap pembangu-nan sektor lain
5. Peningkatan devisa
Daya beli pendidikan
harapan hidup (kesehatan)
IPM
KESEJAHTERAAN
Agribisnis
Ketahanan Pangan
Pember-dayaan SDM Pertanian
113
Gambar III.21 Kerangka Logis Program Pembangunan Pertanian III (Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2006)
Berdasarkan kerangka logis permasalahan utama yang mengakibatkan kemisknan,
pengangguran dan daya saing produk pertanian tanaman pangan. Sejalan dengan
program akselerasi pemerintah daerah, departemen pertanian melalui Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan dan Holtikultura, mengembangkan 3 program pokok, yaitu
program peningkatan ketahanan pangan, program peningkatan nilai tambah (program
agribisnis), dan program peningkatan kesejahteraan masyarakat tani (pemberdayaan
SDM petani).
Potensi pembangunan pertanian kedepan mempunyai peluang/prospek kedepan yang
cukup besar ini dikarenakan:
1. Belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya dan nilai tambah agribisnis seperti
ditunjukkan antara lain oleh pemanfaatan sumberdaya pertanian masih belum
optimal dan masih banyak tersedia lahan potensial yang belum dimanfaatkan.
2. Keanekaragaman hayati yang dimiliki belum dimanfaatkan dan dikembangkan
secara maksimal
3. Masih tingginya tingkat kehilangan hasil/kerusakan pasca panen dan masih
rendahnya mutu produk, sehingga sangat dimungkinkan terjadinya peningkatan
nilai tambah melalui perbaikan pasca panen dan mutu produk
4. Masih belum aksesnya petani/kelembagaan petani dalam memanfaatkan peluang
kesempatan kerja/kesempatan usaha dan nilai tambah yang tersedia pada off-farm
hulu dan hilir.
Kebijakan operasional pembangunan pertanian Jawa Barat masih ditekankan pada
upaya peningkatan kesejahteraan, pendapatan petani melalui upaya sebagai berukut:
114
1. Peningkatan adopsi inovasi dan kemampuan manajemen petani dalam proses
produksi usaha tani
2. Peningkatan mutu itensifikasi
3. Peningkatan areal tanam
4. Penyebaran penerapan teknologi
5. Pengembangan produksi dan peningkatan nilai tambah
6. Pengembangan sarana dan prasarana
7. Pengembangan kelembagaan
8. Pengembangan pemasaran
Sejalan dengan tuntutan akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat
dan revitalisasi pertanian, maka tujuan pembangunan pertanian tahun 2005 – 2009
memprioritaskan kepada:
1. Meningkatkan produksi bahan pangan yang berdaya saing untuk memenuhi
kebutuhan pangan/pakan didalam negeri dalam rangka mewujudkan kelestarian
dan peningkatan ketahanan pangan, serta memenuhi tuntutan pemenuhan bahan
baku industri pengolahan hasil pertanian, sejalan dengan tuntutan permintaan
pasar baik domestik, maupun internasional/ekspor
2. Meningkatkan optimalisasi lahan dengan penataan pola produksi terpadu melalui
keragaman komoditi unggulan, baik dalam upaya peningkatan produksi,
perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dan peningkatan daya
dukung lahan bagi peningkatan pendapatan petani dan keluarganya
3. Meningkatkan efisiensi proses produksi agribisnis dalam rangka peningkatan nilai
tambah dan daya saing produk, dalam rangka peningkatan produktivitas dan
pendapatan angkatan kerja pertanian.
4. Meningkatkan akses petani dan kelembagaannya dalam pengloahan sub hulu dan
hilir, dalam rangka perluasan kesempatan kerja/kesempatan berusaha dan nilai
tambah/pendapatan
115
5. Mengembangkan kualitas produk primer dan keragaman produk olahan untuk
mendukung diversifikasi pangan, pemenuhan peluang permintaan pasar, dan
peningkatan kesempatan kerja dan produktivitas tenaga kerja pedesaan
6. Meningkatkan peluang investasi dan kemitraan swasta/BUMN/BUMD dalam
bidang agribisnis
7. Mendorong pembangunan ekonomi pedesaan melalui pengembangan sistem dan
perusahaan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan
terdesentralisasi.
8. Meningkatkan kelestarian dan kesinambungan usaha pertanian dalam rangka
pembangunan struktur perekonomian pedesaan yang tangguh
Program dan berbagai kegiatan prioritas yang dilaksanakan dalam pembangunan
pertanian di Jawa Barat, dalam upaya pencapaian sasarannya, sasaran pencapaian
produksi tanaman pangan dan holtikultura di Jawa Barat, berdasarkan pendekatan
untuk menunjang peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan nilai
tambah/pendapatan bagi petani.
Tujuan dari sasaran pembangunan pertanian akan terwujud bila mampu menciptakan
iklim yang kondusif, dimana semua faktor yang terkait baik secara langsung maupun
tidak langsung mulai dari hulu, on farm, sampai hilir berada dalam kondisi yang ideal
dan optimal. Kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Pengembangan Sub Sistem Off-Farm Hulu
Pengembangan infrastruktur, sarana dan prasarana pertanian, seperti jalan
usaha tani, jaringan irigasi dan tata guna air dalam keadaan normal sehingga
penyediaan air bagi tanaman dapat terjalin sesuai kebutuhan
Pengembangan produsen benih unggul bermutu, dan kemandirian lembaga
petani dalam usaha perbenihan
116
Penyediaan pemodalan baik melalui skim kredit ketahanan pangan dapat
ditingkatkan realisasinya, serta skim micro finance dan model/skim kredit
lainnya berjalan sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
Penyediaan dan pendistribusian pupuk dari lini I sampai IV dan sampai ke
petani berjalan lancar dan dapat memenuhi prinsip enam tepat ( jenis, waktu,
lokasi, mutu, jumlah dan harga) sehingga petani dapat memperoleh dan
penerapan pemupukan sesuai anjuran
Penyediaan dan pendistribusian benih varitas unggul bermutu dan bersertifikat
berjalan lancar.
Sarana dan prasarana pengendalian OPT tersedia di tingkat petani saat
dibutuhkan, dan tepat digunakan untuk pengamanan dari serangan OPT secara
dini, pengendalian daerah sumber serangan dan eksplosi OPT.
Usaha pelayanan jasa alsintan dapat melayani jasa mulai dari pra sampai
pasca panen sesuai jadwal dan kebutuhan petani.
b. Pengembangan Sub Sistem Proses Produksi (On-Farm)
Penataan pola produksi sejalan dengan pola permintaan pasar, dengan
pengembangan berbagai komoditi unggulan, baik pada lahan sawah maupun
pada lahan kering.
Peningkatan manajemen proses produksi efisien, dengan pengembangan
usaha tani berskala ekonomis dan penglolahan secara kooperatif (kelompok
tani harapan, gapoktan wilayah harapan, koperasi tani sentra produksi, dan
asosiasi komoditi kawasan andalan agribisnis)
Penigkatan keberdayaan petani dalam upaya penguasaan dan penggunaan
teknologi maju lokalita dan tepat guna sesuai anjuran sehingga produktivitas
dapat meningkat.
Peningkatan kuantitas, kualitas dan kontinuitas produk sejalan dengan standar
permintaan pasar/konsumen
117
Adanya peningkatan penyuluhan teknologi produksi (penyiapan lahan,
pemanfaatan air, pola tanam, pemupukan, penggunaan benih unggul bermutu,
pengendalian OPT, panen dan pasca panen)
Pengembangan koordinasi/penetapan kuota produksi antar sentra produksi,
antar kawasan andalan, antar kabupaten/kota dan antar propinsi.
c. Pengembangan Sub Sistem Off-Farm Hilir (Pengolahan dan Pemasaran Hasil)
Peningkatan kemandirian kelembagaan petani dalam mengembangkan usaha
pengolahan hasil dan kerjasama dalam pemasaran
Pengembangan kemitraan, terutama dalam pengolahan dan pemasaran hasil,
serta motivasi dan fasilitasi investasi dalam pengembangan agrobisnis di
pedesaan
Promosi produk-produk pertanian tanaman pangan dan hotikultura unggulan,
serta regulasi kebijaksanaan impor berbagai produk pertanian.
Pengembangan sistem kucuran kredit dana talangan pengolahan hasil dan
pemasaran
Peningkatan kerjasama regional
Adapun alur pikir pengembangan sistem dan usaha agribisnis tanaman pangan Jawa
Barat dapat di lihat pada gambar di bawah ini:
PELAYANAN & FASILITASI
SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS
HULU ON FARM HILIR
KEBIJAKAN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS
TUJUAN - KETAHANAN
PANGAN - PENDAPATAN - KESEMPATAN
KERJA - EK. NASIONAL - EK. REGIONAL - DEVISA
KEBIJAKAN MAKRO
SDM & SDA
KELEMBAGAAN
TEKNOLOGI
MODAL
118
Gambar III.22 Alur Pikir Pengembanan Sistem dan Usaha Agribisnis Tanaman Pangan Jawa Barat (Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2006)
Pencapaian program kegiatan untuk meningkatkan produksi padi di Jawa Barat
diukur berdasarkan atas keberhasilan serta kegagalan dalam mencapai sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan. Indikator yang ukur adalah pencapaian areal tanam,
panen, produksi, dan produktivitas, penyaluran sarana produksi, perkembangan alat
mesin pertanian dan kegiatan lainnya yang merupakan pendukung untuk
meningkatkan produksi padi di Jawa Barat.
Untuk meningkatkan produksi padi di Jawa Barat karena adanya konversi lahan
pertanian setiap tahun maka untuk menanggulanginnya maka program peningkatan
produksi padi dari Dinas Pertanian Jawa Barat antara lain dengan penyediaan sarana
produksi pupuk, penyediaan benih dan pengembangan alat mesin pertanian. Untuk
pemberian pupuk, adapun jenis pupuk yang digunakan yaitu urea, SP-36, ZA, dan
NPK/Phonska. Dengan intensifikasi pemberian pupuk yang berkualitas diharapkan
dapat meningkatkan produksi padi di Jawa Barat.
Untuk penyediaan benih berupa benih sumber dan sebar yang berfungsi untuk
meningkatkan produksi padi dan nilai tambah proses produksi, unsur teknologi benih
unggul bermutu sangat menentukan, adapun jenis benih padi unggul yang digunakan
di Jawa Barat yaitu jenis benih sumber dan jenis benih sebar dari balai pengembangan
benih padi cinea. Pengembangan jenis benih unggul tersebut dari tahun 2003 – 2006
untuk komoditi padi menunjukkan peningkatan penggunaan benih unggul yang
dilakukan oleh Dinas maupun petani di Jawa Barat.
119
Untuk meningkatan produksi padi juga dilakukan dengan pengembangan alat mesin
pertanian, peningkatan jumlah dan kualitas alat mesin pertanian (mekanisasi
pertanian), merupakan faktor penting dalam mendukung perkembangan agribisnis,
karena akan sangat tinggi peranannya dalam percepatan/penertiban tata dan pola
tanam, peningkatan efisiensi proses produksi, peningkatan kualitas produk sesuai
standar mutu serta mengatasi keterbatasan tenaga kerja manusia pada saat akumulasi
kegiatan usaha tani sedang sangat tinggi.
Permasalahan mendasar dalam pengembangan alat mesin pertanian oleh masyarakat
petani, khususnya berkaitan dengan terbatasnya kemampuan pengelolaan usaha alat
mesin, serta terbatasnya modal akibat masih sangat terbatasnya kelembagaan
keuangan (bank) memberikan dukungan kredit. Kalaupun ada umumnya terkendala
oleh permasalahan kelayakan syarat administrasi agunan yang pada umumnya tidak
dimiliki oleh masyarakat petani. Perkembangan alat mesin pertanian di Jawa Barat
tahun 2003 – 2007 adalah sebagai berikut:
Tabel III.10 Perkembangan Alat Mesin Pertanian Jawa Barat Tahun 2003 – 2007
(Sumber: Data Dinas Pertanian Jawa Barat 2008)
NO. JENIS ALAT MESIN JUMLAH (UNIT)
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
1 Traktor 14.840 14.589 15.249 15.283 - 2 Pompa Air 7.441 8.441 8.607 8.684 8.607 3 Hand Spreyer - 183.663 158.507 185.577 - 4 Power Spreyer - 400 614 668 - 5 Mist Blower - 1.027 1.118 1.118 - 6 Emposan Tikus - 59.141 62.718 62.718 - 7 Banting Bertirai 1.391 512.682 513.985 513.945 497.305 8 Pedal Threser 4.695 4.994 5.126 5.126 4.399 9 Power Threser 868 1.694 2.016 2.016 2.001 10 Winower - 2.782 2.885 2.885 2.236 11 Drayer 39 394 462 462 661 12 Lantai Jemur - 1.897.638 2.611.656 2.611.656 2.611.61113 Huler - 16.539 26.271 26.815 - 14 Sabit Bergerigi - 808.309 938.641 938.641 44.504 15 Alat Pasca Panen 4.691 10.416 14.620 14.620 12.431 a. Pengglingan padi besar - 176 1.187 1.187 3.287
120
b. Pengglingan Padi Kecil - 9.732 12.852 12.852 8.516 c. RMU 4.540 242 268 268 310 d. Pemipil Jagung 151 266 313 313 318 Jumlah 38.656 3.533.125 4.377.095 4.404.834 3.196.186
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa peningkatan mesin pertanian terjadi pada tahun
2003 dan tahun 2004 namun pada tahun berikutnya terjadi perubahan yang tidak
signifikan karena disebabkan keterbatasan dukungan pemerintah dalam memfasilitasi
sarana prasarana alat mesin pertanian.