bab iv analisa kearifan lokal di tengah penjualan...
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISA KEARIFAN LOKAL DI TENGAH PENJUALAN
TANAH
Pembahasan dalam Bab IV merupakan sebuah analisa dari data lapangan yang telah
dideskripsikan dalam Bab III. Penulis menganalisa pokok-pokok yang dikembangkan dalam
Bab III dengan landasan teori yang ada di Bab II. Penulisan ini ditujukan untuk menjawab
rumusan masalah sebagaimana yang telah ditulis pada Bab I.
1. Dampak Pembangunan bagi Pergeseran Kearifan Lokal
Pembangunan adalah suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara
sadar oleh Pemerintah dan masyarakat untuk mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik.1
Pembangunan dan percepatan arus pasar seringkali diamati terjadi di daerah perkotaan
sementara bagi masyarakat di pedalaman seringkali tidak terjangkau dengan baik. Untuk
itulah pemerintah membuka pintu bagi masuknya perusahaan di daerah pedalaman Kalimatan
Barat dengan tujuan membangun kehidupan perekonomian di pedalaman sekaligus menjadi
sumber pendapatan daerah. Kalimantan Barat dijadikan sebagai daerah potensi pemasok kayu
dan hasil potensial dari hutan dan perkebunan untuk kebutuhan pasar regional maupun
internasional sehingga dapat menghasilkan devisa yang sangat besar bagi anggaran
pendapatan nasional.2 Proses ini adalah bagian dari proses globalisasi yaitu terkait tentang
pasar, perekonomian, hubungan antar negara dan penyebaran ke pelosok. Proses ini yang
menjadikan masyarakat yang terpencil menjadi bagian dari proses percepatan gerak
perekonomian di dunia.
1 Syarif Ibrahim Alqadrie, “Dampak Perusahaan HPH & Perkebunan terhadap Kehidupan Sosial
Ekonomi dan Budaya Penduduk Setempat di Daerah Pedalaman Kalimatan Barat,” Paulus Florus (ed)
Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (Pontianak: Institut Dayakologi, 2001), 220.
2 Alqadrie, “Dampak Perusahaan HPH…”Kebudayaan Dayak…,221.
Hal yang menjadi kekhawatiran dari beberapa lembaga adat di Kalimantan Barat dan
pemerhati lingkungan ialah kehadiran perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
yang didukung oleh pemerintah memberi dampak negatif terutama bagi kearifan lokal
masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Bahwa pembangunan yang didengungkan oleh
pemerintah sebenarnya memberi celah bagi perusahaan HPH untuk menguasai tanah milik
masyarakat adat. Tekanan terhadap masyarakat adat dengan dalil pembangunan dimulai dari
masa pemerintahan Suharto dengan mengizinkan perusahaan swasta mengembangkan
perkebunan skala besar dan memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan untuk membuat
perkebunan di pedalaman Kalimantan Barat. Tekanan terhadap masyarakat adat ini adalah
nalar dagang sebagai bagian dari globalisasi menitikberatkan strategi ekonomi untuk
peningkatan Growth Domestic Progress (GDP)3
Globalisasi menyebar sampai ke pelosok dunia menjadikan dunia tanpa batas.
Fase-fase dalam globalisasi menunjukkan adanya kompetisi, pasar dan kerjasama antar
negara.Tuntutan dari globalisasi ialah keterkaitan dengan proses besar dunia atau akhirnya
menjadi terasing. Proses keterkaitan ini banyak terjadi dalam hal ekonomi. Itulah yang
disebutkan dengan yang ekonomi mulai membudaya sedangkan yang budaya semakin
menjadi yang ekonomis. 4 Proses globalisasi ini melihat dari perkembangan perusahaan
dalam tuntutan kepentingan pasar dan proses itu juga mendorong negara untuk memenuhi
tuntutan akan kebutuhan dan ikut serta persaingan (kompetisi) serta kolaborasi. Ujud dari
persaingan dan kolaborasi itu ialah kebutuhan untuk memajukan perekonomian. Cara yang
ditempuh untuk memajukan perekonomian disertai dengan pemberdayaan atas sumber daya
alam maupun sumber daya manusia.
3 Dominggus Elcid Li, “Tanah Ulayat, Kapitalisme Global dan Sikap Gereja”, Zakaria Ngelow (ed)
Teologi Tanah (Makassar: Yayasan Oase Intim, 2015), 227.
4 George Ritzer dan Barry Smart, Handbook Teori Sosial (Bandung: Mega Media, 2011), 921.
Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang mengalami perubahan dalam bidang
ekonomi, sosial dan budaya. Penulis mengamati dari segi budaya ialah pergeseran
pemahaman mereka terhadap nilai kearifan lokal. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dipaparkan dalam bab III diketahui bahwa masyarakat Dayak Bakati sangat menjunjung
tinggi nilai tanah. Tanah bagi mereka adalah hidup/nyawa tidak boleh dipindahtangankan
apalagi dijual sehingga tanah mereka jaga dan wariskan kepada generasi berikutnya. Tanah
bukan sebagai lahan komoditas tetapi sebagai pemberi hidup.
Masyarakat di pedalaman Kalimantan memiliki pola hidup sederhana yaitu bekerja
sebagai petani. Pemahaman mereka tentang menjalani hidup adalah dengan bergantung
sepenuhnya dengan apa yang diberikan oleh alam. Itulah sebabnya mereka tidak mengenal
istilah jual-beli tanah pada zaman dahulu kala. Tanah dan kekayaan alam adalah pilar
kehidupan masyarakat Dayak.5 Penulis mencoba menemukan kata ‘jual-beli’ tentang dalam
buku Aturan Adat tetapi tidak ditemukan. Istilah ini baru kemudian muncul saat masuknya
perusahaan perkebunan kelapa sawit dan penambangan di Kalimantan Barat. Penulis
mengamati telah terjadi pergeseran kearifan lokal seiring dengan masuknya perusahaan di
Sungai Kajang. Hal ini ditandai dengan beberapa perilaku
a. Penjualan tanah baik secara pribadi maupun kelompok kepada perusahaan
dengan cara Hak Guna Usaha (HGU) dan juga kepada pemilik modal pribadi.
b. Munculnya persoalan sengketa tanah karena ukuran dalam kehidupan sosial
ialah materi (uang) dan mengakibatkan luruhnya nilai trust antara sesama
orang dayak. Padahal dahulu mereka memiliki keenganan untuk melanggar
batas tanah milik orang lain. Batas tempasan antara satu dengan yang lainnya
dilandasi oleh rasa percaya dan kesadaran bahwa milik orang lain pantang
untuk dilanggar
5 Stepanus Djuweng dan Welas Karenak, Manusia Dayak, Orang Kecil yang Terperangkap
Modernisasi (Pontianak: Institut Dayakologi, 2005), 5.
c. Munculnya keserakahan yang mengakibatkan luruhnya nilai sakral tanah.
Luruhnya nilai sakral dan religius dari hutan atau tanah ulayat. Buktinya tanah
ulayat dapat dijual bahkan oleh orang yang seharusnya lebih menghargai nilai
tanah itu sendiri.
Pergeseran kearifan lokal ini menurut penulis membawa perubahan perilaku hidup
antar masyarakat di Sungai Kajang. Materi menjadi ukuran bagi seseorang untuk bisa terus
mengikuti pola hidup yang tidak lagi sederhana seperti sedia kala. Sehingga amat
disayangkan bahwa pergeseran kearifan lokal ini tidak hanya berdampak bagi kerusakan
ekologi tetapi utamanya bagi pola relasi antar masyarakat dalam perilaku yang berbeda
dengan zaman dahulu. Hiruk pikuk kegiatan ekonomi mungkin membawa dampak positif
tetapi juga membawa ke dampak negatif dalam hal sosial – budaya seperti munculnya
individualisme, hilangnya kepercayaan, gotong-royong dan penghargaan yang berlebihan
pada materialisme.6
2. Keterbatasan Daya Cipta dan Tuntutan Hidup Masa Kini
Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang dapati disebutkan sebagai masyarakat
adat karena mayoritas penduduk merupakan sekumpulan penduduk yang hidup berdasarkan
asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu. Masyarakat adat sebenarnya
memiliki hak otonom untuk menentukan hidupnya dan memanfaatkan kekayaan sumber daya
alam (terutama tanah) yang selalu akrab dengan hidupnya melalui kearifan.7 Keterbatasan
pengetahuan membuat masyarakat memiliki pemahaman yang sederhana tentang bagaiamana
caranya mengelola tanah. Prinsip dalam pengelolaan tanah ialah menjadikan tanah sebagai
sumber untuk mendapatkan pangan sehingga menjadikan mereka hidup sebagai petani.
6 Syarif Ibrahim Alqadrie “Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat: Keterkaitan
antar Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi,” Paulus
Florus (ed) Kebudayaan Dayak: Aktualisasi dan Transformasi (Pontianak: Institut Dayakologi, 2001), 220.
7 Anton P Widjaja, Menolak Takluk: Panduan Pendidikan Aktivis Masyarakat (Pontianak: Institut
Dayakologi, 2008), 67.
Masuknya arus globalisasi yang ditandai dengan hadirnya perusahaan kelapa sawit di
daerah Sungai Kajang membuka penawaran kompleks atas hidup mereka. Berdasarkan hasil
penelitian yang penulis dapatkan ialah mulai muncul beragam jenis pekerjaan dan munculnya
suku-suku lain seiring dengan masuknya perusahaan di daerah Sungai Kajang. Mulai terjadi
pembauran antara yang homogen dengan yang heterogen. Inilah yang dimaksudkan dengan
terjadinya perjumpaan antara yang homogen dan yang heterogen menurut Roland Robertson
sebagai saling keterhubungan, melihat adanya perbedaan dan perluasan hubungan manusia
dalam globalisasi.8 Perluasan hubungan antara manusia ini menciptakan proses pertukaran
informasi sehingga yang tadinya pemahaman mereka dalam mengelola tanah hanya satu
tetapi kemudian dapat berkembang. Walaupun awalnya terjadi ‘shock’ atas perjumpaan
tersebut, yang ditandai karena keterbatasan daya cipta mereka seperti ketika mengambil
pilihan untuk menjual tanah.
Pilihan-pilihan yang mereka ambil ketika mereka ingin menjual tanah didorong oleh
keterbatasan mereka karena tentang pemahaman dan pengelolaan atas tanah. Masyarakat
Dayak Bakati di Sungai Kajang di satu sisi belajar tentang keragaman dan perbedaan, variatif
pola hidup dan pekerjaan tetapi mereka belum mampu untuk bersaing dalam arus tersebut
sehingga pilihan yang mereka ambil untuk bisa mengikuti adalah dengan menjual tanah.
Keterbatasan daya cipta mereka dalam mengelola tanah akhirnya mendorong mereka untuk
menjual tanah saat masuknya berbagai arus informasi yang menuntut pada pola hidup baru.
Penulis memperhatikan mereka menjual tanah karena sebagai besar oleh alasan
ekonomi dan tuntutan hidup masa kini. Dampak dari globalisasi memang membawa pengaruh
akan kesadaran untuk peningkatan taraf hidup yang lebih baik. Bahwa tidak bisa dipungkiri
standar hidup yang lebih baik itu seringkali diukur berdasarkan pada nilai yang ada di luar
(universal) sehingga mereka pun terdorong untuk bisa menyamai ataupun mengikuti standar
8 Mike Featherstone, Global ModernitiesTheory Culture and Society (London: Sage Publication,
1995),26.
tersebut. Tidak bisa dipungkiri pula hal ini tidak sepenuhnya negatif karena penulis melihat
tuntutan hidup masa kini kembali membuat mereka menentukan pilihan untuk kehidupan
yang lebih baik bagi masa depan anak –anak mereka dengan menyekolahkan anak-anak
mereka sampai tingkat universitas/ perguruan tinggi. Apabila sebelumnya pilihan hidup anak-
anak mereka terbatas pada masa kini pilihan itu terbuka beragam walaupun tidak bisa
dipungkiri tindakan yang mereka ambil dengan cara terbatas yaitu menjual tanah. Namun
penulis melihat kesadaran akan nilai universal ini juga suatu waktu akan membuka kesadaran
mereka akan pemahaman yang lebih baik dan tidak mungkin seperti Roland Robertson
katakan justru akan menimbulkan kesadaran global. Kesadaran ini justru terbentuk ketika
pemahaman dan pengetahuan mereka semakin berkembang.
Inti dari poin hubungan keterbatasan daya cipta dan tuntutan ekonomi masa kini maka
ialah perlunya untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Proses untuk belajar dan
mengembangkan diri ini didapat tidak pada nilai partikular tetapi dalam pengenalan yang
universal. Proses ini terjadi setelah melihat bahwa yang universal tidak selamanya
ditempatkan sebagai yang bertentangan dengan yang partikular. Dengan terbukanya peluang
untuk mendapatkan pengetahuan dan semakin terbukanya keterhubungan antara yang satu
dengan yang lainnya semakin membuat penemuan kembali yang partikular menjadi muncul
sebagai bagian yang universal. Inilah yang dimaksudkan oleh Robertson situasi yang
memungkinkan munculnya pengetahuan yang beragam.9
Penulis menemukannya berdasarkan hasil penelitian bahwa saat ini ada upaya untuk
memperjuangkan kembali tanah adat yang pernah dijual sebelumnya. Penulis juga
menemukan secara komunal mereka juga dipersatukan oleh kesatuan mereka sebagai
masyarakat adat ketika terjadi proses kerjasama dengan pihak perusahaan. Bahwa
berdasarkan hasil penelitian penulis juga ditemukan mereka yang menjual tanah berusaha
9 Featherstone, Global ModernitiesTheory, Culture and Society…,31.
untuk tidak menjual tanah secara habis, misalnya dari 60 hektar tanah yang mereka miliki
maka tanah yang diserahkan kepada perusahaan sebesar 10-12 persen saja. Hal ini
dimungkinkan terjadi ketika adanya kesadaran dan berkembangnya pengetahuan dari
beberapa perangkat adat pada saat ini dibanding pengurus adat sebelumnya. Saat ini saja telah
terjadi pembentukan koperasi sebagai cara mereka bersatu untuk tidak lagi membiarkan hak-
hak mereka sebagai pemilik tanah mengalami kerugian. Kesadaran mereka untuk tidak
menjual lepas (HGU) tetapi mulai proses tawar menawar dalam perjanjian kerjasama
menunjukkan mereka mulai memiliki kesadaran komunal ataupun kesadaran global akan
keberadaan mereka.
3. Peran Kearifan Lokal di Era Globalisasi
Kearifan lokal atau local wisdom dalam disiplin ilmu antropologi dikenal dengan
istilah local genius.10 Kearifan lokal juga adalah penanda partikular dan identitas yang
menjadikan satu kelompok berbeda dengan kelompok yang lainnya. Kearifan lokal
masyarakat Dayak Bakati melihat tanah sebagai ‘hidup’ tidak memiliki tanah berarti hilang
identitas sebagai orang dayak. Oleh karena itu tanah tidak dilihat sebagai komoditas tetapi
sebagai pemberi hidup hasil dari kebaikan Jubata. Tanah tidak untuk diperjualbelikan dengan
mudahnya tetapi tanah dapat dipakai untuk kebaikan hidup bersama. Namun gempuran arus
globalisasi merubah itu semua ditambah dengan alat kekuasaan yaitu pemerintah yang
memberi izin kepada perusahaan untuk mengelola tanah milik masyarakat di pedalaman
Kalimantan.
Masyarakat Dayak Bakati di Kalimantan Barat sebagian besar telah memperjualkan
tanah mereka. Kebutuhan ekonomi menjadi jawaban sebagian besar mengapa tanah itu dijual.
Persoalan lama dari konteks masyarakat di pedalaman yang belajar untuk mengikuti pola
10 Ade Putri Royani, Glokalisasi http://blog.unnes.ac.id/adeputriroyani/2015/11/05/universalisme-
versus-partikularisme diakses pada 21 November 2017.
perubahan dalam arus globalisasi. Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang mengakui
masih berusaha mempertahankan tanah mereka. Tidak semua habis dijual, tidak semua
diserahkan karena mereka sadar tanah itu adalah bagian hidup mereka. Pertanyaanya sampai
berapa lama kah mereka mampu mempertahankan tanah ini. Apakah kearifan lokal tentang
tanah sebagai ‘hidup’ masih kuat mereka pegang teguh untuk tidak habis dijual? Menurut
Robertson dalam tesisnya tentang glokalisasi meyakinkan bahwa dunia memang sedang
berkembang tetapi perlu kekuatan individu untuk menyadari keunikannya.11 Keunikannya
dalam hal memiliki kearifan lokal yang menjaga tanah sebagai bagian hidup dan terkait
dengan ritus dan kegiatan masyarakat kiranya dapat dipertahankan. Bahkan kearifan lokal
untuk mengingat kembali tanah perlu diistirahatkan dan tidak terus dikelola menjadi penanda
agar mereka tidak terus menjual tanah tersebut kepada pihak perusahaan.
Penulis meyakini ada hal baik dari kearifan lokal yang telah bertahan ratusan tahun
dan tidak boleh begitu saja digantikan oleh nilai-nilai modernisasi. Kearifan lokal telah
bertahan ratusan tahun dan terbukti untuk beberapa hal, yaitu:
- Untuk keberlangsungan ekologi atau keseimbangan alam
- Untuk menjaga komunal persekutuan
- Untuk keberlangsungan identitas mereka sebagai orang Dayak karena kalau tidak
mereka akan tergeser dan keunikan mereka terancam punah
Penulis juga tidak menafikan bahwa pada saat ini kearifan lokal seakan tidak
mengakomodir akan tuntutan hidup masa kini. Kebutuhan dan tuntutan hidup masa kini yang
juga menawarkan kebaikan bagi perkembangan agar tidak tergerus oleh arus ini. Tuntutan
dalam arus globalisasi yaitu: mengikuti dan menjawab akan percepatan arus informasi dan
teknologi dan mengikuti kebutuhan masa kini termasuk salah satunya ialah pendidikan yang
lebih maju.
11 Mike Featherstone, Global Modernities Theory, Culture and Society,(London: Sage Publication), 40
-41.
Hal yang perlu dilakukan ialah bagaimana mereka bertahan untuk tidak menjual
dengan menghayati tanah itu ‘hidup’ tidak selalu harus diperas untuk kepentingan ekonomi
sementara mereka ada dalam pusaran ekonomi? Harapannya dengan tanah yang masih
mereka miliki itu tidak habis dijual, tidak semua diserahkan. Penguatan nilai kearifan lokal
ini perlu terus dikembangkan untuk menemukan kembali ‘akar’ dan ‘rumah’ mereka sebagai
masyarakat lokal.12 Langkah-langkah seperti apa yang dapat dilakukan? Menurut Robertson
perlu hubungan timbal balik antara universal dengan partikular ini. Yaitu mengambil apa
yang baik dari arus globalisasi kemudian diterapkan untuk pengembangan kearifan lokal.
Proses kerjasama untuk kembali memperjuangkan identitas mereka dalam perjuangan tanah
ulayat kiranya menjadi cara awal untuk memulai proses glokalisasi. Kini saatnya yang lokal
dikuatkan untuk bisa bertahan dalam arus globalisasi.
4. Kearifan Lokal yang Dikembangkan
Penulis melihat bahwa kearifan lokal merupakan bentuk warisan leluhur bangsa yang
menunjukkan keselarasan hidup antara sesama dan alam. Sementara globalisasi seringkali
ditampakkan sebagai wajah modernisasi yang menggerus keselarasan hidup bersama alam
tersebut. Eksploitasi dan komersialisasi seakan berlawanan atau bertentangan dengan nilai-
nilai yang terdapat pada kearifan lokal. Padahal arus globalisasi sedemekian kuat dan tak
terbendungkan. Manusia modern pun digambarkan sebagai manusia yang sangat bergantung
dengan kecanggihan teknologi sebagai bagian dari arus globalisasi tersebut. Hal inilah juga
yang mendorong globalisasi semakin meluas dan tumbuh dengan cepat sampai ke pelosok
daerah di Indonesia.
Penulis melihat kearifan lokal memiliki nilai baik yang seharusnya tidak boleh
ditinggalkan dalam arus globalisasi. Bahkan kearifan lokal dapat dipakai untuk menjadikan
kontribusi yang berarti di tengah gempuran kapitalis yang bersamaan hadir dengan
12 Featherstone, Globarl Modernities…,35
globalisasi.13 Kearifan lokal dikembangkan dengan memanfaatkan juga pada hal yang baik
yang terdapat dalam globalisasi yang dikenal melalui istilah Roland Robertson yaitu
glokalisasi.
Glokalisasi melibatkan interaksi kebudayaan lokal dan global yang akhirnya terdapat
keberagaman dalam masyarakat. Glokalisasi merupakan hubungan timbal balik antara budaya
lokal dan budaya global sehingga yang lokal tidak hilang di tengah arus yang global.14 Hal ini
sebagaimana tampak dicontohkan dalam kasus penerapan glokalisasi di kampung Kuta
Bali.Kampung Kuta Bali menerapkan glokalisasi dengan cara tetap mempertahankan
kepercayaan akan hutan keramatnya dengan berbagai aturan adat (seperti: memakai pakaian
khusus, tidak boleh membuat kotor, memasuki hutan hanya pada hari-hari tertentu, tidak
boleh meludah, tidak boleh berkata kasar/kotor,dll). Hutan tersebut kemudian dikembangkan
menjadi hutan produksi gula aren yang diperlihatkan kepada turis dengan tetap menunjukkan
kesakralan hutan tersebut pada bagian atau hari tertentu.15 Sehingga masyarakat di kampung
Kuta Bali tidak menjual tanahnya secara mudah hanya untuk kepentingan pasar tetapi
menjadikan hutan keramat mereka juga sebagai bagian budaya yang dilestarikan tetapi tetap
punya nilai produksi yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Penulis mengamati pola yang diterapkan di kampung kuta Bali kiranya dapat juga
menjadi pembelajaran bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Kalimantan Barat khususnya
komunitas masyarakat dayak pun memiliki kearifan lokal yang patut dilestarikan tetapi juga
akhirnya secara kreatif dapat dikembangkan untuk kebaikan bagi masyarakat lokal. Tidak
selamanya globalisasi hanya dinilai negatif walaupun arusnya sedemikian kuat dalam
13 Ade Putri Royani, Glokalisasi http://blog.unnes.ac.id/adeputriroyani/2015/11/05/universalisme-
versus-partikularisme diakses pada 21 November 2017.
14 Ade Putri Royani, Glokalisasi http://blog.unnes.ac.id/adeputriroyani/2015/11/05/universalisme-
versus-partikularisme diakses pada 21 November 2017.
15 Ade Putri Royani, Glokalisasi http://blog.unnes.ac.id/adeputriroyani/2015/11/05/universalisme-
versus-partikularisme diakses pada 21 November 2017.
menggempur nilai lokal masyarakat. Persoalannnya saat ini mampukah setiap masyarakat
bertahan dalam nilai lokal sambil menemukan yang positif untuk dikembangkan dalam arus
globalisasi ini agar tidak melulu menjadi korban dari kapitalisme.
5. Rangkuman
Keempat poin yang telah disebukan penulis hendak merunutkan bagaimana penulisan
tesis ini sesuai dengan permasalahan yang ditemukan di komunitas masyarakat Dayak Bakati
di Sungai Kajang. Pertama bahwa benar telah terjadi pergeseran kearifan lokal dalam arus
globalisasi. Globalisasi membawa pengaruh negatif yang turut meluruhkan nilai-nilai
kearifan lokal yang ekologis di tengah komunitas masyarakat Dayak Bakati. Merekat
terpengaruh oleh cepatnya arus globalisasi dan perubahan itu tampak dalam kehidupan sosial
budaya masyarakat Dayak Bakati. Namun globalisasi di satu sisi membawa dampak positif
bagi masyarakat yaitu pendidikan.
Akses jalan dan informasi membuata mereka sadar akan pentingnya pendidikan yang
lebih baik bagi masa depan anak-anak mereka. Itulah alasan mengapa mereka tidak menyesal
untuk menjual tanah tersebut. Kesadaran akan tuntutan hidup masa kini yang tidak lagi
mampu diimbangi oleh keterbatasan sumber daya manusia. Perlu menjadi lebih kreatif, perlu
menjadi lebih berilmu, perlu menjadi lebih baik untuk bisa melawan arus deras globalisasi.
Percepatan menuntut manusia untuk tidak lagi diam dan akhirnya dilindas dan digilas oleh
arus globalisasi ini. Oleh karena itu mereka sadar bahwa sekeliling mereka menuntut
perubahan. Harapannya dengan perubahan itu membawa kebaikan bagi masa depan anak
mereka. Dengan perbaikan tingkat pendidikan maka mereka akan belajar untuk tidak mudah
dimanfaatkan. Inilah yang dimaksudkan oleh Roland Robertson bahwa di globalisasi ini juga
muncul peningkatan kesadaran akan peradaban, sosial, etnis, regional dan individu.16
Sehingga keunikan pribadi bahkan nilai lokal diharapkan dapat terus dikuatkan dan memiliki
16 Featherstone, Globarl Modernities…,35
peran dalam arus globalisasi. Namun kembali sebagai kekuatan individu generasi muda yang
terdidik diharapkan menyadari akan kearifan lokal yang mereka miliki sebagai masyarakat
Dayak bakati. Supaya perubahan itu menjadi lebih baik dan mereka tidak menerus menjual
tanah tetapi mengupayakan secara lebih kreatif atau memiliki daya cipta terhadap tanah
warisan nenek moyang mereka.