bab iv analisa rekonstruksi konsep makki madani...

28
95 BAB IV ANALISA REKONSTRUKSI KONSEP MAKKI MADANI NASHR HAMID ABU ZAID DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM ISLAM A. Analisis Metodologis Konsep Makki Madani Nashr Hamid Abu Zaid Kritik Nashr Hamid atas konsep makki dan madani merupakan bagian dari upaya rekonstruksi studi ‘ulum al-Qur'an yang dapat dijumpai dalam master piece-nya Mafhum an-Nash; Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Konteks Mafhum an-Nash menempatkan-nya sebagai pengkaji al-Qur’an dan ilmu-ilmu di dalamnya, atau–meminjam istilah Ali Harb pengkaji “masalah ke-Qur’anan (qur’aniyat)–dengan analisis kritisnya. 1 Sebuah kesadaran ilmiah atas teks keagamaan (al-Qur'an) dalam tradisi (turats) pemikiran Islam yang dianggap membeku, akibat keterkungkungan pada batasan yang bersifat teologis-mitologis. Sebagai pengkaji masalah ke-Qur’anan, ia menunjukkan sikap kritisnya terhadap studi ‘ulum al-Qur'an dan cabang-cabang ilmu di dalamnya–termasuk makki dan madani–sebagai warisan tradisi (turats) dalam pemikiran Islam, yang terekspresikan dengan melacak faktor- faktor dan dasar pembentuk ilmu-ilmu al-Qur'an sendiri, yaitu konsep “teks” yang selama ini tidak tersentuh dalam sistim kebudayaan. Seyogyanya sebagai ilmu dasar dan ilmu induk (‘ulum al-ushul/‘ulum al- ummahat), ilmu ini memiliki peran penting untuk memahami al-Qur'an, 1 Sebenarnya Nashr Hamid sendiri tidak menggunakan istilah “kritik” (an-naqd) dalam Mafhum an-Nash-nya, namun ini tidak mengubah kenyataan cara pandangnya yang kritis terhadap teks al-Qur'an, disamping sikapnya yang menempatkan wacana wahyu (teks al-Qur'an) dengan pendekatan dan analisis sebagai materi bagi pengetahuan kritis- rasional. Ali Harb, Naqd an-Nash, terj. M. Faishol Fatawi, Kritik Nalar al-Qur'an, Yoryakarta, LKiS, 2003, hlm. 308.

Upload: doantu

Post on 18-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

95

BAB IV

ANALISA REKONSTRUKSI KONSEP MAKKI MADANI

NASHR HAMID ABU ZAID DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP HUKUM ISLAM

A. Analisis Metodologis Konsep Makki Madani Nashr Hamid Abu

Zaid

Kritik Nashr Hamid atas konsep makki dan madani merupakan

bagian dari upaya rekonstruksi studi ‘ulum al-Qur'an yang dapat dijumpai

dalam master piece-nya Mafhum an-Nash; Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an.

Konteks Mafhum an-Nash menempatkan-nya sebagai pengkaji al-Qur’an

dan ilmu-ilmu di dalamnya, atau–meminjam istilah Ali Harb pengkaji

“masalah ke-Qur’anan (qur’aniyat)–dengan analisis kritisnya.1 Sebuah

kesadaran ilmiah atas teks keagamaan (al-Qur'an) dalam tradisi (turats)

pemikiran Islam yang dianggap membeku, akibat keterkungkungan pada

batasan yang bersifat teologis-mitologis.

Sebagai pengkaji masalah ke-Qur’anan, ia menunjukkan sikap

kritisnya terhadap studi ‘ulum al-Qur'an dan cabang-cabang ilmu di

dalamnya–termasuk makki dan madani–sebagai warisan tradisi (turats)

dalam pemikiran Islam, yang terekspresikan dengan melacak faktor-

faktor dan dasar pembentuk ilmu-ilmu al-Qur'an sendiri, yaitu konsep

“teks” yang selama ini tidak tersentuh dalam sistim kebudayaan.

Seyogyanya sebagai ilmu dasar dan ilmu induk (‘ulum al-ushul/‘ulum al-

ummahat), ilmu ini memiliki peran penting untuk memahami al-Qur'an,

1 Sebenarnya Nashr Hamid sendiri tidak menggunakan istilah “kritik” (an-naqd)

dalam Mafhum an-Nash-nya, namun ini tidak mengubah kenyataan cara pandangnya yang kritis terhadap teks al-Qur'an, disamping sikapnya yang menempatkan wacana wahyu (teks al-Qur'an) dengan pendekatan dan analisis sebagai materi bagi pengetahuan kritis-rasional. Ali Harb, Naqd an-Nash, terj. M. Faishol Fatawi, Kritik Nalar al-Qur'an, Yoryakarta, LKiS, 2003, hlm. 308.

96

tidak sebagaimana didapati atas karya-karya mutakhir yang secara umum

masih mempertahankan konservatisme taqlidiyah terhadap karya-karya

ulama terdahulu, semisal dari al-Itqan al-Suyuthi dan al-Burhan al-Zarkasyi

tanpa adanya reserve dan upaya kritis atas karya-karya tersebut.

Dengan konsep teks, ia berupaya menguak watak teks dalam

kebudayaan, yang berarti juga usaha mengungkapkan hubungan ganda;

pertama, hubungan teks dengan budaya di mana teks terbentuk, dan

kedua, hubungan teks dengan budaya di mana teks membentuk budaya.

Gagasan yang tidak lain dipengaruhi oleh kajian semantik (semiotic) dan

hermeneutik2 terhadap al-Qur'an. Semiotika dan hermeneutika Nashr

Hamid memandang al-Qur'an pada hakekatnya adalah produk dari

peradaban teks. Sebuah pembacaan kritis terhadap teks al-Qur'an

sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi) yang berpeluang untuk dikaji dan

ditafsirkan dalam konteks sosio-kultural yang melingkupinya, karena

wujud hubungan dialektiknya, antara “teks-budaya-dan realitas” tanpa

mengabaikan sumber illahiyah-nya (ketuhanan).

Sebagaimana layaknya metodologi modern, semiotika dan

hermeneutika pembebasan al-Qur'an yang dikumandangkan Nashr

Hamid dalam memahami teks al-Qur'an dan ilmu-ilmu didalamnya

merupakan perbincangan yang mendahului kegiatan penafsiran. Pelbagai

asumsi metodologis dan metode penafsiran yang bersifat teknis

dibicarakan terlebih dahulu untuk melihat posisi penafsir, hubungannya

dengan teks dan realitas, hubungan teks dengan pembaca, teks dengan

konteks sejarah dan sebagainya.

2 Semiotik dan hermeneutika merupakan bentuk kajian metodologis yang sejauh

ini menimbulkan polemik di sebagian kalangan lantaran dinilai berani dan berbeda dari apa yang telah dilakukan oleh ulama klasik (salaf). Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr hingga Nashr dan Qardhawi, Jakarta Selatan, Hikmah (Mizan Publika), 2003, hlm. 348.

97

Hemat penulis, semiotika dan hermeneutika Nashr Hamid tidak

dapat disebut tuntas dan komprehenship begitu saja, oleh karena masih

menyisakan problem metodologis di sana-sini. Sehingga perlu kiranya

problem-problem metodologis tersebut diurai dan inhern dengan apa

yang telah dilakukan oleh Nashr Hamid dengan kajian kritisnya terhadap

al-Qur'an dan rekonstruksinya terhadap ilmu-ilmu di dalamnya–terlebih

upaya rekonstruksinya terhadap konsep makki dan madani yang

dikehendaki dalam kajian ini.

Pertama, berangkat dari pembacaan teks keagamaan dalam tradisi

pemikiran Islam yang hanya menerapkan mekanisme-mekanisme nalar

ghaib di dalam khurafat dan mitos yang dilakukan oleh para qudama’

(pendahulu) dan diteruskan oleh generasi sekarang tanpa adanya kritik

atas pandangan itu. Oleh Nashr Hamid, kondisi demikian menjadikan

keterjebakan pada pembacaan yang bersifat teologis-mitologis. Efek

yang ditimbulkan, sudah barang tentu menjadikan ketertundukan dalam

menganalisis tipe-tipe penggunaan (pemfungsian) al-Qur'an menjadi

sekedar mushaf atau alat hiasan, yakni menjadi sesuatu yang sakral, dan

oleh sebab itu terjadi choosifikasi (pemburukan tasyri’) dengan

memisahkan teks dari kondisi objektif-historisnya.3

Oleh karenanya, diperlukan pembacaan ulang atas pandangan

mensakralkan al-Qur'an dengan menerapkan mekanisme-mekanisme

nalar historis-humanis, di mana landasannya adalah al-Qur'an sendiri

yang merupakan teks kebahasaan dan produk kebudayaan. Ia sangat

berhubungan dengan bahasa dan menformulasikannya dengan sistem

3 Kondisi demikian, ternyata merupakan respon kultural terhadap situasi yang

mengharuskan nalar Arab menarik diri ke dalam, berlindung di dalam wilayah ilmu “teks” dan berkonsentrasi pada lokalitas kebudayaan dan pemikiran sendiri, yang sudah barang tentu tantangan kultural dan sosiologis yang dihadapi sangat berbeda. Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash; Dirasah fi‘ Ulum al-Qur'an, Bairut, Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. ke-4, 1998, hlm. 13-14.

98

kebudayaan yang membangun dan turut membentuknya. Bahwa teks

tidak terpisahkan dari realitas yang memproduksinya, dan dari

kebudayaan teks terbentuk dan berinteraksi serta berpartisipasi dalam

merekonstruksi dan membentuknya kembali. Demikian halnya dalam

studi ulum al-Qur'an dengan cabang-cabang ilmu di dalamnya.

Dalam konteks makki dan madani, maka mekanisme-mekanisme

nalar yang memisahkan teks dengan realitas, hanya akan memunculkan

ketertundukan pada kebenaran tradisi (turats) dalam pemikiran Islam,

dan konsekuensinya, pelbagai kerancuan konseptual tidak terelakkan,

karena upaya pembacaan kritis terhadapnya cenderung diabaikan.

Pandangan demikian nampak sekali ketika ia melakukan

rekonstruksi terhadap konsep makki dan madani. Pelbagai kerancuan

konseptual yang muncul dari rumusan ulama klasik, khususnya dari al-

Zarkasyi dalam al-Burhan dan al-Suyuthi dalam al-Itqan dengan

memisahkan teks dan realitas, begitu pula memisahkan antara teks dan

dalalah-nya (hukum syari’ dan fiqhiyah-nya), dengan asumsi bahwa

terdapat teks makki atau madani yang hukumnya turun kemudian atau

sebaliknya. Asumsi-asumsi tersebut dibangun tidak dengan berdasar atas

landasan adanya dialektika antara teks dan realitas-historis.

Upaya memisahkan teks dari realitas–sebagaimana rumusan ulama

klasik (salaf)–dapat dijumpai dari pelbagai kerancuan konseptualnya,

semisal pembedaan yang didasarkan pada tempat tanpa

mempertimbangkan pengaruhnya terhadap teks dari segi isi maupun

strukturnya, kriteria gaya bahasa (uslub), yakni kriteria panjang pendek

serta pelbagai klasifikasi lainnya,4 untuk membedakan ayat/surat makiyah

4 Uraian dan penjelasan munculnya pelbagai kerancuan konseptual dalam konsep

makki dan madani sebagaimana rumusan ulama, yang kemudian direkonstruksi ulang oleh Nashr Hamid Abu Zaid secara gamblang telah dipaparkan dalam bab III poin (C) tentang Pelbagai Kerancuan Konseptual makki dan madani.

99

dan madaniyah sebagimana rumusan ulama salaf dengan memisahkan teks

dan realitas, juga memisahkan teks dengan teks-teks lainnya yang

demikian kuat, hingga teks terpisah dengan realitas-historisnya.

Usaha yang dilakukan oleh Nashr Hamid atas pandangan yang

mensakralkan al-Qur'an dan ilmu-ilmu di dalamnya, kemudian

ditundukkan dalam kritik rasional dan analisis ilmiah dengan melihat

gerak realitas teks yang berpengaruh terhadap isi maupun strukturnya.

Hanya saja, apa yang telah dilakukan oleh ulama’ terdahulu (qudama’)–

meskipun mereka meyakini kesucian wahyu dan sumber-sumber

ketuhanan–tidak mensurutkan minat mereka melakukan kajian terhadap

al-Qur'an dan ilmu-ilmu didalamnya dengan menggunakan gaya ilmiah

dan alat rasional, dan hal demikian tidak dapat dinafikan begitu saja.

Sekali lagi, bahwa keimanan tidak menghalangi ulama mengkaji

fenomena kemukjizatan (al-i’jaz) dengan menganalogkan al-Qur'an

dengan bahasa Arab, lalu menjadikan syair (puisi) yang rendah jika

dibandingkan dengan wahyu, sebagai sumber untuk memahami wacana

dan menganalisis teks. Sebab itulah mereka memikirkan sesuatu yang

dijauhkan dari pemikiran.

Sudah maklum, bahwa usaha-usaha yang dicurahkan oleh mufassir

telah menghasilkan ilmu yang sahih, yang memiliki objek, sumber,

masalah dan teorinya masing-masing, sebagaimana secara khusus dapat

dilihat dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur'an karya al-Zarkasyi. Ini

merupakan logika ilmu dan kajian; “mengubah yang irasional menjadi

rasional”. Oleh karena itu, wacana para mufassir bersifat ilmiah-humanis

dalam logikanya, meskipun apa yang dinyatakan bersifat teologis atau

mitologis. Ulama terdahulu (qudama’) dalam menafsirkan teks al-Qur'an

membangun ilmu-ilmu dan menciptakan istilah-istilah serta

menggunakan seperangkat konsep yang efektif, tentu dengan sendirinya

100

mencakup kemungkinan-kemungkinan dari pengetahuan yang mereka

tentukan. Inilah yang membedakan–tidak bermaksud menghadapkannya

secara diametris–bahwa apa yang dihasilkan oleh ulama dalam

menafsirkan al-Qur'an lebih orisinil dan kuat.5

Kedua, ketika pengantar kajian yang dilakukan oleh Nashr Hamid

terhadap al-Qur'an dan ilmu-ilmu di dalamnya dengan perangkat dan

metode bahasa (linguistik) adalah yang paling efektif, dengan ungkapan

“bahwa teks Al-Qur'an yang berbahasa Arab, tidak ada pengantar untuk

kajian ini kecuali bahasa atau sastra, dua aspek yang dalam metodologi

sastra kontemporer tidak terpisahkan”.6

Ungkapan tersebut mengandung pengertian dari dua kutub yang

berbeda. Satu sisi, sang pengkaji berusaha untuk menjauhi muatan-

muatan yang memiliki kandungan teologis, mitologis, dan atau ghaib

dengan menjadikan bahasa dan sastra sebagai media untuk mengkaji al-

Qur'an sebagai teks kebahasaan (nash lughawi). Ia ingin meneguhkan

kembali watak satrawi pada teks, dan hendak menguatkan bahwa kajian

hanya tunduk pada data-data kajian sastra, karena itu kajian tentang al-

Qur'an dan ilmu-ilmu di dalamnya (termasuk makki dan madani) masuk

dalam bab kajian teks-teks sastra. Di sisi lain, ia melakukan penyempitan

dengan hanya menggunakan pendekatan kebahasaan (linguistic metod),

bukan yang lainnya, khususnya bahwa teks al-Qur'an adalah teks yang

luas, yang darinya lahir teks-teks sastra, supaya muncul sebuah ruang

interpretasi dan peristiwa budaya tinggi, yang meninggalkan pengaruh di

dalam kebudayaan Arab dan kebudayaan manusia secara keseluruhan.

5 Ali Harb, op. cit., hlm. 317-318. 6 Pandangan yang tidak lain dipengaruhi oleh pengambilan pendapat dari Prof.

Amin Al-Kulli yang berujung pada pendapat, bahwa al-Qur'an adalah “buku berbahasa Arab yang paling agung dan tingalan sastra yang abadi”, bukan “buku seni berbahasa Arab yang paling suci”. Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 19.

101

Pada dasarnya, penggunaan kajian kesusastraan dengan teks

kebahasaan sebagai konsep sentralnya dalam mengkaji al-Qur'an telah

ada dan banyak dilakukan ulama’ terdahulu, dan menjadikan al-Qur'an

sebagai materi kajian ilmiah dan kebahasaan, atau kajian kesustraan dan

kebalagahan, terutama kajian-kajian fiqh, ilmu kalam, filsafat dan lainnya.

Konteks sekarang, menjadikan teks sebagai objek kajian ilmiah dengan

pelbagai perangkat dan metode yang tersedia tidak terbatas adanya.

Sesungguhnya menganalisis teks, apapun jenis teksnya, baik puisi,

filsafat, maupun al-Qur'an dapat membuka wilayah pengetahuan di luar

teks itu sendiri dan bisa mengambil manfaat dari pelbagai metode,

dimana akulturasi ilmu dan terbukanya pelbagai disiplin pengetahuan

antara satu dengan lainnya tidak ada wilayah penyempitan.7

Ketiga, ketika Nashr Hamid berusaha memahami teks dengan

pemahaman ilmiah, bukan pemahaman yang ghaib dan mitologis,

dengan memperlakukan teks sebagai produksi budaya dan dengan

berpijak pada metode yang dilandasi bahwa realitas sebagai pengantar

untuk memahami teks tanpa meninggalkan sumber ketuhanan (ilahiyah)

teks al-Qur'an, yang tidak bertentangan dengan kemungkinan dalam

menganalisis dan memahaminya–sebuah penggabungan antara

ketuhanan teks dan aspek sumbernya dan aspek kemanusiaan teks dari

7 Era sekarang ini, adalah era lahirnya pelbagai disiplin pengetahuan modern

tentang pelbagai disiplin ilmu dan pembacaan tentang pelbagai tradisi diskursif, mulai dari wacana kebahasaan sampai wacana kefilsafatan. Artinya, untuk melakukan kajian dan analisis terhadap al-Qur'an, dapat memanfaaatkan segala yang ada dalam wilayah pengkajian wacana dan analisis teks. Apabila al-Qur'an adalah “teks kebahasaan” dari segi bayan (kejelasan) dan balaghah-nya, yaitu dari segi kemungkinan-kemungkinan kebahasaan dan estetikanya, maka ia adalah teks yang memiliki bahasa sendiri, bahkan memiliki pelbagai bahasa. Maka selayaknya tidak melakukan pembacaan hanya dengan satu bacaan saja, hanya karena takut teralienasi. Bahkan memungkinkan untuk melakukan pembacaan dengan pelbagai sarana metodologis , dan terbuka atas temuan pengetahuan yang tersedia. Sekedar contoh, maka Muhammed Arkounlah yang memanfaatkan pelbagai perangkat metodologis dalam mengkaji al-Qur'an, mulai dari linguistik, semiotic sampai pendekatan arkeologis. Lihat Ali Harb, op. cit., hlm. 320-322.

102

aspek kandungannya–dan disini tidak terjadi pertentangan, kecuali

bentuknya yang tidak memberi pengaruh dalam melakukan analisis

ilmiah. Bahwa ia bermaksud menetapkan konsep baru tentang teks yang

berpijak pada pembongkaran konsep-konsep mitologis, yang telah

dipraktikkan dalam wacana agama pada masa lampau, dan selalu

menjalar di dalam wacana keislaman modern dan bahkan kontemporer,

tanpa adanya kritik dan reserve atas konsep-konsep itu yang punya

kecenderungan ghaib-mitologis.

Perlu dipahami, bahwa keyakinan para ulama terdahulu (salaf)

terhadap ketuhanan sumber (al-mashdar) tidak membelokkan mereka

dalam memahami dan menganalisis al-Qur'an dengan perantara ilmu dan

logika akal. Hal itu karena tidak ada jalan mencapai nalar ketuhanan

(teologi) kecuali dengan menerjemahkannya ke dalam bahasa manusia.

Hasilnya adalah, bahwa ulama terdahulu, lewat kajian dan

pembahasannya mampu melahirkan konsep-konsep yang baku dan

bernilai dalam menjelaskan dan menafsirkan, misalnya ta’wil, naskh, asbab

an-nuzul, makki dan madani dan pelbagai perangkat pengetahuan lainnya,

yang dalam hal ini dijadikan sandaran oleh Nashr Hamid dalam

mengkaji al-Qur'an dan ilmu-ilmu di dalamnya.8

Pernyataan tentang wahyu ketuhanan merupakan pernyataan yang

tidak saling bertentangan dengan keperluan kajian metodologis dan

kemungkinan ilmiah. Masalahnya bukan sekedar kulit luar dogmatis yang

dapat mengaburkan sikap Nashr Hamid yang sebenarnya. Hal tersebut

8 Kajian terhadap al-Qur'an dan ilmu-ilmu didalamnya oleh Nashr Hamid Abu

Zaid melalui pengujian dan hipotesis yang dilakukan dengan dua pendekatan–sebagaimana disebutkan dalam bab Rekonstruksi Studi ‘Ulum al-Qur'an-nya, termasuk konsep makki dan madani–dengan membaca apa yang ditulis oleh ulama terdahulu; dan kemudian memperbincangkan pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer. Lihat Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 89-90.

103

dalam pernyataannya Ali Harb9 hanyalah merupakan bentuk dari

eklektisisme metodologi yang mana sang pengkaji terjebak didalamnya.

Yakni pemahaman yang berujung pada sikap eklektis, dimana pada satu

sisi meyakini wujud metafisis dalam teks akan menyingkirkan

pemahaman ilmiah, dan pada sisi lain, meyakini sumber ketuhanan

dalam teks.

Keempat, Nashr Hamid kembali meneguhkan, bahwa memahami

teks hanya dapat dilakukan hanya dengan mengakitkannya dengan

realitas yang telah memproduksinya dan kebudayaan yang telah

membentuknya pada tiap penghujung pasal dan akhir alenia. Dalam

kajiannya, ia hendak mengingatkan, bahwa keterkaitan teks dengan

realitasnya bukan sederhana dan langsung, melainkan terstruktur dan

dialektik. Dalam arti bahwa teks terbentuk dalam realitas kebudayaan,

namun pada saat yang sama ia sendiri membentuk realitas. Sehingga

tidak ada pemisahan antara teks dengan dalalah-nya, ataupun sebaliknya,

bahwa dalalah tidak akan menggantung di luar teks.

Tak dapat disangsikan pada tingkat ini, merupakan kajian yang

bernilai dan bermanfaat, yang dapat memerangi pelbagai wilayah

pemikiran yang hingga kini belum tersentuh. Ia bersandar pada sebuah

jalan, khususnya ketika mengumandangkan ajakan untuk menafsirkan

kemunduran proyek kebudayaan Arab, atau paling tidak menafsirkan

pertentangan-pertentangan mazhab dan penafsiran dengan pembacaan

kritis. Sebagaimana kita dapati, ketika ia menafsirkan perbedaan

periwayatan yang selama ini dijadikan pegangan oleh ulama salaf dalam

konsep makki dan madani yang memisahkan antara teks dengan realitas

(ataupun sebaliknya) dengan asumsi bahwa terdapat teks (makki atau

madani) yang turun dengan dalalah-nya pada fase kemudian, yang tidak

9 Ali Harb, op. cit., hlm. 322-324.

104

lain karena upaya kompromi terhadap pelbagai riwayat yang

bertentangan tanpa upaya kritis atas riwayat tersebut karena melihat

kesalihan sahabat dan tabi’in.

Namun demikian, kenyataannya ia juga tidak selalu berhasil untuk

mengkaitkan antara teks dengan realitas. Bahkan terkadang juga

“mengamini” gagasan-gagasan yang sudah tersedia–seperti dalam al-

Burhan al-Zarkasyi atau al-Itqan al-Suyuthi–dan bergumul dengan

konsep-konsepnya. Padahal pada saat yang bersamaan ia

mengumandangkan untuk melakukan pembacaan kritis terhadap

mereka, karena hanya sekedar pemeliharaan atas tradisi dalam

pengertiannya yang reaktif. Oleh karena itu, ketika membaca ilmu-ilmu

al-Qur'an, ia mengorbankan teks demi kemaslahatan realitas yang di

klaim, sebagai ganti dari usahanya menyeberangi dan mencermati

kemungkinan-kemungkinannya.10

Namun demikian, sangat penting untuk direnungkan, bahwa

sebuah pemikiran tidak muncul dari ruang yang vakum, ia merupakan

kontinuitas tradisi. Karena itu, Nashr Hamid Abu Zaid Hamid telah

meletakkan–terlepas dari kelebihan dan kekurangannya–dalam

merumuskan kembali semiotika dan hermeneutika al-Qur'an yang

dilakukan dengan berpijak pada pelbagai problematika dan teori klasik

dalam studi ‘ulum al-Qur'an. Dengan kata lain, otentitas telah digapai

dengan hermeneutika al-Qur'an-nya, yang didasarkan pada rekonstruksi

10 Dalam konteks ini, Nashr Hamid dapat dikategorikan sebagai seoarang yang progresif-sekularis di dalam pendapat-pendapatnya, namun ia adalah fundamentalis dari sisi logika dan struktur berpikirnya. Ia bergumul dengan konsep-konsepnya seperti orang-orang fundamentalis bergaul dengan dasar-dasarnya yang paten, yaitu sebagai oknum-oknum yang kekal, kebenaran yang parsial, dan atau gagasan-gagasan yang sudah tersedia, yang mendahului pemproduksian dan format pelaksanaannya. Atau dapat dikatakan paradigma wacana Arab yang progresif, yang telah kehilangan legitimasinya. Ia adalah wacana yang menafikan apa yang dinyatakan, atau lebih tepatnya, ia menguatkan penafian yang dijalankan, yakni ia melawan fundamentalisme, namun masih berpijak pada buminya. Ibid, hlm. 336.

105

tradisi ‘ulum al-Qur'an–terutama dalam salah satu cabang ilmunya, yakni

makki dan madani–sebagaimana secara eksperimentatif telah dilakukan

Nashr Hamid dalam Mafhum an-Nash-nya.

B. Implikasi Rekonstruksi Konsep Makki Madani Nashr Hamid Abu

Zaid Terhadap Hukum Islam

1. Dialektika Teks dan Hukum Islam11

Diskursus konsep makki dan madani dengan pelbagai

kerancuan konseptualnya, pada akhirnya juga mengakibatkan adanya

kerancuan atas konsep teks dan hukum yang diasumsikan bahwa

dalam teks ada hukum syari’ dan fiqhiyah yang berlaku kemudian atau

hukumnya didahulukan dengan teksnya turun pada fase kemudian.

Implikasinya tentu saja antara teks dan hukum menjadi terpisah.

Dengan demikian, keberadaan teks menjadi kosong tanpa dibarengi

dalalah-nya, sama halnya dengan hukum menjadi menggantung

karena harus “menanti legitimasi” teks-nya yang turun kemudian.

Sementara fase Makah dan Madinah, tidak hanya

memunculkan perbedaan waktu, tempat, kriteria panjang pendek dan

seterusnya, namum merupakan fase sejarah (historis) yang berjalan

secara dialektik-dinamis antara teks dan realitas (atau sebaliknya),

yang berpengaruh baik dalam tatanan isi maupun struktur teks.

Untuk mewujudkan itu semua, Nashr Hamid12 mengawali

pembacaan kritisnya dengan ungkapan mendasar, bahwa dalam

11 Rumusan ini asalnya diambil ketika Nashr Hamid merumuskan adanya

pelbagai kerancauan konseptual tentang makki dan madani seperti rumusan para ulama, yang salah satunya adalah memisahkan antara teks dan hukumnya. Nah, upaya rekonstruksi Nashr Hamid itu kemudian penulis rumuskan dalam bentuk bahasa lain dengan tidak meninggalkan maksud dan tujuan aslinya, dimana tujuan mendasarnya tidak lain adalah berupaya mensinergikan wujud dialektika antara teks dan realitas, termasuk teks dan dalalah-nya, yakni hukum syari’ dan fiqhiyah-nya (hukum Islam).

12 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 89-90.

106

konteks teks al-Qur'an, para ulama kadang-kadang mengabaikan

hubungan ketergantungan dan kesatuan waktu yang niscaya antara

teks secara bersamaan dengan dalalah-nya. Hal ini terjadi karena

mereka mengasumsikan teks muncul terlebih dahulu sementara

hukum yang dikandungnya berlaku kemudian, sama halnya hubungan

ketergantungan logis mengasumsikan kembali bahwa hukum turun

terlebih dahulu di fase Makah, kemudian disusul dengan teks (wahyu)

yang turun di fase Madinah.13

Padahal asumsi ini akan mengakibatkan; pertama,

memunculkan teks tanpa hukum-hukumnya yang berarti teks tidak

bermakna, padahal jika tidak bermakna, maka teks akan kehilangan

karakteristiknya sebagai teks yang paling esensial. Kedua, secara logis

akan memunculkan proses komunikasi atau pewahyuan tanpa teks.

Pertanyaannya; bagaimana mungkin hukum diturunkan tanpa teks-

nya?.

Satu perumpamaan, jika saja ulama al-Qur'an mengakui bahwa

“sunnah” adalah teks kegamaan–maka asumsi teks muncul

belakangan dari hukumnya–menjadikan ulama hanya mengakui “al-

Qur'an”. Sebab as-Sunnah hanya diasumsikan sebagai “catatan

interpretatif” (terhadap al-Qur'an) saja. Hal ini bertentangan dengan

ahli fiqh dan ushul fiqh, bahwa dalam pengambilan hukum mereka

berstandar pada al-Qur'an dan as-Sunnah. Maksudnya mereka

menganggap al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai dalalah-dalalah syara’

yang dapat dijadikan dasar pengambilan hukum. Andaikata para

ulama menyadari kaitan antar dalalah syara’ ini, maka hipotesis

mengenai kemungkinan teks didahului hukumnya, hanyalah semata-

mata asumsi mereka mengenai adanya teks turun belakangan dari

13 Lihat Al-Zarkasyi, op. cit., hlm. 252.

107

hukum (yang dikandungnya) merupakan asumsi intelektual yang

didasarkan pada pemisahan antara dua sisi teks kegamaan (ungkapan

bahasa dan dalalah-nya).14

Dengan demikian, pemisahan antara teks dan hukum pada

dasarnya mengabaikan keterkaitan antara teks dan dalalah-nya.

Adanya pelbagi kerancuan dengan memisahkan teks dan hukumnya

tidak lepas dari upaya kompromi antar riwayat yang berbeda dalam

menentukan ayat atau surat makiyah atau madaniyah–sebagaimana

disebut dalam metode sinkretisme antar riwayat–oleh para ulama

dalam konsep makki dan madani tanpa adanya reserve dan analisis kritis

terhadap riwayat-riwayat tersebut.

Untuk itu Nashr Hamid15 membuktikannya dengan contoh

yang dikemukakan oleh ulama, semisal dalam surat al-Ma’idah yang

menerangkan tentang tayamum, yang dalam hal ini sebagian ulama

berpendapat bahwa ayat tersebut madaniyah yang didasarkan pada

sebab turunnya ayat. Ini tentunya bertentangan dengan kenyataan

bahwa shalat difardlukan di Makah. Ayat tersebut adalah;

برؤسكم وامسحوا املرافق اىل وايديكم وجوهكم فاغسلوا الصالة اىل اذاقمتم امنوا الذين يها ياء من منكم احد جاء او سفر على او مرضى كنتم وان فاطهروا جنبا كنتم وان الكعبني اىل وارجلكم ما منه وايديكم بوجوهكم فامسحوا طيبا صعيدا فتيمموا ماء جتدوا فلم النساء المستم او الغائط تشكرون لعلكم عليكم نعمته ويتم ليطهركم يريد ولكن حرج من عليكم ليجعل اهللا يريد

Artinya;“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan

shalat, maka hendaklah melakukan shalat dan basuhlah mukamu dan tangan-tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah rambutmu (serta basuhlah) kakimu sampai mata kaki. Apabila kamu dalam keadaan junub (ber-hadats besar) maka bersucilah (mandi besar). Apabila kamu sakit atau dalam perjalanan, atau salah seorang diantara kamu habis buang air atau menyentuh wanita, namun

14 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 90. 15 Ibid, hlm. 89-90.

108

kalian tidak mendapatkan air, maka gunakanlah debu yang suci dan ber-tayamum, usaplah muka dan tanganmu. Sedikit pun Allah tidak berkeinginan untuk menyulitkanmu, tetapi Ia menghendaki agar kamu sekalian suci dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu. Mudah-mudahan kamu bersyukur.16

Sebab turunnya ayat tersebut didasarkan pada riwayat dari

Aisyah yang kalungnya jatuh di Padang Sahara. Ketika memasuki

Kota Madinah, kemudian Rasul menghentikan perjalanan dan

istirahat, kemudian ia meletakkan kepalanya di pangkuan Aisyah.

Tidak lama kemudian datanglah Abu Bakar seraya berkata kepada

Aisyah; “engkau membuat masyarakat sibuk dengan mencari sebuah

kalung”. Kemudian Rasul bangun ketika waktu shalat tiba, beliau

mencari air, namun tidak mendapatkannya.17 Maka turunlah ayat

tersebut. Sebagaimana diungkapkan al-Suyuthi dalam al-Itqan-nya–

berdasar riwayat, diantaranya Ibnu Abdul Bar dan ulama lainnya18–

bahwa ayat tersebut disepakati madaniyah, sementara wudhu

difardlukan di Makah seiring dengan difardlukannya shalat,

disamping juga ada riwayat lain yang menerangkan bahwa bagian

awal dari ayat tersebut diturunkan terlebih dahulu bersama dengan

kefardluannya wudlu, kemudian apada bagian akhirnya, yaitu

16 Surat 5 : al-Ma’idah : 6. 17 Lihat A.A. Dahlan dan M. Zaka al-Farisi (eds), Asbab an-Nuzul; Latar Belakang

Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur'an, Edisi Kedua (cet. ke-6), Bandung, CV. Diponegoro, 2003, hlm. 185.

18 Jika dicermati secara seksama–pengambilan al-Suyuthi dalam al-Itqannya–lebih didasarkan adanya pertentangan pelbagai riwayat yang berbeda-beda dalam mencermati Surat al-Ma’idah ayat 6 tersebut. Misalnya saja, Hadits al-Bukhari dari Riwayat Amr bin al-Harits yang dengan jelas menyatakan bahwa ayat tersebut menerangkan tayamum yang diriwayatkan dari berbagai Hadits tanpa menyebutkan sumber surahnya, sebagaimana diungkapkan Ibnu Abilbarr, bahwa ayat tersebut membingungkan (mu’dillah), karena ketidakjelasan ayat mana dari ayat itu. Yang dimaksud Aisyah, Ibnu Abilbarr tidak mendapatkan dalil yang memperkuat Hadits tersebut. Tentang pelbagai periwayatan berbeda dalam mencermati ayat tersebut dengan pemahaman dan perspektif yang berbeda, lebih lengkapnya lihat A. A. Dahlan dan M. Zaka Al-Farisi (eds), Ibid, hlm. 185-187.

109

berkenaan dengan tayamum, diturunkan kemudian berkenaan dengan

cerita tersebut.

Sebagaimana diungkapkan Nashr Hamid19–dengan mengutip

dari as-Shirah Nabawiyah–bahwa riwayat tersebut berkaitan dengan

Jibril mengajari Muhammad praktik wudhu dan shalat sekaligus, lebih

diterima dalam perspektif konteks teks agama yang lebih

komprehensif. Hal ini karena al-Qur'an tidak memuat bagaimana cara

shalat, berapa jumlah rakaatnya, dan berapa jumlah fardhu dan

sunnahnya juga. Al-Qur'an hanya menyinggung secara garis besar

mengenai kefardluan dan kewajiban shalat.

Oleh karena itu, tentunya kemunculan teks tidak akan terlepas

dari hukum (yang dikandungnya). Yang terjadi adalah teks dan

hukum muncul berbarengan dalam satu waktu. Meskipun demikian,

ayat dalam surat al-Ma’idah yang menjadi perselisihan bukan “teks”

mengenai wudhu, melainkan “teks” mengenai tayamum. Artinya

wudhu diungkapkan dalam ayat tersebut bukan sebagai tujuan

sebenarnya, kemunculannya hanya sebagai pendahuluan untuk

menjelaskan tayamum, sebagai permasalahan inti yang mendapat

respon dari ayat yang turun. Sepadan dengan ayat itu adalah ayat

dalam surat al-Jumu’ah;

البيع وذروا ذكراهللا اىل فاسعوا اجلمعة يوم من لصالةل نودي اذا امنوا يهاالذين ياء

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru pada hari Jum’at untuk shalat, maka bergegaslah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagi kamu sekalian apabila kamu sekalian mengetahui”.20

19 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 91. 20 Surat 62 : al-Jumu’ah : 9.

110

Dalam ayat tersebut tidak menegaskan kefardluan shalat

Jum’at, tetapi menegaskan kewajiban meninggalkan jual beli. Struktur

teks sendiri menunjukkan demikian. Atas dasar ini, tidak ada gunanya

berusaha mengkompromikan antara pernyataan bahwa ayat tersebut

madaniyah dan pernyataan bahwa shalat difardlukan di Makah.

Apabila asumsi teks turun dikemudian dari hukumnya

merupakan ilusi yang muncul karena tidak memahami konsep teks

agama pada satu sisi, dan kerena ketidakmampuan dalam

menganalisis teks secara bahasa di sisi lain, maka Nashr Hamid21

menegaskan, bahwa asumsi mengenai hukum muncul kemudian dari

teks atau dengan kata lain dari segi waktu teks mendahului hukum

dan dalalah-nya, muncul dari sejumlah kekeliruan sebagai berikut;

1. Tidak membedakan antara makna bahasa dan makna syari’ dalam

teks, meskipun secara teoritis para ulama menyadari banyak

istilah bahasa dalam teks, khususnya dalam bidang hukum syari’at

dan ibadah yang mengalami proses perkembangan semantik

2. Adanya tafsiran tertentu terhadap teks yang didasarkan sebuah

riwayat yang tidak dapat ditolak oleh ulama, karena riwayat

tersebut dinisbatkan kepada seorang sahabat atau tabi’in.

Sehingga jalan yang ditempuh adalah kompromi dengan

mengajukan asumsi bahwa teks turun belakangan dari hukumnya

3. Mencampuradukkan antara munasabah (situasi) turunnya (ayat)

dengan konteks lain di mana teks tersebut dipergunakan kembali,

sehingga perawi menduga bahwa teks diturunkan mendahului

sebab (turun)-nya. Kemudian muncul ulama di fase lain

mengatakan bahwa teks turun mendahului hukum dan munasabah-

nya adalah dimungkinkan.

21 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 91-94.

111

Dialektika teks dan hukum Islam oleh Nashr Hamid berangkat

untuk menghindari kesalahpahaman terhadap teks yang kering dan

mati. Karena kekeliruan dalam memahami teks akan berakibat fatal

dengan tidak adanya perbedaan signifikan makna bahasa dan makna

syari’. Ini artinya bahwa bahasa yang dikandung teks belum tentu

mampu diinterpretasikan secara rigid dalam bahasa syari’at. Oleh

sebab itulah, ikhtiyar untuk mewujudkan penyelarasan substansi

bahasa teks dengan makna syari’ sangatlah penting. Misalnya asumsi

ulama tentang ayat Al-Qur'an;

فصلى ربه اسم وذكر تزكى من افلح قد

Artinya; “Beruntunglah mereka yang menyucikan diri dan menyebut nama Tuhannya, kemudian melakukan shalat”22

Ayat tersebut dikatakan sebagai penjelas mengenai zakat,

walaupun ayat tersebut makki. Walaupun al-Suyuti menjelaskan

secara tegas; “Di Makah tidak ada hari raya, tidak ada zakat, dan tidak

ada puasa”. Al-Baghawi juga menambahkan bahwa bisa jadi ayat

mendahului (praktik) hukumnya.23 Padahal ayat tersebut bagi Nashr

Hamid tidak berhubungan dengan zakat dengan pengertian fiqhiyyah-

syari’ah-nya. Pemaknaan secara bahasa yang banyak digunakan al-

Qur'an adalah “penyucian diri”. Walaupun ayat lain dalam al-Qur'an

ada yang menyinggung makna penyucian diri dengan harta, misalnya;

على اال ربه وجه ابتغاء اال جتزى نعمة من عنده الحد وما يتزكى ماله يؤيت الذى االتقى وسيجنبها Artinya; “Orang-orang yang bertakwa menyerahkan hartanya untuk

membersihkan diri akan dijauhkan darinya (api neraka). Dan, tiada nikmat yang dimiliki seseorang yang harus dibalas, kecuali dilakukan hanya untuk mengharap Tuhannya Yang Mahaluhur”24

22 Surat 87: al-A’la: 14-15. 23 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 110. 24 Surat 92: al-Lail: 17-20.

112

Kejelasan bahwa makna syar’iyyah-nya bukan zakat adalah

dengan penyebutan ayat dengan bentuk ithnab (pemanjangan

ungkapan) yang tidak berguna dan dihindari oleh teks. Sebagai akibat

sikap dai yang mencampuradukkan makna bahasa dengan makna

syar’iyyah dari suatu kata. Sebab sebagian ulama ada yang berpendapat

bahwa di dalam beberapa surat makkiyah ada beberapa hukum

syar’iyyah-fiqhiyyah-nya.25

Sedangkan jalan kompromi dengan mengajukan asumsi bahwa

teks turun belakangan dari hukumnya sebagai kesalahan kedua

misalnya adalah ada pada surat al-Balad yang diasumsikan madaniyyah.

Ayat yang diambil adalah “La uqsimu bihadzal balad”. Dapat pula

disinggung disini apa yang disampaikan Ibnu al-Hisar berkenaan

dengan riwayat A’isyah bahwa ayat al-Qur'an; اهللا اىل دعا ممن قوال احسن ومن

صاحلا وعمل merupakan ayat yang masuk dalam klasifikasi makkiyah dan

berkenaan dengan dua orang mu’adzin. Akan tetapi, contoh yang

lebih jelas lagi adalah dari Imam Suyuthi dari Ibnu Mas’ud, yaitu

riwayat yang berkenaan dengan makkiyah, yaitu ayat al-Qur'an yang

artinya; “Katakanlah; telah datang kebenaran dan kebatilan tidak akan

muncul dan kembali lagi”.26

Contoh kekeliruan ketiga dengan mencampuradukkan antara

“munasabah” (situasi) turunnya (ayat) dengan konteks lain dimana teks

tersebut dipergunakan kembali, sehingga perawi menduga bahwa

teks diturunkan mendahului sebab (turun)-nya adalah riwayat as-

Suyuthi yang menjelaskan bahwa Umar bin Khattab pada waktu

turunnya al-Qur'an; “Semuanya akan digempur dan mereka semua akan

25 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 110. 26 Ibid, hlm. 112.

113

tunggang langgang”. Selanjutnya Umat menyatakan; Semua itu siapa?

Pada saat terjadinya Perang Badar, dan orang-orang Quraisy

mengalami kekalahan, saya memandang ke arah Rasulullah berada di

belakang mereka sambil menghunuskan pedang seraya berkata;

“Golongan tersebut akan dikalahkan dan mereka akan mundur

tunggang langgang’. Selanjutnya ayat tersebut dikatakan munasabah-

nya adalah perang Badar.27

Namun konteks ayat dalam suratnya sendiri mengungkapkan

bahwa ayat tersebut bukan mengandung persoalan perang Badar

akan tetapi mengandung suatu perbandingan antara keluarga Fir’aun

dan orang-orang Musyrik Makah. Perbandingan tersebut dapat

dirasakan melalui pergeseran teks dari cerita Fir’aun ke ancaman

terhadap penduduk Makah dalam al-Qur'an;

من خري اكفاركم. مقتدر عزيز اخذ فاخذناهم كلها بايتنا كذبوا. النذر فرعون ال جاء ولقد بل. الدبر ويولون اجلمع سيهزم. منتصر مجيع حنن يقولون ام. الزبر يف براءة لكم ام اولءكم وأمر أدهى والساعة هم موعد الساعة

Artinya; “Dan sesunguhnya, telah datang kepada kaum Fir’aun ancaman-

ancaman. Mereka mendustakan mukjizat-mujizat Kami semuanya, lalu Kami siksa mereka sebagai azab dari Yang Mahaperkasa dan Mahakuasa. Apakah orang-orang kafir kalian yang lebih baik daripada mereka itu, atau apakah kamu telah mempunyai jaminan kebebasan dari siksa dalam kitab-kitab dahulu. Atau, apakah mereka mengatakan; Kami adalah satu golongan yang bersatu yang pasti menang. Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. Sebenarnya, hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka, dan hari kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.28

Dengan demikian upaya pembacaan ulang terhadap teks

berdasar perkembangan cakrawala pembacaan merupakan wujud

27 Ibid, hlm. 113. 28 Surat 54: al-Qamar: 41-46.

114

mendialogkan teks dan realitas. Di mana seiring dengan gerak

realitas, maka membaca dan menginterpretasi ulang teks senantiasa

terbuka dan berpeluang untuk mengungkapkan realitas-realitas baru.

Bahkan sah-sah saja membaca kembali teks-teks makiyah dalam

perspektif fase-fase madaniyah.

Ulama sendiri menyadari pemisahan antara makki dan madani

tidak selalu pasti, sebab diantara teks-teks madaniyah memuat

karakteristik-karakteristik teks-teks makiyah, demikian pula

sebaliknya–pada tataran realitas dan tataran teks. Tentunya

perkembangannya tidak terjadi dengan melompat, namun perubahan

itu bertahap. Sehingga didapatkan teks makiyah yang dapat dijadikan

sinyal perkembangan berikutnya pada fase madaniyah.29

Akan tetapi dalalah-dalalah baru ini tidak dapat diungkapkan,

kecuali melalui teks itu sendiri dalam interaksinya dengan (gerak)

realitas, dimana teks mengembangkan bahasa, agar bahasa seiring

dengan gerak (perkembangan) realitas tersebut. Selain itu dalalah-

dalalah tersebut dapat tersingkirkan dari teks hanya melalui pembaca

dan penafsir melalui dialektika akal manusia dengan teks.30 Selama

dialektika akal dengan teks masuk dalam gerak dan realitas-historis

yang muncul dari kesadaran ilmiah, maka teks akan benar-benar

menemukan peran signifikansinya.

2. Dinamisasi Hukum Islam

Pemaknaan hukum Islam yang dinamis dari rekonstruksi

konsep makki dan madani yang dilakukan Nashr Hamid Abu Zaid

jika dipahami secara seksama mengindikasikan dua hal pokok;

pertama, bahwa periodeisasi makki dan madani dalam penurunan

29 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 95. 30 Ibid, hlm. 95.

115

ayat/surat al-Qur'an yang dilakukan secara gradual (bertahap),

mempunyai maksud pensyari’atan hukum Islam secara dinamis.

Artinya bahwa hukum Islam lahir sesuai dengan gerak dinamika dan

kebutuhan masyarakat dalam konteks peradaban saat itu. Selain itu,

hukum tidak lepas dari sebuah teks yang hadir di dalam teks al-

Qur'an sendiri—terlepas dari perselisihan pendapat; “dahulu mana

antara hukum daripada teks dalam ayat/surat makki maupun madani

atau sebaliknya”.

Dapat dikemukakan disini, bahwa wujud di-syari’atkan-nya

suatu hukum tidak dilakukan secara tiba-tiba, akan tetapi melalui

proses yang bertahap dan dinamis. Semisal pada teks al-Qur'an yang

memuat aturan hukum tentang diharamkannya minuman keras dan

sejenisnya, yang penetapan hukumnya dilakukan secara bertahap dan

dinamis mengikuti gerak realitas historis. Pada awalnya pesan teks

hanya menerangkan bahayanya yang lebih besar dibandingkan

manfaatnya. Seperti dijelaskan dalam al-Qur'an;

نفعهما من اكرب وامثها للناس ومنفع كبري امث فيهما قل

Artinya; “Katakanlah pada keduanya (khamr dan judi) itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya.31

Menyusul ayat tersebut di atas, adalah ayat yang sudah

menitikberatkan pada keharaman khamr pada waktu-waktu tertentu

yang khitab-(sasarannya)-nya ditujukan bagi orang yang beriman,

yakni sebagimana dijelaskan al-Qur'an;

تقولون ما تعلموا حىت شكرى وانتم الصالة تقربوا ال امنوا الذين يايها

31 Surat 2: al-Baqarah: 219.

116

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan”.32

Setelah melalui dua tahapan sebagaimana dituangkan dalam

ayat-ayat tersebut di atas, maka ayat berikutnya sudah secara tegas

menerangkan keharaman (ketidakbolehan) khamr, karena

meminumnya merupakan perbuatan yang tidak mendatangkan

keberuntungan/kebahagiaan. Hal ini didasarkan pada perkembangan

realitas peradaban manusia, khususnya merespon kondisi masyarakat

Arab saat itu, yang menjadikan khamr sebagai kebiasaan yang sering

mendatangkan kerusakan dan kemadlaratan, sebagimana ditegaskan

pada ayat al-Qur'an sebagi berikut;

لعلكم فاجتنبوه الشيطان عمل من رجس واالزمل واالنصاب وامليسري اخلمر امنا امنوا الذين يايها تفلحون

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah itu adalah perbuatan keji dari tindakan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.33

Kemudian yang kedua, ia bermaksud mengkritik keras

kecenderungan pengabaian status tekstualitas al-Qur`an yang biasa di

jumpai dalam studi pemikiran Islam tradisional. Dalam studi

semacam ini penekanan umumnya ditujukan pada pihak pengujar

teks (Allah), kemudian pihak penerima pertama teks (Muhammad),

dan setelah itu baru berbicara tentang realitas yang melatari teks

tersebut di bawah topik-topik semacam asbab al-nuzul, nasikh-

mansukh, makki dan madani dan sebagainya.

32 Surat 4: an-Nisa’: 43. 33 Surat 5: Al-Maidah: 90.

117

Nashr Hamid menyebut metode ini “dialektika menurun” (al-

diyaliktik al-habith), yaitu dialektika yang menolak dari tataran yang

abstrak dan ideal menuju yang konkret dan empiris. Menurutnya,

studi semacam ini lebih bercorak spekulatif dan idealistik (untuk

tidak mengatakan teologis) hingga sulit untuk dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, disamping mudah terpeleset

jadi retorika kosong belaka.34

Sebagai ganti dari kecenderungan spekulatif dan idealistis di

atas, Nashr Hamid menawarkan metode yang berkebalikan

dengannya, yaitu mengkaji teks al-Qur'an dari titik tolak kenyataan-

kenyataan dan aksiomatika-aksiomatika (al-haqa`iq wal-badihiyyat) dan

dari sini menuju hal-hal yang masih samar dan belum diketahui. Ini

berarti, mengkaji teks itu dari konteks sistem budaya dan kenyataan-

kenyataan yang melatarinya yang dapat diketahui melalui telaah

kesejarahan (historisitas).35

Perlu dipahami, bahwa peradaban Arab-Islam adalah

peradaban teks. Artinya perlu adanya penakwilan dan penafsiran

ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai

kemanusiaan. Karena yang berkembang selama ini hanya penafsiran

yang mengunggulkan aspek transendensi dan sakralitas, tapi

mengenyampingkan aspek sosiologis yang menyapa realitas

kemanusian dengan santun dan elegan. Maka konsep wahyu (al-

Qur'an) sendiri pada dasarnya adalah konsep sentral bagi teks itu

sendiri. Teks menggunakan nama tersebut (wahyu) untuk menunjuk

dirinya sendiri di banyak tempat.

34 Nashr Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm. 26. 35 Ibid, hlm. 26.

118

Ini berarti bahwa teks wahyu tidak selamanya harus berhenti di

tataran teks saja, tetapi perlu dihidupkan dengan kondisi sosial

masyarakatnya, yakni teks yang mampu melahirkan wujud dan

kandungan nilai syar’iyyah dan fiqhiyyah-nya.36

Oleh sebab itulah dibutuhkan upaya untuk mengangkat aspek

kemanusiaan dalam syari’at Islam. Dalam banyak ayat al-Quran tidak

sekedar menyerukan pembelaan kepada Tuhan, karena Dia

Mahakaya, Mahatahu dan Mahakuasa. Karenanya “Tuhan tidak perlu

dibela”. Yang semestinya mendapat perhatian adalah manusia, dalam

rangka membangun kedamaian, keadaban dan keseimbangan. Segala

bentuk penindasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia

harus menjadi sorotan hukum Islam. Dalam beberapa ayat yang

seringkali dilantunkan, “Tuhan langit dan bumi”, “Dialah Allah,

Tuhan di langit dan Tuhan di bumi” memberikan inspirasi untuk

menegakkan nilai-nilai langit dan nilai-nilai bumi yang berkaitan

dengan hak-hak utama manusia.37 Itu semua, dimaksudkan untuk

menjadikan hukum Islam lahir tidak sebagai cambuk yang

mematikan umat, tetapi memberi aturan (nidzam)yang universal dan

manusiawi.

Maka dari itu, hukum Islam seyogyanya menjadi penggerak

untuk menciptakan perubahan, mengentaskan kemiskinan,

menumpas kezaliman, menolong kaum lemah, membantu kalangan

tertindas dan mempersatukan masyarakat yang tercerai-berai.

Barangkali benar, bahwa wahyu akan dianggap wahyu yang

sesungguhnya, bukan karena diturunkan dari Tuhan belaka, akan

36 Sebab posisi al-Qur'an adalah sebagai dalil syari’ pertama bagi setiap pengambilan hukum. Lihat Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Rajawali Press, 1991, hlm. 3.

37 Hasan al-Turabi, Fiqh Demokratis; dari Tradisionalisme Kolektif menuju Modernisme Populis, Bandung, Mizan, 2003, hlm. 50.

119

tetapi tatkala wahyu itu dapat menjadi spirit dalam menciptakan

perubahan pada tataran akar rumput, membela kemaslahan dan nilai-

nilai kemanusiaan.

Tentunya, penafsiran dan pemahaman terhadap teks al-Qur'an

sangat menentukan dalam mengambil hukum Islam. Interpretasi

tersebut seutuhnya diarahkan untuk menemukan makna sebagaimana

yang dikehendaki al-Qur-an, dan menjadikan nilai-nilai al-Qur-an

benar-benar hidup. Namun sebagai proses pemahaman, unsur

subyektivitas memiliki peluang untuk terjadi. Oleh karenanya untuk

menghindari hal tersebut, setiap penafsir hendaknya menggunakan

pendekatan historis yang serius dan jujur. Dalam kerangka ini,

apresiasi kritis dan obyektif terhadap khazanah keilmuan klasik Islam

menjadi kemestian yang perlu diperhatikan.

Keberadaan al-Qur-an tersebut menunjukkan bahwa bahasa

wahyu secara khusus dan bahasa agama secara umum lebih

menampakkan diri sebagai bahasa simbol-metaforis yang memiliki

kekayaan makna dan pesan ilahi tidak terbatas yang berada di balik

simbol-simbol yang terungkapkan tersebut. Kenyataan itu

mengantarkan wahyu kepada keberadaannya sebagai sumber rujukan

yang bersifat moral perennial.38

Oleh karenanya, memahami gerak realitas teks yang historis-

dinamis–kaitannya dengan teks-teks makiyah dan madaniyah–

merupakan keniscayaan. Upaya demikian, diharapkan dapat

menguak watak dan karakteristik teks dari situasi pewahyuan dua fase

turunnya ayat/surat (Makah dan Madinah/sebaliknya), dan mampu

menghantarkan pada pemahaman dalalah teks (hukum syari’ dan

fiqhiyah-nya) secara tepat dan menyeluruh (komprehensif).

38 Ibid, hlm.15.

120

Hal tersebut dilakukan, mengingat perkembangan situasi

mutakhir perjalanan sejarah peradaban umat Islam, yang tampak

dipermukaan banyak didominasi oleh kelompok-kelompok

fundamentalisme Islam (ushuliyyin/islamiyyin) yang

mengumandangkan jargon-jargon dan propaganda “Islam jalan

keluar”, “Islam adalah sempurna (kaffah) bagi sepanjang masa)” dan

sejenisnya. Tidak cukup sampai di situ, bahkan tuntutan penerapan

syari’at Islam (hukum Islam) pun sering menggema, sebagai solusi

(jalan keluar) dan tawaran final untuk mengatasi problem di sekitar

umat.

Jika diamati dengan seksama, gerakan itu tidak lain di

latarbelakangi adanya “kepentingan” yang bersumber dari gerakan

secara idiologis-politis yang seringkali menggunakan justifikasi-

justifikasi teks keagamaan (khususnya teks al-Qur'an) dengan

mengabaikan gerak realitas teks itu sendiri. Dengan hanya

memunculkan “arti” teks saja, tanpa dibarengi kesadaran kritis dan

pembacaan atas gerak realitas teks yang dinamis-historis, akan

memunculkan sekian banyak “legitimasi” atas teks.

Fase makki dan madani yang mengungkapkan gejala umum dari

interaksi teks dan realitas-dinamis, merupakan dua fase penting yang

memiliki andil dalam membentuk teks, baik dalam tatanan isi

maupun strukturnya. Berarti bahwa teks dan dalalah-nya (hukum

syari’/fiqhiyah-nya) merupakan hasil dari interaksinya dengan realitas

yang dinamis-historis, yang berarti juga syari’at dalam makki ataupun

madani membentuk dirinya beriringan dengan gerak realitas itu.

Oleh karenanya, ditemukan bahwa teks al-Qur’an fase

Madinah, kandungan dan gaya bahasanya berbeda dengan teks fase

Makah. Perbedaan kandungan dan gaya bahasa ini merupakan

121

refleksi dari perubahan dua fase dalam perkembangan wahyu. Fase

pertama, adalah upaya meletakkan dasar-dasar masyarakat baru yang

berseberangan dengan masyarakat lama yang dominan di Makah.

Pada fase ini, teks lebih difokuskan pada upaya pembentukan nalar

baru bagi masyarakat baru yang tercermin pada akidah tauhid dan

penolakan terhadap kemusyrikan.

Fase ini menciptakan dasar-dasar yang akan dipakai untuk

membentuk kembali kesadaran terhadap sesuatu yang sejalan dengan

realitas baru yang ingin dibentuk oleh teks. Fase kedua dari

perkembangan wahyu adalah fase “pembangunan sosial” dan legislasi

pembangunan tersebut. Fase ini dimulai seiring dengan stabilitas

masyarakat baru di wilayah yang dimungkinkan menjadi dasar bagi

suatu negara yang memiliki sifat-sifat dan batas-batas wilayah yang

jelas, yakni Madinah. Disinilah dasar-dasar kemasyarakatan telah

terpenuhi.39

Seiring dengan perbedaan corak antara masyarakat baru di

“Madinah” dengan masyarakat lama di “Makah”, muncullah

pertentangan antara kedua masyarakat tersebut, dan legislasi mulai

dibutuhkan. Maka dari itu, jika wacana mutakhir muncul adanya

tuntutan penerapan syari’at Islam–terlebih jika dibatasi pada

persoalan penerapan hukum-hukum pidana (hudud)–pada dasarnya

melupakan fakta, bahwa konsep hudud mengasumsikan adanya obyek

yang dihukumi sebab tidak ada hukuman. Tujuan syari’at melalui

hudud sendiri dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari

penyimpangan dan orang-orang yang menyimpang, artinya bahwa

39 Ibid, hlm. 14-15.

122

hukum pidana pertama-tama mengasumsikan adanya masyarakat

muslim yang dilindungi oleh hukum tersebut.40

Disamping itu, tuntutan tersebut juga melangkahi dan

mengabaikan dialektika teks dengan realitas yang dinamis–walaupun

dasar teoritiknya dapat diterima–yang berarti mengabaikan maksud

syari’at dan tujuan wahyu dalam mengundangkan hukum tersebut.

Pada akhirnya tujuan agama yang nampak di permukaan dibatasi

pada hukum merajam pelacur, memotong tangan pencuri,

mencambuk pemabuk dan seterusnya, tanpa dibarengi dengan

pemahaman atas gerak realtitas teks dan dalalah-nya, dimana tujuan

wahyu dan maksud syari’at harus dipisahkan dari realitas, ketika

“teks” dipisahkan dari realitas melalui tuntutan menerapkan “teks”

yang mutlak pada “realitas” yang juga mutlak juga.

Walhasil, bahwa periode makki dan madani sama-sama

melahirkan hukum yang dinamis. Dinamisasi hukum yang

terkandung dalam ayat/surat makki maupun madani menjadikan bukti

otentik akan elastisitas dan keterbukaan Islam dalam hal penerapan

hukumnya. Artinya, bahwa implikasi paling riil dalam hukum Islam

berdasarkan rekonstruksi makki dan madani Nashr Hamid Abu Zaid

adalah keberadaan hukum Islam yang dinamis, seiring gerak dan

dinamika teks–hasil dari interaksinya dengan realitas-historis.

40 Ibid, hlm. 15.