bab iv analisa studi kasus terhadap konflik...
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISA STUDI KASUS TERHADAP KONFLIK INTERNAL GEREJA
GMIST SAWANG
4.1 Pendahuluan
Penulis telah mengatakan sebelumnya bahwa proses pengambilan data dalam
penulisan tesis ini adalah dengan menggunakan metode observasi dan wawancara
terhadap objek-objek penelitian yaitu mereka yang terkait dengan konflik dalam gereja
GMIST sawang yang mengakibatkan perpecahan gereja dan disitegrasi masyarakat.
Dalam bagian analisa akan diuraikan hasil penelitian yang kemudian akan diasah
dengan teori konflik dan kekuasaan yang telah dijabarkan dalam bab dua.
Tak dapat disangkal bahwa dalam proses pengambilan data penulis mendapatkan
berbagai kendala dari responden yang nampaknya tak ingin begitu terbuka terhadap
penulis sebab masalah konflik adalah masalah yang sensitif. Terutama responden yang
telah menyatakan diri keluar dari GMIST dan yang sekarang merupakan anggota Jemaat
KGPM Sidang Sentrum Sawang, yang hingga kini terlihat sikap antagonistiknya
terhadap anggota jemaat GMIST, seperti yang telah penulis jabarkan dalam bab yang
membahas tentang hasil penelitian. Meskipun demikian, pihak GMIST juga memiliki
tindakan yang sama dengan mereka yang berpindah ke KGPM.
Kendala yang lain dalam menganalisa hasil penelitian ini adalah sebagaimana
telah saya sampaikan dalam latar pemikiran maupun dalam uraian hasil penelitian
bahwa awal terjadinya konflik ini adalah dikeluarkannya surat keputusan mutasi
terhadap pendeta X yang melahirkan dua pihak yang Pro dan Kontra terhadap keputusan
tersebut. Alasan ini terlihat begitu sederhana yang seharusnya tak pantas untuk
terciptanya konflik yang berbuah perpecahan, yang sebaiknya dapat dibicarakan dengan
bijak. Karena itu kecurigaan awal penulis ialah adanya faktor lain dalam perpecahan ini
yaitu kepentingan tersembunyi dari orang-orang yang berperan penting dalam konflik
tersebut. Maka, sebisa mungkin penulis akan menggunakan teori dalam bab dua untuk
menganalisa data yang diperoleh dilapangan dengan sikap yang senetral mungkin.
4.2 Analisa Terhadap Faktor-Faktor Konflik Internal Jemaat GMIST Sawang
4.2.1 Adanya Prakondisi Konflik dalam Jemaat GMIST Sawang yang puncaknya pada
mutasi pendeta X.
Konflik yang terjadi dalam Gereja GMIST sawang yang mengakibatkan telah
terpecahnya jemaat GMIST Sawang dan berdirinya Jemaat KGPM Sentrum Sawang
tetap terasa hingga saat ini di mana terjadi disintegrasi dalam masyarakat Kampung
Sawang. Dengan melihat dan menilai sikap antagonistik yang masih tergambar jelas di
wajah dan perilaku dari masing-masing anggota Jemaat. Satu hal yang ingin ditegaskan
oleh penulis bahwa tak semua anggota jemaat yang masih di GMIST dan yang sudah
pindah di KGPM bersikap antagonistik satu dengan yang lainnya. Sebab yang sangat
nampak adalah mereka yang turut aktif dalam menciptakan konflik tersebut. Sebagian
besar anggota yang tak berpindah atau yang telah ikut berpindah tidak tahu menahu
alasan yang tersirat dari perpecahan tersebut. Mereka hanya mengetahui bahwa alasan
berpindah itu karena mereka ingin menahan pendeta X untuk pelayanan lebih lama
sampai masa periodenya selesai dan anaknya bisa menyelesaikan sekolahnya di kelas III
SMP Negeri 1 Siau Timur Selatan.
Yang sebenarnya dihadapi dalam konflik internal GMIST ini adalah berdasarkan
Dictionary of English Language and Cultur yaitu sebuah konflik yang merupakan status
perselisihan paham atau argumen antara kelompok-kelompok yang berlawanan atau ide-
ide yang berlawanan atau prinsip-prinsip yang berlawanan.1 Ketika pihak yang pro
maupun yang kontra memiliki argumen, ide-ide dan bahkan prinsip-prinsip yang saling
bertabrakan mengakibatkan konflik internal itu lebih bertambah parah, mengingat
keinginan mereka telah benar-benar berbeda bahkan kepentingan yang ada di dalamnya
yang tak mungkin dibicarakan bersama.
Konflik yang terjadi di jemaat GMIST Sawang adalah konflik yang sama dengan
pemikiran dari seorang pakar Sosiologi yaitu Lewis Coser yaitu konflik Internal yaitu
konflik yang muncul dalam sebuah kelompok yang memiliki hubungan yang sangat
intim seperti hubungan antar sesama anggota Jemaat GMIST Sawang. Konflik internal
itu muncul karena ketegangan dan perasaan-perasaan negatif yang merupakan hasil dari
keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan
sosial serta penghargaan-penghargaan. Sama halnya dengan anggota jemaar GMIST
Sawang yang berperan aktif dalam konflik seperti yang telah penulis jabarkan dalam
bab 3 yaitu mereka memiliki tujuan mengapa harus berkonflik. Dean G Pruitt dan
Jeffrey Z, Rubin mengungkapkan bahwa Objek Konflik pastilah terkait erat dengan
sebuah kepentingan dari pelaku konflik tersebut. Yang dimaksud dengan kepentingan di
sini ialah perasaan dari pelaku konflik tentang apa yang sesungguhnya ia inginkan.
Demikian halnya mereka yang berperan aktif dalam proses konflik di jemaat GMIST
Sawang baik yang Pro maupun yang Kontra atas keputusan mutasi pendeta X jelas
memiliki kepentingan sendiri-sendiri, apakah itu untuk kelancaran dan kebaikan
1 Longman, Dictionary of English Language and Culture (British: Longman Press, 2005), 287.
institusi maupun demi kepentingan pribadi. Sebut saja mereka yang berpindah ke
KGPM Sentrum Sawang, alasan berpindah mereka adalah karena tidak senang atas
keputusan mutasi pendeta X dan mereka merasa kasihan terhadap pendeta X yang harus
pindah sebelum masa pelayanannya selesai dan juga prihatin atas studi dari anak
pendeta X. Namun ada yang menarik dalam wawancara dengan anggota jemaat KGPM
Sentrum Sawang, mereka cenderung mengatakan bahwa “ kalau anggota jemaat GMIST
mengatakan mereka berpindah karena tetap menginginkan kedudukan dalam jemaat itu
salah, toh mereka di GMIST Sawang juga memiliki kedudukan sebagai majelis jemaat.
Tapi yang menyenangkan mereka adalah, mereka sampai mati pun akan tetap membawa
gelar sebagai penatua dan tidak dapat diganggu gugat, sebab kedudukan sebagai penatua
merupakan kedudukan tertinggi setelah pendeta. Berlaku di jemaat baik GMIST
maupun KGPM hanya yang berstatus penatua yang bisa menggantikan pendeta untuk
memimpin ibadah di mimbar gereja. Kedudukan sebagai seorang penatua merupakan
hal yang sangat membanggakan”. Ungkapan kebanggaan sebab mereka akan membawa
gelar penatua hingga keliang kubur mengungkapkan suatu makna kepentingan mereka
meskipun disangkal ketika ditanyakan. Kepentingan yang jelas tergambar dan juga
diakui oleh anggota jemaat GMIST Sawang yaitu ingin tetap memegang kedudukan
sebagai majelis jemaat. Sebab beberapa dari mereka sudah berumur mendekati masa
pensiun sebagai majelis jemaat yaitu mendekati umur 60 tahun. Untuk itu jabatan
sebagai penatua di jemaat KGPM adalah lebih memiliki kekuasaan dibandingkan
dengan di GMIST. Sebab di GMIST masih akan mencapai masa berhenti berbeda jelas
dengan di KGPM. Jabatan sebagai penatua sanggup memberikan mereka kuasa sejak
saat dilantik hingga meninggal.
4.2.2 Konflik internal berubah menjadi konflik eksternal karena kehadiran pihak ke
tiga.
Konflik internal yang muncul akibat adanya kepentingan tersebut akhirnya juga
berdampak pada konflik eksternal seperti yang juga dikemukakan oleh Lewis Coser
yakni konflik yang terjadi antara dua kelompok yang berbeda. Sebab hingga sekarang
konflik antara gereja GMIST Sawang dan KGPM Sidang Sentrum Sawang masih
terjadi. Sekat yang tinggi sangat terasa di sana, di mana tak tercipta komunikasi yang
baik antara anggota jemaat GMIST dan jemaat KGPM. Kalau pun komunikasi itu
tercipta semua berusaha mengetahui sisi lemah dari masing-masing. Pengalaman
tersebut terjadi ketika penulis berada di lokasi penelitian, di mana ketika penulis di
panggil oleh jemaat KGPM untuk memimpin ibadah Minggu di jemaat mereka, maka
penulis juga di minta oleh jemaat GMIST untuk memimpin ibadah minggu di jemaat
GMIST. Mereka bersaing ingin dikatakan baik dan bijak dalam berjemaat. Tak heran
ketika dalam warta jemaat sering di sampaikan oleh majelis jemaat agar harus rajin
beribadah jangan mau kalah dengan jemaat lainnya. Terjadi persaingan yang sengit
antara kedua jemaat ini. Hal lain juga yang menjadi keprihatinan penulis adalah ketika
ada anggota jemaat yang berselisih paham dengan sesama anggota jemaatnya, maka
pasti akan memutuskan diri berpindah ke jemaat lainnya (KGPM ke GMIST, demikian
sebaliknya GMIST ke KGPM). Seperti terjadi pada akhir tahun kemarin ada anggota
jemaat KGPM yang berpindah kembali ke GMIST karena alasan pribadi yang menjadi
faktornya. Sebab penulis juga sudah mewawancarai responden tersebut dan dengan
terang-terangan beliau menjelaskan alasannya. Demikian yang dari GMIST berpindah
ke KGPM sering kali karena alasan tak dihargai di GMIST makanya memilih jalan
untuk berpindah di KGPM.
Pergeseran dari konflik internal menjadi konflik eksternal terjadi dalam kasus
konflik di Jemaat GMIST Sawang menurut hasil analisa penulis adalah karena orang-
orang yang terlibat konflik internal menghadirkan kelompok lain yang menjadi orang ke
tiga dalam konflik tersebut. Sebutlah kehadiran KGPM sebenarnya adalah merupakan
pencetus terciptanya pergeseran konflik tersebut. Memang tidaklah serta merta penulis
menarik sebuah kesimpulan bahwa berarti yang paling bertanggung jawab atas konflik
eksternal ini adalah mereka yang kontra dan yang memutuskan untuk berpindah
tersebut. Sebab bagi penulis baik pihak yang pro maupun yang kontra keduanya
memiliki andil sebab masing-masing masih mempertahankan rasa marah dan kecewa
terhadap satu sama lain serta masih memiliki keinginan untuk berkonflik, yang disebut
oleh Lewis Coser Sebagai konflik Nonrealistik.
KGPM sebagai suatu aliran gereja diluar daerah pelayanan GMIST bisa sampai
di sana sebab memang diinginkan oleh pihak yang kontra dengan demikian seperti yang
dikemukakan oleh penulis bahwa KGPM menjadi pihak ketiga dalam kelompok pro dan
kontra dalam GMIST ini. Sesuai pandangan George Simmel pihak ketiga dapat
memanfaatkan perselisihan dalam kelompok, dan pihak ketiga dapat juga
memanfaatkan perselisihan antar dua pihak yang lain demi keuntungannya sendiri atau
menjadi sasaran yang dapat diperebutkan dua pihak lain. Yang menurut hemat penulis
bahwa memang ada manfaat yang luar bisa menguntungkan pihak KGPM sebab mereka
bisa “buka cabang” pelayanan di luar Minahasa, yang tentunya dengan jumlah anggota
yang luar biasa besar dibandingkan jemaat KGPM yang telah berdiri di Siau
sebelumnya. Sebab berdasarkan penuturan responden bahwa merekalah jemaat KGPM
yang terbesar yang ada di Siau dibandingkan dua jemaat KGPM lainnya seperti yang
ada di Balirangen dan Batu Senggo.
Pandangan lain dari George Simmel berkaitan dengan kehadiran pihak ketiga
adalah bahwa pihak ketiga pun dapat secara sengaja mendorong terjadinya konflik antar
dua pihak lain untuk memperoleh superioritas atau dengan kata lain memecah belah
dan menguasai. Pendapat Simmel tentang tindakan pihak ketiga ini tak bisa langsung
diiyakan oleh penulis mengingat penulis tak mendapatkan tanda dari fakta adanya unsur
kesengajaan dari kehadiran KGPM secara spontan, sebab yang menghadirkan KGPM
adalah mereka yang kontra. Namun memang penyesalan dari penulis sendiri bahwa
kalau tidak ada unsur sengaja untuk mendapatkan superioritas dari pihak KGPM,
mengapa mereka mau-mau saja datang, memberi izin dan mendukung proses
berpindahnya anggota yang kontra dalam konflik internal GMIST?.
Sehubungan dengan perpindahan anggota jemaat GMIST ke KGPM maupun
sebaliknya KGPM ke GMIST, menampakan bahwa kedua warga jemaat ini masing-
masing memiliki sikap antagonisme yaitu secara sosiologis dijabarkan oleh Dean G.
Pruitt dan Jefry Z. Rubin merupakan suatu unsur yang tidak pernah tidak ada dalam
suatu hubungan. Sikap antagonisme hanya dapat hilang ketika munculnya kesadaran
bahwa hal tersebut tidak memiliki manfaat atau karena telah jenuh berkelahi. Seperti
konflik yang tercipta dalam penelitian penulis ini, mereka tetap berkonflik sebab mereka
belum jenuh berkelahi dan kepentingan untuk memperebutkan anggota jemaat agar
menjadi kebanggaan bagi masing-masing masih ada.
4.2.3 Pecahnya konflik disebabkan oleh pendeta X
Kepentingan juga tergambar dengan penuturan responden bahwa yang membuat
adanya mereka yang kontra ini adalah pendeta X sendiri. Sebab pada dasarnya pendeta
X yang menghasut mereka untuk membela dan mempertahankan dia untuk tetap tinggal
di jemaat GMIST Sawang.2 Sehingga salah satu tindakan untuk menjalankan surat
permintaan tanda tangan bagi warga jemaat GMIST yang mau mempertahankan pendeta
X dilaksanakan. Tindakan mengadakan rapat tertutup antara pendeta X dengan mereka
juga menggambarkan kepentingan mereka. Yang di dalamnya mereka membawa 4 buku
gereja KGPM, yang kemudian ditunjukan kepada responden sebagai bukti bahwa
mereka tidak main-main dengan ancaman mereka.3 Maka, menurut penulis sendiri,
rencana ntuk pindah ke KGPM telah disusun sebelumnya sebagai antisipasi ketika
keinginan untuk mempertahankan pendeta X tidak terlaksana. Meskipun alasan
mempertahankan pendeta X bukan satu-satunya faktor terciptanya konflik.
Menarik dari sikap pendeta X yang menggambarkan bahwa beliaulah yang juga
menjadi profokator terjadinya konflik ini, karena pada saat kegiatan serah terima
pendeta tingkat resort Siau Timur yang dilaksanakan di jemaat GMIST Sawang, beliau
tidak hadir. Yang hadir hanya mereka yang kontra terhadap keputusan tersebut untuk
menyerahkan surat penolakan mereka terhadap pendeta baru yang akan melayani di
jemaat GMIST Sawang. Tindakan mereka ini sangat tidak disenangi oleh pimpinan BPS
GMIST maka setelah acara itu selesai, maka pimpinan BPS GMIST menjumpai beliau
dan berusaha menegur, tapi sia-sia sebab beliau melawan dengan memintah untuk
mengundurkan diri dari GMIST.
4.2.4 Rasa ingin bersaing antara dua jemaat yaitu GMIST dan KGPM yang
mengakibatkan masih adanya konflik meski telah terjadi perpecahan.
Konflik yang berlangsung di antara jemaat GMIST dan KGPM ini terarah jelas
pada jenis konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser yaitu konflik realistik dan Non
Realistik yang diuraikannya berdasarkan proses jalannya konflik. Kedua jenis konflik
2 TM(5 Januari 2013).
3 Ibid.
ini semua mencakup sifat konflik yang terjadi di Sawang di mana sudah pasti ada tujuan
khusus yang ingin dicapai oleh pihak yang pro dan kontra atas keputusan dari BPS
GMIST tentang keputusan mutasi tersebut meski bukan satu-satunya alasan konflik.
Konflik realistik senantiasa diarahkan pada objek konflik yang sebenarnya, yaitu
keinginan mereka mempertahankan pendeta X. Pertanyaannya, apakah hanya masalah
mutasi pendeta yang membuat mereka bersikeras menentang BPS GMIST? Demikian
halnya dengan mereka yang Pro dengan keputusan BPS tersebut, apakah memang hanya
karena ingin mengikuti keputusan BPS Sinode? Bagaimana dengan ketidakcocokan
antara majelis jemaat dengan sesama majelis jemaat dan juga antara majelis jemaat dan
pendeta X. Pada dasarnya sikap pro maupun kontra ini ada yang melatarbelakangi
hanya saja mereka tak menyampaikannya satu sama lain, hanya dipendam saja dan
mengakibatkan konflik yang besar dan yang harusnya selesai ketika telah ada ujung dari
konflik tersebut seperti yang diketahui dengan berpindahnya pihak yang kontra ke
KGPM. Sebagaimana konflik realistik menurut Coser berakhir ketika tujuan telah
tercapai. Situasi konflik yang berkelanjutan ini membawa pertanyaan lagi dalam benak
penulis, mengapa masih saja berkonflik? Pertanyaan inilah bisa dijawab dengan
pernyataan Coser yaitu jenis konflik yang non realistik. Konflik yang realistik tersebut
akhirnya berubah menjadi non realistik di mana kedua bela pihak yaitu jemaat GMIST
Sawang dan KGPM Sidang Sentrum Sawang masih terus berkonflik tapi sudah bukan
dengan alasan yang pertama, namun telah beralih pada alasan lain seperti bersaing satu
dengan yang lain, rasa kecewa dan amarah yang masih dipendam serta mereka belum
benar-benar lelah berkonflik sehingga menciptakan suasana damai yang gersang dalam
relasi sebagai masyarakat kampung Sawang. Menurut penulis tujuan yang tepat dalam
kasus konflik gereja GMIST dan KGPM ini, adalah bagaimana cara untuk
mengecewakan pihak lain.
Bagaimana mungkin konflik internal GMIST ini bisa selesai jika perbedaan
yang ada tak pernah coba untuk diselesaikan dan dibicarakan dengan baik. Sebab
menurut Morton Deutsch, konflik dalam gereja dapat selesai jika pihak yang berkonflik
berusaha menyelesaikan perbedaan dan dengan demikian, yang sanggup menyelesaikan
adalah mereka sendiri yaitu pihak yang berkonflik apakah yang pro atau kontra terhadap
keputusan mutasi pendeta X oleh BPS GMIST. Tapi perlu untuk diingat bahwa,
perpisahan telah tercipta dan sulit untuk dikembalikan seperti semula saat hanya ada
gereja GMIST Sawang di kampung Sawang. Meskipun berdasar pada hasil wawancara
dengan beberapa responden dari GMIST, mereka sangat merindukan persatuan itu lagi
dan kerinduan tersebut berbanding terbalik dengan keinginan dari pihak warga GMIST
yang telah berpindah ke KGPM.
4.2.5 Dampak Konflik
Dampak positif konflik yang terjadi di gereja GMIST Sawang ini adalah
berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, anggota jemaat yang tadinya
tidak aktif dalam ibadah semua menjadi aktif dan bahkan giat dalam beribadah.
Demikian juga dengan mereka yang telah resmi berpindah ke KGPM Sidang Sentrum
Sawang, mereka yang berpindah yang tadinya tidak aktif ibadah pada saat masih berada
di GMIST menjadi aktif. Sangat nampak adalah yang tidak pernah menjadi pelayaan
jemaat atau majelis di GMIST akhirnya menjadi majelis juga di KGPM dan yang tidak
pernah membawakan puji-pujian dalam paduan suara di GMIST menjadi pembawa
paduan suara di KGPM. Hal ini menampakan sikap solidaritas berdasarkan pemikiran
George Simmel yaitu ketika terjadi konflik dengan kelompok luar, solidaritas kelompok
dalam bertambah tinggi. Faktanya, dengan melihat keadaan ini penulis menarik
kesimpulan bahwa benar kata salah seorang responden bahwa telah ada prakondisi
konflik dalam jemaat GMIST antara beberapa oknum yang memiliki kepentingan dalam
gereja terkait dengan kedudukan dalam pelayanan dan rasa ingin di hargai lebih oleh
satu sama lain. Yang oleh George Simmel dikemukakan bahwa ketegangan dan
perasaan negatif merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan
kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial dan penghargaan-penghargaan.
Bagi George Simmel konflik internal seperti yang terjadi berdasarkan objek
penelitian penulis ini (konflik in group) memang sangat tidak diinginkan sebab ketika
kepentingan yang ada tak dapat diselesaikan dengan baik, dengan menggunakan
kerangka konsensus atau tidak ada lagi dasar untuk kesatuan kelompok, maka konflik
internal dapat mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan kelompok. Jelas sekali
bahwa disintegrasi yang terjadi dalam konflik gereja GMIST adalah dampak dari tidak
ditemukannya kerangka konsensus antara pihak yang Pro dan kontra. Sebab bagi
Simmel seharusnya sikap antagonistik yang ada dalam kelompok dikeluarkan dengan
jelas dan disampaikan dengan terbuka sehingga tidak menggunung dan menghasilkan
konflik yang lebih besar, tidak pernah dilakukan oleh pihak yang pro dan kontra
tersebut. Sebab seperti yang telah diuraikan oleh penulis dalam bab 3 bahwa sejak
terjadinya konflik, komunikasi tak terjalin dengan baik antara pihak pro dan kontra.
Mereka masing-masing mencari jalan penyelesaiannya tanpa adanya perundingan
bersama. Yang kontra melakukan rapat sendiri dan yang pro juga mengadakan rapat
sendiri. Rapat yang diadakan saat itu oleh pihak yang pro juga mengundang mereka
yang kontra untuk membicarakan tentang berapa uang yang akan dikeluarkan untuk
diserahkan kepada pendeta X. Pada saat itu kesepakatan rapat uang yang akan
diserahkan sebesar Rp.10.000.000. Sedangkan rapat yang dilakukan oleh mereka yang
kontra hanya terdiri dari mereka saja bersama pendeta X, itupun rapat tertutup dalam
pastori gereja yang bahkan lampu pun di matikan. Situasi itu membuat gempar pihak
yang pro dan datang langsung untuk menghentikan rapat tersebut. Rapat tersebut tak
sengaja disaksikan oleh seorang responden ketika beliau datang ke pastori dengan
tujuan untuk menjumpai pendeta X menyampaikan hasil rapat bersama segenap majelis
jemaat menyangkut kegiatan serah terima pendeta yang akan diadakan di jemaat
GMIST Sawang. Sebab ternyata bukan hanya pendeta X yang dipindahkan tapi ada 3
pendeta dari jemaat lainnya, yang menurut penuturan responden itu akal-akalan
pimpinan gereja agar tak dicurigai bahwa yang utama akan dipindahkan adalah pendeta
X.
Sisi positif konflik internal oleh George Simmel adalah tidak terpendam lebih
lama lagi perasaan antagonistik dan permusuhan yang ada sehingga dampak pun tidak
begitu parah. Sisi positif ini juga nampak dalam konflik yang menjadi objek penelitian
penulis yaitu berdasarkan penuturan beberapa responden, memang telah ada situasi awal
konflik sebab adanya keinginan mendasar dari pihak kontra untuk merealisasikan
keinginan mereka untuk memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam jemaat, hanya
saja nanti dikeluarkan saat ada keputusan mutasi pendeta X. Demikian juga dari pihak
pro, telah ada ketidaksenangan terhadap kepemimpinan dari pendeta X. Sehingga telah
ada tindakan dari anggota jemaat GMIST Sawang pada masa itu untuk meminta kepada
pihak Resort GMIST Siau Timur agar memutasi pendeta X. Alasannya karena pendeta
X terlalu suka ikut campur dalam hal keuangan jemaat dan bahkan dalam pengadaan
bahan keperluan jemaat semua ditangani oleh pendeta X. Yang tadinya bahan-bahan
tersebut dibeli atau diambil dahulu ditempat langganan gereja yang memiliki perbedaan
harga yang signifikan dibandingkan harga di pasar, yang membuat pendeta X lebih
memilih untuk membeli di pasar yang harganya jauh lebih murah dari pasar. Untuk itu
penulis merasa bahwa sikap antagonis dari dua pihak baik yang pro dan kontra ini, jika
ditahan lebih lama maka akan lebih rumit masalah yang dihadapi. Memang dengan
berpindahnya pihak yang kontra tidak menyelesaikan masalah dan hanyalah mengukir
sejarah kelam di jemaat GMIST Sawang yang merupakan jemaat tertua ketiga di pulau
siau, yang sekarang ini telah berusia 156 tahun. Setelah jemaat GMIST Ulu dan jemaat
GMIST Karalung. Konflik yang mengakibatkan perpecahan jemaat ini yang sekaligus
disintegrasi masyarakat tadinya hadir untuk mengatasi dualisme yang berbeda dan
dianggap sebagai cara untuk mencapai taraf keseragaman tertentu, tapi karena telah
berlapis kepentingan maka bukannya mencapai keseragaman melainkan kehancuran.
Sebuah organisasi dalam kasus ini gereja adalah juga merupakan sebuah sistem
sosial yang unit-unit kerjanya (subsistem) seperti juga dikemukakan oleh Wirawan di
mana para anggotanya saling membantu dan saling bergantung satu sama lain dalam
mencapai tujuan organisasi. Konflik dapat merusak sistem dan menciptakan sinergi
negatif, yang menyebabkan ketidakpastian pencapaian tujuan organisasi.4 Konflik yang
terjadi di jemaat GMIST Sawang benar-benar menghasilkan ketidakpastian tujuan dari
organisasi tersebut sebab orang-orang di dalamnya dalam hal ini para majelis tidak lagi
berjalan bersama untuk mencapai tujuan organisasi, melainkan ingin mencapai tujuan
pribadi mereka.
4.2.6 Keberadaan Oknum-oknum yang tidak menyenangi pelayanan pendeta X.
Alasan lain berdasarkan fakta yang dikemukakan oleh beberapa responden
bahwa ada alasan lain juga selain beberapa yang telah penulis uraikan sebelumnya
4 Wirawan, 108-109.
yaitu, pelayanan pendeta X tidak disenangi oleh pendeta sebelum dirinya sebab pendeta
sebelumnya dianggap gagal dalam pelayanan jika dibandingkan dengan pendeta X.
Untuk itu pendeta sebelumnya juga turut mendorong mutasi pendeta X. Fakta konflik
semacam ini oleh Dean G Pruitt dikatakan bahwa konflik biasanya terjadi ketika orang
cenderung mengidentifikasi diri dengan para anggota kelompok lain yang dekat
dengannya atau yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan anggota
kelompoknya sendiri. Sikap mengidentifikasi diri seperti ini sering terjadi pada individu
dan Dean G Pruitt menyebutnya sebagai invidious comparison (perbandingan yang
menyakitkan hati).
4.2.7 Ketidakjelasan alasan pihak Resort, BPS Sinode GMIST dalam mengeluarkan
keputusan Mutasi terhadap pendeta X.
Juga berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden alasan
dipindahkanya pendeta X merupakan keputusan yang sudah benar oleh BPS GMIST
dan tidak dapat diganggu gugat. Mengapa para responden merasa telah benar keputusan
tersebut? Sebab mereka tidak tahu jelas alasan dari pihak resort mengajukan mutasi
pendeta X terhadap Sinode. Mereka hanya tahu bahwa pendeta X terlalu suka
mengkoordinir keuangan jemaat. Padahal kalau menurut dua responden mereka melihat
tindakan pendeta X ini sebagai suatu tindakan positif untuk mengatur keuangan jemaat.
Sebab pendeta X adalah orang yang sangat menginginkan kedisiplinan dalam pelayanan
dan keuangan gereja. Pertanyaan juga muncul, mengapa meskipun ada gejala konflik
yang muncul setelah dikeluarkannya surat keputusan mutasi tersebut tidak diindahkan
oleh pimpinan gereja dalam hal ini pihak Resort GMIST Siau Timur dan BPS GMIST.
Mereka benar-benar menggunakan “kekuasaan” yang oleh Max Weber dijelaskan
bahwa kekuasaan merupakan suatu tindakan dari aktor dalam hubungan sosial untuk
melaksanakan keinginannya tanpa memperhatikan hal mendasar seperti adanya
perlawanan. Jelas bahwa, pihak BPS tidak mempedulikan respon yang menghasilkan
konflik terhadap keputusan pemutasian pendeta X. Keinginan untuk mendominasi atau
yang menurut Max Weber adalah kemungkinan suatu perintah untuk diberikan dengan
tujuan yang spesifik akan diikuti oleh sekelompok orang yang diberikan perintah dalam
hal ini anggota jemaat GMIST Sawang dan juga pendeta X, benar-benar harus
mendengar dan melaksanakan keputusan yang dibuat oleh pihak BPS GMIST. Alasan
Mereka untuk memindahkan pendeta X sebab menurut penuturan responden keberadaan
pendeta X berbahaya bagi jemaat GMIST Sawang. Sebab selain suka mengkoordinir
keuangan jemaat, beliau juga jarang mengikuti rapat yang diadakan oleh pihak Resort.
Sikapnya yang suka melawan dan merasa tahu inilah yang sama sekali tidak diinginkan
oleh pihak Resort maupun beberapa anggota majelis jemaat. Bukankah karena ada yang
melaporkan pendeta X? Yang alasanya jelas berdasarkan ulasan analisa penulis
sebelumnya yaitu pendeta X mengatur pembeliaan berbagai bahan baik bahan bangunan
maupun bahan makanan dalam gereja?. Mengapa pihak resort dan BPS GMIST hanya
mendengarkan oknum-oknum tersebut? Analisa penulis jelas bahwa orang tersebut
cukup berpengaruh posisinya di jemaat GMIST Sawang, sehingga membuat pihak
resort dan BPS GMIST mengindahkan keluhannya, yang mengatas namakan
kepentingan gereja GMIST Sawang, yang ternyata hanyalah kepentingan segelintir
orang saja. Mengetahui hal ini yang terpikirkan oleh penulis bahwa ternyata sebuah
relasi individu dapat mempengaruhi keputusan publik Terbukti berdasarkan hasil
wawancara penulis terhadap anggota jemaat GMIST dan KGPM sehubungan dengan
konflik ini, mereka hanya tahu bahwa keputusan mutasilah yang mengakibatkannya.
Tanpa tahu peran aktor yang memiliki kepentingan di dalamnya.
Figur pemimpin yang bijaksana menurut pandangan penulis adalah pemimpin
yang benar-benar mendengar suara anggota yang dipimpinnya, asalkan mereka benar-
benar mengerti maksud dan tujuan dari suara yang disampaikan. Retnowati dalam
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat mengungkapkan betapa pentingnya sebuah
organisasi bahkan negara untuk memiliki seorang pemimpin sebab pemimpin berperan
dalam menentukan pencapaian suatu tujuan kelompok atau organisasi, sebab pengaruh
pemimpin atau kepemimpinan yang dijalankan bisa berdampak positif maupun negatif
terhadap perilaku dan keyakinan kelompok yang dipimpinnya.5 Keputusan pimpinan
GMIST untuk memutasi pendeta X benar-benar tidak memperhatikan dampaknya
seperti yang telah terjadi sekarang ini. Mereka benar-benar tidak memperhatikan situasi
saat itu, di mana mendapatkan respon negatif dan tidak hanya mempetahankan
keputusan dengan alasan yang kurang jelas itu. Untuk itu bagi penulis pimpinan gereja
GMIST juga bertanggung jawab penuh terhadap perpecahan gereja GMIST Sawang
serta disintegrasi masyarakat di sana.
Mengapa penulis mengatakan demikian, meskipun alasan mereka ada benarnya
juga? Sebab, pada saat gejala-gejala konflik mulai muncul tak ada tindakan dari mereka.
Mereka hanya membiarkan saja ketidaksepakatan yang terjadi dalam gereja GMIST
antara pihak yang Pro dan pihak yang Kontra. Nanti setelah masalah menjadi rumit
barulah mereka mencoba untuk membicarakannya. Sehingga banyak responden juga
berpendapat bahwa mereka terlambat untuk turun melerai konflik yang ada.
4.2.8 Respon pendeta X terhadap keputusan Resort dan BPS GMIST.
Bukan hanya pihak Resort GMIST Siau Timur dan BPS GMIST yang
menggunakan kekuasaannya tanpa memperhatikan dampak terhadap organisasi, tapi
5 Retnowati, Waskita, Jurnal Study Agama dan Masyarakat, Kepemimpinan dan Perubahan Budaya:
Refleksi Gaya Kepemimpinan di Era Global, Perspektif Teori Kebudayaan. (Salatiga: UKSW, Fakultas
Teologi, Magister Sosiologi Agama, 2012), 37-38.
pendeta X juga menggunakan kekuasaannya untuk menghasut anggota jemaat yang Pro
terhadapnya agar mempertahankan dirinya untuk tidak boleh dimutasi ke jemaat lain
sesuai keinginannya. Yang juga ada benarnya sebab dia merasa masa pelayanannya
masih belum sampai pada masa akhir dan merasa tidak bisa menerima keputusan mutasi
dari pihak BPS GMIST.
Berdasarkan fakta, tindakan Resort, BPS GMIST dan pendeta X jelas
menampakan sikap dominasi (otoritas) menurut Max Weber, di mana mereka benar-
benar ingin agar keputusan mereka harus dipatuhi dan tidak boleh tidak. Weber
mengungkapkan dominasi berlangsung ketika adanya figur tertentu yang sungguh-
sungguh berhasil memberikan perintah kepada orang lain untuk itu suatu organisasi
dapat hidup dan berkembang sejauh mana anggota-anggotanya tunduk kepada dominasi
berdasarkan perintah. Perintah mutasi pendeta X ditentang oleh beberapa oknum yang
berkepentingan namun yang juga akhirnya diikuti oleh 265 Jiwa yang berpindah ke
KGPM yaitu sebabnyak 86 KK (kepada keluarga) Yang sangat disayangkan dominasi
yang dilakukan oleh pihak Resort dan BPS GMIST tidak terlaksana sebab ada anggota-
anggota jemaat yang tidak tunduk kepada dominasi berdasarkan perintah yang mereka
tetapkan.
Sikap yang tidak ingin tunduk pada peraturan dan ketetapan yang diperintahkan
oleh Resort GMIST Siau Timur dan BPS GMIST adalah merupakan sikap yang tidak
“disiplin” dari anggota jemaat GMIST Sawang dalam hal ini mereka yang pro terhadap
pendeta X yang sekarang ini telah berpindah ke KGPM. Peristiwa ketidak disiplinan ini
dikemukakan oleh Max Weber merupakan poin penting dalam suatu organisasi, di mana
baik kekuasaan maupun dominasi dari aktor tidak akan pernah bisa lepas dari
kedisiplinan atau dengan kata lain takkan pernah terwujut kekuasaan dan dominasi
ketika disiplin hilang dari anggota organisasi meskipun hanya sebagian saja dari
mereka. Sebagaimana telah penulis jabarkan pada paragraf sebelumnya bahwa yang
menggunakan kekuasaan dan yang mendominasi adalah pihak Resort dan BPS GMIST
serta Pendeta X bahkan ada oknum-oknum lain yang berkepentingan di dalamnya
semua tak berhasil sebab menghadapi bentrokan dengan pihak yang tidak disiplin.
Pihak pro merasa pihak kontra yang tidak disiplin terhadap keputusan mutasi yang
dikeluarkan. Demikian juga pihak kontra, merasa keinginan mereka tak mampu
didengar apa lagi dimengerti oleh pihak pro, maka masing-masing mengambil jalannya
sendiri-sendiri, yang hasil akhirnya telah nampak yaitu perpecahan jemaat dan
disintegrasi dalam masyarakat.
4.2.9 Faktor Ekonomi atau keuangan dijadikan alasan perpecahan.
Meskipun pada saat sedang maraknya konflik alasan yang terkait dengan faktor
ekonomi sangatlah tak nampak, namun yang pada akhirnya nampak juga setelah konflik
internal ini berubah menjadi konflik eksternal sebab sudah terpisah antara anggota yang
pro dan kontra terhadap keputusan mutasi tersebut. Yang kontra telah membangun
gedung gereja Jemaat KGPM Sidang Sentrum Sawang. Sekarang permasalah antara dua
jemaat ini adalah terkait dengan jumlah pundi persembahan dan bahkan jumlah sampul
syukur termasuk di dalamnya sampul persepuluhan yang menjadi kewajiban anggota
jemaat GMIST. Mereka mulai mengatakan itulah salah satu alasan mengapa mereka
ingin keluar dari GMIST, sebab GMIST terlalu banyak memberikan pungutan
persembahan terhadap anggota jemaatnya. Sehingga ada istilah yang mereka gunakan
yang sangat membuat kesal hati anggota jemaat GMIST “sampul panjang pendek” yang
selalu di bagikan kepada masing-masing anggota jemaat GMIST.
Terkait dengan alasan tersebut di atas, konflik internal GMIST Sawang ini
merupakan konflik yang didefinisikan sebagai perbedaan persepsi mengenai
kepentingan yang dicetuskan oleh Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, yakni konflik
yang terjadi ketika tak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua
belah pihak, atau yang terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau
alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapatkan. Aspirasi yang lama terpendam
dari mereka yang telah pindah KGPM tersebut telah lama tak disalurkan terkait dengan
pemungutan persembahan sehingga keputusan untuk berpindah dicetuskan. Meskipun
terkait dengan pemungutan persembahan yang dijadikan alasan keluar dari GMIST
tidak begitu logis sebab jika demikian halnya alasan yang mereka gunakan, mengapa
mereka ingin mempertahankan pendeta X? Sedangkan yang mencetuskan keharusan
perpuluhan adalah pendeta X?. Melalui fakta ini jelas sekali terlihat dari banyaknya
alasan mereka ingin keluar dari GMIST alasan keuangan tidak begitu tepat, hal tersebut
hanya digunakan untuk menjadi bahan ejekan bagi anggota GMIST.
Tindakan yang dilakukan oleh pendeta X dalam mengkoordinir keuangan jemaat
juga merupakan tindakan yang baik sejauh apa cara pikir anggota jemaat apakah
mengambil makna positifnya atau negatifnya. Anggota jemaat yang tidak senang
dengan cara pendeta X mengkoordinir keuangan, kemudian mengambil keputusan
untuk meminta agar pendeta X harus segera dikeluarkan dari jemaat GMIST Sawang
dengan menjumpai pihak Resort, dan oleh pihak Resort diteruskan ke BPS GMIST.
Alasan mereka yang melaporkan pendeta X adalah bahwa sikap pendeta X ini nantinya
akan menimbulkan masalah dalam jemaat GMIST Sawang. Sedangkan pihak yang
setuju dengan tindakan pendeta X yaitu mereka yang pro terhadapnya dan kontra
terhadap keputusan Resort dan BPS GMIST berusaha untuk mempertahankan diri.
Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ada kepentingan lain di dalamnya seperti yang
telah penulis jabarkan sebelumnya.
Berdasarkan data hasil penelitian bahwa yang bersikeras memperjuangkan
pendeta X dengan menggunakan berbagai cara agar pendeta X tetap ada di jemaat
GMIST Sawang hanya berjumlah delapan orang saja. Namun yang kemudian setelah
permohonan yang mereka ajuhkan tidak diindahkan mereka memutuskan untuk keluar
dari GMIST dan mendirikan KGPM, bukan hanya mereka delapan orang saja tapi yang
pindah ke KGPM berjumlah 265 orang. Mengapa begitu banyak yang berpindah
sedangkan yang memperjuangkan perpindahan tersebut hanya delapan orang saja?.
Jawabannya adalah sebagian besar yang berpindah tersebut adalah mereka yang tidak
mengerti benar alasan didalamnnya hanya main ikut saja. Bagi mereka alasan mereka
berpindah hanya karena mereka merasa kasian dan simpati dengan pendeta X. Faktor
penyebab mereka hanya berpindah dan main ikut saja karena dengan mudahnya terhasut
oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan dibalik perpindahan itu adalah karena
faktor pendidikan. Berdasarkan data pendidikan dari kedua jemaat tersebut
menggambarkan bahwa sebagian besar yang berpindah ke KGPM adalah yang tingkat
pendidikannya sangat minim, yakni tingkat TK-SMP saja. Yang membuat mereka tidak
begitu pekah dan melihat lebih dalam latar belakang alasan mendirikan jemaat baru
tersebut. Sedangkan ada yang tidak pernah aktif namun yang akhirnya terpilih sebagai
majelis jemaat menurut pengamatan penulis adalah mereka yang telah mendapatkan
iming-iming janji kedudukan dalam jemaat yang baru. Sebab, konflik juga akhirnya
terjadi antara sesama mereka ketika salah seorang tak mendapatkan posisi sebagai
majelis jemaat yang hingga kini tidak beribadah lagi di KGPM.
4.3 Relasi Pendeta X dan Pendeta L Dengan Anggota Jemaat GMIST Sawang dan
KGPM Sidang Sentrum Sawang
Menjadi pelayan jemaat seorang pendeta dituntut untuk memiliki relasi yang
baik dengan anggota jemaat. Demikian halnya terjadi dengan pendeta X dalam masa
kepemimpinannya di luar tindakannya yang suka mendominasi dalam pengaturan
keuangan jemaat, pendeta X adalah satu-satunya pendeta dengan cara pelayanannya
yang menyentuh setiap pribadi anggota jemaat. Bahkan dia kenal betul setiap anggota
jemaatnya secara umum dan majelis jemaat, sampai pada nama panggilannya. Beliau
begitu pekah dan karenanya tak sedikit juga anggota jemaat yang senang terhadapnya.
Konflik yang muncul karena masalah ingin mempertahankan dirinya untuk
pelayanan sebenarnya tak akan mungkin tercipta jika saja mau dibicarakan dengan
benar, dan tidak dilapisi kepentingan dari anggota jemaat, baik yang pro maupun kontra.
Juga dengan adanya keberadaan oknum-oknum yang tidak senang atas pelayanan
pendeta X menggambarkan bahwa konflik yang tercipta di jemaat GMIST Sawang tak
semata-mata kesalahan dari pendeta X. Memang benar beliau ingin tetap tinggal
pelayanan di jemaat GMIST Sawang dan menghalalkan segala cara untuk
mempertahankan diri. Yang salah ialah ia telah kehilangan sikap sebagai figur yang
menjadi sumber panutan dalam jemaat dengan tak memperhatikan dampak dari
tindakannya yaitu perpecahan seperti yang telah terjadi dalam gereja GMIST Sawang.
Hingga sekarang relasinya dengan anggota jemaat GMIST Sawang tidak baik, sebab
anggota GMIST Sawang sangat marah dan kecewa atas tindakkannya dan seperti yang
dikatakan oleh beberapa responden jika bisa, mereka ingin agar pendeta X datang ke
jemaat GMIST Sawang untuk memperbaiki jemaat yang telah pecah tersebut. Memang
nampaknya pendeta X yang bertanggung jawab atas perpecahan jemaat GMIST
Sawang. Tapi jangan salah, tak sepenuhnya kesalahan pendeta X sebab yang
bertanggung jawab juga adalah pihak resort dan BPS GMIST yang entah dengan alasan
apa ingin memindahkan pendeta X. Apa hanya karena mendengar berbagai laporan dari
oknum-oknum tersebut? Sebagai pimpinan gereja haruslah lebih jelih dan teliti
mengetahui alasan dibalik alasan yang dikemukakan oleh oknum yang menghendaki
pendeta X untuk di mutasi. Sebab berdasarkan hasil wawancara, penulis tidak menemui
alasan yang lebih realistis atau lepas dari kepentingan atas pemutasian pendeta X
tersebut.
Berbeda dengan pendeta L beliau memang tidak terlalu mengenal anggota
jemaat GMIST Sawang sampai pada nama masing-masing anggota jemaat. Sebab dia
tidak melakukan pelayanan seperti yang dilakukan oleh pendeta X yaitu pergi ke rumah-
rumah anggota jemaat dan berkenalan satu per satu sambil melayani sembayang
sehubungan dengan masalah keluarga yang di jumpainya. Tapi berdasarkan penuturan
responden pendeta L memiliki sikap yang baik dengan menggunakan kalimat “pendeta
L memiliki jiwa kenabian yang lebih baik dari pendeta X”.6 Pendeta L sangat
mempercayai pelayan jemaat yang terpilih melayani dan tidak menekan anggota jemaat
untuk memberikan sampul syukur. Pendeta L tidak turut serta dalam konflik jemaat.
Hingga sekarang jika ada anggota jemaat KGPM Sentrum Sawang datang memohon
untuk kembali ke jemaat GMIST Sawang, beliau menerima dengan lapang dada. Hanya
saja sikap antagonis dari anggota jemaat KGPM terhadapnya tetap ada mengingat beliau
tidak menjalin komunikasi dengan mereka sejak beliau datang menempati posisi
pendeta jemaat GMIST Sawang.
6 YM(6 Januari 2013)