bab iv analisis muatan dakwah rubrik...
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISIS MUATAN DAKWAH RUBRIK KONSULTASI SUFI TABLOID
POSMO EDISI JUNI 2004 – JULI 2005
IV.1. Muatan Dakwah Rubrik Sufi Tabloid Posmo
Jumhur ulama telah sepakat untuk menyandarkan makna sufi
secara etimologi pada akar kata ( فوص ) yang memiliki pengertian
kesederhanaan. Secara lebih luas, kesederhanaan tersebut dimaknai
sebagai perilaku kesederhanaan dan menjauhi kemewahan dunia yang
dilakukan demi mendekatkan diri kepada Allah demi mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.1
Sejarah perjalanan tasawuf telah mencatat berbagai ragam proses
dan pelaksanaan “pendekatan diri” para tokoh sufi. Diawali dengan
perilaku asketis (proses menjauhi segala sesuatu yang “berbau” dunia
demi mengabdi kepada Allah) yang lebih bersifat pada sufi
individualistis2, sufi berkembang menjadi sebuah proses pendekatan diri
kepada Allah yang bersifat sosial3 yang akhirnya memunculkan sufi
1 Lihat dalam : Amin Syukur dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 11-13; Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2002, hlm. 17-18; Noer Iskandar al-Barsyani, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 2-4; Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman Suatu Pengantar Tentang Tasawuf, terj. A. Rofi’ Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 21.
2 Sufi individualistis adalah sufi yang hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan urusan duniawi dan mengabdi semata-mata hanya karena Allah. Kelompok ini muncul pada awal-awal muncul dan berkembangnya asketis hingga abad 3 H, yang diantaranya Rabi’ah a;-Adawiyah, Hasan al-Basri. Abu Wafa’, op. cit., hlm. 32-34.
3 Sufi sosial adalah para tokoh sufi yang tidak sekedar menjalin hubungan dengan Allah namun juga mengadakan diskusi-diskusi tentang akhlak sufi serta mengajarkannya kepada
sebagai sebuah ilmu yang hingga saat ini dikenal dengan nama Tasawuf.
Bahkan pada perkembangan selanjutnya, sufistik menjadi “motivator” dari
para pejuang Islam untuk membebaskan diri dari penjajah dan
membangun kehidupan negara yang berbasis Islam.4
Dunia sufi – sebagaimana tercatat dalam sejarahnya – memiliki
dua sisi yang tertanam dalam diri pelakunya, yakni sisi individu dan sisi
sosial. Sisi individu lebih mengedepankan bagaimana seorang muslim
mengenal Allah dan mengabdikan dirinya secara utuh hanya kepada Allah.
Sedangkan pada sisi sosial, seorang sufi harus mampu mendedikasikan
pengetahuannya tentang Allah dengan segala yang ada dalam “diri” Allah
untuk kepentingan sosial. Kedua sisi dalam dunia sufi tersebut
dilaksanakan dengan perbuatan (akhlak) yang tidak terlepas dari aturan-
aturan (syari’ah) dalam Islam. Sehingga pada akhirnya akan memunculkan
dunia sufi sebagai dunia untuk mengenal secara lebih dekat tentang Allah
(aqidah) serta mewujudkan akhlak kepada sesama makhluk yang
didasarkan pada aturan-aturan Allah.
Terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, Rubrik Sufi
Tabloid Posmo dapat dikelompokkan sebagai salah satu media yang
memuat persoalan dalam dunia sufi sebagai bagian pesan dakwah. Hal itu
dikarenakan segala muatan dakwah bersumber dari sumber hukum Islam
khalayak ramai. Kelompok ini bermunculan pada abad ketiga H yang nantinya menjadi cikal bakal tumbuh dan berkembangnya tareqat. Ibid., hlm. 17.
4 Perlawanan kelompok Tariqat Sanusiyyah di Libya dan Sudan Barat terhadap pendudukan Perancis dan Italy. Perlawanan kelompok sufi di Futa Jallon dan Futa Toro (dua negara di wilayah Afrika Barat). Lihat. Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf; Sebuah Pengantar, terj. Arif Anwar, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003, hlm. 266-267.
Sedangkan secara lebih spesifik, sebagaimana para tokoh membagi
muatan dakwah dalam tiga kelompok muatan yang lebih kecil yang
meliputi aqidah, syari’ah, dan akhlak, muatan dakwah Rubrik Sufi dapat
dijelaskan sebagai berikut :
IV.1.1 Nilai-nilai Aqidah
“Status” sebagai media pemuat permasalahan terkait dunia sufi –
yang lebih sering diasumsikan pada mencontohkan akhlak sufi
dalam beribadah – bukan berarti Rubrik Sufi Tabloid Posmo
melupakan permasalahan aqidah. Pembahasan aqidah tersebut
tampak pada beberapa edisi sebagai berikut :
• Edisi 300 dan 321
Pada edisi ini responden Posmo mempertanyakan tentang ilmu
spesial yang dimilikinya dan juga tentang ilmu laduni. Jawaban
yang diberikan dari pihak pengelola (Ustd. Luqman Hakiem)
adalah sebagai berikut,
Edisi 300
“BEGINI Mas, memang benar kegelisahan Anda juga mewakili kegelisahan yang lain. Soal ilmu laduni ini sesungguhnya tidak bisa dicari. Semata-mata anugerah Allah pada hamba-Nya yang dikehendaki, Allah berfirman:
“Dan Kami telah mengajarkan kepadanya, ilmu dari sisi-Ku”
Pendekatan Islam terhadap ilmu laduni ini, tentu tidak secara sistematis, dijabarkan oleh Allah dan oleh Rasulullah SAW. Tetapi Allah cukup mengilustrasikan “drama ilmu pengetahuan” dalam kisah Khidir dan Musa ‘alaihimassalam. Ketika Musa merasa paling representatif sebagai pendakwah agama, dan pengungkap kebenaran paling utama, tiba-tiba Allah SWT, mengingatkan adanya seorang hamba Allah yang
tak dikenal oleh khalayak, dan memiliki segudang rahasia ilmu pengetahuan yang tidak dicapai oleh Nabiyullah Muss As. Dan kisah dramatis dalam Alqur’an itu sebagai populer, karena dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam hadits-Nya.” Edisi 321
“Ilmu yang berguna bagi anda pribadi adalah ilmu tentang Allah, ilmu yang lebih mendekatkan diri Anda kepada Allah, mengokohkan iman anda, menerangkan hati anda, menyelamatkan dunia akhirat Anda. Bukan ilmu istimewa yang bisa untuk ini dan itu. Jika seseorang punya kelebihan ilmu seperti anda, apabila ia tidak semakin dekat dengan Allah. Semakin hari tidak semakin dekat dengan Allah. Semakin hari tidak semakin ikhlas dan rida kepada Allah. Maka ilmu itu tidak lebih dari istiroj. Yaitu pengelu-elu dari Allah, kelak untuk dihinakan dalam derajat yang rendah. Na’udzubillahmindzaalik.”
Dari jawaban di atas, jelas sekali terlihat bahwa pengelola
mengarahkan perlunya seseorang yang memiliki ilmu spesial
memanfaatkan ilmunya tersebut untuk lebih mengenal dan
mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga dengan proses
pengenalan dan pendekatan tersebut seseorang akan sadar
bahwa masih ada kekuatan ilmu di atas ilmu yang dimilikinya
yang memiliki sumber yang sama yakni Dzat yang memiliki
sumber dari segala sumber ilmu itu sendiri. Selain itu juga
ditambahkan bahwa tanpa adanya pengenalan dan kedekatan
yang lebih kepada Allah maka dikhawatirkan akan terjadi
penyelewengan kegunaan ilmu.
• Edisi 312
Permasalahan aqidah yang menjadi pokok bahasan dalam edisi
ini adalah bahwa setiap sesuatu yang berada dalam dunia ini,
baik yang dianggap sebagai “sesuatu” yang tidak dapat
berbicara oleh mata manusia, adalah makhluk Allah dan
senantiasa ingat, mengenal, dan berdzikir kepada Allah. Dzikir
sebagai bagian dari aktualisasi aqidah dalam diri manusia
secara keseluruhan. paparan jawaban pertanyaan tentang
dzikirnya darah Hamzh Samsuri maupun al-Hallaj yang
membentuk tulisan Allah,
“Dalam tragedy kematian al-hallaj darahnya memang membentuk tulisan ‘Allah’ artinya darah itu memang berzikir, sebagai mana Hamzah samsuri. Apakah hal itu aneh menurut anda ? apa mungkin darah itu berzikir, sangat mungkin jika hati anda berzikir terus menerus, maka jantung anda yang berzikir itu memompa darah, otomatis darah anda berzikir mengaliri seluruh tubuh anda sampai keurat saraf Anda.
Jawaban ini juga memberikan penjelasan tentang kekuasaan
Allah yang dapat melakukan segala hal yang seringkali
dianggap “tidak wajar” dalam kacamata manusia. Tanpa
adanya kekuasaan Allah, proses dzikirnya darah al-Hallaj yang
juga membentuk tulisan Allah dan Hasan Samsuri tidak akan
mungkin dapat terjadi.
• Edisi 309
Melalui pertanyaan tentang mukjizat dan karomah yang
dilontarkan oleh Moh. Fakhan, Ustadz Luqman Hakiem juga
mengaitkan pemaparan tentang pengertian karomah dengan
kekuasaan Allah, sebagaimana termaktub dalam jawabannya,
“Memang Alif Laam Miim atau di surat lain ada Yaasin, merupakan salah satu dari sekian rahasia Allah. Sebagian hamba Allah yang dikehendaki untuk mengetahui rahasia-Nya, pasti tahu apa dibalik rahasia itu, walaupun tidak tahu secara keseluruhan. Minimal simbol-simbol ilahi. Sedangkan mengenai mukjizat adalah keistimewaan yang diberikan Allah kepada nabi dan rasul. Sedangkan karomah adalah keistimewaan yang diberikan kepada para wali. Tetapi tidak semua keistimewaan itu atau kehebatan itu disebut karomah atau maunah. Sebab bisa saja seseorang mendapatkan keistimewaan, padahal itu istidroj (pengelu-elu dari Allah). Begitu juga tidak semua wali Allah itu memiliki karomah yang ditampakan. Sebaliknya belum tentu wali Allah yang tersembunyi karomahnya itu lebih hebat ketimbang yang kelihatan karomahnya.”
Dalam jawaban tersebut dijelaskan bahwa kekuasaan Allah
sangat mempengaruhi karomah yang akan dimiliki oleh
seseorang. Apabila Allah menghendaki maka siapapun orang
tersebut akan mendapat karomah dan bahkan mampu
mengetahui rahasia-rahasia Allah, pun sebaliknya.
• Edisi 304
Nilai aqidah yang dijabarkan pada edisi ini berkenaan dengan
Allah sebagai tempat untuk memasrahkan segala urusan.
“Pasrah itu dalam dunia tasawuf ada tiga tingkatan. Pertama disebut tawakkal. Tawakkal berarti kepasrahan hamba Allah pada umumnya. Dia pasrah, tapi hatinya masih meronta-ronta ingin sukses apa yang dicapainya. Namun ia menyadari bahwa semua itu adalah kehendak Allah, sehingga ia pasrah semuanya kepada-Nya. Kedua, tafwidl. Dalam Al-Qur’an disebutkan, Wa Ufawidlu Amri Ilallah. (Aku pasrahkan total urusanku kepada Allah). Inilah pasrahnya para sufi, para shilihin, dan auliya’, dimana seluruh gerak-gerak hatinya bergantung perintah langsung dari
Allah, karena ia menyadari dari Allah, lalu menuju kepada hanya Allah, dan bersama Allah, untuk Allah. Ketiga, disebut dengan Istislam. Yaitu kepasrahan lahir batin, total bongkokan, hanya kepada Allah. Selaian Allah adalah batil untuk dipasrahi. Inilah pasrah yang diteldankan para Nabi dan Rasul.”
Menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat untuk berpasrah
merupakan nilai aqidah yang teramat pokok dan telah dijelaskan
serta ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Ikhlas : 2,
هللا دمصلا
“Allah adalah tempat bergantung”
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa nilai-nilai aqidah yang
menjadi pembahasan dalam Rubrik Sufi Tabloid Posmo terkait
dengan perlunya usaha untuk mengenal dan mendekatkan diri
kepada Allah, kekuasaan dan kekuatan Allah sebagai kekuatan dan
kekuasaan yang maha dahsyat tanpa banding serta menjadikan
Allah sebagai tempat untuk berlindung dan bergantung.
Pasrah kepada Allah dapat dikatakan sebagai wujud dari keimanan
(aqidah), karena dengan adanya sikap untuk memasrahkan segala
sesuatu kepada Allah berarti juga bahwa manusia mempercayai
bahwa tidak ada kekuatan maupun kekuasaan yang layak untuk
menjadi sandaran segala persoalan selain kekuatan dan kekuasaan
Allah.
IV.1.2 Nilai-nilai Syari’ah
Nilai-nilai syari’ah merupakan nilai-nilai yang berhubungan
dengan peraturan-peraturan yang ada dan berlaku dalam agama
Islam. Dalam Rubrik Sufi nilai-nilai syari’ah yang terkandung
dapat terlihat pada edisi-edisi :
• Edisi 277
Nilai syari’ah yang terkandung dalam edisi ini tampak pada
awal jawaban yang diberikan dalam menjelaskan bagaimana
menentukan tarekat,
“Coba Anda renungkan dulu, apakah sebelum Anda memasuki tharekat sudah beristikharah lebih dulu, sehingga Anda masuk pada tharerakat yang memang pas dan proporsional dengan jiwa Anda. “
Jawaban di atas jelas sekali ingin mengajak responden untuk
kembali menyandarkan kebimbangan hidupnya pada syari’at
Islam. Di mana diketahui bahwa Islam sangat menganjurkan
kepada manusia untuk selalu menyelesaikan masalah dalam
konteks Islam. Termasuk salah satunya adalah ketika manusia
diliputi rasa bimbang dan ketidahtahuan akan sesuatu hal.
Islam mengajarkan dan menetapkan syari’ah tidak hanya untuk
melakukan hubungan antara manusia dengan Allah semata
namun juga aturan yang menjadi pedoman manusia manakala
menghadapi sebuah musibah. Pada konteks ini, Islam
memberikan aturan bahwasanya apabila manusia sedang
mengalami suatu kebingungan untuk membuat keputusan maka
manusia dianjurkan untuk melakukan shalat yang bertujuan
sebagai sarana untuk membantu dalam menentukan pilihan.
• Edisi 283
Pada edisi ini ustadz Luqman Hakiem menjelaskan tentang
syari’at Islam berkenaan dengan hubungan anak dan orang tua.
Responden yang sedang mengalami permasalahan dengan
orang tuanya dianjurkan oleh Ustadz untuk berlaku baik kepada
orang tuanya sebagaimana telah dianjurkan oleh Allah,
“Allah mengajarkan kita agar mendoakan terus menerus ortu kita, memohonkan ampunan dan kasih sayang Allah. Mungkin Anda tidak menyadari ketika masih balita dulu betapa sayangnya ortu kepada Anda. Alam pikiran ortu dengan perkembangan jiwa Anda saat ini tentu berbeda. Perbedaan itu tidak seharusnya menimbulkan su’uzon dan kecurigaan berlebihan, apalagi negative thinking. Khususnya pada ibunda, sesekali Anda cium telapak kakinya, sebagai perlambang rasa hormat Anda kepadanya. Insya Allah kerelaan mereka berdua akan tumbuh, dan berlimpahlah ridlo Allah kepada diri Anda.”
Penjelasan ini juga diperjelas dengan kedudukan orang tua ibu
dalam hukum Islam. Sebagai sosok yang dimuliakan dalam
Islam dan “penjamin” syurga, ustadz Luqman Hakiem
menganjurkan untuk berlaku hormat dan patuh kepada orang
tua dengan segala perbedaan yang ada terutama orang tua ibu.
• Edisi 309
“Jika kita tahu terjemahan Al-Qur’an, maka itu hanyalah makna harfiyah. Makna hakikiyah dan impressinya, kita hanya tahu sedikit. Karena itu, “tidak tersentuh Al-Qur'an itu kecuali oleh mereka yang suci jiwanya.” Jiwa-jiwa yang disucikan
Allah adalah jiwa yang senantiasa membaca semua kehidupan ini sebagai Al-Qur'an yang tidak terbaca atau tersembunyi. Karena itu janganlah mudah menafsirkan Al-Qur'an dengan pandangan kita sendiri. Kita harsu belajar sehingga tahu maknanya. Sebab banyak orang yang bisa membaca satu dua ayat langsung merasa paling benar, lalu melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hakikat qur’an.”
Nilai syari’ah dalam edisi di atas berhubungan dengan
bagaimana Islam mengatur ketentuan manusia yang ingin
memahami makna sumber hukum Islam secara keseluruhan. Di
samping perlunya aturan, di atas juga dijelaskan tentang
bahayanya dan telah banyaknya orang yang “seenaknya”
memaknai dan memberikan tafsir kepada ayat-ayat al-Qur’an.
• Edisi 316
Ada dua masalah syari’ah yang dibahas pada edisi ini seperti
yang tertuang dalam jawaban berikut,
“Zina besar itu yang tindakan hubungan seksual antar lawan jenis diluar ikatan nikah. Jika seseorang terlanjur melakukan tindakan itu, hendaknya bertobat saja, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, dan tidak usah disampaikan ke publik. Mengendalikan diri? Secara mendasar Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita berpuasa. Tapi kalau juga masih keberatan, seseorang harus menyadari, bahwa salah satu tanda Allah sedang menghina dan merendahkan derajat kita adalah si hamba akan menuruti kemauan hawa nafsunya.”
Permasalahan syari’ah pertama yang dikaji pada edisi ini
adalah aturan atau ajaran Islam kepada umat manusia untuk
segera bertobat apabila telah melakukan suatu kesalahan/dosa.
Sedangkan permasalahan kedua terkait dengan ajaran Islam
tentang tata cara menahan syahwat yang sesuai dengan Islam,
yakni perlunya seseorang melaksanakan puasa atau ingat akan
azab yang akan diterimanya apabila melakukan hal nista
tersebut.
• Edisi 317
Nilai syari’ah tentang tata cara berijtihad sesuai dengan Islam
diterangkan dalam edisi ini,
“Munculnya JL lebih merupakan reaksi dua kutub pemikiran keislaman. Satu kutub yang bermuara pada Islam tradisional, dan satu kutub bermuara ke pemikiran Islam formal modernis, yang dua-duanya dianggap menghambat kemajuan Islam. Tetapi tujuan baik itu, tidak diikuti oleh prasyarat-prasyarat dasar bagi seorang Mujtahid yang seharusnya menguasai khazanah Al-Qur'an dan Sunnah, khazanah Intelektualisme dan disiplin keilmuan Islam secara menyeluruh, lalu ibarat seseorang yang baru belajar jurus-jurus silat, sudah ingin mendemonstrasikan kemampuannya, layaknya pendekar silat beneran. Padahal silatnya justru diam dan bersahaja. Sebagaimana nasib kaum formalis Islam, yang baru mengenal satu, dua ayat, satu dua hadits, langsung berfatwa dengan bahasa dan emosi yang garang, layaknya seorang mufti. Kemudian ia merasa paling islami. Siapapun yang mendalami Islam hanya di dataran pemikiran dan intelektualisme akan mengalami kekeringan jiwa dan kegersangan ruhani. Siapa pun pula yang mendalami Islam pada kulit-kulitnya belaka, akan mengalami kekerasan hati dan kesombongan religius. Begitu juga orang yang memasuki dunia hakikat tetapi berlaku layaknya kedua kelompok diatas, tidak lebih hipokrit dibanding keduanya.”
Pemahaman akan pengetahuan yang luas terhadap sumber
hukum Islam sebagai dasar berijtihad memiliki penekanan
dalam pembahasan ini. Sebab tanpa adanya pengetahuan
tentang syarat-syarat berijtihad hanya akan memberikan hasil
ijtihad yang membingungkan umat dan berpotensi memecah
umat.
Hal-hal yang terkait dengan pergaulan manusia dengan sesama
manusia – dengan melihat dan memperhatikan status (anak dan
orang tua) –, tata cara penyelesaian masalah yang terkait
dengan mencari hukum “baru” yang belum tercantum secara
jelas dalam sumber hukum Islam, serta ajaran Islam untuk
menggunakan sholat istikharah sebagai mediator di kala
manusia sedang kebingungan dan kebimbangan dalam
menentukan sesuatu sikap menjadi permasalahan yang
diprioritaskan dalam kaitannya dengan masalah syari’ah.
IV.1.3 Akhlak
Sedangkan nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam Rubrik Sufi
Tabloid Posmo antara lain tersebut dalam,
• Edisi 227
“COBA Anda renungkan dulu, apakah sebelum Anda memasuki tharekat sudah beristikharah lebih dulu, sehingga Anda masuk pada tharerakat yang memang pas dan proporsional dengan jiwa Anda. Bisa saja, perasaan yang tak ada bedanya antara sudah bertarekat dengan sebelumnya itu, disebabkan beberapa hal: a) Tharekat yang Anda pilih belum relevan dengan jiwa Anda
atau karena orang yang membaiat Anda; bukan Mursyid yang Kamil Mukainmil.
b) Bisa saja karena niat awal Anda yang kurang pas, ketika memasuki dunia tharekat.
Seorang mursyid dalam dunia tharekat tidak harus persis dengan langkah dan jejak Syeikhnya. Tetapi si murid memang harus mengikuti aturan yang diberikan oleh syeikhnya. Di hadapan syeikhnya sang murid layaknya seorang bayi. Jaminan dan dijanjikan itu beda. Kalau dijamin pasti, kalau dijanjikan sangat tentative, bergantung murid tharekat itu sendiri.”
Edisi ini menitikberatkan tentang akhlak (perilaku) yang harus
diperhatikan oleh seseorang manakala ia mengalami
kebimbangan dalam melakukan ritual sufi.
• Edisi 279
Meski pada edisi 277 telah disinggung tentang sikap ketika
dalam situasi ragu atau bimbang, nasehat (nilai) tentang akhlak
atau perilaku dalam menghadapi keraguan tersebut disinggung
kembali dalam edisi ini dengan konteks yang sedikit berbeda.
Edisi 279 ini lebih memfokuskan tentang sikap ketika
menemukan perbedaan pendapat dalam memberikan “status”
hadits yang terdapat pada Ihya Ulumuddin (salah satu karya
Imam al-Ghazali). Permasalahan tersebut diulas oleh Ustadz
Luqman Hakiem dengan ulasan sebagai berikut :
Yang penting kalau kita membaca kitab-kitab tasawuf, toh tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan asunnah, justru kitab-kitab itu menjelaskan kedalaman Al-Qur'an dan asunnah. Bagi mereka yang memahami qur’an dan sunnah dari segi nash atau teksnya saja, pasti akan sulit menerima karena memang tidak bisa memahami. Untuk memahami kedalamannya butuh kemampuan nahwu sorof, balaghah, nushus, adab (sastra) dan seluruh maqosidul udzma (tujuan agung dibalik ayat dan sunnah) itu. Saat ini banyak kalangan khususnya generasi muda Islam yang hanya berbekal semangat Islam, lalu mengklaim bahwa mereka telah mampu menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur'an dan as-sunnah terutama jika menunjuk pada karya-karya orang-orang pemikir Islam arab mutakhir yang condong pada radikalisme dan semangat tekstualisme jika mereka sudah berangkat dengan apreori maka akan memproduksi pandangan yang serba apreori pula. Anda tidak perlu kawatir, sebab para imam Mujathidin, Maliki, Hanafi, Safi’i, Hambali, Sufyan atz-Tzaury, dan seluruh ulama salaf yang wara. Shahih, pun mereka menerima tarekat sufi dan
mengamalkannya. Ada sebagian fuqoha yang menolak seperti ibnyu Taymiyah. Tapi anehnya murid Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim al-Jauziyah justru menjadi pemuka kalangan sufi. Para ulama dulu, khususnya fuqoha bahkan mufasir saja masih ada yang kurang paham terhadap tasawuf ulama salaf, apalagi kawan-kawan anda yang menerima informasi keislaman dari larutan dan sejumlah pikiran keruh muthahir. Mengenai hadits-hadits dhaif ataupun maudlu yang dituduhkan kepada imam ghazali, memang, menurut standar ilmu hadits sejumlah riwayat hadits tersebut dhaif (lemah). Tetapi ahli hadits dan ulama juga sepakat, walaupun ada hadits dhaif, kalau isinya merupakan anjuran kebajikan sudah seharusnya dipakai. Dan seluruh hadits yang dikutip oleh imam ghazali, semuanya merupakan anjuran kebajikan. Dan larangan terhadap kejahatan dan kemungkaran. Walaupun ada hadits menilai dhoif toh tidak satu pun hadits itu yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunnah nabi. Kenapa? Kalau kita teliti kembali, para muhadisin pun, menggunakan metode penelitian ilmu hadits, yang kemudian muncul ketegorisasi seperti shahih, hasan, dhaif, mutawatir, ahad, al-Jarhu wat ta’dil dan sebagainya adalah metode ijtihadiyah. Artinya, kebenarannyapun juga relatif, sebagaimana produk ijtihad para ulam mujtahidin. Jadi hanya sebagai standar belaka untuk menentukan metode tersebut gara tidak terjadi konflik, polemik dan mendapatkan standar yang mendekati kebenaran. Itu juga berarti, bisa saja terjadi, hadits yang di nilai hasan malah shosih atau sebaliknya, yang dhoif bisa saja juga shahih. Jadi anda tidak perlu lagi meragukan thariqat anda.
Dalam ulasan di atas dijelaskan bahwa sikap atau perilaku yang
harus diambil ketika berada dalam keraguan adalah tidak
langsung menganggap salah dan menyalahkan, namun lebih
memandang bahwa perbedaan pandangan sebagai bagian
(dampak) dari perbedaan manusia dengan segala
keterbatasannya sehingga tidak berpengaruh negatif terhadap
keimanan manusia.
• Edisi 281
Dengan permasalahan yang hampir sama dengan di atas namun
berbeda esensi, pada edisi 281 Ustadz Luqman Hakiem
menjelaskan kepada penanya tentang bagaimana sikap dalam
menghadapi “tuduhan” bahwa tasawuf adalah hasil
“perkawinan” antara Islam dengan unsur lain, termasuk filsafat
Yunani dengan jawaban sebagai berikut,
Tentu tudingan bahwa sumber Tasawuf adalah sinkretisme ajaran agama-agama dan filsafat Yunani adalah kekeliruan besar. Bahwa dalam dunia tasawuf ada hikmah-hikmah agung dan mengandung filsafat kehidupan yang luhur, sesungguhnya tidak bisa dihubungkan-hubungkan dengan tradisi filsafat tersebut secara menyeluruh. Seperti tradisi musyawarah yang sudah ada di zaman Jahiliyah. Maka ketika tradisi Syura itu di absahkan oleh Islam, sama sekali tidak bisa dituduh bahwa tradisi Musyawarah dalam Islam itu bersumber dari zaman Jahiliyah. Kalau Nabi Muhammad SAW melakukan tradisi khalwat, tahannuf, atau tahannut di Gua Hira, sementara kaum Jahiliyah juga melakukan hal yang sama di tempat terpisah dalam rangka menyucikan dirinya, apakah metode yang ditempuh Rasulullah dalam Gua Hira itu ditentang oleh umat Islam bahkan oleh Rasul sendiri? Apalagi untuk menggali akidah Islam yang hakiki, tidak bisa melalui pendekatan yang bersifat letere, tekstual, dan formal. Sementara istilah akidah itu sendiri di zaman Rasulullah belum muncul sebagai elemen ushuliyah sebagaimana yang kita fahami saat ini. Justru muncul pembagian akademis, dalam ilmu-ilmu Islam, ketika pengetahuan dan pengajaran Islam mulai disusun secara sistematis oleh generasi Mujtahidin, Muhaddltsin, Mufassirin, dan Mutakallimin. Banyak umat Islam terjebak oleh. jargon “Kembali pada sumber Alquran dan As-Sunnah", dengan cara-cara yang dangkal dan bahkan malah menyesatkan. Misalnya dengan menegaskan segala hal yang tidak tertera secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut dianggap menyesatkan. Kemudian mereka bersikeras mengikuti jejak Nabi secara ketat dengan formalitasnya belaka, sedangkan aspek kedalaman jiwa (ruh)-
nya hilang sama sekali, sehingga Islam tampak kaku, keras, dan radikal. Padahal dalam amaliyah Islam Rasulullah SAW membagi tiga: Islam, Iman, dan Ihsan. Islam yang kelak berhubungan dengan ibadah syari'ah, penataan aturan-aturan fikih, dalam rangka menata kehidupan lahiriyah. Lalu di sana muncul para fuqoha yang menyimpulkan produk hukum Islam melalui Ijtihad. Bahkan untuk membuka pintu Ijtihad ini pun para Ulama sangat ketat aturannya, agar tidak semua orang menafsirkan Alquran dan As-Sunnah dengan klaim-klaim yang gampangan. Kita bisa bayangkan jika para Mujtahid tidak membuat aturan ketat mengenai syarat ijtihad, pasti konflik-konflik sosial akibat perbedaan ijtihad begitu luar biasa dan malah menghancurkan umat Islam itu sendiri. Sedangkan Iman, kelak berpengaruh dalam akademia teologi yang popular dengan ilmu Tauhid Di kalangan ahli Tauhid sendiri soal-soal yang sifat dan Asma Allah banyak pandangan yang berbeda. tetapi perbedaan itu sebatas masalah-masalah yang berkembang yang berinduk pada ushuliyahnya. Misalnya Allah Maha Esa. Dalam Al-Qur’an Allah menggunakan kata Yang Satu, dengan kata yang berbeda-beda. Misalnya Ahad, Wahdat, Wahdaniyah, Wahid, yang memiliki hubungan yang berbeda-beda. Bahwa Allah Maha Esa itu tidak satu pun yang berbeda pandangan. Namun mengenai interaksi Ahad, Wahdah, Wahid, dengan praktek Tauhid maupun filosufi Ketauhidan akan muncul banyak ragam. Rupanya kaum formalis yang menolak tasawuf dengan serampangan saja menggenalisir fakta keragaman kata dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, lalu mengklaim apa yang dipandangnya itu sebagai kebenaran mutlak yang tak terbantah sama sekali. Ihsan, sebagai praktik dan manifestasi Islam dan Iman dalam kualitas hubungan hamba dengan Allah, sama sekali tidak pernah dibedah secara tuntas oleh mereka yang anti terhadap dunia sufi. Sebab, hanya akademi Sufisme saja yang menguraikan secara gamblang apa dan bagaimana Ihsan Itu diterapkan dalam ‘Ubudiyah sehari-hari. Karena tanpa pelaksanaan Ihsan, seorang hamba yang melakukan ibadah salat hanyalah melaksanakan kewajiban formalnya salat, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Sedangkan kualitas khusyu' dalam salat, elemen-elemen kekhusyuan, maupun nuansa khusyu di depan Allah tidak dikaji tuntas, kecuali dengan mengetangahkan teknik-teknik khusyu' yang kering. Apakah jika dunia sufi membahas masalah. khusyu' dalam salat maupun di luar salat menjadi bid'ah dan bertentangan dengan Quran dan Sunnah? Alangkah bodohnya kita, jika menuduh
kajian dunia Sufi sebagai bentuk yang menyimpang dari kedua sumber utama Islam itu. Justru dunia sufi mendorong seseorang untuk meraih khusyu' yang hakiki, bukan khusyu' yang dikhusyu'-khusyu'kan, sementara ia lelah gagal meraih salat Khusyu'. Seluruh ajaran sufi, walaupun sebagian kecil yang minor kita jumpai telah menyimpang dari ajaran sufi yang benar sesungguhnya tetap bersumber dari Alquran dan Sunnah. Para sufi sendiri sepakat demikian, dan sebaliknya yang jauh dari Alquran dan Sunnah malah dianggap bathil. Hanya saja criteria mengenai sesuatu yang menyimpang dan tidak dari Alquran dan Sunnah, maka dunia sufi lebih dalam, lagi dan sulit difahami mereka yang hanya memandang Alquran dan Sunnah secara formal belaka. Sementara itu tudingan terhadap Ibnu Araby, al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Al-Hallaj, Syekh Abdul Qadir al-Jilany, maupun sufi-sufi besar lainnya, semata karena cara memandang Alquran dan Sunnah secara berbeda. Perbedaannya ibarat kita memandang cermin. Ada cermin itu, buram, ada yang retak dan pecah, ada pula yang bercermin dari samping dan dari balik cermin, tentu semua itu akan gagal memantulkan, gambar yang objektif. Dunia Sufi dengan segala ragam metodenya mengajak kita memandang cermin dari arah yang benar dan dengan objek; yang utuh. Bahkan berusaha agar cermin tetap bening, bersih dan cemerlang.
Bahasan akhlak yang ditekankan di edisi ini masih tidak jauh
berbeda dengan edisi sebelumnya. Untuk mengambil sikap
(akhlak) terkait perbedaan pemahaman al-Qur’an dan as-
Sunnah lagi-lagi didasarkan pada perbedaan faktor
“kemampuan” manusia (baca : sufi) dalam memahami sesuatu
hal termasuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karenanya
janganlah seorang muslim mengklaim sebagai pihak yang
paling benar, sebab asumsi semacam itu hanya akan menambah
perpecahan dan pengingkaran bahwa tidak ada kebenaran yang
absolut di dunia ini melainkan kebenaran Allah di mana yang
mengetahui hanyalah Dia semata.
• Edisi 283
Selain permasalahan yang terkait dengan dunia tasawuf dan
dasar ideologi dan perbedaan pandang para sufi, masalah
akhlak terkait hubungan antar manusia juga menjadi
pembahasan dalam Rubrik Sufi. Pada edisi 283 yang
membahas tentang bagaimanakah sikap anak yang sedang
bermasalah dengan orang tuanya dijelaskan sebagai berikut
Karena itu jika Anda mengalami miskomunikasi dengan ortu sebaiknya Anda memulai lebih dahulu. Sapalah ortumu dengan bahasa yang lemah lembut, buang rasa gengsi dan perasaan harga diri. Sebab gengsi Anda bisa menumbuhkan rasa sombong yang membuat hati Anda semakin keras dan antagonis terhadap ortu. Itu bisa membahayakan ketenteraman batin Anda sendiri. Datanglah ke ortumu dan sebelumnya Anda ambil air wudlu dulu, bacakan surat al-fatihah, al-ikhlas, al-falaq dan bin-nas, dikirimkan kepada keduanya lalu berdo’a “robbighfirli waliwaalidayya warhamhuma kamaa robbayani shoghiro”. Hayati dulu do’a itu baru menghadap ortu, bicara dengan hati yang lapang, penuh kasih sayang, rasa hormat, pasti ortu akan berbeda merespon Anda. Ortu, apapun keterbatasan pikiran dan pAndangan tetap tidak menginginkan Anda sengsara, sebagaimana Anda juga tidak ingin ortu sengsara di dunia hingga akhirat bukan?
Dalam jawaban di atas sangat jelas dijabarkan bagaimanakah
sikap seorang anak terhadap orang tua ketika sedang ada
masalah diantara mereka. Dalam penjelasan itu pihak anak
haruslah lebih bisa mengalahkan ego diri mereka dan dengan
penuh hormat merespon perbedaan pandang yang terjadi antara
dia dengan orang tuanya. Bahkan Ustadz Luqman Hakiem juga
menekankan bahwa perbedaan pandang tidak harus menjadi
penghalang bhakti anak kepada orang tua sehingga dalam
menghadapi orang tua yang berbeda pendapat, seorang anak
juga disarankan untuk mendo’akan orang tua terlebih dahulu.
• Edisi 285 dan 302
Edisi ini menerangkan tentang bagaimanakah akhlak yang
harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang yang ingin
bertasawuf yang secara jelas dan gamblang dibeberkan dalam
jawaban di bawah ini
Edisi 285
“Ajaran mengenai ilmu hikmah untuk hajat dan kepentingan tertentu dibolehkan dengan syarat: jika Anda seorang pengamal tarekat harus mendapat ijazah dari mursyid, dan kedua niatnya tetap Lillahi Ta’ala, bukan untuk kepentingan nafsu dunia. sebab jika Anda terlalu terfokus pada kepentingan hawa nafsu di balik wirid dan ilmu Anda, demi kesaktian, demi penglihat, nanti anda malah kehilangan Allah, sebab tujuan Anda bukan Allah tapi dunia. Nah, Tasawuf mencegah itu semua. Walaupun wiridan Asmaul husna, tapi kalau tidak didasari tasawuf nanti khadamnya bisa jin. Nah, bahaya bukan? Walaupun jin ilam? Saya sarankan anda tetap menjaga detak dan jantung Anda dengan bunyi Allah.”
Edisi 302
“Seorang sufi adalah seorang yang menempuh jalan ruhani dalam Islam, selain syarat, thariqat dan hakikatnya berjalan beriringan satu sama lainnya. Syariat bukan metode menuju kepada hakikat, tetapi syariat adalah perintah ibadah, thariqat perintah ubudiyah, dan hakikat adalah perintah ‘adudah.
Syariat itu hendaknya Anda menyembah Allah, thariqat hendaknya Anda menuju kepada Allah, dan hekikat hendaknya anda melihat Allah.”
• Edisi 291
Kedudukan guru (mursyid) dalam tasawuf memiliki tingkatan
yang sama bahkan melebihi “status” guru dalam hal lain. Pada
edisi yang membahas tentang kemungkinan untuk berpindah
mursyid manakala pelaku tasawuf berpindah tempat yang
sangat jauh dari sang mursyid, ustadz Luqman menjelaskan,
Sebenarnya pertanyaan yang sama pernah dipaparkan pada edisi-edisi yang lalu, Tapi baiklah akan saya jawab. Mengenai Mursyid, Anda bisa bertanya ulama di sana. Sebenarnya Anda tidak perlu itu semua. Jangan pindah-pindah Mursyid, itu tidak boleh dalam dunia tarekat. Amalkan saja apa yang sudah digariskan dalam Tarekat Qadariyah wan-Naqsyabandiyah, sesuai dengan petunjuk Mursyid. Anda tidak harus bertemu dengan Mursyid Anda. Jika memang Mursyid Anda itu Kamil, maka beliau pasti tahu gerak-gerik Anda, bahkan beliau pun bisa mendidik dari jarak jauh sekali pun. Yang penting Anda tetap belajar dengan tekun, sementara Anda tetap berzikir dalam hati, walaupun Anda sedang bekerja. Anda bisa menambah pengetahuan ruhani melalui bacaan buku-buku Tasawuf, seperti Ihya Ulumuddin, Risalatul Qusyairiyah, yang sudah ada terjemahan Indonesianya. Anda bisa minta dikirim dari Indonesia lewat keluarga Anda. Sementara Anda harus tetap melaksanakan tarekat itu. Kecuali jika Anda mengalami hal-hal yang aneh-aneh atau alamat-alamat spiritual, jangan ditafsiri sendiri. Tolong hubungi Mursyid Anda, jika tidak bisa, konsultasi dengan saya. 0ke?
Penjelasan di atas menegaskan bahwa kelebihan dari guru
tasawuf dengan guru “yang lain” adalah terletak dalam
kemampuan melakukan kontak batin dengan muridnya yang
tentunya tidak akan mengurangi perhatian guru kepada murid
meskipun berbeda tempat dan waktu. Di samping itu, tidak
meninggalkan (baca: pindah) mursyid adalah salah satu tanda
bhakti murid kepada sosok yang telah membimbingnya dengan
ikhlas menuju jalan kebenaran.
• Edisi 293 dan 304
Edisi 293 “Ada seorang Ibu sedang membawa putri kecilnya ke mal. Tiba-tiba si putri kecil menangis menjerit-jerit karena keinginannya ditolak oleh ibunya. la ingin dibelikan sepeda motor yang terpampang di pameran mal itu. Si kecil jengkelnya bukan main, karena keinginannya tidak dikabulkan saat itu oleh ibunya. “Sudahlah, Nak. Nanti kalau kamu sudah gedhe pasti saya belikan. Kalau kamu naik sepeda motor sekarang, kamu malah calaka. Motornya hancur kamu entah apa jadinya...." Tapi saking dongkolnya si anak tetap saja ngaak paham, lain dia terus-menerus menangis. Itulah keinginan dan hasrat kita kadang tidak sesuai dengan takdir Allah. Padahal bukannya Allah menolak; keinginan kita, tetapi kapan dan di mana yang pas dengan keselamatan kita. maka Allah lebih Maha tahu. Sebagaimana kasus si kecil tadi Kita pun merasa jengkel dengan Allah, sudah lama berdoa kok nggak dikabulkan juga, apakah kita salah? Karena itu dalam kitab Al-hikam disebutkan, "Janganlah Anda putus asa berharap dan berdoa ketika doa Anda belum dikabulkan. Allah yang Maha tahu dan memilihkan terbaik kapan dan dimana keinginan kita itu diwujudkan." Jangan sampai Anda berhenti berdoa. Sebab doa itu munajat hamba Allah, dan munajat itu terasa begitu indah terdengar Allah. Munajat itu adalah sentra ibadah pula. Apa yang kita lakukan selama ini sebagai bukti kita ini "hamba Allah". Apa yang selama ini kita panjatkan sebagai bukti bahwa kita sedang mempersiapkan diri untuk disemai oleh Rahmat dan Fadlnya Allah. Ada seorang Sufi mengatakan, “Seandainya manusia mengetahui hikmah di balik cobaan dan kegagalan, pasti dia setiap hari akan memohon kepada Allah agar diberi cobaan.” Edisi 304 Pasrah itu dalam dunia tasawuf ada tiga tingkatan. Pertama disebut tawakkal. Tawakkal berarti kepasrahan hamba Allah pada umumnya. Dia pasrah, tapi hatinya masih meronta-ronta
ingin sukses apa yang dicapainya. Namun ia menyadari bahwa semua itu adalah kehendak Allah, sehingga ia pasrah semuanya kepada-Nya. Kedua, tafwidl. Dalam Al-Qur’an disebutkan, Wa Ufawidlu Amri Ilallah. (Aku pasrahkan total urusanku kepada Allah). Inilah pasrahnya para sufi, para shilihin, dan auliya’, dimana seluruh gerak-gerak hatinya bergantung perintah langsung dari Allah, karena ia menyadari dari Allah, lalu menuju kepada hanya Allah, dan bersama Allah, untuk Allah. Ketiga, disebut dengan Istislam. Yaitu kepasrahan lahir batin, total bongkokan, hanya kepada Allah. Selaian Allah adalah batil untuk dipasrahi. Inilah pasrah yang diteldankan para Nabi dan Rasul. Nah pasrah itu tempatnya dimana? Pasrah itu tempatnya di hati. Bukan dipikiran, bukan di hawa nafsu, bukan di akal, bukan pula di indrawi dan fisik kita. Anda harus berikhtiar, tapi janganlah ikhtiar itu dimasukkan dalam hati. Karena tempat ikhtiar bukan di hati. Tetapi akal, pikiran, dan fisik tadi. Karena itu Anda jangan mengatakan aku berikhtiar dulu, kalau mentok baru pasrah, itu namanya salah kaprah, dan salah faham terhadap paham yang salah.
Penjelasan di atas memperlihatkan dan memaparkan tentang
perilaku atau akhlak dalam berusaha ketika sedang menghadapi
suatu cobaan atau ketika manusia menginginkan sesuatu. Inti
dari penjelasan itu sendiri adalah adanya sikap (akhlak) sabar
dan tunduk sebagai makhluk manakala sedang diberi cobaan
ataupun ketika keinginan yang diucapkan melalui do’a belum
terkabulkan oleh Allah. Selain itu dijelaskan pula agar manusia
tidak salah kaprah memposisikan pasrah diri dengan
memasrahkan secara penuh dirinya (nasibnya) kepada Allah
tanpa berusaha, namun lebih pada tetap melakukan usaha
secara fisik yang diikuti dengan pasrah melalui irama do’a
dalam batinnya. Jadi antara usaha dan memasrahkan hasilnya
seharusnya selalu beriringan dan bersama. Di dalam penjelasan
di atas juga dipaparkan tentang tingkatan-tingkatan pasrah
manusia.
• Edisi 300
Edisi ini menjelaskan tentang bagaimanakah cara atau akhlak
yang harus ditempuh untuk mendapatkan ilmu laduni. Dalam
penjelasannya, Ustadz Luqman Hakiem menjelaskan bahwa
akhlak yang harus ditempuh untuk mendapatkan ilmu laduni
adalah seperti akhlak yang telah ditempuh oleh para sufi yakni
dengan mengenal Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya
sebagaimana dijelaskan berikut,
Pendekatan Islam terhadap ilmu laduni ini, tentu tidak secara sistematis, dijabarkan oleh Allah dan oleh Rasulullah SAW. Tetapi Allah cukup mengilustrasikan “drama ilmu pengetahuan” dalam kisah Khidir dan Musa ‘alaihimassalam. Ketika Musa merasa paling representatif sebagai pendakwah agama, dan pengungkap kebenaran paling utama, tiba-tiba Allah SWT, mengingatkan adanya seorang hamba Allah yang tak dikenal oleh khalayak, dan memiliki segudang rahasia ilmu pengetahuan yang tidak dicapai oleh Nabiyullah Muss As. Dan kisah dramatis dalam Alqur’an itu sebagai populer, karena dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam hadits-Nya. Ditambah sejumlah data-data hadist Nabi mengenai Uwais al-Qarany yang memiliki kehebatan-kehebatan luar biasa. Lalu sejumlah kisah pengetahuan yang muncul secara supraintuitaf melalui ketersingkapan rahasia ilahi, yang pernah didapatkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan sejumlah ulama salaf lainnya. Maka tulisan ini, merupakan sekian dari ribuan pledoi intelektual kaum sufi atas kenyataan, fakta, dan hikmah ilmu laduni tersebut. Bahkan seorang ulama sufi besar di abad 7 hijriah, Syaikh Abu Muhammad Abdullah bin As’adalah al-Yafi’I (697-768 H) dalam kitabnya Kifayatul Mu’taqid wa-Nikayatul Muntaqid, membuat pledoi tebal tentang sejumlah
kontroversi kritik yang diajukan oleh para ulama penentang tasawuf termasuk di dalamnya soal ilmu laduni. Ketika menjawab soal kontrofersi ilmu laduni itu, beliau uraikan panjang lebar dengan bahasa sastra yang luhur. Bahkan dari uangkapan sastra sufistiknya saja, sudah terlintas bagaimana prosesi ilmu laduni itu melimpah pada hamba-hamba Allah yang dipilih-Nya ia memulai: Ulama paling utama adalah ulama Billah. Yaitu para ulama yang mendapatkan limpahan ilmu pengetahuan melalui “tersingkapnya” tirai (rahasia ilahi). Mereka menyaksikan keindahan yang luhur, dan mereka mabuk dalam kecintaan ilahi, lalu mereka mengenal Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi secara hakiki. Kemudian mereka meriaskan sifat-sifat-Nya itu dengan estetika ruhani, lantas mereka saksikan keajaiban alam malaikat-Nya dan keanehan-keanehan yang menakjubkan di balik hikmah-nya kebesaran ayat-ayat-Nya Yang Agung. Allah mendekatkan mereka dalam hadirat kemahasucian-Nya dan memajliskan mereka dihamparan kemesraan-nya. Sedangkan qalbu-qalbu mereka menjadi limpahan manifestasi sifat-sifat jamal dan jalal-Nya, bahkan qalbu itu menjadi cermin cahaya-cahaya-Nya, khazanah rahasia-rahasia-Nya, sumber pengetahuan dan hikmah-hikmah. Mereka adalah dian-dian hidayah, terbimbing dalam amaliah yang saleh, dan terjaga dalam ucapan maupun tindakan. Sedangkan situasi ruhaninya dicemerlangkan, qalbunya melalui zikir dihidupkan, dibersihkan pula dari kotoran dan najis jiwanya. Kewalian mereka terpancar dalam tanda-tandanya, mereka pun memasrahkan gerak jiwanya pada kerajaan ilahi dan limpahan anugerah-Nya, bahkan kerinduannya senantiasa tergirahkan memandang wajah-Nya. Mereka telah zuhud di dunia dan di akhirat, menghidupkan agama dan melimpahkan manfaat bagi para penempuh jalan ilahi. Mereka melakukan pembersihan jiwa umatnya, menata negaranya dan menyikap dan menghalau bencana-bencana. Mereka bisa disebut sebagai orator-orator ilahi dari kedalaman hakiki, mereka adalah para Mursid (Guru Ruhani) menuju jalan tharikah sufi. Mereka bicara dengan hikmah-hikmah dari lautan demi lautan suci yang bergolak ombak-ombaknya. Lalu mereka temukan mutiara-mutiara tauhid disana, lalu cahayanya memancar ke seluruh penjuru, menghampar dan memancar setiap zaman. Dari sana kemudian melahirkan para hamba-hamba Allah yang agung, mereka berdakwah melalui ilmu-ilmu laduni yang muncul dari mutiara-mutiara rahasia. Lalu tersingkaplah hijab yang tinggi, mereka naik menuju tanjakan luhur sampai kesumber-sumbr cahaya ilahi. Mereka
menetap di hamparan kemesraan illahiyah dan tersingkapkan bagi mereka, rahasia azaliyah. Hasrat-hasrat mereka menanjak ke martabat luhur sampai di dataran ilmu-ilmu illahiyah dan nafas-nafas ruhaniyah. Maka, gamblanglah mereka, ilmu hakiki yang terlindungi, terbukalah kemudian rahasia yang terpendam (sirrul maknun). Ruh-ruh mereka menegak minuman cinta di hadapan Al-Quds. Mabuklah mereka ketika memandang kemahaindahan di hamparan kemesraan abadi itu, lalu mereka berputar-putar dalam kebimbangan di lautan makrifat rahasia-rahasia. Mereka menyucikan ilahi di taman terbitnya cahaya. Merekalah para sufi (Ashfiya’), yang dilimpahi cinta-Nya, para peserta majelis ilahi yang muqarrabun. Indah nian ilustrasi tersebut. Gambaran tentang dunia laduni. Bahwa ilmu laduni itu berkelindan dengan tanjakan-tanjakan hakikat ruhani, dan karenanya ilmu laduni itu memang tidak bisa dicri, ditempuh seperti para penempuh akademi.
• Edisi 303 dan 316
Dua edisi ini menjelaskan tentang akhlak untuk menghindari
dari berbuat kesesatan dan kemaksiatan khususnya bagi
generasi muda. Akhlak-akhlak yang dijelaskan tersebut antara
lain adalah perlunya seseorang untuk segera mencari guru
rohani (mursyid) guna membimbingnya ke jalan yang benar.
Apabila dia belum mampu mencapai tingkat tersebut, maka
akhlak yang dianjurkan adalah berpuasa, istighfar dan
memperbanyak berdzikir dengan menyebut nama Allah secara
khusyu’ dalam lisan dan hatinya. Hal ini seperti jawaban yang
diberikan dalam dua edisi tersebut di bawah ini,
Edisi 303
Memang sekadar kita mengenal Islam dengan fanatisme tertentu, tidak menjamin keyakinan dan rasa kehambaan kita
kepada Allah terjamin penuh. Kita mesti belajar lebih dalam lagi, terutama mengenai apa hakikat Islam, dan apa yang disebut praktik atas keimanan kita. Karena itu, dunia Sufi menjadi wilayah paling universal untuk mengalami hakikat Islam, dan praktik akan hakikat itu sendiri. Islam mengajarkan syariat dan hukum halal dan haramnya, sementara praktik keimanan diajarkan oleh dunia Sufi, sementara ketika sedang menghayati puncak dari hakikat akan eksplorasi dalam al-ihsan. Yaitu proses tahapan paling tinggi dalam Islam. Untuk itu, Anda tidak perlu mendalami ilmu-ilmu Islam secara akademis maupun detail. Cukuplah Anda dibimbing oleh seorang Mursyid agar bisa membebaskan kegelisahan hati Anda. Tidak ada jaminan bahwa seorang ulama, kiai, ustadz ataupun ahli agama itu langsung masuk surga. Bahkan dalam hadits nabi disebutkan mayoritas masuk surga pertama kali adalah hamba Allah yang fakir dan miskin. Makna fakir dan miskin secara hakikat, adalah mereka yang senantiasa fakir dan miskin kepada Allah, bukan fakir duniawi, yang senantiasa bernafsu menumpuk dunia. Sekaya apa pun manusia kalau ia masih berambisi meraih tumpukan harta berarti ia masih miskin. Dan tentu saja bukan demikian yang maksud miskin oleh Rasulullah SAW Kalau dilihat usia Anda dan kesibukan Anda dengan hiruk pikuk dunia Jakarta saat ini, Anda sudah waktunya memasuki dunia Thariqat Sufi. Anda bisa datang ke kantor redaksi majalah Sufi, untuk menerima bimbingan mana Thariqat yang pas buat Anda dan dari mana memulai. Apalagi Anda merasa kesulitan mencari guru atau Mursyid yang benar-benar diridai oleh Allah SWT, Saya juga sepakat dengan Anda, dan nantinya akan kita petakan, bagaimana dunia Thariqat di Indonesia, dan siapa yang layak memenuhi syarat-syarat Kemursyidan itu Sebab, bagaimanapun memasuki dunia Sufi, tanpa mursyid, akan dibimbing oleh setan. Bahkan banyak orang dibimbing oleh setan, merasa dibimbing oleh Allah. Nah, bahayakan? Untuk sementara ini, sebelum kita berdiskusi secara persuasif, usahakan Anda menyebut nama Allah... Allah... Allah... dalam hati saja, kapan saja, dimana saja, tanpa terhitung jumlahnya dan waktunya. Kalau lupa, ya, ingat, lalu sebut lagi bunyi Allah dalam detak jantung anda. Oke? Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya.
Edisi 316
Zina besar itu yang tindakan hubungan seksual antar lawan jenis diluar ikatan nikah. Jika seseorang terlanjur melakukan tindakan itu, hendaknya bertobat saja, memohon ampun kepada Allah Ta’ala, dan tidak usah disampaikan ke publik. Mengendalikan diri? Secara mendasar Rasulullah SAW, memerintahkan kepada kita berpuasa. Tapi kalau juga masih keberatan, seseorang harus menyadari, bahwa salah satu tanda Allah sedang menghina dan merendahkan derajat kita adalah si hamba akan menuruti kemauan hawa nafsunya. Begitu seseorang ingin berbuat maksiat segera ingat, jangan-jangan Allah sedang menurunkan kehinaan baginya. Namun penghinaan Allah itu lebih kejam dibanding tindakan dosa itu sendiri, ataupun siksaan. Kalau boleh dikatakan, siksa Allah di dunia ini adalah tindakan-tindakan maksiat kita. Selain itu, rutinkan istighfar, minim 100 kali setiap hari Insya Allah ada kontrol dari “langit”.
• Edisi 308
Akhlak dalam mencari guru rohani juga dijelaskan dalam
Rubrik Sufi dalam edisi 308 yang menyebutkan bahwa
seseorang yang ingin mencari mursyid hendaknya melakukan
pembersihan diri, melakukan istiqomah, sholat-sholat sunnah
di luar sholat wajib, membaca al-Qur’an serta lebih banyak
bertafakur untuk memperoleh petunjuk dari Allah.
Kondisi Anda pasti sangat mengerikan, jika tidak segera mendapatkan jalan yang lurus bisa-bisa Anda semakin jauh dari Anda sendiri, dan jauh dari Allah. Kondisi yang anda Alami ini akibat berbagai benturan antara kemauan nafsu Anda, kata hati Anda, dorongan ruh Anda, pikiran dan akal Anda. Lalu berakhir dengan kerumitan, keresahan dan kekalutan.
Memang banyak anak muda yang mengalami seperti anda. Karena
itu saya anjurkan kepada Anda hendaknya semakin istiqomah
yahajud, salat sunnah qobliyah dan ba’diyah, membaca al-qur’an
dan tafakur, menghilangkan kerak kesombongan dalam diri Anda.
Bila hal itu bisa Anda lakukan maka Anda akan segera menemukan
yang Anda harapkan.
IV.2. Pengemasan Rubrik Sufi Tabloid Posmo dalam Tinjauan Semiotik
Semiotic merupakan salah satu ilmu yang menitikpusatkan kajian
terhadap pemaknaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah
karya sastra serta teks berita. Pada penelitian karya sastra, semiotic
membahas tentang tanda yang ada dalam penanda5 dan petandanya6 yang
terbagi ke dalam tiga kelompok utama yakni ikon, indeks, dan simbol7.
Sedangkan pada dataran teks berita, semiotic juga memfokuskan pada tiga
permasalahan yang meliputi medan wacana,8 penyampai atau pelibat
wacana,9 dan gaya bahasa atau sarana wacana.10
Sebagai bagian dari teks berita, maka dalam melakukan analisa
terhadap Rubrik Sufistik Tabloid Posmo akan digunakan teknik semiotic
5 Penanda adalah bentuk formal yang menandai suatu petanda. Metodologi Penelitian
Sastra, Jabrohim (ed), Hanindita, Yogyakarta, hlm. 68; Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, dan Aplikasi, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2003, hlm. 65.
6 Pertanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda. Jabrohim (ed), Iloc. cit; Suwardi ndraswara, loc. cit.
7 Penjelasan tentang tiga kelompok utama petanda dan penandanya dapat dilihat dalam Jabrohim (ed), loc. cit.
8 Medan wacana (field of discourse) pada teks berita menunjuk pada obyek yang terjadi di lapangan dan dijadikan wacana oleh media massa. Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Smiotik, dan Analisis Framing, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 148.
9 Penyampai atau pelibat wacana (tenor of discourse) menunjukkan pada orang-orang yang dikutip. Ibid.
10 Sarana wacana (mode of discourse) atau gaya bahasa adalah unsur yang menunjuk pada penggunaan gaya bahasa dalam penyampaian wacana. Ibid.
teks berita yang pemaparannya meliputi ketiga permasalahan tersebut di
atas yang dapat digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Medan Wacana Penyampai/Pelibat
Wacana Gaya
Bahasa/Sarana Wacana
- Penggambaran
tentang dunia sufi
secara hakekat
dan tata cara
pelaksanaannya
- Tasawuf sebagai
solusi
permasalahan
hidup
- Pembelaan
terhadap para sufi
- Pembelaan
terhadap para
mursyid dan
kelompok tareqat
- Pengelola Rubrik
- Tokoh Sufi
- Nabi
- Tuhan
- Sifatnya satu sisi
Menggunakan
berbagai macam gaya
bahasa (campuran)
IV.2.1. Medan Wacana
Pemaparan yang sangat jelas dan detail terlihat ketika membahas
permasalahan tentang hakekat sufi. Persoalan-persoalan yang
bersinggungan dengan dunia tasawuf seperti pengetahuan tentang
hakekat sufi, tasawuf, tareqatt, serta ciri-ciri yang terdapat di
dalamnya dibahas secara lugas dan berurutan pada edisi 302 yang
mengetengahkan permasalahan ciri-ciri sufi.
Namun penjelasan mengenai hakekat sufi tidak terhenti pada
penjabaran makna dan ciri saja. Pada edisi 285 juga dijelaskan
tentang siapakah yang memperkenalkan tasawuf pertama kali.
Pemaparan figur Nabi Muhammad sebagai orang yang pertama
kali memperkenalkan dunia tasawuf jelas sekali menjadi “simbol”
bahwasanya tasawuf lahir dan dilahirkan oleh Nabi Muhammad.
Padahal jika dibandingkan pola perilaku para sufi dan rahib kaum
nasrani yang sudah terbiasa meninggalkan urusan dunia dan hanya
mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, bisa jadi bahwa
sebenarnya yang memperkenalkan ritual sufi (hidup bersahaja)
adalah para rahib tersebut.11
Pada kajian tasawuf sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan,
pengelola (Ustadz Luqman Hakiem) memaparkan adanya peranan
tasawuf terhadap pemecahan persoalan kehidupan. Keterkaitan dan
peranan tersebut lebih didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam
tasawuf. Hal itu akan lebih terlihat pada solusi-solusi yang
diberikan oleh pengelola, seperti pada edisi 283 di mana pengelola
menganjurkan responden untuk membersihkan dirinya dari sikap
dan sifat sombong terlebih dahulu sebelum menghadap orang
tuanya ketika terjadi permasalahan antara anak dan orang tua. Edisi
293 juga memaparkan hal yang hampir sama. Meski tidak
menjelaskan secara langsung yang terkait dengan ritual tasawuf,
11 Noer Iskandar al-Barsyani, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 8-10; Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman Suatu Pengantar Tentang Tasawuf, terj. A. Rofi’ Utsmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 23-25.
penonjolan nasehat seorang sufi pada edisi ini, yang menyatakan
bahwa apabila seseorang mengetahui hikmah di balik ujian dan
cobaan Allah pasti manusia itu akan memohon kepada Allah untuk
diberikan cobaan setiap hari, seolah telah mewakili atau menjadi
representasi sifat sufi. Hanya saja dalam penyajian edisi tersebut
yang sangat disayangkan adalah ketiadaan nama tokoh sufi,
sehingga bisa saja memunculkan permasalahan baru – jika
pembaca lebih teliti dan memiliki keinginan kuat dalam bidang
mengetahui sesuatu ilmu – tentang kebenaran tokoh sufi tersebut.
Apakah benar-benar yang menyampaikan tokoh sufi tersebut, atau
hanya tokoh imajinasi pengelola rubrik untuk meyakinkan
responden.
Sedangkan pembelaan terhadap tokoh sufi, mursyid, atau tareqat
nampak jelas manakala ada responden yang bertanya tentang
ketidakpuasan erhadap sebuah tareqat atau mursyid maupun ketika
responden menanyakan perbedaan pendapat di kalangan ulama
Islam. Pembelaan yang dilakukan oleh pengelola memang tidak
terlihat secara radikal melainkan melalui saran-saran atau alasan-
alasan yang diberikan oleh pengelola. Salah satu contoh adalah
jawaban yang diberikan pada edisi 277 di mana responden
mempertanyakan keadaannya yang tetap tidak berbeda meski telah
mengikuti dan masuk dalam sebuah tareqat. Dalam memberikan
jawaban, pengelola memang sempat mempertanyakan “status”
guru dari responden namun hal itu kemudian disambung dengan
penjelasan pengelola rubrik kepada responden bahwa seorang guru
tidak harus sama dengan syeikhnya dan murid dianggap sebagai
bayi kecil di hadapan mursyid. Bahkan dalam jawabannya penglola
malah balik mempertanyakan kebulatan niat responden. Penjelasan
ini sebenarnya belum memenuhi jawaban jika dirunut secara detail.
Seharusnya pengelola memberikan gambaran tentang mursyid
yang sempurna (baik) dan kiat-kiat membangun dan membulatkan
tekad sehingga responden memperoleh gambaran tentang mursyid
yang sebenarnya serta mampu membangun motivasi dirinya untuk
menerjunkan dirinya secara penuh ke dunia sufi.
Pembelaan terhadap tokoh sufi juga berlanjut dalam penjelasan
mengenai perbedaan pandang tentang hadits dhoif dalam tareqat.
Dalam pembelaan yang termuat pada edisi 279, pengelola
mengajukan argumen bahwasanya para ulama tetap menganggap
hadits tersebut tidak apa-apa bila digunakan selama itu bermanfaat.
Penjelasan tersebut juga melibatkan penyebutan beberapa nama
tokoh ulama yang mendukung. Kekurangan dalam penjelasan edisi
tersebut hanyalah tidak adanya penjelasan secara gamblang tentang
penolakan Ibnu Taimiyah terhadap pendapat tersebut. Bahkan
penyebutan murid Ibnu Taimiyah yang mendukung dan berbeda
pendapat dengan Ibnu Taimiyah seakan dijadikan “counter attack”
pendapat Ibnu Taimiyah.
IV.2.2. Pelibat Wacana
Dalam memaparkan penjelasan terkait dengan Rubrik Sufi,
pengelola di samping mengutarakan opini pribadi, juga sering
mengutip sumber-sumber argumen yang terkait dengan
permasalahan tasawuf. Sumber-sumber tersebut antara lain al-
Qur’an sebagai representasi Allah – bahkan terkadang penulis juga
menggunakan nama Allah secara langsung, Rasulullah, para
sahabat, serta tokoh-tokoh sufi. Namun – sebagaimana telah
disinggung pada medan wacana – masih ada sedikit kekurangan di
mana sumber-sumber (manusia) yang dikutip merupakan sumber
satu sisi yakni yang sepakat dengan keberadaan tasawuf.
Sedangkan penonjolan tokoh yang berbeda pendapat mengenai
tasawuf tidak diperlihatkan secara detail. Padahal apabila
diperlihatkan secara detail pendapat tokoh yang berbeda tersebut,
maka akan semakin menambah daya tarik sebuah diskusi
keagamaan.
IV.2.3. Gaya Bahasa
Paling tidak ada tiga jenis gaya bahasa yang dipergunakan dalam
Rubrik Sufi Tabloid Posmo. Mayoritas bahasa yang digunakan
dalam penjabaran materi Rubrik Sufi menggunakan gaya bahasa
yang diperhalus. Gaya bahasa ini ada yang diperlihatkan secara
langsung dan ada juga yang terselubung. Penggunaan secara
langsung gaya bahasa ini dapat ditemukan pada penggunaan istilah
“coba anda renungkan terlebih dulu” (edisi 277). Kata atau kalimat
tersebut bisa saja diganti dengan kalimat kalimat yang tidak lebih
halus dari kalimat tadi seperti “renungkanlah oleh anda” atau “anda
harus merenung terlebih dahulu”. Penggunaan kata “coba”
mengandung makna seakan-akan mengajak sekaligus memberi
tawaran kepada responden. Sedangkan dua kalimat berikutnya
lebih bermakna memberikan perintah. Penggunaan gaya bahasa
yang dihaluskan juga terlihat pada penyusunan kalimat yang tidak
langsung pada pokok permasalahan melainkan melalui proses
pendahuluan terlebih dahulu serta ajakan-ajakan yang lebih bersifat
persuasif.
Selain gaya bahasa yang diperhalus, gaya bahasa kedua yang
digunakan Rubrik Sufi adalah gaya bahasa yang membandingkan
dua hal yang bertolak belakang (ironi). Perbandingan itu tampak
pada kalimat “Ada seorang Sufi mengatakan, ‘Seandainya manusia
mengetahui hikmah di balik cobaan dan kegagalan, pasti dia setiap
hari akan memohon kepada Allah agar diberi cobaan.’” Dalam
kalimat ini ada dua hal yang bertentangan yakni cobaan/kegagalan
dengan memohon setelah mengetahui hikmahnya. Dalam
kehidupan, umumnya manusia tidaklah berharap, terlebih lagi
memohon, datangnya sebuah cobaan/kegagalan. Bahkan mereka
seringkali berharap untuk senantiasa jauh dari cobaan. Namun pada
kalimat itu jelas sekali dipaparkan bahwa seorang yang mengetahui
hikmah dari cobaan malah akan berbuat sebaliknya yakni akan
semakin sering memohon untuk didatangkan cobaan atau
kegagalan lagi.
Sedangkan gaya bahasa ketiga yang digunakan adalah adanya
usaha untuk melebih-lebihkan sesuatu yang seharusnya biasa
(hiperbola). Hal ini dapat terlihat dari perumpamaan seorang murid
di depan gurunya yang diibaratkan seperti seorang bayi (edisi 277).
Kondisi ini sebenarnya terlalu berlebih-lebihan karena asumsi
orang terhadap sosok bayi adalah sosok manusia yang belum
mengerti sesuatu apapun dan tanpa pengetahuan umum apapun.
Jika dibandingkan sosok murid tentunya sangat jauh berbeda.
Memang seorang murid diharuskan tunduk dan taat kepada guru-
gurunya, namun bukan berarti mereka berfungsi dan berkedudukan
seperti seorang bayi sebab mereka masih memiliki kemampuan
berfikir dan wawasan yang tidak dimiliki oleh bayi.
Ditinjau dari perpesktif dakwah dapat dijelaskan bahwasanya
pengemasan rubrik konsultasi sufistik menggunakan dua jenis
ajakan dalam berdakwah, yakni berupa tadzkir (ancaman /
peringatan) dan tabsir (penyampaian kabar gembira).
Ajakan dalam bentuk tadzkir terlihat dari penggunaan beberapa
ungkapan yang didasarkan pada adanya unsure ancaman atau
peringatan seperti pada Edisi 316 yang menjelaskan tentang
masalah zina. Penjelasan yang berhubungan dengan zina pada edisi
ini menggunakan dakwah jenis tadzkir di mana pengelola
mengingatkan kepada pembaca tentang ancaman siksa dari Allah
yang teramat sangat bagi orang yang melakukan zina. Pengelola
juga mengingatkan bahwa azab atau cobaan yang menimpa diri
manusia berasal dari perbuatan-perbuatan maksiat yang
dilakukannya.
Penjelasan dengan menggunakan teknik dakwah tadzkir juga
terdapat pada edisi 285. Peringatan yang diberikan oleh pengelola
pada edisi ini terkait dengan tendensi yang ada dalam diri manusia
manakala ia melakukan wirid. Pengelola memperingatkan
bahwasanya jika manusia melakukan wirid dilandasi dengan tujuan
untuk memperoleh hal-hal yang bersifat duniawi maka ia akan
kehilangan Allah karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang mementingkan kepentingan dunia.
Penjelasan mengenai dakwah dengan teknik tabsir seringkali
digunakan dalam pemaparan Rubrik Konsultasi Sufistik Tabloid
Posmo. Hal itu terlihat dalam penjabaran mengenai kesempatan
seseorang untuk menguasai ilmu laduni sangatlah terbuka.
Penjelasan pada edisi 300 ini tentunya akan sangat berpengaruh
bagi manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah
sebagai sumber dari segala ilmu agar dapat memperoleh ilmu yang
diberikan secara langsung oleh Allah (ilmu laduni).
Penjelasan dengan teknik tabsir juga terdapat pada penjabaran
tentang peluang seseorang untuk mendapatkan karomah dari Allah.
Dengan adanya pemberitaan bahwa Allah memberikan karomah
kepada siapa saja yang dikehendakinya, maka tentu saja orang
akan semakin terbuka hatinya dan akan berdampak pada semakin
dekatnya manusia kepada Allah (edisi 309).
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa medan wacana yang
terdapat dalam Rubrik Sufi identik dengan platform yang melekat pada
nama rubrik. Meski masih mengandalkan sumber-sumber yang berada
dalam kelompok yang sama, secara keseluruhan medan wacana sudah
cukup mewakili dunia sufi dan peranannya terhadap penyelesaian masalah
manusia dalam kehidupannya. Terlebih lagi dengan gaya bahasa yang
diperhalus yang lebih mudah dicerna dan dikemas semakin memudahkan
responden dan pembaca untuk mengambil sari dari Rubrik Sufi.