bab iv analisis pengaruh jalan terhadap · pdf filepma & pmdn di pantura jabar ... maka...
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISIS PENGARUH JALAN TERHADAP PENANAMAN MODAL
Seperti telah diuraikan pada Bab II, peranan aksesibilitas suatu lokasi diduga memiliki
peranan penting dalam menarik minat investasi. Aksesibilitas yang merupakan komposit
dari beberapa kekayaan (endowment) suatu wilayah, adalah gabungan dari faktor-faktor
spasial dan aspasial. Pada Bab ini akan diuraikan pengamatan empiris atas aktivitas
penanaman modal atau investasi di Jawa Barat, dimulai dengan telaah prinsip-prinsip
analisis dengan konstruksi model , input data, pengolahan dan analisisnya.
4.1 Prinsip Umum Analisis
Secara umum, analisis yang dilakukan dalam studi ini didahului dengan konstruksi model
yang akan digunakan. Model yang dipakai adalah model yang bersifat spasial karena
menyangkut kegiatan investasi yang tidak aspasial. Dengan didapatnya model tersebut,
data yang diperlukan untuk analisis dapat diidentifikasi, mulai dari jenis data, dimensi,
dan cakupannya. Selanjutnya akan dilakukan analisis, termasuk dengan memanfaatkan
metoda-metoda statistik untuk meninjau korelasi antar variabelnya.
4.2 Penyusunan Model
4.2.1 Model Spasial
Mengamati data runut-waktu (time series) penanaman modal asing (PMA) dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN) mengarahkan hipotesis bahwa setidaknya
besaran PMA dan PMDN adalah data yang spatially-dependent. Dengan demikian model
yang dipakai harus mampu menjelaskan bahwa besaran kumulatif PMA di Bekasi lebih
besar dari besaran kumulatif PMA di Karawang, misalnya. Atau menjawab pertanyaan
mengapa minat investasi PMA di Subang demikian kecilnya dibandingkan dengan
sesama daerah pantura di Jawa Barat. Model yang dipakai juga harus mampu
menjelaskan bahwa ada kecenderungan jumlah kumulatif PMA dan PMDN yang semakin
kecil, sejalan dengan bertambahnya “jarak” suatu daerah dengan Jakarta, walaupun dari
data yang ada, Cirebon mencatat jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan
Indramayu dan Subang.
41
4.2.2 Indikator Aksesibilitas
Di antara alternatif-alternatif ukuran spasial empiris yang ada untuk menunjukkan
kelebihan lokasional, maka ukuran Aksesibilitas (accessibility) wilayah adalah jenis
indikator spasial yang cukup banyak digunakan dalam analisis spasial, karena relatif
sederhana dan mudah dimengerti/ digunakan. (Schumann-Talaat, 2000). Aksesibilitas
wilayah menunjukkan kelebihan lokasional (locational advantage) suatu wilayah relatif
terhadap seluruh wilayah studi (termasuk wilayah itu sendiri). Pendekatan dengan ukuran
aksesibilitas ini antara lain digunakan dalam studi-studi Biehl (1986, 1991), Lutter et.al.
(1993), Bokemann (1982), dan Schumann-Talaat (1997, 2000).
Secara umum, aksesibilitas digambarkan tersusun atas dua fungsi. Fungsi pertama
mewakili aktivitas atau kesempatan yang hendak dijangkau, dan fungsi kedua mewakili
usaha, waktu, atau biaya yang diperlukan untuk menjangkaunya.
Jika dinyatakan dalam notasi fungsi, maka dapat dituliskan :
Ai = ∑ g(Wj) f(cij) ........…………………………………………….. (4-1)
Di mana Ai adalah aksesibilitas wilayah i, Wj adaalh aktivitas W yang akan dijangkau di
wilayah j, dan cij adalah biaya yang digeneralisasi untuk menjangkau wilayah j dari
wilayah i. Fungsi g(Wj) adalah fungsi aktivitas, dan f(cij) disebut fungsi impedansi.
Keterkaitan keduanya bersifat multiplikatif, dalam hal ini saling memberi bobot.
Salah dari beberapa studi yang pernah dipublikasikan, adalah yang dilakukan Schumann
dan Talaat (2000). Schumann dan Talaat memilih type aksesibilitas potensial dari 3
model aksesibilitas yang dikenal, antara lain (i) type travel cost, (ii) type aksesibilitas
harian, dan (iii) type potensial.
Aksesibilitas type potensial tersebut oleh Schumann dan Talaat dirumuskan seperti
berikut :
Ai = ∑ g(Wj) f(cij) = ∑ Wj
α exp( –β cij ) …………………………….. (4-2)
Sebagai fungsi aktivitas, bisa digunakan besaran GDP, tenaga kerja (employment),
penduduk (population). Disebutkan bahwa pembobotan dengan GDP (=PDRB) sesuai
untuk mengaitkan aksesibilitas pada kinerja ekonomi produktif seperti investasi,
42
perencanaan produksi, dll. Sedangkan pembobotan dengan kependudukan sesuai untuk
dikaitkan dengan kinerja ekonomi konsumsi seperti perencanaan pasar/pemasaran.
Pemilihan nilai parameter β (sensitivitas impedansi spasial), dan α (parameter untuk
mewakili efek aglomerasi) bersifat khas untuk setiap wilayah. Dengan data-data GDP,
penduduk, dan jarak geografis untuk menentukan biaya perjalanan (travel cost),
Schumann-Talaat menghitung Indeks Periperalitas (yang diturunkan dari Aksesibilitas) di
Uni Eropa, dan menghasilkan peta indeks periperalitas. Informasi tersebut dipakai untuk
menentukan kebijakan perekonomian Uni Eropa dikaitkan dengan keberadaan dan
pengembangan infrastruktur transportasi.
Di dalam kajian ini, hipotesa yang diajukan adalah bahwa (minat) investasi dipengaruhi
oleh aksesibilitas, atau Investasi di suatu wilayah ≈ Indeks Aksesibilitas wilayah..
Variabel lain yang diduga memiliki pengaruh juga adalah jumlah penduduk atau populasi.
sehingga : Investasi = bo + b1 A +b1 P + ε .…………………...(4-3)
Seperti telah disebutkan di depan, Aksesibilitas dalam kajian ini mengikuti Aksesibilitas
yang dikembangkan Schurmann & Talaat (2001) dalam “Toward a European
Peripherality Index : Final Report.”
Dinyatakan dalam laporan tersebut, bahwa fungsi kegiatan / aktivitas bisa dalam bentuk
GDP, Populasi, Tenaga Kerja, masing-masing secara terpisah. Juga direkomendasikan
dalam laporan tersebut dua model pembobotan aksesibilitas atau peripheralitas yang
memadai : (1) yang dibobot GDP (GDP weighted) bisa membantu analisis dan
perencanaan yang bertalian dengan kegiatan ekonomi produktif (seperti investasi,
pendirian pabrik, dll), dan (2) yang dibobot populasi (Population weighted) bisa
membantu analisis dan perencanaan yang bertalian dengan kegiatan ekonomi konsumsi
(untuk pasar, retail, dll).
Sementara fungsi jarak atau fungsi hambatan f(cij) yang dipakai dapat berupa (i) fungsi
pangkat, (ii) fungsi eksponensial-negative, dan (iii) fungsi Tanner (Tamin, 2000). Dalam
kajian ini dipakai fungsi eksponensial negatif sebagai fungsi hambatan, seperti yang
disarankan oleh Schurmann, untuk mendapatkan indicator aksesibilitas potensial.
Dengan demikian, untuk melihat hubungan investasi dengan jalan (dalam bentuk
aksesibilitas) dalam kajian ini akan dipakai algoritma sebagai berikut :
43
1) Pengumpulan data PMA dan sebarannya, PMDN dan sebarannya, penduduk dan
sebarannya, PDRB (atas dasar harga berlaku) untuk 6 wilayah kajian.
2) Menghitung matriks jarak, dan waktu tempuh antar dan antara keenam wilayah
tersebut
3) Menghitung besaran fungsi hambatan f (cij) = ex(-β cij )
4) Menghitung aksesibilitas masing-masing wilayah, dengan pembobotan PDRB
(AXPDRB).
5) Menyusun data dalam format yang sesuai dengan model analisis pooled-time-
series.
6) Membuktikan kaitan / hubungan empiris antara PMA / PMDN dengan aksesibilitas
hasil perhitungan tersebut diatas, atau IPMA = f (AXPDRB,POP) dan
IPMDN = f (AXPDRB,POP)
4.3 Input Data
Data utama yang dipakai dalam kajian ini adalah data sekunder berupa Daftar Persetujuan
Proyek – PMA / PMDN yang dimiliki oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM). Data PMA dan PMDN yang disiapkan adalah berdasarkan Surat Persetujuan
(SP) yang dikeluarkan BKPM, dengan anggapan bahwa SP tersebut dikeluarkan atas
permohonan calon investor yang dengan demikian cukup menggambarkan “minat”
investor menanamkan modalnya di daerah / wilayah tertentu.
Cakupan data PMA dan PMDN yang diteliti adalah daftar SP yang diterbitkan setiap
tahun mulai dari tahun 1975 sampai dengan 2005, namun fokus diarahkan pada rentang
1980-2005 karena alasan ketersediaan data lainnya (PDRB dan Penduduk) hanya pada
rentang 1980-2005. Untuk lebih melengkapi data (dalam hal diperlukan) dengan data
PMA dan PMDN sebelumnya (1968-1979), dipakai data penelitian Sdr. Dyah Retno
Prawesti Sudarto (1999) dalam “Studi Pola Spasial Investasi dan Perkembangannya di
Jawa Barat”.
Selama rentang waktu observasi tersebut (1980-2005), terdapat sekitar 3.103 pengajuan
proyek baru PMA yang disetujui, dan 2.372 pengajuan proyek baru PMDN. Perhatian
difokuskan pada SP untuk proyek baru (bukan perluasan maupun alih fungsi PMDN
menjadi PMA dan atau sebaliknya). Data lebih rinci telah diberikan pada Bab III.
Dengan konstruksi data seperti disebutkan diatas, maka diperoleh data yang runut waktu
(time-series) sepanjang 26 tahun, yang memiliki observasi temporal biasa pada setiap unit
44
analisis, dan sekaligus silang tempat yang memiliki observasi-observasi pada suatu unit
analisis pada suatu titik waktu tertentu (Kuncoro, 2001). Dengan data semacam itu, maka
analisisnya bisa dilakukan dengan analisis regresi untuk model pooled time series.
Struktur data baru yang disusun untuk analisis model pooled time-series tersebut
disajikan pada tabel IV-1 di halaman berikut.
Untuk keperluan selanjutnya, diperlukan data jarak antar wilayah (centroid, pusat kota)
untuk memperhitungkan waktu tempuh, mulai dari Bekasi sampai dengan Cirebon.
Matriks jarak ditunjukkan pada tabel IV-1 berikut ini :
Tabel IV-1 Matriks Jarak 6 Wilayah Pantura Jabar
Bks Krw Pwk Sub Imy Crb
Bks 0 36 57 98 152 192
Krw 36 0 21 62 116 156
Pwk 57 21 0 41 95 135
Sub 98 62 41 0 54 94
Imy 152 116 95 54 0 40
Crb 192 156 135 94 40 0
Selanjutnya dengan asumsi kecepatan berkendara rata-rata di jalan tol adalah 80 km/jam,
dan di jalan bukan-tol adalah 40 km/jam, akan diperoleh matriks waktu tempuh, yang
kemudian dipakai untuk menghitung fungsi hambatan f (cij)= exp (-β cij).
Demikian juga data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dipakai dalam kajian
ini mulai dari PDRB tahun 1980 samapai dengan 2005. Dipakai PDRB atas dasar harga
berlaku karena besaran investasi yang ada juga dicatatkan berdasarkan atas harga berlaku.
Untuk daerah Cirebon dan Bekasi, nilai PDRB analisis diwakili oleh jumlah keduanya
(PDRB Kota +Kabupaten). Penyatuan unit analisis ini lebih didasarkan pada faktor
centroid, yang umumnya centroid Kabupaten relatif berimpit dengan centroid kota.
Sumber data untuk PDRB Kabupaten / Kota ini adalah Biro Pusat Statistik (BPS) Jawa
Barat.
Data berikutnya yang diperlukan dalam analisis ini adalah data penduduk, yang akan
dilihat apakah memiliki hubungan dengan minat investasi (misalnya bersifat tarikan atau
45
bukan). Data penduduk masing-masing kota / kabupaten mulai tahun 1980 sampai dengan
2005, berdasarkan hasil sensus penduduk, supas, maupun perhitungan yang dilakukan
oleh Biro Pusat Statistik (BPS).
4.4 Hasil Analisis
4.4.1 Investasi dalam Perspektif Runut Waktu
Pengamatan atas data seri waktu untuk PMA dan PMDN dapat dilakukan per wilayah,
dimulai dari Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu, dan Cirebon, untuk
melihat kurva trend kumulatif-nya, dan nilai pertumbuhan tahunannya.
Dikaitkan dengan beroperasinya jalan tol Jakarta-Cikampek pada tahun 1988, maka data
investasi di wilayah pantura Jawa Barat dikelompokkan dalam 3 kelompok tahun, yaitu
periode I : 1980-1987 (belum ada jalan tol), dan II : 1988-1997 (sudah ada jalan tol,
sebelum krisis ekonomi), dan III : 1998-2005 (sudah ada jalan tol, sesudah krisis
ekonomi). Laju pertumbuhan rata-rata tahunan pada masing-2 periode tersebut disajikan
dalam tabel IV-2.
Tabel IV-2
Nilai Investasi Rata-rata Tahunan
PMA & PMDN di Pantura Jabar Untuk masing-masing Periode
BKS KRW PWK SUB IMY CRBPertumbuhan PMA (juta US$ per tahun)1980-1988 36 8 - - - 35 1989-1997 827 324 218 7 33 34 1998-2005 153 66 57 6 2 21
Petumbuhan PMDN (milyar Rp / tahun)1980-1988 64 11 - 1 2 36 1989-1997 1,645 1,237 534 264 650 201 1998-2005 552 224 99 72 107 40
Diolah dari data BKPM : Rekap SP PMA/PMDN
Dari tabel IV-2 tersebut bisa dilihat bahwa untuk PMA, pada periode I (1980-1988)
investasi rata-rata tahunannya masih rendah, seperti terlihat untuk Bekasi (36 juta
USD/th), Karawang (8 juta USD/thn), dan Cirebon (35 juta USD/thn), bahkan tidak ada
untuk Purwakarta, Subang, dan Indramayu.
Pada periode II (1989-1997), angka pertumbuhan tersebut menjadi sangat besar, antara
lain Bekasi (827 juta USD/thn atau 23 kali periode I), Karawang (324 juta USD/thn atau
46
40 kali periode I), dan Purwakarta (218 juta USD/thn dari 0 pada periode I), Subang dan
Indramayu (7 juta nda 33 juta USD /thn dari sebelumnya 0 pada periode I), serta Cirebon
(34 juta USD/thn, hampir sama dengan periode I).
Pada periode III (1998-2005), nilai rata-rata investasi tahunan turun dibandingkan dengan
periode II. Dibandingkan dengan periode II, maka nilainya menjadi sekitar 19% (Bekasi),
20% (Karawang), 26% (Purwakarta), 86% (Subang), 6% (Indramayu), dan 62%
(Cirebon)
Fenomena serupa juga terlihat pada minat PMDN. Pada periode I (1980-1988) nilai
investasi rata-rata tahunan untuk semua wilayah masih jauh dibawah Rp.100 milyar per
tahun. Nilai rata-rata ini meningkat tajam pada periode II (1988-1997), menjadi lebih dari
Rp.1,6 trilyun (Bekasi), Rp.1,2 trilyun (Karawang), Rp.0,5 trilyun (Purwakarta), Rp.0,2
trilyun (Subang), Rp.0,2 trilyun (Indramayu), dan Rp.0,2 trilyun (Cirebon).
Walaupun keberadaan jalan tol baru belum pasti merupakan satu-satunya penyebab
kenaikan tajam laju investasi PMA, tetapi perubahan angka-angka per periode tersebut
cukup meyakinkan akan peranan jalan tol tersebut.
Pada periode III (1998-2005), nilai rata-rata investasi tahunan turun dibandingkan dengan
periode II. Dibandingkan dengan periode II, maka nilainya menjadi sekitar 32% (Bekasi),
18% (Karawang), 19% (Purwakarta), 27% (Subang), 16% (Indramayu), dan 20%
(Cirebon)
Kurva nilai PMA dan PMDN kumulatif di Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Ita-
rndramayu, dan Cirebon, disajikan pada grafik 4.1. sampai dengan 4.4.
Dari grafik tersebut, dapat dicermati kecenderungan umumnya untuk masing-masing
periode pada rentang waktu 1980-2005. Pada periode I (rentang 1980-1987) terlihat kurva
relatif datar, dilanjutkan dengan pertumbuhan tinggi pada periode II (setelah
beroperasinya jalan tol Jakarta-Cikampek 1988dan sebelum krisis ekonomi 1997), dan
melambat menjadi relatif stagnan antara 1998-2005 (pasca krisis ekonomi 1997).
47
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004
Mily
ar U
S$
-
5
10
15
20
25
Trily
un R
p
Kumulatif PMA Kumulatif PMDN
Grafik 4.1 Kurva Kumulatif PMA dan PMDN di Bekasi 1980-2005
Grafik serupa dengan Bekasi, untuk Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu, dan
Cirebon ditunjukkan pada grafik-grafik berikut ini.
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004
Mily
ar U
S$
-
2
4
6
8
10
12
14
16Tr
ilyun
Rp
Kumulatif PMA Kumulatif PMDN
(i) Kumulatif PMA dan PMDN di Karawang 1980-2005
48
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004
Mily
ar U
S$
-
1
2
3
4
5
6
Trily
un R
p
Kumulatif PMA Kumulatif PMDN
(ii) Kumulatif PMA dan PMDN di Purwakarta 1980-2005
Grafik 4.2 Kurva Kumulatif PMA dan PMDN di Karawang dan Purwakarta 1980-2005
Serupa dengan Bekasi, PMA dan PMDN di Karawang menunjukkan pola pertumbuhan
yang seolah-olah memanfaatkan keberadaan jalan tol pada tahun 1988. Terlihat slope
yang tajam antara 1988 sampai 1997 (periode II), dan kembali stagnan pada periode III.
Dengan periodisasi yang serupa, dibuat grafik kumulatif PMA & PMDN untuk Subang,
Indramayu, dan Cirebon, pada Grafik 4.3. Tampak bahwa pola yang ditunjukkan ketiga
daerah tersebut tidak semulus Bekasi, Purwakarta, dan Karawang.
49
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
120,0
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004
Juta
US$
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
Trily
un R
p
Kumulatif PMA Kumulatif PMDN
(i) Kumulatif PMA dan PMDN di Subang 1980-2005
0
50
100
150
200
250
300
350
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004
Juta
US$
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
Trily
un R
p
Kumulatif PMA Kumulatif PMDN
(ii) Kumulatif PMA dan PMDN di Indramayu 1980-2005
50
0
100
200
300
400
500
600
700
800
1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004
Juta
US$
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
Trily
un R
p
Kumulatif PMA Kumulatif PMDN
(iii) Kumulatif PMA dan PMDN di Cirebon 1980-2005
Grafik 4.3 Kurva Kumulatif PMA dan PMDN di Subang, Indramayu, Cirebon
1980-2005
Terlihat pada 3 daerah terakhir (Subang, Indramayu, dan Cirebon) polanya tidak serapi 3
daerah yang secara fisik dilintasi jalan tol.
Dari pengamatan atas data PMA selama rentang 1980-2005, c.q. pertumbuhannya, diduga
ada pola menarik jika dipakai basis waktu. Ada beberapa hal yang patut dicermati dari
pola yang ada tersebut, dikaitkan dengan keberadaan jalan tol Jakarta-Cikampek, antara
lain :
(i) Subang dan Indramayu “mulai bergerak” menarik minat PMA mulai tahun 1988,
saat mulai dioperasikannya jalan tol Jakarta-Cikampek. Cirebon, relatif
menunjukkan pola yang serupa Subang dan Indramayu, meskipun ketiganya tidak
menunjukkan pola yang “serapi” Bekasi, Karawang, dan Purwakarta.
(ii) Purwakarta, yang sudah mencatat adanya PMA didaerahnya sejak 1980, relatif
stagnan sampai 1988, dan mengalami pertumbuhan positif sejak beroperasinya tol,
sampai kembali stagnan pada tahun 1998.
51
Tabel IV-3
Pertumbuhan PMA di Wilayah Pantura Jawa Barat
TAHUN BKS KRW PWK SUB IMY CRB
1980
1981 122% #DIV/0! 0%
1982 0% 0% 0%
1983 802% 0% 0%
1984 0% 0% 0%
1985 24% 0% 0% #DIV/0!
1986 10% 0% 0% 0%
1987 8% 214% 0% 29%
1988 23% 16% 0% #DIV/0! #DIV/0! 0%
1989 41% 84% 90% 0% 0% 2%
1990 108% 170% 388% 0% 0% 13%
1991 67% 63% 65% 0% 3268% 2%
1992 28% 53% 52% 0% 397% 6%
1993 18% 60% 2% 0% 0% 0%
1994 33% 5% 4% 808% 0% 0%
1995 99% 52% 8% 588% 0% 0%
1996 13% 32% 5% 0% 3% 6%
1997 9% 12% 41% 0% 0% 71%
1998 3% 3% 18% 41% 0% 2%
1999 1% 1% 0% 2% 2% 0
2000 2% 1% 0% 20% 0% 0%
2001 5% 2% 0% 0% 0% 0
2002 1% 1% 3% 1% 2% 0
2003 1% 1% 0% 1% 0% 0
2004 2% 3% 0% 1% 0% 0
2005 1% 5% 0% 2% 0% 27%
%
%
%
%
%
(iii) Karawang, tidak sepenuhnya “menunggu” jalan tol untuk menarik minat investor,
karena sudah memiliki PMA sejak 1981, dan tumbuh cukup bagus pada 1987 dan
1988, walaupun juga “menikmati” keberadaan jalan tol dengan catatan
pertumbuhan PMA cukup besar (diatas 50%) mulai 1989 sampai 1995 sebelum
akhirnya menurun menjadi hanya dibawah 5% per tahun antara 1998-2005.
52
Tabel IV-4
Pertumbuhan PMDN di Wilayah Pantura Jawa Barat
TAHUN BKS KRW PWK SUB IMY CRB
19801981 5% 0% 0% 0%1982 13% 0% 0% 0%1983 30% 6% 0% 0%1984 1% 4% 0% 1141% 9%1985 7% 0% 0% 0% 0%1986 174% 26% 0% 110% 4%1987 170% 0% 0% 0% 0% 9%1988 81% 87% 0% 296% 175% 10%
1989 71% 134% 435% 426% 10% 359%1990 182% 166% 208% 88% 7% 15%1991 27% 25% 157% 12% 2% 30%1992 15% 16% 36% 35% 2184% 1%1993 17% 13% 25% 0% 1% 0%1994 23% 32% 16% 67% 53% 6%1995 8% 37% 26% 19% 92% 0%1996 26% 9% 20% 62% 25% 2%1997 30% 18% 88% 190% 42% 0%1998 5% 4% 9% 0% 14% 0%1999 1% 2% 0% 0% 0% 0%2000 0% 0% 0% 0% 0% 0%2001 6% 0% 0% 0% 1% 0%2002 2% 0% 0% 15% 0% 2%2003 6% 2% 0% 0% 0% 0%2004 5% 8% 5% 7% 0% -2%2005 2% 0% 1% 2% 0% 15%
(iv) Bekasi, telah memiliki “sejarah” PMA sejak awal 1970an, dan mencatat
pertumbuhan cukup bagus pada 1980-1988 pada saat tol mulai beroperasi.
Keberadaan jalan tol bagi Bekasi berperan “membantu” merangsang pertumbuhan
PMA, namun hanya sampai 1997.
(v) Keberadaan jalan tol seolah-olah membuat pola kumulatif investasi PMA di 6 unit
analisis (diatur berurut jarak dari Jakarta) menjadi lebih “teratur” atau “terpola”.
(lihat gambar 4.1). Keteraturan ini sekaligus menunjukkan pertumbuhan yang
semakin kecil sejalan dengan jarak yang semakin jauh dari Jakarta.
Dengan data-data empiris diatas, dapat disimpulkan bahwa :
(1) Keberadaan jalan tol Jakarta – Cikampek mempunyai pengaruh positif pada minat
investasi di kawasan pantura Jawa Barat. Hal ini terbukti dengan peningkatan sangat
tajam pertumbuhan investasi di derah yang dilintasi secara fisik (Bekasi, Karawang,
53
dan Purwakarta), serta mulai bergeraknya minat ke arah daerah yang didekatkan ke
pusat pertumbuhan dengan adanya jalan tol tersebut (Subang, Indramayu, Cirebon).
(2) Perlu diteliti lebih lanjut, seberapa kuat pengaruh positif tersebut, dan apakah ada
pengaruh keruangan (spasial) keberadaan jalan tol tersebut terhadap kinerja
investasi, khususnya PMA dan PMDN.
4.4.2 Investasi dalam Perspektif Spasial
Pertanyaan seputar pengaruh spasial jalan terhadap kinerja investasi ini dipicu oleh data
empiris bahwa terlihat keteraturan pola spasial minat investasi pada periode setelah
adanya jalan tol. Keteraturan dimaksud, tidak tampak pada periode sebelum adanya jalan
tol. Grafik 4.4 (untuk PMA) dan 4.5 (untuk PMDN) memberikan gambaran perbedaan
tersebut. Pada grafik (i) terlihat ketidak teraturan pola spasialnya pada periode sebelum
adanya jalan tol. Grafik (ii) menunjukkan pola keteraturan spasial setelah adanya jalan
tol.
Keteraturan pola spasial tersebut antara lain :
Besaran gradual turun dari Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan ke Subang, dan
kemudian naik lagi di Indramayu, dan Cirebon. Diduga, semakin jauh dari Jakarta,
minat investasi semakin rendah.
Ada ketimpangan pertumbuhan minat investasi ini yang semakin besar dari waktu ke
waktu. Semakin dekat dengan Jakarta, pertumbuhannya semakin tinggi, jauh
meninggalkan daerah yang secara spasial jauh dari Jakarta. (Jika Jakarta dipandang
sebagai pusat pertumbuhan).
Kumulatif PMA vs Jarak dari Jakarta (1982, 1987)
-
50
100
150
200
250
300
BEKASI
KARAWANG
PUWAKARTA
SUBANG
INDRAMAYU
CIREBON
Juta
US
D
Kumulatif PMA vs Jarak dari Jakarta (1995, 2000, 2005)
-
5
10
15
20
25
BEKASI
KARAWAN
G
PUWAKARTA
SUBANG
INDRAM
AYU
CIREBON
Mily
ar U
SD
li
(i) kumulatif PMA “sebelum” tol (i) kumulatif PMA “sesudah” tol
Gambar 4.4 Kumulatif PMA sebelum dan sesudah JalanTol Beroperasi
54
Keberadaan jalan tol “membantu” setiap wilayah untuk menarik investor PMDN, terlihat
dengan pola yang dibentuk lebih teratur, dibandingkan dengan sebelum jalan tol ada.
PMDN vs "Jarak" dr Jakarta
-
100
200
300
400
500
600
700
Bekasi
Karawan
g
Purwak
arta
Suban
g
Indra
mayu
Cirebo
n
Mily
ar R
p
1980 1985 1987
Kumulatif PMDN vs "Jarak" dr Jakarta
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
1 2 3 4 5 6M
ilyar
Rp
1990 1995 2000 2005
(i) kumulatif PMDN “sebelum” tol (i) kumulatif PMDN “sesudah” tol
Gambar 4.5 Kumulatif PMDN sebelum dan sesudah Beroperasinya Jalan Tol
Selanjutnya, untuk melihat pengaruh spasial jalan terhadap investasi akan dipakai
variabel aksesibilitas seperti telah disebutkan pada bagian awal Bab ini.
Pada bagian ini akan dianalisis hubungan antara PMA (sebagai variabel dependent) –
IPMA– dengan dua variabel independent : Indeks Aksesibilitas (PDRB weighted) -
AXPDRB, dan jumlah penduduk suatu wilayah –POP.
Telah disebutkan di depan, bahwa hubungan IPMA dengan AXPDRB dan POP yang
runut-waktu dan silang-tempat akan dianalisis dengan model pooled-time-series. Dengan
komposisi 26 tahun data seri waktu dan 6 unit wilayah analisis (tempat), akan didapat
(26x6) data observasi untuk IPMA. Dengan demikian tidak perlu dilakukan analisis satu-
persatu untuk setiap data tahunan atau spot waktu.
Aksesibilitas, telah dijelaskan di depan adalah gambaran ukuran “keterjangkauan” suatu
wilayah dalam konteks centre-periphery. Semakin besar Indeks aksesibilitas, dipahami
semakin “dekat” dengan “pusat pertumbuhan” atau centre.
Perhitungan aksesibilitas yang akan dipakai dalam kajian ini, seperti disebutkan diast,
adalah yang dibobot PDRB (PDRB weighted), dan disebut sebagai variabel atau predictor
AXPDRB.
55
Perhitungan PMA vs Aksesibilitas dimulai dari membentuk matriks fungsi hambatan atau
impedansi f(cij) sebelum membobotkannya dengan PDRB sesuai dengan rumus :
Ai = ∑ DRB j . f (cij) P j
Matriks impedansi yang diperoleh, dibedakan antara matriks sebelum jalan tol beroperasi
(1980-1988) dan sesudah beroperasi (1989-2005) seperti pada tabel berikut
Tabel IV-5
(i) Matriks f(cij) sebelum jalan tol beroperasi
exp(-βcij) Bks Krw Pwk Sub Imy CrbBks 1.0000 0.1979 0.0769 0.0122 0.0011 0.0002Krw 0.1979 1.0000 0.3887 0.0614 0.0054 0.0009Pwk 0.0769 0.3887 1.0000 0.1580 0.0139 0.0023Sub 0.0122 0.0614 0.1580 1.0000 0.0880 0.0146Imy 0.0011 0.0054 0.0139 0.0880 1.0000 0.1653Crb 0.0002 0.0009 0.0023 0.0146 0.1653 1.0000
(ii) Matriks f(cij) sesudah jalan tol beroperasi
exp(-βcij) Bks Krw Pwk Sub Imy CrbBks 1.0000 0.4449 0.2773 0.0438 0.0039 0.0006Krw 0.4449 1.0000 0.6234 0.0985 0.0087 0.0014Pwk 0.2773 0.6234 1.0000 0.1580 0.0139 0.0023Sub 0.0438 0.0985 0.1580 1.0000 0.0880 0.0146Imy 0.0039 0.0087 0.0139 0.0880 1.0000 0.1653Crb 0.0006 0.0014 0.0023 0.0146 0.1653 1.0000
Selanjutnya dengan model aksesibilitas pada persamaan 4.4 di bagian depan, dihitung
Indeks Aksesibilitas (dengan range 0- 100), mengacu pada model Peripherality Index 1
(PI-1) yang dikembangkan Schurmann & Talaat (2000).
Hasil perhitungan Indeks aksesibilitas berbobot PDRB tersebut disajikan dalam tabel IV-
6 berikut ini.
56
Tabel IV-6
Indeks Aksesibilitas (PDRB Weighted) - AXPDRB
TAHUN BEKASI KRW PWKT SUB IMY CRBN1980 33,0824 36,8415 25,3753 15,8325 27,2984 39,92281981 34,2081 39,1178 27,4460 17,5922 25,4035 37,15201982 34,1154 38,5452 27,1314 17,4959 25,6387 37,48301983 33,7741 38,6565 27,4635 18,0520 25,4630 37,18461984 37,6114 41,1929 29,4825 19,3650 25,9867 30,37931985 42,6940 41,9111 29,4752 18,4400 22,0367 30,44751986 42,6646 41,7361 29,6614 18,7426 26,6435 25,98161987 43,6346 43,6715 31,9819 20,0590 21,9548 26,25391988 44,8794 44,6948 32,5145 20,6339 19,0368 26,70351989 44,9072 44,7830 32,5991 21,5948 18,1476 26,53121990 47,3475 47,0255 33,5082 20,5667 17,4243 24,84271991 47,9614 48,1101 34,4253 20,4244 16,3958 24,50701992 51,4272 49,4916 34,7969 18,3663 14,9487 24,19581993 65,6273 53,1057 35,8063 13,6904 11,4778 18,28971994 67,8593 53,8800 36,3917 12,6928 10,9748 17,24991995 69,5432 53,9485 36,1502 11,8532 10,9052 16,83091996 86,0349 54,2830 34,5927 7,2903 5,5971 13,24921997 86,7281 54,1394 34,6064 7,5664 5,3241 12,72951998 83,7338 52,1204 32,7268 8,2848 7,0012 14,74531999 83,1234 54,0655 33,6935 7,3989 7,2496 14,58232000 100,0000 57,6649 38,0263 3,5281 0,8435 6,58992001 97,3884 57,6637 38,1197 3,3941 0,7962 8,80952002 94,8057 61,5768 40,2485 4,3722 0,4544 7,71572003 95,0412 62,1719 40,3759 4,3260 0,6596 7,09722004 96,0242 62,9585 40,5421 3,9057 0,3654 6,57892005 95,6818 63,7500 40,8689 3,8345 0,0000 6,7841
Selanjutnya dengan analisis Regresi Linier, hendak dilihat hubungan antara Nilai
Investasi (PMA) dan atau PMDN dengan Aksesibilitas Berbobot PDRB tersebut dalam
persamaan :
Investasi (IPMA atau IPMDN) = β0 + β1 AXPDRB – β2 POP … ….(4-4)
Dengan analisis pooled-time series, didapat data dengan 156 observasi dengan 1 variabel
terikat (Nilai Kumulatif PMA) dan 2 variabel bebas (Aksesibilitas berbobot PDRB dan
Populasi).
Rekapitulasi data yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan analisis pooled-time-series
disajikan pada Lampiran III.
57
Software aplikasi statistik SPSS versi 14 dipakai untuk menghitung koefisien dan
parameter regresinya, dengan Indeks Aksesibilitas dan Populasi sebagai predictor dan (1)
Investasi (PMA) serta (2) Investasi (PMDN) sebagai respons. Hasil analisis dan
interpretasinya disajikan pada bagian berikut ini.
4.4.2.1 Penanaman Modal Asing (PMA) dan Aksesibilitas
Hasil keluaran pengolahan data dengan SPSS versi 14, ditunjukkan pada Lampiran III,
khususnya Lampiran III-1 hasil pengolahan data untuk PMA, sedangkan Lampiran III-2
untuk PMDN.
Keluaran tersebut bisa diinterpretasikan sebagai berikut :
Pada analisis regresi untuk PMA tersebut, didapat nilai koefisien determinasi R2
sebesar 0,788, yang berarti 78,8% dari variance “Investasi PMA” dapat dijelaskan
oleh model diatas. Dengan demikian model ini secara keseluruhan mampu
menjelaskan hubungan variabel-variabelnya.
Dari tabel ANOVA ditemukan bahwa persamaan regresinya secara statistik sangat
signifikan dengan nilai F=265,239 untuk n-k-1 = 153 dan P-value = 0,000 yang jauh
lebih kecil dari 0,05.
Untuk melihat signifikansi masing-masing koefisien regresi digunakan hasil uji
statistik t (uji t). Untuk variabel Indeks Aksesibilitas (PDRB weighted) dilihat
dengan menguji β1 : Ho : β1 = 0 terhadap H1 : β1 ≠ 0. Hasil perhitungan, dari hasil
diatas dapat dilihat bahwa nilai uji-t adalah t = 14,304 dengan P-value = 0. Hal ini
merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β1 = 0.
Sementara itu, untuk variabel penduduk, dilihat dari β2 : Ho : β2 = 0 terhadap H1 : β2
≠ 0. Dari hasil perhitungandidapat nilai uji-t adalah t = 8,074 dengan P-value = 0. Hal
ini juga merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β2 = 0.
Dengan demikian, persamaan hasil analisis yang diajukan adalah :
IPMA = -2480.126 + 60.368 AXPDRB + 1.104 POP ……………. …. (4-5)
Kolinieritas persamaan regresi ini bisa dilihat dari nilai VIF di tabel Coefficient, yang
bernilai 1,363 masih bisa dianggap tidak terjadi multicollinearity, atau lebih tepatnya
hanya low collinearity. Sementara dari Normal Probability Plot juga terlihat bahwa
58
titik-titik data membentuk pola linear sehingga masih konsisten dengan distribusi
normal. Residual pada hasil regresi yang didapat juga diindikasikan mempunyai
variance konstan (homoscedasticity), yang ditunjukkan dengan tidak terbentuknya
pola tertentu pada Scatterplot antara standardized residual dan predicted value.
Terlihat ada hubungan yang signifikan antara aksesibilitas suatu wilayah dengan investasi
yang bisa ditariknya. Setiap perbedaan indeks aksesibilitas satu point pada suatu waktu,
akan membuat perbedaan kumulatif investasi sebesar 60,368 juta US dollar pada waktu
tersebut..
4.4.2.2 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Aksesibilitas
Metode perhitungan dan interpretasi yang serupa dapat diterapkan juga untuk PMDN,
dengan hasil perhitungan disajikan dalam bentuk output seperti disajikan pada Lampiran
III bagian b. Interpretasi atas hasil tersebut adalah :
Pada analisis regresi untuk PMA tersebut, didapat nilai koefisien determinant R2
sebesar 0,512, yang berarti “hanya” 51,2% dari variance “Investasi PMDN” dapat
dijelaskan oleh model diatas.
Sementara dari tabel ANOVA diatas diindikasikan bahwa regresi secara statistic
sangat signifikan dengan nilai F = 130,232 untuk derajad kebebasan 153 dan P-value
= 0,000 yang jauh lebih kecil dari 0,05.
Untuk menguji signifikansi masing-masing koefisien regresi digunakan uji statistik t
(uji t). Untuk menguji β1 : Ho : β1 = 0 terhadap H1 : β1 ≠ 0. Hasil perhitungan, dari
tabel ANOVA dapat dilihat bahwa nilai uji-t adalah t = 8,249 dengan P-value = 0.Hal
ini merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β1 = 0.
Sementara itu, untuk variabel penduduk, dilihat dari β2 : Ho : β2 = 0 terhadap H1 : β2 ≠ 0.
Dari hasil perhitungandidapat nilai uji-t adalah t = 7,621 dengan P-value = 0. Hal ini juga
merupakan bukti kuat penolakan terhadap Ho : β2 = 0.
Dengan demikian, persamaan hasil analisis yang diajukan adalah :
IPMDN = - 446,828 + 10.342 AXPDRB + 0,309 POP ……………(4-6)
Kolonieritas persamaan regresi ini bisa dilihat dari nilai VIF di tabel Coefficient, yang
bernilai 1,363 masih bisa dianggap tidak terjadi multicollinearity, atau lebih tepatnya
59
hanya low collinearity. Sementara dari Normal Probability Plot juga terlihat bahwa titik-
titik data membentuk pola linear sehingga masih konsisten dengan distribusi normal.
Residual pada hasil regresi yang didapat juga diindikasikan mempunyai variance konstan
(homoscedasticity), yang ditunjukkan dengan tidak terbentuknya pola tertentu pada
Scatterplot antara standardized residual dan predicted value.
Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara aksesibilitas suatu
wilayah dengan investasi yang bisa ditariknya. Setiap perbedaan indeks aksesibilitas satu
point antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, akan membuat perbedaan kumulatif
investasi sebesar 10,342 milyar rupiah.
Hasil tersebut dapat membantu menjelaskan bahwa tarikan investasi ke Bekasi lebih besar
daripada tarikan ke wilayah yang lebih jauh dari Jakarta, antara lain karena aksesibilitas
wilayah Bekasi lebih besar dari daerah lainnya tersebut.
Hal yang juga harus diperhatikan adalah ketimpangan atau gap kumulatif investasi PMA
dan PMDN yang semakin besar antara Bekasi (dekat pusat pertumbuhan) dengan Subang
– Indramayu – Cirebon (jauh dari pusat pertumbuhan). Ketimpangan ini dapat dijelaskan
dengan ketimpangan aksesibilitas yang semakin berkembang dari waktu ke waktu seperti
ditunjukkan pada grafik berikut ini.
0
20
40
60
80
100
120
1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010
BksKrwPwkSubImyCrb
Grafik 4.6 Perkembangan Indeks Aksesibilitas
Jika sebelum adanya jalan tol perbedaan indeks aksesibilitas antar daerah masih kecil,
maka perbedaan indeks tersebut semakin melebar dengan adanya jalan tol.
60
Sementara dari hasil regresi diketahui bahwa pengaruh indeks aksesibilitas (berbobot
PDRB) terhadap minat investasi cukup besar.
Hal ini membawa pada kesimpulan antara lain :
(1) Jalan tol memberi manfaat membuka isolasi daerah, dan terlihat dari adanya minat
investasi di daerah dengan dibukanya jalan tol (Subang dan Indramayu pada periode
1988-1997).
(2) Hasil analisis menunjukkan bahwa Penanaman Modal Asing (PMA) lebih sensitif
terhadap aspek keberadaan jalan raya / highway, dibandingkan dengan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN)
(3) Paradoks dengan manfaat tersebut, keberadaan jalan tol juga mempunyai dampak
memperlebar ketimpangan antara wilayah yang dekat dengan pusat pertumbuhan
(centre) dengan yang jauh (periphery).
(4) Ketimpangan spasial ini akan semakin lebar dan berlanjut, jika kebijakan
pembangunan regional yang dijalankan mengandalkan pertumbuhan organik yang
saat ini ada.
61