bab iv analisis sedimentasi -...
TRANSCRIPT
65
BAB IV
ANALISIS SEDIMENTASI
4.1 Pendahuluan
Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal
lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap
mewakili. Analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Prinsip Hyulstrom, Hukum Walther dan analogi
berdasarkan Model Fasies yang sudah ada.
Prinsip Hyulstrom membahas mengenai hubungan erosi, transportasi dan
sedimentasi batuan sedimen klastik melalui mekanisme arus traksi. Namun prinsip ini
tidak berlaku pada keadaan arus gravitasi, walaupun kedua mekanisme tersebut sulit
untuk dibedakan.
Hukum Walther menyatakan bahwa urutan-urutan vertikal dalam sedimentasi
mencerminkan urutan lateralnya. Hal ini didasarkan pada paradigma bahwa
lingkungan pengendapan yang pada suatu waktu berdampingan, diwaktu yang
berikutnya dapat terletak di atasnya sebagai dinamika sedimentasi.
Untuk melakukan interpretasi terhadap sistem lingkungan pengendapannya,
dilakukan dengan cara mengidentifikasi fasies pembentuknya berdasarkan pemodelan
dari Walker dan James (1992). Konsep identifikasi fasies merujuk pada sejumlah
karakteristik primer dari batuan sedimen yang menunjukkan proses pengendapan di
suatu sistem lingkungan pengendapan tertentu.
Dalam konsep analisis fasies, dinyatakan bahwa suatu hasil pengukuran
penampang stratigrafi dapat dipisahkan menjadi unit-unit fasies yang berbeda, dimana
masing-masing unit tersebut dapat berbeda karakteristik maupun tebalnya. Perbedaan
karakteristik bersifat deskriptif, meliputi jenis litologi, struktur sedimen ataupun
aspek biologinya (Walker dan James, 1992). Kombinasi fasies yang memiliki
hubungan satu sama lain, kemudian membentuk asosiasi fasies. Dengan
mengidentifikasi fasies dan asosiasi fasiesnya maka dapat diinterpretasikan
lingkungan pengendapannya.
4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi
Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas
66
pengukuran penampang stratigrafi. Pengukuran penampang stratigrafi dilakukan pada
4 (empat) lintasan yang berbeda yaitu: pada Lintasan Pasirpogor 1 (PP 1), Lintasan
Pasirpogor 6 (PP6), Lintasan Cicantayan 1 (CC 1) dan Lintasan Selagombong 6 ( SG
6).
Keempat lintasan tersebut dilakukan secara vertikal memanjang dari utara
sampai ke selatan daerah penelitian ( Lampiran G.3), namun tidak berhubungan
secara langsung karena singkapan yang ideal di daerah penelitian sangat terbatas
sehingga jarak antar lokasi pengukuran penampang tiap lokasi sangat renggang.
Pengukuran penampang dilakukan pada formasi dan satuan batuan yang sama,
yaitu satuan batupasir konglomeratan pada Formasi Walat.
Kolom Stratigrafi yang disusun dari hasil pengukuran penampang stratigrafi
untuk masing – masing lintasan dapat dilihat dalam Lampiran F.
4.3 Analisis Fasies dan Lingkungan Pengendapan
Studi khusus pada daerah penelitian diutamakan hanya pada analisis
sedimentasi untuk Satuan Batupasir Konglomeratan dari Formasi Walat, karena
sebagian besar litologi di daerah penelitian termasuk Satuan Batupasir Konglomeratan
dan sebagian dari singkapan tersebut adalah ideal untuk melakukan studi sedimentasi
dilhat dari ciri litologi beserta struktur sedimennya.
Berdasarkan pengamatan ciri litologi di lapangan yaitu struktur sedimen yang
ada, mineralogi kuarsa yang dominan, sisipan karbon, sifat batuan yang tidak
karbonatan, adanya jejak tumbuhan dan didukung dari analisis stratigrafi beserta hasil
analisis data - data sekunder berupa analisis petrografi, analisis granulometri dan
didukung adanya bukti fosilisasi, maka interval yang diteliti secara sedimentasi
termasuk ke dalam sistem pengendapan daerah fluvial, seperti yang telah dibahas
lebih detail dalam stratigrafi daerah penelitian yang terdapat pada bab sebelumnya.
Kemudian dari hasil analisa dari kolom stratigrafi, merujuk dari pemodelan
sungai teranyam Miall, 1978 op.cit. Walker, 1984 (Gambar 4.1) dan tabel litofasies
(tabel 4.1) diperoleh beberapa fasies diantaranya fasies channel dan fasies floodplain.
Fasies channel dicirikan oleh konglomerat masif dengan butiran saling dukung (Gm),
konglomerat berlapis tipis dengan butiran didukung matrik (Gmst), batupasir
berlaminasi riple (Sr), dan batupasir masif (Sm). Kemudian terdapat litofasies yang
menunjukkan batulempung karbonan (Fc), batulanau berlapis (Fl) dan batulempung
masif berlapis (Fm) yang mencirikan endapan floodplain. Berdasarkan asosiasi
67
litofasies yang terdapat pada satuan ini dan suksesi vertikal yang menunjukkan
lapisan yang saling beramalgamasi dengan kontak erosional, dapat disimpulkan
bahwa lingkungan pengendapan pada satuan ini berada pada endapan sungai teranyam
(Gambar 4.1),
(a) Model Suksesi Vertikal Sungai Teranyam (b) Model Sungai Teranyam
Gambar 4.1 Model Sungai Teranyam (Miall, 1978 op.cit. Walker, 1984)
Tabel 4.1 Tabel Litofasies (Miall, 1978 op.cit. Walker, 1984)
Litofasies berbutir sangat kasar Litofasies berbutir halus
Gms Konglomerat masif (butiran didukung matriks) Fm Batulempung masif-berlapis
Gmst Konglomerat berlapis tipis (buitran didukung matrik) Fl Batulempung (lanau) berlapis
Gm Konglomerat masif (butiran saling dukung) Fc Batulempung karbonan
C Batubara
Litofasies berbutir kasar
Sh Batupasir berlaminasi sejajar
Sr Batupasir berlaminasi ripple
Sp Batupasir planar cross bedding
Sm Batupasir masif
(a) (b)
68
Gambar 4.2 Penampang Stratigrafi Umum Lintasan Pasir Pogor 1
4.3.1 Penampang Stratigrafi Pasirpogor 1 ( PP 1)
Penampang stratigrafi PP 1 merupakan lintasan yang paling utara,
pengukuran penampang stratigrafi dilakukan di daerah penambangan di Pasirpogor
(PP 1) . Singkapan batuan di Lintasan PP 1 terdiri dari batupasir konglomeratan
dengan matriks pasir kasar (Foto 4.2) bewarna
putih sampai abu – abu setempat kemerahan
dengan sisipan lempung pada bagian bawah
setebal 15 cm dari ketebalan total singkapan
yang dapat terukur adalah kurang lebih 16,4 m.
Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi
pada lokasi PP 1 dapat diamati pada kolom
stratigrafi dari Gambar 4.2. Pada gambar
terdapat tiga siklus sedimentasi, dimana pada
siklus di bagian paling bawah terdapat suksesi
yang menghalus ke atas. Namun pada siklus
bagian tengah dan atas penampang startigarfi ini
memperlihatkan suksesi yang relatif stabil
(aggrading).
Di bagian bawah kolom stratigrafi ini
diendapkan batupasir konglomeratan (Foto 4.1
a). Batupasir ini diendapkan oleh sistem arus
kuat atau mekanisme pengendapan arus traksi,
hal ini dapat dilihat dari struktur sedimen planar
cross bedding (Foto 4.1 d). Sehingga
diinterpretasikan merupakan endapan channel.
Terdapatnya struktur ripple (Foto 4.1 c) dan
jejak kaki burung (Foto 4.1 b) menandakan telah
terjadi pendangkalan dasar sungai dan
berkurangnya kekuatan arus dan terjadi
penyusutan air. Kemudian mulai ada arus yang
relatif tenang sehingga terndapkan batulempung
sebagai sisipan dengan mekanisme suspensi yang menandakan waktu pengendapan
yang terjadi relatif sesaat. Selanjutnya pada siklus sedimentasi kedua terjadi
peningkatan kekuatan arus secara drastis yang mengendapkan batupasir
69
konglomeratan sehingga mengerosi sisipan batulempung di bawahnya. Struktur
sedimen yang berkembang yaitu planar cross bedding. Pada siklus sedimentasi
ketiga terjadi mekanisme pengendapan batupasir konglomeratan yang sama dengan
sebelumnya., struktur sedimen yang berkembang yaitu planar cross bedding.
Secara keseluruhan paling tidak terjadi tiga siklus sedimentasi dengan
mekanisme yang sama yaitu arus traksi dengan energi relatif kuat sehingga ditafsirkan
lingkungan pada penampang lintasan ini terjadi endapan channel yang berulang –
ulang atau saling bertumpuk. Oleh karena itu dapat dikatakan sebagai endapan
stacking channel dari lingkungan pengendapan pada sungai teranyam (braided river).
a) Batupasir Konglomeratan dengan matriks pasir kasar dan fragmen berukuran kerikil - kerakal
b) Jejak Kaki Burung dan Rain Mark pada Batupasir Konglomeratan
70
4.3.2 Penampang Stratigrafi Pasirpogor 6 ( PP 6)
Penampang Stratigrafi Pasirpogor 6 (PP 6) terletak pada salah satu daerah
penambangan pasir kuarsa di Pasirpogor, berada disebelah selatan dari lokasi PP1.
Singkapannya terletak pada sisi – sisi tebing, terdiri dari batupasir konglomeratan
dengan matriks pasir sedang bewarna putih sampai abu – abu, setempat kemerahan
dengan fragmen berukuran kerikil pada bagian bawah. Kemudian di bagian tengah
dan atas kolom terdapat batulanau, batulempung karbonan dengan sisipan batubara
dan batupasir ukuran pasir halus bewarna putih. Ketebalan total dari singkapan yang
diukur adalah kurang lebih 37,2 m.
Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi pada lokasi PP 6 dapat diamati pada
kolom stratigrafi dari Gambar 4.3 .Secara keseluruhan lintasan ini memperlihatkan
tiga siklus sedimentasi, dimana pada siklus di bagian paling bawah memperlihatkan
suksesi yang relatif stabil (aggrading) dan pada bagian tengah dan atas penampang
terlihat adanya suksesi yang menghalus ke atas (fining upward).
Di bagian bawah kolom stratigrafi ini diendapkan batupasir konglomeratan (
Gms) yang diendapkan oleh sistem arus kuat atau mekanisme pengendapan arus traksi
dengan struktur sedimen yang berkembang berupa planar cross bedding adanya
sisipan lempung diatasnya menandakan lemahnya kekuatan arus secara sesaat, setelah
itu kekuatan arus meningkat drastis ditandai dengan pengendapan batupasir
konglomeratan yang berlapis relatif tipis (Gmst) sehingga menyebabkan kontak
erosional pada sisipan batulempung dibawahnya (foto 4.3). Ditafsirkan merupakan
c) Struktur Sedimen Ripple d) Struktur Sedimen Planar Cross Bedding
Foto 4.1 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan PP 1
71
Gambar 4.2 Penampang Stratigrafi Umum Lintasan Pasir Pogor 6
endapan channel. Setelah itu kekuatan arus mulai berkurang secara perlahan
diendapkan batupasir berukuran butir halus
bewarna putih sampai abu-abu
Kemudian kekuatan arus semakin
melemah ditandai dengan pengendapan
batulempung karbonan ( Fc) dan terdapatnya
sisipan batubara yang mengindikasikan
merupakan endapan flood plain. Lalu kekuatan
arus semakin meningkat ditandai dari
pengendapan batulanau (Fl) sampai
terendapkannya batupasir ukuran pasir halus (Sm)
bewarna putih sampai abu – abu, setempat
kemerahan dengan sisipan – sipan batulempung,
menandakan kekuatan arus relatif stabil yang juga
terkadang terjadi mekanisme suspensi untuk
mengendapkan sisipan lempung, dinterpretasikan
merupakan endapan channel. Setelah itu kembali
diendapkan batupasir ukuran pasir halus. Di
atasnya diendapkan batulanau (Fl) dan
batulempung karbonan (Fc) dengan sisipan
batubara yang menunjukkan kekuatan arus
kembali melemah secara bertahap,
diinterpretasikan merupakan endapan flood plain.
Secara keseluruhan pada lintasan ini dapat
diamati telah terjadi tiga siklus sedimentasi
Berdasarkan elemen arsitektur beserta fasies –
fasies yang terdapat pada lintasan ini, maka dapat
ditafsirkan menunjukkan lingkungan pengendapan
sungai teranyam.
72
4.3.3 Penampang Stratigrafi Cicantayan 1 ( CT 1)
Penampang stratigrafi Cicantayan 1 terletak di selatan lokasi PP 6 yang
merupakan salah satu daerah penambangan pasir kuarsa di Cicantayan yang berada di
tengah daerah penelitian. Singkapan batuan di Lintasan PP 6 terdiri dari batupasir
konglomeratan dengan matriks pasir kasar, fragmen berukuran kerikil – kerakal dan
konglomerat pada bagian bawah dan atas kolom, batulanau – batulempung karbonan
dengan sisipan batubara pada bagian tengah kolom. Ketebalan total dari singkapan
yang dapat terukur adalah kurang lebih 26 m.
a) Kontak Antara Batu lanau (Fl) dengan Batulempung Karbonan (Fc))
b) Kontak Erosional antara Batulanau (Fl) dengan Batupasir Diatasnya (Sg)
c) Singkapan Batupasir Konglomeratan (Gms)
Foto 4.2 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan PP 6
73
Gambar 4.4 Penampang Stratigrafi
Umum Lintasan Cicantayan 1
Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi pada
lokasi Cicantayan dapat diamati pada kolom stratigrafi
dari Gambar 4.4. Secara keseluruhan lintasan ini
memperlihatkan empat siklus sedimentasi, dimana
pada masing – masing siklus tersebut adanya suksesi
yang menghalus ke atas.
Di bagian bawah kolom stratigrafi ini
diendapkan batupasir konglomeratan (Gms) yang
diendapkan oleh sistem arus kuat atau mekanisme
pengendapan arus traksi, terdapatnya bioturbasi
menunjukkan pada saat pengendapannya telah
mengalami pendangkalan dan ditafsirkan sebagai
endapan channel. Setelah itu kekuatan arus mulai
berkurang sampai relatif tenang dengan diendapkannya
batulanau (Fl) dan batulempung karbonan (Fc) dengan
sisipan batubara, pada bagian ini ditafsirkan sebagai
endapan flood plain. Kemudian kekuatan arus
meningkat secara tiba – tiba ditandai dengan
pengendapan konglomerat masif (Gm) yang
menunjukkan mekanisme arus traksi, hal tersebut
mengakibatkan kontak yang bersifat erosional pada
batulempung dibawahnya dan juga akibat pembebanan
dari pengendapan konglomerat tersebut memberikan
pembebanan terhadap batulempung yang belum
terkompaksi dengan baik sehingga membentuk struktur
loadcast pada konglomerat. Kemudian kekuatan arus
menajdi relatif stabil dengan kembali diendapkannya
batupasir konglomeratan dengan struktur sedimen
yang berkembang berupa planar cross bedding.
Terdapatnya sisipan konglomerat menunjukkan adanya arus kuat secara tiba – tiba
yang mengendapkan sisipan tersebut sehingga menyebabkan kontak yang erosional di
bawah sisipan tersebut. Pada kolom bagian atas, adanya sisipan lempung diatasnya
menandakan lemahnya kekuatan arus secara sesaat, setelah itu kekuatan arus
meningkat drastis ditandai dengan pengendapan batupasir konglomeratan (Gmst)
74
yang menyebabkan kontak erosional pada sisipan batulempung dibawahnya. Tiga
siklus sedimentasi dari kolom bagian atas menunjukkan endapan cannel yang saling
beramalgamasi dengan kontak erosional membentuk suatu stacking channel.
Secara keseluruhan terjadi empat siklus sedimentasi menghalus ke atas (fining
upward). Berdasarkan elemen arsitektur beserta fasies – fasies yang terdapat pada
lintasan ini, maka dapat ditafsirkan menunjukkan lingkungan pengendapan sungai
teranyam.
a) Kontak Erosional Batupasir Konglomeratan dengan Sisipan batulempung
b) Cross Bedding pada Batupasir Konglomeratan (Sp)
c) Bioturbasi pada Batupasir Konglomeratan
75
Gambar 4.5 Penampang Stratigrafi Umum
Lintasan Selagombong 6
4.3.4 Lintasan Selagombong 6 ( SG 6)
Lintasan SG 6 terletak di selatan lokasi CT 1 di
daerah selagombong yang tersingkap pada suatu tebing
tererosi yang berada di selatan daerah penelitian..
Singkapan batuan di Lintasan SG 6 terdiri dari batupasir
halus dengan sisipan batulanau dan batulempung karbonan
dengan sisipan batubara pada bagian bawah kolom.
Ketebalan total dari singkapan yang dapat terukur adalah
kurang lebih 3,2 m.
Suksesi vertikal dan siklus sedimentasi pada lokasi
Cicantayan dapat diamati pada kolom stratigrafi dari
Gambar 4.5 .Secara keseluruhan lintasan ini
memperlihatkan tiga siklus sedimentasi, dimana pada siklus
di bagian paling bawah terdapat suksesi vertikal yang relatif
stabil (aggrading), kemudian pada bagian tengah dan atas
penampang menunjukkan suksesi vertikal menghalus ke
atas (Fining Upward).
Di bagian bawah kolom stratigrafi ini diendapkan
batulempung karbonan dengan sisipan batubara dengan
mekanisme suspensi, yang ditafsirkan merupakan endapan
a) Sisipan Konglomerat Masif pada Batupasir Konglomeratan (Gm)
b) Struktur Sedimen Loadcast pada Konglomerat
Foto 4.3 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan CT 1
76
flood plain. Setelah itu terjadi peningkatan arus energi yang mengendapkan
perselingan antara batupasir halus dan batulanau dengan struktur sedimen yang
berkembang berupa planar cross lamination, Wavy, Flaser dan parallel lamination.
Diinterpretasikan merupakan endapan inter channel.
Secara keseluruhan paling tidak telah terjadi tiga siklus sedimentasi.
Berdasarkan elemen arsitektur beserta fasies – fasies yang terdapat pada lintasan ini,
maka dapat ditafsirkan menunjukkan lingkungan pengendapan sungai teranyam.
Foto 4.4 Singkapan dari Satuan Batupasir Konglomeratan di Lintasan CT 1
(a) Struktur Sedimen Planar Cross Lamination, Parallel Lamination, Wavy dan Flaser
(b) Struktur Sedimen Parallel Lamination , Wavy dan Flaser, Planar Cross Lamination
(a)
(b)
77
4.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa Satuan
Batupasir Konglomeratan ini merupakan lingkungan fluvial. Hal ini sesuai dengan
pendapat peneliti sebelumnya terutama dari hasil pengendapan Formasi Bayah oleh
Martodjojo (1984), namun penulis lebih merinci hasil penelitian dengan hanya
berfokus di daerah Gunung Walat, dimana menurut Effendi dkk. (1998) Satuan
Batupasir Konglomeratan termasuk ke dalam Formasi Walat yang berumur Oligosen
Awal. Untuk umur penulis sepakat kepada pendapat Effendi (1998) yang mengatakan
bahwa umur Formasi ini adalah Eosen Akhir – Oligosen Awal, dimana pendapat
tersebut berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan pada daerah Walat Sehingga
dinamakan Formasi Walat, sesuai dengan nama daerah tersebut.
Berdasarkan analisa proses sedimentasi masing – masing lintasan
menunjukkan lingkungan pengendapan yang sama yaitu sungai teranyam. Tidak
adanya perubahan lingkungan pengendapan satuan batupasir konglomeratan dari utara
sampai ke selatan daerah penelitian pengamatan menandakan bahwa rentang umur
pengendapan dari setiap lintasan relatif tidak berbeda jauh, dikarenakan elemen
arsitekturnya mempunyai ciri – ciri yang sama.
Hampir di setiap lintasan, urutan stratigrafi secara vertikal memperlihatkan
lapisan batupasir konglomeratan saling beramalgamasi dengan kontak erosional
membentuk suatu stacking channel. Hal ini menjadi ciri khusus pada lingkungan
sungai teranyam karena menunjukkan suatu lingkungan berenergi tinggi, yang juga
sesuai dengan pemodelan sungai teranyam oleh Selley, 1976 op. cit. Galloway dan
Hobday, 1983 (Gambar 4.6).
Adanya kehadiran lapisan tipis konglomerat mencerminkan suatu energi
pengendapan tinggi yg tidak berlangsung lama. Peningkatan arus yg sebentar ini
kemungkinan terjadi pada keadaan banjir. Untuk pengendapan batulanau dan
batulempung berada dalam sistem pengendapan energi rendah yang ditafsirkan
sebagai endapan floodplain.
Secara keseluruhan setiap lintasan yang ada mencerminkan suatu lingkungan
berenergi tinggi, ditandai dengan dominasi batupasir berukuran kasar sampai kerikil.
Kehadiran flood plain diperkirakan berada saat channel telah berpindah alur sehingga
menjadi lingkungan abandoned channel dimana pada perkembangannya menjadi
suatu floodplain. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama sebagaimana pada
78
(a) Penampang Vertikal Sungai Braided (b) Diagram Blok Sungai Braided
Gambar 4.6 Model Endapan Sungai Teranyam Menurut Selley, 1976 op. cit. Galloway dan Hobday,
1983
lingkungan meander yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi marsh, hal tersebut
dikarenakan suplai sedimen dan kekuatan arus yang tinggi pada sungai teranyam akan
mengerosi secara lateral bars atau inter channel yang ada. Oleh karena itu floodplain
tidak berkembang dengan baik ditandai dengan kemunculan batubara yang hanya
sebagai sisipan.
Sumber sedimentasi satuan ini diperkirakan berasal dari utara, yaitu Paparan
Sunda di utara daerah penelitian pada Eosen Akhir – Oligosen awal. Hal tersebut
berdasarkan analisis petrografi (Lampiran A) memperlihatkan komposisi pada
batupasir yang bersifat granitis atau bersifat asam merupakan hasil dari perombakan
intrusi batuan granit pada paparan kontinen( Paparan Sunda), hal ini didukung dari
penelitian Martodjojo (1984) yang juga mengatakan arah pengendapan lapisan silang
siur pada formasi ini, yakni relatif dari arah utara yang bergerak ke selatan dan
mengendap pada Cekungan Bogor.
(a) (b)