bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. gambaran...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Pahunga Lodu ( Mangili )
1.Lokasi dan Keadaan Alam Kecamatan Pahunga Lodu
Kecamatan Pahunga Lodu terletak dipulau Sumba bagian timur
KabupatenSumba Timur, Propinsi Nusa TenggaraTimur. Luas wilayah Kecamatan
PahungaLodu 349,8 km atau 34,980 Ha dengan kepadatan penduduk 35 orang per
km, yang padaumumnya merupakan dataran rendah disepanjang pantai timur,
sedangkan sebelahbarat dari timur ke selatan merupakandataran tinggi yang cukup
subur. Dimana musim hujannya relatif pendek biladibandingkan musim
kemarau.Banyaknya hari hujan adalah 21 hari, Bulan hari hujan hanya padabulan
Januari dengan curah hujan 135 mm. Kecamatan Pahunga Loduberbatasan dengan
:Sebelah utara berbatasan denganKecamatan Rindi, sebelah selatan berbatasan
denganKecamatan Wula Waijelu, sebelah timur berbatasan dengan Laut Sawu,
sebelah barat berbatasan denganKecamatan Mahu
2. Kecamatan Pahunga Lodu
Kecamatan Pahunga Lodu terdiri dari 8 desa yaitu Kuruwaki, Pamburu,
Kaliuda, Tanamanang, Tamma, Lambakara, Mburukulu, Palanggai. Dengan ibukota
kecamatan Tandening yang berada di desa Kaliuda, dengan jumlah RT 120 DAN RW
57 , jumlah penduduk 12.536 (laki-laki 6.261 dan perempuan 6.275 ), jumlah PNS
156 orang , jumah pejabat fungsional 21orang, jumlah struktural 10orang. Adapun
sarana kesehatan yang dimiliki yaitu : puskesmas 1buah, posyandu 32 buah, dokter
umum 2orang, perawat polindes 4orang, dipuskesmas 6orang serta bidan 3orang ,
apoteker 1orang. Sarana pendidikan di Kecamatan Pahunga Lodu terdapat 13 SD
dengan jumlah guru 164 orang dan siswa 3133. Sehingga rasio murid terhadap guru
adalah 13, yang berarti setiap guru mengajar/membimbing 13 orang siswa. Untuk
tingkat SMP, terdapat 4 SMP dengan jumlah 26 guru dan 711 siswa. Dari angka ini
dapat diketahui rasio murid terhadap guru adalah 12, dimana setiap guru
mengajar/membimbing 12 siswa. Untuk tingkat SMK, dengan jumlah guru 25 orang
dan 182 siswa. Dari angka ini dapat diketahui rasio murid terhadap guru adalah 8,
dimana setiap guru mengajar / membimbing 8 siswa. Selanjutnya jumlah penduduk
berdasarkan agama yang dianut sebagai berikut : agama Islam 415 orang, Kristen
Katolik 1454 orang, Kristen protestan 9674 orang dengan jumlah sarana ibadah :
mesjid 2, gereja Katholik 9 dan gereja kristen prostestan 17.
Adapun sumber daya alam yang dimiliki kecamatan Pahunga Lodu, Tanaman
pangan yang memiliki produktivitas paling tinggi di Pahunga Lodu adalah ubi kayu
dan ubi jalar, masing-masing 98.02 kuintal per hektar dan 89.55 kuintal per hektar.
Meningkatnya produktivitas kedua komoditi tersebut sangat membantu penduduk
Pahunga Lodu, karena ubi biasa dijadikan makanan pengganti beras. Harga beras
yang cenderung merambat naik membuat masyarakat mencari alternatif tanaman
pangan pengganti yang lebih murah. Pada umumnya tanaman pangan mengalami
peningkatan jumlah total produksi di setiap tahunnya. Meningkatnya produksi
tanaman pangan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan luas panen tanaman
bersangkutan. Dari segi produksi per hekto arenya hampir semua komuditi mengalami
peningkatan produksi. Hal ini diakibatkan oleh iklim yang tak menentu dan curah
hujan yang kurang,Selain tanaman pangan, Pahunga Lodu juga memiliki beberapa
komoditi tanaman perkebunan seperti jambu mete, kelapa, pinang, sirih, kemiri dan
lain-lain. Tanaman perkebunan yang memiliki produksi paling besar adalah Jambu
mete yang mencapai 30,67 persen dari hasil tanaman perkebunan, yaitu 517,59 ton.
Kondisi tanah dan iklim Pahunga Lodu yang berlokasi di pesisir pantai sangat
berpotensi untuk tanaman kelapa,jambu mete dan lain-lainnya. Jumlah ikan yang
ditangkap di setiap tahunnya sebanyak 61 ton. Potensi peternakan yang ada di
kecamatan Pahunga Lodu tercatat untuk ternak besar sebayak 11.090 ekor,dan kerbau
yang paling banyak populasinya sebanyak 4.210 ekor. Sedangkan untuk ternak kecil
dan unggas sebanyak 51.704 dengan populasi terbanyak ayam 40.129 ekor dan babi
9.481 ekor.
3. Suku Sabu
Menurut cerita mitologi (Yakob,1987) yang hidup dalam kalangan masyarakat
Sabu dikatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari dalam laut. Orang Sabu
menyebutnya “ Dou dakka tidara dahi “artinya berasal dari dalam laut.Tokoh yang
menjadi leluhur orang sabu itu adalah Kika Ga. Satu hikayat lain mengisahkan Kika
Ga tinggal bersama saudaranya yang bernama Djape Ga. Adapun Lola Ga seluruh
tubuhnya berbulu tebal.Orang tua mereka lebih mengasihi Djape Ga daripada
sulungnya Kika Ga. Kika Ga mengambil keputusan untuk pergi jauh, Kika Ga dengan
mengendarai seekor kuda betina berwarna abu hitam mengembara ke luar negeri dan
sampailah ke pulau djawa. Kika Ga meneruskan perjalanannya dan tiba di Djawa
Wawa( Raijua sekarang). Pada masa itu berdiamlah di ketita seorang dewa bernama
Mone Rau dengan saudara perempuannya Mudji Rau.
Kika Ga mengambil Mudji Rau sebagai Istrinya dan memperoleh anak laki-
laki bernama Hu kika. Kemudian timbullah di atas permukaan air laut pada sebelah
timur dari Ketita satu puncak ( pada saat itu pulau sabu belum ada ) ialah tempat yang
sekarang bernama Teriwudi pulau Sabu.Kika Ga bersama istrinya dan anaknya pindah
dari Ketita pergi berdiam di Teriwu. Selanjutnya Hu Kika mendapatkan anak Unu Hu
dan Unu Hu mendapat anak AE Hu, AE Hu mendapat anak Rai AE, Rai AE
mendapat anak Ngara Rai, Ngara Rai mendapat anak Miha Ngara.Kisah selanjutnya
Kika Ga datang dari suatu tempat yang di kisahkan dalam bahasa sabu yang dalam
yaitu :“ kolo rai ah rai pana , Hu udda kolo rabo, Rede mane tua lolo, Hu kei lari
boro”. Kika Ga tinggal diatas batu dalam laut.Nama batu ini Wadu mea.Batu ini
masih ada di laut sampai sekarang yaitu di pantai selatan Pulau Sabu.Tidak seberapa
jauh dari tempat Teriwu.
Pada masa itu daratan Sabu belum ada, yang ada ialah dua puncak diatas muka
air laut, yaitu Merabu dan Kebuhu.Pada suatu hari ketika dewa yang bernama Ludji
Liru anaknya dewa Liru bella sementara mengail ikan, maka Kika Ga kena terkail lalu
di tarik ke kayangan.Kika Ga lalu menjadi anak angkat dari Liru Bella dan menjadi
saudara angkatnya Ludji Liru, dan Kika Ga beristrikan seorang dewi yang bernama
Lia Ra.
Kemudian Ludji Liru membawa Kika Ga bersama istrinya Lia Ra kembali
pergi tinggal di puncak Merabu. Setiba di Merabu lalu Ludji Liru pergi ke Ketita
dimana ada berdiam dewa bernama Mone Weo dan istrinya Beni Weo, tanpa
sepengetahuan Mone Weo dan Beni Weo, diambilah oleh Ludji Liru segumpal tanah
di bawah tangga dari rumahnya Mone Weo, lalu kembali ke Merabu. Sesampainya di
Merabu lalu Ludji Liru hamburkan tanah yang di bawanya dari Ketita, lantas
terjadilah daratan yang mengelilingi Merabu dan Kebuhu yaitu Pulau Sabu sekarang.
Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu( Dohawu) sekarang.
4. Sistem Kepercayaan
Agama suku Sabu tidak diketahui namanya,akan tetapi sekarang ini
masyarakat baik di Sabu maupun diluar Sabu menamakan agama suku Sabu itu agama
jingitiu. Para pastor katolik Roma berkebangsaan Portugis yang datang ke Sabu pada
awal abad ke 17 untuk tujuan penginjilan, memberi nama agama orang sabu sebagai
Gentios. Maksud Gentios oleh mereka adalah Kafir, yang artinya tidak percaya
kepada Allah menurut konsep agama Kristen. Orang sabu dan para mone ama tidak
mengerti arti kata itu sehingga mereka tidak membantahnya. Sikap tidak membantah
ini dianggap oleh para pastor bahwa orang sabu telah setuju dengan penamaan itu.
Dikemudian hari barulah mereka menyadari akan makna negatif dari penamaan itu
akan tetap sudah terlambat untuk menghapus penamaan negatif itu dari pikiran
banyak orang karena sudah terbiasa dengan istilah itu, maka nama itu tetap disandang
sampai hari ini dan digunakan sebagai Agama suku Sabu.Kini 80 % masyarakat Sabu
beragama Kristen Protestan.Walaupun begitu, pola pikir mereka masih didukung
agama suku jingitu.Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender
adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.
Adat Sabu dalam pandangan dan kehidupan orang Sabu, bidang keagamaan
tidak dipisahkan dari segi kehidupan lainnya.Orang Sabu tidak mengenal satu istilah
yang menunjuk kepada pengertian agama secara tersendiri.Hidup keagamaan mereka
adalah kehidupan yang menerapkan ketentuan adat (hidup menurut uku).
Penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan mengganggu keseimbangan dan
dikaitkan dengan timbulnya krisis atau tidak berlangsungnya suatu proses kehidupan
sehari-hari yang wajar (misalnya hujan tidak turun, timbulnya serangan hama,
terjadinya kematian tidak wajar, dan sebagainya).
Agama suku Sabu dibangun atas konsep dasar kepercayaan akan adanya satu
zat ilahi yang di sapa sebagai Deo Ama, suatu oknum ilahi yang maha tinggi, yang
menjadi asal dan pangkal dari alam semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya.
Deo ama bersemayam ditempat yang maha tinggi dan maha suci. Yang dalam bahasa
sabu dikatakan “ pa era do‟dida medera, do mu do mengala, „dae „do ta ako ta
terru”. Nama sebenarnya dari Deo Ama diketahui oleh siapapun, karena tidak boleh
diketahui. Hal itu disebabkan karena nama itu sangat suci, sangat mulia dan sangat
keramat. Tak ada seorangpun daat bertahan mendengar nama itu sebab akan serta –
merta mati terbakar tampa bekas. Doe ama itu esa adanya deoa ama disapa juga
menurut fungsinya sebagai Deo Jawi, Deo Woro, Deo penynyi, Deo Toda, Deo
Pelaku. Deo jawi adalah deo ama yang menampakkan diri dalam fungsinya sebagai
roh atau Hange Deo, pemberi dan pemelihara hidup dan juga sebagai pengambil
hidup. Deo jawi sering kali disebut Muri artinya yang hidup atau sang kehidupan. Deo
woro Deo penynyi adalah deo ama yang menampakan diri dalam fungsi sebagai
pencipta alam semesta dengan segala isinya. Deo toda deo pelaku adalah deo ama
yang menampakan diri sebagai penghimpun dan pengatur segala ciptaannya.
Disamping deo ama, dipercaya ada makhluk ilahi yang berkedudukan lebih rendah
dari deo ama. Makhluk-makhluk ilahi itu adalah pembantu aau pesuruh deo ama
dengan tugas-tugas khusus(deo khusus ) seperti deo Ha’ba wadu yaitu deo yang
bertugas pada waktu musim kemarau yaitu pada musim sadap lontar, deo Ha’ba nga
heleo ha’ba yang bertugas pada waktu musim tanam sampai panem tanaman dikebun
dan sawah, deo pa‟da deo „bata yang bertugas untuk mengayomi dan menjaga
kesuburan padang runput dan keselamatan atau kembang biak ternak. Deo – deo
khusus itu diibaratkan dengan malaikat- malaikat Allah menurut konsep agama
kristen. Pada waktu upacara doa atau persembahan dilakukan dalam kaitan dengan
urusan tertentu maka nama deo ama akan di sapa terlebih dahulu barulah nama deo
khusus itu disebut.
5. Sistem Kekerabatan
Di kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam kekerabatan
keluarga batih(ayah, ibu dan anak) disebut Hewue Dara Ammu. Beberapa batih yang
bersekutu dalam suatu upacara adatlah keluarga luas, Hewue Kaba Gatti, dengan
memiliki rumah adat sendiri berketurunan satu nenek atau Hewau appu. Klen kecil
disebut Hewue Kerogo, merupakan gambungan bebrapa Udu dara ammu.
Keturunan dua atau tiga nenek bersodara, beserta cucu dan keturunannya
dipimpin kattu kerogo. Klen besar disebut Hewue udu dipimpn oleh banggu udu.
Secara strutural dalam srata masyarakat dikenal kedudukan tertinggi hewue dara
ammu dengan pimpinan kattu udu daraammu yang memimpin upacara, mengatur
norma kehidupan, menjaga kesatuan dan persatuan keluarga. Ia pimpin yang pantai
dan bijak sana berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Kemudian ada hewue
kerogo di pimpin kattu kerogo yang mengatur kehidupan kerogo. Mereka berhak
menyatakan pendapat dan hak pakai atas tanah milik kerogo. Kemudian hewue adu
dipimpin banggu adumengatur hak pakai tanah untuk ana udu karena mempunyai hak
ulayat.
Pada masa sekarang dalam kehidupan bermasyarakat , masyarakat sabu sudah
merupakan masyarakat yang bebas. Status sosial seseorang hanya diakui secara diam-
diam saja, tidak ada lagi perlakuan yang istimewa terhadap individu. Sebagai
masyarakat yang bebas, masyarkat suku Sabu masih tetap memegang ketentuan-
ketentuan adat yang masih berlaku dalam kehidupan sosial.
6. Upacara Adat
Upacara adat adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang berkaitan
dengan aturan tertentu dan dilakukan secara turun-temurun berdasarkan adat istiadat,
agama dan kepercayaan. Adat berfungsi sebagai hukum (uku rai ) yang merupakan
tata tertib setiap sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia dalam hidup
bermasyarakat dan hubungan dengan alam. Dalam padangan orang Sabu adat adalah
sama dengan syariat agama, hukum adat sama dengan hukum agama, keduanya dapat
dibedakan tetapi tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Mengolah tanah, mengiris
tuak dengan melanggar adat, memotong dahan kayu di luar batas dan waktu adat,
membunuh, mencuri, berzinah, merampas hak seseorang untuk menggarap tanah udu
misalnya dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum harmoni sebaliknya
mengikuti segala upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, melaksanakan
tugas dan kewajiban sesuai adat, menghormati orang tua, memelihara janda, yatim
piatu di pandang sebagai perbuatan yang memelihara hukum harmoni atau adat.
Ketaatan kepada hukum adat ada pahalanya baik bagi pribadi maupun bagi
masyarakat. Kehidupan mereka akan bebas dari segala bencana dan sakit penyakit,
bahkan kehidupannya akan diliputi damai sejatra.
1. Perkawinan
Sebuah perkawinan bagi masyarakat sabu adalah suatu peristiwa yang sakral.
Sebelum pengantin diberkati secara keagamaan, maka diadakan upacara adat berupa “
Kenoto” (sirih pinang). Dengan demikian istri sah digolongkan menjadi warga klen
suami. Tetapi perlakuan yang menyimpang terhadap perempuan dikemudian hari,
dapat berakibat pihak perempuan akan mengambil lagi anaknya. Jika suami (orang
yang mencari nafkah) meninggal lebih dulu maka istri pulang keklen keluarga
asalnya.
2. Kematian
Masyarakat Sabu mengenal 2 jenis kematian berdasarkan peristiwa yaitu
Made Nata (mati manis) dan Made Haro (mati asin). Di sebut mati manis(kematian
wajar) yang melewati proses menderita penyakit. Sedangkan mati asin (mati tidak
wajar) proses kematiannya tiba-tiba seperti mati karna kecelakaan atau disambar petir.
Penetapan jenis upacara tergantung dari musyawara anggota, kepala keluarga (Ina
Ama Amu) dalam kelompok Dara Amu di tempat itu menjadi warga.Acara
pengebumian dalam masyarakat Sabu tidak diadakan secara besar-besaran mengingat
potensi ekonomi.
3. Kalender Adat
Masyarakat Sabu mengenal pembagian waktu 1 tahun dalam 12 bulan,
sekalipun terdapat perbedaan nama di masing-masing kefettoran. Dalam masyarakat
Sabu di kenal nama-nama bulan sebagai berikut.
1) Kelila Wadu (bulan Juli-Agustus)Puru Hogo; diadakan pada bulan Kelila Wadu,
saat akan dimulainyakegiatan iris tuak & dan masak gula yang merupakan salah
satu bahanmakanan pokok orang Sabu.
2) Tunu Manu (Agustus-Sebtember) Deo rai membawa seekor babi dan seekor ayam
untuk di sembelih dan dipersembahankan kepada deo ama diatas batu
persembahan yang bernama Wowadu Tunu manu di desa rai nyale. Maksudnya
untuk memita agara deo ama memberikan mayang tuak dan Ei due yang
melimpah.
3) Bagarae (September-Oktober)Baga Rae; diadakan pada akhir bulan Baga Rae,
dengan tujuan;Sebagai tanda akhir dari kegiatan iris tuak dan masak
gula.Menyumbat mulut tanah agar jangan menelan korban.Mengecek tentang
curah hujan pada musim penghujan yang akan datang.Memagari daerah agar
terhindar dari musuh dan malapetaka.Mempererat tali persaudaraan antara warga
udu dan kerogo
4) Kooma (Oktober-November)Jelli Ma; diadakan pada bulan Ko‟o Ma sebagai
upacara membersihkan kebun. Upacara ini merupakan persiapan terakhir sebelum
memasuki musim tanam yang dilanjutkan dengan penanaman di ladang atau
sawah.
5) Naiki Kebui (November-Desember) tidak ada upacara. Kesempatan untuk
menyiangi sawah dari rerumputan. Bila hujan belum juga turun maka akan
diadakan upacara meminta hujan kepada Deo Ama dibawah pimpinan deo rai.
6) Wila Kolo (Desember-Januari)doa meminta agar Deo Ama berkenan mencegah
terjadi angin ribut atau topan, badai serta gelombang serta segala tanaman dikebun
dan disawah yang sedang berbungan tidak rontok, melainkan dapat menghasilkan
buah.
7) Hanga Dimu (Januari-Ferbuari) upacara bentuk ungkapan syukur kepada Deo
Ama melalui Deo Rai sebelum panen kacang hijau di mula
8) Daba Akki (Ferbuari-Maret)Daba; dalam daur hidup dikenal tahap; lahir (metana),
pemberian nama(pe wie ngara), hapo (pengakuan tentangsahnya anak), daba
(baptis),leko wue (belajar memakai pakaian), bagga (sunat) , potong gigi
danperkawinan (peloko nga‟a) serta kematian (made).
9) Daba Ae (Maret-April) tidak upacara melainkan pesta padoa Daba merupakan
rangkaian acara yang dilaksanakan pada hari ketigasetelah panen sorgum dan
pesta pado‟a. Daba diadakan pada bulan DabaAkki.Banga Liu (April-Mei)Banga
Liwu; diadakan pada bulan Banga Liwu (malam ke 9 dari bulan baru). Dalam
rangkai upacara tersebut bertujuan untuk:Mendinginkan obyek-obyek seperti
kebun kapas, kebun kelapa, pinang dan kandang ternak.Penghormatan terhadap
arwah leluhur dengan membawa sirih pinang ke pekuburan leluhur dan malamnya
diadakan “Pe-do‟a bui ihi”.
10) Werru Aa (Mei-Juni) upacara menutup mulut sungai dengan jalan membenamkan
hidup-hidup seekor ayam jantan ke sungai. Makna upacara ini untuk mencegah
segala hasil dari sabu agar tidak mengalir keluar yang akan menyebabkan
masyarakat kekuranggan persediaan makanan.
11) Ari (Juni-Juli) tidak ada upacara lagi
B. Hasil Penelitian
1. Langkah-Langkah PerkawinanDalam Adat Sabu ( Kenoto )
Pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling jatuh
cinta.Hal ini merupakan hal yang paling mendasar dalam suatu perkawinan.Di tiap
daerah maupun suku bangsa tentunya mempunyai tata upacara perkawinannya sendiri
yang sesuai dengan adat istiadat setempat.Tata cara perkawinan tiap suku bangsa juga
memilikinilai-nilai dan norma-norma yang sangat dijunjung tinggi.Upacaraperkawinan
pasti dilaksanakan oleh setiap masyarakat didaerah manapundan oleh berbagai lapisan
masyarakat, yang tergolong kelas ekonomibawah maupun golongan ekonomi kelas atas.
Selanjutnya uraian mengenai tata upacara perkawinan suku Sabu dapat dibagi menjadi 5
tahap :a) Perkenalan (Kedakku Kelae), b) Peminangan ( Oro Li), c) Ihi Kenoto dan
Hemata Kenoto, d) Puru Loko e) Nikah Adat ( Pemaho Kenoto )
Keistimewaan dan keunikan tata upacara perkawinan suku Sabu adalah pada
waktu persiapan untuk meminang. Dalam upacara initercermin sifat positifnya, yaitu
selalu mempergunakan carabermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan, serta
lemah lembut tutur bahasanya dan tidak sembarang melontarkan perkataan ,tetapi dipilih
katayang lebih sopan, hormat dan tepat, serta selalu hormat kepada yang lebihtua,
terlepas dari pangkat atau jabatan.Perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial yang
banyakmelibatkan anggota keluarga, kerabat dan orang tua. Selain memilikikeunikan
tersendiri dalam suatu perkawinan, maka di kalangan suku Sabu masih sangat memegang
teguh adat atau kebiasaan yang dilakukansecara turun temurun dan juga nilai-nilai yang
terkandung dalam suatuperkawinan. Perempuan suku Sabu di wajibkan untuk melakukan
perkawinan adat Sabu karena ketika perempuan suku sabu tidak melakukan nikah adat
(kenoto ) hukum adat Sabu akan berlaku secara turun temurun yaitu jika ibunya tidak di
kenoto atau nikah adat maka kelak ketika mempunyai anak perempuan anak tersebut
tidak bisa melakukan nikah adat atau kenoto dan hak atas anak tersebut menjadi hak dari
perempuan. Upacara perkawinan suku Sabu sesungguhnya menyimpan maknayang
sangat mendalam, karena dalam upacara perkawinan suku Sabu terdapat didikan dan
terkandung nilai-nilai budaya yang terkandungdidalamnya.
Adapun tahap perkawinan adat Sabu tampak dari beberapa kasus perkawinan sebagai
berikut :
a. Pasangan antara Andi Korengu – Febe Dubu
Setelah ada kesepakatan dari kedua belah pihak di lakukan beberapa tahap untuk
menuju perkawinan adat sabu :
1. Peminangan ( Oro Li)
2. Ihi Kenoto dan Hemata Kenoto ( Musyawarah Masing-masing keluarga)
3. Pemoho Kenoto (Nikah Adat )
4. Nikah Keagamaan
Pelaksanaan perkawinan adat sabu pada tanggal 14 Maret 2016, Febe berasal dari
Mangili kecamatan Pahunga Lodu dan Andy dari Km4- Waingapu, Febe terlahir dari 4
bersaudara dengan Lulusan S.Pd di Universitas Patimura- Ambon sedangkan Andi
Korenguru 7 bersaudara dan merupakan anak pertama dengan lulusan S.Pd Universitas
Wira Wacana Kupang. Adapun uang kenoto yang di sepakati 20juta, setelah menikah
Febe akan tinggal ikut orang tua pihak laki-laki.
a. Pasangan antara Paulus Ndata – Miga Wuki
Setelah kedua pemuda sepakat untuk melangkah lebih jauh yaitu dalam perkawinan adat
sabu maka orang tua kedua belah pihak menindak lanjuti hubungan kedua anaknya.
Langkah –langkah yang dilakukan :
1. Perkenalan / Peminangan
2. Lonye kelaga
3. Ihi kenoto dan hemata kenoto
4. Pemaho kenoto (Nikah Adat)
Pelaksanaan perkawinan adat sabu 27 april 2016 dirumah kediaman Miga huki.
Miga huki berasal dari suku sabu dan bertempat tinggal di Benda, Miga terlahir dari 3
bersaudara dengan lulusan SMA dan Paulus Ndata berasal dari suku sumba dan
bertempat tinggal di desa Kaliuda. Paulus terlahir dari 2 bersaudara dengan lulusan
SMA. Adapun Uang kenoto yang disepakati 10 juta. Setelah nikah adat Miga akan ikut
orang tua pihak laki-laki yang bermata pencarian sebagai petani.
Dari berbagai kasus-kasus perkawinan adat sabu diatas ada perbedaan –perbedaan
mengenai langkah-langkah perkawinan adat sabu. Ada yang dlaksanakan secara
sederhana atau diringkas adapula yang dilaksanakan sesuai dengan urut-urutan
perkawinan. Pada kasus Paulus-Miga tampak sederhana hal ini di karenakan tidak ada
acara nikah keagamaan dan resepsi pernikahan hanya sebatas nikah adat hal ini
kemampuan ekonomi orang tua tidak memungkin untuk dilaksanakan perkawinan secara
besar-besaran.
Menurut pandangan orang sabu/adat perkawinan atau rumah tangga adalah
lembaga yang luhur ciptaaan Deo Ama, suatu perkawinan adat sabu(kenoto ) di amanat
oleh Deo Ama demi kelangsungan hidup manusia, sebuah rumah tangga yang dibangun
dan dikelola sesuai dengan kehendak hukum adat akan menjadi rumah tangga yang
meringi-mengerru-merede. Seperti perkawinan yang lain, perkawinan adat sabu (kenoto)
dapat dilaksanakan secara besar-besaran namun adapula yang dilaksanakan secara
sederhana. Hal ini dikarenakan kemampuan ekonomi setiap orang berbeda. Adapun
langkah-langkah perkawinan adat sabu (kenoto) sebagai berikut :
Tahap Pertama : Kedakku Kelae (Perkenalan)
Anak laki-laki menyampaikan isi hati bahwa ingin berumah tangga. Menanggapi
itu pihak orang tua akan mencari seorang gadis yang memenuhi syarat-syarat.
Sebaliknya, bila anak laki-laki itu menyebut nama gadis pilihannya, maka orang tua akan
menyelidiki apakah gadis itu akan memenuhi syarat-syarat. Bila syarat-syarat dipenuhi,
maka akan diadakan musyawarah keluarga. Sebagai langkah awal setelah kelompok
orang tua menyepakati maksud itu, di tetapkan waktu untuk mengadakan acara
perkenalan. Dalam tahap ini ditentukan siapa juru bicaranya atau mone li. Mone li harus
seorang yang sudah berumah tangga, dan mengenal keluarga perempuan, menguasai adat
perkawinan, pandai menutur silsilah, menguasai tata krama, mahir berbicara bahasa sabu
yang halus. Namun pada zaman sekarang perkenalan sudah langsung dilakukan dengan
tahap peminangan
Tahap kedua : Oro Li ( Peminangan )
Pengutusan beberapa orang ke keluarga perempuan yang dipimpin oleh mone li
untuk tugas Oro Li. Rombongan ini harus berhati-hati dalam tata krama dan tutur kata
terhadap keluarga perempuan, sebab mereka berada dalam posisi (diatas angin) yang
harus sangat dihormati oleh keluarga laki-laki. Hendaknya di hindari kemungkinan salah
kata atau ucap yang menyinggung perasaan keluarga perempuan.
Bingkisan yang harus dibawa adalah sirih pinang, tembakau dan kapur sirih
secukupnya sesuai dengan ketentuan. Sirih pinang harus yang muda ditambah pinang
kering. Bingkisan itu dibungkus dengan sehelai kain, lalu dibungkus lagi dengan kain
sabu, bingkisan mana yang di gendong oleh seorang laki-laki dari rombongan oro li.
Orang tua dari pihak laki-laki memberikan barang berupa, cincin emas, seperangkat
busana wanita, perhiasan, tempat sirih pinang + daun sirih dan buah pinang. Adapun
makna dan maksud benda-benda tersebut adalah :1. Cintin Emas : yang mempunyai
bentuk bulat tidak ada putusnya, makna agar cinta mereka tetap abadi tidak bisa terputus
selama hidup. 2. Seperangkat Busana Wanita : sebagai tanda untuk masing- masing
pengantin saling menyimpan rahasia terhadap orang lain. 3. Perhiasan : mengandung arti
agar pengantin wanita tetap bersinar dan bercahaya serta tidak membuat kecewa. 4.
Tempat sirih pinang : sebagai pengetuk pintu hati 5. Daun Sirih : daunnya berbeda
bentuk dan rupa, tetapi kalau digigit sama rasanya, ini bermakna satu hati.
Bila peminangan diterima, akan dibicarakan tentang waktu puru loko , pemaho
kenoto/ lodo li( nikah adat ). Dalam kesempatan ini dibicarakanjuga tentang ihi kenoto
dan bada welli. Tahap peminangan itulah yang disebut “Ore Lii”. Ore Lii mengandung
arti menanyakan pendirian si gadis yang tentunya tidak terlepas dari pendirian orang tua
(ayah atau ibunya), maka acara peminangan itu sudah dianggap tanda awal satu ikatan
dan di namai Ta Lale La. Artinya batangnya di ikat atau di beri tanda atau ditoreh. Acara
perkenalan itu mengandung arti:
a. Benar-benar perkenalan karena kedua belah pihak saling mengenal
b. Sudah saling mengenal namun dalam jarak yang terbatas kali ini dimaksudkan
perkenalan itu lebih rapat dan akrab.
Tetapi misalkan perempuan sudah jatuh ( hamil duluan) maka sebelum dilakukan
peminangan ada acara pembersihan jati diri perempuan sekaligus permintaaan maaf dari
pihak laki-laki , tahap ini disebut sebagai lonye kelaga ( membersihkan tempat tikar adat)
dengan pihak laki-laki memberi denda adat berupa bada pehuru mea ( hewan penebus
malu hal ini dilakukan agar dalam acara perkawinan adat yang akan berlangsung tidak
haram dan diterima oleh leluhur. Setelah semua sudah selesai di bicarakan oleh pihak
laki-laki tentang niatnya maka pihak laki-laki bersama keluarga inti kembali kerumah
dan membicarakan lagi tindak lanjut ke persiapan puru loko dan pemaho kenoto bersama
keluarga besar dari laki-laki.
Tahap ketiga Ihi Kenoto dan Hemata Kenoto (Musyawarah Keluarga )
1. Ihi Kenoto adalah acara yang dilakukan oleh pihak laki-laki bersama keluarga
besar untuk mengumpulkan biaya atau uang kenoto yang nanti akan diberikan kepada
pihak perempuan. Ihi kenoto ini merupakan sumbangan dari keluarga besar yang
merupakan satu Dara Amu dan clan dari keluarga pihak laki-laki. Setelah semuanya
sudah berkumpul uang biaya persiapan kenoto tersebut di bawa kerumah perempuan
2. Hemata kenoto adalah acara penyambutan biaya kenoto yang akan diberikan
oleh pihak laki-laki, setelah uang biaya kenoto itu diberikan kepada perempuan maka
dibicarakan berbagai persiapan untuk acara puru loko dan nikah adat (pemaho kenoto)
Tahap keempat :Puru Loko
Puru loko adalah acara memandikan calon pengantin selama tiga hari berturut-
turut, sebelum hari perkawinan yang ditetapkan.Dua hari berturut-turut acara mandi
dilakukan dirumah masing-masing pengantin.Pada waktu itu pengantin dilarang bertemu
muka sebelum tiba hari perkawinan.Hati ketiga barulah mereka dipertemukan untuk
acara dimandikan bersama orang tua dan keluara kedua belah pihak, pada zaman dulu
puru loko biasanya dilakukan di sungai. Makna puru loko adalah : Upaya pembersihan
dari lahir (lahir-batin)calon pengantin sehingga benar-benar siap memasuki ambang
pintu rumah tangga baru. Disamping itu juga sebagai pemberian doa restu dari orang tua
dan keluarga kepada calon pengantin dan rumah tangga yang akan mereka memasuki
supaya dapat terwujud kesempurnaan hidup dan kebahagian serta beroleh anak yang
banyak.
Adapun jalannya upacara puru loko sebagai berikut :
a) Pada pagi hari sekitar jam 10.00 pengantin dielu-elukan menuju tempat
permandian sambil bernyanyi dan berdendang yang di sebut ho‟da yaitu menyanyikan
lagu-lagu yang syair-syairnya ada kaitan dengan perkawinan /berumah tangga. Pengantin
laki-laki atau perempuan didampingi 3 orang saksi yang terdiri dari benni ngalai dan
mone ngalai.Mereka yang ditunjuk menjadi saksi harus sudah berumah tangga. Satu jam
kemudian acara mandi selesai, lalu diadakan acara petik kelapa muda pada kebun siapa
saja untuk dimakan bersama. Pada waktu mandi tubuh penganti di lulur dengan
wewangian kelapa kering yang diparut, bubuk kerani, dan bubuk rukunu, bubuk cendana.
b) Pada hari ketiga pengantin berdua dipertemukan di rumah keluarga perempuan
untuk dimandikan oleh ayah-ibu kedua pihak dan para anggota keluarga lainnya. Selesai
dimandikan mereka kembali ke rumah masing-masing untuk dikenakan pakaian
pengantin oleh juru rias pengantin adat sabu.
Tahap kelima : Pemaho Kenoto (Nikah Adat )
Pada waktu yang tentukan pengantin dan kedua keluarga sudah harus siap, maka
pengantin laki-laki dan rombongan keluarga berprosesi menuju kerumah pengantin
perempuan untuk upacara pemaho kenoto.Urut-urutan dalam rombongan itu adalah mone
li, pengantin laki-laki, mone he‟bili kenoto (pembawa kenoto), ayah – ibu pengantin laki-
laki dan kaum kerabat semuanya berpakaian adat sabu.Selanjutnya pihak pengantin
perempuan berserta seluruh kerabat menyamput pihak laki-laki dihalaman rumah oleh
mone li dan disaksikan pula oleh para undangan.
Rombongan pengantin laki-laki akan dipersilakan mengambil tempat duduk yang
sudah disediakan sedangkan mone li, pengantin laki-laki, mone he‟billi kenoto dan saksi-
saksi tetap berdiri. Percakapan adat akan segera berlangsung antara kedua pihak melalui
para mone li masing-masing. Bila percakapan berakhir dengan baik, maka pihak
keluarga perempuan akan bersedia menerima kenoto yang dibawa. Hakekat daripada isi
kenoto adalah suatu ucapan terima kasih keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan
yang telah berkenan memberikan anak perempuannya untuk menjadi istri dari anak laki-
laki mereka. Isi kenoto terdiri dari barang-barang berupa : (1)Setandan pinang wangi
yang masih muda, sirih pinang muda, pinang kering, 9 rangkai pinang muda kering yang
ditusuk pada lidi daun kelapa, tembakau, kapur dan sirih semuanya di bungkus kain sabu.
(2) Sebuah tempat sirih yang berisi sebentuk perhiasan untuk ibu pengantin perempuan,
sebuah amplop berisi uang untuk ayah-ibu pengantin perempuan, sebuah amplop berisi
uang untuk sodara laki-laki dari ibu pengantin perempuan ( make mone ), dan sebuah
amplop uang untuk banni ha‟u kenoto ( perempuan yang membantu ibunya melahirkan).
Besarnya bawaan pihak keluarga laki-laki sudah disepakati pada waktu oro li. Pada
percakapan tentang isi kenoto, pada prinsipnya di serahkan pada tinggi/ rendahnya
kesadaran dan budi pekerti pihak laki-laki akan martabat mereka sendiri dan bagaimana
manifestasi yang pantas pada penghargaan mereka pada keluarga perempuan. Disini
berlaku asas bahwa bila kamu memiliki martabat maka junjunglah martabat orang
setidak-tidaknya sama dengan martabat anda sendiri. Jadi dalam percakapan tentang isi
keonto tidak ada tawar menawar seperti dipasar.Orang sabu biasa sudah mengetahuinya
dengan baik. Setelah penyerahan kenoto, maka isi kenoto akan diumumkan kepada
semua kerabat dan para hadirin pada pesta pernikahan itu. Acara itu di sebut Boka
kenoto. Besar kecilnya bawaan itu akan dinilai oleh hadirin tentang martabat dan
kemampuan menghargai dari keluarga laki-laki. Bilamana isi kenoto dianggap tidak
wajar akan sangat memalukan pihak laki-laki di depan umum. Kadang-kadang bawaan
itu tidak sesuai dengan kesepakatan pada saat oro li atau ketentuan adat, terutama unsur-
unsur yang sudah di sebutkan di atas. Adakalanya jumlah begitu kecil sekali.Sehingga
menimbulkan rasa tersinggung dari pihak keluarga perempuan yang berakibat kenoto
ditolak.Peristiwa penolakan ini jarang sekali terjadi, akan tetapi bilamana hal itu terjadi,
berarti kemungkinan besar kemungkinan itu terancam gagal. Sebab itu pihak keluarga
laki-laki harus sangat berhati-hati.Bilamana belum siap sebagainya acara pemaho kenoto
di tunda saja daripada memaksa diri datang dalam keadaan seperti itu. Mereka harus
benar-benar memahami serta menghayati akan adat dan perasaan hati pihak keluarga
perempuan. Hendaknya dihindari timbulnya kesan pada pihak keluarga perempuan
bahwa martabat mereka di rendahkan. Andai kata kenoto di terima akan lanjutkan
dengan pembicaraan tentang bada welli yaitu mas kawin. Menurut adat, bada welli terdiri
dari kerbau betina dan kuda jantan. Pembicaraan ini kadang-kadang alot sebab meskipun
bukan harga beli terhadap pengantin perempuan akan tetapi ia adalah sebagai ukuran dari
penghargaan pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Sebab itu
berapa jumlah yang disebut pihak perempuan tidak akan ditolak oleh pihak laki-laki.
Tidak boleh ada tawar menawar, jumlah yang disebutkan itu hanya secara simbolis saja
sebagai tanda keterikatan pengantin laki-laki pada pengantin perempuan dan keluarganya
bila ia belum mampu membayarnya. Setelah perkawinan akan diselesaikan seberapa
kemampuan yang ada pada sang suami asal ia mampu menunjukan diri sebagai memantu
yang baik dan tulus hati. Sudah tentu ada standarnya menurut adat yang berlaku,
sehingga pihak perempuan tidak akan menyebutnya sesuka hati sehingga tidak dinilai
serakah oleh khalayak. Perlu dijelaskan bahwa adat sabu tidak melhat bahwa dengan
adanya bawaan dengan penyerahan bada welli itu bukanlah sebagai harga beli dari
istrinya sehingga dengan jalan demikian ia telah menjadi hak milik dari sang suami dan
keluarganya. Orang tua sang istri tetap berhak mengambil kembali anak mereka
bilamana sang suami mencederai janjinya pada waktu pemaho kenoto. Selain itu, mana
kala sang suami meninggal dunia, maka orang tua sang istri juga berhak meminta anak
perempuannya untuk ked‟di ( kembali ke rumah keluarga).
Bilamana semua percakapan sudah selesai dengan baik, maka pengantin laki-laki
dipersilahkan untuk menjemput pengantin perempuan untuk di bawa kepelaminan
supaya dapat dilihat pada hadirin. Setelah kedua pengantin tiba dipelaminan maka
pengantin laki-laki akan mengucapkan janjinya bahwa ia menyayangi istrinya dengan
sebulat/ setulus hatinya menganyomi istrinya dengan sebaik-baiknya, dan akan
menghargai martabat/ hak dan kewenangan haknya sebagai istri.
Setelah ucap janji selesai maka dilanjutkan dengan acara pemahe (melulur) dengan
wewangian. Acara ini diawali oleh pengantin laki-laki kepada istrinya, kemudian dari
sang istri kepada sang suami bagian yang di lulur adalah kaki sampai lulut siku dan
wajah. Akhirnya, paman pengantin perempuan akan mengumumkan bahwa perkawinan
atau rumah tangga baru sudah sah menurut adat sabu. Selesai pengumuman itu diadakan
saling berciuman hidung antar pengantin dengan semua keluarga yang hadir.Acara itu
dilanjutkan dengan pesta makan bersama (pala wawi).
2. Nilai – Nilai Budaya yang Terkandung dalam Perkawinan Adat Sabu
Masyarakat merupakan komunitas yang terdiri dari individu-individu. Aktivitas
yang dilakukan pada komunitas tersebut akan menggambarkan perilaku-perilaku yang
tentunya akan berpengaruh pada nilai-nilai yang hidup pada masyarakat tersebut.
Perilaku-perilaku dalam masyarakat tersebut nantinya yang dapat ditiru dan diambil
sebagai suatu pembelajaran. Sesungguhnya tidak semua yang ada dalam masyarakat itu
dipandang sebagai suatu nilai, akan tetapi ada sesuatu yang dapat ditarik sebagai nilai
pembelajaran.
Nilai juga menggambarkan identitas masyarakat.Sistem nilai juga merupakan
pegangan masyarakat yang dijadikan pedoman untuk bertingkah laku. Nilai-nilai yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut akan selalu ditanam dari generasi ke generasi.
Harapan-harapan dari masyarakat adalah nilai tersebut akan selalu terjaga dan tidak akan
luntur dengan masuknya pengaruh dari luar. Hilangnya nilai tersebut dipandang sebagai
hilangnya identitas dari masyarakat itu.Oleh karenanya, masyarakat selalu menjaga baik
sistem nilai tersebut dalam bentuk kebudayaan daerah yang dimiliki. Berkaitan dengan
nilai, upacara perkawinan suku Sabu dalam wujud solidaritasnya dapat diuraikan
beberapa nilai yang dapat dijadikan pedoman.
1. Nilai Religius (Keagamaan)
Dalam perkawinan adat sabu nilai religiousnya tampak dari pada acara peminangan
sebelum acara dimulai atau pada saat pihak laki-laki sudah tiba dirumah pihak
perempuan dan duduk di tikar adat semua rangkaian acara perkawinan adat sabu dimulai
dengan doa yang biasanya di pimpin oleh seorang pendeta dan begitu juga setelah
perkawinan adat dinyatakan sah di tutup dengan doa. Selain itu setelah dilakukan
perkawinan adat akan dilakukan perkawinan gereja untuk di sahkan menurut agama
modern demikian juga dengan pencatatan sipil dilakukan setelah nikah gereja dengan
demikian kedua mempelai sah menurut hukum adat, agama dan Negara.
2. Nilai Musyawarah
Di Indonesia sistem pemerintahannya demokrasi yakni setiap warga negara
Indonesia berhak untuk mengeluarkan pendapatnya.Dalam sistem pemerintahanya juga
ada suatu struktur pemerintahan yang dibuat untuk mengetahui jabatan dan kedudukan
masing-masing.Begitu pula di Sabu dalam kehidupan masyarakat yang demokratis pada
umumnya mempunyai struktur masyarakat, dimana ada dewan-dewan adat sebagai
lembaga pengatur, pengembang, dan penyelamat nilai-nilai adat.Itulah sebabnya terdapat
keseragaman/kesamaan nilai dalam lingkungan geografis yang berbeda.Sebelum
mengambil keputusan masyarakat suku sabu selalu mengedepankan musyawarah antara
keluarga besar.Keluarga besar mengadakan kumpul keluarga lebih dahulu agar
menentukan segala macam perlengkapan di hari perkawinan, tamu undangan, pembuat
tenda-tenda, hingga pembicaraan tentang jalannya prosesi.
3. Nilai Persaudaraan
Persaudaraan dalam masyarakat suku sabu begitu kuat. Dalam kebudayaan
setempat cara yang paling nampak adalah dalam upacara perkawinan. Persaudaraan
masyarakat dibentuk oleh ikatan-ikatan sosial masyarakat suku sabu itu sendiri. Ikatan
persaudaraan dalam masyarakat suku sabu timbul ketika kerabat, suku atau klen
melakukan perkawinan.Rasa persaudaraan pun dipererat dengan rasa kesatuan.Ikatan ini
dapat terbentuk ketika masyarakat atau individu memiliki hubungan darah. Rasa
kesatuan sosial dalam masyarakat suku sabu timbul ketika kerabat, suku atau dari klen
yang menikah. Rasa persaudaraan muncul disebabkan juga oleh kesatuan tunggal daerah.
Walau tidak memiliki hubungan darah, akan tetapi yang menikah tersebut adalah anggota
masyarakat daerah tersebut, maka rasa memiliki pun akan muncul.
4. Nilai Tanggung Jawab
Masyarakat Suku Sabu terus hidup dalam nilai tanggung jawabnya. Tanggung
jawab yang dimaksud di sini adalah belajar untuk mengembalikan barang yang telah
diterima. Barang yang diterima akan wajib dikembalikan, tentunya dengan rasa tanggung
jawab. Selain itu rasa tanggung jawab yang ditunjukan dalam acara perkawinan di suku
sabu biasanya ditunjukan dengan cara ucapan terima kasih dari keluarga kedua
mempelai kepada semua keluarga yang sudah mengambil bagian dalam proses
perkawinan adat sabu , nilai tanggung jawab yang sangat melekat kuat di kalangan suku
sabu adalah dalam hal ucapan terima kasih kepada pihak perempuan yang telah
melepaskan anak perempuan mereka untuk mengikuti suaminya.
5. Nilai Gotong Royong
Pelaksanaan perkawinan adat sabu tidak akan berjalan jika dikerjakan sendiri,
dalam perkawinan suku sabu nilai gotong royong sangat berperan penting dimana
keluarga, klen saling membantu satu dengan yang lain hal ini mennjukan adanya nilai
kerukunan antar keluarga dan masyarakat.
6. Nilai keadilan
Nilai keadilan mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat Sabu, tetapi
sesungguhnya keadilan sudah dijalankan dalam adat sabu. Keadilan dapat diartikan
dengan memberikan seseorang apa yang menjadi haknya, atau bagi sama rata. Penulis
menemukan ini dalam acara pemaho kenoto. Untuk setiap keluarga yang berkaitan
dengan pihak mempelai perempuan mendapatkan haknya ( make mone) yaitu sebuah
amplop yang diberikan oleh pihak laki-laki.
7. Nilai Sopan Santun
Masyarakat suku sabu dalam upacara perkawinan sangat memperhatikan nilai
sopan santun yang tinggi. Nilai sopan santun ini ditunjukan dalam setiap upacara
perkawinan, khususnya pada tahap peminangan karena pada tahap ini biasanya
menggunakan tutur kata yang halus agar apa yang disampaikan diterima dengan baik dan
tidak menyinggung perasaan. Selain itu sopan santun dengan cara menyuguhkan sirih
pinang kepada para tamu maupun keluarga sebagai salah satu alat komunikasi
masyarakat suku sabu. Biasanya di kalangan suku Sabu untuk menjamu para tamu baik
itu di rumah maupun di acara-acara seperti perkawinan. Kesopanan ditandai saat
menyuguhkan tempat sirih yang berisi sirih pinang kepada para tamu undangan dengan
langkah yang pelan seakan-akan penuh irama, serta tubuh yang sedikit membungkuk
ketika menyuguhkan sirih pinang.
8. Nilai Budaya
Budaya memang selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada
umumnya budaya merupakan hasil karya manusia yang tanpa disadari menjadi adat
istiadat bahkan menjadi bahkan menjadi suatu peradaban. Hal ini biasanya tercermin
dalam suatu upacara, karena dalam upacara manusia biasanya mengekspresikan apa yang
menjadi kehendak atau pikiran, dengan pikiran dan perbuatan akhirnya menjadi suatu
tradisi. Salah satu budaya yang tercermin saat acara perkawinan ini adalah budaya atau
tradisi makan sirih pinang yang tidak hanya diperuntukkan untuk orang tua atau sesepuh
saja namun bagi anak- anak juga. Dan salah satu budaya yang sangat khas dari suku sabu
yaitu cium hidung, cium hidung dalam perkawinan merupakan tradisi bentuk saling
menghargai dan saling memaafkan.
3. Perbedaan Pelaksanaan Perkawinan Adat Sabu Jaman Dulu dan Jaman
Sekarang
1. Perkawinan adat sabu zaman dulu
1) Pada perkawinan pada zaman dulu seorang laki-laki maupun perempuan yang
cukup umur untuk menikah dijodohkan atau pilihan pasangannya ditentukan
oleh orang tuanya, dan tidak ada kebebasan untuk mencari pasangan hidup
sendiri.
2) Dalam pelaksanan tata cara perkawinan adat sabu pada zaman dulu ada
beberapa tahap yaitu :
Perkenalan (kedakku kelae)
Oro li (Peminangan )
Puru loko ( Permandian)
Puru loko adalah memandikan calon pengantin selama tiga hari berturut-
turut.Sebelum tiba hari perkawinan yang ditetapkan.Dua hari berturut-turut
acara mandi ini di lakukan di rumah asing-masing pengantin.Pada waktu itu
pengantin dilarang bertemu muka sebelum tiba hari perkawinan.Hari ketiga
barulah mereka dipertemukan untuk acara dimandikan bersama oleh orang tua
dan keluarga kedua pihak.puru loko biasanya berlangsung di kali/ sungai
3) Pemaho kenoto ( Nikah Adat ) Zaman dulu isi kenoto cukup sirih pinang dan
mas kawin berupa hewan , Setelah acara pemaho kenoto masih ada acara
memboyong istri ke rumah suami yang biasa dilakukan tiga hari setelah nikah
adat
2. Perkawinan adat sabu jaman sekarang
a. Seiring dengan perkembangan zaman pemuda- pemudi suku sabu lebih suka
memilih pasangannya sendiri tampa ada paksaan dari orang tua, dalam hal ini
pemuda- pemudi suku sabu mempunyai kebebasan dalam pemilihan
pasangannya.
b. Dalam pelaksanaan perkawinan adat sabu zaman sekarang ada beberapa hal
yang berubah dari zaman dulu yaitu :
a) Oro li (Peminangan )
Pada zaman sekarang tahap perkenalan sudah sekaligus bersama dengan tahap
peminangan
b) Puru loko
Pada zaman dulu puru loko biasanya dilakukan di kali/ sungai tetapi zaman
sekarang puru loko hanya di lakukan di rumah dan acara puru loko pada
zaman sekarang tidak terlalu dilaksanakan pada acara perkawinan adat sabu
melainkan setelah tahap peminangan acara langsung dilanjutkan pada tahap
pemaho kenoto ( nikah adat )
b. Setelah acara adat pemaho kenoto selesai biasanya sang istri langsung dibawa
ke rumah perempuan (kenoto anggo dengnge) dan berlangsung acara pe‟jore
donahu nga kebu‟i atau acara saling suap gula sabu campur kacang hijau.
Tidak harus menunggu tiga hari
Berikut ini adalah tabel perbedaan perkawinan adat sabu jaman dahulu dan jaman
sekarang
Aspek Perkawinan Adat Sabu
Jaman Dahulu Jaman sekarang
1. mencari pasangan Laki-laki dan perempuan
dijodohkan atau dicarikan
pasangan orang tua
Laki-laki dan perempuan
bebas memilih pasangan
yang sesuai dengan kata hati
2. Tata cara perkawinan a. Perkenalan
b. Pemingan
c. Puru loko harus
dilaksanakan
d. Pemaho kenoto,
setelah acara pemaho
kenoto masih ada
acara memboyong
istri ke rumah suami
yang dilakukan 3 hari
setelah nikah adat.
Perkenalan sudah sekaligus
dengan peminangan
Puru loko belum tentu
dilaksanakan tergantung
dari kesepakatan keluarga.
Setelah acara kenoto sang
istri langsung di bawa
kerumah suami (kenoto
anggo deng‟nge)
3. Puru loko Puru loko dilaksanakan di
sungai
Puru loko bagi yang masih
melaksanakan dilakukan
dirumah
4. Isi Kenoto Isi kenoto berisi sirih
pinang, kapur yang
dimasukan dalam saku
dan dengan sejumlah
uang yang besarnya sama
dengan ibu perempuan
ketika di belis dulu oleh
bapaknya dan belisnya
juga selain uang masih
ada kuda dan babi yang
sudah ditentukan oleh
kesepakatan pada saat oro
li.
Isi kenoto berisi sirih
pinang, kapur dan uang
yang biasanya lebih besar
dari belis ibunya, isi kenoto
tergantung dari kesepakatan
keluarga pada saat oro li,
jumlah belis juga biasa
ditentukan oleh status
pendidikan perempuan,
semua jumlah isi kenoto
sudah dibicarakan dan
disepakati.
C. Pembahasan
Setiap peristiwa adat pasti memiliki tujuan bagi setiap orang yang
melaksanakannya. Demikian juga dengan pelaksanaan perkawinan adat sabu yang
dilaksanakan oleh masyarakat suku sabu di mangili. Masyarakat suku sabu mempunyai
beberapa patokan atau ukuran dalam memilih calon suami atau istri yang ideal. Ukuran
tersebut adalah bibit, bebet, dan bobot sesuai dengan teori Hilman Hadikusuma (1983 :
23).
Bibit adalah penilaian seorang ditinjau dari dari sudut keturunan. Misalkan
apakah bibit seorang ibu itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat, watak dan
kesehatannya, bagaimana keadaan orang tuannya, apakah orang tua dai calon tersebut
adalah keluarga baik-baik atau tidak, misalkan ayahnya suka penipu, berjudi dan lain-
lain.Bebet adalah penilaian seseorang terhadap pergaulannya artinya dengan siapakah
calon tersebut bergaul, apakah calon tersebut bergaul dengan orang yang baik-baik atau
dengan orang yang mempunyai reputasi kurang baik seperti bergaul dengan peminum,
penjudi dsb.Bobot adalah penilaian terhadap seseorang berdasarkan tinjauan
keduniawian. Misalkan apakah calon pilihan tersebut mempunyai pangkat atau
kedudukan yang tinggi atau rendah, kaya atau miskin, dsb.
Tetapi dalam hal ukuran yang pertama ( bibit ) tidak dapat terpenuhi, masyarakat
suku sabu percaya bahwa bibit atau keturunan yang tidak baik dari orang tua atau
generasi sebelumnya tidak akan diturunkan pada anak yang akan lahir dari pernikahan
itu, jadi sebelum melakukan pernikahan adat sabu dilakukan acara
permandian/penyucian( puru loko ) sebagai tanda pembersihan diri lahir batin bagi calon
pengantin namun sekarang acara puru loko perlahan-lahan sudah mulai dilupakan. Hanya
sebagian orang saja yang masih melakukan acara puru loko ini.
Tujuan perkawinan adat sabu adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup demi
kelangsungan hidup manusia dan untuk memperbesar hubungan kekerabatan. Tujuan ini
sesuai dengan tujuan perkawinan adat menurut Hilman Hadikusuma (1990:23)
perkawinan adat bagi masyarakat hukum adat salah satunya untuk melanjutkan
keturunan dari generasi ke generasi selanjutnya. Di samping itu juga untuk
mempersatukan dua keluarga besar dari pihak pria dan wanita. Jadi perkawinan adat
sabu (kenoto) adalah suatu acara peloko nga‟a dimana laki-laki dan perempuan
menyatakan keseriusan hubungan mereka kepada banyak orang atau kedua keluarga
besar.
Perkawinan adat sabu adalah suatu perkawinan yang harus dilaksanakan oleh
semua masyarakat suku sabu yang dilakukan secara turun temurun sesuai dengan hukum
adat yang berlaku hal ini sesuai dengan teori Ter Haar dalam Tolib setiady (2013 : 225)
perkawinan adat adalah suatu usaha atau suatu peristiwa hukum yang menyebabkan terus
berlangsungnnya golongan dengan tertib dan merupakan suatu syarat terlahirnya
angkatan baru yang meneruskan golongan tersebut. Untuk seorang perempuan suku sabu
perkawinan adat sabu wajib dilaksanakan jika tidak dilaksanakan perkawinan adat sabu
maka suatu ketika kedua mempelai mempunyai anak maka marga atau hak atas anak
tersebut diberikan kepada pihak perempuan karena belum melakukan perkawinan secara
adat dan belum dinyatakan sah secara adat, hal ini sesuai dengan teori Hilman
Hadikusuma (1990:27) suatu perkawinan baru diakui sah oleh anggota masyarakat entah
itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern apabila perkawinan tersebut sah
menurut pandangan mereka.
Makna kenoto dalam perkawinan adat sabu yaitu kesatuan dan persatuan
masyarakat suku sabu yang masih harus tetap ada dan yang diamanatkan oleh deo ama
demi kelangsungan kehidupan masyarakat suku sabu. Dalam masyarakat suku sabu
menganut system kekerabatan patrilineal yaitu masyarakat hukum yang para anggotanya
menarik garis keturunannya keatas melalui garis bapak, bapak dari bapak hingga
seterusnya keatas hingga akhinya dijumpai laki-laki sebagai moyangnya. Isi kenoto
dalam perkawinan adat sabu tidak boleh lebih dari isi kenoto dari ibu perempuan (
jumlah kenoto ibu) hal ini merupakan hukum adat yang berlaku karena ketika hal
tersebut dilanggar maka rumah tangga mereka tidak akan meringi, mengaru dan merede
Dari beberapa contoh perkawinan adat sabu diatas ada dua cara terjadinya
perkawinan adat sabu yaitu perkawinan campuran dari pasangan Paulus – Miga
Huki,sedangkan pasangan Andy – Febe cara terjadinya perkawinan dengan perkawinan
pinang sehingga sesuai dengan suku teori Teer Har(1953:159-164) tentang cara
terjadinya perkawinan.