bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. gambaran...

24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kecamatan Pahunga Lodu ( Mangili ) 1.Lokasi dan Keadaan Alam Kecamatan Pahunga Lodu Kecamatan Pahunga Lodu terletak dipulau Sumba bagian timur KabupatenSumba Timur, Propinsi Nusa TenggaraTimur. Luas wilayah Kecamatan PahungaLodu 349,8 km atau 34,980 Ha dengan kepadatan penduduk 35 orang per km, yang padaumumnya merupakan dataran rendah disepanjang pantai timur, sedangkan sebelahbarat dari timur ke selatan merupakandataran tinggi yang cukup subur. Dimana musim hujannya relatif pendek biladibandingkan musim kemarau.Banyaknya hari hujan adalah 21 hari, Bulan hari hujan hanya padabulan Januari dengan curah hujan 135 mm. Kecamatan Pahunga Loduberbatasan dengan :Sebelah utara berbatasan denganKecamatan Rindi, sebelah selatan berbatasan denganKecamatan Wula Waijelu, sebelah timur berbatasan dengan Laut Sawu, sebelah barat berbatasan denganKecamatan Mahu 2. Kecamatan Pahunga Lodu Kecamatan Pahunga Lodu terdiri dari 8 desa yaitu Kuruwaki, Pamburu, Kaliuda, Tanamanang, Tamma, Lambakara, Mburukulu, Palanggai. Dengan ibukota kecamatan Tandening yang berada di desa Kaliuda, dengan jumlah RT 120 DAN RW 57 , jumlah penduduk 12.536 (laki-laki 6.261 dan perempuan 6.275 ), jumlah PNS 156 orang , jumah pejabat fungsional 21orang, jumlah struktural 10orang. Adapun sarana kesehatan yang dimiliki yaitu : puskesmas 1buah, posyandu 32 buah, dokter umum 2orang, perawat polindes 4orang, dipuskesmas 6orang serta bidan 3orang , apoteker 1orang. Sarana pendidikan di Kecamatan Pahunga Lodu terdapat 13 SD dengan jumlah guru 164 orang dan siswa 3133. Sehingga rasio murid terhadap guru adalah 13, yang berarti setiap guru mengajar/membimbing 13 orang siswa. Untuk tingkat SMP, terdapat 4 SMP dengan jumlah 26 guru dan 711 siswa. Dari angka ini dapat diketahui rasio murid terhadap guru adalah 12, dimana setiap guru mengajar/membimbing 12 siswa. Untuk tingkat SMK, dengan jumlah guru 25 orang

Upload: lykhue

Post on 13-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kecamatan Pahunga Lodu ( Mangili )

1.Lokasi dan Keadaan Alam Kecamatan Pahunga Lodu

Kecamatan Pahunga Lodu terletak dipulau Sumba bagian timur

KabupatenSumba Timur, Propinsi Nusa TenggaraTimur. Luas wilayah Kecamatan

PahungaLodu 349,8 km atau 34,980 Ha dengan kepadatan penduduk 35 orang per

km, yang padaumumnya merupakan dataran rendah disepanjang pantai timur,

sedangkan sebelahbarat dari timur ke selatan merupakandataran tinggi yang cukup

subur. Dimana musim hujannya relatif pendek biladibandingkan musim

kemarau.Banyaknya hari hujan adalah 21 hari, Bulan hari hujan hanya padabulan

Januari dengan curah hujan 135 mm. Kecamatan Pahunga Loduberbatasan dengan

:Sebelah utara berbatasan denganKecamatan Rindi, sebelah selatan berbatasan

denganKecamatan Wula Waijelu, sebelah timur berbatasan dengan Laut Sawu,

sebelah barat berbatasan denganKecamatan Mahu

2. Kecamatan Pahunga Lodu

Kecamatan Pahunga Lodu terdiri dari 8 desa yaitu Kuruwaki, Pamburu,

Kaliuda, Tanamanang, Tamma, Lambakara, Mburukulu, Palanggai. Dengan ibukota

kecamatan Tandening yang berada di desa Kaliuda, dengan jumlah RT 120 DAN RW

57 , jumlah penduduk 12.536 (laki-laki 6.261 dan perempuan 6.275 ), jumlah PNS

156 orang , jumah pejabat fungsional 21orang, jumlah struktural 10orang. Adapun

sarana kesehatan yang dimiliki yaitu : puskesmas 1buah, posyandu 32 buah, dokter

umum 2orang, perawat polindes 4orang, dipuskesmas 6orang serta bidan 3orang ,

apoteker 1orang. Sarana pendidikan di Kecamatan Pahunga Lodu terdapat 13 SD

dengan jumlah guru 164 orang dan siswa 3133. Sehingga rasio murid terhadap guru

adalah 13, yang berarti setiap guru mengajar/membimbing 13 orang siswa. Untuk

tingkat SMP, terdapat 4 SMP dengan jumlah 26 guru dan 711 siswa. Dari angka ini

dapat diketahui rasio murid terhadap guru adalah 12, dimana setiap guru

mengajar/membimbing 12 siswa. Untuk tingkat SMK, dengan jumlah guru 25 orang

dan 182 siswa. Dari angka ini dapat diketahui rasio murid terhadap guru adalah 8,

dimana setiap guru mengajar / membimbing 8 siswa. Selanjutnya jumlah penduduk

berdasarkan agama yang dianut sebagai berikut : agama Islam 415 orang, Kristen

Katolik 1454 orang, Kristen protestan 9674 orang dengan jumlah sarana ibadah :

mesjid 2, gereja Katholik 9 dan gereja kristen prostestan 17.

Adapun sumber daya alam yang dimiliki kecamatan Pahunga Lodu, Tanaman

pangan yang memiliki produktivitas paling tinggi di Pahunga Lodu adalah ubi kayu

dan ubi jalar, masing-masing 98.02 kuintal per hektar dan 89.55 kuintal per hektar.

Meningkatnya produktivitas kedua komoditi tersebut sangat membantu penduduk

Pahunga Lodu, karena ubi biasa dijadikan makanan pengganti beras. Harga beras

yang cenderung merambat naik membuat masyarakat mencari alternatif tanaman

pangan pengganti yang lebih murah. Pada umumnya tanaman pangan mengalami

peningkatan jumlah total produksi di setiap tahunnya. Meningkatnya produksi

tanaman pangan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan luas panen tanaman

bersangkutan. Dari segi produksi per hekto arenya hampir semua komuditi mengalami

peningkatan produksi. Hal ini diakibatkan oleh iklim yang tak menentu dan curah

hujan yang kurang,Selain tanaman pangan, Pahunga Lodu juga memiliki beberapa

komoditi tanaman perkebunan seperti jambu mete, kelapa, pinang, sirih, kemiri dan

lain-lain. Tanaman perkebunan yang memiliki produksi paling besar adalah Jambu

mete yang mencapai 30,67 persen dari hasil tanaman perkebunan, yaitu 517,59 ton.

Kondisi tanah dan iklim Pahunga Lodu yang berlokasi di pesisir pantai sangat

berpotensi untuk tanaman kelapa,jambu mete dan lain-lainnya. Jumlah ikan yang

ditangkap di setiap tahunnya sebanyak 61 ton. Potensi peternakan yang ada di

kecamatan Pahunga Lodu tercatat untuk ternak besar sebayak 11.090 ekor,dan kerbau

yang paling banyak populasinya sebanyak 4.210 ekor. Sedangkan untuk ternak kecil

dan unggas sebanyak 51.704 dengan populasi terbanyak ayam 40.129 ekor dan babi

9.481 ekor.

3. Suku Sabu

Menurut cerita mitologi (Yakob,1987) yang hidup dalam kalangan masyarakat

Sabu dikatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari dalam laut. Orang Sabu

menyebutnya “ Dou dakka tidara dahi “artinya berasal dari dalam laut.Tokoh yang

menjadi leluhur orang sabu itu adalah Kika Ga. Satu hikayat lain mengisahkan Kika

Ga tinggal bersama saudaranya yang bernama Djape Ga. Adapun Lola Ga seluruh

tubuhnya berbulu tebal.Orang tua mereka lebih mengasihi Djape Ga daripada

sulungnya Kika Ga. Kika Ga mengambil keputusan untuk pergi jauh, Kika Ga dengan

mengendarai seekor kuda betina berwarna abu hitam mengembara ke luar negeri dan

sampailah ke pulau djawa. Kika Ga meneruskan perjalanannya dan tiba di Djawa

Wawa( Raijua sekarang). Pada masa itu berdiamlah di ketita seorang dewa bernama

Mone Rau dengan saudara perempuannya Mudji Rau.

Kika Ga mengambil Mudji Rau sebagai Istrinya dan memperoleh anak laki-

laki bernama Hu kika. Kemudian timbullah di atas permukaan air laut pada sebelah

timur dari Ketita satu puncak ( pada saat itu pulau sabu belum ada ) ialah tempat yang

sekarang bernama Teriwudi pulau Sabu.Kika Ga bersama istrinya dan anaknya pindah

dari Ketita pergi berdiam di Teriwu. Selanjutnya Hu Kika mendapatkan anak Unu Hu

dan Unu Hu mendapat anak AE Hu, AE Hu mendapat anak Rai AE, Rai AE

mendapat anak Ngara Rai, Ngara Rai mendapat anak Miha Ngara.Kisah selanjutnya

Kika Ga datang dari suatu tempat yang di kisahkan dalam bahasa sabu yang dalam

yaitu :“ kolo rai ah rai pana , Hu udda kolo rabo, Rede mane tua lolo, Hu kei lari

boro”. Kika Ga tinggal diatas batu dalam laut.Nama batu ini Wadu mea.Batu ini

masih ada di laut sampai sekarang yaitu di pantai selatan Pulau Sabu.Tidak seberapa

jauh dari tempat Teriwu.

Pada masa itu daratan Sabu belum ada, yang ada ialah dua puncak diatas muka

air laut, yaitu Merabu dan Kebuhu.Pada suatu hari ketika dewa yang bernama Ludji

Liru anaknya dewa Liru bella sementara mengail ikan, maka Kika Ga kena terkail lalu

di tarik ke kayangan.Kika Ga lalu menjadi anak angkat dari Liru Bella dan menjadi

saudara angkatnya Ludji Liru, dan Kika Ga beristrikan seorang dewi yang bernama

Lia Ra.

Kemudian Ludji Liru membawa Kika Ga bersama istrinya Lia Ra kembali

pergi tinggal di puncak Merabu. Setiba di Merabu lalu Ludji Liru pergi ke Ketita

dimana ada berdiam dewa bernama Mone Weo dan istrinya Beni Weo, tanpa

sepengetahuan Mone Weo dan Beni Weo, diambilah oleh Ludji Liru segumpal tanah

di bawah tangga dari rumahnya Mone Weo, lalu kembali ke Merabu. Sesampainya di

Merabu lalu Ludji Liru hamburkan tanah yang di bawanya dari Ketita, lantas

terjadilah daratan yang mengelilingi Merabu dan Kebuhu yaitu Pulau Sabu sekarang.

Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu( Dohawu) sekarang.

4. Sistem Kepercayaan

Agama suku Sabu tidak diketahui namanya,akan tetapi sekarang ini

masyarakat baik di Sabu maupun diluar Sabu menamakan agama suku Sabu itu agama

jingitiu. Para pastor katolik Roma berkebangsaan Portugis yang datang ke Sabu pada

awal abad ke 17 untuk tujuan penginjilan, memberi nama agama orang sabu sebagai

Gentios. Maksud Gentios oleh mereka adalah Kafir, yang artinya tidak percaya

kepada Allah menurut konsep agama Kristen. Orang sabu dan para mone ama tidak

mengerti arti kata itu sehingga mereka tidak membantahnya. Sikap tidak membantah

ini dianggap oleh para pastor bahwa orang sabu telah setuju dengan penamaan itu.

Dikemudian hari barulah mereka menyadari akan makna negatif dari penamaan itu

akan tetap sudah terlambat untuk menghapus penamaan negatif itu dari pikiran

banyak orang karena sudah terbiasa dengan istilah itu, maka nama itu tetap disandang

sampai hari ini dan digunakan sebagai Agama suku Sabu.Kini 80 % masyarakat Sabu

beragama Kristen Protestan.Walaupun begitu, pola pikir mereka masih didukung

agama suku jingitu.Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender

adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.

Adat Sabu dalam pandangan dan kehidupan orang Sabu, bidang keagamaan

tidak dipisahkan dari segi kehidupan lainnya.Orang Sabu tidak mengenal satu istilah

yang menunjuk kepada pengertian agama secara tersendiri.Hidup keagamaan mereka

adalah kehidupan yang menerapkan ketentuan adat (hidup menurut uku).

Penyimpangan dari aturan yang telah ditetapkan mengganggu keseimbangan dan

dikaitkan dengan timbulnya krisis atau tidak berlangsungnya suatu proses kehidupan

sehari-hari yang wajar (misalnya hujan tidak turun, timbulnya serangan hama,

terjadinya kematian tidak wajar, dan sebagainya).

Agama suku Sabu dibangun atas konsep dasar kepercayaan akan adanya satu

zat ilahi yang di sapa sebagai Deo Ama, suatu oknum ilahi yang maha tinggi, yang

menjadi asal dan pangkal dari alam semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya.

Deo ama bersemayam ditempat yang maha tinggi dan maha suci. Yang dalam bahasa

sabu dikatakan “ pa era do‟dida medera, do mu do mengala, „dae „do ta ako ta

terru”. Nama sebenarnya dari Deo Ama diketahui oleh siapapun, karena tidak boleh

diketahui. Hal itu disebabkan karena nama itu sangat suci, sangat mulia dan sangat

keramat. Tak ada seorangpun daat bertahan mendengar nama itu sebab akan serta –

merta mati terbakar tampa bekas. Doe ama itu esa adanya deoa ama disapa juga

menurut fungsinya sebagai Deo Jawi, Deo Woro, Deo penynyi, Deo Toda, Deo

Pelaku. Deo jawi adalah deo ama yang menampakkan diri dalam fungsinya sebagai

roh atau Hange Deo, pemberi dan pemelihara hidup dan juga sebagai pengambil

hidup. Deo jawi sering kali disebut Muri artinya yang hidup atau sang kehidupan. Deo

woro Deo penynyi adalah deo ama yang menampakan diri dalam fungsi sebagai

pencipta alam semesta dengan segala isinya. Deo toda deo pelaku adalah deo ama

yang menampakan diri sebagai penghimpun dan pengatur segala ciptaannya.

Disamping deo ama, dipercaya ada makhluk ilahi yang berkedudukan lebih rendah

dari deo ama. Makhluk-makhluk ilahi itu adalah pembantu aau pesuruh deo ama

dengan tugas-tugas khusus(deo khusus ) seperti deo Ha’ba wadu yaitu deo yang

bertugas pada waktu musim kemarau yaitu pada musim sadap lontar, deo Ha’ba nga

heleo ha’ba yang bertugas pada waktu musim tanam sampai panem tanaman dikebun

dan sawah, deo pa‟da deo „bata yang bertugas untuk mengayomi dan menjaga

kesuburan padang runput dan keselamatan atau kembang biak ternak. Deo – deo

khusus itu diibaratkan dengan malaikat- malaikat Allah menurut konsep agama

kristen. Pada waktu upacara doa atau persembahan dilakukan dalam kaitan dengan

urusan tertentu maka nama deo ama akan di sapa terlebih dahulu barulah nama deo

khusus itu disebut.

5. Sistem Kekerabatan

Di kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam kekerabatan

keluarga batih(ayah, ibu dan anak) disebut Hewue Dara Ammu. Beberapa batih yang

bersekutu dalam suatu upacara adatlah keluarga luas, Hewue Kaba Gatti, dengan

memiliki rumah adat sendiri berketurunan satu nenek atau Hewau appu. Klen kecil

disebut Hewue Kerogo, merupakan gambungan bebrapa Udu dara ammu.

Keturunan dua atau tiga nenek bersodara, beserta cucu dan keturunannya

dipimpin kattu kerogo. Klen besar disebut Hewue udu dipimpn oleh banggu udu.

Secara strutural dalam srata masyarakat dikenal kedudukan tertinggi hewue dara

ammu dengan pimpinan kattu udu daraammu yang memimpin upacara, mengatur

norma kehidupan, menjaga kesatuan dan persatuan keluarga. Ia pimpin yang pantai

dan bijak sana berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Kemudian ada hewue

kerogo di pimpin kattu kerogo yang mengatur kehidupan kerogo. Mereka berhak

menyatakan pendapat dan hak pakai atas tanah milik kerogo. Kemudian hewue adu

dipimpin banggu adumengatur hak pakai tanah untuk ana udu karena mempunyai hak

ulayat.

Pada masa sekarang dalam kehidupan bermasyarakat , masyarakat sabu sudah

merupakan masyarakat yang bebas. Status sosial seseorang hanya diakui secara diam-

diam saja, tidak ada lagi perlakuan yang istimewa terhadap individu. Sebagai

masyarakat yang bebas, masyarkat suku Sabu masih tetap memegang ketentuan-

ketentuan adat yang masih berlaku dalam kehidupan sosial.

6. Upacara Adat

Upacara adat adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang berkaitan

dengan aturan tertentu dan dilakukan secara turun-temurun berdasarkan adat istiadat,

agama dan kepercayaan. Adat berfungsi sebagai hukum (uku rai ) yang merupakan

tata tertib setiap sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia dalam hidup

bermasyarakat dan hubungan dengan alam. Dalam padangan orang Sabu adat adalah

sama dengan syariat agama, hukum adat sama dengan hukum agama, keduanya dapat

dibedakan tetapi tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Mengolah tanah, mengiris

tuak dengan melanggar adat, memotong dahan kayu di luar batas dan waktu adat,

membunuh, mencuri, berzinah, merampas hak seseorang untuk menggarap tanah udu

misalnya dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum harmoni sebaliknya

mengikuti segala upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian, melaksanakan

tugas dan kewajiban sesuai adat, menghormati orang tua, memelihara janda, yatim

piatu di pandang sebagai perbuatan yang memelihara hukum harmoni atau adat.

Ketaatan kepada hukum adat ada pahalanya baik bagi pribadi maupun bagi

masyarakat. Kehidupan mereka akan bebas dari segala bencana dan sakit penyakit,

bahkan kehidupannya akan diliputi damai sejatra.

1. Perkawinan

Sebuah perkawinan bagi masyarakat sabu adalah suatu peristiwa yang sakral.

Sebelum pengantin diberkati secara keagamaan, maka diadakan upacara adat berupa “

Kenoto” (sirih pinang). Dengan demikian istri sah digolongkan menjadi warga klen

suami. Tetapi perlakuan yang menyimpang terhadap perempuan dikemudian hari,

dapat berakibat pihak perempuan akan mengambil lagi anaknya. Jika suami (orang

yang mencari nafkah) meninggal lebih dulu maka istri pulang keklen keluarga

asalnya.

2. Kematian

Masyarakat Sabu mengenal 2 jenis kematian berdasarkan peristiwa yaitu

Made Nata (mati manis) dan Made Haro (mati asin). Di sebut mati manis(kematian

wajar) yang melewati proses menderita penyakit. Sedangkan mati asin (mati tidak

wajar) proses kematiannya tiba-tiba seperti mati karna kecelakaan atau disambar petir.

Penetapan jenis upacara tergantung dari musyawara anggota, kepala keluarga (Ina

Ama Amu) dalam kelompok Dara Amu di tempat itu menjadi warga.Acara

pengebumian dalam masyarakat Sabu tidak diadakan secara besar-besaran mengingat

potensi ekonomi.

3. Kalender Adat

Masyarakat Sabu mengenal pembagian waktu 1 tahun dalam 12 bulan,

sekalipun terdapat perbedaan nama di masing-masing kefettoran. Dalam masyarakat

Sabu di kenal nama-nama bulan sebagai berikut.

1) Kelila Wadu (bulan Juli-Agustus)Puru Hogo; diadakan pada bulan Kelila Wadu,

saat akan dimulainyakegiatan iris tuak & dan masak gula yang merupakan salah

satu bahanmakanan pokok orang Sabu.

2) Tunu Manu (Agustus-Sebtember) Deo rai membawa seekor babi dan seekor ayam

untuk di sembelih dan dipersembahankan kepada deo ama diatas batu

persembahan yang bernama Wowadu Tunu manu di desa rai nyale. Maksudnya

untuk memita agara deo ama memberikan mayang tuak dan Ei due yang

melimpah.

3) Bagarae (September-Oktober)Baga Rae; diadakan pada akhir bulan Baga Rae,

dengan tujuan;Sebagai tanda akhir dari kegiatan iris tuak dan masak

gula.Menyumbat mulut tanah agar jangan menelan korban.Mengecek tentang

curah hujan pada musim penghujan yang akan datang.Memagari daerah agar

terhindar dari musuh dan malapetaka.Mempererat tali persaudaraan antara warga

udu dan kerogo

4) Kooma (Oktober-November)Jelli Ma; diadakan pada bulan Ko‟o Ma sebagai

upacara membersihkan kebun. Upacara ini merupakan persiapan terakhir sebelum

memasuki musim tanam yang dilanjutkan dengan penanaman di ladang atau

sawah.

5) Naiki Kebui (November-Desember) tidak ada upacara. Kesempatan untuk

menyiangi sawah dari rerumputan. Bila hujan belum juga turun maka akan

diadakan upacara meminta hujan kepada Deo Ama dibawah pimpinan deo rai.

6) Wila Kolo (Desember-Januari)doa meminta agar Deo Ama berkenan mencegah

terjadi angin ribut atau topan, badai serta gelombang serta segala tanaman dikebun

dan disawah yang sedang berbungan tidak rontok, melainkan dapat menghasilkan

buah.

7) Hanga Dimu (Januari-Ferbuari) upacara bentuk ungkapan syukur kepada Deo

Ama melalui Deo Rai sebelum panen kacang hijau di mula

8) Daba Akki (Ferbuari-Maret)Daba; dalam daur hidup dikenal tahap; lahir (metana),

pemberian nama(pe wie ngara), hapo (pengakuan tentangsahnya anak), daba

(baptis),leko wue (belajar memakai pakaian), bagga (sunat) , potong gigi

danperkawinan (peloko nga‟a) serta kematian (made).

9) Daba Ae (Maret-April) tidak upacara melainkan pesta padoa Daba merupakan

rangkaian acara yang dilaksanakan pada hari ketigasetelah panen sorgum dan

pesta pado‟a. Daba diadakan pada bulan DabaAkki.Banga Liu (April-Mei)Banga

Liwu; diadakan pada bulan Banga Liwu (malam ke 9 dari bulan baru). Dalam

rangkai upacara tersebut bertujuan untuk:Mendinginkan obyek-obyek seperti

kebun kapas, kebun kelapa, pinang dan kandang ternak.Penghormatan terhadap

arwah leluhur dengan membawa sirih pinang ke pekuburan leluhur dan malamnya

diadakan “Pe-do‟a bui ihi”.

10) Werru Aa (Mei-Juni) upacara menutup mulut sungai dengan jalan membenamkan

hidup-hidup seekor ayam jantan ke sungai. Makna upacara ini untuk mencegah

segala hasil dari sabu agar tidak mengalir keluar yang akan menyebabkan

masyarakat kekuranggan persediaan makanan.

11) Ari (Juni-Juli) tidak ada upacara lagi

B. Hasil Penelitian

1. Langkah-Langkah PerkawinanDalam Adat Sabu ( Kenoto )

Pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling jatuh

cinta.Hal ini merupakan hal yang paling mendasar dalam suatu perkawinan.Di tiap

daerah maupun suku bangsa tentunya mempunyai tata upacara perkawinannya sendiri

yang sesuai dengan adat istiadat setempat.Tata cara perkawinan tiap suku bangsa juga

memilikinilai-nilai dan norma-norma yang sangat dijunjung tinggi.Upacaraperkawinan

pasti dilaksanakan oleh setiap masyarakat didaerah manapundan oleh berbagai lapisan

masyarakat, yang tergolong kelas ekonomibawah maupun golongan ekonomi kelas atas.

Selanjutnya uraian mengenai tata upacara perkawinan suku Sabu dapat dibagi menjadi 5

tahap :a) Perkenalan (Kedakku Kelae), b) Peminangan ( Oro Li), c) Ihi Kenoto dan

Hemata Kenoto, d) Puru Loko e) Nikah Adat ( Pemaho Kenoto )

Keistimewaan dan keunikan tata upacara perkawinan suku Sabu adalah pada

waktu persiapan untuk meminang. Dalam upacara initercermin sifat positifnya, yaitu

selalu mempergunakan carabermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan, serta

lemah lembut tutur bahasanya dan tidak sembarang melontarkan perkataan ,tetapi dipilih

katayang lebih sopan, hormat dan tepat, serta selalu hormat kepada yang lebihtua,

terlepas dari pangkat atau jabatan.Perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial yang

banyakmelibatkan anggota keluarga, kerabat dan orang tua. Selain memilikikeunikan

tersendiri dalam suatu perkawinan, maka di kalangan suku Sabu masih sangat memegang

teguh adat atau kebiasaan yang dilakukansecara turun temurun dan juga nilai-nilai yang

terkandung dalam suatuperkawinan. Perempuan suku Sabu di wajibkan untuk melakukan

perkawinan adat Sabu karena ketika perempuan suku sabu tidak melakukan nikah adat

(kenoto ) hukum adat Sabu akan berlaku secara turun temurun yaitu jika ibunya tidak di

kenoto atau nikah adat maka kelak ketika mempunyai anak perempuan anak tersebut

tidak bisa melakukan nikah adat atau kenoto dan hak atas anak tersebut menjadi hak dari

perempuan. Upacara perkawinan suku Sabu sesungguhnya menyimpan maknayang

sangat mendalam, karena dalam upacara perkawinan suku Sabu terdapat didikan dan

terkandung nilai-nilai budaya yang terkandungdidalamnya.

Adapun tahap perkawinan adat Sabu tampak dari beberapa kasus perkawinan sebagai

berikut :

a. Pasangan antara Andi Korengu – Febe Dubu

Setelah ada kesepakatan dari kedua belah pihak di lakukan beberapa tahap untuk

menuju perkawinan adat sabu :

1. Peminangan ( Oro Li)

2. Ihi Kenoto dan Hemata Kenoto ( Musyawarah Masing-masing keluarga)

3. Pemoho Kenoto (Nikah Adat )

4. Nikah Keagamaan

Pelaksanaan perkawinan adat sabu pada tanggal 14 Maret 2016, Febe berasal dari

Mangili kecamatan Pahunga Lodu dan Andy dari Km4- Waingapu, Febe terlahir dari 4

bersaudara dengan Lulusan S.Pd di Universitas Patimura- Ambon sedangkan Andi

Korenguru 7 bersaudara dan merupakan anak pertama dengan lulusan S.Pd Universitas

Wira Wacana Kupang. Adapun uang kenoto yang di sepakati 20juta, setelah menikah

Febe akan tinggal ikut orang tua pihak laki-laki.

a. Pasangan antara Paulus Ndata – Miga Wuki

Setelah kedua pemuda sepakat untuk melangkah lebih jauh yaitu dalam perkawinan adat

sabu maka orang tua kedua belah pihak menindak lanjuti hubungan kedua anaknya.

Langkah –langkah yang dilakukan :

1. Perkenalan / Peminangan

2. Lonye kelaga

3. Ihi kenoto dan hemata kenoto

4. Pemaho kenoto (Nikah Adat)

Pelaksanaan perkawinan adat sabu 27 april 2016 dirumah kediaman Miga huki.

Miga huki berasal dari suku sabu dan bertempat tinggal di Benda, Miga terlahir dari 3

bersaudara dengan lulusan SMA dan Paulus Ndata berasal dari suku sumba dan

bertempat tinggal di desa Kaliuda. Paulus terlahir dari 2 bersaudara dengan lulusan

SMA. Adapun Uang kenoto yang disepakati 10 juta. Setelah nikah adat Miga akan ikut

orang tua pihak laki-laki yang bermata pencarian sebagai petani.

Dari berbagai kasus-kasus perkawinan adat sabu diatas ada perbedaan –perbedaan

mengenai langkah-langkah perkawinan adat sabu. Ada yang dlaksanakan secara

sederhana atau diringkas adapula yang dilaksanakan sesuai dengan urut-urutan

perkawinan. Pada kasus Paulus-Miga tampak sederhana hal ini di karenakan tidak ada

acara nikah keagamaan dan resepsi pernikahan hanya sebatas nikah adat hal ini

kemampuan ekonomi orang tua tidak memungkin untuk dilaksanakan perkawinan secara

besar-besaran.

Menurut pandangan orang sabu/adat perkawinan atau rumah tangga adalah

lembaga yang luhur ciptaaan Deo Ama, suatu perkawinan adat sabu(kenoto ) di amanat

oleh Deo Ama demi kelangsungan hidup manusia, sebuah rumah tangga yang dibangun

dan dikelola sesuai dengan kehendak hukum adat akan menjadi rumah tangga yang

meringi-mengerru-merede. Seperti perkawinan yang lain, perkawinan adat sabu (kenoto)

dapat dilaksanakan secara besar-besaran namun adapula yang dilaksanakan secara

sederhana. Hal ini dikarenakan kemampuan ekonomi setiap orang berbeda. Adapun

langkah-langkah perkawinan adat sabu (kenoto) sebagai berikut :

Tahap Pertama : Kedakku Kelae (Perkenalan)

Anak laki-laki menyampaikan isi hati bahwa ingin berumah tangga. Menanggapi

itu pihak orang tua akan mencari seorang gadis yang memenuhi syarat-syarat.

Sebaliknya, bila anak laki-laki itu menyebut nama gadis pilihannya, maka orang tua akan

menyelidiki apakah gadis itu akan memenuhi syarat-syarat. Bila syarat-syarat dipenuhi,

maka akan diadakan musyawarah keluarga. Sebagai langkah awal setelah kelompok

orang tua menyepakati maksud itu, di tetapkan waktu untuk mengadakan acara

perkenalan. Dalam tahap ini ditentukan siapa juru bicaranya atau mone li. Mone li harus

seorang yang sudah berumah tangga, dan mengenal keluarga perempuan, menguasai adat

perkawinan, pandai menutur silsilah, menguasai tata krama, mahir berbicara bahasa sabu

yang halus. Namun pada zaman sekarang perkenalan sudah langsung dilakukan dengan

tahap peminangan

Tahap kedua : Oro Li ( Peminangan )

Pengutusan beberapa orang ke keluarga perempuan yang dipimpin oleh mone li

untuk tugas Oro Li. Rombongan ini harus berhati-hati dalam tata krama dan tutur kata

terhadap keluarga perempuan, sebab mereka berada dalam posisi (diatas angin) yang

harus sangat dihormati oleh keluarga laki-laki. Hendaknya di hindari kemungkinan salah

kata atau ucap yang menyinggung perasaan keluarga perempuan.

Bingkisan yang harus dibawa adalah sirih pinang, tembakau dan kapur sirih

secukupnya sesuai dengan ketentuan. Sirih pinang harus yang muda ditambah pinang

kering. Bingkisan itu dibungkus dengan sehelai kain, lalu dibungkus lagi dengan kain

sabu, bingkisan mana yang di gendong oleh seorang laki-laki dari rombongan oro li.

Orang tua dari pihak laki-laki memberikan barang berupa, cincin emas, seperangkat

busana wanita, perhiasan, tempat sirih pinang + daun sirih dan buah pinang. Adapun

makna dan maksud benda-benda tersebut adalah :1. Cintin Emas : yang mempunyai

bentuk bulat tidak ada putusnya, makna agar cinta mereka tetap abadi tidak bisa terputus

selama hidup. 2. Seperangkat Busana Wanita : sebagai tanda untuk masing- masing

pengantin saling menyimpan rahasia terhadap orang lain. 3. Perhiasan : mengandung arti

agar pengantin wanita tetap bersinar dan bercahaya serta tidak membuat kecewa. 4.

Tempat sirih pinang : sebagai pengetuk pintu hati 5. Daun Sirih : daunnya berbeda

bentuk dan rupa, tetapi kalau digigit sama rasanya, ini bermakna satu hati.

Bila peminangan diterima, akan dibicarakan tentang waktu puru loko , pemaho

kenoto/ lodo li( nikah adat ). Dalam kesempatan ini dibicarakanjuga tentang ihi kenoto

dan bada welli. Tahap peminangan itulah yang disebut “Ore Lii”. Ore Lii mengandung

arti menanyakan pendirian si gadis yang tentunya tidak terlepas dari pendirian orang tua

(ayah atau ibunya), maka acara peminangan itu sudah dianggap tanda awal satu ikatan

dan di namai Ta Lale La. Artinya batangnya di ikat atau di beri tanda atau ditoreh. Acara

perkenalan itu mengandung arti:

a. Benar-benar perkenalan karena kedua belah pihak saling mengenal

b. Sudah saling mengenal namun dalam jarak yang terbatas kali ini dimaksudkan

perkenalan itu lebih rapat dan akrab.

Tetapi misalkan perempuan sudah jatuh ( hamil duluan) maka sebelum dilakukan

peminangan ada acara pembersihan jati diri perempuan sekaligus permintaaan maaf dari

pihak laki-laki , tahap ini disebut sebagai lonye kelaga ( membersihkan tempat tikar adat)

dengan pihak laki-laki memberi denda adat berupa bada pehuru mea ( hewan penebus

malu hal ini dilakukan agar dalam acara perkawinan adat yang akan berlangsung tidak

haram dan diterima oleh leluhur. Setelah semua sudah selesai di bicarakan oleh pihak

laki-laki tentang niatnya maka pihak laki-laki bersama keluarga inti kembali kerumah

dan membicarakan lagi tindak lanjut ke persiapan puru loko dan pemaho kenoto bersama

keluarga besar dari laki-laki.

Tahap ketiga Ihi Kenoto dan Hemata Kenoto (Musyawarah Keluarga )

1. Ihi Kenoto adalah acara yang dilakukan oleh pihak laki-laki bersama keluarga

besar untuk mengumpulkan biaya atau uang kenoto yang nanti akan diberikan kepada

pihak perempuan. Ihi kenoto ini merupakan sumbangan dari keluarga besar yang

merupakan satu Dara Amu dan clan dari keluarga pihak laki-laki. Setelah semuanya

sudah berkumpul uang biaya persiapan kenoto tersebut di bawa kerumah perempuan

2. Hemata kenoto adalah acara penyambutan biaya kenoto yang akan diberikan

oleh pihak laki-laki, setelah uang biaya kenoto itu diberikan kepada perempuan maka

dibicarakan berbagai persiapan untuk acara puru loko dan nikah adat (pemaho kenoto)

Tahap keempat :Puru Loko

Puru loko adalah acara memandikan calon pengantin selama tiga hari berturut-

turut, sebelum hari perkawinan yang ditetapkan.Dua hari berturut-turut acara mandi

dilakukan dirumah masing-masing pengantin.Pada waktu itu pengantin dilarang bertemu

muka sebelum tiba hari perkawinan.Hati ketiga barulah mereka dipertemukan untuk

acara dimandikan bersama orang tua dan keluara kedua belah pihak, pada zaman dulu

puru loko biasanya dilakukan di sungai. Makna puru loko adalah : Upaya pembersihan

dari lahir (lahir-batin)calon pengantin sehingga benar-benar siap memasuki ambang

pintu rumah tangga baru. Disamping itu juga sebagai pemberian doa restu dari orang tua

dan keluarga kepada calon pengantin dan rumah tangga yang akan mereka memasuki

supaya dapat terwujud kesempurnaan hidup dan kebahagian serta beroleh anak yang

banyak.

Adapun jalannya upacara puru loko sebagai berikut :

a) Pada pagi hari sekitar jam 10.00 pengantin dielu-elukan menuju tempat

permandian sambil bernyanyi dan berdendang yang di sebut ho‟da yaitu menyanyikan

lagu-lagu yang syair-syairnya ada kaitan dengan perkawinan /berumah tangga. Pengantin

laki-laki atau perempuan didampingi 3 orang saksi yang terdiri dari benni ngalai dan

mone ngalai.Mereka yang ditunjuk menjadi saksi harus sudah berumah tangga. Satu jam

kemudian acara mandi selesai, lalu diadakan acara petik kelapa muda pada kebun siapa

saja untuk dimakan bersama. Pada waktu mandi tubuh penganti di lulur dengan

wewangian kelapa kering yang diparut, bubuk kerani, dan bubuk rukunu, bubuk cendana.

b) Pada hari ketiga pengantin berdua dipertemukan di rumah keluarga perempuan

untuk dimandikan oleh ayah-ibu kedua pihak dan para anggota keluarga lainnya. Selesai

dimandikan mereka kembali ke rumah masing-masing untuk dikenakan pakaian

pengantin oleh juru rias pengantin adat sabu.

Tahap kelima : Pemaho Kenoto (Nikah Adat )

Pada waktu yang tentukan pengantin dan kedua keluarga sudah harus siap, maka

pengantin laki-laki dan rombongan keluarga berprosesi menuju kerumah pengantin

perempuan untuk upacara pemaho kenoto.Urut-urutan dalam rombongan itu adalah mone

li, pengantin laki-laki, mone he‟bili kenoto (pembawa kenoto), ayah – ibu pengantin laki-

laki dan kaum kerabat semuanya berpakaian adat sabu.Selanjutnya pihak pengantin

perempuan berserta seluruh kerabat menyamput pihak laki-laki dihalaman rumah oleh

mone li dan disaksikan pula oleh para undangan.

Rombongan pengantin laki-laki akan dipersilakan mengambil tempat duduk yang

sudah disediakan sedangkan mone li, pengantin laki-laki, mone he‟billi kenoto dan saksi-

saksi tetap berdiri. Percakapan adat akan segera berlangsung antara kedua pihak melalui

para mone li masing-masing. Bila percakapan berakhir dengan baik, maka pihak

keluarga perempuan akan bersedia menerima kenoto yang dibawa. Hakekat daripada isi

kenoto adalah suatu ucapan terima kasih keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan

yang telah berkenan memberikan anak perempuannya untuk menjadi istri dari anak laki-

laki mereka. Isi kenoto terdiri dari barang-barang berupa : (1)Setandan pinang wangi

yang masih muda, sirih pinang muda, pinang kering, 9 rangkai pinang muda kering yang

ditusuk pada lidi daun kelapa, tembakau, kapur dan sirih semuanya di bungkus kain sabu.

(2) Sebuah tempat sirih yang berisi sebentuk perhiasan untuk ibu pengantin perempuan,

sebuah amplop berisi uang untuk ayah-ibu pengantin perempuan, sebuah amplop berisi

uang untuk sodara laki-laki dari ibu pengantin perempuan ( make mone ), dan sebuah

amplop uang untuk banni ha‟u kenoto ( perempuan yang membantu ibunya melahirkan).

Besarnya bawaan pihak keluarga laki-laki sudah disepakati pada waktu oro li. Pada

percakapan tentang isi kenoto, pada prinsipnya di serahkan pada tinggi/ rendahnya

kesadaran dan budi pekerti pihak laki-laki akan martabat mereka sendiri dan bagaimana

manifestasi yang pantas pada penghargaan mereka pada keluarga perempuan. Disini

berlaku asas bahwa bila kamu memiliki martabat maka junjunglah martabat orang

setidak-tidaknya sama dengan martabat anda sendiri. Jadi dalam percakapan tentang isi

keonto tidak ada tawar menawar seperti dipasar.Orang sabu biasa sudah mengetahuinya

dengan baik. Setelah penyerahan kenoto, maka isi kenoto akan diumumkan kepada

semua kerabat dan para hadirin pada pesta pernikahan itu. Acara itu di sebut Boka

kenoto. Besar kecilnya bawaan itu akan dinilai oleh hadirin tentang martabat dan

kemampuan menghargai dari keluarga laki-laki. Bilamana isi kenoto dianggap tidak

wajar akan sangat memalukan pihak laki-laki di depan umum. Kadang-kadang bawaan

itu tidak sesuai dengan kesepakatan pada saat oro li atau ketentuan adat, terutama unsur-

unsur yang sudah di sebutkan di atas. Adakalanya jumlah begitu kecil sekali.Sehingga

menimbulkan rasa tersinggung dari pihak keluarga perempuan yang berakibat kenoto

ditolak.Peristiwa penolakan ini jarang sekali terjadi, akan tetapi bilamana hal itu terjadi,

berarti kemungkinan besar kemungkinan itu terancam gagal. Sebab itu pihak keluarga

laki-laki harus sangat berhati-hati.Bilamana belum siap sebagainya acara pemaho kenoto

di tunda saja daripada memaksa diri datang dalam keadaan seperti itu. Mereka harus

benar-benar memahami serta menghayati akan adat dan perasaan hati pihak keluarga

perempuan. Hendaknya dihindari timbulnya kesan pada pihak keluarga perempuan

bahwa martabat mereka di rendahkan. Andai kata kenoto di terima akan lanjutkan

dengan pembicaraan tentang bada welli yaitu mas kawin. Menurut adat, bada welli terdiri

dari kerbau betina dan kuda jantan. Pembicaraan ini kadang-kadang alot sebab meskipun

bukan harga beli terhadap pengantin perempuan akan tetapi ia adalah sebagai ukuran dari

penghargaan pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Sebab itu

berapa jumlah yang disebut pihak perempuan tidak akan ditolak oleh pihak laki-laki.

Tidak boleh ada tawar menawar, jumlah yang disebutkan itu hanya secara simbolis saja

sebagai tanda keterikatan pengantin laki-laki pada pengantin perempuan dan keluarganya

bila ia belum mampu membayarnya. Setelah perkawinan akan diselesaikan seberapa

kemampuan yang ada pada sang suami asal ia mampu menunjukan diri sebagai memantu

yang baik dan tulus hati. Sudah tentu ada standarnya menurut adat yang berlaku,

sehingga pihak perempuan tidak akan menyebutnya sesuka hati sehingga tidak dinilai

serakah oleh khalayak. Perlu dijelaskan bahwa adat sabu tidak melhat bahwa dengan

adanya bawaan dengan penyerahan bada welli itu bukanlah sebagai harga beli dari

istrinya sehingga dengan jalan demikian ia telah menjadi hak milik dari sang suami dan

keluarganya. Orang tua sang istri tetap berhak mengambil kembali anak mereka

bilamana sang suami mencederai janjinya pada waktu pemaho kenoto. Selain itu, mana

kala sang suami meninggal dunia, maka orang tua sang istri juga berhak meminta anak

perempuannya untuk ked‟di ( kembali ke rumah keluarga).

Bilamana semua percakapan sudah selesai dengan baik, maka pengantin laki-laki

dipersilahkan untuk menjemput pengantin perempuan untuk di bawa kepelaminan

supaya dapat dilihat pada hadirin. Setelah kedua pengantin tiba dipelaminan maka

pengantin laki-laki akan mengucapkan janjinya bahwa ia menyayangi istrinya dengan

sebulat/ setulus hatinya menganyomi istrinya dengan sebaik-baiknya, dan akan

menghargai martabat/ hak dan kewenangan haknya sebagai istri.

Setelah ucap janji selesai maka dilanjutkan dengan acara pemahe (melulur) dengan

wewangian. Acara ini diawali oleh pengantin laki-laki kepada istrinya, kemudian dari

sang istri kepada sang suami bagian yang di lulur adalah kaki sampai lulut siku dan

wajah. Akhirnya, paman pengantin perempuan akan mengumumkan bahwa perkawinan

atau rumah tangga baru sudah sah menurut adat sabu. Selesai pengumuman itu diadakan

saling berciuman hidung antar pengantin dengan semua keluarga yang hadir.Acara itu

dilanjutkan dengan pesta makan bersama (pala wawi).

2. Nilai – Nilai Budaya yang Terkandung dalam Perkawinan Adat Sabu

Masyarakat merupakan komunitas yang terdiri dari individu-individu. Aktivitas

yang dilakukan pada komunitas tersebut akan menggambarkan perilaku-perilaku yang

tentunya akan berpengaruh pada nilai-nilai yang hidup pada masyarakat tersebut.

Perilaku-perilaku dalam masyarakat tersebut nantinya yang dapat ditiru dan diambil

sebagai suatu pembelajaran. Sesungguhnya tidak semua yang ada dalam masyarakat itu

dipandang sebagai suatu nilai, akan tetapi ada sesuatu yang dapat ditarik sebagai nilai

pembelajaran.

Nilai juga menggambarkan identitas masyarakat.Sistem nilai juga merupakan

pegangan masyarakat yang dijadikan pedoman untuk bertingkah laku. Nilai-nilai yang

dimiliki oleh masyarakat tersebut akan selalu ditanam dari generasi ke generasi.

Harapan-harapan dari masyarakat adalah nilai tersebut akan selalu terjaga dan tidak akan

luntur dengan masuknya pengaruh dari luar. Hilangnya nilai tersebut dipandang sebagai

hilangnya identitas dari masyarakat itu.Oleh karenanya, masyarakat selalu menjaga baik

sistem nilai tersebut dalam bentuk kebudayaan daerah yang dimiliki. Berkaitan dengan

nilai, upacara perkawinan suku Sabu dalam wujud solidaritasnya dapat diuraikan

beberapa nilai yang dapat dijadikan pedoman.

1. Nilai Religius (Keagamaan)

Dalam perkawinan adat sabu nilai religiousnya tampak dari pada acara peminangan

sebelum acara dimulai atau pada saat pihak laki-laki sudah tiba dirumah pihak

perempuan dan duduk di tikar adat semua rangkaian acara perkawinan adat sabu dimulai

dengan doa yang biasanya di pimpin oleh seorang pendeta dan begitu juga setelah

perkawinan adat dinyatakan sah di tutup dengan doa. Selain itu setelah dilakukan

perkawinan adat akan dilakukan perkawinan gereja untuk di sahkan menurut agama

modern demikian juga dengan pencatatan sipil dilakukan setelah nikah gereja dengan

demikian kedua mempelai sah menurut hukum adat, agama dan Negara.

2. Nilai Musyawarah

Di Indonesia sistem pemerintahannya demokrasi yakni setiap warga negara

Indonesia berhak untuk mengeluarkan pendapatnya.Dalam sistem pemerintahanya juga

ada suatu struktur pemerintahan yang dibuat untuk mengetahui jabatan dan kedudukan

masing-masing.Begitu pula di Sabu dalam kehidupan masyarakat yang demokratis pada

umumnya mempunyai struktur masyarakat, dimana ada dewan-dewan adat sebagai

lembaga pengatur, pengembang, dan penyelamat nilai-nilai adat.Itulah sebabnya terdapat

keseragaman/kesamaan nilai dalam lingkungan geografis yang berbeda.Sebelum

mengambil keputusan masyarakat suku sabu selalu mengedepankan musyawarah antara

keluarga besar.Keluarga besar mengadakan kumpul keluarga lebih dahulu agar

menentukan segala macam perlengkapan di hari perkawinan, tamu undangan, pembuat

tenda-tenda, hingga pembicaraan tentang jalannya prosesi.

3. Nilai Persaudaraan

Persaudaraan dalam masyarakat suku sabu begitu kuat. Dalam kebudayaan

setempat cara yang paling nampak adalah dalam upacara perkawinan. Persaudaraan

masyarakat dibentuk oleh ikatan-ikatan sosial masyarakat suku sabu itu sendiri. Ikatan

persaudaraan dalam masyarakat suku sabu timbul ketika kerabat, suku atau klen

melakukan perkawinan.Rasa persaudaraan pun dipererat dengan rasa kesatuan.Ikatan ini

dapat terbentuk ketika masyarakat atau individu memiliki hubungan darah. Rasa

kesatuan sosial dalam masyarakat suku sabu timbul ketika kerabat, suku atau dari klen

yang menikah. Rasa persaudaraan muncul disebabkan juga oleh kesatuan tunggal daerah.

Walau tidak memiliki hubungan darah, akan tetapi yang menikah tersebut adalah anggota

masyarakat daerah tersebut, maka rasa memiliki pun akan muncul.

4. Nilai Tanggung Jawab

Masyarakat Suku Sabu terus hidup dalam nilai tanggung jawabnya. Tanggung

jawab yang dimaksud di sini adalah belajar untuk mengembalikan barang yang telah

diterima. Barang yang diterima akan wajib dikembalikan, tentunya dengan rasa tanggung

jawab. Selain itu rasa tanggung jawab yang ditunjukan dalam acara perkawinan di suku

sabu biasanya ditunjukan dengan cara ucapan terima kasih dari keluarga kedua

mempelai kepada semua keluarga yang sudah mengambil bagian dalam proses

perkawinan adat sabu , nilai tanggung jawab yang sangat melekat kuat di kalangan suku

sabu adalah dalam hal ucapan terima kasih kepada pihak perempuan yang telah

melepaskan anak perempuan mereka untuk mengikuti suaminya.

5. Nilai Gotong Royong

Pelaksanaan perkawinan adat sabu tidak akan berjalan jika dikerjakan sendiri,

dalam perkawinan suku sabu nilai gotong royong sangat berperan penting dimana

keluarga, klen saling membantu satu dengan yang lain hal ini mennjukan adanya nilai

kerukunan antar keluarga dan masyarakat.

6. Nilai keadilan

Nilai keadilan mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat Sabu, tetapi

sesungguhnya keadilan sudah dijalankan dalam adat sabu. Keadilan dapat diartikan

dengan memberikan seseorang apa yang menjadi haknya, atau bagi sama rata. Penulis

menemukan ini dalam acara pemaho kenoto. Untuk setiap keluarga yang berkaitan

dengan pihak mempelai perempuan mendapatkan haknya ( make mone) yaitu sebuah

amplop yang diberikan oleh pihak laki-laki.

7. Nilai Sopan Santun

Masyarakat suku sabu dalam upacara perkawinan sangat memperhatikan nilai

sopan santun yang tinggi. Nilai sopan santun ini ditunjukan dalam setiap upacara

perkawinan, khususnya pada tahap peminangan karena pada tahap ini biasanya

menggunakan tutur kata yang halus agar apa yang disampaikan diterima dengan baik dan

tidak menyinggung perasaan. Selain itu sopan santun dengan cara menyuguhkan sirih

pinang kepada para tamu maupun keluarga sebagai salah satu alat komunikasi

masyarakat suku sabu. Biasanya di kalangan suku Sabu untuk menjamu para tamu baik

itu di rumah maupun di acara-acara seperti perkawinan. Kesopanan ditandai saat

menyuguhkan tempat sirih yang berisi sirih pinang kepada para tamu undangan dengan

langkah yang pelan seakan-akan penuh irama, serta tubuh yang sedikit membungkuk

ketika menyuguhkan sirih pinang.

8. Nilai Budaya

Budaya memang selalu menyajikan sesuatu yang khas dan unik, karena pada

umumnya budaya merupakan hasil karya manusia yang tanpa disadari menjadi adat

istiadat bahkan menjadi bahkan menjadi suatu peradaban. Hal ini biasanya tercermin

dalam suatu upacara, karena dalam upacara manusia biasanya mengekspresikan apa yang

menjadi kehendak atau pikiran, dengan pikiran dan perbuatan akhirnya menjadi suatu

tradisi. Salah satu budaya yang tercermin saat acara perkawinan ini adalah budaya atau

tradisi makan sirih pinang yang tidak hanya diperuntukkan untuk orang tua atau sesepuh

saja namun bagi anak- anak juga. Dan salah satu budaya yang sangat khas dari suku sabu

yaitu cium hidung, cium hidung dalam perkawinan merupakan tradisi bentuk saling

menghargai dan saling memaafkan.

3. Perbedaan Pelaksanaan Perkawinan Adat Sabu Jaman Dulu dan Jaman

Sekarang

1. Perkawinan adat sabu zaman dulu

1) Pada perkawinan pada zaman dulu seorang laki-laki maupun perempuan yang

cukup umur untuk menikah dijodohkan atau pilihan pasangannya ditentukan

oleh orang tuanya, dan tidak ada kebebasan untuk mencari pasangan hidup

sendiri.

2) Dalam pelaksanan tata cara perkawinan adat sabu pada zaman dulu ada

beberapa tahap yaitu :

Perkenalan (kedakku kelae)

Oro li (Peminangan )

Puru loko ( Permandian)

Puru loko adalah memandikan calon pengantin selama tiga hari berturut-

turut.Sebelum tiba hari perkawinan yang ditetapkan.Dua hari berturut-turut

acara mandi ini di lakukan di rumah asing-masing pengantin.Pada waktu itu

pengantin dilarang bertemu muka sebelum tiba hari perkawinan.Hari ketiga

barulah mereka dipertemukan untuk acara dimandikan bersama oleh orang tua

dan keluarga kedua pihak.puru loko biasanya berlangsung di kali/ sungai

3) Pemaho kenoto ( Nikah Adat ) Zaman dulu isi kenoto cukup sirih pinang dan

mas kawin berupa hewan , Setelah acara pemaho kenoto masih ada acara

memboyong istri ke rumah suami yang biasa dilakukan tiga hari setelah nikah

adat

2. Perkawinan adat sabu jaman sekarang

a. Seiring dengan perkembangan zaman pemuda- pemudi suku sabu lebih suka

memilih pasangannya sendiri tampa ada paksaan dari orang tua, dalam hal ini

pemuda- pemudi suku sabu mempunyai kebebasan dalam pemilihan

pasangannya.

b. Dalam pelaksanaan perkawinan adat sabu zaman sekarang ada beberapa hal

yang berubah dari zaman dulu yaitu :

a) Oro li (Peminangan )

Pada zaman sekarang tahap perkenalan sudah sekaligus bersama dengan tahap

peminangan

b) Puru loko

Pada zaman dulu puru loko biasanya dilakukan di kali/ sungai tetapi zaman

sekarang puru loko hanya di lakukan di rumah dan acara puru loko pada

zaman sekarang tidak terlalu dilaksanakan pada acara perkawinan adat sabu

melainkan setelah tahap peminangan acara langsung dilanjutkan pada tahap

pemaho kenoto ( nikah adat )

b. Setelah acara adat pemaho kenoto selesai biasanya sang istri langsung dibawa

ke rumah perempuan (kenoto anggo dengnge) dan berlangsung acara pe‟jore

donahu nga kebu‟i atau acara saling suap gula sabu campur kacang hijau.

Tidak harus menunggu tiga hari

Berikut ini adalah tabel perbedaan perkawinan adat sabu jaman dahulu dan jaman

sekarang

Aspek Perkawinan Adat Sabu

Jaman Dahulu Jaman sekarang

1. mencari pasangan Laki-laki dan perempuan

dijodohkan atau dicarikan

pasangan orang tua

Laki-laki dan perempuan

bebas memilih pasangan

yang sesuai dengan kata hati

2. Tata cara perkawinan a. Perkenalan

b. Pemingan

c. Puru loko harus

dilaksanakan

d. Pemaho kenoto,

setelah acara pemaho

kenoto masih ada

acara memboyong

istri ke rumah suami

yang dilakukan 3 hari

setelah nikah adat.

Perkenalan sudah sekaligus

dengan peminangan

Puru loko belum tentu

dilaksanakan tergantung

dari kesepakatan keluarga.

Setelah acara kenoto sang

istri langsung di bawa

kerumah suami (kenoto

anggo deng‟nge)

3. Puru loko Puru loko dilaksanakan di

sungai

Puru loko bagi yang masih

melaksanakan dilakukan

dirumah

4. Isi Kenoto Isi kenoto berisi sirih

pinang, kapur yang

dimasukan dalam saku

dan dengan sejumlah

uang yang besarnya sama

dengan ibu perempuan

ketika di belis dulu oleh

bapaknya dan belisnya

juga selain uang masih

ada kuda dan babi yang

sudah ditentukan oleh

kesepakatan pada saat oro

li.

Isi kenoto berisi sirih

pinang, kapur dan uang

yang biasanya lebih besar

dari belis ibunya, isi kenoto

tergantung dari kesepakatan

keluarga pada saat oro li,

jumlah belis juga biasa

ditentukan oleh status

pendidikan perempuan,

semua jumlah isi kenoto

sudah dibicarakan dan

disepakati.

C. Pembahasan

Setiap peristiwa adat pasti memiliki tujuan bagi setiap orang yang

melaksanakannya. Demikian juga dengan pelaksanaan perkawinan adat sabu yang

dilaksanakan oleh masyarakat suku sabu di mangili. Masyarakat suku sabu mempunyai

beberapa patokan atau ukuran dalam memilih calon suami atau istri yang ideal. Ukuran

tersebut adalah bibit, bebet, dan bobot sesuai dengan teori Hilman Hadikusuma (1983 :

23).

Bibit adalah penilaian seorang ditinjau dari dari sudut keturunan. Misalkan

apakah bibit seorang ibu itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat, watak dan

kesehatannya, bagaimana keadaan orang tuannya, apakah orang tua dai calon tersebut

adalah keluarga baik-baik atau tidak, misalkan ayahnya suka penipu, berjudi dan lain-

lain.Bebet adalah penilaian seseorang terhadap pergaulannya artinya dengan siapakah

calon tersebut bergaul, apakah calon tersebut bergaul dengan orang yang baik-baik atau

dengan orang yang mempunyai reputasi kurang baik seperti bergaul dengan peminum,

penjudi dsb.Bobot adalah penilaian terhadap seseorang berdasarkan tinjauan

keduniawian. Misalkan apakah calon pilihan tersebut mempunyai pangkat atau

kedudukan yang tinggi atau rendah, kaya atau miskin, dsb.

Tetapi dalam hal ukuran yang pertama ( bibit ) tidak dapat terpenuhi, masyarakat

suku sabu percaya bahwa bibit atau keturunan yang tidak baik dari orang tua atau

generasi sebelumnya tidak akan diturunkan pada anak yang akan lahir dari pernikahan

itu, jadi sebelum melakukan pernikahan adat sabu dilakukan acara

permandian/penyucian( puru loko ) sebagai tanda pembersihan diri lahir batin bagi calon

pengantin namun sekarang acara puru loko perlahan-lahan sudah mulai dilupakan. Hanya

sebagian orang saja yang masih melakukan acara puru loko ini.

Tujuan perkawinan adat sabu adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup demi

kelangsungan hidup manusia dan untuk memperbesar hubungan kekerabatan. Tujuan ini

sesuai dengan tujuan perkawinan adat menurut Hilman Hadikusuma (1990:23)

perkawinan adat bagi masyarakat hukum adat salah satunya untuk melanjutkan

keturunan dari generasi ke generasi selanjutnya. Di samping itu juga untuk

mempersatukan dua keluarga besar dari pihak pria dan wanita. Jadi perkawinan adat

sabu (kenoto) adalah suatu acara peloko nga‟a dimana laki-laki dan perempuan

menyatakan keseriusan hubungan mereka kepada banyak orang atau kedua keluarga

besar.

Perkawinan adat sabu adalah suatu perkawinan yang harus dilaksanakan oleh

semua masyarakat suku sabu yang dilakukan secara turun temurun sesuai dengan hukum

adat yang berlaku hal ini sesuai dengan teori Ter Haar dalam Tolib setiady (2013 : 225)

perkawinan adat adalah suatu usaha atau suatu peristiwa hukum yang menyebabkan terus

berlangsungnnya golongan dengan tertib dan merupakan suatu syarat terlahirnya

angkatan baru yang meneruskan golongan tersebut. Untuk seorang perempuan suku sabu

perkawinan adat sabu wajib dilaksanakan jika tidak dilaksanakan perkawinan adat sabu

maka suatu ketika kedua mempelai mempunyai anak maka marga atau hak atas anak

tersebut diberikan kepada pihak perempuan karena belum melakukan perkawinan secara

adat dan belum dinyatakan sah secara adat, hal ini sesuai dengan teori Hilman

Hadikusuma (1990:27) suatu perkawinan baru diakui sah oleh anggota masyarakat entah

itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern apabila perkawinan tersebut sah

menurut pandangan mereka.

Makna kenoto dalam perkawinan adat sabu yaitu kesatuan dan persatuan

masyarakat suku sabu yang masih harus tetap ada dan yang diamanatkan oleh deo ama

demi kelangsungan kehidupan masyarakat suku sabu. Dalam masyarakat suku sabu

menganut system kekerabatan patrilineal yaitu masyarakat hukum yang para anggotanya

menarik garis keturunannya keatas melalui garis bapak, bapak dari bapak hingga

seterusnya keatas hingga akhinya dijumpai laki-laki sebagai moyangnya. Isi kenoto

dalam perkawinan adat sabu tidak boleh lebih dari isi kenoto dari ibu perempuan (

jumlah kenoto ibu) hal ini merupakan hukum adat yang berlaku karena ketika hal

tersebut dilanggar maka rumah tangga mereka tidak akan meringi, mengaru dan merede

Dari beberapa contoh perkawinan adat sabu diatas ada dua cara terjadinya

perkawinan adat sabu yaitu perkawinan campuran dari pasangan Paulus – Miga

Huki,sedangkan pasangan Andy – Febe cara terjadinya perkawinan dengan perkawinan

pinang sehingga sesuai dengan suku teori Teer Har(1953:159-164) tentang cara

terjadinya perkawinan.