bab iv metode penelitianeprints.umm.ac.id/46900/5/bab iv.pdftb-mdr, yakni etambutol 36 kelompok yang...
TRANSCRIPT
45
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian true experimental dengan
pendekatan Post Test Control Group Design.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dan pengamatan hasil dilakukan selama 28 hari di Laboratorium
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
(Rattus norvegicus strain wistar).
4.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan adalah tikus putih strain wistar jantan yang sesuai
dengan kriteria inklusi.
4.3.3 Besar Sampel
Terdapat dua kelompok penelitian yaitu kelompok eksperimental dan
kelompok kontrol.
Kelompok 1 : kontrol negatif
Kelompok 2 : kontrol positif (tikus diinduksi OAT etambutol, pirazinamid, dan
levofloksasin).
46
Penentuan besar sampel ditentukan dengan rumus Arifin & Zahirudin
(2017), yaitu :
Jumlah sampel (n) = 10/k +1
Total Sampel (N) = n x k
Keterangan:
k = kelompok perlakuan
n = jumlah anggota per kelompok
Maka:
Jumlah sampel:
n = 10 / 2 + 1
n = 5 + 1
n = 6
Total sampel = 6 x 2 = 12
Jadi, jumlah sampel keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 12 ekor tikus yang mana tiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus.
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel menggunakan sistem purposive sampling.
4.3.5 Karakteristik Sampel Penelitian
4.3.5.1 Kriteria Inklusi
a. Tikus Rattus norvegicus jenis kelamin jantan.
47
b. Umur : 3 – 4 bulan
c. Berat badan : 150 - 200 gram
d. Dalam keadaan sehat yang ditandai dengan gerakan aktif dan bulu yang
tebal berwarna putih serta bermata jernih.
4.3.5.2 Kriteria Eksklusi
a. Tikus yang pernah diberi perlakuan sebelumnya.
4.3.5.3 Kriteria Drop Out
a. Tikus yang sakit selama proses penelitian.
b. Tikus yang mati selama proses penelitian.
4.3.6 Variabel penelitian
4.3.6.1 Variabel Bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah pemberian OAT etambutol,
pirazinamid, dan levofloksasin.
4.3.6.2 Variabel Tergantung
Variabel tergantung penelitian ini adalah gambaran histopatologi sel ginjal.
4.3.6 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Hasil
Ukur
Skala Data
1 Pemberian
obat
etambutol,
pirazinamid,
dan
levofloksasin.
Etambutol (36
mg/hari),
pirazinamid (36
mg/hari), dan
levofloksasin
(18 mg/hari)
adalah regimen
obat anti
tuberkulosis
yang tercantum
dalam panduan
Pemberian obat
sesuai
perhitungan
dosis yang
sudah
dikonversikan
berdasarkan
regimen terapi
TB-MDR,
yakni
Etambutol 36
Kelompok
yang
diberi obat
dan
kelompok
yang tidak
diberi
obat.
Kategorik
(Nominal).
48
pengobatan TB-
MDR dan
diberikan ke
tikus per oral
menggunakan
sonde.
mg/hari,
Pirazinamid 36
mg/hari dan
Levofloksasin
18 mg/hari.
2 Gambaran
histopatologi
ginjal.
Gambaran
histopatologi
ginjal dilakukan
dengan
pewarnaan
Hematoxylin
Eosin,
menggunakan
mikroskop
cahaya
perbesaran 400x
pada 3 pole
ginjal (atas,
tengah, bawah)
dengan
menghitung
jumlah infiltrasi
sel radang pada
setiap pole.
Setiap pole
diambil 2 lapang
pandang.
Mikroskop
cahaya
Jumlah
infiltrasi
sel radang
pada tiap
lapang
pandang.
Numerik
(Rasio).
4.4 Alat dan Bahan Penelitian
4.4.1 Alat Pemeliharaan Tikus
1. Kandang.
2. Penutup kandang dari anyaman kawat.
3. Botol air.
4. Sonde.
5. Neraca dengan ketelitian 0,01 g untuk menimbang berat tikus.
6. Tempat makan tikus.
7. Sekam.
49
8. Pakan Comfeed PARS (BR-1).
4.4.2 Alat Bedah Tikus
1. Alat bedah minor set untuk membedah tikus.
2. Toples kaca.
3. Kapas.
4. Kloroform.
5. Object glass
6. Cover glass
7. Papan bedah.
8. Handscoon.
9. Jarum pentul.
10. Stopwatch.
4.4.3 Bahan Penelitian
1. Hewan coba tikus putih jantan strain wistar umur 3-4 bulan dengan berat
150-200 gram.
2. Etambutol, pirazinamid, dan levofloksasin.
3. Carboxymethyl Cellulose (CMC) 0,5% sebagai pelarut.
4. Makanan tikus standard an minum ad libitum
4.4.4 Alat dan Bahan Pembuatan Sediaan Histopatologi
1. Gelas piala
2. Gelas ukur
3. Object glass
4. Cover glass
5. Kotak lembab
50
6. Mikrotom
7. Mikropipet
8. Mikroskop cahaya yang dilengkapi kamera
9. Sampel organ hewan, larutan Bouin, alkohol, silol, paraffin, 0,9% NaCl
fisiologis, hidrogen peroksida (H2O2), hydrofobic marker, 3,3-
diaminobenzidine (DAB), 0,01 M phosphate buffer saline (PBS) pH 7,4,
medium perekat Entellan dan aquades (Samson & Unitly, 2014).
4.5 Prosedur Penelitian
4.5.1 Proses Adaptasi
Subjek penelitian diadaptasikan di Laboratorium Biomedik Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadyah Malang selama tujuh hari, agar tikus
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Tikus dimasukkan ke kandang
dan diberi pakan Comfeed PARS (BR-1) dan minum.
4.5.2 Pembagian Kelompok Tikus
Tikus yang digunakan sebanyak 12 ekor yang terbagi menjadi 2 kelompok
yaitu satu kelompok kontrol yang hanya diberi makan dan minum standart selama
4 minggu dan satu kelompok perlakuan dengan pemberian etambutol, pirazinamid,
dan levofloksasin. Setiap kelompok terdapat 6 ekor tikus.
4.5.3 Pemberian Etambutol, Pirazinamid, dan Levofloksasin
Perhitungan dosis etambutol, pirazinamid, dan levofloksasin berdasarkan
Tabel 4.2 Penentuan Dosis OAT MDR-TB berdasarkan Kelompok Berat Badan Pasien.
51
OAT Berat Badan (BB)
< 33 kg 33–50 kg 51–70 kg >70 kg
Pirazinamid (Z) 20–30
mg/kg/hari 750–1.500 mg
1.500–1.750
mg
1.750–2.000
mg
Etambutol (E) 20–30
mg/kg/hari 800–1.200 mg
1.200–1.600
mg
1.600–2.000
mg
Levofloksasin
(Lfx)
7,5–10
mg/kg/hari 750 mg 750 mg
750–1.000
mg
Konversi dosis etambutol, prazinamid, dan levofloksasin pada manusia ke
tikus wistar berdasarkan koefisien konversi pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Konversi perhitungan dosis.
Mencit 20 gr Tikus 200 gr Kelinci 1,5 kg Manusia 70 kg
Mencit 20 gr 1.0 7.0 27.8 387.9
Tikus 200 gr 0.14 1.0 3.9 56.0
Kelinci 1,5 kg 0.04 0.25 1.0 14.2
Manusia 70 kg 0.0026 0.018 0.07 1.0
• Pirazinamid
Dosis pada manusia : 1.750 – 2.000 mg
Dosis pada tikus = Dosis pada manusia X koefisien konversi
= 2.000 X 0,018
= 36 mg/kg/hari
• Etambutol
Dosis pada manusia : 1.600 – 2000 mg
Dosis pada tikus = Dosis pada manusia X koefisien konversi
= 2000 X 0,018
(Reviono, Kusnanto P., Eko V., et al., 2014).
(Stevani, Hendra, 2016)
52
= 36 mg/kg/hari
• Levofloksasin
Dosis pada manusia : 750 – 1000 mg
Dosis pada tikus = Dosis pada manusia X koefisien konversi
= 1000 X 0,018
= 18 mg/kg/hari
Perlakuan dengan memberi obat anti tuberkulosis secara oral, etambutol :
36 mg/hari, pirazinamid : 36 mg/hari, dan levofloksasin : 18 mg/hari. Kelompok
pertama dijadikan kelompok kontrol yang hanya diberi pangan dan minum wajar
selama 4 minggu. Kelompok kedua akan diberikan pangan dan minum wajar
ditambah etambutol, pirazinamid, dan levofloksasin per hari secara sonde selama 4
minggu.
4.5.4 Pelaksanaan Terminasi
Setelah dilakukan perlakuan, pada hari ke-29 semua tikus akan diterminasi
dan diambil organ ginjalnya guna dilakukan analisis data secara bertahap.
a. Proses Anastesi
Proses anastesi dilakukan satu persatu terhadap hewan coba yaitu
dengan memasukan hewan coba ke dalam toples kaca yang berisi
kapas yang sudah dicampur dengan kloroform. Anastesi dilakukan
secara inhalasi pada hewan coba dengan dosis eter ± 0,67 ml/hewan
coba selama ± 60 detik yang dihitung dengan menggunakan
stopwatch.
b. Proses Pembedahan
53
Setelah hewan coba teranastesi dengan baik (keadaan pingsan),
hewan coba diletakkan pada meja lilin dan keempat kaki hewan coba
difiksasi terhadap meja lilin dengan menggunakan jarum pentul.
Dengan menggunakan gunting bedah, dilakukan pembedahan pada
abdomen untuk diambil organ ginjal.
c. Pembuatan Sediaan Histopatologi Sel Ginjal
1) Segera setelah hewan mati organ-organ yang akan digunakan
untuk preparat histologis diambil organ ginjal.
2) Kemudian dicuci dengan 0,9% NaCl fisiologis.
3) Lalu dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin (dengan
komposisi asam pikrat jenuh : formalin pro-analisis : asam
asetat glacial = 15:5:1) selama 24 jam.
4) Setelah terfiksasi dilakukan perendaman dengan
menggunakan alkohol 70% selama 24 jam.
5) Dilanjutkan dengan alkohol 80% selama 2 jam.
6) Selanjutnya direndam dalam alkohol 90% selama 20 menit.
7) Tahapan selanjutnya adalah memindahkan ginjal pada xylol
1 dan 2 masing – masing 20 menit.
8) Xylol 3 dapat dilakukan pada suhu 60 – 63˚C selama 20
menit.
9) Selanjutnya ginjal dicelupkan dalam parafin cair pada
wadah.
10) Setelah itu, parafin akan memadat dan ginjal berada dalam
blok parafin.
54
11) Jaringan dalam blok parafin disayat secara serial
menggunakan mikrotom rotary dengan ketebalan 5 μm dan
dilekatkan pada gelas obyek yang telah dilapisi dengan
alkohol 70% atau 0,2% Neofren® dalam toluene.
12) Kemudian disimpan dalam inkubator 400C selama 24 jam.
13) Sediaan kemudian diwarnai secara hematoxylin eosin
(Samson & Unitly, 2014).
d. Pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE)
1) Memilih preparat yang bagus
2) Dilakukan deparafinisasi dalam: larutan xylol I selama 5
menit, larutan xylol II selama 5 menit, etanol absolut selama
1 jam.
3) Hydrasi dalam alkohol 96% selama 2 menit, alkohol 70%
selama 2 menit, air selama 10 menit
4) Pulasan inti dengan hematoksilin selama 15 menit, air
mengalir, eosin selama maksimal 1 menit,
5) Dehidrasi: alkohol 70% selama 2 menit, alkohol 96% selama
2 menit, alkohol absolut 2 menit,
6) Penjernihan: xylol I selama 2 menit, xylol II selama 2 menit;
45
7) Mounting dengan entelan dan tutup dengan cover glass.
e. Pengamatan Hasil
55
Pengamatan sediaan pada 3 pole ginjal (atas, tengah, bawah) dengan
perbesaran 400x pada mikroskop dengan perbesaran bertingkat 10x
kemudian 40x pada lensa obyektif dan 10x perbesaran lensa okuler.
Sasaran yang diamati adalah perubahan abnormal gambaran
histopatologi ginjal yaitu dengan menghitung infiltrasi sel radang
interstitial pada 2 lapang pandang setiap pole.
4.6 Penanganan Hewan Coba Setelah Pembedahan
Hewan coba yang telah dibedah, pastikan bahwa hewan coba tidak
mengalami recovery. Sebelum mengubur hewan coba, dipastikan bahwa denyut
nadi sudah berhenti. Jika hewan coba mengalami recovery maka harus dilakukan
prosedur euthanasia, salah satunya dengan prosedur cervical dislocation, yaitu
dengan cara memisahkan tengkorak dan vertebrae. Teknik ini dilakukan dengan
memberikan tekanan ke bagian posterior dasar tulang tengkorak dan vertebrae. Bila
vertebrae terpisah dari otak, reflek kedip menghilang dengan segera, rangsangan
rasa sakit menghilang sehingga hewan tidak merasakan sakit. Selanjutnya hewan
coba yang sudah dipastikan mati, dikumpulkan menjadi satu lalu dikubur
(Alexandru, 2011).
56
4.7 Alur Penelitian
4.8 Analisis Data
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis terlebih dahulu
dengan uji normalitas dan uji komparatif yang pengolahannya menggunakan SPSS
12.
Adaptasi hewan coba selama 7 hari
Pemberian makan standar dan minum
Kelompok 1
Pemberian Makan standar dan
minum ad libitum selama 4
minggu
Kelompok 2
Pemberian Makan standar dan minum
dan levofloksasin 18 mg/hari,
pirazinamid: 36 mg/hari, dan
etambutol: 36 mg/hari, selama 4
minggu.
Proses penguburan tikus
Pembuatan Sediaan Histopatologi Ginjal
1. Organ yang telah dipotong dicuci dengan 0,9% Nacl
2. Dimasukkan dalam fiksatif Bouin
3. Direndam dengan alkohol 70%, 80%, 90%
4. Memindahkan hepar pada xylol 1, 2, 3
5. Dicelupkan pada parafin
6. Jaringan dalam blok parafin disayat secara serial
7. Disimpan dalam inkubator 400oC
8. Diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE)
Analisis Data
Uji normalitas : Shapiro wilk. Uji
Komparatif: t-test tidak
berpasangan.
57
a. Uji normalitas untuk mengetahui sebaran data normal, yang
diperoleh menggunakan uji Shapiro wilk (data bersifat normal
jika (sig) p > 0,05).
b. Uji Komparatif menggunakan uji t-test tidak berpasangan,
digunakan untuk membuktikan adanya perbedaan yang
bermakna antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok
kontrol positif. Dikatakan ada perbedaan yang bermakna jika
signifikasi (sig) p < 0,05. Jika ternyata sebaran data tidak normal,
maka uji komparatif dapat menggunakan uji Mann Whitney.
4.9 Jadwal Penelitian
No Jenis Kegiatan Bulan
10 11 12 1
1. Pengurusan izin X
2. Persiapan bahan
dan hewan coba X X
3. Adaptasi hewan X
4. Pemberian
perlakuan X X
5. Pengamatan
histopatologi sel
ginjal
X
6. Analisis data X
7. Konsultasi dan
revisi akhir
X