bab iv sejarah hubungan bilateral filipina-amerika...
TRANSCRIPT
35
BAB IV
SEJARAH HUBUNGAN BILATERAL
FILIPINA-AMERIKA SERIKAT
Setiap negara memiliki sejarah dengan dinamika tersendiri yang dapat
menjadi dasar bagi arah perkembangan negara tersebut. Kolonisasi dan penjajahan
misalnya, dapat menjadi faktor pembentuk nasionalisme atau bahkan ideologi
sebuah negara. Republik Filipina merupakan sebuah negara yang selama lebih dari
tiga ratus tahun berada di bawah jajahan bangsa asing, dari Spanyol hingga Amerika
Serikat. Sejak tahun 1898, Filipina beralih dari masa jajahan Spanyol ke AS.
Namun berbeda dengan Spanyol, hubungan Filipina dengan AS memiliki hubungan
bilateral yang menarik pada masa penjajahan bahkan pasca kemerdekaan hingga
saat ini. Meskipun hubungan kedua negara tidak serta merta berjalan mulus, namun
kedua negara juga telah banyak terlibat dalam berbagai kerja sama dan perjanjian
dalam bidang ekonomi & perdagangan maupun politik keamanan. Hal-hal tersebut
akan penulis bahas dalam Bab IV ini.
4.1. Dinamika Hubungan Bilateral Filipina-Amerika Serikat
Meskipun hubungan kedua negara telah terjalin selama lebih dari satu abad,
namun pertentangan dan konflik yang terjadi antara kedua pihak tetap tidak dapat
dihindarkan. Untuk itu, dalam memaparkan dinamika hubungan bilateral kedua
negara, penulis kemudian membaginya dalam empat periode. Periode awal
masuknya AS ke Filipina pada tahun 1898-1902, periode kolonisasi AS terhadap
Filipina pada 1902-1946, periode pasca kemerdekaan Filipina 1936-1986, dan pada
periode 1986-2016.
4.1.1. Periode 1898-1902
Tanggal 10 Desember 1898 merupakan sebuah awal baru bagi Filipina.
Pasalnya pada tanggal tersebut Spanyol menyerahkan Filipina ke tangan AS,
melalui perjanjian yang ditandatangani oleh kedua negara. Sebelumnya kedua
negara berperang di Manila Bay dengan kemenangan AS di bawah komando
36
Laksamana angkatan laut AS, George Dewey. William McKinley yang adalah
presiden Amerika Serikat saat itu memerintahkan militer AS untuk mengambil alih
seluruh wilayah Filipina pasca penandatanganan Perjanjian Perdamaian Paris pada
Desember 1898. Pemerintah AS sadar bahwa kedatangan mereka bisa saja memicu
pertentangan dari masyarakat lokal, untuk itu McKinley melalui tentara AS
meyakinkan masyarakat setempat bahwa kehadiran mereka bukan sebagai musuh
melainkan sebagai kawan. Keberadaan para pendeta dan misionaris juga
mendorong kepercayaan masyarakat Filipina terhadap keberadaan AS di
wilayahnya sebagai kawan. Namun salah satu alasan AS dibalik kedatangannya ke
Filipina adalah keinginan AS untuk mencapai pasar dan sumber daya alam Asia
melalui Filipina (Miller, 1982, hal. 13-25).
Keberadaan AS di Filipina tidak sepenuhnya membawa ketenangan dan
rasa aman bagi warga Filipina. Kemunculan kembali gerakan nasionalis yang
mendukung kemerdekaan nasional Filipina secara otomatis membuat militer AS
secara brutal membalas penolakan warga Filipina terkait proyek kolonisasi
Amerika dengan berbagai kekerasan fisik dan berbagai tekanan. Gerakan nasionalis
di Filipina dipimpin oleh Emilio Aguinaldo. Meskipun Aguinaldo telah ditangkap
oleh tentara AS pada Maret 1901, gerakan penolakan terhadap represi AS di
Filipina terus bangkit khususnya di wilayah Luzon Utara dan Tengah. Bangkitnya
gerakan nasionalis kemudian mendorong semakin besarnya tekanan yang datang
dari tentara AS. Perlawanan yang dilakukan oleh gerakan revolusi atau gerakan
nasionalis di Filipina dimulai pada tahun 1896 di bawah bendera Katipunan1
1 Katipunan merupakan sebutan singkat untuk Kataas-taasang, Kagalang-galangang Katipunan ng̃
mg̃á Anak ng̃ Bayan (KKK) yang merupakan sebuah organisasi yang didirikan di Manila pada tahun
1892, dengan tujuan memperjuangkan kemerdekaan bagi Filipina dari bangsa Spanyol. Emilio
Aguinaldo hadir sebagai presiden Katipunan pada musim semi tahun 1897 pada usia tujuh puluh
tujuh tahun. Gerakan ini menguat ketika pada saat itu 200.000 tentara Spanyol ditahan di Kuba dan
Madrid tidak mampu membayar biaya perang di Filipina. Pihak berwenang Spanyol menawarkan
Aguinaldo sebuah deklarasi perdamaian dan memindahkan kepemimpinan revolusioner ke Hong
Kong dengan memberikan jaminan perdamaian sejumlah uang tunai yang tidak disebutkan
nominalnya. Aguinaldo kemudian menggunakan kesempatan ini untuk membeli senjata yang
kemudian dapat diseludupkan kembali ke pejuang revolusi di Filipina. Aguinaldo kemudian
dikembalikan ke Filipina pada tahun 1898 ketika Spanyol menyerah terhadap AS dan menyerahkan
Filipina (Philippines History, The Katipunan Finally Starts a Revolution, 1 Maret 2017,
http://www.philippine-history.org/katipunan.htm, diakses pada 29 September 2017).
37
dengan beranggotakan sekitar 20.000 orang Filipina yang melakukan
pemberontakan melawan represi koloni Spanyol (Constantino, 1975, hal. 161-163).
Bergantinya rezim Spanyol ke rezim AS membangkitkan kembali gerakan
revolusioner KKK dan menciptakan perlawanan terhadap keberadaan bangsa
Amerika di berbagai wilayah di Filipina. Gerakan perlawanan terhadap AS
dipimpin oleh Emilio Aguinaldo sejak 1 November 1899. Tahun 1899-1902
merupakan periode konflik yang memakan korban sekitar 4.234 tentara AS,
200.000 warga sipil Filipina dan warga yang menjadi anggota kelompok
pemberontak, serta 20.000 tentara Filipina (Shackford, 1990, hal.117-119).
Selama kurang lebih empat tahun sejak masuknya AS ke Filipina hingga
peresmian Filipina sebagai negara koloni AS, ada beberapa peristiwa penting yang
perlu diperhatikan. Penulis kemudian mengurutkan peristiwa-peristiwa tersebut ke
dalam bentuk tabel untuk memaparkan hubungan kedua negara pada masa awal
pendudukan AS di Filipina. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk memahami
dinamika hubungan Filipina-AS pada periode 1898-1902.
Tabel 4.1
Timeline peristiwa penting pendudukan AS di Filipina 1898-1902.
Tanggal Peristiwa
15 Februari 1898 Sebuah ledakan menenggelamkan kapal perang USS
Maine di Pelabuhan Habana, Kuba.
25 April 1898 Amerika Serikat menyatakan perang atas Spanyol.
1 Mei 1898 Pasukan Angkatan Laut AS yang dipimpin oleh
Komodor George Dewey mengalahkan armada Spanyol
di Teluk Manila.
24 Mei 1898 Jenderal Emilio Aguinaldo menciptakan sebuah
pemerintahan sementara di Filipina.
38
12 Juni 1898 Filipina menyatakan kemerdekaan.
30 Juni 1898 Pasukan sukarelawan militer AS tiba di Filipina
12-13 Agustus 1898 Spanyol dan As menandatangani Protocol of Peace yang
berisi ketentuan untuk menciptakan sebuah perjanjian
damai.
Pasukan Spanyol menyerah kepada militer AS di Manila.
4 Februari 1899 Perlawanan kelompok naisionalis Filipina terhadap
pasukan militer AS.
6 Februari 1899 Senat AS meratifikasi Perjanjian Paris.
12 November 1899 Jenderal Guinaldo menyebarkan tentara Filipina dan
menyatakan perang gerilya melawan pasukan AS.
13 Maret 1901 Pasukan AS menangkap Jenderal Guinaldo.
4 Juli 4 1901 AS membangun sebuah pemerintahan sipil di Filipina.
4 Juli 1902 Presiden Theodore Roosevelt menyatakan berakhirnya
perang Filipina-AS.
(Sumber: The Philippine-American War, 2004, hal. 16)
Pada Juli 1902, Presiden Theodore Roosevelt menunjuk Howard Taft
sebagai Gubernur Sipil Filipina setelah Kongres AS menyetujui Undang-Undang
pada 1 Juli 1902 yang memberi Filipina pemerintahan mandiri yang terbatas.
Walaupun masa jabatannya kurang dari lima tahun, namun ada beberapa kebijakan
Taft yang menarik simpati banyak masyarakat Filipina, khususnya dalam bidang
sosial. Taft meresmikan sebuah program besar untuk mengornanisir sekolah dengan
ribuan guru Amerika yang menjadi sukarelawan untuk melayani di Filipina.
Sekolah-sekolah tersebut mengamanatkan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar, dan para siswa kemudian diajarkan budaya AS. Sedangkan misionaris
39
Protestan mengajarkan orang-orang Filipina cara membaca Alkitab dan penafsiran
menurut orang Amerika (Nadeau, 2008, hal. 42-45).
4.1.2. Masa Kolonisasi AS di Filipina (1902-1946)
Setelah resmi menjadikan Filipina sebagai koloninya, AS memperluas
sistem hukum di Filipina dengan menambahkan beberapa undang-undang baru
seperti Civil Marriage Code dan Philippine Bill of 1902 yang mencakup ketentuan
umum untuk: (1) perpanjangan Bill of Rights kepada orang-orang Filipina, kecuali
hak juri di pengadilan; (2) pengangkatan dua komisaris warga Filipina di
Washington, D.C; (3) pembentukan majelis Filipina yang elektif, setelah
proklamasi perdamaian dengan jangka waktu dua tahun; (4) retensi Komisi Filipina
(Philippine Commission) sebagai majelis tinggi, dengan majelis Filipina bertindak
sebagai majelis rendah; dan (5) konservasi sumber daya alam Filipina untuk warga
Filipina. Sesuai dengan instruksi Komisi Filipina untuk mendorong warga Filipina
berperan dalam pemerintahan, pada tahun 1899 Gregorio Araneta diangkat menjadi
hakim pertama Mahkamah Agung dan juga sekertaris keuangan. Pada tahun 1912,
separuh hakim di Mahkamah Agung adalah orang Filipina dan pada tahun 1926,
hanya dua dari 55 hakim di Mahkamah Agung berkebangsaan Amerika (Nadeau,
2008, hal. 54-58).
Filipina mulai berkembang secara politik di bawah Amerika Serikat sejak
1906, pada saat James Francis Smith dilantik menjadi Gubernur Sipil AS di
Filipina. Tahun 1907 merupakan awal kemunculan partai politik Filipina, yakni
Partai Nasionalis (Partido Nacionalista –PN) yang didirikan pada Maret 1907,
disusul keberadaan Partai Progresif (Partido Progresista–PP) atau yang
sebelumnya dikenal dengan sebutan Partai Federalis yang mendukung rezim AS di
Filipina (Shackford, 1990, hal, 121-124).
Pada tahun 1913, ketika Partai Demokrat memenangkan kursi kepresidenan
di Amerika Serikat, kebijakan AS bergeser untuk mendukung kemerdekaan
Filipina. Francis B. Harrison menjadi Gubernur Jenderal yang menjabat sejak tahun
1913-1921. Beliau mendapat kepercayaan dan loyalitas dari masyarakat Filipina
40
atas kebijakan Filipinisasi nya, meskipun ditentang oleh kaum pebisnis AS dan
komunitas tentara AS yang menetap di Filipina. Pada tahun 1916, Jones
menerapkan sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Jones untuk mengatur
dan mengawasi senat yang terpilih. Semua tindakan yang disahkan oleh legislatif
Filipina harus dilaporkan ke Kongres AS yang memiliki kekuasaan untuk
membatalkan dan mengsahkan kebijakan tersebut. Undang-Undang Jones juga
menyediakan sebuah konstitusi dan menyertakan maksud AS untuk mengakui
kemerdekaan Filipina segera setelah pemerintahan yang stabil terbentuk. Namun
pada saat Partai Republik kembali mengambil alih pemerintahan AS, kebijakan
Filipinisasi Harrison dikritik oleh para elit politik. Mereka berpendapat bahwa
kebijakan tersebut secara tidak langsung telah melemahkan rezim koloni di wilayah
Filipina. Pasalnya, ketika Harrison menjabat pada tahun 1913 sebagai Gubernur
Jenderal, ada sekitar 2.680 warga Amerika yang menjabat di semua cabang
pemerintahan koloni di Filipina. Kemudian pada tahun 1919, jumlah tersebut
berkurang menjadi 614 sementara jumlah partisipan Filipina dalam pemerintahan
meningkat dari 6.033 pada tahun 1912 menjadi 12.240 pada akhir masa jabatan
Harrison tahun 1921 (Shackford, 1990, hal. 121-122).
Sejak pergantian pemerintahan dari Gubernur Jenderal Wood (1921-1928)
hingga Theodore Roosevelt Jr. (1932-1933), terjadi eskalasi konflik dan
pertentangan dari masyarakat Filipina yang menuntut kemerdekaan terhadap
pemerintahan koloni. Para pemimpin Filipina mendirikan pusat informasi di
Washington D.C dan Manila untuk menyebarluaskan dan memberi informasi yang
akurat terhadap represi yang ditimbulkan pemerintah koloni (Constantino, 1975,
hal. 316). Pada 24 Maret 1934, Presiden Franklin Roosevelt memberlakukan
Undang-Undang Tydings-McDuffe yang juga dikenal sebagai Undang-Undang
Kemerdekaan Filipina. Masyarakat Filipina menerima Undang-Undang Tydings-
Mcduffe karena merasa bahwa undang-undang tersebut merupakan kompromi
terbaik yang bisa didapatkan dalam situasi saat itu. Setahun setelahnya, Philippines
Commonwealth Constitution dihasilkan dengan salah satu aturan penting mengenai
masa jabatan enam tahun bagi presiden, wakil presiden, dan Majelis Nasional yang
41
saat itu disetujui oleh Presiden Franklin Roosevelt. Pada tanggal 4 November 1941,
Presiden Marcos Quezon, yang sudah menjabat selama enam tahun, terpilih
kembali sebagai Presiden Filipina. Sebelum mendeklarasikan kemerdekaannya
yang ditandai dengan ditandatanganinya Treaty of Manila pada 1946, keadaan
sosial dan politik di Filipina tidak stabil dan mengundang banyak gesekan vertikal
maupun horizontal. Kemerdekaan diraih oleh Filipina pada tanggal 4 Juli 1946
melalui Treaty of Manila dan pada tanggal tersebut dikenal sebagai Philippines
Republic Day dan memutuskan tanggal 12 Juni 1946 sebagai Philippines
Independence Day. Hal ini karena pada tanngal 12 Juni 1946 Pemerintahan Filipina
mendeklarasikan kemerdekaan mereka, meskipun pengakuan resmi dari
pemerintah AS baru dilakukan pada penandatanganan Perjanjian Manila pada
tanggal yang sama dengan peringatan hari kemerdekaan AS, 4 Juli di tahun 1946.
4.1.3. Periode Pasca-Kemerdekaan (1946-1986)
Setelah meraih kemerdekaan pada tahun 1946, Filipina mulai menjalankan
pemerintahannya secara berdaulat. Sebagai negara baru yang independen, tidak
mudah bagi Filipina untuk menjalankan pemerintahannya secara internal maupun
eksternal. Setelah Marcos Quezon meninggal dunia pada Agustus 1944, beliau
digantikan oleh Wakil Presiden Sergio Osmena yang menjabat hingga tahun 1946.
Memasuki periode pasca perang, ada beberapa tantangan dan peluang Republik
Filipina yang dihadapi melalui hubungannya dengan Amerika Serikat. Setelah AS
memberikan kemerdekaan kepada Filipina tahun 1945, sebagian besar infrastruktur
yang dibangun oleh AS di negara tersebut dibongkar. Filipina mengalami masa-
masa sulit diawal kemerdekaannya. Wilayah tempat tinggal masyarakat sipil,
fasilitas sosial seperti sekolah dan rumah sakit, hingga krisis persediaan obat-obatan
dan makanan melanda Manila. Biaya hidup melejit 800 persen lebih tinggi
dibandingkan masa sebelum perang (Perang Dunia II). Namun berselang beberapa
bulan setelah memberikan kemerdekaan bagi Filipina, pemerintah AS kemudian
memberikan bantuan kepada Filipina melalui uang sebesar US$ 71.500.000 yang
merupakan akumulasi dari pajak cukai yang dikumpulkan atas impor minyak
kelapa Filipina serta pemberian pinjaman sebesar US$ 75.000.000 dari United
42
States Reconstruction Finance Corporation pada pertengahan 1946 (Nadeau, 2008,
hal. 68).
Setelah menggantikan Presiden Roxas tahun 1947, pada masa pemerintahan
Quirino, Amerika Serikat kembali memberikan bantuan kepada Filipina melalui
desakan terhadap reformasi di pedesaan. AS mengirimkan penasihat CIA, Kolonel
Edward Lansdale dengan bantuan utama dari United States-Republic of the
Philippines Military Group atau Joint United States Military Advisory Group
(JUSMAG) yang dibentuk pada pertengahan 1950 untuk mengendalikan kampanye
kontra pemberontakan masyarakat sipil terhadap HUKs2. Langkah pertama yang
dilakukan oleh AS dalam kerjasama ini adalah pemberian pinjaman kepada tentara
Filipina berupa uang senilai US$ 10.000.000. Kelompok komunis ini kemudian
berhasil dikalahkan pada Oktober 1950 oleh program Ramon Magsaysay melalui
perubahan besar dalam struktur organisasi Arm Forces of the Philippines (AFP)
dengan melancarkan perang psikologi kepada HUKs. Setelah berhasil
melumpuhkan organisasi komunis yang berkembang sejak awal Perang Dunia II
tersebut, pemerintah Filipina menggunakan kesempatan kekalahan HUKs untuk
menyebarkan banyak kebijakan domestik terkait program-program ekonomi yang
intensif terkhusus pada daerah-daerah pedesaan (Moore, 1971, hal. 46-47).
Pada pemerintahan Presiden selanjutnya, yakni Ramon Magsaysay, Carlos
Garcia dan Diosdado Macapagal, hubungan bilateral antara Filipina dan Amerika
Serikat tidak begitu mengalami konflik dan pertentangan kebijakan, karena
pemerintah di era pasca PD II berfokus pada pengembangan dan pertumbuhan
ekonomi domestik melalui kebijakan yang merakyat dan kebijakan-kebijakan yang
mendorong kesejahteraan sosial. Hubungan kedua negara kemudian mulai lebih
terikat satu sama lain melalui pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos yang
dimulai pada tahun 1965. Program restrukturisasi ekonomi, politik dan
2 HUKs merupakan sebuah kelompok dengan tujuan menolak pendudukan Jepang di Filipina
dengan mengusung kebijakan Land Reform. HUKs merupakan singkatan dari Hukbalahap dalam
bahasa Tagalog atau The Nation’s Army Against the Japanese Soldiers. Namun, alih-alih bubar
setelah hengkangnya Jepang dari Filipina, kelompok ini justru gencar melakukan penyerangan
pemerintahan pusat di Manila. Salah satu alasan utama adalah untuk mengubah ideologi dan
sistem pemerintahan Filipina yang menurut kelompok ini mudah diarahkan oleh AS.
43
militeristiknya menyatu dengan kebijakan luar negeri AS saat itu yang mendukung
pengembangan ekonomi berbasis ekspor dan memperkuat militer untuk memerangi
ancaman komunis. Hubungan baik kedua negara sebagai mitra kerja sama diawali
dengan penandatanganan perjanjian Mutual Defense Treaty pada tahun 1951. Salah
satu bentuk realisasinya terlihat pada masa pemerintahan Presiden Marcos.
Meningkatnya penumpukan pasukan militer AS yang memerangi
komunisme, terutama di Vietnam, pemerintah AS kemudian memanfaatkan
Filipina untuk membangun basis militernya. Subic Naval Base dan Clark Air Base
yang berada di wilayah Filipina bahkan dikenal sebagai basis militer AS terbesar di
dunia masa itu. Pangkalan militer AS di Filipina berfungsi sebagai landasan utama
untuk memfasilitasi perang di Vietnam, sementara komunitas warga Filipina di
sekitar basis militer diubah menjadi kawasan istirahat dan rekreasi bagi tentara AS.
Hal tersebut menciptakan ledakan aktivitas ekonomi di Filipina. Melihat kebutuhan
AS yang besar di wilayahnya, khususnya penggunaan lahan untuk kepentingan
perang, pemerintahan Presiden Marcos kemudian mulai menarik biaya sewa untuk
penggunaan lahan sebagai basis militer dan hal-hal yang berkaitan. Bantuan militer
AS ke Filipina naik dari US$ 18.500.000 pada tahun 1972 menjadi US$ 45.300.000
pada tahun 1973. Tidak hanya biaya sewa untuk lahan yang dijadikan basis militer,
namun juga tentara AS memfasilitasi pelatihan militer dan pengalihan peralatan
militer AS yang sudah tidak lagi digunakan kepada Filipina. Meskipun terlilit kasus
yang memperburuk catatan hak asasi manusia di Filipina pada dekade tersebut,
pemerintahan Marcos tetap menerima bantuan keamanan dari pemerintahan AS
yang baru di bawah Presiden Jimmy Carter (1977-1981) sejumlah US$ 500.000.000
(San Juan, 1993, hal. 4-5).
4.1.4. Corason Aquino-Benigno Aquino III (1986-2016)
Posisi Marcos digantikan oleh Corazon Aquino yang mulai menjabat pada
tahun 1986. Pada kepemimpinan Aquino, kontroversi antara pemerintah Republik
Filipina dan Amerika Serikat mengenai kompleks basis militer AS Subic Naval
Base dan Clark Air Base di Filipina terjadi tepatnya pada tahun 1992. Pangkalan
44
tersebut melayani kepentingan kedua negara secara militer, politik dan bagi
Filipina, dalam aspek ekonomi. Pada tanggal 31 Desember 1991, Presiden Corazon
Aquino memerintahkan untuk menutup kedua pangkalan militer milik AS tersebut.
Perintah Aquino tersebut merupakan hasil dari penolakan Senat Filipina atas
perjanjian basis militer AS di Filpina, yang merupakan upaya perpanjangan dari
Military Bases Agreement 1988. Hal ini sehubungan dengan konstitusi Filipina
yang mengharuskan semua basis asing di tanah Filipina harus dihapus kecuali jika
perjanjian baru disetujui untuk mengizinkan basis militer asing tersebut tetap
tinggal (Divis, 1992, hal. 1, 5-6). Penutupan dua basis terbesar AS di dunia ini
membawa kerugian yang tidak sedikit baik bagi Filipina maupun Amerika Serikat.
Kerugian Filipina dapat dilihat dari sisi ekonomi, keamanan dan sosial. Sedangkan
bagi AS, kerugian terbesar adalah pengaruh politiknya tidak hanya di Filipina
namun juga di Asia Pasifik, mengingat basis militer di Filpina adalah basis militer
terbesar AS di dunia.
Meskipun basis militer AS di Filipina telah ditutup, namun hubungan
bilateral kedua negara yang sempat tegang akibat penutupan pada tahun 1991
tersebut masih terjalin. Filipina nampaknya masih sangat bergantung pada AS
khususnya dalam bantuan militer. Pada tahun 1995, Presiden Fidel Ramos kembali
meminta bantuan AS dan mengundang sejumlah besar tentara AS ke wilayah
Filipina. Hal ini dilatar belakangi oleh respon pemerintah Filipina terkait
pembangunan bangunan-bangunan di Mischief Reef yang terletak di wilayah
sengketa, Kepulauan Spratly. Permintaan bantuan AS didasarkan oleh salah satu
poin dalam perjanjian Mutual Defense Treaty 19513. Sejak tahun 1995, hubungan
kedua negara semakin erat, khususnya dalam bidang militer. Pada tahun 1998,
kedua negara menandatangani Visiting Forces Agreement (VFA) dengan tujuan
untuk memfasilitasi pelatihan militer yang dilakukan oleh tentara AS kepada tentara
Filipina. Kebijakan Presiden Estrada ini dilakukan dalam rangka penghematan
biaya militer akibat krisis yang terjadi tahun 1997-1998. Akibat krisis tersebut,
Filipina dan negara ASEAN lainnya menderita kerugian cukup banyak. Di Filipina,
3 Penjelasan mengenai Mutual Defense Treaty 1951 ada pada halaman 49-51.
45
nilai peso turun dan mengakibatkan banyak bank dan perusahaan bangkrut,
sehingga penghematan dalam berbagai bidang perlu dilakukan pemerintah. Namun,
dibandingkan tetangganya yakni Indonesia dan Thailand, ekonomi Filipina lebih
cepat pulih dari berbagai kerugian akibat krisis moneter dunia saat itu.
Memasuki tahun 2000an, tantangan global menjadi alasan utama kerekatan
antara Filipina dan Amerika Serikat. Serangan kelompok teroris di AS pada tanggal
9 September 2001 merubah fokus kebijakan luar negeri dan dalam negeri AS. Tidak
hanya di AS, terorisme dan gerakan-gerakan serupa juga berkembang di Filipina
melalui pemberontakan kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Sulu.
Kebijakan Bush untuk memerangi terorisme juga berdampak pada kerja sama
kedua negara. Pada tahun 2002, Filipina dan AS menandatangani Mutual Logistic
Support Agreement (MLSA). Di bawah pemerintahan Gloria Macapagal Arroyo,
perjanjian kedua pihak direalisasikan melalui pelatihan militer khususnya teknik-
teknik counter-terrrorism serta penyediaan berbagai bantuan berupa teknologi dan
senjata. Hubungan kedua negara khususnya dalam bidang militer kembali
bersinggungan dengan isu sengketa kepulauan Spratly di Laut China Selatan pada
pemerintahan Presiden Benigno Aquino III tahun 2010. Menanggapi posisi China
terkait pendudukan di wilayah sengketa, pemerintah Filipina memilih tindakan
militer dengan bantuan AS. Kebijakan luar negeri Filipina bersinggungan dengan
kebijakan luar negeri AS yang saat itu berada di bawah rezim Presiden Barack
Obama. Kebijakan pivot to Asia Presiden Obama memberikan Filipina, sebagai
mitra kerja sama tradisional, kesempatan untuk bekerja sama mengatasi sengketa
tersebut. Hingga pada tahun 2014, kedua negara menandatangani Enhanced
Defense Cooperation Agreement (EDCA). Perjanjian ini memperbolehkan AS
untuk mengakses fasilitas militer Filipina serta akses wilayah, izin pemerintah
Filipina untuk membangun kembali basis militer dan mempertimbangkan sebuah
basis militer AS permanen di Filipina (Amador III., et.al, 2015, hal. 3).
46
4.2. Bentuk-bentuk Kerja Sama/Agreements antara Filipina-Amerika Serikat
Pasca meraih kemerdekaan pada tahun 1946, Republik Filipina mulai
menghadapi berbagai tantangan politik baik dalam dan luar negeri yang berdampak
pada aspek penting yakni ekonomi dan keamanan. Sebagai negara yang baru
merdeka, tidak mudah bagi Filipina untuk secara mandiri mengatur dan
melaksanakan pemerintahannya secara domestik maupun berperan aktif dalam
ranah politik internasional. Kondisi politik internasional pasca Perang Dunia II
memaksa negara-negara untuk melindungi kedaulatan dan eksistensinya dalam
politik internasional, begitu juga dengan Filipina. Lama berada di bawah koloni
bangsa Amerika ternyata berpengaruh terhadap arah kebijakan dan politik luar
negeri Filipina pasca kemerdekaan. Berdasarkan fakta bahwa AS adalah salah satu
negara pemenang Perang Dunia II dan kedekatannya dengan Filipina, membawa
keuntungan tersendiri bagi Filipina dalam bidang politik, keamanan dan bahkan
ekonomi & perdagangan. Fokus pemerintah Filipina pasca kemerdekaan bersifat
domestic approaches. Tidak bisa dihindari, sebagai negara yang baru merdeka,
pembangunan dalam bidang ekonomi, menetralisir politik domestik serta
kesejahteraan rakyat merupakan hal-hal krusial yang harus diperjuangkan.
Sebagai salah satu instrumen untuk mewadahi kepentingan domestik
Filipina, pemerintah saat itu mengambil beberapa langkah konkrit dalam bentuk
kerja sama luar negeri. Mitra kerja sama pemerintah saat itu, tidak lain dan tidak
bukan, adalah Amerika Serikat. Alasan utama keterlibatan AS dalam pembangunan
Filipina pasca kemerdekaan adalah perluasan ekspansi negara adidaya tersebut ke
Asia pasca menang dalam Perang Dunia II. Dalam dekade terakhir, Filipina
menjadi negara sebagai penerima bantuan luar negeri terbesar AS di Asia Tenggara
dalam dua bidang utama, yakni keamanan dan perkembangan ekonomi. Berikut
penulis memaparkan jumlah bantuan asing AS dalam bidang keamanan dan
ekonomi pembangunan.
47
Tabel 4.2
Jumlah bantuan luar negeri Amerika Serikat kepada negara-negara di Asia
Tenggara tahun 2007-2017
Negara Bantuan Keamanan Bantuan Perkembangan
Ekonomi
Filipina US$ 527,007,683 US$ 90,925,047
Indonesia US$ 244,686,641 US$ 73,774,522
Vietnam US$ 118,316,977 US$ 53,733,734
Malaysia US$ 104,088,984 US$ 3,549,041
Kamboja US$ 65,712,327 US$ 26,457,387
Myanmar US$ 66,090,236 US$ 21,151,866
Laos US$ 68,209,438 US$ 11,409,967
Thailand US$ 65,349,395 US$ 2,718,798
Singapura US$ 10,798,792 US$ 1,656,477
Brunei
Darusalam US$ 520,351 -
Sumber: https://explorer.usaid.gov/cd
Kebijakan luar negeri Filipina yang diimplementasikan dalam kerangka
kerja sama dengan AS dapat dilihat dalam berbagai bidang. Dalam tulisan ini,
penulis membaginya dalam dua bidang penting yakni, bidang politik dan
keamanan; dan bidang ekonomi dan perdagangan. Meskipun hubungan bilateral
tidak terbatas pada ekonomi dan politik & keamanan, namun penulis hanya
mengangkat dua bidang tersebut. Alasan tersebut karena kedua bidang terkait
merupakan bidang penting yang menjadi fondasi kuat kerja sama bilateral kedua
negara dalam bidang lainnya.
48
4.2.1. Politik dan Keamanan
Kerja sama dalam bidang politik dan keamanan – terutama bidang
keamanan – antara Filipina dan AS bermula dan terus menguat sejak
penandatanganan Mutual Defense Treaty (MDT) pada tahun 1951. Bantuan militer
AS ke Filipina yang terus berkembang bertujuan untuk membantu Filipina untuk
mengalihkan fokus tidak hanya pada keamanan domestik namun juga ancaman dari
pihak luar, terutama dalam bidang maritim. Ada beberapa perjanjian dan kerja sama
militer kedua negara yang dianggap sebagai kerja sama yang bernilai penting baik
dari sudut pandang Filipina maupun AS.
4.2.1.1.Mutual Defense Treaty (MDT) 1951
Ketakutan negara-negara pasca Perang Dunia II adalah pendudukan dan
sengketa wilayah dengan negara lain yang dapat mengancam kedaulatannya.
Mutual Defense Treaty 1951 antara Filipina dan AS diciptakan atas alasan tersebut.
Perjanjian tersebut merupakan fondasi kemanan bilateral, meskipun tidak secara
eksplisit mewajibkan AS untuk membela dan mempertahankan kawasan maritim
yang diperdebatkan oleh Filipina dengan negara lain, meskipun pada awal tahun
1990an beberapa pejabat Filipina dan AS menyarankan agar perjanjian tersebut
mewajibkan AS untuk membela Filipina dari berbagai ancaman luar negeri.
Secara inplisit, perjanjian ini merupakan kesepakatan dasar yang
menekankan komitmen bersama untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan
internasional secara damai, terpisah atau bersama-sama mengembangkan kapasitas
untuk melawan serangan yang mengancam integritas teritorial kedua negara – lebih
khususnya Filipina – dari ancaman serangan di Asia Pasifik. Perjanjian ini
didasarkan pada Piagam PBB, di mana penyelesaian perselisihan atau sengketa
dapat melibatkan pihak lain dengan cara-cara damai sehingga perdamaian
internasional tetap terjaga. Berdasarkan Pasal VIII MDT 1951, perjanjian ini
berlaku tanpa batas waktu, namun salah satu pihak dapat membatalkan perjanjian
ini setelah satu tahun pemberitahuan kepada pihak lain. Konsep kerja sama
49
keamanan yang dibangun oleh perjanjian ini dapat dengan mudah dilihat dari Pasal
II hingga Pasal IV:4
ARTICLE II. In order more effectively to achieve the objective of this
Treaty, the Parties separately and jointly by self-help and mutual aid
will maintain and develop their individual and collective capacity to
resist armed attack.
ARTICLE III. The Parties, through their Foreign Ministers or their
deputies, will consult together from time to time regarding the
implementation of this Treaty and whenever in the opinion of either of
them the territorial integrity, political independence or security of
either of the Parties is threatened by external armed attack in the
Pacific.
ARTICLE IV. Each Party recognizes that an armed attack in the
Pacific area on either of the Parties would be dangerous to its own
peace and safety and declares that it would act to meet the common
dangers in accordance with its constitutional processes.
Perjanjian ini yang kemudian menjadi dasar bagi kedua negara dalam
pembentukan kerja sama dalam bidang pertahanan khususnya penyelesaian dan
bantuan militer dalam sengketa wilayah di Filipina pada tahun 1995 dan 2014, saat
penyelesaian sengketa di Kepulauan Spratly antara Filipina dan China.
4.2.1.2.Military Base Agreement (MBA) 1947
Military Base Agreement 1947 merupakan perjanjian antara Filipina dan AS
terkait keberadaan basis militer AS di wilayah kedaulatan Filipina. Perjanjian ini
ditandatangani di Manila pada tanggal 14 Maret 1947 dan kurang dari dua minggu
setelahnya, tentara AS memasuki wilayah yang menjadi kesepakatan untuk
membangun basis militer AS. Ada dua wilayah terbesar yakni wilayah Subic
sebagai basis angkatan laut, dan Clark sebagai basis angkatan udara. Lokasi Subic
Naval Base berada di garis laut yang strategis dengan Laut China Selatan, Selat
Malaka, Selat Sunda dan Lombok. Dari basis angkatan laut di Subic, armada
4 Official Gazette, Agustus 1951, (http://www.officialgazette.gov.ph/1951/08/30/mutual-defense-
treaty-between-the-republic-of-the-philippines-and-the-united-states-of-america-august-30-1951/)
diakses pada tanggal 10 Oktober 2017 pukul 13.00 WIB.
50
angkatan laut AS dapat memberikan bantuan ke negara-negara sekutu yang
bersedia melakukan perjanjian kerja sama pertahanan laut dengan AS. Sedangkan
Clark Air Base berfungsi sebagai markas angkatan udara yang menyediakan
fasilitas perawatan dan perbaikan pesawat AS yang terbang di Pasifik Barat, serta
berfungsi sebagai pusat logistik utama di Samudra Hindia. Dalam sudut pandang
Amerika, salah satu tujuan basis-basis di Filipina adalah untuk menunjukkan tekad
AS dalam melindungi negara-negara regional di Asia dari agresi luar yang mungkin
terjadi, serta memberi kemudahan dalam pendistribusian dukungan logistik kepada
pasukan AS yang dikerahkan dalam operasi di Asia Tenggara dan Samudra Hindia
(Divis, 1992, hal. 13-15). Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik
keinginan untuk memberikan bagi negara-negara yang membutuhkan bantuan
dalam bidang pertahanan, keberadaan AS di Filipina merupakan pintu gerbang
ekspansi secara militer maupun politik – dalam hal penyebaran ideologi – dan
ekonomi di Asia Tenggara.
Dua basis militer AS di Filipina saat itu diyakini sebagai basis militer
terbesar AS di dunia. Bagi Filipina, basis militer AS membawa beberapa
keuntungan salah satunya, yang sudah di jelaskan pada bagian sebelumnya,
bagaimana basis militer AS di Filipina membawa keuntungan ekonomi yang besar
bagi Filpina. Namun pada tahun 1992, kedua basis militer AS di Filipina harus
ditutup berdasarkan pertimbangan Senat Filipina mengenai keberadaan basis
militer asing di wilayah Filipina. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya memutus
ikatan kerja sama antara kedua negara. Beberapa tahun berselang AS kembali
membantu Filipina dalam sengketa laut dengan China, bantuan tersebut didasarkan
pada Mutual Defense Treaty 1951.
4.2.1.3.Visiting Forces Agreement (VFA) 1998
Memasuki akhir 1990an negara-negara diperhadapkan dengan krisis
ekonomi yang mempengaruhi situasi politik dan keaman domestik. Kebangkitan
gerakan-gerakan separatis di Mindanao membuat pemerintah Filipina mengambil
kebijakan militer untuk menekan perluasan doktrin-doktrin yang disebarkan oleh
51
kelompok MILF yang berkembang menjadi kelompok teror Abu Sayyaf Group
(AFG). Untuk itu pemerintah Filipina, lagi-lagi, bekerja sama dengan AS dalam
Visiting Forces Agreement untuk penyediaan latihan militer. Perjanjian ini
memungkinkan pasukan AS dan Filpina untuk melakukan pelatihan militer
bersama (Albert, 2016, hal. 2). Sebagai bukti nyata, perjanjian ini melahirkan
beberapa pelatihan militer bersama yakni Balikatan, The Joint Special Operations
Task Force–Philippines, dan Cooperation Afloat Readiness and Trainng (CARAT)
and Amphibious Landing Exercise (PHIBLEX):
Balikatan merupakan pelatihan militer gabungan yang paling
komprehensif di antara pelatihan gabungan militer lainnya. Dengan
tujuan untuk mengembangkan kesiapan tempur Filipina, latihan ini
semakin diarahkan untuk membangun kapasitas Filipina untuk
mempertahankan diri dalam sengketa teritori dalam beberapa dekade
terakhir. Pada awal pembentukkan, Balikatan berperan penting dalam
pendistribusian tentara yang tergabung dalam AFP untuk melawan
kelompok teror dan pemberontak di Mindanao. Pada bulan Mei 2014,
Balikatan pertama setelah penandatanganan Enhanced Defense
Cooperation Agreement antara Filipina dan AS diadakan dan
melibatkan 3.000 tentara AFP dan 2.500 tentara AS. Pelatihan dilakukan
di sejumlah wilayah dengan melibatkan manuver angkatan laut, udara
dan darat serta pelatihan dalam bantuan kemanusiaan seperti
penaggulangan korban massal (Lum & Dolven, 2014, hal. 13).
JSOTF-P didirikan pada tahun 2002, saat Presiden Arroyo dan Bush (Jr)
menyetujui pengerahan personil militer AS untuk melatih dan
membantu AFP melawan ASG dan merupakan bagian dari Operation
Enduring Freedom dalam memerangi terorisme. Sesuai dengan
larangan Konstitusi Filipina mengenai pasukan tempur asing yang
beroperasi di dalam negeri dan atas alasan kedaulatan, kedua negara
kemudian bersepakat bahwa pasukan AS hanya akan memainkan peran
bawahan, yang bergerak atas arahan AFP. Operasi yang didasarkan pada
52
upaya counter-terrorism ini berjalan bersama dengan bantuan
pembangunan, dan telah membantu mengurangi jumlah anggota ASG
(Farris, 2009, hal. 29-31). Meskipun dalam beberapa tahun terakhir
aktivitas kelompok ini terus berkembang, namun demikian juga dengan
upaya yang dilakukan oleh pemerintah Filipina melalui AFP di Sulu.
Latihan militer gabungan lainnya adalah CARAT dan PHIBLEX. Pada
bulan Juni 2013, angkatan laut AS dan AFP melibatkan kurang lebih
1.000 tentara dalam latihan gabungan di kawasan Scarborough dan
Second Thomas, yang mana menjadi wilayah sengketa antara Filipina
dengan China. Pelatihan yang direncanakan sejak 2010 baru berjalan
pada tahun 2013 melalui partisipasi sekitar 2.300 marinir Filipina dan
AS (Lum & Dolven, 2014, hal. 15).
4.2.1.4.Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) 2014
Selama kunjungan Presiden Obama, di bawah kepemimpinan Presiden
Benigno Aquino III kedua negara menandatangani Enhanced Defense Cooperation
Agreement pada tahun 2014. Perjanjian ini memungkinkan akses AS yang lebih
besar ke fasilitas militer Filpina, serta peningkatan kerja sama di bidang bantuan
kemanusiaan dan bantuan bencana alam. EDCA juga diharapkan dapat membantu
dan melengkapi modernisasi angkatan bersenjata di Filipina. Hubungan pertahanan
yang ditingkatkan antara Filipina dan AS, serta merta mengundang keinginan
negara Asia Tenggara lainnya untuk bekerja sama dengan AS. Hal ini merupakan
respon dari pergeseran lingkungan geopolitik di kawasan ini. Vietnam dan AS
misalnya telah secara resmi mengumumkan kerjasama pertahanan pada Juni 2015,
sementara Singapura menyambut baik penggunaan wilayah lautnya sebagai
wilayah rotasi US Navy Pasific Fleet (Amador III, et.al., 2015, hal.3).
4.2.2. Ekonomi dan Perdagangan
Secara ekonomi, kerja sama kedua negara – sebagai negara berdaulat – telah
berlangsung pasca kemerdekaan Filipina. Pada bagian sebelumnya, penulis telah
53
memaparkan bantuan-bantuan AS yang berupa bantuan dana kepada Filipina.
Seiring berjalannya waktu, sebagai negara yang berdaulat, Filipina sudah mampu
menentukan arah kebijakan luar negerinya terutama tekait kerja sama dengan
Filipina. Selain bantuan-bantuan finansial yang diberikan AS kepada Filipina, ada
dua kerangka kerja sama dan perjanjian penting kedua negara dalam bidang
ekonomi khususnya perdagangan. Bantuan finansial yang difasilitasi oleh AS
hampir dirasakan masyarakat Filipina pada setiap masa kepemimpinan di negara
yang saat ini dipimpin oleh Duterte tersebut. Kerja sama perdagangan tersebut
adalah Bell Trade Act dan Trade and Invvesment Framework Agreement (TIFA).
4.2.2.1.Bell Trade Act 1946
Bell Trade Act yang juga dikenal dengan Philippine Trade Act 1946
merupakan undang-undang yang disahkan oleh Kongres AS yang mencakup
ketentuan-ketentuan yang mengikat ekonomi Filipina dengan Amerika Serikat.
Merdekanya Filipina pada tahun 1946, membuat perekonomian negara ini tidak
dapat dihindari dari kehancuran oleh Perang Dunia II. Bell Act menetapkan kuota
atas ekspor Filipina ke AS, mematok harga peso Filipina ke dolar AS pada
perbandingan 2:1, dan memberikan perdagangan bebas antara kedua negara selama
delapan tahun, diikuti dengan penerapan tarif secara bertahap untuk 20 tahun
kedepan dengan tarif 5%.5 Bell Trade Act juga mewajibkan Konstitusi Filipina di
revisi untuk menyediakan akses yang setara kepada warga AS di Filipina terhadap
sumber daya alam yang ada di negara tersebut serta memperbolehkan AS untuk
mengimpor berbagai produk dari Filipina tanpa pajak import. Namun setelah
banyak menuai protes dari kelompok nasionalis Filipina, Bell Act kemudian
digantikan dengan Laurel-Langley Agreement yang bertujuan untuk mengontrol
nilai tukar peso, memperpenjang kuota impor gula, dan memperpanjang jangka
waktu pengurangan kuota lainnya dan secara progresif menerapkan biaya untuk
barang-barang Filipina yang diekspor ke AS (Nadeau, 2008, hal. 68-69).
5 Encyclopedia Britannica. Bell Trade Act 1946 (https://www.britannica.com/event/Bell-Trade-
Act) diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 15.00 WIB.
54
4.2.2.2.Trade and Invvesment Framework Agreement (TIFA) 1989
TIFA merupakan kerangka kerja sama ekonomi bilateral yang disetujui
Filipina dan AS di tahun 1989. Melalui perjanjian ini kedua negara sepakat untuk
bekerja sama dan mendorong perdagangan bebas, adil, dan seimbang antara kedua
negara, termasuk penghapusan hambatan perdagangan dan merangsang
peningkatan perdagangan. Di bawah TIFA, kedua negara juga menandatangani
kesepakatan tentang protokol jaminan bea cukai dan perdagangan (2010), kerja
sama untuk menghentikan pengiriman tekstil dan pakaian jadi yang ilegal (2006),
penerapan komitmen akses minimum oleh Filipina (1998). Selama dekade terakhir,
perdagangan dua arah antara Filipina dan AS tumbuh lebih dari 25%. Pada tahun
2016, ekspor AS ke Filipina meningkat 9% menjadi US$ 8.3 miliar, dengan
kategori ekspor teratas seperti mesin listrik, mesin, sereal, pesawat terbang, dan
tepung kedelai. Layanan ekspor AS ke Filipina meningkat lebih dari 60% sejak
2006 dan sekarang berjumlah US$ 2,5 miliar. Pada tahun 2016, Filipina merupakan
pasar ekspor barang terbesar ke-31 AS. Sementara investasi langsung luar negeri
(Foreign Direct Investment/FDI) AS di Filipina adalah US$ 4.7 miliar pada tahun
2015 dan investasi Filipina di AS sejumlah US$1,2 miliar tahun 2015.6
Untuk mempermudah pembaca memahami bentuk kerja sama antara
Filipina dan Amerika Serikat hingga pemerintahan Benigno Aquino III –
pemerintahan sebelum Duterte – maka penulis merangkumnya dalam bentuk tabel
di bawah ini.
6 Office of the United States Trade Representative (https://ustr.gov/countries-regions/southeast-
asia-pacific/philippines) diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 15.30 WIB.
55
Tabel 4.3
Bentuk-bentuk kerja sama antara Filipina dan Amerika Serikat (1946-2015)
Tahun Presiden Filipina Presiden Amerika Serikat Bidang Penguatan Kerja Sama
1946 Sergio Osmena
Harry Truman
Ekonomi
1947 Manuel Roxas Militer dan Keamanan
1950-1951 Elpidio Quirino Militer dan Keamanan
1953 Ramon Magsaysay
Pembangunan pasca PD II 1957 Carlos Garcia Dwight Eisenhower
1961 Diosdado Macapagal
1965 Ferdinand Marcos
Lyndon Johnson Militer dan Keamanan
1972-1973 Jimmy Carter
1989 Corazon Aquino Ronald Reagan Ekonomi
1995 Fidel Ramos Bill Clinton
Militer dan Keamanan
1998 Joseph Estrada Militer dan Keamanan
2002 Gloria Macapagal-
Arroyo Geoge Bush Jr. Militer dan Keamanan
2014 Benigno Aquino III Barrack Obama Militer dan Keamanan
Selama lebih dari seratus tahun hubungan antara Filipina dan Amerika
Serikat mengalami dinamika. Pasca merdeka dari kolonisasi bangsa AS pada tahun
1946, hubungan kedua negara semakin berkembang ke arah kerja sama bilateral
antara negara berdaulat. Setiap kepemimpinan presiden Filipina mengusung
kebijakan yang berbeda atas hubungan bilateral dengan Amerika Serikat. Namun
selama kurang lebih 70 tahun pasca kemerdekaan Filipina, hubungan kedua negara
terjalin dengan baik melalui kerja sama di bidang pertahanan dan keamanan,
ekonomi dan perdagangan, dan berbagai bantuan di bidang sosial. Penulis melihat
bahwa hubungan bilateral Filipina dan AS juga memiliki sifat ketergantungan.
Filipina bergantung pada AS dalam bidang keamanan, ekonomi, dan bantuan-
bantuan sosial, sedangkan AS bergantung pada Filipina untuk menyebarkan
pengaruh politik AS di Asia Pasifik.
56
Namun berbeda dengan kepemimpinan Presiden Duterte yang dimulai pada
tahun 2016. Beliau melihat bahwa ketergantungan Filipina terhadap AS selama 70
tahun sebagai negara yang merdeka bukanlah hal yang harus dipertahankan.
Berbeda dengan kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya yang mendekatkan
diri dengan AS melalui berbagai kerja sama bilateral, pada tahun 2016 Duterte
memilih untuk mengurangi pengaruh dan ketergantungan Filipina kepada Amerika
Serikat.