bab iva-research.upi.edu/operator/upload/s_geo_0603191_chapter4(1).pdf · sistem klasifikasi...
TRANSCRIPT
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian
1. Letak, Luas dan Jarak
Letak suatu fenomena alam atau gejala geografis yang selalu berkaitan erat
dengan segala aktifitas manusia dalam mengelola dan memanfaat kan sumberdaya
alam dimana sangat erat berkaitan dengan lokasi atau wilayah .“Lokasi akan
memberikan penjelasan lebih jauh tentang tenpat atau daerah yang bersangkutan”
(sumaatmadja ,1988). Daerah yang bersangkutan dalam penelitian ini adalah
Kecamatan Plumbon (perhatikan gambar 4.1). Kecamatan Plumbon merupakan
bagian dari wilayah Kabupaten Cirebon dan secara astonomis berpada pada kordinat
6"42'39.28" S dan 108"28'36.21" T. Secara administratif kecamatan Plumbon
memiliki 15 desa yaitu Desa Cempaka, Pamijahan, Lurah, Marikangen, Bodelor,
Bodesari, Gombang, Karangmulya, Pasanggrahan, Kedungsana, Danamulya. Luas
wilayahnya adalah 18.36 km². Secara geografis kecamatan Plumbon berbatasan
dengan :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Klangenan.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Depok.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sumber
52
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Weru.
Jarak pusat pemerintahan kecamatan dengan desa terjauh adalah 3 km yaitu desa
Bodesari, Bodelor, Marikangen dengan waktu tempuh sekitar 0.4 jam. Penulis hanya
mengambil sampel wilayah di Desa Bodesari dan Desa Marikangen. Perhatikan
gambar 4.2.
a. Desa Bodesari
Desa Bodesari merupakan desa pecahan dari desa Bodelor. Luas desa ini
berkisar 1.28 km Secara astronomis desa Bodesari berada di 6"42'52.56" LS dan
108"29'15.15" BT, Dan secara geografis desa Bodesari adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tegalsari
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tegalwangi dan Desa Bodelor.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Karangsari.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Marikangen dan Desa Gombang.
Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan dengan pemerintah desa adalah 3km,
ditempuh dengan waktu 0.4 jam. Sedangkan jarak pemerintah kabupaten dengan
pemerintah desa adalah 6km, dengan waktu tempuh 0.5 jam. Berdasarkan letaknya,
desa Bodesari merupakan desa yang dilalui oleh jalan tol, sehingga akses menuju
desa ini sangat mudah dan lancar. Untuk lebih jelasnya, lihat pada gambar 4.3 (peta
administratif).
53
b. Desa Marikangen
Desa Marikangen merupakan salah satu desa di Kecamatan Plumbon yang
menjadi sentra industri rotan, dengan luas wilayahnya adalah 1.08 km. Secara
astroomis desa Marikangen terletak di 6"43'25.91" LS dan 108"28'46.84" BT.
Sedangkan letak geografis untuk desa Marikangen adalah sebagi berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gombang
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bodesari
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pamijahan
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Purbawinangun dan Desa Lurah.
Jarak pusat pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa 5 km. Apabila di tempuh
dengan kendaraan bermotor sekitar 0.25 jam. Desa Marikangen memiliki 7 Rw dan
22 RT. Untuk lebih jelasnya, lihat pada gambar 4.4 (peta administratif).
2. Iklim
Menurut Rafi’I (1995:2) Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata yang meliputi
daerah yang luas dalam jangka waktu yang cukup lama antara 10-30 tahun. Kondisi
iklim di suatu tempat dapat berpengaruh terhadap berbagai aktivitas manusia yang
berada di tempat tersebut. Disamping itu iklim juga sangat berpengaruh terhadap
penempatan suatu industri, seperti yang dikemukakan oleh Djamari (1995:39) sebagai
berikut :
“Pengaruh iklim terhadap industri, terutama terlihat pada industri-industri yang mengolah hasil-hasil pertanian yang sangat dipengaruhi oleh iklim.
54
Selain itu juga bagi industri-industri yang memerlukan sinar matahari, seperti industri krupuk, perlu ditempatkan di tempat yang relative kering. Slain itu industri yang mengeluarkan asap yang mengandung racun atau pengotoran udara perlu juga memperhatikan arah angin yang tetap.”
Adapun faktor-faktor terpenting dalam iklim untuk kehidupan didunia adalah
temperature, curah hujan, penguapan dan penyinaran (Johara T Jayadinata, 1985:45).
Ada banyak cara untuk menentukan tipe iklim suatu daerah. Diantaranya adalah
sistem klasifikasi Koppen, Thornwhite, Schmidt-Ferguson(SF), Junghun, Mohr.
Sistem klasifikasi iklim dalam peenlitian ini adalah menurut Junghun. Untuk melihat
iklim di kawasan industri menurut Junghun, dapat kita lihat kriteria seperti yang
tercantum dalam tabel 41 dibawah ini :
Tabel 4.1 Pembagian Iklim Menurut Junghun
Ketinggian Tempat (mdpl) Kelas Iklim Temperatur
0 - 700 Panas 30° – 26° C 700 – 1500 Sedang sejuk 28° 230° C 1500 -2500 Sejuk 18° C 2500 - 3300 Dingin 20° – 15° C Diatas 3300 Dingin bersalju -
Sumber : Suryatna Rifai’I, 1995
Dengan melihat kriteria diatas dan berdasarkan data monografi, suhu udara di
kawasan industri rotan termasuk iklim tropic (panas) dengan temperature udara rata-
rata 36° – 37° C. Dengan temperature udara yang demikian, menyebabkan
ketidaknyamanan bagi para pengrajin rotan. Karena kegiatan industri rotan,
membutuhkan kondisi cuaca yang sejuk bukan panas. Sehingga hal ini menjadi
55
kendala bagi pengusaha rotan apda umumnya. Sedangkan untuk curah hujan di
Kecamatan Plumbon termasuk didalamnya adalah desa Bodesari dan desa
Marikangen setiap bulannya bervariasi yaitu 110 mm sampai dengan 603 mm,
sehingga rata-rata pertahunnya berkisar 204.67 mm. Selain industri rotan, aktivitas
ekonomi yang sekarang ini sedang berlangsung diantaranya kegiatan di bidang
pertanian dan perdagangan.
3. Penggunaan Lahan
Dalam memebuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat sering memanfaatkan
lahan. Menurut Arsyad (1989: 207) bahwa “penggunaan lahan adalah suatu bentuk
campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual”. Penggunaan lahan sangat
penting dan diperlukan bagi penduduk, tidak hanya untuk kegiatan ekonomi saja
sebagai tempat tinggal penduduk itu sendiri. Namun akibat perkembangan jaman dan
kurangnya pemberdayaan manusia, terkadang pemanfaatan lahan ini tidak sesuai
dengan asas-asas etika lingkungan. Seperti yang terjadi di lapangan.
56
Tabel 4.2 Penggunaan Lahan Desa Bodesari
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) % 1. 2. 3.
Sawah irigasi teknis Tanah Kering Lain-lain
65,0 62,829 62.83
34.09 32.95 32.95
Jumlah 190.659 100 Sumber : Kec. Plumbon Dalam Angka.2009
Berdasarkan data dari UPTD Pertanian Kecamatan Plumbon, luas tanah
sawah secara keseluruhan di Kecamatan Plumbon adalah 763,346 ha, yang terdiri
dari 720,046 ha adalah tanah sawah dengan pengairan irigasi dan sisanya 43,3 ha
adalah sawah tadah hujan. Sedangkan untuk desa Bodesari (lihat pada tabel 4.2 dan
grafik 4.1) dan desa Marikangen (lihat pada tabel 4.3 dan grafik 4. 2). Berikut ini :
Grafik 4.1 Penggunaan Lahan Desa Bodesari
Sumber : Hasil Perhitungan.2010
Berdasarkan grafik 4.1 diatas, kurang dari setengahnya lahan dimanfaatkan
untuk sawah irigasi teknis yaitu sebesar 34 %, kemudian kurang dari setengah lahan
adalah tanah kering dan sisanya adalah lain-lain. Dalam monografi desa tidak
57
disebutkan dengan jelas lahan untuk kegiatan perindustrian khususnya industri rotan,
hal ini disebabkan pengelolaan industri tersebut dilaksanakan di rumah-rumah
pemilik usaha industri, sehingga tidak membutuhkan lahan terpisah. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan gambar 4.5 (peta penggunaan lahan).
Tabel 4.3 Penggunaan Lahan Desa Marikangen
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) % 1. 2. 3.
Tanah Sawah Tanah Kering Pekarangan
4,5 75.725 75.73
2.9 48.5 48.5
Jumlah 155.955 100 Sumber : Kec. Plumbon Dalam Angka.2009
Berdasarkan tabel dan grafik diatas, menerangkan bahwa lahan yang banyak
dimanfaatkan adalah pekarang yakni kurang dari setengahnya sebesar 49 % begitu
pula tanah kering sebanyak 48 %, sisanya adalah sebagian kecil untuk tanah sawah
sebesar 3 %. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pabrik di areal lahan persawahan.
Artinya bahwa lahan yang sekarang menjadi pabrik, dahulu merupakan lahan
persawahan. Walaupun kenyatannya warga memiliki keterampilan di kedua bidang
tersebut. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 4.6 (peta penggunaan lahan).
58
Grafik 4.2 Penggunaan Lahan Desa Marikangen
Sumber : Hasil Perhitungan.2010
4. Kondisi Air
Salah satu bagian dari bumi adalah hidrosfer yang meliputi lapisan air
terdapat di permukaan bumi (air permukan) maupun di dalam bumi (air tanah), yang
berada di laut dan daratan bumi. Hidrologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang
hidrosfer. Air merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Begitu juga bagi
keberlangsungan hidup industri rotan. Karema air dapat berfungsi sebagai bahan
pendingin, pencuci dan pencampur dalam proses produksi dalam produk industri
rotan. Pada umumnya, kondisi air di Kecamatan Plumbon sudah keruh dan berwarna
kecoklatan, hal ini disebabkan karena sungai tersebut berfungsi sebagai pembuangan
limbah industri, seperti air bekas pencucuian. Namun limbah kayu yang dihasilkan
industri rotan, tidak ada yang dibuang ke sungai, karena sebagian besarnya limbah
59
tersebut dibakar di lahan kosong. Ketersedian air bersih di Desa Bodesari dan Desa
Marikangen, cukup memadai. Karena air yang digunakan pengrajin rotan untuk
kebutuhan sehari-hari adalah air yang berasal dari PDAM dan air sumur pompa.
B. Kondisi Sosial Daerah Penelitian
1. Jumlah Penduduk, Sex Ratio dan Kepadatan Penduduk
Perubahan tatanan hidup masyarakat yang berpola agraris ke industri,
mendorong teknologi yang semakin maju. Industri dianggap dapat membuka
lapangan pekerjaan bagi tenaga yang mengganggur. Hal ini mendukung asumsi
bahwa dimana ada penduduk, maka terdapat kegiatan ekonomi. Sehingga penduduk
dianggap sebagai salah satu aset pembangunan yang dominan pada umumnya.
Besarnya jumlah penduduk yang akan membawa implikasi tertentu, terutama
terhadap persebarannya dan densitas atau tingkat kepadatan.
Menurut data profil desa Bodesari dan desa Marikangen, jumlah penduduk
dan kepadatannya adalah sebagai beikut :
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk T ahun 2009
No. Desa/Kelurahan L P Total 1 Bodesari 3147 3349 6496 2 Marikangen 4440 4060 8500
Jumlah 7587 7409 14.969 Sumber : Profil Kecamatan Plumbon, 2009
Adapun, untuk lebih mengetahui sex ratio dan kepadatan penduduknya dari masing-
masing desa adalah sebagai berikut :
60
a. Desa Bodesari
Berdasarkan data monografi tahun 2009, penduduk Desa Bodesari yang
berjumlah 6496 jiwa terdiri atas 3147 jiwa laki-laki dan 3349 jiwa perempuan. Dari
jumlah tersebut, dapat dihitung keadaan sex ratio di desa ini. Dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
Dimana : PW = Jumlah Penduduk Wanita
PL = Jumlah Penduduk Laki-Laki
100 = Nisbah
= 93.97
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, menunjukan bahwa sex ratio di Desa ini
seimbnag. Artinya dari 100 orang laki-laki terdapat 100 orang perempuan. Adapun
untuk mengetahui angka kepadatan penduduk Desa Bodesari, yaitu depat diperoleh
dari hasil perhitungan yakni perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas
wilayah. Jumlah penduduk Desa Bodesari pada tahun 2009 berkisar 6469 jiwa, dan
luas wilayahnya adalah 1,28 km². Apabila dianalogikan dalam rumus adalah sebagai
berikut :
61
Jika dilihat dari hasil perhitungan kepadatan penduduk Desa Bodesari
tergolong tidak dapat. Hal ini sesuai dengan kriteria / pengelompokan kepadatan
penduduk suatu wilayah menurut UU No. 56/1960, menjadi :
1. 1 – 50 jiwa/km² = Tidak padat
2. 51 – 250 jiwa/km² = Kurang padat
3. 251 – 400 jiwa/km² = Cukup padat
4. > 400 jiwa/km² = Sangat padat
Kondisi diatas juga, menunjukan bahwa kepadatan penduduk kasar Desa Bodesari
pada tahun 2009 adalah 50.539 jiwa/km² artinya setiap satu kilometer terdapat 51
jiwa.
b. Desa Marikangen
Dalam data monografi tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Desa
Marikangen yaitu 8500 jiwa yang terdiri atas 4440 jiwa laki-laki dan 4060 jiwa
perempuan. Dengan jumlah dan luas tersebut, dapat diketahui keadaan sex ratio nya
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Dimana : PW = Jumlah Penduduk Wanita
62
PL = Jumlah Penduduk Laki-laki
100 = Nisbah
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka diperoleh sex ratio di Desa
Marikangen adalah 109,36 berarti terdapat 109 orang laki-laki diantara 100 orang
perempuan. Dengan demikian jumlah laki-laki di Desa Marikangen lebih banyak dari
jumlah perempuannya. Adapun untuk mengetahui angka kepadatan penduduk kasar
Desa Marikangen, dimana diketahui jumlah penduduk Desa Marikangen pada tahun
2009 sebanyak 8500 jiwa dengan luas wilayahnya 1,08 km². Untuk lebih jelasnya
berikut analoginya :
Jika silihat dari hasil perhitungan diatas, diperoleh hasil sebesar 78.703 jiwa/km².
Kondisi tersebut memeberikan gamabaran bahwa Desa Marikangen tergolong kurang
padat.
2. Komposisi Penduduk
Industri rotan yang berada di Kecamatan Plumbon, banyak menyerap tenaga
kerja. Baik sebagai perkerja di pabrik, atau sebagai pengrajin Home Industry. Untuk
63
mengetahui usia produktif dari tenaga kerja terlebih dahulu harus melihat komposisi
penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin. Komposisi penduduk merupakan
penggolongan penduduk berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, mata
pencaharian, agama, ras dan lain-lain. Untuk mengetahui gambaran susunan
penduduk, lebih jelasnya dibuat pengelompokan penduduk menurut karakteristik
yang sama. Berikut, komposisi penduduk Desa Bodesari dan Desa Marikangen :
a. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia
Sebuah perencanaan pembangunan, apabila tidak didukung dengan sumber
daya manusia, tentunya tidak akan berjalan komposisi penduduk menurut usia sangat
penting untuk diketahui karena ada hubungannya dengan berbagai perencanaan,
seperti sarana perkonomian, sarana pendidikan, lapangan pekerjaan serta
berhubungan juga dengan produktivitas kerja. Seperti yang diutarakan diatas, bahwa
untuk mengetahui usia produktif dan non produktif terlebih dahulu harus melihat
komposisi penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin. Usia produktif disini, adalah
usia produktif pengrajin dan pekerja pabrik rotan. Satu kenyataan bahwa usia dan
jenis kelamin akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi dan tingkah laku
demografi suatu masyarakat. Adapun komposisi penduduk berdasarkan usia di
Kecamatan Plumbon dapat dilihat pada tabel 4.5 dan grafik 4.3. Seperti uraian yang
dijelaskan diatas, bahwa komposisi penduduk berdasarkan usia ini, dapat diketahui
pula keberadaan penduduk produktif dan non produktifnya. Adapun ciri-ciri
64
penduduk produktif dan non produktif menurut Mantra (1984:44) adalah sebagai
berikut :
“kelompok penduduk umur 0-14 tahun dianggap sebagai kelompok yang
belum produktif secara ekonomis, kelompok penduduk umur 15-64 tahun
sebagai kelompok penduduk yang produktif dan kelompok umur 65 tahun
ketas sebagai yang tidak produktif lagi.”
Tabel 4.5
Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia
Usia (Tahun)
Desa Bodesari Desa Marikangen Jumlah % Jumlah %
0 – 4 5 – 6 7 – 12 13 – 15 16 – 21 22 – 59
+60
435 197 676 522 783 3507 364
6.7 3.0 10.4 8.1 12.1 54.1 5.6
588 203 896 424 732 5193 459
6.9 2.4 10.5 4.9 8.6 61.1 5.4
Jumlah 6484 100 8495 100 Sumber : Kecamatan Cirebon Dalam Angka Tahun 2009
65
Grafik 4.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia
Sumber : Hasil Perhitungan.2010
Dengan adanya batasan diatas, kita dapat menghitung besarnya angka ketergantungan
atau dependency ratio, yaitu suatu angka yang menyatakan perbandingan antara
banyaknya penduduk yang tidak produktif (dibawah usia 15 tahun dan usia 65 keatas)
dengan penduduk yang produktif (usia 15-64 tahun). Perhitungan ini dimaksudkan
untuk menghitung angka ketergantungan suatu daerah, dimana semakin rendah angka
ketergantungan suatu daerah maka semakin makmur daerah tersebut, dan sebaliknya
jika angka ketergantungan tinggi dengan demikian daerah tersebut banyak terdapat
penduduk miskin.
Berdasarkan data pada tabel 4.5, terdapat jumlah penduduk Desa Bodesari
yang paling banyak berada pada usia 22-59 yakni sebanyak 3.507 jiwa dan jumlah
penduduk yang paling sedikit berada pada usia 5-6 tahun yakni sekitar 197 jiwa.
66
Sedangkan untuk kelompok penduduk usia non produktif Desa Bodesari sebanyak
2.194 jiwa. Dan kelompok penduduk usia produktifnya sebanyak 4.290 jiwa.
Tidak jauh berbeda dengan Desa Bodesari, untuk jumlah penduduk
berdasarkan usia di Desa Marikangen, yang paling banyak berada pada usia 22-59
yakni sebanyak 5.193 jiwa dan jumlah penduduk berdasarkan usia yang paling sedikit
berada pada usia 5-6, yakni sekitar 203 jiwa. Sedangkan untuk kelompok penduduk
usia non produktif Desa Marikangen sebanyak 2.111 jiwa. Dan untuk kelompok
penduduk usia produktifnya sebanyak 6.384 jiwa. Adapun untuk menghitung angka
ketergantungan penduduk, di Desa Bodesari dan Desa Marikangen, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
A = 45,59
Dari perhitungan diatas, maka diperoleh angka ketergantungan penduduk
Desa Bodesari sebesar 46 (pembulatan dari 45,59). Dimana bahwa setiap100
penduduk produktif harus menanggung beban 46 orang penduduk yang non
produktif. Sama halnya dengan Desa Bodesari, untuk menghitung angka
ketergantungan penduduk di Desa Marikangen, dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
67
A = 37.75
Maka angka ketergantungan penduduk Desa Marikangen sebesar 38 (pembulatan dari
37,75). Artinya setiap 100 penduduk usia produktif akan menanggung 38 orang
penduduk yang non produktif.
Dengan demikian, terbukti bahwa usia produktif untuk bekerja sebagai
pengrajin rotan adalah kelompok usia 15-64 tahun. Dimana kelompok usia ini, tidak
terbatas pada satu perkerjaan saja, misalnya dalam satu produksi, dikerjakan oleh
kelompok perangka, penganyam, dalam finishing. Karena tidak ada persyaratan
khusus, untuk menjadi seorang pengrajin rotan, asalkan dia punya keahlian, kemauan
dan kerja keras untuk pengembangan industri rotan di Kecamatan Plumbon.
b. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Selain usia dan jenis kelamin, pengolongan komposisi penduduk berikutnya
adalah berdasarkan mata pencaharian. Berkenaan dengan mata pencaharian,
terkandung suatu pengertian sebagaimana yang dijelaskan oleh Idrus (1984:21)
bahwa mata pencaharian “usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari dengan jalan bekerja untuk memperoleh suatu hasil sehingga diharapkan dapat
terpebuhinya sebagian atau seluruh kebutuhan hidup secara layak”.
68
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa tujuan utama manusia bermata
pencaharian adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. mata pencaharian
penduduk suatu wilayah dapat berpengaruh terhadap daya beli. penduduk yang
memiliki daya beli tinggi akan mengakibatkan mobilitas ekonomi yang tinggi pula.
Adapun komposisi penduduk menurut mata pencaharian, dapat dilihat pada tabel 4.6
berikut ini :
Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata
Pencaharian
Desa Bodesari Desa Marikangen
Jumlah % Jumlah %
Petani
Pedagang
Pengusaha
Pengrajin
Buruh
PNS
ABRI
Pensiunan
143
101
-
17
191
64
2
3
27,4
19,4
-
3,4
36,7
12,3
0,4
0,6
164
13
22
20
354
61
7
6
25,3
2,0
3,4
3,1
54,7
9,4
1,1
0,9
Jumlah 521 100 647 100
Sumber : Monografi Kecamatan Plumbon, 2008
69
Grafik 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Sumber : Hasil Perhitungan.2010 Berdasarkan tabel 4.6 diatas, Kecamatan Plumbon dalam studi Desa Bodesari
dan Desa Marikangen, mata pencaharian penduduknya cukup bervariasi, mulai dari
sektor pertanian, perdagangan, industri, dan PNS. Jika dilihat dari komposisi
penduduk berdasarkan mata pencahariannya, mata pencaharian penduduk yang
mendominasi adalah sebagai buruh kurang dari setengahnya sebesar 36,7 % untuk
Desa Bodesari dan lebih dari setengahnya sebesar 54,7 % untuk Desa Marikangen.
Buruh disini terdiri dari buruh industri dan pengrajin rotan. Banyaknya lahan
pertanian, yang berubah menjadi pabrik. Membuat mata pencaharian di Desa
Bodesari dan Desa Marikangen berubah, yang tadinya sebagai buruh tani berubah
menjadi buruh pabrik rotan dan pengrajin rotan.
70
C. Industri Rotan di Desa Bodesari dan Desa Marikangen Kecamatan
Plumbon.
1. Sejarah dan Perkembangan Industri Rotan
Salah satu asumsi yang dikemukakan oleh Teori Walter Christaller bahwa
“Beberapa tempat sentral menawarkan berbagai fungsi disebut pusat pelayanan
tinggi. Yang menawarkan lebih sedikit fungsi disebut pelayanan rendah”. Jadi
menurut teori di atas bahwa tempat tertentu yang lokasinya sentral (lokasi industri)
merupakan tempat yang memungkinkan untuk partisipasi manusia yang berjumlah
maksimum, baik bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas industri maupun yang
menjadi konsumen barang – barang dan jasa yang dihasilkan. Asumsi ini mendukung
dan sejajar dengan pertumbuhan industri rotan yang ada ditempat lokasi penelitian.
Penentuan suatu lokasi industri rotan di Kecamatan Plumbon, pada umumnya merupakan
wilayah yang seragam, dekat sumberdaya atau bahan mentah, upah buruh yang relatif
murah, jalur transportasi yang mempermudah arus perpindahan barang dan jasa. Jalur
transportasi disini adalah Kecamatan Plumbon merupakan jalur perlintasan tol Plumbon-
Kanci, selain itu juga merupakan jalur pantai utara (PANTURA). Sehingga memudahkan
dalam proses aksesbilitasnya.
Menurut sejarah perkembangan industri rotan di Kabupaten Cirebon. Dimulai
sejak abad XIV, dimana pada saat itu Cirebon sebagai satu-satunya pelabuhan yang
terdapat di Jawa Barat. Menurut manuskrip Purwaka Caruban Nagari. Pada abad XIV
di pantai laut Jawa, sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati merupakan cikal
bakal menjadi pelabuhan dagang antara VOC dan para pedagang Cina ketika itu.
71
Ketika itu perdagangan rempah-rempah menjadi _ocal utama dari pelabuhan Cirebon
tersebut. Namun seiring dengan akulturasi budaya yang terjadi ketika itu maka
mulailah masyarakat diperkenalkan dengan keranjang-keranjang yang terbuat dari
rotan serta kerajinan lain yang sifatnya masih sederhana.
Pada awalnya, jauh sebelum industri berkembang seperti sekarang masyarakat
yang dahulu menggantungkan hidupnya pada sektor agraris. Kemudian setelah terjadi
transisi, dimana masyarakat akan mengalami proses peralihan dari masyarakat
tradisional menjadi masyarakat modern. Hal ini dikarenakan, kebutuhan akan barang
dana jasa semakin meningkat. Sehingga masyarakat harus pintar dalam
memanfaatkan dan mengolah bahan mentah. Demikian pula dengan Kabupaten
Cirebon yang mempunyai industri primadona yaitu barang galian bukan logam dan
industri rotan. Dengan melihat hasil ekspor non migas yang dimiliki oleh Kabupaten
Cirebon selain batik, benang tenun serta perikanan (udang beku).
Cirebon sebagai pelabuhan dagang pada waktu jaman VOC. Memiliki peran
yang berarti hingga sekarang. Karena sebagai pintu masuk bahan baku rotan Sentra
industri rotan berada di Bekasi, Cirebon, Solo, Pasuruan dan Bali. Sementara yang
paling banyak pengrajinnya berada di kabuapten Cirebon, dimana masyarakat
Cirebon telah mengenal kerajinan rotan dengan jenis dan produksi barang-barang
anyaman yang masih sederhana seperti keranjang dan mebel.Pada tahun 1965-an,
rotan diperkenalkan oleh masyarakat Desa Tegalwangi rotan, Salah satu tokoh yang
merupakan pencetus dan orang pertama pengrajin rotan bernama Samaun. Selain
72
pembuatannya yang masih sederhana, pemasaran hasil produksi rotan masih sangat
terbatas pada daerah-daerah tertentu. tidak hanya di Desa Tegalawangi, masyarakat
yang berada disekitarnya pun, ikut mengolah rotan ini, hingga menjadi barang-barang
mebel dan keranjang, hal ini terjadi di tahun 1970.
Kemudian pada tahun 1975, industri ini berkembang dengan jenis produksi
yang lebih bervariatif dan inovatif namun prosesnya masih mengandalkan sistem
manual dan belum menggunakan mesin. Hingga tahun 1978, UPT Rotan didirikan di
Desa Tegalwangi Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon. Semenjak UPT ini berdiri
terjadi pengembangan disain produk dan perbaikan proses produksi furnitur rotan
dengan sasaran pasar lokal dan internasional. Baru pada tahun 1982, proses produksi
barang jadi rotan sudah mengandalkan tenaga mesih hingga finishing. Bahan baku
yang diperoleh pada saat itu berupa seuti, seel (sejenis rotan lokal khas Cirebon).
Keterampilan dalam pembuatan kerjianan rotan, diperoleh masyarakat dari warisan
turun-menururn, dan terkadang belajar secara otodidak. Hingga pada akhirnya IKM
mulai dapat melakukan ekspor (1985).
Semenjak kerajinan rotan berubah bentuk menjadi industri dan mulai
dikomersilkan. Seiring dengan perkembangan pasar barang jadi maka kebutuhan
rotan sebagai bahan baku telah disuplay dari luar daerah termasuk dari luar Jawa.
Persedian bahan baku ini, membuat pmerintah mengeluarkan kebijakan, yaitu
kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan (1987). Hal ini dapat memepermudah
IKM memperoleh bahan baku dan Harga bahan baku dalam negeri turun. Sehingga
73
memaksa PMA (penanaman modal asing) masuk di Cirebon dan terjadi persaingan
antar IKM rotan (1996). Kondisi seperti ini berlangsung hingga tahun 1999 dan pada
akhirnya kran ekspor bahan baku rotan dibuka, sehingga menyebabkan harga bahan
baku membaik. Di tahun 2004, kebijakan baru muncul yaitu kebijakan larangan
ekspor bahan baku rotan. Akibat kebijakan ini, volume ekspor turun, harga bahan
baku turun, dan terjadi gejolak di daerah penghasil bahan baku. Tahun 2005, kran
ekspor bahan baku rotan dibuka. Hal ini tidak memberikan perubahan, justru
berdampak pada kelangkaan bahan baku, hingga volume ekspor kembali menurun,
dan gejolak meningkat dikalangan penghasil dan pengolahan bahan baku.
2. Karakteristik Industri Rotan di Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon.
Hasil produksi kerajinan rotan, pada awalnya, terutama untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat desa Tegalwangi. Kemudian kebutuhan suatu industri
kerajinan rotan sekarang ini ternyata semakin hari semakin meningkat dengan cepat,
dalam memenuhi jumlah pembeli lokal maupun non lokal. Hal ini, meunjukan
eksistensi masyarakat pengrajin rotan terhadap industri kerajian rotan sampai
sekarang. Pada kesempatan ini, penulis mengambil sampel di Kecamatan Plumbon,
dimana memiliki 15 desa yang bergerak di sektor industri rotan. Dari ke-15 desa
tersebut, tedapat 2 desa yang menjadi sampel penelitian. Desa tersebut adalah Desa
Bodesari dan Desa Marikangen.
74
Semenjak kerajinan rotan diperkenalkan oleh masyrakat Desa tegalwangi,
masyarakat Desa Bodesari dan Desa Marikangen pun ikut mengolah kerajinan rotan
ini. Karena industri kerajinan rotan ini termasuk salah satu industri yang
dikategorikan ke dalam industri yang mengolah hasil alam. Dengan kondisi topografi
di setiap desa yang relatif datar, lahan yang cukup luas, dan aksesibilitas yang relatif
baik. Membuat industri kerajianan rotan berkembang dengan pesat di kedua
desa ini.
Tabel 4.7 Perusahaan Industri Rotan di Desa Bodesari
No. Nama
Perusahaan/Pengusaha Tenaga Kerja Keterangan
1 CV. Pesona Rotan Nusantara 75 Aktif 2 CV. Aida Rattan Industri 70 Aktif 3 CV. Cakra Buana Jaya 65 Aktif 4 CV. Felladhiva Furniture 60 Pasif 5 CV. Indogrand - Pasif 6 CV. Putra Harapan Jaya 40 Aktif 7 PT. Dwipamas Internatioal - Pasif 8 CV. Visindo Rattanesia - Pasif 9 CV. Indoteak Tridaya - Pasif 10 CV.Canary Furniture - Pasif 11 CV. Gandasari Rattan - Pasif 12 PT. Citra Rotan Mandiri - Pasif 13 CV. Cantik Rattan 50 Aktif
Sumber : Data Perusahaan dan Tenaga Kerja Kec. Plumbon dan
Hasil Penelitian, 2010
Sampai saat ini, terhitung sejak sebelum tahun 2005 ada beberapa perusahaan rotan
yang masih bertahan hingga sekarang (sesudah tahun 2005). Adapun perusahaan
rotan tersebut, dapat dilihat pada tabel 4.7 dan tabel 4.8. Berdasarkan hasil penelitian,
75
dapat dilihat beberapa perusahan yang pasif artinya tidak terdapat kegiatan industri,
terjadi penurunan volume produksi, banyak tenaga kerja yang di PHK. Akibatnya,
gedung yang semula terawat. Kini tidak berfungsi lagi, dan menjadi pemandangan di
antara areal persawahan, hal ini terjadi di Desa Bodesari. Keberadaan perusahaan
rotan ini, dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung yang menjadi karakteristik
industri rotan di Kecamatan Plumbon, diantaranya adalah
Tabel 4.8 Perusahaan Industri Rotan di Desa Marikangen
No. Nama
Perusahaan/Pengusaha Tenaga Kerja Keterangan
1 CV. Indonesia Consept 80 Aktif 2 CV. Wiker Kane Industri 95 Aktif 3 CV. Imaeda Jatindo 200 Aktif 4 CV. Prima Jaya 75 Aktif 5 CV. Anggun Rotan 60 Aktif 6 CV. Jaka Rotan 57 Aktif 7 PT. Bines Jaya 150 Aktif 8 CV. Deco Craft Indonesia - Pasif 9 CV. Aksen 47 Aktif 10 CV. Mustika Mandiri - Pasif 11 CV. Cakra Buana - Pasif 12 CV. Dipta Hikarjaya - Pasif 13 CV. Chandra Rotan - Pasif
Sumber : Data Perusahaan dan Tenaga Kerja Kec. Plumbon
a. Bahan Baku
Dalam kegiatan ekonomi, khususnya pada sektor industri, bahan baku atau
bahan mentah merupakan salah satu faktor pendukung yang penting sebagai sumber
daya alam. Bahan baku untuk kegiatan industri rotan yang digunakan adalah rotan
yang masih panjang dan belum diolah menjadi barang setengah jadi atau rotan asalan.
Di Indonesia, tanaman rotan hanya tumbuh di hutan-hutan rimba yang lebat dan
76
beriklim tropis. Kebanyakan hutan tempat rotan ini tumbuh adalah hutan-hutan alam
yang belum pernah dijamah oleh manusia. Untuk tumbuh dengan baik, tanaman rotan
memerlukan tempat yang teduh dan berudara lembab. Oleh sebab itu, di hutan-hutan
yang beriklim kering seperti hutan-hutan di Jawa Timur jarang sekali dijumpai
tanaman rotan.
Pada awal berdirinya industri kerajinan rotan ini, berasal dari penduduk
setempat yaitu itu berupa seuti, seel (sejenis rotan lokal khas Cirebon). Namun, saat
ini rotan lokal tersebut, tidak dipergunakan lagi oleh para pengrajin. Karena semakin
baik mutu rotan tersebut, semakin baik pula kerajinan yang akan dihasilkan. Sehingga
pada akhirnya, pengrajin harus memperolehnya dari luar daerah. Adapun cara
memperoleh bahan baku berdasarkan 7 responden pengusaha rotan yang ada di Desa
Bodesari dan Desa Marikangen, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel 4.9. Cara
memperoleh bahan baku, yang dilakukan pengrajin berdasarakan tabel 4.9, lebih dari
setengahnya (71,43 %) membeli dari luar daerah. Kemudian sebagian kecil Hal ini,
dikarenakan kualitas rotan yang bagus dan jenisnya beragam. Adapun bahan baku
yang dipasok dari laur daerah ini berasal dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Jakarta
dan Surabaya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 4.10. Dan gambar 4.9.
77
Tabel 4.9 Cara Memperoleh Bahan Baku
Cara Memperoleh Bahan Baku F %
1. Membeli dari penduduk setempat
2. Membeli dari luar daerah. 3. Langsung mengambil
dari alam.
2 5 -
28,57 %
71,43 %
Jumlah 7 100 Sumber : Hasil penelitian, 2010
Tabel 4.10 Asal Bahan Baku
Asal Bahan Baku F % 1. Kalimantan 2. Sulawesi 3. Sumatra 4. Jakarta, Surabaya
3 2 1
42,86 % 28,57 %
14,29 %
Jumlah 7 100 Sumber : Hasil Penelitian, 2010
Berdasarkan tabel diatas, bahan baku rotan yang diperoleh dari 7 responden,
kurang dari setengahnya (42,86%) berasal dari Kalimantan, kemudian sebesar (28,57
%) berasal dari Sulawesi, sebagian kecil (14,29 %) berasal dari Jakarta dan Surabaya.
Rotan-rotan ini, masuk melalui pelabuhan Cirebon. Kemudian para pemasok bahan
baku atau depot bahan baku, mengolahnya menjadi batang rotan yang siap pakai.
Adapun batang rotan yang siap pakai ini sangat kasar, sehingga terlebih dahulu
direndam dari air dingin agar batangnya lemas dan mudah dikupas. Dengan
78
menggunakan alat yang masih tradisional, rotan ini dikupas agar terpisah dari
kulitnya. Jenis-jenis rotan yang banyak digunakan adalah sebagai berikut :
1. Rotan Batangan, digunakan untuk Rangka dan Siku
2. Core ( diameter 5 mm – 16 mm ) rotan batangan dengan diamter kecil.
Digunakan untuk Jari-jari
3. Pitrit (diameter 1 mm – 5 mm ) berasal dari rotan batangan yang diolah
menjadi berdiameter kecil. Digunakan untuk anyaman meubel dan keranjang
4. Lasio/Ikatan,berasal dari sayatan kulit luar rotan batangan digunakan untuk
ikatan
Anatomi rotan selain batangnya, kulitnya yang sudah kering, juga dapat
dipergunakan sebagai pengikat antara potongan batang-batang rotan yang sudah
dibentuk dan menjadi rangka dasar pembuatan mebel. Bahan baku rotan ini, apabila
dijual dipasaran saat ini (sesudah tahun 2005) mencapai Rp. 11.500 – Rp. 15.000 per
kilogram untuk jenis rotan dengan kualitas “AB”. Pada awalnya (sebelum tahun
2005), bahan baku rotan hanya Rp. 5000 per kilogram. Rata-rata tiap tahunnya, bahan
baku yang digunakan berkisar lebih dari 3000/kgs. Lihat pada tabel 4.11
Saat ini, bahan baku rotan sulit didapat. Dalam arti, hanya bahan baku rotan
yang kualitasnya jelek saja yang tersisanya. Karena sebagaian besar, bahan baku
rotan yang berkualitas bagus, di ekspor ke luar negri, seperti Jepang, Cina. Kejadian
seperti ini, sedikit banyak dipengaruhi dari segi politisi yang berkembang pada saat
itu, yakni di tahun 2005. Akibat bahan baku yang langka, membuat pengrajin
79
kesulitan. Sehingga, pengrajin mengambil jalan inisiatif untuk menggunakan bahan
baku campuran, seperti eceng gondok dan plastik. Adanya perubahan ini, berdampak
pada pendapatan yang diperoleh setiap pemngrajin (lihat halaman 93). Adapun jenis
rotan yang banyak digunakan dan diperdagangan ke luar negri.
1. Rotan Taman/Rotan Sega/Rotan Poei (Calamus Caesius Bl)
2. Rotan Irit/Rotan Jahab/Rotan Jahab Pelari (Calamus Trachycileus Becc).
3. Rotan Tohiti/Rotan Tahiti (Calamus Inop Becc).
4. Rotan Semambu/Rotan Lolo/Rotan Buyung/Rotan Kertas (Calamus
Spicionum Becc).
5. Rotan Manau/Rotan Maoring (calamus Manau Riq).
6. Rotan Koobo (Frayeinetia Javanensis).
Tabel 4.11 Realisasi Bahan Baku yang Digunakan
di Kecamatan Plumbon tiap Tahun
Tahun Volume (Kgs) 2004 4.295 2005 4.134 2006 4.004 2007 3.980 2008 4.212 2009 3.557
Sumber : Asmindo, 2010
80
Grafik 4.5
Timgkat Volume Bahan Baku
Sumber : Asmindo, 2010
b. Kualitas Tenaga Kerja
Faktor pendukung kegiatan industri yang kedua adalah sumber daya manusia
(tenaga kerja). Sama halnya dengan bahan baku, tenaga kerja juga merupakan faktor
manusia yang penting dalam kegiatan industri, dimana yang akan menjalankan mesin,
menangani bahan, dan mengatur jalannya produksi. Berdirinya industri, di suatu
daerah akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Namun,
penyerapan tenaga kerja juga tergantung dari kualitas tenaga kerja itu sendiri. Karena
berkaitan dengan nilai produksi, yang dihasilkan dari suatu pabrik atau perusahaan
industri. Kualitas tenaga kerja ini, salah satunya ditunjang oleh tingkat pendidikan
yang dibutuhkan dan keterampilan yang dikuasai. Karena dalam industri rotan, baik
itu dari mulai pengrajin, hingga karyawan setingkat menajer, harus disesuaikan
81
berdasarkan keterampilan yang dimiliki. Walaupun pada dasarnya, sebagian besar
pengrajin tamatan sekolah dasar, tetapi karyawan pabrik lebih kepada orang yang
memiliki skill (keterampilan) sesuai dengan bidang yang dibutuhkan. Adapun untuk
lebih jelasanya, perhatikan tabel 4.12, sebagai berikut :
Tabel 4.12 Pendidikan Terakhir
Pendidikan Desa Bodesari Desa Marikangen F % F %
SD - - - SMP - - - SMA 3 42,86 2 28,58
Perguruan Tinggi 4 57,14 5 71,43 Jumlah 7 100 7 100
Sumber : Hasil Penelitian, 2010
Menurut tabel 4.12, diketahui tingkat pendidikan terakhir pengusaha Desa Bodesari
adaalah lebih dari setengahnya sampai jenjang perguruan tinggi (57,14 %) dan kurang
dari setengahnya sampai tamatan SMA yakni 42,86 %. Sedangkan Desa Marikangen,
sebagian besar adalah sampai pada jenjang perguruan tinggi (71,43%), kemudian
kurang dari setengahnya adalah tamatan SMA yakni 28,58 %.
Setiap pengusaha rotan yang ada di Kecamatan Plumbon, tidak mengharuskan
tenaga kerja nya berasal dari penduduk setempat saja, akan tetapi bisa sampai luar
desa. Adapun asal tenaga kerja, apabila dilihat secara keseluruhan jumlah tenaga
kerja yang berada di sampel penelitian pada tabel 4.13 berikut ini :
82
Tabel 4.13 Jumlah Tenaga Kerja, Nilai Produksi Rotan
Desa Tahun 2007
Tenaga Kerja
% Nilai Produksi
%
Bodesari
Marikangen
1.200
985
54,92 %
45,08 %
13.912.000,00
6.237.000,00
69,05 %
30,95 %
Jumlah 2185 100 20.149.000,00 100 Sumber : DISPERINDAG, 2007
Grafik 4.6 Jumlah Tenaga Kerja, Nilai Produksi Tahun 2007
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Berdasarkan grafik 4.6 diatas, diketahui jumlah tenaga kerja industri rotan dengan
jumlah nilai produksi pada tahun 2007. Terdapat lebih dari setengahnya tenaga kerja
berada di Desa Bodesari, sebesar 54,92 %, dan kurang dari setengahnya, jumlah
tenaga kerja berada di Desa Marikangen. Berbicara soal nilai produksi dalam sebuah
83
industri, berkenaan dengan harga jual dipasaran. Untuk industri rotan sendiri, harga
jualnya mengikuti kurs dollar.
c. Modal
Pada hakekatnya, industri dikatakan kecil, menengah dan besar itu tergantung
dari modal usaha nya. Modal dianggap sebagai faktor pendukung yang mempunyai
keududukan dan arti yang sangat penting dalam melaksanakan kegiatan ekonomi
industri. Ada dua jenis modal, yaitu modal sendiri dan modal asing (hutang). Untuk
usaha industri rotan sendiri berasal dari modal sendiri, karena industri rotan pada
sampel peneltian adalah industri kecil hingga menengah. Lebih jelasnya, perhatikan
tabel 4.14, dibawah ini :
Tabel 4.14 Asal Modal Usaha
Asal Modal Desa Bodesari Desa Marikangen Modal Sendiri 6 85,71 7 100 Pinjaman 1 14,28 - - Bantun Pemerintah - - - -
Jumlah 7 100 7 100 Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Menurut tabel 4.13, bahwa benar sebagian besar modal usaha yang dikelola
pengusaha, berasal dari modal sendiri yakni sebesar 85,71 % responden yang
menjawab di Desa Bodesari, dan 100 % responden yang menajwab di Desa
Marikangen.
d. Teknologi
Perkembangan industri, diiringi dengan kemajuan teknologi yang ada. Karena
secara tidak langsung, industri membutuhkan alat dan mesin sebagai penggerak
84
dalam proses produksi. Industri rotan yang berkembang di kecamatan Plumbon,
sudah banyak mengalami kemajuan, dari segi teknologinya. Pengelolaan rotan, pada
awalnya hanya menggunakan alat-alat sederhana seperti gergaji dan palu. Tapi
semenjak UPT diperkenalkan, masyarakat pengrajin rotan merasa terbantu dengan
adanya alat-alat yang lebih banyak. Seperti SIGMT yang digunakan untuk mengukur
diameter rotan, STEAM UP digunakan untuk memanaskan bahan baku agar mudah
dibentuk, Kompor digunakan untuk melunakan bahan baku dan mengilangikan bulu-
bulu, Catok digunakan untuk membengkokan / membentuk bahan baku, Pola / mal
aalah sebagai patokan / standar ukuran dan bentuk. Adapun perlengkap lain seperti :
Spray gun digunakan untuk proses pewarnaan, Kompesor digunakan sebagai tenaga
penggerak. Sedangkan untuk peralatan finishing seperti : Bak perendam digunakan
untuk pemutihan bahan baku, dan Oven digunakan untuk proses pemanasan.
Gambar 4.10
Bagan Alur Proses Produksi Rotan
Pengupasan Rotan batang (Core, Pitrit)
Pemotongan Pengovenan
Pembuatan Rangka
Penganyaman Finishing Ampelas Kasar
Amprlas Halus
Pengecetan
Packing
85
Adapun penjelasan dari bagan pada gambar 4.10, adalah sebagai berikut :
a. Pengupasan.
Bahan baku rotan yang masih kasar, terlebih dahulu direndam dalam air
selama beberapa jam. Kemudian dijemur hingga kering. Dan dikupas
menggunakan alat manual, agar batang dan kulitnya terlepas. Batang ini
disebut core dan pitrit.
b. Pemotongan
Bahan baku yang dipotong adalah bahan baku yang mempunyai stndar
kualitas yang telah ditentukan Pemotongan dilakukan sesuai dengan ukuran,
model, dan jenis kerajinan yang akan dibuat.
c. Pengovenan
Setelah dilakukan pengovenan, kemudian tahap berikutnya yaitu pengovenan.
Pada tahap ini hanya sebagian rotan saja yang dioven dengan kata lain,
potongan rotan rotan yang perlu dibentuk seperti lengkungan dan lingkaran.
Pengovenan dilakukan pada tingkat derajat panas tertentu.
d. Pembuatan Rangka
Rotan yang telah dipotong dan dioven tadi, kemudian dirakit menjadi sebuah
kerangka yang disesuaikan dengan bentuk yang diinginkan. Selanjutnya
penyatuan kerangka dilakukan dengan pemakuan dan pengikatan. Sehingga
membentuk kerangka yang diinginkan dan sesuai dengan model dan jenisnya.
86
e. Penganyaman
Dalam tahap ini kerangka yang telah dibentuk diberi anyaman atau jeruji
sesuai dengan model dan jenis produk yang akan dikeluarkan sehingga bentuk
/model yang diinginkan telah terlihat wujudnya.
f. Finishing
Dalam proses finishing ini ada beberapa tahap yang harus diselesaikan, yaitu :
1. Ampelas Kasar
Dalam tahap ini produk yang sudah terlihat wujudnya setelah melalui
tahap penganyaman diampelas, untuk menghilangkan bulu-bulu rotan
yang menempel agar memperoleh hasil yang baik.
2. Ampelas Halus
Tujuan dari ampelas halus ini adalah agar warna yang dihasilkan menjadi
lebih sempurna dan halus.
3. Pengecetan
Produk yang telah melalui proses pengampelasan halus tadi, selanjutnya
siap untuk dilakukan pengecetan sesuai dengan warna yang diinginkan.
Bahan yang digunakan untuk pengecetan ini adalam melamin/cat khusus
rotan ataupun dengan politer agar menghasilkan warna yang alami dan
mengkilat.
87
g. Packing
Proses ini hanya dilakukan untuk barang yang akan dimasukan ke dalam
container untuk keperluan ekspor. Bahan yang dipakai dalam pengepakan ini
menggunakan jenis kertas khusus untuk dapat melindungi kerangka warna
dari produk tersebut.
e. Pemasaran
Kegiatan ekonomi tidak hanya mencakup produksi. Tetapi untuk sampai ke
tangan masyarakat. Produk hasil produksi ini harus didistribusikan dengan kata lain
harus dipasarkan. Potensi pasaran sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya
belinya (buy power). Dalam kondisi dilapangan, yang paling berperan dalam
pemasaran produk jadi rotan adalah pengusaha rotan itu sendiri. Pengrajin disini,
hanya sebagai pengesub barang setengah jadi. Selanjutnya, pada tahap fisihing dan
packing, dilakukan di pabrik rotan.
Lihat gambar 4.11. Pengesub disini adalah pengrajin yang berada di rumah-
rumah (home industry), antara pabrik dan pengesub saling bekerjasama. Artinya,
bahan baku dipasok dari pabrik langsung kepada pengesub I, pengesub I mengerjakan
proses membuat rangka, kemudian proses penganyaman dilakukan oleh pengesub II.
Namun ada beberapa pengrajin rumahan, yang mengerjakan proses membuat
88
Gambar 4.11
Bagan Alur Pengerjaan Rotan
rangka hingga menganyam di satu tempat. Setelah semua pesanan dikerjakan
selanjutnya pada tahap fisihing dan packing dilakukan di pabrik rotan. Dari pabrik
inilah, kemudian produk jadi rotan akan dipasarkan, baik luar daerah maupun luar
negri. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 4.14 dibawah ini :
Tabel 4.15 Sistem Pemasaran dan Tujuan Pemasaran
Sistem Pemasaran
Desa Bodesari Desa Marikangen Tujuan
Pemasaran F % F %
Konsumen dating sendiri
4 57,14 3 42,86 Jerman, Jepang,
Singapura, Korea, Selandia baru, Amerika.
Ada Perantara 1 14,29 2 28,57 Dipasarkan sendiri
- - - -
Pameran 2 28,57 2 28,57 Sumber : Hasil Penelitian, 2010
Berdasarkan tabel 4.14 diatas, diketahui sistem pemasaran yang dilakukan
responden pengusaha rotan di Desa Bodesari dan Desa Marikangen adalah lebih dari
Pabrik Rotan
Pengesub I (Pengrajin rangka)
Pengesub II (Penganyam)
Buyer (Konsumen)
89
setengahnya (57,14 %) dan kurang dari setengahnya (42,86%) konsumen dating
sendiri, konsumen disini adalah buyer. Buyer biasanya berasal dari luar negri.
Kemudian ada beberapa pengusaha, yang mengikuti pameran, di pameran ini, biasa
buyer datang. Sekitar kurang dari setengahnya (28,57%) responden memilih pameran.
Kemudian selanjutnya, sebagian kecil melalui perantara yakni sebesar 14,29 %. Pada
dasarnya peran pengusaha disini sangat penting, karena sebagai pintu gerbang hasil
produksi rotan.
D. Perubahan Kondisi Sosial Ekonomi Pengrajin Rotan di Kecamatan
Plumbon.
1. Identitas Pengrajin Rotan
Usaha pembuatan produk kerjinan rotan yang tersebar di Desa Bodesari dan
Desa Marikangen merupakan mata pencaharian pokok bagi para pekerja, buruh dan
yang belum bekerja. Sampel yang diambil dalam pemilihan responden adalah
pengrajin rotan yang hampir seluruhnya berasal dari desa tersebut. Pengrajin rotan
disini adalah pelaku industri yang menuangkan ide dan gagasan untuk mengolah
bahan baku menjadi barang hasil produksi. Pada umumnya komposisi penduduk di
Desa Bodesari dan Desa Marikangen termasuk kedalam usia produktif yaitu 21-31
tahun kurang dari setenganhya (35 %) sebagai pengrajin rotan karena untuk menjadi
seorang pengrajin tidak memerlukan batasan pendidikan tertentu. Untuk lebiih
jelasnya, perhatikan tabel 4.15 komposisi pengrajin rotan berikut ini :
90
Tabel 4.16 Komposisi Pengrajin Rotan Berdasarkan Usia Desa Bodesari
Usia (Tahun) Σ (Jiwa) % 15-19 19-23 1 2,5 23-27 10 25 27-31 14 35 31-35 2 5 35-39 3 7,5 39-44 9 22,5 >45 1 2,5 Jumlah 40 100
Sumber : Hasil Penelitian, 2010
Sedangkan untuk Desa Marikangen, setengah dari responden yang menjawab
termasuk kedalam usia produktif yaitu sebesar 50 % dan sebagian kecilnya responden
yang berusia 35-39 tahun yakni sebanyak 3,33 %. Untuk lebih lengkapnya,
perhatikan tabel 4.16 dibawah ini :
Tabel 4.17 Komposisi Pengrajin Rotan Berdasarkan Usia Desa Marikangen
Usia (Tahun) Σ (Jiwa) % 15-19 19-23 2 6,66 23-27 15 50 27-31 2 6,66 31-35 1 3,33 35-39 2 6,66 39-44 8 26,66 >45 Jumlah 40 100
Sumber : Hasil Penelitian, 2010
91
Berdasarkan komposisi pengrajin rotan di Desa Bodesari dan Desa
Marikangen, pada umumnya laki-laki dan perempuan menekuni bidang pekerjaan ini
karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Karena tidak ada persyaratan
khusus, untuk menjadi seorang pengrajin rotan, asalkan dia punya keahlian, kemauan
dan kerja keras untuk pengembangan industri rotan di Kecamatan Plumbon.
2. Pendidikan dan Keterampilan Pengrajin Rotan
Pendidikan dalam masyarakat industri sangatlah penting karena sebagai upaya
peningkatan kualitas tenaga kerja, sebagaimana industri memerlukan keterampilan
khusus dan beragam. Akan tetapi pendidikan pada masyarakat pengrajin rotan hanya
sebatas sekolah sampai tingkat sekolah menengah pertama. Keterbatasan biaya dan
sulitnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyebabkan banyak pengrajin
yang tidak meneruskan sekolahnya.
Tabel 4.18 Pendidikan Terakhir Pengrajin Rotan
Pendidikan Desa Bodesari Desa Marikangen F % F %
SD 18 45 20 66,66 SMP 17 42,5 9 30 SMA 5 12,5 1 3,33
Perguruan Tinggi - - - - Jumlah 40 100 30 100
Sumber : Hasil Penelitian. 2010
Berdasarkan tabel 4.17, diketahui jenjang pendidikan yang dilalui oleh
pengrajin, adalah untuk Desa Bodesari, kurang dari setengahnya hanya sampai tamat
SD yaitu sebesar 45%, sedangkan pengrajin di Desa Marikangen lebih dari
92
setengahnya, tamatan SD yaitu 66,66 %. Kemudian pada jenjang pendidikan SMP,
untuk Deasa Bodesari, kurang dari setengahnya yakni sebesar 42,5 % dan begitu pula
dengan Desa Marikangen sebesar 30 %. Dan hanya sebagian kecil sampai jenjang
SMA.
Pada umunya, pengrajin rotan lebih mudah mendapatkan pendidikan non
formal dibandingkan dengan pendidikan formal nya. Karena pengetahuan dan
ketarampilan tidak harus duduk dibangku sekolah. Tetapi lebih kepada praktek dan
pengalaman. Sebagian besar pengrajin mendapatkan keterampilanya melihat dan
meniru orang lain, dan belajar secara otodidak (sendiri),. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan tabel 4.18, berikut ini :
Tabel 4.19 Keterampilan Yang Diperoleh Pengrajin Rotan
Keterampilan Desa Bodesari Desa Marikangen F % F %
Warisan 5 12,5 3 10 Kursus - - - -
Belajar sendiri 35 75 27 90 Pelatihan - - - - Jumlah 40 100 30 100
Sumber : Hasil Penelitian, 2010
Diketahui bahwa di Desa Bodesari, sebagian besar (75%) pengrajin rotan
mendapatkan ketermapilannya secara otodidak/ belajar sendiri, begitu pun dengan
pengrajin di Desa Marikangen, sebagian besar atau sebanyak 90% respondennya
belajar sendiri. Kemudian sebagian kecil nya, merupakan warisan turun-menurun.
Dengan semakin beragamnya model / desain kerajinan rotan, banyak memotivasi
93
pengrajin untuk lebih belajar. Berdasarkan survey dan observasi lapangan, pengrajin
rotan hanya melihat contoh atau gambar desain model yang diinginkan, kemudian
sudah bisa langsung dikerjakan. Hal ini, berarti keterampilam yang dimiliki setiap
pengrajin sudah dibilang professional. Apalagi, didukung dengan tenaga kerja yang
masih produktif.
Untuk masalah pendidikan anak pengrajin rotan, perhatikan pada tabel 4.19,
dibawah ini :
Tabel 4.20 Kondisi dalam Menyekolahkan Anak
Kondisi Menyekolahkan
Anak
Sebelum Tahun 2005 Desa Bodesari Desa Marikangen
F % F % Mudah 27 67,5 25 83,33
Mudah Sekali - Sulit 13 32,5 5 16,66
Sulit Sekali - jumlah 40 100 30 100
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Berdasarkan hasil perhitungan persentase pada tabel 4.19, bahwa sebelum
tahun 2005 dan sesudah tahun 2005, yaitu lebih dari setengahnya sekitar 67,5 %
Kondisi Menyekolahkan
Anak
Setelah Tahun 2005 Desa Bodesari Desa Marikangen
F % F % Mudah 25 62,5 20 66,66
Mudah Sekali - Sulit 15 37,5 10 33,33
Sulit Sekali - jumlah 40 100 30 100
94
menjadi 62, 5 %, pengrajin rotan di Desa bodesari dapat menyekolahkan anaknya.
Hal ini berarti terdapat perbedaan sekitar 5 %. Apabila dihitung berdasarkan analisis
chi kuadrat, di dapat hasil hitung chi kuadrat sebesar 4,9. (4,9 >3,481). Sesuai dengan
ketentuan kalau harga Chi Kuadrat hitung lebih besar dari tabel maka Ho ditolak dan
Ha diterima. Sama halnya dengan Desa Bodesari, pengrajin rotan di Desa
Marikangen, lebih dari setengahnya sekitar 83,33 % menjadi 66,66 % dapat
menyekolahkan anaknya. Hal ini berarti terdapat perbedaan sekitar 16,67 %, artinya
semakin menurun. Apabila dihitung berdasarkan analisis chi kuadrat, di dapat hasil
hitung chi kuadrat sebesar 15,84. (15,84 >3,481). Sesuai dengan ketentuan kalau
harga Chi Kuadrat hitung lebih besar dari tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Untuk lebih jelasnya, lihat grafik 4.7 dan 4.8 dibawah ini :
Grafik 4.7 Kemudahan Dalam Menyekolahkan Anak Pengrajin Desa Bodesari
Sumber : Hasil Perhitungan. 2010
95
Grafik 4.8 Kemudahan Dalam Menyekolahkan Anak Pengrajin Desa Marikangen
Sumber : Hasil Perhitungan. 2010
3. Mata Pencahariaan Pengrajin Rotan
Seperti dijelaskan pada halaman 15, bahwa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya manusia melakukan kegiatan dengan jalan bekerja, sehingga dapat
tercapainya kehidupan yang layak. Sebelum adanya industri, masyarakat pedesaan
cenderung berpola hidup agraris, yaitu bercocok tanam, berkebun, dl. Namun, akibat
perkembangan akan kebutuhan barang, industri masuk dan berkembang sampai
sekarang. Namun, untuk bertumpu pada satu pekerjaan saja tidak cukup. Karena dari
tahun ke tahun kebutuhan akan semakin meningkat. Hal ini, juga terjadi pada
pengrajin rotan. Sebelum bahan baku di ekspor ke luar negri, kehidupan pengrajin
bisa dikatakan terpenuhi, disamping pendapatan yang cukup, kebutuhan akan barang
96
pun murah. Namun setelah bahan baku di ekspor ke luar, kehidupan pengrajin belum
terpenuhi semua. Terutama dalam masalah pendidikan anak. Sehingga, pengrajin
tidak seharusnya hanya mengandalkan satu pekerjaan saja, tetapi harus ada pekerjaan
sampingan. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 4.20, seperti dibawah ini :
Tabel 4.20 Pekerjaan Sampingan Pengrajin Rotan
Pekerjaan
Sebelum Tahun 2005
Desa Bodesari Desa Marikangen
F % F % Bertani 10 25 Pedagang 10 25 Wirausaha 5 12,5 5 16,66 Tidak Ada 15 37,5 25 83,33
Jumlah 40 100 30 100
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Gambar 4.9 menunjukan presentasi responden dalam pekerjaan
sampingan yang dimiliki selain sebagai pengrajin rajin. Sebelum tahun 2005
dan sesudah tahun 2005, terdapat perbedaan yang ditekuni pengrajin rotan.
Yaitu hampir kurang dari setengahnya (37,5) sebelum tahun 2005 tidak
Pekerjaan
Setelah Tahun 2005
Desa Bodesari Desa Marikangen
F % F % Bertani 10 25 Pedagang 5 12,5 5 16,66 Wirausaha 5 12,5 5 16,66 Tidak Ada 20 50 20 66,66
Jumlah 40 100 30 100
97
memiliki pekerjaan sampingan, hal ini terjadi pada pengrajin Desa Bodesari
kemudian sesudah tahun 2005, justru naik sekitar 12,5 % menjadi 50 %
pengrajin rotan yang tidak memiliki pekerjaan sampingan. Sisanya hanya
sebagian kecil yang memiliki pekerjaan sampingan seperti berdagang dan
wirausaha.
Grafik 4.9
Pekerjaan Sampingan Pengrajin Rotan Desa Bodesari
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Lain hal nya, kondisi di Desa Marikangen, dimana hampir sebagian besar
pengrajin (83,33) tidak memiliki pekerjaan sampingan. Seperti terlihat dalam grafik
4.10, hanya sebagian kecil dari responden yang memiliki pekerjaan, yaitu berdagang
dan wirausaha.
98
Grafik 4.10 Pekerjaan Sampingan Pengrajin Rotan Desa Marikangen
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
4. Kesehatan Pengrajin
Kesehatan pengrajin rotan disni, adalah sehat dalam fisik. Karena untuk
melakukan perkerjaan, Pengrajin harus tekun dan teliti, terutama pada proses
penganyaman. Selaijn itu, kondisi kesehatan juga ahrus mendukung, seperti
ketersedian air bersih, jarak ke tempat berobat, dan kondisi cuaca. Adapun untuk
lebih mengetahui kendala kensehatan, perhatikan tabel 4.21 dibawah ini :
99
Tabel 4.22 Kendala Kesehatan Yang Dialami Pengrajin Rotan
Kendala Kesehatan
Sebelum Tahun 2005 Desa Bodesari Desa Marikangen F % F %
Air Bersih Jarak ke tempat berobat
5 12,5 6 20
Cuaca 35 87,5 23 76,66 Penyakit Menular
1 3,33
Jumlah 40 100 30 100
Kendala Kesehatan
Sesudah Tahun 2005 Desa Bodesari Desa Marikangen F % F %
Air Bersih Jarak ke tempat berobat
6 15 7 23,33
Cuaca 34 85 21 70 Penyakit Menular
2 6,66
Jumlah 40 100 30 100 Sumber : Hasil Perhitungan 2010
100
Grafik 4.11 Kendala Kesehatan Pengrajin Rotan Desa Bodesari
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Berdasarkan tabel 4.21 dan grafik 4.11 & 4.12 bahwa sebelum dan sesudah
tahun 2005, sebagian besar pengrajin mangalami kendala kesehatan karena cuaca.
Hal ini disebabkan kab. Cirebon berikmlim iklim tropic (panas) dengan temperature
udara rata-rata 36° – 37° C. Terdapat 87,5 % menjadi 85 % untuk Desa Bodesari,
artinya terdapat perbedaan sekitar 2,5 %. Kemudian kurang dari setengahnya yakni
sebesar 12,5 % menjadi 15%, responden memilih karena jauh dari tempat berobat.
Apabila diliahat dari perhitungan chi kuadrat, didapat hasil hitung chi kuadrat sebesar
164,2. Ternyata harga Chi Kuadrat hitung lebih besar dari tabel (164,2 > 3,418),
sesuai ketentuan kalau harga Chi Kuadrat hitung lebih besar dari tabel maka Ho
ditolak dan Ha diterima. Sama halnya dengan Desa Bodesari, kendala kesehatan di
Desa Marikangen pun demikian. Terdapat prsentasi responden sebesar76,66 %
101
menjadi 70 %. Kemudian sebagian kecil responden mengeluh, karena jarak ke tempat
berobat yang jauh yakni 6 % menjadi 7 %. Dan apabila dilihat dari perhitungan chi
kuadrat, didapat hasil hitung chi kuadrat sebesar 84.02. Ternyata harga Chi Kuadrat
hitung lebih besar dari tabel (84,02 > 3,418), sesuai ketentuan kalau harga Chi
Kuadrat hitung lebih besar dari tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Grafik 4.12 Kendala Kesehatan Pengrajin Rotan Desa Marikangen
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Dengan demikian, terdapat perbedaan kendala kesehatan pengrajin, sebelum
dan sesudah tahun 2005. Walaupun perbedaan ini tidak signifikan,artinya hanya 2,5
% dan 6,66 % saja. Kondisi cuaca yang tidak menentu, menyebabkan musim yang
tidak menentu pula. Hal ini disebabkan karena pemanasan global yang kian hari kian
tinggi.
102
5. Pendapatan Pengrajin
Besar kecilnya pendapatan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain faktor modal, faktor pekerjaan dan faktor pengetahuan masyarakat itu sendiri.
Pendapatan merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan hidup
masyarakat. Sektor industri tidak terlepas dari adanya pendapatan / penghasilan,
dimana dalam hal ini ditinjau dari segi ekonomi pengrajin rotannya. Penelitian yang
dilakukan disini sendiri, mengacu pada faktor pekerjaan. Dimana rata-rata mata
pencaharian penduduknya adalah sebagai pengrajin. Perhatikan tabel 4.22. Pada tabel
ini, diperoleh tingkat pendapatan pengrajin tiap kali bekerja. Karena menurut hasil
wawancara, bahwa diketahui rata-rata sistem penggajiannya adalah borongan.
Artinya, pengrajin memperoleh upah ketika ada pesanan / order saja.
Menurut tabel 4.13, bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan yakni
sebelum dan sesudah tahun 2005. Sebelum tahun 2005, kurang dari setenganya (47,5
%) pendapatan pengrajin rotan Desa Bodesari adalah berkisar Rp. 100.000 – Rp.
150.000, kemudian sesudah tahun 2005 pendapatannya menjadi sekitar 27,5 %.
Artinya terjadi perubahan sekitar 20 % per tahunnya. Apabila dilihat dari perhitungan
chi kuadrat didapat hasil hitung chi kuadrat sebesar 31,96. Berdasarkan dk =1 dan
taraf kesalahan yang ditetapkan 5 % maka harga Chi Kuadrat tabel 7,815. Ternyata
harga Chi Kuadrat hitung lebih besar dari tabel (31,96 > 7,815), sesuai ketentuan
kalau harga Chi Kuadrat hitung lebih besar dari tabel maka Ho ditolak dan Ha
103
diterima. Kesimpulannya, hipotesis nol yang diajukan bahwa tidak terdapat
pendapatan pengrajin sebelum dan sesudah tahun 2005. Hasil penelitian menunjukan
bahwa di Desa Bodesari terdapat perbedaan pendapatan pengrajin sebelum tahun
2005 dan setelah tahun 2005. Lebih jelasnya perhatikan grafik 4.13.
Tabel 4.23 Pendapatan Pengrajin Rotan Desa Bodesari dan Desa Marikangen
Sumber : Hasil Penelitian, 2010
Pendapatan SesudahTahun 2005
Desa Bodesari Desa Marikangen F % F %
10.000-50.000 18 45 18 60 50.000-100.000 11 27,5 4 13,3 100.000-150.000 7 17,5 5 16,7
> 150.000 4 10 3 10 Jumlah 40 100 30 100
Pendapatan Sebelum Tahun 2005
Desa Bodesari Desa Marikangen F % F %
10.000-50.000 0 0 4 13,3 50.000-100.000 16 40 16 53,3 100.000-150.000 19 47,5 7 23,3
> 150.000 15 37,5 3 10 Jumlah 40 100 30 100
104
Grafik 4.13 Pendapatan Pengrajin Rotan Desa Bodesari
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010
Sedangkan untuk Desa Marikangen, sebelum tahun 2005 lebih dari
setengahnya (53,3 %) pendapatn pengrajin rotan berkisar Rp. 50.000 – Rp. 100.000.
kemudian sesudah tahun 2005, hanya sebagian kecil saja yang naik yakni berkisar 16,
7 %. Sisanya masih tetap dengan pendapatan dibawah Rp. 100.000, yakni 13,3 % nya
pengrajin rotan. Apabila dilihat dari hasil chi kuadrat didapat hasil hitung chi kuadrat
sebesar 33,88. Hal ini bila di peroleh dk =1 dan taraf kesalahan yang ditetapkan 5 %
maka harga Chi Kuadrat tabel 7,815. Ternyata harga Chi Kuadrat hitung lebih besar
dari tabel (33,88 > 7,815), sesuai ketentuan kalau harga Chi Kuadrat hitung lebih
besar dari tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi kesimpulannya, hipotesis nol
yang diajukan bahwa tidak terdapat perbedaan perkembangan industri rotan terhadap
105
pendapatan pengrajin sebelum dan sesudah tahun 2005. Hasil penelitian menunjukan
bahwa di Desa Marikangen terdapat pendapatan pengrajin sebelum tahun 2005 dan
setelah tahun 2005. Perhatikan grafik 4.14, dibawah ini :
Grafik 4.14 Pendapatan Pengrajin Rotan Desa Marikangen
Sumber : Hasil Perhitungan, 2010