eprints.unram.ac.ideprints.unram.ac.id/8459/2/03 bab satu - bab lima.docx · web viewbab i....
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan bahasa, dalam kaitannya dengan aspek perencanaan
bahasa, merupakan hal yang pasti adanya. “A language must change, to keep pace
with society”, demikian judul artikel yang ditulis oleh David Crystal dalam
Liverpool Daily Post tanggal 16 Mei tahun 1963. Artikel ini, meskipun
menanggapi protes atas maraknya kesalahan pemakaian bahasa Inggris pada masa
itu, sejatinya mencoba menawarkan solusi atas kemunculan berbagai variasi
bahasa. Dalam artikel tersebut, Crystal menyatakan, “A language is what all its
users make it; it is a social, not just an academic phenomenon.” Crystal
memberikan penegasan bahwa bahasa berkembang dari waktu ke waktu. Selain
mengikuti penuturnya, fleksibilitas bahasa juga mengikuti media dan konteksnya
diekspresikan sehingga penghakiman terhadap nilai benar salah suatu bahasa
dengan bersandar pada satu paradigma semata tentunya tidak tepat.
Sebagai wadah perkembangan bahasa, media memiliki peran vital
dalam menjaga dan memelihara keberadaan suatu bahasa. Media cetak seperti
koran, majalah, tabloid, dan jurnal memiliki tanggung jawab yang sama dengan
media elektronik audio-visual seperti televisi, radio, maupun internet dalam
mempertahankan keberlangsungan suatu bahasa. Di Indonesia, peran ini telah
diinisiasi oleh pemerintah melalui beberapa peraturan seperti Inpres Nomor 2
11
Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, dan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009.
Pasal 25 sampai dengan pasal 45 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2009 menegaskan secara yuridis status, fungsi, penggunaan, pengembangan,
pembinaan, serta pelindungan terhadap bahasa Indonesia. Pasal 39 ayat 1 secara
spesifik menjelaskan kedudukan bahasa Indonesia dalam media massa:
Pasal 39(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa(2) Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan
bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus.
Setahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun tidak secara eksplisit
menyatakan tugas pengembangan bahasa, perangkat hukum ini menyerukan
perlunya batasan tentang norma bahasa ketika berbagi informasi atau saat
bertransaksi secara elektronik. Gambaran umum tersebut diperoleh dari Bab VI
sampai dengan Bab XI yang mengatur domain, HKI, perlindungan hak pribadi,
perbuatan yang dilarang, penyelesaian sengketa, peran pemerintah dan
masyarakat, penyidikan, serta ketentuan pidana.
Selanjutnya, Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001 Tentang
Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia.
Kehadiran Inpres ini dilatarbelakangi setidaknya oleh tiga hal. Pertama,
menyiapkan SDM baik masyarakat maupun aparatur negara yang mampu
mengoperasikan perangkat teknologi (komputer) dalam rangka menghadapi era
globalisasi. Kedua, kendala pemahaman bahasa asing pada aplikasi komputer
2
yang menyebabkan kesulitan pengoperasian komputer bersangkutan. Ketiga,
perlunya aplikasi komputer berbahasa Indonesia untuk memudahkan pengguna
(masyarakat/aparatur negara) dalam melaksanakan kegiatannya, sekaligus sebagai
alternatif pilihan bahasa pada aplikasi komputer.
Abdurrahman Wahid, selaku presiden saat itu melalui Inpres Nomor 2
Tahun 2001 menginstruksikan khususnya kepada Menteri Riset dan Teknologi
serta Menteri Pendidikan Nasional untuk melaksanakan kegiatan pembakuan
istilah-istilah komputer ke dalam bahasa Indonesia, menyusun aplikasi komputer
berbahasa Indonesia berikut pedoman pemakaiannya dengan menggandeng para
ahli serta pihak-pihak terkait. Sebagai tindak lanjut, pemerintah melalui Pusat
Bahasa kemudian membentuk tiga Kelompok Kerja (Pokja) yakni Pokja
Pembakuan Istilah Teknologi Informasi, Pokja Perangkat Lunak, serta Pokja
Sosialisasi dan Implementasi. Tugas utama yang diemban oleh ketiga Pokja ini,
khususnya Pokja Pembakuan Istilah, ialah merumuskan pedoman pembakuan
istilah, pedoman pemakaian istilah, dan menghimpun daftar (senarai) awal sekitar
700 istilah dalam bidang teknologi informasi (TI). Lalu, pada tahapan berikutnya
direncanakan sekitar 4000 istilah yang akan dipadankan hingga tahapan akhir
dalam bentuk penyusunan kamus (Artikel Ristek, 2001).
Menyimak latar belakang kemunculannya, Inpres Nomor 2 Tahun
2001 hadir karena tuntutan akan kebutuhan memaksimalkan sumber daya manusia
dalam memahami dan mengoperasikan komputer. Tentu saja, permasalahan ini
bermuara pada persoalan bahasa. Keberadaan bahasa asing dalam aplikasi
komputer, tidak hanya mengganggu, tetapi juga menghalangi para pemula untuk
3
beralih menggunakan teknologi ini dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari.
Bahasa Inggris sebagai lingua franca dalam aplikasi komputer (periksa
w3techs.com), dianggap menyulitkan bagi yang bukan penutur asli bahasa Inggris
serta terbiasa bekerja menggunakan teknologi konvensional seperti mesin tik dan
sebagainya.
Setelah dihimpun, senarai padanan yang berisi sekitar 629 istilah
kemudian dirilis sebagai tahap awal. Reaksi dari masyarakat bermacam-macam.
Ada yang mendukung usaha ini, namun ada pula yang menentangnya. Tanggapan
beragam yang muncul mengarah tidak hanya pada bentuk sosialisasi yang
dilakukan pemerintah, tetapi juga pada isi senarai padanan yang dihimpun oleh
tim perumus. Onno W. Purbo, salah seorang anggota tim perumus istilah TI dalam
wawancara dengan detik.com (9/5/2001) menawarkan solusi terkait sosialisasi dan
implementasi Inpres Nomor 2 Tahun 2001 dalam bentuk insentif kepada pembuat,
pengembang, atau pengecer perangkat lunak berbahasa Indonesia. Menurutnya,
insentif yang diberikan dapat berupa pemotongan pajak hingga 50%. Cara ini
diharapkan dapat memacu, tidak saja upaya pengembangan aplikasi, tetapi juga
pemakaian aplikasi komputer berbahasa Indonesia di kalangan pengguna. Untuk
pemerintah, cara ini menurut Onno dirasa lebih efektif daripada repot membentuk
satgas, berhutang, dan sebagainya.
Haryanto mengkritisi kegiatan pemerintah ini dengan menyertakan
pula sejumlah opini dari para praktisi komputer. Menurutnya, kegiatan
penerjemahan (pembakuan) istilah asing khususnya dalam bidang komputer
adalah sesuatu yang: 1) wajar dalam ilmu bahasa; ada kegiatan penerjemahan,
4
penyerapan, atau gabungan keduanya; 2) perlu karena kamus istilah dalam suatu
bidang tertentu harus ada; 3) mubazir jika padanan istilah bahasa Inggrisnya sudah
populer dan digunakan secara luas oleh masyarakat; 4) sia-sia karena materi yang
tersedia di internet mayoritas menggunakan bahasa Inggris.
Haryanto mencatat bahwa entri-entri yang terdapat dalam Senarai
Padanan Istilah memiliki kelebihan serta kekurangan. Pertama, terdapat padanan
yang tepat karena ringkas dan jelas seperti sorot untuk highlight, siaga untuk
standby, tilik dan pratilik untuk view dan preview, mistar untuk ruler, garis kisi
untuk gridline, dan telusur untuk search. Kedua, sebagian besar serapan berterima
dengan syarat ejaannya tidak jauh berbeda dengan ejaan aslinya, seperti bentuk
energi daripada *enerji, serta bentuk email daripada *imel atau *imil. Ketiga,
padanan lainnya bermasalah karena terkesan dipaksakan, misalnya peladen untuk
server, bita untuk byte, serta surat untuk email. Keempat, padanan yang dibuat
menciptakan kerancuan, misalnya explorer dan browser sama-sama
diterjemahkan sebagai penjelajah, kemudian surat untuk email akan memiliki
makna yang sama dengan surat untuk letter. Kelima, padanan yang keliru
terhadap istilah asing seperti pelipat untuk folder, tiruan untuk dummy, inden
macet untuk hanging indent, serta sosok atas dan sosok bawah untuk uppercase
dan lowercase. Terakhir, kemungkinan ketidakberterimaan padanan tersebut pada
pengguna, seperti taut untuk link, hipertaut untuk hyperlink, fonta untuk font,
awakutu untuk debug, jurik untuk daemon, serta ikon emosi untuk emoticon.
Pernyataan Haryanto terkait kelima temuan ini kurang lebih ialah bahwa jika
istilah asing adalah sesuatu yang secara umum konsepnya sudah dipahami oleh
5
pembaca, maka sia-sialah—dan malah justru merugikan—pembentukan padanan
istilah.
Lima belas tahun kemudian, atau setelah konvergensi media menjadi
hal yang lumrah di Indonesia, penggunaan istilah-istilah komputer berbahasa
Indonesia tersebut idealnya telah merata, lebih-lebih di kalangan pengguna
pemula komputer seperti yang diisyaratkan dalam Inpres Nomor 2 Tahun 2001.
Tetapi pada kenyataannya, pengaruh dari Inpres tersebut belum maksimal.
Sebagian besar pengguna komputer dan internet di Indonesia masih setia dengan
bahasa Inggris sebagai bahasa antarmuka/bahasa istilah yang digunakan ketika
mengoperasikan komputer atau ketika sedang berselancar di internet.
Penyebab munculnya permasalahan ini, jika merujuk pada pandangan
Purbo dan Haryanto di atas dapat dikerucutkan menjadi tiga, yakni 1) sosialisasi
yang tidak intens dan merata; 2) rendahnya daya ungkap bahasa Indonesia
sehingga banyak istilah yang tidak berterima karena tidak lazim, tidak populer,
atau bertentangan dengan logika sosial para penggunanya; serta 3) Tidak adanya
reward and punishment dalam penerapan kebijakan yang berpedoman pada Inpres
No.2 Tahun 2001. Selain keduanya, patut pula disimak pandangan Agnes
Kukulska-Hulme (2000:587) yang menyatakan bahwa penerjemahan terhadap
peristilahan komputer tidak selalu mungkin atau tepat dilakukan berdasarkan
pertimbangan teknis, politis, atau ekonomi. Imbasnya, banyak orang lantas merasa
harus menggunakan perangkat lunak berbahasa Inggris dalam versi aslinya.
Dalam rangka mencari solusi atas permasalahan di atas, perlu
dilakukan kajian komprehensif yang menjangkau tidak hanya analisis terhadap
6
berbagai istilah komputer berbahasa Indonesia, tetapi juga melingkupi faktor
eksternal seperti pengaruh evolusi media terhadap kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah, posisi bahasa Indonesia dalam pergaulan internasional, domestikasi
terhadap istilah asing, kurang apresiatifnya media terhadap istilah-istilah yang
dibakukan, persentase software berbahasa Indonesia yang minim, gengsi bahasa,
dan sebagainya. Aspek kajian ini membentang dari topik perencanaan bahasa,
metamorfosis media (mediamorfosis), hingga kaidah pembakuan peristilahan
komputer.
Namun, mengingat pentingnya fokus penelitian demi tercapainya hasil
yang maksimal, penelitian ini mengkhususkan diri pada tiga hal. Pertama, kajian
teks terhadap berbagai istilah komputer berbahasa Indonesia meliputi
pembicaraan tentang prinsip kebakuan istilah komputer. Rujukan utama materi ini
ialah teori yang dikemukakan oleh Agnes Kukulska-Hulme dalam bukunya yang
berjudul Language and Communication (Essential Concepts for User Interface
and Documentation Design. Dalam buku ini ia menjelaskan prinsip dasar yang
harus dimiliki oleh sebuah aplikasi komputer agar dapat dioperasikan dengan
mudah dan tidak menimbulkan kebingungan pada para penggunanya. Hal utama
yang disorotinya ialah pilihan kata/istilah sebagai bagian dari antarmuka (user
interface) sebuah program. Analisis dengan kajian ini penting dilakukan karena
teori yang dikemukakan dianggap mampu merumuskan secara tekstual penyebab
belum efektifnya penggunaan istilah-istilah komputer berbahasa Indonesia di
kalangan para pengguna.
7
Kedua, pengaruh evolusi media terhadap kebijakan pemerintah berupa
penerbitan Inpres Nomor 2 Tahun 2001. Hal yang dikaji dari topik ini adalah
ketimpangan antara kebijakan pemerintah tersebut dengan realisasi serta kesiapan
infrastruktur pendukungnya. Dalam konteks ini, Inpres Nomor 2 Tahun 2001
diasumsikan sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap perkembangan bahasa
Indonesia. Sayangnya, implementasi dari kebijakan ini belum berbuah maksimal.
Untuk menganalisis penyebabnya, digunakan teori mediamorfosis Roger Fidler
sebagai acuan utama yang didukung oleh berbagai teori lainnya.
Ketiga, dilihat dari konteks pembelajaran di tingkat sekolah menengah
atas, kajian pembakuan peristilahan komputer berbahasa Indonesia dianggap
memiliki relevansi yang ekuivalen dengan materi tentang prinsip bahasa Indonesia
baku, kaidah penyusunan kata, serta pelafalan kata-kata serapan. Keterkaitan
materi ini dalam rangka pengembangan pengetahuan siswa, menyangkut
pembelajaran tentang pembakuan kata dalam bahasa Indonesia, sumber-sumber
kosakata bahasa Indonesia, dan manfaat bahasa serumpun, bahasa daerah, bahasa
asing, serta kosakata keilmuan dalam penyerapan kosakata bahasa Indonesia.
Semua materi yang disampaikan kepada para siswa bermuara pada pembelajaran
tentang ejaan yang disempurnakan dan pembentukan istilah dalam bahasa
Indonesia.
Dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran di atas, penelitian ini
berusaha mengungkap permasalahan-permasalahan seputar peristilahan komputer
berbahasa Indonesia dengan memandangnya sebagai bagian yang padu dengan
kebijakan bahasa di media khususnya komputer dan internet. Adapun relevansi
8
penelitian ini dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA dianggap sebagai
modal extended research yang berupaya mengintegrasikan atau mengambil
manfaat dari penelitian yang dilakukan terhadap pembelajaran ejaan dan
peristilahan bahasa Indonesia bagi para siswa.
1.2 Rumusan Masalah
a. Faktor apa saja yang menjadi kendala penggunaan istilah teknologi
informasi berbahasa Indonesia?
b. Bagaimana relevansi penelitian tentang kendala penggunaan istilah
teknologi informasi berbahasa Indonesia dengan pembelajaran bahasa
Indonesia di Sekolah Menengah Atas?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor yang menjadi kendala
penggunaan istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia. Selain itu, penelitian
ini berupaya untuk menjelaskan keterkaitan antara kajian tentang kendala
penggunaan istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia dengan pembelajaran
bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
a. Sebagai panduan memahami pembentukan istilah serta kemungkinan
peluang dan tantangannya bagi pengembangan bahasa Indonesia;
9
b. Sebagai penambah wawasan terkait media literacy (melek media) dan
pengaruhnya terhadap sikap berbahasa Indonesia;
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Sebagai dasar menelaah kebijakan-kebijakan pemerintah terkait
pemertahanan bahasa Indonesia di media elektronik;
b. Sebagai masukan atas kekurangan-kekurangan yang masih terdapat
baik dalam Senarai Padanan Istilah maupun dalam Glosarium Istilah TI
berbahasa Indonesia;
c. Sebagai suplemen bahan ajar ejaan dan pembentukan istilah dalam
bahasa Indonesia pada siswa Sekolah Menengah Atas.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Relevan
Penelitian yang terkait dengan peristilahan bahasa Indonesia dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diantaranya ialah:
2.1.1 “Peristilahan Komputer dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Catatan Kecil Perencanaan Bahasa” (I Made Sudiana, 2008)
Monograf ini berisi uraian tentang perencanaan peristilahan khususnya
dalam bidang komputer, proses pembakuan peristilahan, serta tata caranya.
Menurut Sudiana, peristilahan merupakan hal yang penting dalam sebuah bahasa,
karena itu perlu direncanakan. Dalam penelitiannya tersebut, Sudiana terkesan
hanya mendeskripsikan teori meskipun pada bagian akhir ia sempat
mengemukakan paradigma psikologi sosial tentang proses penerimaan masyarakat
yang tidak sebentar terhadap satu ragam bahasa baru.
Kelebihan penelitian yang dilakukan oleh Sudiana terletak pada kesadaran
penulis bahwa masalah keberterimaan satu ragam bahasa baru bukan semata
persoalan tunggal. Topik ini menjadi kompleks mengingat pembakuan istilah
melibatkan proses perencanaan bahasa yang panjang. Dibandingkan dengan
penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh I Made Sudiana menyoroti
peristilahan komputer dari perspektif perencanaan bahasa dan tata istilah,
sedangkan penelitian ini menyoroti topik yang sama melalui perspektif
metamorfosis media, norma pembakuan istilah komputer serta relevansi
1111
pembakuan istilah dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada Sekolah
Menengah Atas.
2.1.2 “Neologisme: Sebuah Tantangan Pembentukan Istilah Baru dalam Bahasa Indonesia Melalui Proses Penerjemahan Berbasiskan Korpus” (Karnedi, 2011).
Dalam penelitian ini, Karnedi mengemukakan tentang Glosarium Istilah
Asing-Indonesia yang tidak cukup representatif dalam menyajikan padanan istilah
(khususnya dalam bidang ekonomi). Neologisme menurut Karnedi merupakan
metodologi alternatif yang bertujuan mengakomodasi segenap pemangku
kepentingan dalam pengembangan dan perencanaan bahasa, mendesain korpus
yang sesuai standar, serta menyempurnakan Glosarium Istilah Asing-Indonesia
Edisi Pertama. Fokus kajian ialah perihal penciptaan unit leksikal baru melalui
aktivitas penerjemahan secara professional dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia.
Terkait dengan metodologi penelitian, seperangkat korpus yang paralel
telah dirancang sebagai korpus pembelajaran yang mengandung teks sumber
berbahasa Inggris dan teks sasaran berbahasa Indonesia. Demi tujuan ini,
sejumlah terjemahan buku teks bidang ekonomi dipilih secara acak. Data yang
diperoleh diproses dengan Wordsmith Tools versi 5.0. Daftar kata-kata kunci
melibatkan penggunaan British National Corpus sebagai korpus rujukan dalam
teks sumber. Kemudian, dilakukan studi komparatif yang melibatkan kesepadanan
bentuk-bentuk tersebut dalam bahasa Indonesia.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk baru berisikan
kolokasi dan akronim merupakan tipe-tipe neologisme dominan yang diadaptasi
12
dari bahasa sumber melalui penerjemahan teks ekonomi. Dalam konteks
perencanaan bahasa di Indonesia, khususnya perencanaan korpus, penciptaan
istilah-istilah baru dalam bidang ekonomi yang berorientasi bahasa Indonesia oleh
penerjemah profesional tampaknya menjadi sebuah proses dinamis dan
berkelanjutan yang dapat memperkaya Glosarium Istilah Asing-Indonesia, sebuah
usaha untuk memodernisasi bahasa Indonesia melalui penerjemahan neologisme
dalam teks ekonomi.
Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada usulan tentang perlunya
revitalisasi istilah dan ranah istilah. Penelitian ini tidak merekomendasikan
neologisme seperti yang diusulkan oleh Karnedi, tetapi lebih cenderung
mendeskripsikan kendala tekstual penyebab tidak digunakannya istilah komputer
berbahasa Indonesia oleh para pengguna. Di samping itu, berbeda dengan Karnedi
yang hanya menyarankan neologisme pada bidang ekonomi, penelitian ini
menyasar pada penggunaan istilah-istilah dalam bidang teknologi informasi
seperti komputer dan internet.
2.1.3 “Mereposisi Perencanaan Istilah Ranah Keilmuan” (Ansari, 2011).
Penelitian Ansari mengemukakan perihal tantangan besar yang dihadapi
oleh bahasa Indonesia pada masa kini. Tantangan pertama, maraknya penyerapan
bahasa asing yang menjurus ke arah gengsi berbahasa Indonesia. Tantangan
kedua, persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah yang memunculkan prasangka
miskinnya kosakata bahasa Indonesia. Dalam rangka menghadapi kedua tantangan
tersebut, Ansari mengusulkan dua cara: (1) perawatan dan pemeliharaan istilah
yang bersistem dengan selalu memasyarakatkan bentukan baru yang mudah
13
dipakai; (2) meninjau kembali ketepatan beberapa istilah yang telah
dimasyarakatkan kembali berdasarkan aspek keterpakaiannya.
Dalam analisisnya, Ansari menyatakan bahwa persoalan kebahasaan ini
kemungkinan bermuara pada rendahnya frekuensi penggunaan istilah bahasa
Indonesia hasil penerjemahan dari istilah bahasa asing. Hal ini disebabkan upaya
pengenalan istilah tersebut belum optimal dilakukan sehingga sebagaian besar
masyarakat pengguna bahasa Indonesia tidak mengenal istilah tersebut. Contoh
yang dapat dikemukakan dalam hal ini misalnya tetikus (mouse), unduh
(download), unggah (upload), laman (homepage), luah (discharge), tumpak
(batch), petala (incumbent), gria tawang (penthouse), boga bahari (seafood), dan
lain-lain.
Kemungkinan kedua menurut Ansari ialah bahwa lembaga bahasa lambat
dalam menawarkan istilah bersangkutan sehingga pengguna bahasa Indonesia
lebih dulu mengenal dan menggunakan istilah asingnya. Meskipun telah
dimasyarakatkan, pengguna bahasa Indonesia tetap memakainya karena sudah
lebih akrab dengan istilah asing tersebut. Meskipun demikian, menurut Ansari
keadaan ini juga dapat disebabkan oleh ketidakcocokan dalam penerjemahan
istilah asing itu ke dalam bahasa Indonesia sehingga pengguna bahasa Indonesia
lebih memilih istilah asingnya.
Fokus penelitian yang dilakukan oleh Ansari lebih luas dibandingkan
dengan penelitian ini. Ranah keilmuan yang dibicarakan tentu saja meliputi semua
disiplin ilmu, tidak hanya bahasa. Lebih luasnya cakupan penelitian yang
dilakukan oleh Ansari akhirnya memiliki konsekuensi penjelasan yang lebih
14
umum dibandingkan dengan penelitian ini yang memusatkan diri hanya pada satu
bidang yakni peristilahan komputer.
2.1.4 “Perkembangan dan Pengembangan Peristilahan Bahasa Indonesia di Bawah Lembaga-Lembaga Resmi Kebahasaan” (Samuel, 2011).
Secara historis, peristilahan di Indonesia dikembangkan dalam dua periode
yakni pada masa Komisi Istilah serta semasa Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (Pusat Bahasa). Samuel meyakini bahwa pada periode yang kedua
kegiatan pengembangan peristilahan merupakan hasil perencanaan bahasa karena
sifatnya yang sistematis dan penggunaan perspektif multidisipliner dalam
perancangan istilah. Di samping melalui Pusat Bahasa dan MABBIM, peristilahan
di Indonesia menurut Samuel turut dikembangkan oleh para penutur bahasa dari
berbagai profesi atau sektor kerja seperti perguruan tinggi, media massa, sektor
industri, dan sektor jasa. Pendekatan tekstual dalam perkembangan peristilahan di
Indonesia menurut Samuel umumnya didorong oleh kebutuhan akan
penerjemahan dan penyusunan buku ajar baik di sekolah menengah maupun
perguruan tinggi. Terakhir, pendekatan linguistik berkaitan dengan bahasa sumber
yang menjadi rujukan istilah. Di Indonesia, bahasa Sanskerta, Arab, Persia,
Portugis, Belanda, dan Inggris merupakan sejumlah bahasa yang pernah dijadikan
sebagai sumber istilah.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Samuel terkait perkembangan
peristilahan di Indonesia di bawah naungan lembaga resmi mencakup kelebihan
maupun kekurangan politik istilah sebagai alat perkembangan bahasa. Poin
penting yang dikemukakan oleh Samuel yakni bahwa ekspansi bahasa Inggris
pada berbagai bidang kehidupan membuat politik istilah sebagai langkah proteksi
15
bahasa lokal tidak selalu berhasil atau bahkan tidak sesuai harapan. Oleh karena
itu, Samuel mengajukan beberapa saran diantaranya: 1) kebijakan lembaga
kebahasaan harus didasari oleh pengetahuan dan pemahaman situasi
sosiolinguistik yang ada; 2) implementasi kebijakan peristilahan sebaiknya
memprioritaskan kebiasaan penutur daripada prinsip dan upaya para pakar
terminologi; 3) faktor waktu adalah hal yang penting karena perubahan linguistik
berlangsung dengan lambat dan harus diukur dengan hitungan dasawarsa atau
abad; 4) evaluasi secara komprehensif terhadap politik istilah harus dilakukan
untuk menyesuaikannya dengan kondisi linguistik terkini.
Penelitian Samuel mencakup rentang waktu yang panjang serta subjek
istilah yang luas. Mengacu pada kedua hal tersebut, perbedaannya dengan
penelitian ini mencakup periode pengindonesiaan istilah komputer yang belum
terlampau lama. Adapun subjek istilah komputer merupakan topik yang terbatas
pada upaya pengindonesiaan istilah komputer berbahasa asing ke dalam bahasa
Indonesia, sehingga dapat dinyatakan bahwa cakupan kajiannya tidak luas.
2.1.5 “Bahasa Indonesia sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan dan Wahana Ipteks; Pembentukan Istilah sebagai Salah Satu Usaha Mewujudkannya” (Syamsuri, 2013).
Syamsuri dalam penelitian ini menjelaskan tentang hakikat pembentukan
istilah bahasa Indonesia dan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam
pembentukannya. Menurut Syamsuri, kehadiran istilah bahasa Indonesia pada
hakikatnya adalah untuk mengisi kekosongan padanan, untuk menambah variasi
kesinoniman, serta untuk memutasi istilah lain. Bentuk-bentuk seperti reformasi,
politik, signifikan, sipil, demokrasi, dan dekrit dianggap sebagai istilah yang
16
mampu mengisi kekosongan padanan dalam bahasa Indonesia. Sementara itu,
bentuk-bentuk semacam fleksibel, menyimak, mengglobal, dan atom digunakan
sebagai variasi bagi kata lentur, mendengarkan, mendunia, serta sarah. Kemudian
yang terakhir, beberapa kosakata dimunculkan guna memutasi istilah lainnya
seperti lembaga pemasyarakatan yang memutasi kata bui, wisatawan memutasi
kata pelancong atau turis, serta invasi memutasi kata pendudukan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan bahasa
Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan dan wahana ipteks menurut
Syamsuri terdiri atas beberapa aspek penting yakni: pertama, bahasa Indonesia
hendaknya diberi kesempatan membuka diri guna menerima istilah bahasa lain;
kedua, peristilahan bahasa Indonesia menjadi media pendidikan karakter; ketiga,
peristilahan bahasa Indonesia hendaknya memperhatikan efisiensi, kebergunaan,
estetika, dan baku; keempat, istilah mampu menggambarkan tentang realitas
termasuk konsep ipteks; kelima, istilah bahasa Indonesia harus berada dalam
pusaran peradaban; dan yang keenam, istilah itu tersebarluaskan melalui berbagai
media.
Senada dengan rumusan Samuel dan Sudiana, topik yang dikemukakan
oleh Syamsuri merujuk pada perbincangan seputar dinamika peristilahan
berbahasa Indonesia dilihat dari perspektif yang luas. Uraian yang disampaikan
meliputi semua bidang. Namun sifatnya yang umum menimbulkan kesan bahwa
contoh yang dikemukakan hanya sebagian kecil saja dari rincian yang seharusnya
diungkap. Akibatnya generalisasi dalam penelitian Syamsuri menjadi
pengulangan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaannya dengan
17
penelitian yang sedang dilakukan menjadi jelas, yakni jika penelitian Syamsuri
menguraikan tentang aspek motif dan proses pembentukan istilah secara umum,
penelitian ini menguraikan tentang aspek motif, proses, pola, serta kendala
penggunaan istilah berbahasa Indonesia hanya pada bidang komputer.
2.1.6 Tanggapan Mahasiswa di Kota Surakarta terhadap Pengindonesiaan Istilah Asing Bidang Perkomputeran (Kajian Sosiolinguistik). Tesis Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (Sari, Citra Aniendita: 2014)
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi istilah asing bidang
perkomputeran yang paling dikenal oleh kalangan mahasiswa di Kota Surakarta,
(2) mendeskripsikan proses pemadanan (pengindonesiaan) istilah asing beserta
kriteria dan karakteristiknya yang cenderung berterima dan yang tidak berterima,
(3) menjelaskan alasan pilihan mahasiswa yang menggunakan istilah bidang
komputer, dan (4) memaparkan tanggapan kalangan mahasiswa tentang
pengindonesiaan istilah asing tersebut. Istilah-istilah bidang perkomputeran dalam
penelitian ini bersumber dari “Panduan Pembakuan Istilah Pelaksanaan Inpres No
2 Tahun 2001” yang berisi 629 istilah bidang perkomputeran.
Pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik pustaka dan
teknik catat serta metode cakap dengan teknik kuesioner dan teknik wawancara.
Data dianalisis dengan mengunakan metode padan (metode identitas) translasional
dengan teknik hubung banding menyamakan/HBS untuk mengidentifikasi istilah
dalam bahasa Indonesia didasarkan atas padanannya dalam bahasa asing
khususnya bahasa Inggris.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa, pertama, terdapat 210 istilah
perkomputeran yang paling dikenal oleh kalangan mahasiswa di Kota Surakarta
18
yang terbagi menjadi (a) istilah pada perangkat dan aplikasi komputer dan (b)
istilah pada internet. Kedua, padanan istilah yang cenderung berterima adalah
dengan proses penyerapan sedangkan yang cenderung tidak berterima adalah
dengan proses perekaan. Ketiga, meskipun sudah banyak padanan istilah dalam
bahasa Indonesia yang dikenal dan disosialisasikan namun hanya sedikit padanan
istilah yang dapat diterima dan digunakan oleh kalangan mahasiswa. Mereka tetap
lebih memilih menggunakan istilah asing karena (a) lebih sering melihat dan
mendengar istilah asing, (b) terbiasa memakai dan lebih mudah mengucapkan
istilah asing untuk percakapan dan komunikasi sehari-hari, (c) lebih bergengsi dan
merasa percaya diri memakai istilah asing, serta (d) lebih mudah memahami dan
mengerti makna istilah asing tersebut. Keempat, penelitian ini juga menemukan
dua tanggapan dari kalangan mahasiswa di Kota Surakarta tentang upaya
pengindonesiaan istilah asing bidang perkomputeran, yaitu tanggapan yang positif
sebanyak 40% dan tanggapan negatif sebanyak 60%.
Esensi penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Sari, perbedaannya
terletak pada subjek penelitian serta analisis yang digunakan. Sari menggunakan
Panduan Pembakuan Istilah Pelaksanaan Inpres No 2 Tahun 2001 beserta hasil
kuosioner dan wawancara sebagai data, sedangkan penelitian ini menggunakan
Panduan Pembakuan Istilah Pelaksanaan Inpres No 2 Tahun 2001, Istilah
Teknologi Informasi yang diprakarsai oleh Pusat Bahasa, serta berbagai istilah
teknologi informasi lainnya yang tersebar di media massa maupun internet,
termasuk respon-respon atau hasil penelitian tentang respon masyarakat pengguna
terhadap kebijakan pengindonesiaan istilah teknologi informasi. Dalam
19
penelitiannya, Sari menggunakan sosiolinguistik sebagai kajian dengan aspek
perencanaan bahasa sebagai fokusnya, sementara dalam penelitian ini kajian
sosiolinguistik menjadi payung penelitian dengan bertumpu pada pendekatan
komunikatif yang digagas oleh Agnes Kukulska-Hulme serta direlevansikan
dengan pembelajaran kosakata bahasa Indonesia pada Sekolah Menengah Atas.
Asumsi dasar yang hendak dibangun oleh penelitian ini adalah bahwa
perencanaan bahasa yang mengusung norma preskriptif akan dikoreksi oleh
realitas penggunaan bahasa di masyarakat yang deskriptif. Kebijakan
pengindonesiaan istilah tidak selalu dapat diterima dengan mudah oleh
masyarakat karena berbagai faktor. Penelitian ini berusaha mengungkap faktor-
faktor tersebut dengan menggunakan teori yang relevan. Tidak hanya itu,
mengingat istilah teknologi informasi merupakan subjek yang multidisiplin,
penguatan terhadap argumentasi yang dikemukakan bersumber dari kajian
terdahulu.
2.2 Definisi Operasional
2.2.1 Teks: merupakan unit semantik yang harus diekspresikan atau dikodekan
agar bermakna. Berbagai bentuk kebahasaan yang berperan dalam konteks
situasi harus disebut teks, entah berbentuk lisan atau tulisan, atau berbagai
media ekspresi lainnya yang pernah terpikirkan oleh kita. Berdasarkan
karakteristiknya sebagai sebuah entitas semantik yang berbeda dari unit-
unit linguistik lainnya, teks harus dipahami dari dua perspektif sekaligus
20
yakni teks sebagai sebuah produk dan teks sebagai sebuah proses (Halliday
dan Hasan, 1989).
2.2.2 Istilah: 1) kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
gagasan, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu; 2)
kata atau frasa yang dipakai sebagai nama atau lambang dan yang dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang
khas dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 3) Tata istilah
(terminologi) adalah perangkat asas dan ketentuan pembentukan istilah
serta kumpulan istilah yang dihasilkannya (PUPI, 2004).
2.2.3 Komputer: ialah alat elektronik otomatis yang dapat menghitung atau
mengolah data secara cermat menurut yang diinstruksikan, dan
memberikan hasil pengolahan, serta dapat menjalankan sistem multimedia
(film, musik, televisi, faksimile, dan sebagainya), biasanya terdiri atas unit
pemasukan, unit pengeluaran, unit penyimpanan, serta unit pengontrolan.
2.2.4 Digital: berbeda dengan sistem analog yang menggunakan kuantitas fisik
untuk mengukur, menyimpan, atau merekam informasi, sistem digital
merupakan sistem perekaman atau pentransimisian informasi dalam
bentuk ribuan sinyal yang sangat kecil. Istilah ‘digital’ secara praktis juga
dipahami sebagai sistem elektronik yang dicirikan oleh teknologi yang
terkomputerisasi.
21
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Pendekatan Komunikatif Peristilahan komputer
Jika ditanyakan tentang tujuan dari bahasa manusia, sebagian besar orang
secara naluriah akan menjawab bahwa tujuannya adalah sebagai alat komunikasi
(Kukulska-Hulme, 1999:2). Para penutur tersebut menganggap pasti
kemampuannya dalam berkomunikasi melalui bahasa. Adalah tidak berlebihan
jika kemudian kita selaku para pengguna komputer mengharapkan tingkat
kemudahan yang sama ketika berinteraksi dengan sistem komputer atau panduan
penggunaannya. Akan tetapi dalam praktiknya, bahkan terkadang para profesional
dalam bidang komputer dan para pengguna berpengalaman lainnya kerap dibuat
frustasi oleh penjelasan yang ada pada fasilitas “help”. Mereka bingung oleh
makna kata pada pilihan menu, toolbar, dan tombol; dan terhambat dalam
pencarian informasi karena harus menggunakan istilah-istilah yang tidak dengan
cepat mengekspresikan kebutuhan mereka.
Evans (dalam Kukulska-Hulme, 1999:13) menyatakan bahwa melek
komputer merupakan suatu pengalihan. Alih-alih manusia yang membutuhkan
keberaksaraan, justru komputer yang seharusnya dirancang agar peka terhadap
penggunanya sehingga dapat dioperasikan dengan mudah untuk melakukan
pekerjaan. Menanggapi pendapat ini, Kukulska-Hulme beranggapan bahwa para
pengembang komputer tidak cukup bersikap human-literate semata, tetapi juga
harus peduli pada konsep-konsep esensial bahasa dan efek penggunaannya yang
disebutnya sebagai “melek bahasa”.
22
Kata-kata pada layar komputer dapat menciptakan hambatan dalam
berkomunikasi, ditambah lagi para pengguna yang mencoba file help kerap
mengalami kekecewaan. Seperti dinyatakan oleh Kukulska-Hulme, seringkali
ungkapan frustasi “Aku tidak mengerti opsi-opsi yang ada pada layar” mendorong
banyak pengguna untuk “asal coba-coba dan lihat apa yang terjadi”, yang hanya
membuang-buang waktu atau malah berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap
perangkat komputer yang mereka miliki. “Aku tidak mengerti petunjuknya”
adalah tipe keluhan lain yang sering terdengar, yang kemudian menjadi alasan
bagi para pengguna untuk tidak membacanya. Sering dinyatakan (misalnya oleh
Smith, dalam Kukulska-Hulme, 1999:2) bahwa cara alternatif dalam mengajari
atau berbagi informasi dengan para pengguna adalah melalui pelatihan video.
Mode penyampaian ini dapat membuat informasi menjadi lebih berterima di
kalangan para pengguna, tetapi ini tidak sepenuhnya menghilangkan
permasalahan terkait penggunaan bahasa yang membingungkan.
Kesulitan pemahaman terhadap istilah komputer yang dialami baik oleh
para profesional, pengguna lepas, atau para pengguna baru tidaklah terelakkan.
Sesuatu harus dilakukan untuk memperbaiki cara agar bahasa dapat disajikan dan
digunakan pada konteks-konteks yang bisa dimengerti oleh para penggunanya.
Masalah fundamentalnya menurut Kukulska-Hulme (1999:3) ialah bahwa
komunikasi yang efektif tidak otomatis terjalin setiap kali orang berbicara atau
menulis, sehingga kita tidak bisa serta merta berasumsi bahwa karena sebuah
aplikasi komputer menampilkan dan menyediakan penggunaan bahasa, atau
23
bahwa petunjuknya tertulis dalam bahasa yang sama-sama dimengerti baik oleh
pengembang atau pengguna maka pesan yang dibawanya dapat dipahami.
Menurut Kukulska-Hulme, komunikasi melalui bahasa adalah perihal
menyajikan pesan yang komprehensif bagi para penggunanya. Terkait dengan itu,
sikap paling bijak yang dapat diambil dalam merancang peristilahan komputer
adalah dengan menganggap seluruh penggunanya sebagai pembelajar bahasa.
Anggapan ini berlaku sejak berbagai aplikasi komputer menciptakan makna baru
yang berbeda dengan makna istilah-istilah yang sudah terlanjur akrab di telinga
para pengguna, juga sejak aplikasi-aplikasi tersebut memperkenalkan istilah-
istilah serta konsep-konsep baru yang maknanya tidak dipahami. Memandang teks
yang muncul pada layar sebagai “bahasa baru” bagi pengguna akan memunculkan
asumsi dan keyakinan perihal apa yang akan dan yang tidak akan dipahami oleh
para pengguna komputer bersangkutan. Ini memperkenalkan pula aspek produktif
terhadap bahasa: para pengguna tentunya butuh untuk mengerti, tetapi mereka
juga butuh untuk mampu menghasilkan bahasa yang sesuai dengan aplikasi yang
ada agar dapat memanfaatkannya secara maksimal.
Dalam rangka memahami permasalahan yang dialami oleh para pengguna
ketika berhadapan dengan istilah yang terdapat dalam suatu sistem komputer,
Kukulska-Hulme (1999:12) menawarkan sebuah pendekatan yang disebutnya
sebagai pendekatan komunikatif. Pendekatan ini fokus pada upaya
mengidentifikasi tujuan dan strategi komunikasi berikut elemen kebahasaan yang
digunakan untuk menerapkannya. Pendekatan ini berhubungan dengan retorika,
24
ilmu sosial, kognitif, dan aspek pikologis dari pemakaian serta pemahaman
bahasa.
Pendekatan komunikatif berupaya mengetahui aspek-aspek yang berbeda
dari suatu bahasa: mekanismenya, karakteristik visual dan auditorisnya, siklus
perubahannya, corak maknanya, variasinya, serta efek perorangan dan sosial yang
ditimbulkannya. Pendekatan ini berusaha memperhatikan kebutuhan akan
komunikasi semisal instruksi dan penjelasan, konteks komunikasi di dalam dan di
luar bahasa, serta hambatan-hambatan dalam ujaran dan tulisan. Pengetahuan akan
hal ini, menurut Kukulska-Hulme dianggap dapat menjelaskan penyebab gagalnya
komunikasi dalam situasi tertentu, dan membantu untuk mengantisipasi dan
menghindari permasalahan serupa di masa depan.
Terkait permasalahan seputar peristilahan komputer, Agnes Kukulska-
Hulme mengajukan empat tipe masalah yang akan dijelaskan dan diilustrasikan
yaitu permasalahan seputar makna dan penjelasannya, bahasa yang mengabaikan
kenyataan, struktur yang menutupi pemahaman, serta permasalahan bahasa dalam
pencarian informasi.
Permasalahan Seputar Makna dan Penjelasannya
Pada antarmuka WordPerfect (WP), terdapat kumpulan kata yang
memiliki makna khusus pada aplikasi bersangkutan, berbeda dengan makna
aslinya pada bahasa sehari-hari. Atas alasan ini pula, istilah-istilah semacam
styles, characters, blocked lines, dan global search kerap kali membingungkan
para pengguna aplikasi WP. Para pengguna telah memiliki ide tentang
kemungkinan makna kata-kata yang ada, namun ketika mereka mulai
25
menggunakan perangkat lunak tersebut, mereka harus mengubah konsepsi awal
mereka. Pada kasus yang serupa, Lotus 1-2-3 menggunakan ekspresi “to expand
the highlight”; pada kasus ini, expand dan highlight mungkin dikenali dari
konteks yang lain. Tantangan bagi para pengguna adalah mencoba untuk
memahami makna baru yang khusus dari kata-kata yang sudah terlanjur akrab
digunakan dalam bahasa sehari-hari atau dalam aplikasi komputer lainnya. Pada
fasilitas help, dimana terdapat potensi penjelasan yang cukup, istilah-istilah ini
mungkin berada di luar konteks pemahaman pengguna. Contohnya:
style = kombinasi dari format kode dan/atau teks
Sebagai tambahan, lingkaran definisi (ketika sebuah definisi mengandung
kata yang telah didefinisikan) terkadang membawa masalah. Contohnya, pada
help Lotus 1-2-3:
EDIT = 1-2-3 is in the edit mode
“Status Bar” Word pada Windows, berisi teks yang mendeskripsikan ikon:
AutoFormat: Automatically formats a document
Guna memperbaiki situasi ini, bahasa yang digunakan dalam menjelaskan
atau mendefinisikan harus dapat dipahami dan pantas diterapkan. Relevansi
dengan konteks, perubahan makna, serta pengetahuan kebahasaan pengguna harus
diperhatikan.
Konsep sinonimi dan ekuivalen turut menjadi bahan pembicaraan ketika
kata-kata yang memiliki makna berdekatan digunakan dalam waktu yang sama.
Contohnya dapat dilihat pada sistem operasi Macintosh yang biasanya
26
menampilkan apa yang disebut sebagai “alias” ketika balon “help” diaktifkan.
Teks yang dihasilkan ketika menunjuk kata alias pada desktop adalah:
This is an alias to an application. To open the application, open this alias. To drag an item to the application, drag it to this alias. Change the icon’s name by clicking on the name and typing.
Pada konteks ini, alias dan icon memiliki makna berdekatan. Hingga salah
satu diantaranya keduanya cukup dengan makna dari kata-kata ini,
membingungkan melihat keduanya digunakan sebagai rujukan atas item yang
sama.
Dengan cara yang sama, Program Manager Help pada Windows 3.1 (kotak
1) memiliki sebuah bagian yang berisi pengaturan aplikasi dan dokumen dimana
ketujuh kata yang tertera pada layar merujuk pada hal-hal yang mirip:
Applications icons program itemsDocuments properties windowsFiles
Sangat mengherankan bagaimana applications and documents berubah
menjadi applications and files, yang berubah lagi menjadi applications saja;
lantas bagaimana yang satu bisa mengorganisasikan documents?
27
Bahasa yang Mengabaikan Kenyataan
Permasalahan mengemuka ketika pengguna berhadapan dengan bahasa
yang tidak mengenal pola-pola ekspresi keseharian atau situasi kehidupan nyata.
Merupakan hal lumrah bila pengguna menemukan kecenderungan penggunaan
kata-kata sulit daripada penggunaan kata-kata yang biasa pada aplikasi populer.
Satu contohnya adalah pada perintah “To perform an action on a file”; contoh
lainnya tertera pada kotak 2.
Jika ini adalah sebuah pilihan terhadap singkatan (dalam kasus ini,
memilih menggunakan satu kata daripada dua), kemudian konsekuensinya kata
tersebut harus dipahami, maka kata kerja “yang lebih panjang” dalam bahasa
Anglo Saxon lebih umum digunakan daripada dalam bahasa Latin asli, dan
mungkin akan lebih dipilih oleh para pengguna. Jika kata-kata tunggal terasa lebih
seperti “terminologi asli”, maka sudah waktunya untuk menguji konsep-konsep
terminologi dan bahasa khusus (terminology and special languages). Kita harus
bertanya pada diri sendiri, apakah kata kerja semacam create dan generate (create
a document, generate a table) merupakan kata sehari-hari atau istilah-istilah
28
komputasi? Apakah kata-kata tersebut tidak tersalurkan dalam sistem
pemrosesan? Bagaimana perbandingannya?
Senada dengan itu, IBM memiliki aplikasi kalender (atau diary dalam
British English) yang memberikan kemudahan bagi para pengguna untuk memilih
menu-menu sebagai berikut:
Deleting an item from the calendar (menghapus item dari kalender) Inserting an item into the calendar (menyisipkan item pada
kalender) Moving an item (memindahkan sebuah item) Copying an item (menyalin sebuah item)
Kita semua memiliki kalender atau catatan harian, tetapi kita tidak
menulisinya dengan istilah-istilah seperti di atas, dalam situasi bisnis yang formal
sekalipun. Istilah-istilah yang biasa kita gunakan adalah membuat janji,
mengubahnya, membatalkannya, memindahkannya, menjadwalkan rapat,
memastikan bahwa jadwal suatu rapat tidak berbenturan dengan jadwal rapat
lainnya, mengecek kehadiran seseorang, dan sebagainya. Demikian pula pada
istilah-istilah berikut. Alih-alih mengatakan “menambahkan banyak item pada
kalender”, kita merencanakan janji dan liburan secara teratur; alih-alih
mengatakan “meninjau item-item kalender”, kita malah cenderung mencermati
rincian perjanjian yang kita buat. Bahasa itu menyatu dengan aplikasi; sebuah
penghargaan terhadap terminologi dan psikologi kebahasaan akan membantu
pengembang dalam memilih bahasa antarmuka yang lebih sesuai.
Bagian Help pada Encarta Encylopedia mengandung perintah pencarian
menggunakan fasilitas “Contents”. Perintahnya berbunyi:
To find the topic you want:1. (. . .)
29
2. Begin typing the topic name in the box above the list.The list moves to words beginning with the letters you type
Daftar lengkap dari topik-topik bantuan juga dapat diakses. Salah satunya
ialah:
The Main Window: what does it do?
Di luar dunia komputer, istilah lists tidak akan berpindah, sama halnya
dengan windows yang tidak akan melakukan apa-apa; lists dan windows hanya
memiliki kegiatan yang dikenakan terhadap keduanya. Konvensi-konvensi yang
berbeda ini diambil/diterima, dan bahasa mencerminkannya. Pada titik ini, sangat
penting untuk memahami hubungan antara bahasa dengan latar belakang
pengetahuan atau realitas, yang di dalamnya meliputi penggunaan metafora,
dalam rangka menyadari bahwa asumsi-asumsi telah dibuat. Juga akan sangat
membantu pengetahuan akan tata bahasa, khususnya fakta bahwa kata-kata
tertentu diletakkan/digunakan bersamaan: dalam hal ini, normalnya apa yang
terjadi pada sebuah daftar (list) (seseorang membuat daftar, seseorang memilih
dari daftar, dan lain-lain) atau apa yang normalnya terjadi pada sebuah jendela
(windows) (seseorang membuka dan menutupnya, menatap keluar atau
melaluinya, meletakkan tanaman di dekatnya, dan lain-lain). Kemudian kita
mungkin akan memilih berkata: “As you type, the list moves up or down in the
window to allow you to choose words beginning with the letters you type”; atau
“What can you do in the Main Window?” Pada versi terbarunya, Encarta 97,
“scrolls as you type,” merupakan bentuk yang lebih ringkas tapi dianggap lebih
dekat dengan bentuk “scrolling on the screen”. Masalah ini memunculkan
pertanyaan apakah pemahaman tentang sebuah objek (misalnya, a list/daftar)
30
membawa serta pengetahuan tentang perilaku objek tersebut serta cara
mendiskusikannya (misal, membuat atau membaca daftar, daftar dapat dipindah,
daftar dapat digulung sementara kita sedang mengetik hal lainnya pada layar)
dalam bahasa apapun.
Struktur yang Menghambat Pemahaman
Kecenderungan lain yang tersebar luas adalah menjejali kata dengan
modifiers (kata yang menentukan sifat). Modifiers adalah kata-kata yang
mengubah makna dari kata-kata lainnya. Adjektiva sering melakukan ini;
misalnya bentuk executable memodifikasi file pada istilah executable file. Ketika
modifiers merupakan rangkaian kata benda atau kombinasi dari adjektiva dan
nomina, hasilnya akan menjadi struktur kompleks yang sulit untuk dialihsandikan
bagi mereka yang tidak terbiasa menggunakannya dalam keseharian. Contoh
lainnya dapat dilihat pada fasilitas Help Powerpoint yang membicarakan tentang
“the Word-wrap Text In Object check box”; contoh lainnya dapat ditemukan pada
Lotus 1-2-3 dan fasilitas Help Excel, seperti ditunjukkan oleh kotak 3 berikut:
Masalah ini biasanya dialami oleh para pengguna yang bahasa asli atau
bahasa ibunya tidak membolehkan struktur semacam ini (misalnya bahasa
Perancis), sehingga dibutuhkan usaha lebih untuk menguraikannya. Dengan
31
demikian, akan sangat bermanfaat untuk memikirkan posisi modifiers. Kebutuhan
akan setiap modifier juga harus dipertanyakan: misalnya, apakah protection
password memberikan tingkat keamanan yang berbeda atau lebih kuat
dibandingkan dengan bentuk password saja, ataukah keamanan merupakan fungsi
dari setiap password (kata sandi)? Penghargaan terhadap aspek kognitif dan
psikologis pemahaman bahasa sangat relevan pada titik ini, dan peran dari
redundansi dalam bahasa harus diperhatikan.
Struktur kalimat yang tidak familiar, dipengaruhi oleh model pemrosesan
informasi yang mana daftar, kondisi, dan pernyataan berdasar logika menjadi hal
lumrah, menghadirkan permasalahan lainnya bagi para pengguna. Uraian isi
dalam Cinemania Interactive Movie Guides menyatakan:
To see a list of movies only, biographies only,Or topics only, use the buttons just below the list
Dibandingkan dengan bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa
sehari-hari, bentuk yang ditulis miring di atas dapat dirumuskan ulang menjadi:
“If you want to see just a list of movies, just bioghrapies, or just topics….”
Struktur yang tidak familiar kerap membuat pengguna perlu membacanya
berulang kali guna memahami maknanya.
Permasalahan Bahasa dalam Pencarian Informasi
Contoh lainnya akan menunjukkan bagaimana pendekatan komunikatif
akan menghasilkan perbedaan dalam kegiatan pencarian informasi. Hal ini
termasuk dalam indeks “user-centered” yang berpusat pada pengguna (Fidel,
1994) sebagai lawan dari indeks dan pencarian yang berpusat pada dokumen,
“document-centered”. Kita dapat merujuk pada studi kasus pada wilayah ini
32
(Kukulska-Hulme, 1993, 1996a). Ketika informasi diperoleh dari sejumlah
dokumen, kata-kata dan frasa digunakan untuk mengumpulkan teks atau bagian
yang sesuai. Asumsikan bahwa seorang pengguna tidak familiar dengan dokumen
dan mungkin juga dengan area subjek. Kata-kata dan frasa yang akan digunakan
untuk menyarikan informasi belum tentu sama seperti yang terdapat dalam
dokumen atau dalam indeks yang terasosiasi dengannya. Ini merupakan masalah
umum yang terjadi.
Pada kasus ini, pengguna IBM AS/400 System merumuskan pertanyaan
berkenaan dengan keamanan sistem mereka. Ketika bahasa dari pertanyaan ini
diuji, ditemukan bahwa kata-kata dan frasa yang telah digunakan tidak cocok
dengan yang tertera pada indeks dalam manual keamanan sistem ataupun dalam
sistem informasi online yang relevan. Kotak 4 menunjukkan bahwa meskipun
seorang pengguna mengetahui entri indeks yang relevan, mustahil mengetahui
entri indeks mana yang akan mengantar kepada jawaban atas pertanyaan yang
spesifik. Sudah jelas bahwa pengguna membutuhkan informasi dan pengetahuan
yang dapat diobservasi dalam penggunaan bahasa mereka, akan tetapi karena
penggunaan bahasa mereka tidak dipertimbangkan, kebutuhan mereka akhirnya
tidak terpenuhi. Indeksnya penuh dengan kata-kata yang persis berhubungan
dengan solusi teknis yang spesifik, sementara para pengguna mengekspresikan
diri mereka dalam bentuk yang sedikit berbeda, bahasa yang berorientasi pada
masalah.
Memahami tujuan komunikatif dari item-item yang terdapat dalam indeks
akan menghasilkan perbedaan terhadap rancangan indeks-indeks tersebut.
33
Pencarian informasi adalah perihal menjawab pertanyaan dan memahami hal yang
terkait dengan lingkup pertanyaan tersebut: bagaimana mengenali tujuan pokok
dan menerjemahkannya ke dalam istilah pencarian yang sesuai. Contohnya dapat
dilihat pada pertanyaan berikut:
“How can I prevent someone from looking at my letters?”
How can dan prevent penting bagi pengguna karena mereka perhatian pada
metode dan tindakan yang memiliki tujuan; alih-alih, indeks menawarkan kata
sandi dokumen sebagai entri poin bagi jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pengguna mungkin juga menanyakan:
“Can I restrict access to sensitive files?”
Dimana can I (kemungkinan), restrict (tindakan), dan sensitive (kategori)
semuanya mengungkap tujuan-tujuan pokok para pengguna. Ketika cara untuk
menghubungkan pertanyaan dengan jawaban dibutuhkan, poin-poin berikut akan
sangat membantu:
cermat akan tujuan komunikatif ujaran (kata kerja, kata sifat, dan
sebagainya)
34
mampu mengkategorikan konsep-konsep; seperti konsep “orang”;
gagasan rahasia.
Pahami hubungan istilah-istilah khusus terhadap kata sehari-hari;
seperti “authority” versus “right”.
2.3.2 Mediamorfosis
Istilah mediamorfosis diperkenalkan oleh Roger Fidler, Direktur Knight
Ridder tentang New Media, pada musim gugur 1991 dalam judul artikelnya
“Mediamorphosis, or the Transformation of Newspapers into a New Medium”.
Oleh Craig LaMay, ia diminta untuk mempertahankan istilah tersebut dan
memperluas konsepnya. Berangkat dari hal tersebut, Fidler kemudian melakukan
penelitian lebih lanjut yang menuntunnya pada kesadaran bahwa mediamorfosis
bukanlah sebuah konsep yang sederhana. Semakin dalam ia meneliti sejarah
komunikasi dan teknologi-teknologi yang jelas menuju suatu titik temu, semakin
35
ia menyadari bahwa manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi
komunikasi yang terbesar sejak kemunculan bahasa tulisan.
Mediamorfosis menurut Fidler adalah transformasi media komunikasi,
yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara
berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan akibat persaingan dan politik, serta
berbagai inovasi dan teknologi. Rangkaian pemaparannya soal mediamorfosis
bertujuan untuk sebanyak mungkin mengurangi keangkeran teknologi teknologi
media yang baru dan memberikan suatu struktur guna memahami pengaruh
pengaruh potensial mereka terhadap bentuk-bentuk media utama yang populer
seperti koran, majalah, televisi, dan radio. Fidler menyatakan bahwa
mediamorfosis bukanlah sekedar teori sebagai cara berpikir yang terpadu tentang
evolusi teknologi media komunikasi. Mediamorfosis memotivasi kita untuk
memahami semua bentuk sebagai bagian dari sebuah sistem yang saling terkait,
dan mencatat berbagai kesamaan dan hubungan yang ada antara bentuk bentuk
yang muncul di masa lalu, masa sekarang, dan yang sedang dalam proses
kemunculannya. Media baru tidak akan muncul begitu lama. Dan ketika bentuk
bentuk media komunikasi yang baru muncul, bentuk bentuk yang terdahulu
biasanya tidak mati – terus berkembang dan beradaptasi.
Apa itu media baru? Terry Flew (2005) mendefinisikan media baru
sebagai kombinasi dari format 3Cs yaitu computing and information technology
(IT), communication networks, dan digitize media and information content. Media
baru konsisten dengan pembelajaran teknologi media yang merujuk pada
kebutuhan untuk menyadari bagaimana mediasi dalam komunikasi melalui format
36
teknologi mengubah komunikasi dalam praktik sosial. Sementara, Lievrouw dan
Livingstone (2002) mengobservasi bahwa ada beberapa cara berpikir tentang
media baru yang perlu untuk dimasukkan dalam tiga elemen, yaitu: alat yang
memungkinkan atau memperluas kemampuan kita untuk berkomunikasi, kegiatan
komunikasi dan praktiknya dikaitkan dalam perkembangan dan penggunaan alat
alat tersebut, arahan-arahan sosial dan organisasi yang membentuk alat-alat serta
praktik media baru.
Lebih lanjut, Fidler memaparkan 3 konsep mediamorfosis yaitu: a)
koevolusi, kode-kode komunikator. Sifat sifat dasar media diwujudkan dan
diteruskan melalui kode-kode komunikator yang kita sebut bahasa. Bahasa, tanpa
harus dibandingkan satu sama lain, telah menjadi agen perubahan yang paling
berpengaruh dalam rangkaian evolusi manusia. perkembangan bahasa lisan dan
tulisan melahirkan dua transformasi besar, atau mediamorfosis, dalam sistem
komunikasi manusia. Mediamorfosis ketiga yang siap memengaruhi evolusi
komunikasi dan peradaban secara radikal adalah bahasa digital. Bahasa ini
merupakan lingua franca komputer dan jaringan telekomunikasi global. Sejak
kelahiran bahasa tulis, berbagai bentuk media terus berkoevolusi dalam tiga jalur
yang berbeda, yang disebut domain. Bahasa digital telah mentransformasikan
bentuk-bentuk media komunikasi yang ada. Inilah agen perubahan yang paling
bertanggung jawab atas pengaburan perbedaan-perbedaan di antara domain-
domain historis komunikasi.
b) konvergensi. Konvergensi selalu menjadi esensi evolusi dan proses
mediamorfosis. Konvergensi berskala besar dalam industri media dan
37
telekomunikasi, mungkin hanya terjadi sekali. Namun bentuk-bentuk media yang
ada saat ini pada kenyataannya merupakan hasil dari konvergensi-konvergensi
berskala kecil yang tidak terhitung banyaknya, yang seringkali terjadi sepanjang
waktu. Konvergensi lebih menyerupai persilangan atau perkawinan, yang
menghasilkan transformasi atas masing masing entitas yang bertemu dan
penciptaan entitas baru.
Tim Dwyer (2010), mendefinisikan konvergensi media sebagai proses
penggabungan berbagai teknologi yang baru dengan media-media yang telah ada
dan berbagai industri komunikasi serta budaya yang berkembang. Mengambil
contoh konvergensi hiburan yang dilakukan oleh Transmedia adalah mytrans.com,
yang menggabungkan media televisi dan media internet. Bila selama ini kita
menikmati acara televisi dengan duduk diam di satu tempat sambil memandangi
layar televisi, kini ada cara berbeda yang ditawarkan. Berbagai acara yang
ditayangkan di TransTV dan Trans7 bisa disaksikan melalui gadget berupa smart
atau mobile phone ataupun perangkat lain, cukup dengan terkoneksi pada jaringan
internet. Ada juga produk lain yaitu DetikTV (tv.detik.com), yang
menggabungkan media cetak, media televisi, dan internet.
c) Kompleksitas, terkait dengan teori Chaos. Chaos adalah komponen
penting perubahan. Tanpanya, alam semesta akan menjadi tempat kematian dan
kehidupan menjadi tidak mungkin. Dari kondisi chaos, lahir gagasan-gagasan
baru yang mentransformasikan dan menghidupkan sistem-sistem. Prinsip utama
teori chaos kontemporer adalah gagasan bahwa kejadian-kejadian yang terkesan
tidak signifikan atau variasi-variasi awal yang remeh dalam sistem-sistem yang
38
mengalami chaos seperti cuaca dan ekonomi, dapat memicu peningkatan eskalasi
kejadian-kejadian tak terduga yang akhirnya mengarah pada kejadian-kejadian
yang melahirkan dampak atau membawa bencana besar. Sistem-sistem yang
mengalami chaos pada dasarnya anarkis. Sistem-sistem tersebut menunjukkan
ketidakpastian yang nyaris tak berujung dengan pola jangka panjangnya yang
tidak terduga. Hal ini juga menjelaskan mengapa tidak seorang pun mampu
memprediksi secara akurat teknologi-teknologi media baru dan bentuk-bentuk
komunikasi yang akhirnya akan sukses dan yang akan gagal.
Kekayaan interaksi yang terdapat dalam sistem-sistem kehidupan,
memungkinkannya menjalani pengorganisasian diri secara spontan. Dengan kata
lain, sistem-sistem yang kompleks bersifat adaptif, yaitu bahwa sistem-sistem itu
hanya merespon kejadian secara pasif. Sistem-sistem itu secara aktif berusaha
mengarahkan apapun yang terjadi untuk mendapatkan keuntungan. Dengan
demikian, kita dapat melihat bahwa semua bentuk media hidup dalam dunia yang
dinamis dan saling tergantung. Ketika muncul tekanan-tekanan eksternal dan
penemuan-penemuan baru diperkenalkan, setiap bentuk komunikasi dipengaruhi
oleh proses pengorganisasian diri yang muncul secara spontan. Sama seperti
spesies yang berkembang demi kelangsungan hidup yang lebih baik, demikian
jugalah yang dilakukan oleh bentuk-bentuk komunikasi dan perusahaan-
perusahaan media yang ada. Proses inilah yang menjadi esensi mediamorfosis.
Prinsip Dasar Mediamorfosis
Radio AM yang tidak sepenuhnya tenggelam akibat kemunculan radio
FM, dan justru mengadopsi teknologi dan strategi pemasaran baru,
39
menggambarkan prinsip kunci mediamorfosis. Contoh lain adalah ketika
penyebaran TV semakin merajalela, radio, surat kabar, majalah dan film mendapat
hantaman keras. Namun pada kenyataannya masing masing mereka terbukti ulet
dan dapat beradaptasi. Hal ini menggambarkan akibat wajar yang penting dalam
prinsip mediamorfosis, yaitu bentuk-bentuk komunikasi yang ada harus berubah
dalam menghadapi kemunculan media baru, karena jika tidak, satu-satunya
pilihan adalah mati.
Dari ketiga konsep sebelumnya yakni koevolusi, konvergensi, dan
kompleksitas, Fidler kemudian menjabarkannya dalam 6 prinsip dasar
mediamorfosis.
a. Koevolusi dan koeksistensi
Semua bentuk media komunikasi hadir dan berkembang bersama dalam
sistem yang adaptif dan kompleks, yang terus meluas. Begitu muncul dan
berkembang, setiap bentuk baru dalam beberapa waktu dan hingga tingkat
yang beraneka ragam, mempengaruhi perkembangan setiap bentuk yang lain.
Salah satu contoh adalah media online detikcom. Setelah sukses sebagai portal
berita, kini mereka merintis kanal detiktv yang merupakan konvergensi internet
dan televisi, dan mytrans.
b. Metamorfosis
Media baru tidak muncul begitu saja dan terlepas dari yang lain.
Semuanya muncul secara bertahap dari metamorfosis media terdahulu. Ketika
bentuk-bentuk yang lebih baru muncul, bentuk-bentuk terdahulu cenderung
beradaptasi dan terus berkembang, bukan mati. Di Indonesia, contoh yang bisa
40
kita lihat, adalah Kompas. Sebagai salah satu media cetak terbesar, Kompas
membuka portal internet, dan memberikan perhatian yang cukup besar atas ini.
Selain Kompas, Tempo juga memiiliki situs berita tempointeraktif.com.
c. Pewarisan
Bentuk-bentuk media komunikasi yang bermunculan mewarisi sifat sifat
dominan dari bentuk bentuk sebelumnya. Sifat sifat ini terus berlanjut dan
menyebar melalui kode-kode komunikator yang disebut bahasa.
d. Kemampuan bertahan
Semua bentuk media komunikasi dan perusahaan media komunikasi dan
perusahaan media dipaksa untuk beradaptasi dan berkembang agar tetap dapat
bertahan dalam lingkungan yang berubah. Satu-satunya pilihan lain adalah
mati. Salah satu contoh adalah majalah berita mingguan terkenal, Newsweek
yang ditutup pada 30 Desember 2012 dan fokus dalam format online (mulai
aktif pada 4 Januari 2013), yang diberi nama Newsweek Global.
e. Peluang dan kebutuhan
Media baru tidak diadopsi secara luas lantaran keterbatasan keterbatasan
teknologi itu sendiri. Pasti selalu ada kesempatan dan alasan-alasan sosial,
politik, dan atau ekonomi yang mendorong teknologi media baru untuk
berkembang.
f. Pengadopsian yang tertunda
Teknologi-teknologi media baru selalu membutuhkan waktu yang lebih
lama daripada yang diperkirakan untuk mencapai kesuksesan bisnis.
Teknologi-teknologi itu cenderung membutuhkan sedikitnya satu generasi
41
manusia (20-30 tahun) untuk bergerak maju dari rancangan konsep hingga
perluasan pengadopsian atasnya.
Domain-domain Media Komunikasi
Domain media komunikasi merupakan sarana untuk menggali dan
membandingkan kualitas-kualitas yang ada dalam masing-masing cabang utama
sistem komunikasi manusia. Fidler mengelompokkannya dalam 3 domain.
1. Domain Interpersonal
Termasuk bentuk komunikasi lisan/ekspresif satu lawan satu yang isinya
tidak terstruktur atau dipengaruhi oleh perantara-perantara eksternal. Juga
termasuk komunikasi-komunikasi antara manusia dengan komputer yang
bertindak sebagai pengganti manusia.
2. Domain Penyiaran
Termasuk bentuk-bentuk komunikasi audio/visual dari yang sedikit
kepada yang banyak dengan perantara, isinya sangat terstruktur dan disajikan
kepada hadirin secara urut dari awal sampai akhir dalam lokasi-lokasi yang
relatif tetap dan dalam periode-periode waktu yang terjadwal dan ditentukan
sebelumnya.
3. Domain dokumen
Termasuk bentuk-bentuk komunikasi tekstual/visual dari yang sedikit
kepada yang banyak dengan perantara yang isinya dikemas dan disajikan
kepada individu-individu terutama melalui media portable. Juga termasuk
bentuk-bentuk elektronik berbasis halaman yang ditempatkan dalam jaringan
komputer, misalnya World Wide Web.
42
Hal yang mencirikan domain-domain ini telah terbentuk selama ribuan
tahun oleh dua agen perubahan yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Dalam
setiap metamorfosis yang mengikuti perkembangan dan penyebaran agen-agen
ini, muncul media baru dengan media yang sudah ada mengalami perubahan. Tapi
sejak tahun 1970-an, penyebaran bahasa digital yang terjadi dengan cepat dalam
ketiga domain tersebut telah memberi kita suatu babak baru yang radikal dalam
mempercepat evolusi dan ekspansi sistem komunikasi manusia. Suatu babak yang
disebut sebagai era rekayasa digital. Walau ciri-ciri gabungan yang muncul dari
rekayasa digital agak berkurang perbedaannya, mereka masih akan memengaruhi
asas-asas mediamorfosis media, yaitu transformasinya akan dipengaruhi oleh
saling pengaruh yang rumit antara kebutuhan-kebutuhan yang muncul, tekanan
tekanan kompetitif dan politis, serta inovasi sosial dan teknologis.
Garis Waktu Komunikasi Manusia
a. Bahasa Ekspresif dan Alat-alat komunikasi :
Homo Sapiens (manusia modern). Bahasa ekspresif termasuk gambar dan
simbol serta seni, musik, dan tarian.
b. Bahasa Lisan dan Mediamorfosis pertama
Ditandai oleh keberadaan lukisan goa di Eropa Selatan, akhir zaman es,
kemunculan komunitas-komunitas agrikultural besar, serta zaman perunggu
yang dimulai di Asia Kecil.
c. Bahasa Tulisan dan Mediamorfosis kedua
Ditandai oleh kemunculan kekaisaran-kekaisaran kuno, pengembangan
teknologi-teknologi dokumen, buku tulisan tangan dan perpustakaan, jalanan
43
Romawi dan layanan pos, pengembangan seni cetak dan kertas bubur kayu di
Asia, pengembangan kertas bubur kayu di Eropa, Renaisans Eropa dimulai di
Italia, Revolusi perdagangan, surat berita dan buku berita tulisan tangan,
pengembangan seni mencetak di Eropa, koran majalah dan buku cetakan, serta
Revolusi Industri.
d. Bahasa Digital dan Mediamorfosis ketiga
Ditandai oleh aplikasi listrik untuk komunikasi, komunikasi radio,
gambar hidup, telepon jarak jauh antar benua, radio siaran, mesin faksimili
radio, televisi siaran, computer mainframe, televisi kabel, kabel telepon
transatlantic pertama, ARPANET (pendahulu Internet), surat elektronik,
satelit, komunikasi gelombang cahaya, video game, mikroprosesor, komputer
pribadi, VCR, mesin fax digital, CD, radio dan TV digital, realitas virtual dan
sistem konferensi video, WWW, mosaik “net browser”, serta program gresek.
Hukum 30 Tahun Paul Saffo
Terkait dengan tahapan perkembangan mediamorfosis, Fidler
mendasarkan teorinya pada argumen beberapa ahli, salah satunya ialah Paul Saffo.
Menurut Saffo, rentang waktu yang dibutuhkan oleh gagasan-gagasan baru agar
benar-benar meresap ke dalam sebuah kebudayaan lazimnya rata-rata mencapai 3
dekade, setidak-tidaknya selama lima abad terakhir. Ia menyebut hal ini sebagai
hukum 30 tahun (30-year rule) (Fidler, 2003:12). Tiga tahap tipikal dalam hukum
30 tahun yaitu: dekade pertama, banyak kehebohan, banyak teka-teki, tidak
banyak penetrasi. Dekade kedua, banyak perubahan tanpa henti, penetrasi produk
44
ke dalam masyarakat dimulai. Dekade ketiga, gagasan/teknologi bersangkutan
dianggap standar dan merupakan milik umum.
Menurut Fidler, hukum 30 tahun tidak dimaksudkan untuk menentukan
kerangka waktu bagi pengadopsian berbagai teknologi baru secara luas. Hal
mendasar yang ingin dikatakan Saffo adalah bahwa kesan adanya kemajuan
teknologi yang berlangsung seketika pada umumnya salah. Hukum 30 tahun Saffo
dapat dijabarkan kembali dalam dua cara yang berbeda: 1) Berbagai terobosan dan
hasil temuan laboratorium hampir selalu membutuhkan waktu yang lebih lama
daripada yang diperkirakan orang untuk bisa menjadi produk-produk atau layanan
komersial yang sukses; 2) Berbagai teknologi yang tampaknya tiba-tiba muncul
sebagai produk-produk dan layanan-layanan baru yang mencatat sukses, entah
diakui atau tidak, pada kenyataannya sudah ketinggalan.
Hipotesis Tahap Mediamorfosis Selanjutnya
Walau telah berlangsung selama lebih dari satu abad, teknologi-teknologi
media cyber yang penting masih baru saja melintas dari tahap pertama
(sebagaimana didefinisikan oleh Paul Saffo) ke tahap kedua, saat teknologi-
teknologi itu memasuki masyarakat. Modelnya menunjukkan bahwa kira-kira di
dalam dasawarsa yang akan datang ini kita akan memasuki tahap ketiga, ketika
media cyber akan menjadi biasa dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Berikut adalah beberapa hipotesis umum tentang tahap berikutnya dari
mediamorfosis besar ketiga:
Teknologi-teknologi digital akan membuat semua bentuk komunikasi
elektronik menjadi lebih akrab dan lebih interaktif;
45
Serangkaian teleputer standar –alat-alat untuk mengombinasikan teknologi-
teknologi telepon, televisi, dan komputer— akan dikembangkan untuk
menayangkan, dan berinteraksi dengan media digital;
Jaringan-jaringan jalur lebar (broadband) global akan memungkinkan
mengakses isi media-campuran dengan biaya yang relatif murah;
Komunikasi tanpa kabel dua arah, paling tidak untuk suara dan data sederhana,
akan tanpa hambatan dan meluas;
Layanan-layanan surat elektronik yang menggabungkan teks, grafik, suara, dan
video akan merupakan bagian padu semua bentuk media digital yang akan
muncul;
Teknologi-teknologi display layar datar yang cocok untuk membaca dokumen-
dokumen elektronik serta untuk menonton film dan acara-acara TV dalam
teater-teater komersial atau rumah tangga akan menjadi hal yang biasa.
2.3.3 Pembelajaran Bahasa
Posisi bahasa Indonesia berada dalam dua tugas, yakni sebagai bahasa
nasional dan sebagai bahasa negara (Suyatno, 2012:6). Sebagai bahasa nasional,
bahasa Indonesia tidak mengikat pemakainya untuk sesuai dengan kaidah dasar
berbahasa. Menurut Suyatno, yang dipentingkan dalam pergaulan dan
perhubungan antarwarga adalah makna yang disampaikan. Oleh karena itulah,
bahasa Indonesia digunakan secara nonresmi, santai, dan bebas. Sebaliknya,
sebagai bahasa negara berarti bahasa Indonesia harus digunakan sesuai dengan
kaidah, tertib, cermat, dan masuk akal. Yang digunakan ialah bahasa Indonesia
46
yang harus lengkap dan baku. Tingkat kebakuannya diukur oleh aturan
kebahasaan dan logika pemakaian.
Berdasarkan hal ini, upaya pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan
siswa berada pada poros yang menurut Suyatno sama kuat (2012:7). Di satu sisi,
siswa harus belajar sesuai kaidah. Namun di sisi lain, siswa menghadapi
masyarakat yang berbahasa Indonesia secara bebas karena fungsi bahasa
pergaulan. Jika dilihat berdasarkan posisi siswa yang masih berada dalam tahap
awal penguasaan kaidah bahasa Indonesia, tarikan masyarakat dimungkinkan
lebih kuat dibandingkan dengan pembelajaran kaidah bahasa di sekolah, terlebih
lagi bila pembelajaran bahasa Indonesia disajikan dengan cara yang
membosankan, jenuh, dan berputar-putar. Oleh karena itu, dalam konteks
pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, seorang guru harus
memiliki tingkat penyesuaian yang cocok dengan siswa (Suyatno, 2012:10).
Penyesuaian tersebut dirancang secara terpadu dengan tujuan belajar
bahasa Indonesia yang salah satunya secara umum ialah mempersiapkan siswa
untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan bahasa yang alamiah. Demi
mewujudkan hal ini, perlu didesain secara mendalam program pembelajaran
bahasa Indonesia yang bertumpu pada aspek komunikatif, integratif, tematik yang
didasari oleh aspek fleksibilitas, siswa sebagai subjek, proses, dan kontekstual
yang tertuang dalam kurikulum.
Terkait dengan hal ini, guru membutuhkan strategi yang sesuai dan
spesifik dengan pembelajaran bahasa (Suyatno, 2012:15). Strategi tersebut
meliputi pendekatan, metode, dan teknik. Pendekatan adalah konsep dasar yang
47
melingkupi metode dengan cakupan teoretis tertentu. Metode merupakan jabaran
dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode.
Metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan.
Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikatif. Satu metode dapat
diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran. Teknik adalah cara konkret
yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru, dalam situasi ini dapat
berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Dalam hubungannya dengan penelitian ini, berikut adalah metode-metode
dan teknik yang dapat diterapkan ke dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia
(Suyatno, 2012: 15-72) khususnya kosakata/peristilahan.
a. Metode Tata Bahasa/Terjemahan
Metode tata bahasa sering disebut juga dengan metode tradisional. Metode
ini sangat kuat berpegang pada disiplin mental dan pengembangan intelektual.
Ciri-ciri metode ini adalah (a) penghafalan kaidah-kaidah dan fakta-fakta
tentang tata bahasa agar dapat dipahami dan diterapkan pada morfologi dan
kalimat yang digunakan siswa; (b) penekanannya pada membaca, mengarang,
dan terjemahan sedangkan berbicara dan menyimak diabaikan; (c) seleksi
kosakata berdasarkan teks bacaan yang dipakai; (d) unit yang mendasar adalah
kalimat, tata bahasa diajarkan secara deduktif, dan (e) bahasa daerah digunakan
sebagai pengantar dalam terjemahan, keterangan, perbandingan, dan
penghafalan kaidah bahasa.
48
b. Metode Membaca
Metode membaca bertujuan agar siswa mempunyai kemampuan
memahami teks bacaan yang diperlukan dalam kegiatan belajarnya. Langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut.
1. Pemberian kosakata dan istilah yang dianggap sukar dari guru ke siswa. Hal
itu diberikan dengan definisi dan contoh ke dalam kalimat.
2. Penyajian bacaan di kelas. Bacaan dibaca dengan diam selama 10-15 menit
(untuk mempercepat waktu, bacaan dapat diberikan sehari sebelumnya).
3. Diskusi isi bacaan dapat melalui tanya jawab.
4. Pembicaraan tata bahasa dilakukan dengan singkat. Hal itu dilakukan jika
dipandang perlu oleh guru.
5. Pembicaraan kosakata yang relevan.
6. pemberian tugas seperti mengarang (isinya relevan dengan bacaan) atau
membuat denah, skema, diagram, ikhtisar, rangkuman, dan sebagainya yang
berkaitan dengan isi bacaan.
c. Metode Integratif
Integratif berarti menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses.
Integratif terbagi menjadi interbidang studi dan antarbidang studi. Interbidang
studi artinya beberapa aspek dalam satu bidang studi diintegrasikan. Misalnya,
menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan menulis. Menulis
diintegrasikan dengan berbicara dan membaca. Materi kebahasaan
diintegrasikan dengan keterampilan bahasa. Sedangkan, antarbidang studi
49
merupakan pengintegrasian bahan dan beberapa bidang studi. Misalnya, bahasa
Indonesia dengan matematika atau dengan bidang studi lainnya.
d. Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen materi pembelajaran
diintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang
perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan tetapi alat yang digunakan
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan
secara kontekstualitas, kontemporer, konkret, dan konseptual.
Tema yang telah ditentukan haruslah diolah dengan perkembangan
lingkungan siswa yang aktual. Budaya, sosial, dan religiusitas mereka menjadi
perhatian. Begitu pula, isi tema disajikan secara kontemporer sehingga siswa
senang. Peristiwa aktual di lingkungan siswa juga harus terbahas dan
terdiskusikan di kelas. Kemudian, tema disajikan secara konkret. Semua siswa
dapat mengikuti proses pembelajaran dengan logika yang dimilikinya. Konsep-
konsep dasar tidak terlepas. Siswa berangkat dari konsep ke analisis atau dari
analisis ke konsep kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman.
e. Teknik Pembelajaran Kosakata
1. Komunikata
Teknik komunikata bertujuan agar siswa dapat mengartikan kata dari
berbagai segi menurut fungsi kata tersebut. Alat yang digunakan hanya
alat tulis. Teknik ini dapat dilakukan secara perorangan maupun
berkelompok. Caranya: (1) guru memberikan pengantar; (2) guru
menyodori satu kata kepada siswa di tempat yang terpisah dari teman
50
belakangnya; (3) siswa menebak dengan menyebutkan makna kata atau
ilustrasi kata; (4) siswa mengungkapkan aktivitas yang telah dilakukannya;
(5) guru merefleksikan kegiatan tersebut.
2. Kata Selingkung
Tujuan teknik pembelajaran kata selingkung adalah agar siswa dapat
menentukan kata yang mempunyai makna berdekatan dengan kata
tersebut. Misalnya, guru menyodorkan kata akar kemudian siswa
menyebutkan kata selingkungnya berupa batang, daun, buah, dan
seterusnya. Alat yang diperlukan ialah kartu kata secukupnya. Kegiatan ini
dapat dilakukan perseorangan maupun kelompok.
Cara menerapkan teknik ini yaitu (1) guru memberikan pengantar; (2)
siswa membentuk kelompok; (3) guru memberikan 25 kartu kata yang
harus diselesaikan dalam 10 menit; (4) siswa mengidentifikasikan kata
demi kata kemudian mendiskusikan kata-kata selingkungnya. Kata
selingkung yang harus ditambahkan dapat ditentukan jumlahnya semisal
minimal 5 kata; (5) wakil kelompok menyampaikan laporannya di hadapan
kelompok lain; (6) kelompok lain mengomentari laporan yang
disampaikan tersebut; (7) siswa menarik simpulan dari aktivitas yang
mereka lakukan; dan (8) guru merefleksikan pelajaran pada hari itu.
3. Kartu Kata
Teknik kartu kata merupakan teknik pembelajaran kata majemuk
melalui kartu. Kartu tersebut berukuran lebar 2 cm dan panjang 15 cm
yang di dalamnya tertulis kata tunggal. Permainan ini dapat diterapkan
51
secara individu maupun kelompok. Tujuan penggunaan teknik ini adalah
agar siswa dapat dengan mudah, senang, dan bergairah dalam memahami
kata majemuk melalui proses yang dilalui sendiri.
Cara menerapkan teknik adalah sebagai berikut. Tiap siswa
mendapatkan delapan atau sepuluh kartu yang di dalamnya sudah tertera
kata. Kartu yang diberikan haruslah genap karena kartu tersebut akan
digabungkan menjadi kata majemuk. Tugas siswa ialah memasangkan satu
kartu dengan kartu yang lainnya. Pemasangan itu harus dapat
memunculkan makna baru.
4. Tunjuk Abjad
Tujuan pembelajaran teknik abjad adalah agar siswa dapat
memproduksi kata dengan cepat dan banyak dalam waktu singkat. Ketika
guru menyodorkan huruf /s/ misalnya, siswa dapat menyebutkan kata
sukses, sikat, sakit, sehat, susah, dan seterusnya asalkan kata tersebut
diawali oleh huruf /s/. alat yang dibutuhkan adalah kartu huruf sebanyak-
banyaknya. Teknik ini dapat dilakukan secara perorangan atau
berkelompok.
Caranya, (1) guru memberikan pengantar tentang kegiatan belajar
yang akan dilakukan siswa; (2) di depan kelas guru membawa beberapa
kartu huruf, kemudian menunjukkan kepada semua siswa; (3) siswa segera
membuat kata berdasarkan huruf yang dilihatnya dengan jumlah sebanyak-
banyaknya dalam waktu yang ditentukan oleh guru (waktu yang
disediakan semakin lama harus semakin sedikit, misalnya dari 1 menit
52
untuk 1 huruf menjadi 30 detik untuk 1 huruf); (4) siswa menyimpulkan
kegiatan yang telah mereka lakukan; dan (5) guru merefleksikan aktivitas
yang telah dijalani siswa.
5. Kata Salah Benar
Tujuan teknik pembelajaran kata salah benar adalah agar siswa dapat
memilih kata yang benar dan salah dengan cepat. Jika guru menyodorkan
kata kepada siswa, siswa menuliskan dengan huruf B di buku tulisnya
untuk kata yang benar dan huruf S untuk kata yang salah. Misalnya guru
memperlihatkan di depan kelas kata apotik maka siswa segera menuliskan
huruf S ke dalam buku tulisnya pertanda kata tersebut salah. Alat yang
dibutuhkan adalah lembar yang ditulisi kata yang benar maupun salah
penulisannya. Teknik ini dapat dilakukan oleh perorangan maupun
kelompok.
Caranya, (1) guru memberikan pengantar tentang kegiatan belajar
yang akan dilakukan siswa; (2) di depan kelas guru membawa beberapa
lembar kata, kemudian menunjukkan kepada semua siswa kata demi kata;
(3) siswa segera menulis kata tersebut benar atau salah ke dalam buku
tulisnya; (4) siswa menukarkan hasil jawabannya ke teman lain; (5) guru
memberikan jawaban yang benar; (6) siswa mengoreksi pekerjaan
temannya; (7) guru merefleksikan aktivitas yang telah dijalani siswa.
6. Kata dari Gambar
Teknik pembelajaran kata dari gambar bertujuan agar siswa dapat
membuat kata dengan cepat berdasarkan gambar yang dilihat. Misalnya,
53
guru menunjukkan gambar banjir yang melanda sebuah desa. Dari gambar
tersebut siswa memproduksi kata air, musibah, bencana, ikan, kotoran,
berbau dan seterusnya dalam waktu yang ditentukan. Alat yang dibutuhkan
adalah gambar-gambar yang bervariasi sesuai dengan tema pembelajaran,
yang berukuran sama dengan kalender besar. Teknik ini dapat dijalankan
secara perorangan maupun kelompok.
Cara menerapkannya, (1) guru memberikan pengantar; (2) guru
menunjukkan gambar di depan kelas selama beberapa menit; (3) siswa
mengidentifikasikan gambar kemudian menuliskan beberapa kata yang
bersumber dari gambar yang dilihatnya; (4) kata yang dihasilkan dapat
ditentukan jumlahnya misalnya minimal 5 kata; (5) wakil kelompok
menyampaikan hasilnya di hadapan kelompok lain; (6) kelompok lain
mengomentari laporan yang disampaikan tersebut; (7) siswa
menyimpulkan kegiatan yang telah mereka lakukan; dan (8) guru
merefleksikan pembelajaran pada hari itu.
7. Banding Kata
Tujuan teknik pembelajaran banding kata adalah agar siswa dapat
mengartikan kata yang bersinonim atau berantonim. Siswa diberi 4 kata
yang bersinonim atau 2 kata yang berantonim kemudian siswa memaknai
masing-masing kata sehingga menemukan persamaan atau perbedaan
melalui pembandingan. Alat yang digunakan adalah amplop dan kartu kata
yang ditempel di kertas manila agar dapat digunakan dalam pembelajaran
54
berikutnya. Kegiatan ini dapat dilakukan secara perorangan maupun
berkelompok.
Cara menerapkannya, (1) guru memberikan pengantar tentang
kegiatan belajar pada hari itu; (2) guru memberikan amplop yang berisi
kata-kata yang bersinonim atau berantonim; (3) siswa mengidentifikasi
kata-kata yang diterima; (4) siswa memberikan makna tiap kata sehingga
siswa dapat membandingkan makna kata yang satu dengan makna kata
yang lain; (5) guru menyatakan berhenti jika waktu yang ditentukan habis;
(6) guru mempresentasikan siswa yang lebih cepat sampai ke yang lebih
lambat; (7) guru dapat mengulangi kegiatan tersebut dengan amplop dan
kata yang berbeda; (8) guru merefleksikan pembelajaran pada hari itu.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan sifat deskriptif
analitik. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang
dapat diamati (Bogdan dan Taylor, dalam Margono, 2007:26).
3.2 Setting Penelitian
a. Lokasi penelitian
Penelitian ini ialah penelitian dokumen yang dengan demikian memiliki
setting alamiah yang disesuaikan dengan keberadaan sumber data. Artinya,
penelitian dapat dilakukan di berbagai tempat dalam berbagai situasi.
b. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini ialah dokumen baik tertulis, foto,
maupun bahan statistik; termasuk bahan visual serta penelusuran data secara
online (Prastowo, 2010: 296-307). Penelitian ini menggunakan data primer dan
data sekunder. Data primer bersumber dari Istilah Teknologi Informasi Berbahasa
Indonesia yang diprakarsai oleh Pusat Bahasa serta berbagai istilah teknologi
informasi berbahasa Indonesia yang terdapat di internet atau media massa lainnya.
Data sekunder digunakan untuk menjelaskan relevansi antara evolusi media
dengan kebijakan bahasa yang dikeluarkan oleh Pemerintah serta relevansi antara
5656
penelitian yang dilakukan dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada Sekolah
Menengah Atas. Sumber data sekunder terdiri atas: 1) Instruksi Presiden Nomor 2
Tahun 2001 Tentang Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer
Berbahasa Indonesia; 2) Panduan Pembakuan Istilah, Pelaksanaan Instruksi
Presiden Nomor 2 Tahun 2001; Kiat Pembakuan Peristilahan Perkomputeran
dalam Bahasa Indonesia; 3) Silabus dan RPP Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Kelas X.
c. Ihwal penentuan sampel
Dalam penelitian ini, sampel data ditentukan secara purposive, yakni
dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan tertentu (Sugiyono, 2013:218).
Pertimbangan tertentu ini, didasari oleh alasan misalnya sumber data dianggap
sebagai yang paling mencerminkan hal yang diharapkan oleh peneliti, atau
mungkin sumber data tersebut merupakan keputusan penting yang akan
memudahkan peneliti dalam menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan adalah dokumentasi dengan teknik catat. Data
yang dikumpulkan dengan teknik ini ialah sekumpulan istilah yang (meminjam
kategorisasi Haryanto, 2002) mewakili: a) padanan yang tepat karena ringkas dan
jelas; b) padanan yang berterima karena ejaannya tidak jauh berbeda dengan ejaan
aslinya; dan c) padanan yang bermasalah karena terkesan dipaksakan; d) padanan
yang menciptakan kerancuan karena ganda; e) padanan yang keliru; serta f)
padanan yang tidak berterima. Adapun langkah-langkah pengumpulan datanya
57
Studi Awal
Tahap Perencanaan
Mempertajam fokus dan perumusan masalah penelitian
Pelaksanaan (observasi, dokumentasi)Simpulan hasil penelitian, rekomendasi, dalil-dalil
Analisis
Pengecekan Keabsahan data
Temuan
adalah sebagai berikut: 1) mencermati istilah-istilah teknologi informasi
berbahasa Indonesia yang dijadikan sebagai sumber data; memindai kemungkinan
terwakilinya ketepatan, keberterimaan, maupun penolakan terhadap istilah yang
ada; 2) memberikan kode (coding) pada data yang telah dicermati; 3) memilah
data yang telah diberi kode dengan identifikasi kategori sesuai dengan rumusan
Agnes Kukulska-Hulme; 4) memberikan tanggapan awal berupa persetujuan
(istilah yang tepat), keberterimaan (istilah yang berterima), maupun penolakan
(istilah yang dipaksakan, rancu, keliru, serta tidak berterima).
3.4 Metode Penganalisisan Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menerapkan
Pendekatan Komunikatif Agnes Kukulska-Hulme, teori Mediamorfosis Roger
Fidler, serta teknik pembelajaran bahasa baku/serapan pada Sekolah Menengah
Atas yang dikemukakan oleh Suyatno.
3.5 Rancangan Penelitian
58
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan secara rinci hasil penelitian dan pembahasan
yang meliputi: (1) uraian data penelitian; (2) analisis dengan pendekatan
komunikatif; (3) analisis dengan teori mediamorfosis; dan (4) relevansi antara
pendekatan komunikatif dengan pembelajaran bahasa Indonesia pada Sekolah
Menengah Atas.
4.1 Identifikasi Data Penelitian
Data pada bagian ini dipilah menjadi dua macam yakni data berupa
kumpulan istilah komputer berbahasa Indonesia serta data berupa berbagai
dokumen terkait dengan ihwal kebijakan peristilahan komputer berbahasa
Indonesia termasuk respon-respon yang muncul terhadapnya.
4.1.1 Kumpulan Istilah Komputer Berbahasa Indonesia
Data penelitian ini bersumber dari:
1) Glosarium Istilah Teknologi Informasi Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, tt);
2) Kamus Istilah Komputer dan Informatika (Maseleno, 2003);
3) Kamus Komputer (Purba, 2006);
4) Berbagai istilah komputer berbahasa Indonesia yang terdapat pada sistem
operasi Windows, Android, Symbian, iOS maupun istilah-istilah yang muncul
di media cetak, internet, serta media elektronik lainnya.
59
Bentuk Kata Serupa
NO ISTILAH PADANAN
1 Copy Salin2 Slide Salindia
Tanggapan awal: Masalah popularitas penggunaan saja. Bentuk asli copy
diasumsikan lebih banyak digunakan ketimbang padanannya dalam bahasa Indonesia.
Bentuk salindia kurang lazim, bisa diplesetkan menjadi ‘ganti dia.’
Makna Budaya Khusus
NO ISTILAH PADANAN1 Activity log sheet lembatang log aktivitas2 Assembly drawing gambatang rakitan3 Attenuation atenuasi/laifan4 Average seek time purata masa jangkau5 Bandwidth Lebatang pipa6 Batch Tumpak7 Bellmouth Liwat8 Bellows Pengangin9 Collation Taklikan10 Content search Selurus isi11 Current tracer Juru kalkir arus12 Digital lease line Jalur suwa digital13 Dimensioning Pemandraan14 Electrostatic shielding Tanungan elektrostatik15 Etching Pengetsaan16 Excide battery Baterai toraja17 Expanded symbol set perangkat simbul diperluas18 Extinction angle Sudut pemuduran19 Force placement Tempatan forsa20 Fork mark Tanda cagah21 Home loop Ikal rumah22 Hyperlink Hipertaut23 Inert gas Gas lengai24 Infinite Ananta25 Literal operand Kinandar literal
60
26 Message sink Sungap pesan27 Minimum detectable range Julat mampu temu minimum28 Multiple-twin cable Kabel kembatang jamak29 Off delay Lepas tundia30 On-chip Atas-supih31 Range gate Gerbang julat32 Stretching Pantengan33 Tractive force Kakas aseret34 X-Y Plotter Pengomplak X-Y
Tanggapan awal: bentuk lembatang, gambatang, dan laifan tidak ditemukan
di KBBI, demikian pula lebatang. Tidak ada purata sebagai lema tersendiri pada
KBBI. Ia hanya disisipkan dalam penjelasan tentang jarak: purata = pukul rata?
Dalam KBBI liwat selain bermakna ‘lewat’ juga bermakna ‘persetubuhan antara
sesama jenis’. Lema pengangin tidak ditemukan di KBBI.
Tidak ada taklikan di KBBI, taklikat ada (takarir), tetapi jika mengacu pada
padanan yang mirip yakni kolase, maknanya menjadi berbeda. Terkait dengan content
search yang dipadankan menjadi selurus isi, terdapat bentuk yang lebih populer
yakkni telusur, atau bentuk yang lebih ringkas yakni cari. Kalkir tidak ditemukan di
KBBI, demikian pula suwa dan pemandraan. Tanung tidak ditemukan di KBBI,
sedangkan baterai toraja patut dipertanyakan apakah maksudnya torak? (bagian dari
mesin atau motor yang bergerak mondar-mandir dalam suatu silinder karena tenaga
uap atau karena pembakaran bahan bakar; sebab Toraja di Indonesia lebih dipahami
sebagai identitas geografis dan etnis, bukan jenis baterai.
Padanan symbol ialah simbul. Mengapa tidak simbol saja? Copy paste dari
padanan istilah Malaysia? Bentuk mudur tidak ditemukan di KBBI. Force =
61
kekuatan, paksaan? Tidak ditemukan forsa di KBBI, sama halnya seperti cagah.
Bentuk hipertaut kurang populer dibandingkan bentuk aslinya, ananta tidak
ditemukan di KBBI. Bentuk kinandar juga tidak ditemukan. Sungap, kembatang,
tundia, supih, dan pantengan tidak ditemukan di KBBI. Traction = daya tarik;
konotasi aseret tidak ditemukan di KBBI. Sementara terdapat dua padanan untuk
force yaitu forsa dan kakas.
Pelafalan yang Keliru
NO ISTILAH PELAFALAN1 Charge [C a s]2 Save [S i p]3 Email [I m e l]4 Escape [E s k a p e]5 Paste [P a s t e]6 Eject [E j e k]7 Fon [P o n]8 Jam [J a m]9 Mouse [M o u s/m a u s]10 Redo [R e d o/r i d o]11 Undo [A n d o/u n d o]
Tanggapan awal: [E s k a p e]? Tidakkah bentuk ini dipaksakan? Bentuk
yang kedua, ketiga, dan keempat (larian/lolos; lompatan) juga kurang populer
dibandingkan istilah aslinya. Paste dipadankan dengan pasta. Meskipun demikian,
bentuk ini kerap dilafalkan sebagai [p a s t e] saja. Pelafalan jam (dalam paper jam
misalnya) sebagai [j a m] dalam bahasa Indonesia merujuk pada alat penunjuk waktu,
padahal maksudnya bukan demikian. Jam dalam konteks ini tidak pula bermakna
selai, tetapi kertas yang tersangkut pada mesin pencetak (printer). Mouse tidak jarang
dilafalkan sebagai [m o u s] atau [m a u s], atau kadang [m o s]. Pasangan redo dan
62
undo sering dilafalkan sebagai [r e d o] dan [a n d o] atau [u n d o]. Jika pelafalannya
tepat, yang seringkali berubah ialah silabe pertama misalnya /re/ menjadi /ri/ atau /un/
menjadi /an/. Silabe terakhir jarang diucapkan sebagai /du/.
Singkatan
NO ISTILAH KEPANJANGAN1 ESC Escape2 INS Insert3 DEL Delete4 PRTSC Printscreen5 PGUP Page up6 PGDN Page down7 CTRL Control8 ALT Alternate9 Bps Bit per second10 Widget Gawit (gawai rawit)11 Hashtag (Twitter) Tagar (tanda pagar)12 Netizen Netizen (internet citizen)13 Offline Luring (luar jaringan)14 Online Daring (dalam jaringan)15 Pull technology Tektarik
Tanggapan awal: bentuk-bentuk semacam ini membutuhkan dua tahap
pemahaman bagi pengguna pemula. Yang pertama adalah memahami kepanjangan
dari singkatan/akronim tersebut. Kedua, memahami fungsi dari singkatan-singkatan
tersebut. ESC, INS, DEL, PRTSC, PGUP, PGDN, CTRL, dan ALT merupakan
bentuk-bentuk yang lazim ditemukan pada papan Qwerty. Singkatan bps ditemukan
pada senarai padanan istilah, sedangkan akronim gawit (widget) pada sistem operasi
Android. Tagar (hastag) merupakan akronim yang terdapat pada aplikasi Twitter,
netizen biasanya merujuk pada setiap pengguna media sosial di internet. Akronim
tektarik (pull technology) tampaknya mengadopsi tatacara pemadanan istilah
63
Malaysia. Dua akronim terakhir yakni daring (online) dan luring (offline) memiliki
padanan yang berbeda pada glosarium istilah TI yakni terhubung (online) dan putus
jaring (offline).
Istilah Semi Teknis
NO ISTILAH PADANAN1 Add-ons (Mozilla Firefox) Pengaya2 Applet widget toolkit perangkat oprek aplet3 Band overlap Luah pita4 Bath voltage Voltase tangas5 Booster Penggalak6 Bug Kutu7 Bulb Cembul; pentol8 Bullet Bulet9 Buncher Penjaras10 Cache Tembolok11 Cake Melekat12 Capslock Kancing capital13 Cookie Kuki14 Cut Gunting15 Daemon Jurik (hantu; setan; pengganggu)16 Desktop gadgets Acang desktop17 Download Unduh18 Drag Geser; seret19 Folder Pelipat20 Footer Pengaki21 Galloping Pencongklangan22 History Riwayat23 Mouse Tetikus24 Probe Kuar25 Server Peladen26 Shunt Langsir27 Side track Sepur simpang28 Status bit Gurdi status29 Squeal Dengking30 Tile Ubinan31 Up Ungguh32 Upload Unggah
64
33 Wedge Baji34 Woofer Penyalak35 World wide web Waring wera wanua; Wire wiri wae;
Jaring jagad jembar
Tanggapan awal: pengaya (add-ons) tidak ditemukan di KBBI. Akan tetapi,
bentuk ini memiliki kedekatan dengan diksi pengayaan (misal: pengayaan uranium).
Oprek juga tidak ditemukan di KBBI. Bentuk ini biasanya ditemukan dalam tulisan di
bidang modifikasi otomotif. Luah: rasa hendak muntah; volume zat cair yg mengalir
melalui permukaan persatuan waktu. Tangas = Mandi uap. Penggalak (booster) salah
satunya dikenali lewat perangkat antena televisi. Ada juga yang menyebut kutu (bug)
sebagai serangga. Cembul = Tonjolan kecil dan bundar (seperti pada kepala jarum
pentol). Dalam bidang fotografi, bulb dikenali sebagai salah satu teknik foto
timelapse atau pengambilan satu gambar dalam waktu yang lama.
Jika mengikuti diversifikasinya pada Microsoft Word, bulet tidak sekedar
bullet (peluru; bundar), tetapi juga tanda panah, strip, ketupat, dan lain-lain).
Menjaras: v memberkas; mengikat menjadi segabung; mengatur baik-baik (tt rambut
dsb). Tembolok = kantong tempat makanan pada leher (burung, ayam, dsb.); kas
perut. Cookie dan cake tidak dipadankan sebagai kue atau roti, tetapi kuki dan
melekat. Padanan kedua bentuk tersebut berbeda dengan bug atau daemon. Bentuk
kancing kapital (capslock) terlampau panjang jika hendak ditempel di keyboard
(papan kunci). Lagipula, penggunaan bentuk ini lebih pada program pengolah kata.
Dalam Language Interface Packs (LIP) Windows 7, gadget dipadankan
sebagai acang. Diksi unduh berkorelasi positif dengan unduh; ngunduh (mantu).
65
Geser; seret (drag) memiliki konotasi yang berbeda misalnya dengan drag bike.
Padanan pelipat untuk folder dianggap kurang tepat. Salah satu argumen dasarnya
mungkin dilihat dari fungsi folder untuk menampung berbagai file/berkas sehingga
menyebutnya sebagai pelipat tampaknya berseberangan dengan tugasnya sebagai
kantong penyimpanan.
Jika mengacu pada keberadaan header (kepala), semestinya footer (pengaki)
dapat diterima. Namun, bentuk asli dari kedua istilah inilah yang tetap digunakan
(header dan footer). Mencongklang = berlari kencang (tt kuda dsb). Di beberapa
peramban misalnya Chrome berbahasa Indonesia, history kerap diterjemahkan
sebagai riwayat (riwayat penelusuran). Bentuk asli (mouse) terlampau populer di
kalangan pengguna TI. Kuar = ‘burung yang keluar dari persembunyiannya pada
malam hari; lingsa yang baru menetas’. Diperdebatkan, apakah padanan yang lebih
sesuai untuk server adalah pelayan agar relevan dengan service?
Langsir = mengatur sambil menggandeng-gandengkan gerbong kereta api;
berjalan mondar-mandir (bolak-balik). Sepur = kereta api? Track di KBBI
diterjemahkan sebagai trek = jalur, jalan, lintasan. Bit = gurdi = bor kecil; jara.
Dengking = ‘tiruan bunyi salak anjing, teriakan orang dan sebagainya.’ Pada Sistem
Operasi Windows XP, istilah tile biasa ditemukan pada mode pengaturan kertas
dinding (wallpaper) seperti tile, scretch. Baji = ruyung; pasak.
Speaker Woofer digunakan untuk mengeluarkan suara bass dengan nada rendah;
penyalak/salakan berkonotasi dengan bunyi yang dihasilkan oleh anjing. Lebih sering
disebut sebagai www saja atau yang ringkas ialah internet saja.
66
Sinonim
NO ISTILAH PADANAN1 Abort (a transaction) Gugur; Henti paksa2 Axle Gandar; aksel3 Browser dan explorer Penjelajah4 Chat Dialog; rumpi5 Coercive force Kakas kursif; gaya6 Cursor Kursor; penggeser7 Dash Alangan; des8 Default Asal; asali; mula9 Disc Disket; cakram; diska10 Distortion Distorsi; erotan11 Drive Penggerak; kandar12 Dummy Tiruan; sulih; boneka13 Expiration; expiry Ekspirasi; kedaluwarsa14 Exposure Eksposur; pembiaran15 File Berkas; fail16 Font Huruf; fonta17 Furnace Tanur; relau18 Image Imaji; citra; santir19 Immersions lens Kanta rendam; lensa20 Instrument instrumen; radas21 Junk Limbah; sampah22 Keyless ringing Giring-giring tanpa kunci; dering23 Magnetic ledge Birai magnetic24 Magnetic saturation Jenuhan magnetik; saturasi25 Mobile Selular; ponsel26 Receiving flag Ubira penerima; bendera27 Record Utas; rekam28 Redundancy Kelewahan; redundansi29 Reverb Kerdam; gema30 Sheath Upih; seludang31 Splashproof machine Mesin kedap air recik; percik32 Stapler Pemaut; pengokot33 Tag format Format kitir34 Thread (Android) Ulir; utas35 Timeline (Facebook) Kronologi; linimasa36 Transparency Transparansi; kesemrawangan37 Trash rack Para-para; rak38 Twin crystal Hablur kembar/Kristal ganda
67
39 Twisting pliers Gegep memuntir/tang; catut40 Varnish Rengas; pernis
Tanggapan awal: Gugur memiliki konotasi yang berbeda. Perintah yang
lebih populer ialah batalkan. Yang lebih populer daripada gandar/aksel adalah
poros/sumbu. Browser dan explorer kata padanannya disamakan. Chat cenderung
dalam kondisi santai, non-formal; lebih dekat dengan rumpi. Meskipun demikian,
rumpi biasanya berlangsung dalam interaksi tanpa perantara, meskipun belakangan
penggunaan istilah rumpi juga ditemukan untuk menyebut obrolan lewat telepon.
Berbeda dari keduanya, konteks dialog biasanya merupakan percakapan terstruktur.
Force dipadankan dengan kakas: mengerasi; memaksa. Namun, force juga
dapat bermakna gaya (gaya koersif)? Padanan des mungkin akan lebih berterima
mengingat kemiripan pengucapan dengan dash, dibandingkan dengan penggunaan
bentuk alangan. Bentuk pertama padanan default lebih populer. Istilah asali pun,
pada dasarnya dapat disubstitusi oleh bentuk awal, mula. Bentuk disket lebih
dipahami sebagai penyimpanan segi empat konvensional, sedangkan bentuk yang
kedua dan ketiga kurang berterima karena disc akan dilafalkan sebagai dis.
Erotan mungkin akan kurang berterima mengingat bentuk distorsi telah
banyak digunakan di berbagai bidang. Bentuk tiruan merupakan yang paling populer,
diikiuti bentuk ketiga. Bentuk sulih lazim ditemukan pada kegiatan dubbing (sulih
suara). Padanan yang pertama lebih berterima daripada bentuk yang kedua karena
eksposur lebih populer. Pembiaran juga memiliki konotasi negatif dalam konteks
68
yang berbeda, misal pembiaran perilaku korupsi, pembiaran anak (penelantaran) dan
sebagainya.
Bentuk berkas berterima karena telah digunakan secara luas. Bentuk fail juga
berterima karena memiliki kemiripan pelafalan dengan istilah aslinya. Yang lebih
populer ialah huruf, atau jenis huruf, bukan fonta. Bahkan hingga saat ini, bentuk
yang lebih banyak digunakan ialah font saja. Lens = kanta? Mengapa bukan lensa
saja? Instrumen = radas; alat. Padanan yang lebih populer untuk junk adalah sampah
(Gmail bahasa Indonesia). Tidakkah ringing sekarang lebih dikenali sebagai dering?
Birai = Pagar rendah; bingkai; lis; tepi. Daripada istilah jenuhan, bentuk
saturasi telah digunakan secara luas, salah satunya dalam bidang desain grafis (misal:
penyuntingan foto). Mobile biasanya merujuk pada perangkat yang bersifat
removable, portable, dan kerap kali diasosiasikan dengan mobile phone yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ‘telepon seluler’, bukan selular. Flag =
ubira. Bagaimana dengan bendera?
Utas biasanya merupakan padanan dari thread, sehingga bentuk rekam lebih
pas. Kelewahan = ‘Tumpah; berlimpah; kelebihan; mubazir’. Kerdam = bunyi
bergema. Cable sheath? Upih = tangkai pelepah pinang dsb yang lebar dan tipis;
bagian daun tanaman padi-padian yang menyelubungi batang; seludang = kulit
pemalut mayang pinang (kelapa dan sebagainya). Recik = percik. Stapler di Indonesia
lazim disebut staples. Di Wikipedia disebut pengokot. Tag pada aplikasi Facebook
maupun Twitter diterjemahkan sebagai tanda, sedangkan kitir = surat keterangan.
69
Di beberapa aplikasi dan media sudah mulai digunakan istilah linimasa; di
Facebook, timeline dipadankan dengan kronologi. Padanan pertama (transparansi)
lebih sesuai. Para-para = rak. Bentuk yang lebih ringkas ialah rak rongsokan sebab
diksi ini lebih populer daripada rosokan. Mengapa bukan kristal ganda/kembar?
Sebab bentuk kristal telah digunakan secara luas. Hablur = benda keras yang bening
seperti kaca; kristal.’ Gegep = catut (penjepit); pliers = tang. Mengapa bukan
tang/catut pemuntir saja? Pernis merupakan padanan yang telah digunakan luas
daripada bentuk rengas = pohon yang getahnya untuk mengkilapkan.
Keterangan Bertumpuk
NO ISTILAH PADANAN1 easy open pack2 the Re-enter Password Box3 the Customise Toolbars Dialog Box4 the most recently ungrouped group
Tanggapan awal: keempat bentuk ini terdapat pada aplikasi Microsoft Office
dan dikutip dari Kukulska-Hulme (2000:595).
Dwibahasa Identik
NO ISTILAH PADANAN1 Idle tak berguna; terbiar2 Idle contact Kontak percuma3 Optional device Peranti sesuka4 Poke Mengopak5 Spin test facility Fasilitas uji berpusing
Tanggapan awal: Dalam kasus penggunaan printer (pencetak) misalnya,
status yang tertera kadang adalah idle. Jika mengacu pada padanan tak berguna;
terbiar maka konotasinya menjadi berbeda. Peranti atau piranti?; Sesuka atau
70
pilihan? Dalam aplikasi Facebook, Poke diartikan sebagai colek. Spin = berpusing
atau berputar atau putaran?
Ambiguitas
NO ISTILAH PADANAN1 Capture Penangkapan2 Crop Kerat; crop3 Charger Pembeban4 Discard Buang kartu5 Eject Pancar6 Emergency pull Renggutan darurat7 Film scanner Pemayar selaput8 Firewall Tembok api9 Firmware Piranti tegar; perangkat tegar10 Fixed partition Pantis tetap11 Guy anchor Jangkar gai12 Guy clamp Penjepit gai13 Handle Menangan; pembantu14 Harness Abah-abah15 Hit Ketuk16 Horn throat Jalan sempit bentuk selaput17 Hume pipe duct Sauran pipa senandung18 Idler circuit Sirkuit pengangguran19 Impregnated cable Kabel tersedak20 Jam Desak-desakan21 Joystick Tongkat joy; tongkat ria22 Longitudinal circuit Sirkuit membuyar23 Lower case Sosok (huruf) bawah24 Malicious code Kode hasad25 Mutual exclusion Saling asing26 Odds Barang tetek tengah27 Outgoing level Aras tarian28 Overscan Lewat pagar29 Parallel virtual machine Mesin maya selari30 Plane earth Bumi ketam; ketam bumi31 Promiscuous mode Ragam kacau balau32 Redo Jadi lagi33 Removable hard disk Cakram keras bisa pindah34 Secondary password Tegoran sekunder
71
35 Tag format Format kitir36 Traffic lever Tuan lalu lintas37 Transient supervisor Penyelia fana
Tanggapan awal: capture = penangkapan berasosiasi pada tindakan kriminal.
Kerat identik dengan perilaku hewan semacam tikus dan lain-lain dengan pola yang
dihasilkan tidak teratur, sedangkan crop memiliki pilihan pola yang teratur dan tidak
teratur. Charger = pembeban atau pengisi daya (pendaya)? Sebab charger jika
merujuk pada perangkat maka merupakan alat untuk mengisi daya listrik pada
perangkat elektronik. Discard tidak serta merta secara harafiah berarti buang kartu
sebab dalam banyak konteks, bentuk ini lebih umum dimaknai sebagai buang dengan
makna konteks sebagai turunannya.
Pancar atau lontar, atau lepas, cabut sebagai padanan eject? Renggutan =
‘tarikan, sentakan, cabutan.’ Film dipadankan dengan selaput (seluloid) yang
merupakan bahan dasar pembentuknya, padahal bentuk yang lebih populer tetaplah
film. Demikian pula scanner yang dipadankan sebagai pemayar. Siapa yang akan
pergi ke suatu percetakan dan kemudian berkata, “Saya hendak memayar 3 buah
selaput. Dapatkah Anda membantu saya?”
Bentuk asli (firewall) lebih populer, dan tetap digunakan daripada
padanannya. Tidakkah firmware lebih cocok menjadi piranti/perangkat
asal/pabrikan? Sebab tegar bila mengacu pada artinya yang tidak dapat diubah
(keputusan/pendiriannya) pun tidak relevan lagi karena firmware pun sekarang bisa
diupgrade atau dimodifikasi. Pantis = penghitam alis? Atau maksudnya bukan
72
demikian? Sebab partisi sudah menjadi padanan yang populer dari partition (fixed
partition). Tidakkah padanan gai berasosiasi dengan gay pada pelafalannya (jangkar
gai)? Handle = pegangan? Bantuan? Hit pada situs atau blog pribadi, dapat juga
bermakna ‘kunjungan’. Kabel bisa tersedak (impregnated cable)?
Pada kasus kertas tersangkut di printer, digunakan istilah paper jam, sehingga
padanan ini tidak secara rigid digunakan pada setiap kasus jam (jam session,
strawberry jam?). Padanan joystick dalam bahasa Melayu yakni tongkat bahagia
menjadi bahan olok-olok di kalangan pengguna internet karena dianggap berkonotasi
seksual. Misal: “Tina, joystick saya bagus lho, bisa plug and play, ayo kita main
game bareng.”—Affan Basalamah, pau-mikro, 8 Agu 2001. Istilah longitudinal telah
dipahami luas dalam bidang sains secara umum. Dengan demikian, penggunaan
bentuk membuyar dalam sirkuit membuyar tentu lebih menyulitkan pemahaman
daripada memudahkan.
Konsep sosok dalam frasa terjemahan merupakan hipernim, sedangkan pada
frasa asli merupakan hiponim karena merujuk pada hal spesifik (huruf). Di samping
itu, diksi sosok juga biasanya mengacu pada entitas yang masih belum jelas,
misterius. Pada frasa padanan, penambahan opsional kata (huruf) justru menjadikan
padanan ini boros, terlalu panjang. Lower case lazim disebut sebagai huruf kecil saja.
Outgoing = tarian?
Bentuk paralel lebih luas digunakan daripada selari. Pemilihan diksi paralel
juga menjadikan frasa terjemahannya tetap logis (mesin maya paralel; mesin virtual
paralel), tidak merujuk pada kegiatan persona (maya selari). Password = tegoran;
73
kata kunci? Fana vs abadi? Transient = seketika, sekejap, sementara. Mana konotasi
yang lebih sesuai?
Ekspresi Idiomatik
NO ISTILAH PADANAN1 Mike boom Tangan-tangan carong2 Radio trunking Tulang punggung radio
Tanggapan awal: tidak ada carong di KBBI 3. Bagaimana dengan tulang
punggung radio? Korelasinya dengan tulang punggung keluarga?
Kategori Lainnya
NO ISTILAH PADANAN1 Addressless inctruction format format instruksi tan alamat2 Anonymity Ketantanaman3 Applicability Aplikabilitas4 Autosave Swasimpan5 Autoscore Swaskor6 Autothread Autoulir7 Blind copy recipient penerima kopi buntu; penerima salin buntu8 Byte Bita9 Caption Takarir10 Channel induction furnace Relau induksi saluran11 Computer-Managed Instruction pengajaran dimanaje komputer12 Continous Kontinu; malar13 Deadlock restart Reanjak mogok14 Debug Awakutu15 Decode Awasandi16 Deinstall Awa pasang; awa tempat17 DigiCash Digiuang18 Digit punch Penebuk digit19 Enqueue Pembatalan antrian20 Error Galat21 Error range Daerah/jangkah kesalahan/kekeliruan22 Exception record rekord perkecualian23 Excitation voltage Voltase teralan24 Expanded sweep Lejang diperluas
74
25 Expiration date Tanggal ekspirasi26 Expiry date indication Indikasi tanggal kedaluwarsa27 File coupling Pengkopelan berkas28 File gap Rumpang berkas29 Firmware Piranti tegar; perangkat tegar30 Operating system firmware peralatan liat sistem pengoperasian31 Flapper coil Kumparan kelepai32 Focal glass plate Pelat kaca pumpun33 Glottis Gratis?34 Horizontal-hold control pengawasan taha-horizontal35 Hypertape drive Pacu hipertape 36 Image ratio Nisbah santir37 Latency Kelenaan38 Lateral stay Tupang lateral39 Links Taut40 Log (Android) Log41 Logical tab Punca logika42 Loop cable Kabel sengkelit43 Loop clause Klausa simpal44 Lumped constant Konstanta berbungkah45 Minor time slace Cantas waktu minor46 Output decay Lopak keluaran47 Output stacker Pemumpun keluaran48 Panning Pelimbangan49 Password Sandi lewat; kata sandi50 Pick device Gawai pilih51 Pivot Pivot; umpil52 Pivoting Peniasakan53 Play back Saji balik54 Polish notation Notasi upam55 Prefetch Praambil; prasongsong56 Program search Susur program57 Pushdown stack Stak tekan ke bawah58 Reason Ralat59 Reasonableness check Pemeriksaan kemasuk-akalan60 Reasonableness test Tes tak menasabah61 Redial Redial62 Relative humidity Kelengasan nisbi63 Reseller Kulak64 Rupturing capacity Kapasitas rengat65 Scan head Bonggol pindai
75
66 Shore end cable Kabel akhir tupang67 Shunt Langsir68 Shunt motor Motor pirau69 Stay thimble Mur sungkup tupang70 Stray current Arus sesatan71 Stretcher Pemulur72 Stretching Pantengan73 Subshell Anak ketopak74 Subscriber Penika bawah75 Subscript Tika bawah76 Superscript Tika atas77 Switch jack Bicu putar78 Tap Cerat79 Tape verifier Pentahkik pita80 Tape-armored cable Kabel bersirah pita81 Thrashing Deraan82 Time slace Cantas waktu83 Unzip Awazip84 Vertical shift Ingsutan vertikal85 Web Web
Tanggapan awal: tan merupakan bentuk terikat selain tak; tidak. Sufiks –ty
dipadankan dengan konfiks ke-an, sedangkan bentuk anonym dipadankan dengan
tantanama. Tidakkah seharusnya tanpanama (ketanpanamaan)? Tidak ada
aplikabilitas dalam KBBI 3. Jika ingin konsisten seperti bentuk kentantanaman,
seharusnya lema ini dipadankan dengan keberterapan. Morfem terikat swa- pada
swasimpan maupun swaskor bersaing dengan bentuk oto/auto. Pada bentuk autoulir
(autothread) terdapat inkonsistensi dengan padanan dua auto sebelumnya.
KBBI 3 hanya mencantumkan bit, belum ada bita. Malar tidak populer
dibandingkan kontinu. Sebelumnya furnace diterjemahkan sebagai relau, sedangkan
pada bentuk continous furnace diterjemahkan sebagai tanur. Restart diterjemahkan
76
sebagai reanjak, sedangkan deadlock menjadi mogok; yang dalam hal ini dapat pula
diterjemahkan sebagai buntu.
Bentuk terikat awa- sebagai padanan de- membentuk debug menjadi awakutu.
Jelas merupakan bentuk yang tidak lazim karena jika dikaitkan dengan bentuk yang
lebih besar (frasa/kalimat) maka penerjemahan turunan bentuk ini menjadi sulit
diterima. Misal: proses debug = proses pengawakutuan? Awapasang (deinstall)
merupakan kasus yang sama dengan awakutu; bentuk aslinya pun kurang populer
karena yang lebih dikenal ialah uninstall. Tebuk = lubang, berlubang, tembus,
tembuk.
Di aplikasi Winamp misalnya, ketika mengklik lagu kemudian memilih
Enqueue in Winamp, maka berkas lagu akan otomatis tertampung di Winamp tetapi
dalam mode lagu tidak diputar otomatis. Artinya jika kita setuju dengan terjemahan
enqueueu, seharusnya perintah di Winamp juga mengimplikasikan pelaksanaan tugas
yang sama. Namun nyatanya berbeda. Bentuk galat sudah lazim digunakan di bidang
akademis misalnya perhitungan statistik, tapi masih tetap tidak sepopuler bentuk
aslinya (error). Teral ark = menggiatkan bekerja, menyuruh dengan memaksa-maksa
supaya berbuat sesuatu.
Lejang = sepak; terjang; rejang; gerakan (loncat, lari) yang cepat; gerakan
yang laju (tt peluru, anak panah). Kopel = berpasangan, bergandengan (saling
berhubungan). Kelepai = menggantung tidak tegak, terkulai-kulai. Focal = pumpun?
Berpumpun = berhimpun, berkumpul. Image biasanya diterjemahkan sebagai imaji
atau citra, sedangkan sanlir tidak ditemukan di KBBI 3. Adapun gabungan sanlir
77
grafik juga tidak tepat karena graphics biasanya diterjemahkan sebagai grafis (ks),
sehingga frasa padanannya menjadi citra grafis.
Hold = taha? Nisbah santir merupakan inkonsistensi image; bentuk rasio
sudah digunakan secara luas dan jelas lebih populer daripada santir sehingga frasa
image ratio seharusnya diterjemahkan menjadi rasio gambar sebab istilah ini kerap
ditemukan pada pengolahan gambar. Lena = nyenyak, lengah, lalai? Tupang = topang
= sokong; sangga. Di laman Facebook misalnya, shared a link diterjemahkan sebagai
‘membagikan sebuah tautan’.
Dalam Sistem Operasi Symbian, log diterjemahkan sebagai ‘catatan
panggilan’. Punca = ujung; tingkat permulaan, pengantar; pangkal; sumber. Home
loop = ikal; index loop = gelung indeks (ikal, gelung, sengkelit, simpal). Bungkah =
bongkah = gumpalan. Slace = cantas = gagah; tampan; berani; tegas; terampil. Lopak
= lekukan tanah berisi air. Focal = pumpun; stacker = pemumpun (pengumpul;
penghimpun).
Limbang = pergi (berjalan) kemana-mana; mengembara. Tetapi dalam kasus
fotografi misalnya, untuk menjelaskan teknik foto Panning (objek berjalan cepat)
istilah yang digunakan tetaplah foto Panning, bukan foto pelimbang/pelimbangan.
Jika frasa gawai pilih merupakan bentuk imperatif, seharusnya diterjemahkan
menjadi pilih gawai. Jika hendak konsisten, device semestinya dipadankan dengan
piranti atau perangkat, sedangkan gawai merupakan padanan dari gadget. Umpil =
‘mengangkat (dg tuas).’ Saji balik atau putar balik/putar ulang? Upam =
mengkilatkan; menyemir.
78
Bentuk prefetch di Windows misalnya telah digunakan luas dibandingkan
padanannya yang akan membingungkan. Program search jika merupakan bentuk
deklaratif, seharusnya menjadi program susur. Stak tekan ke bawah terlalu panjang.
Lengas (berair; mengandung air), humiditas = ukuran derajat kelengasan udara; nisbi
= tidak mutlak; relatif. Mengingat keberadaan bentuk humiditas dan relatif di KBBI,
apakah tidak lebih baik jika frasa relative humidity dipadankan dengan humiditas
relatif? Toh padanan ini juga mengandung semangat yang sama, pengindonesiaan
istilah. Poin lebihnya, pemahaman menjadi lebih mudah dibandingkan dengan
padanan yang diusulkan oleh tim TI.
Kulak atau tengkulak? Atau pengecer? Rengat = ‘retak bergaris hampir pecah;
merembes, menetes’. Head = bonggol; scan = pindai; pemayar; bonggol = bonjol
pada batang kayu; daging pada tengkuk; punuk. Shore = tupang = topang = sokong;
sangga. Stay = tupang = topang; thimble = sungkup, tudung; pada perangkat mouse
terbaru, thimble diartikan sebagai sarung jari. Stray current disebut juga arus liar,
atau dalam berbagai situs disebut dengan istilah aslinya.
Pemulur = ‘menjadi panjang; dapat menjadi panjang.’ Bicu = tuil, dongkrak,
pengungkit. Jack juga sering disebut sebagai colokan. Cerat = ‘bagian ceret, kendi,
keran, teko, keran untuk menuang air; talang yang berbentuk sedemikian rupa untuk
meningkatkan kecepatan air yang melaluinya, sementara tekanannya turun.’ Dari
sumber lainnya, tap juga diartikan sebagai tindakan yang menyerupai fungsi mouse
pada komputer atau perangkat kecil (gawit) seperti penggunaan pena (stylus). Tahkik
79
= penetapan (penentuan). Sirah = zirah = baju besi, armored = berlapis? Pada
beberapa tulisan di internet, yang populer adalah istilah aslinya (thrashing).
4.1.2 Ihwal Kebijakan Peristilahan Komputer Berbahasa Indonesia
Kebijakan peristilahan komputer berbahasa Indonesia diawali oleh keluarnya
Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Penggunaan Komputer dengan
Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia yang kemudian diikuti oleh Panduan
Pembakuan Istilah, Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001; Kiat
Pembakuan Peristilahan Perkomputeran dalam Bahasa Indonesia. Panduan dimaksud
terdiri atas 629 lema dimulai dari abort (gugurkan) hingga zoom (zum). Dalam
landasan umum Panduan Pembakuan Istilah tersebut dijelaskan bahwa sasaran awal
dari pengindonesiaan istilah teknologi informasi ini ialah kalangan pengguna umum
(pemula) yang merupakan kelompok kaum terpelajar yang setara dengan sekolah
menengah umum. Barulah pada tahap berikutnya, jumlah lema yang diindonesiakan
direncanakan sekitar 4000 istilah dengan sasaran pengguna ialah pihak yang
memerlukan untuk mendalami komputer sebagai suatu disiplin keilmuan pada tingkat
pendidikan strata satu.
Proses penyusunan panduan awal maupun Glosarium Istilah TI, jika sesuai
dengan rilis Menristek, melibatkan Malaysia dan Brunei Darussalam yang diketahui
telah melaksanakan domestikasi istilah komputer ke dalam bahasa nasional negara
bersangkutan. Dengan tidak adanya tanggal rilis yang jelas perihal Glosarium Istilah
TI yang telah direncanakan sebelumnya, didapati berkas di internet yang memuat
istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia dengan jumlah lema kurang lebih
80
40634 istilah. Di halaman awal dicantumkan nama keenam anggota tim penyusun
yakni Titon Dutono, Onno W. Purbo, Gunarso, Rully Soelaiman, Abdul Gaffar
Ruskhan, serta Ellya Iswati lengkap dengan alamat e-mail masing-masing.
Tidak semua istilah di dalam “kamus” tersebut memiliki padanan. Ada juga
yang kosong. Access provider, acquirer, hingga zero-address instruction merupakan
beberapa yang dapat dijadikan sebagai contoh. Istilah yang mengandung unsur
numerik seperti 10Base2 atau 16-bit ditulis seperti bentuk aslinya. Yang menarik,
Glosarium Istilah Teknologi Informasi ini seperti melengkapi sekaligus mengoreksi
629 istilah yang dirilis sebelumnya. Terdapat beberapa istilah yang memperoleh
tambahan padanan, namun ada juga yang mengalami perubahan padanan. Hal ini
dapat dilihat pada lema abort (gugur) menjadi abort (gugur; henti paksa), drag (seret)
menjadi drag (geser; seret), edit (edit) menjadi edit (edit; sunting), serta zoom (zum)
yang berubah menjadi zoom (fokus).
Sebagai sebuah rujukan yang bertujuan menghasilkan keseragaman padanan
istilah, nyatanya baik Senarai Padanan Istilah maupun Glosarium Istilah Teknologi
Informasi yang dirilis oleh Pusat Bahasa tidak serta merta diikuti oleh para pelaku
maupun pengembang aplikasi komputer. Hal ini terbukti dari adanya beberapa
padanan yang berbeda terhadap istilah yang sama, misalnya timeline di aplikasi
Facebook. Ada yang mengartikan lema ini sebagai linimasa, namun pada Facebook
berbahasa Indonesia, lema tersebut diterjemahkan sebagai kronologi. Hal ini
ditambah dengan adanya beberapa kamus sejenis yang dapat dijadikan sebagai
rujukan dalam mencari definisi suatu istilah seperti Kamus Istilah Komputer dan
81
Informatika yang disusun oleh Maseleno (2003) serta Kamus Komputer yang disusun
oleh Purba (2006). Di samping itu, terdapat ketidaksesuaian data yang seharusnya
disinkronkan antara Glosarium Istilah Teknologi Informasi berbahasa Indonesia
dengan Glosarium Istilah Pusat Bahasa Online (Daring). Permasalahan yang
mengemuka misalnya lema di Glosarium Istilah TI berbahasa Indonesia justru tidak
memiliki padanan di Glosarium Istilah Daring milik Pusat Bahasa, contohnya adalah
istilah cookie (kuki).
4.2 Pembahasan
4.2.1 Analisis Pendekatan Komunikatif Peristilahan Komputer
Dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (2004) dinyatakan bahwa
persyaratan istilah yang baik adalah sebagai berikut.
a. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang paling tepat untuk mengungkapkan
konsep termaksud dan yang tidak menyimpang dari makna itu;
b. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang paling singkat di antara pilihan
yang tersedia yang mempunyai rujukan sama;
c. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang bernilai rasa (konotasi) baik;
d. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang sedap didengar (eufonik);
e. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang bentuknya seturut kaidah bahasa
Indonesia.
Dalam bidang teknologi informasi khususnya terkait istilah yang digunakan di
layar komputer/internet (interface/antarmuka), seorang ahli bernama Agnes
82
Kukulska-Hulme telah menyatakan bahwa sikap paling tepat dalam menyikapi istilah
komputer yang dapat mengakomodasi pemahaman para penggunanya ialah dengan
menganggap para pengguna komputer sebagai pembelajar bahasa (1999:4).
Pandangan ini bila dikaitkan dengan persyaratan peristilahan yang baik di atas (PUPI)
bertujuan agar para “pembuat” istilah tidak sekedar mementingkan aspek teknis
penciptaan istilah, tetapi juga mengedepankan operasional istilah tersebut di tangan
para pengguna. Asumsinya jelas, ribuan istilah atau padanannya akan menjadi sia-sia
ketika tidak digunakan oleh para penggunanya.
Dalam rangka memudahkan pemahaman sebagai kerangka analisis terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam suatu aplikasi baik itu istilah asli maupun
padanannya, Kukulska-Hulme (2000:596) merumuskan delapan kategori yang dapat
menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
1. Identifikasi kata-kata yang memiliki bentuk serupa;
2. Identifikasi kata-kata yang memiliki kemiripan makna;
3. Identifikasi potensi kata-kata ambigu;
4. Identifikasi kata-kata yang mengandung makna budaya tertentu;
5. Identifikasi keterangan yang bertumpuk;
6. Identifikasi kata-kata dan ekspresi idiomatik;
7. Perhatikan cara pelafalan istilah oleh pengguna komputer;
8. Susun kata-kata yang berkolokasi atau berhubungan satu sama lain;
Suatu padanan istilah komputer -dalam konteks penerjemahan, penyerapan,
maupun gabungan keduanya- pada dasarnya memiliki hambatan-hambatan tertentu
83
untuk digunakan oleh para pengguna baik itu oleh para penutur asli (bahasa Inggris),
lebih-lebih lagi oleh para penutur bahasa non-Inggris. Kukulska-Hulme (2000:590-
596) mengidentifikasi sepuluh kendala yang kerap dialami oleh para pengguna
komputer ketika berhadapan dengan istilah-istilah yang terdapat pada antarmuka
(interface) suatu aplikasi komputer/internet. Kesepuluh hambatan tersebut yakni kata-
kata yang memiliki bentuk serupa, makna budaya yang terkandung dalam istilah
terntu, pelafalan yang keliru, singkatan, sinonim, istilah semi teknis, kata-kata
ambigu, keterangan yang bertumpuk, istilah dwibahasa yang identik, serta ekspresi
idiomatik.
Keserupaan Bentuk Kata
Istilah yang termasuk dalam kategori ini ialah kata-kata yang memiliki bentuk
serupa serta kedekatan makna seperti border dengan box pada Microsoft Word, clear
dengan close, refresh dengan restore, expand dengan extend, form dengan format,
footer dengan footnote, mark dengan bookmark, serta clip dengan click. Pada Senarai
Padanan Istilah, kata yang termasuk dalam kategori ini ialah salin (copy) dengan
salindia (slide).
Makna Budaya
Dalam suatu kebudayaan, orang cenderung memiliki pemahaman yang merata
terhadap suatu makna, berbeda dengan komunikasi lintas budaya yang biasanya akan
menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa Inggris saja secara geografis dan budaya
memiliki berbagai perbedaan, khususnya terhadap makna istilah yang sama. Dalam
konteks pendidikan, antara British English dengan American English memiliki
84
pemaknaan yang berbeda terhadap kata faculty dan graduate. Penelitian yang
dilakukan oleh Evers dkk. (Kukulska-Hulme, 2000:592) menunjukkan bahwa pada
situs pendidikan tertentu, istilah faculty dimaknai sebagai ‘subjek’, ‘bangunan’, atau
‘staf akademis’ tergantung pada latar belakang linguistik dan budaya penggunanya
(dalam hal ini Inggris, Belanda, dan Sri Lanka).
Pada kasus peristilahan komputer berbahasa Indonesia, permasalahan
semacam ini mengemuka mengingat keanekaragaman bahasa daerah serta
penggunaan bahasa serumpun sebagai padanan. Semangat pemberdayaan bahasa
daerah sebagai padanan istilah teknologi informasi memiliki nilai positif
pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia. Namun di sisi lain, upaya ini tidak jarang
menimbulkan kebingungan di kalangan para pengguna istilah bersangkutan karena
adanya variasi makna termasuk perbedaan konotasi terhadap makna padanan tersebut,
misalnya istilah liwat (bellmouth) dengan julat (range). Liwat di Kamus Besar Bahasa
Indonesia bermakna ‘lewat’ dan ‘persetubuhan sesama jenis’ sementara bellmouth
ialah bagian dari turbin gas yang berfungsi membagi udara agar merata saat
memasuki turbin. Kemudian istilah julat yang merupakan padanan dari range
(jangkauan). Dalam beberapa dialek bahasa Sasak, julat bermakna ‘terbakar’ atau
‘kebakaran.’
Penggunaan kata serumpun sebagai padanan pun menemui masalah yang
kurang lebih sama. Bedanya, intensitas ketidakpahaman atau kesalahpahaman
terhadap makna istilah bersangkutan menjadi lebih tinggi. Hal ini patut diiyakan
mengingat bila dibandingkan dengan padanan yang bersumber dari bahasa daerah,
85
padanan dari bahasa serumpun relatif kurang dikenal atau bahkan tidak dikenal sama
sekali oleh penutur bahasa Indonesia. Kerap kali, makna yang dihasilkan kemudian
tidak dipahami dan dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan dalam
pengoperasian aplikasi komputer yang mengandung padanan-padanan tersebut di
dalamnya. Istilah-istilah yang terdapat dalam Glosarium Istilah Teknologi Informasi
(Pusat Bahasa) seperti lembatang (sheet), pengaya (add-ons), gambatang (drawing),
purata (average), lebatang (bandwidth), taklikan (collation), juru kalkir (tracer),
simbul (symbol), forsa (force), ananta (infinite), kinandar (operand), sungap (sink),
dan masih banyak lainnya disinyalir bersumber dari bahasa serumpun sehingga
pencariannya dalam tulisan-tulisan terkait sukar ditemukan. Jika dikaitkan dengan
efektivitas penggunaan istilah tersebut dalam suatu aplikasi, akan dibutuhkan
kehadiran rujukan setidaknya KBBI atau Kamus Teknologi Maklumat Perisian
(Dewan Bahasa dan Pustaka).
Dalam tesisnya perihal tanggapan mahasiswa Surakarta terhadap
pengindonesiaan istilah komputer, Sari (2014:74) menemukan bahwa dari 629 lema
yang terdapat dalam Senarai Padanan Istilah, hanya 210 istilah saja yang dikenal di
kalangan mahasiswa Surakarta. Istilah-istilah yang lain tidak dikenal karena jarang
dilihat, didengar, dan dirasakan asing (tidak diketahui arti dan fungsi kegunaannya).
Padahal untuk diketahui, ke-629 lema tersebut diperuntukkan bagi kalangan setara
sekolah menengah umum, yang nyatanya tingkat mahasiswa pun kesulitan
memahami makna padanan istilah-istilahnya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa
sasaran pengguna ke-629 istilah tersebut harus dinaikkan hingga ke level mahasiswa.
86
Pemahaman istilah yang hanya 33, 39% menjadi penanda intensitas rata-rata
pemahaman teknologi di kalangan responden dimaksud. Di samping itu, hasil
penelitian secara implisit juga menunjukkan bahwa baik padanan bahasa daerah
maupun bahasa serumpun masih kalah populer dibandingkan dengan istilah aslinya.
Fenomena di atas dikuatkan oleh pernyataan Kukulska-Hulme (2000:587)
yang menyatakan bahwa penerjemahan terhadap suatu antarmuka (interface; istilah-
istilah suatu aplikasi) tidak selalu mungkin atau tepat dilakukan atas dasar
pertimbangan teknis, politis, maupun ekonomi. Pertimbangan teknis misalnya, terkait
dengan kelaziman padanan dalam bahasa lokal yang sejatinya istilah tersebut telah
populer dalam bahasa aslinya seperti tetikus (mouse), kutu (bug), dan jurik (daemon);
sedangkan pertimbangan ekonomi lazimnya dipengaruhi oleh faktor biaya tambahan
yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan lokalisasi istilah di samping secara
politis perencanaan bahasa suatu negara turut memengaruhi perlu tidaknya
penerjemahan atas istilah-istilah tersebut.
Di samping makna yang tidak dipahami, permasalahan lain yang muncul pada
berbagai padanan dalam Senarai Padanan Istilah maupun Glosarium Istilah Teknologi
Informasi ialah konotasi yang dihasilkan oleh makna padanan bersangkutan. Terdapat
padanan yang mengandung konotasi negatif, ada juga yang mengandung konotasi
seksual. Beberapa istilah yang dapat diajukan sebagai contoh ialah sebagai berikut.
liwat (bellmouth) kutu (bug)tembolok (cache) jurik (daemon) pemayar selaput (film scanner) tembok api (firewall)menangan; pembantu (handle) abah-abah (harness)kabel tersedak (impregnated cable) desak-desakan (jam)
87
tongkat joy; tongkat ria (joystick) sosok bawah (lower case)sosok atas (upper case) tangan-tangan carong (mike boom)saling asing (mutual exclusion) barang tetek tengah (odds)lewat pagar (overscan) spesial pasta (paste special)ragam kacau balau (promiscuous mode) tulang punggung radio (radio trunking)salindia (slide) tuan lalu lintas (traffic lever). cakram keras bisa pindah (removable harddisk)
Terkait dengan ini, patut untuk disimak pandangan Husen (2010:2) tentang
pilihan kata dalam penerjemahan. Menurutnya, setiap bahasa memiliki sistem dan
struktur sendiri (sui generis). Oleh karena itu, penerjemah tidak dapat memaksakan
sistem dan struktur bahasa sumber pada bahasa sasaran yang dipakai dalam kegiatan
penerjemahan. Untuk mengalihkan pesan, penerjemah tidak mungkin
mengalihbahasakan kata demi kata, tetapi memindahkan secara wajar seluruh
pesan/amanat ke dalam bahasa sasaran.
Husen mengutip kesimpulan Gilles (2010:3) yang menyatakan bahwa
penerjemahan karya sastra harus “author oriented”, sedangkan penerjemahan teknis
harus “client oriented”. Dijelaskan oleh Husen bahwa yang dimaksud dengan “klien”
ialah pembaca potensial, editor, penerbit, atau sponsor. Bila dikaitkan dengan istilah
komputer berbahasa Indonesia sebagai penerjemahan teknis, mengacu pada
kesimpulan Gilles, padanan-padanan yang dihasilkan semestinya “user oriented”.
Dengan demikian, makna atau pesan yang diterima oleh para pengguna komputer di
Indonesia sama atau sesuai dengan makna istilah aslinya yang berbahasa Inggris.
Dalam konteks yang lebih luas, topik culture-specific meaning dalam suatu
penerjemahan kurang lebih telah disampaikan oleh Nida (Nugroho dan Prasetyo,
88
2009). Ia mengemukakan bahwa kendala dalam menerjemahkan suatu teks ada
empat. Yang pertama adalah kendala bahasa karena proses penerjemahan
(interlingual translation) selalu melibatkan dua bahasa atau lebih. Perbedaan sistem
dan struktur bahasa yang terlibat di dalam proses tersebut menuntut penerjemah untuk
memahami keduanya, baik dalam bahasa sumber maupun dalam bahasa sasaran.
Kendala yang kedua, ketiga, dan keempat adalah kendala kebudayaan sosial,
kebudayaan religi, dan kebudayaan materiil. Kendala budaya ini berpengaruh besar
dalam penerjemahan karena tidak semua istilah ada padanannya dalam budaya lain.
Atas dasar inilah kemudian Nida dan Taber seperti dijelaskan oleh Nugroho dan
Prasetyo (2009) menyarankan penerjemah untuk mencari padanan yang paling dekat
maknanya dan alami yang pada akhirnya kemudian memunculkan pilihan
domestikasi atau foreignisasi terjemahan. Keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Tinggal dicermati jenis serta orientasi penerjemahan
yang dilakukan.
Baik Senarai Padanan Istilah maupun Glosarium Istilah Teknologi Informasi
tampaknya telah menggunakan kedua metode seperti yang dikemukakan oleh Nida
dan Taber di atas. Padanan-padanan istilah yang dihasilkan tidak semata-mata
domestikasi dengan penggunaan kosakata bahasa daerah atau bahasa serumpun,
namun terdapat juga foreignisasi dalam bentuk adopsi terhadap suatu istilah dengan
dilatarbelakangi ketiadaan padanan istilah tersebut di dalam bahasa Indonesia.
Domestikasi yang dilakukan, bila melihat kekurangan yang melekat padanya,
memang membuat aspek-aspek budaya dalam bahasa sumber sering kali pudar,
89
misalnya pada kata tembolok yang merupakan padanan dari istilah cache. Istilah asli
memiliki makna sebagai tempat penyimpanan sementara dengan tidak mengandung
konotasi makhluk hidup, sedangkan tembolok merupakan kantong tempat makanan
pada leher (burung, ayam, dan sebagainya) yang digunakan sebagai tempat
penyimpanan sementara. Penerjemahan yang dilakukan memandang ketersediaan
padanan berdasarkan kemiripan fungsi dengan istilah aslinya, dan mengesampingkan
kemungkinan pemahaman pengguna atas aspek budaya yang terkandung dalam istilah
cache.
Domestikasi juga menyebabkan pengguna teks bahasa sasaran tidak dapat
memberikan interpretasi terhadap teks karena sudah dilakukan oleh penerjemah. Di
samping itu, pembaca teks sasaran juga tidak mendapatkan pengetahuan budaya
bahasa sumber. Hal ini misalnya dapat ditemukan pada istilah-istilah seperti gugur;
henti paksa (abort), pelipat (folder), maupun kotak masuk (inbox) yang masing-
masingnya memiliki makna asosiasi tersendiri yang lantas menjadi berbeda atau
bahkan hilang ketika dipadankan dengan bahasa Indonesia.
Dalam konteks foreignisasi, kekurangan yang dapat dikemukakan terkait
penerjemahan istilah teknologi informasi (meminjam penjelasan Nugroho dan
Prasetyo, 2009) ialah bahwa pembaca teks sasaran mungkin merasa asing dengan
beberapa istilah, seperti selular (mobile). Jika istilah mobile merujuk pada mobile
phone, di Indonesia istilah ini telah dipadankan dengan akronim ponsel (telepon
seluler). Termasuk juga padanan bulet (bullet). Di satu sisi, padanan ini berasosiasi
dengan diksi bulat, bentuk bulat (peluru). Asosiasi ini muncul karena bullet
90
merupakan unsur perinci dalam aplikasi pengolah kata seperti Microsoft Word. Di
sisi lain, bullet tidak selalu bulat. Bentuk rinciannya dapat berupa bulatan, tanda
panah, strip, dan sebagainya.
Pelafalan yang Keliru
Bagi orang yang sedang belajar bahasa Inggris, kontak pertama dengan
istilah-istilah baru berisiko menimbulkan kesalahpahaman yang bersumber dari
kesalahan dalam pelafalan istilah (Kukulska-Hulme, 2000:591). Ketika para
pengguna komputer berhadapan dengan berbagai istilah yang ada di monitor, dengan
ketiadaan pelafalan bunyi sebagai bantuan, para pengguna kemudian mereka-reka
pelafalan yang tepat terhadap istilah yang ada. Mereka kemudian tidak menyadari
bahwa lafal previews berbeda dengan previous, lafal access berbeda dengan assess.
Terlebih lagi, kata yang salah dilafalkan terkadang menyerupai kata dalam bahasa
pertama pengguna, sehingga kemungkinan kesalahan makna menjadi lebih besar.
Contohnya ialah type yang kerap salah dilafalkan sebagai tip atau teep. Type (Bahasa
Inggris) berhubungan dengan mengetik atau mencetak, berbeda ketika dilafalkan
sebagai tip (yang dalam bahasa Polandia ‘typ’) hanya merujuk pada kategorisasi.
Pelafalan bahasa Indonesia terhadap istilah asli teknologi informasi juga
kurang lebih demikian. Para penutur bahasa Indonesia cenderung mengikuti pola
pelalafan kata bahasa Indonesia ketika melafalkan kosakata bahasa Inggris. Wajar
jika kemudian kita menyaksikan istilah charge dilafalkan sebagai “cas”, save
dilafalkan sebagai “sip/sif”, facebook dilafalkan sebagai “fesbuk”, e-mail dilafalkan
sebagai “imel”, paste dilafalkan sebagai “paste”, eject dilafalkan sebagai “ejek”, font
91
dilafalkan sebagai “pon”, jam dilafalkan sebagai “jam”, mouse dilafalkan sebagai
“maus/mous”, redo dilafalkan sebagai “redo”, dan undo dilafalkan sebagai
”ando/undo.”
Karena sudah terlanjur akrab, padanan istilah charge juga merembet pada
derivasinya yang lain semisal charger yang dilafalkan menjadi “cas-casan.” Lema
save ketika diucapkan sebagai “sip” memiliki konotasi persetujuan, kesiapan, serta
sanjungan atas sesuatu yang ditambahi oleh ekspresi acungan jempol. e-mail ketika
dilafalkan sebagai “imel” berkonotasi dengan nama panggilan seseorang, khususnya
perempuan. Paste sebagai pasangan dari copy lazimnya dilafalkan sebagai “kopi
paste”, yang mau tidak mau merujuk pada jenis minuman. Lema eject juga demikian.
Perintah yang biasanya dikenakan pada media bergerak seperti flash disk atau hard
disk external ini memiliki konotasi pada tindakan mencela orang lain. Istilah ini
cenderung dipahami sebagai “cabut” atau “lepas”, sehingga ketika ia digabung
dengan lafal ejek, lengkaplah “penderitaan” media bergerak tersebut: sudah diejek,
dicabut pula.
Mengikuti tren adopsi bahasa Melayu terhadap bahasa Inggris, pada Senarai
Padanan Istilah turut ditemukan beberapa padanan yang dilafalkan sesuai ejaan
bahasa Indonesia. Lema-lema seperti destop (desktop), otofit (autofit), bulet (bullet),
kartrid (cartridge), kursor (cursor), disket (diskette), eskape (escape), instal (install),
serta zum (zoom) merupakan beberapa contohnya. Ketiadaan padanan bahasa daerah
atau serumpun yang tepat tampaknya menjadi dasar pemilihan adopsi terhadap
istilah-istilah tersebut.
92
Singkatan
Materi-materi pengajaran bahasa Inggris dan kamus dwibahasa biasanya
memasukkan informasi perihal bentuk singkatan (Kukulska-Hulme, 2000:593).
Bentuk-bentuk ini sederhananya dapat ditemukan pada iklan-iklan mini di surat
kabar. Serupa dengan hal tersebut, pada dunia komputasi turut dikenal berbagai
singkatan yang memerlukan pendalaman untuk dipahami fungsi dan kegunaannya.
Istilah-istilah pada papan Qwerty seperti ESC, INS, DEL, PRTSC SYSRQ, PGUP,
PGDN, CAPSLOCK, CTRL, FN, dan ALT memerlukan pemahaman lebih lanjut
sebelum dapat difungsikan secara optimal oleh para penggunanya.
Penggunaan singkatan atau akronim sebagai istilah teknologi informasi
sepertinya dilatari oleh beberapa pertimbangan teknis dan ekonomis misalnya bentuk
yang lebih ringkas serta ruang pada papan kunci/layar komputer yang lebih sempit.
Masalahnya kemudian ialah para pengguna memerlukan dua tahap pembelajaran
untuk dapat mengoperasikan suatu perintah dengan benar. Pertama kali, para
pengguna komputer harus paham bahwa DEL adalah singkatan untuk delete.
Berikutnya, mereka harus paham bahwa delete berfungsi untuk menghapus suatu
karakter atau suatu berkas.
Pada Senarai Padanan Istilah ditemukan istilah bps (bit per second). Istilah ini
diadopsi penuh dengan dicantumkan kembali dalam bentuk singkatan bps. Pengguna
komputer di Indonesia dalam rangka menyikapi keberadaan istilah ini selain dengan
harus memahami kepanjangan dan fungsinya, tentu juga harus menghilangkan
asosiasinya sebagai singkatan dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pada kasus yang
93
serupa, diketahui jika singkatan IT (information and technology) telah diindonesiakan
menjadi TI (Teknologi Informasi). Padanan dalam bentuk singkatan yang dibalik
merupakan konsekuensi dari perbedaan paham MD (menerangkan-diterangkan)
dengan DM (diterangkan-menerangkan). Upaya pengindonesiaan yang dilakukan
tinggal menunggu merosotnya popularitas singkatan IT di kalangan penggiat
teknologi informasi. Adapun contoh singkatan yang lain misalnya SIM (Subscriber
Identity Module) yang berbeda dengan SIM (Surat Izin Mengemudi), BBM
(Blackberry Messenger) yang berbeda dengan BBM (Bahan Bakar Minyak), FAT
(File Allocation Table) yang berbeda dengan fat (gemuk), IDE (Integrated Drive
Electronics) yang berbeda dengan ide (gagasan), POP (Point of Presence) yang
berbeda dengan pop (genre musik), serta TTL (Time To Live) yang berbeda dengan
TTL (Tempat Tanggal Lahir).
Sinonim
Kata-kata yang tidak mirip secara bunyi maupun ejaan, tetapi memiliki
kedekatan makna biasanya menghadirkan kesulitan tertentu, misalnya menentukan
perbedaan antara mistake, error, dan fault (Kukulska-Hulme, 2000:591). Ketiganya
merupakan sinonim yang sering digunakan namun salah ditafsirkan. Pasangan bentuk
lainnya yakni contents dengan index, search dengan find, dan directory dengan file.
Kesemuanya oleh Kukulska-Hulme dianggap dapat menimbulkan masalah yang sama
bagi penutur asli maupun penutur nonbahasa Inggris.
Hal serupa dapat ditemukan baik pada Senarai Padanan Istilah maupun pada
Glosarium Istilah Teknologi Informasi. Istilah account dipadankan dengan akun dan
94
rekening, yang mana keduanya di Indonesia cenderung memiliki konteks penggunaan
yang berbeda. Perintah yang lazim ada di internet ketika hendak mendaftar pada suatu
media sosial misalnya ialah buat akun (create account), bukan buat rekening.
Padanan yang kedua biasanya terkait dengan account sebagai tagihan pembayaran
atau tabungan (rekening listrik, rekening PDAM, rekening bank).
Kemudian ada juga istilah character yang dipadankan dengan aksara dan
karakter. Aksara merujuk pada sistem tanda grafis sebagai satu kesatuan dan juga
merujuk pada huruf entitas tunggal, sedangkan karakter merujuk pada sistem tanda
grafis yang tidak hanya terdiri atas huruf, tetapi juga tanda baca, kode, simbol,
emosikon, dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas maka penggunaan padanan
aksara dan karakter juga memiliki perbedaan.
Contoh:“Satu buah pesan singkat setara dengan 160 karakter.” (bukan 160 aksara)“Aksara Pallawa merupakan salah satu yang tertua di dunia.” (bukan karakter Pallawa) Terkait dengan sinonim, hal yang harus diperhatikan ialah laras (ragam)
bahasa guna memudahkan pemahaman pengguna terhadap padanan istilah
bersangkutan. Ragam bahasa dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni ragam
bahasa berdasarkan media/sarana, berdasarkan penutur, dan berdasarkan pokok
persoalan atau bidang pemakaian (Tim, 2004:3—6). Berdasarkan media, ragam
bahasa dipilah menjadi ragam bahasa lisan dan tulisan. Berdasarkan penutur, dikenal
ragam bahasa daerah (dialek/logat), ragam bahasa pendidikan penutur, dan ragam
bahasa sikap penutur. Terakhir, berdasarkan bidang pemakaian dikenali berbagai
95
pokok persoalan yang dibicarakan. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan
agama berbeda dengan bahasa yang digunakan di lingkup kedokteran, sosial, hukum,
atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa
yang digunakan dalam lingkungan ekonomi, olah raga, seni, atau teknologi.
Dalam konteks sinonim, perbedaan ragam bahasa tampak dalam konteks
makna kata/istilah yang digunakan. Diksi gugur dalam bidang kedokteran memiliki
konteks makna yang berbeda dengan gugur dalam bidang teknologi informasi. Istilah
selaput dalam bidang botani berbeda dengan selaput (film) dalam bidang
sinematografi. Tidak hanya pada tataran kata, perbedaan ragam bahasa juga muncul
di tingkat yang lebih tinggi seperti kalimat dan wacana. Oleh karena itu, sinonim
dalam kerangka kajian kendala istilah TI bahasa Indonesia harus disikapi secara
analitik dengan pemahaman bahwa terdapat ruang bernama ragam bahasa yang
menentukan konteks pemakaian suatu istilah.
Istilah Semi Teknis
Yang dimaksud dengan istilah semi teknis ialah kata-kata yang dalam
keseharian tidak ditemukan dalam situasi pembelajaran bahasa (Kukulska-Hulme,
2000:593). Kata-kata seperti paste, merge, dan flush akan jauh dari pemahaman para
penutur nonbahasa Inggris. Cropping akan menjadi istilah yang tidak populer,
merujuk pada keberadaannya dalam bidang desain grafis. Kosakata semi teknis akan
menyulitkan pengguna yang berlatarbelakang nonteknis, terlebih lagi jika istilah semi
teknis tersebut tidak dijelaskan. Kata lain yang dapat menjadi contoh ialah kata open.
Makna kata ini dalam istilah komputasi berbeda dengan maknanya di keseharian.
96
Perintah “open a location” pada sebuah situs internet tidak bermakna ‘membuka
sebuah lokasi’, tetapi ‘mengunjungi sebuah dokumen berdasarkan alamat yang
tertera’ (Kukulska-Hulme, 2000:893).
Ketika berhadapan dengan istilah teknis atau semi teknis, beberapa penutur
dilaporkan menghindari maknanya sama sekali, dan lebih memilih untuk mempelajari
seperangkat petunjuk yang bergaris bawah, atau mengingat-ingat posisi suatu item
pada sebuah menu. Jika versi terbaru dari perangkat lunak tersebut dirilis dan istilah-
istilah yang terdapat di dalamnya berbeda dengan versi terdahulu maka para
pengguna komputer dengan latar belakang penutur nonbahasa Inggris tidak akan
mampu beradaptasi secepat penutur aslinya (Kukulska-Hulme, 2000:594).
Di Indonesia, istilah-istilah semi teknis pada Senarai Padanan Istilah maupun
Glosarium Istilah Teknologi Informasi dapat ditemukan misalnya pada istilah alamat
(address), penyangga (buffer), gunting; potong (cut), seret (drag), sejarah (history),
kancing (lock), resolusi (resolution), pudar (sleep), ubinan (tile), serta jendela
(window). Kata alamat dalam bahasa sehari-hari berbeda dengan alamat yang
merujuk pada URL (Uniform Resource Locator) di sebuah situs internet. Jika alamat
dalam keseharian biasanya dimulai dari unit terkecil seperti RT/RW, dusun,
desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga negara, alamat dalam
bidang teknologi informasi cenderung sebaliknya. Yang didahulukan unsur terbesar
diikuti oleh path yang lebih spesifik. Contohnya untuk merujuk pada tulisan Steven
Haryanto tentang pengindonesiaan istilah asing pada laman master.web.id, alamat
97
yang dituliskan ialah http://www.master.web.id/mwmag/issue/01/content/bdt-
istilah_asing/bdt-istilah_asing.html.
Penyangga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘alat untuk
menyangga’, ‘sandaran’, ‘penopang’. Dalam bidang teknologi informasi, penyangga
(buffer) ialah tempat penyimpanan data sementara (Maseleno, 2003:25). Hal ini
sering digunakan ketika transmisi data harus mengambil tempat pada kecepatan yang
berbeda. Buffer mengakumulasi data dari peralatan berkecepatan rendah. Pada
hardware, buffer adalah alat yang meluaskan sinyal, memperbesar kemampuan drive.
Contoh buffer dapat disaksikan ketika membuka tayangan di situs berbagi video
YouTube. Saat kecepatan koneksi tidak merata, video yang dimainkan seperti
berhenti sejenak dan loading (memuat).
Pada istilah berikutnya yakni gunting; potong (cut), penjelasannya menjadi
lebih kompleks. Pertama, cut dalam Sistem Operasi Windows dilambangkan dengan
simbol gunting yang menghadap ke atas. Melihat pada simbol yang digunakan, para
pengguna diasumsikan dapat menerka fungsi dari istilah dimaksud yaitu untuk
memotong. Uniknya “yang dipotong” dalam suatu aplikasi komputer berbeda dengan
yang dipotong dalam kehidupan sehari-hari. Dalam aplikasi seperti Microsoft Office
atau Open Office, yang dipotong ialah huruf, angka, kata, kalimat, dan sejenisnya.
Dalam aplikasi Windows Explorer, yang dipotong ialah berkas atau sejumlah berkas
dengan bermacam-macam tipe entah itu gambar, teks, audio, maupun video. Kedua,
perintah cut dalam bidang teknologi informasi biasanya merujuk pada tujuan
‘memotong untuk memindahkan ke lokasi lain’, jarang sekali ‘memotong untuk
98
menghapus’ sebab fungsi tersebut telah diemban oleh istilah delete, erase, atau
remove. Perintah cut dalam kehidupan sehari-hari bisa jadi berfungsi ‘memotong
untuk membentuk’, semisal menggunting kain, memotong kertas, dan sebagainya.
Istilah berikutnya yakni seret (drag) bermasalah dilihat dari asosiasi semantis
yang melekat pada padanannya. Seret dalam kehidupan sehari-hari telah lazim
dikenal sebagai tindakan ‘menarik dengan paksaan dari arah depan’. Faktanya, logika
semantik padanan ini meluas pada penerapannya di aplikasi komputer maupun
internet. Seret di aplikasi komputer tidak semata-mata ‘menarik ke depan’, tetapi
‘menarik dengan menekan mouse’ ke kiri, kanan, depan, maupun belakang.
Perubahan nilai “paksaan” dalam makna sehari-hari istilah seret digantikan oleh
“tekanan pada mouse” ketika digunakan dalam bidang teknologi informasi.
Kemudian istilah sejarah (history) juga memiliki konotasi yang berbeda antara
kehidupan sehari-hari dengan bidang teknologi informasi. Sejarah dalam kehidupan
sehari-hari terkait erat dengan rekaman atas peristiwa masa lampau yang melibatkan
pelaku serta peristiwa yang terjadi dalam satu versi atau lebih. Satu peristiwa yang
sama dapat disampaikan dalam beberapa versi yang berbeda. Dalam bidang teknologi
informasi, sejarah yang dimaksud merujuk pada riwayat aktivitas di komputer atau
riwayat penelusuran di internet. Versinya adalah tunggal karena menggunakan
perhitungan matematis dalam bentuk waktu dan jenis kegiatan yang rinci, kecuali
riwayat tersebut dihapus oleh pengguna sehingga pilihannya adalah data tunggal atau
tidak ada data.
99
Lalu istilah-istilah semi teknis lainnya seperti kancing (lock) yaitu tombol
kuncian yang berbeda dengan kancing (baju/kait), resolusi (resolution) yaitu dimensi
gambar yang berbeda dengan resolusi (penyelesaian masalah), pudar (sleep) yaitu
kondisi layar mati tetapi daya komputer tetap siaga yang berbeda dengan pudar
(luntur), ubinan (tile) yaitu mode pengaturan wallpaper yang berbeda dengan ubinan
(lantai), serta jendela (window) yaitu bidang tugas yang sedang dikerjakan yang
berbeda dengan jendela (bagian rumah); kesemuanya telah memiliki makna dasar
yang melekat dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian berubah maknanya seiring
digunakannya kata tersebut sebagai istilah teknis dalam bidang teknologi informasi.
Berdasarkan perubahan makna ini, pengguna komputer mau tidak mau harus
menyesuaikan diri dengan ranah baru yang dimiliki oleh makna kata-kata tersebut.
Kata-kata Ambigu
Ambigu menurut KBBI ialah bermakna lebih dari satu sehingga kadang-
kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya;
bermakna ganda; taksa; sedangkan ambiguitas adalah kemungkinan adanya makna
lebih dari satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat; ketaksaan.
Contoh:(1) Andi sudah diberi tahu belum? (olahan kacang kedelai; informasi)(2a) Orang tua Joni menghadiri wisuda kemarin pagi (ibu bapak)(2b) Orang tua itu tersesat (orang yang sudah tua)(3a) Roni berlari mengejar angkot(3b) Jangan lari diri dari kenyataan
Kemungkinan perbedaaan penafsiran makna, yang dikenal sebagai
ambiguitas, merupakan hal yang turut terjadi dalam peristilahan teknologi informasi.
100
Bahasa Inggris memiliki berbagai nomina dan adjektiva yang memiliki bentuk yang
sama dengan verba atau yang berfungsi sebagai verba seperti file, block, log, extract,
frame, chat, screen, release (Kukulska-Hulme, 2000:592). Jika kata-kata tersebut
berdiri sendiri pada pilihan menu atau pada tombol, akan sangat sulit memprediksi
kecenderungan maknanya. Sama halnya dengan para penutur asli, para penutur
nonbahasa Inggris dapat dibuat bingung. Keterbatasan pengetahuan bahasa Inggris
dapat mendorong mereka untuk menduga suatu makna tertentu yang belum tentu
merupakan makna yang tepat.
Pada Senarai Padanan Istilah dan Glosarium Istilah Teknologi Informasi, kata-
kata yang tergolong ambigu juga dapat ditemukan. Lema semisal gugur (abort), urut
(sort), kutu (bug), tembolok (cache), penangkapan (capture), jurik (daemon), seret
(drag), pancar (eject), ketuk (hit), desak-desakan (jam), tongkat joy; tongkat ria
(joystick), lewat pagar (overscan), cekatan (wizard) merupakan beberapa contohnya.
(4a) “Gugurkan janin itu!” (aborsi)(4b) Instalasi program pengolah gambar itu harus digugurkan karena
spesifikasi grafisnya terlalu tinggi (hentikan; batalkan)(5a) Badannya pegal, ia minta diurut oleh anaknya (dipijat)(5b) Film-film itu diurutkan berdasarkan tahun tayangnya (sortir)(6a) Ia menemukan kutu di program yang dirancangnya (malfungsi)(6b) Kutu termasuk dalam Kingdom Animalia (hewan)(7a) “Ayam ini masih kenyang, temboloknya penuh oleh makanan (organ)(7b) *“Alamatnya paling masih ada di tembolok, ketik saja!” (penyimpanan
sementara)(8a) Penangkapan Abu Bakar Baasyir menuai konflik (perbuatan
menangkap)(8b) *Tampilan layar aktif dalam bentuk gambar dapat diperoleh melalui
penangkapan menggunakan Printscreen (mengambil foto)(9a) Ia ketakutan, seperti habis melihat jurik (hantu)(9b) E-mail yang tidak terkirim dikonfirmasi oleh jurik penyurat (mailer
daemon)
101
(10a) OC Kaligis terseret kasus suap dana Bansos (terlibat)(10b) Putar lagu otomatis dapat dilakukan dengan menyeret berkas lagu ke
Winamp (menarik dengan menekan mouse)(11a) Klik pancar untuk mengeluarkan flash disk dari komputer (lepas;
cabut)(11b) Pancaran sinar bulan menjadi pemandangan yang sangat indah (yang
dikeluarkan; disemburkan)(12a) Ketuk pintu sebelum masuk ruangan (pukul)(12b) Tulisan di blog pribadinya mendapat ketukan hampir dua ribu
(kunjungan)(13a) Orang berdesak-desakan memasuki stadion (berhimpit-himpitan)(13b) *Kertas berdesak-desakan di mesin pencetak (tersangkut)(14a) Tongkat Joy terbuat dari kayu (milik Joy)(14b) Tongkat Ria patah (milik Ria)(14c) bermain PS lebih menyenangkan dengan menggunakan tongkat joy
(joystick)(15a) Anak-anak itu bolos lewat pagar (meloncat)(15b) *Ketika kita menonton televisi, biasanya gambar yang tampil lebih
besar daripada layar televisi kita. Hal ini disebut lewat pagar (overscan)
(16a) Ia orang yang cekatan (tangkas)(16b) *Petunjuk pengoperasian dapat dibaca di cekatan (pemandu)
Keterangan Bertumpuk
Modifier adalah kata, frasa, atau klausa yang berfungsi sebagai adjektiva atau
adverbia yang menerangkan kata atau kelompok kata lain. Ketika berfungsi
sebagai adjektiva modifier menerangkan nomina, sedangkan ketika berfungsi
sebagai adverbia modifier menerangkan verba, adjektiva, atau adverbia lainnya. Pada
beberapa variasi bahasa Inggris, terdapat kecenderungan untuk meletakkan
sekumpulan modifier di depan sebuah nomina untuk mengubah maknanya
(Kukulska-Hulme, 2000:594).
Easy open pack merupakan contoh label kemasan yang bermakna ‘ini adalah
kemasan yang mudah dibuka’. Struktur seperti ini dapat menyulitkan untuk dipahami
102
bagi pihak yang tidak familiar dengan bidang tersebut. Terdapat sejumlah contoh tipe
struktur semacam ini pada berbagai aplikasi seperti the Re-enter Password Box yang
bermakna ‘kotak untuk memasukkan ulang kata sandi’ (Ms. Excel), serta the
Customise Toolbars Dialog Box yang bermakna ‘kotak dialog untuk kustomisasi opsi
batang alat’ (Ms. PowerPoint). Gaya mengemas tulisan yang sangat ringkas,
dikombinasikan dengan terminologi baru, menghasilkan ekspresi yang janggal dan
membingungkan seperti halnya the most recently ungrouped group (Ms. PowerPoint
help).
Bentuk Dwibahasa Identik
‘False friend’ merupakan permasalahan umum pada bahasa yang bertalian,
dan menyulitkan penutur bahasa yang satu dalam mempelajari dan menggunakan
bahasa lainnya. Bahasa Inggris dan bahasa lainnya berbagi banyak kosakata Yunani
dan Latin yang maknanya berkembang seiring perubahan zaman. Kata report
(Prancis) meskipun terlihat seperti report (Inggris) dapat bermakna penangguhan atau
transfer gambar. Kata yang mirip juga dapat menjadi masalah, seperti kata replace
(Inggris) yang terlihat serupa dengan replacer (Prancis), padahal kata yang kedua
bermakna ‘mengembalikan’ bukan ‘menggantikan sesuatu dengan yang lain’. Delay
(Inggris) mirip dengan délai yang dalam bahasa Prancis bermakna ‘waktu yang
dibolehkan’. Contoh yang lain yaitu kata cancellare (Italia) berkorespondensi dengan
makna kata delete (Inggris) meskipun bentuknya mirip dengan cancel, kata
clasificiόn (Spanyol) berkorespondensi dengan makna kata sort (Inggris); direcciόn
(Spanyol) berkorespondensi dengan address (Inggris) dan sebagainya.
103
Permasalahan seperti ini pada Senarai Padanan Istilah dan Glosarium Istilah
Teknologi Informasi juga ditemukan. Kedekatan antara bahasa Indonesia dengan
bahasa Melayu yang digunakan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam tampaknya
menjadi alasan utama kehadiran bentuk semacam ini. Terlebih lagi, baik Senarai
Padanan Istilah maupun Glosarium Istilah Teknologi Informasi disusun dengan
melibatkan para ahli dari kedua negara tetangga tersebut.
Istilah berpusing (spin) dalam bahasa Melayu berkorespondensi dengan istilah
berputar dalam bahasa Indonesia. Bentuk pusing dalam bahasa Indonesia memiliki
makna ‘sakit kepala’. Kemudian istilah Melayu percuma (free) yang dalam bahasa
Indonesia lebih dikenal dengan sebutan gratis. Diksi percuma dalam bahasa
Indonesia lebih sering disebut sebagai cuma-cuma. Selain itu ada juga istilah tak
berguna (idle) yang jika merujuk pada fungsinya pada mesin pencetak, di Indonesia
memiliki konotasi ‘menunggu untuk bekerja’. Istilah tak berguna dalam bahasa
Indonesia bermakna ‘tidak mampu melakukan pekerjaan apa-apa’. Istilah sesuka
(optional) juga menyuratkan hal yang sama. Dalam bahasa Indonesia, kata ini
bermakna ‘sekehendak hati; semaunya’. Diksi yang sesuai dengan makna yang
dikandung oleh istilah optional ialah pilihan. Lalu ada istilah mengopak (poke) yang
dalam aplikasi Facebook berbahasa Indonesia dipadankan dengan colek. Istilah
mengopak dalam KBBI bermakna ‘menyalakan kembali api yang hampir padam
(dengan diembus dan sebagainya)’. Mungkin maksudnya adalah menyambung tali
silaturrahmi.
104
Ekspresi Idiomatik
Selain kesembilan hambatan di atas, ekspresi idiomatik merupakan salah satu
diantaranya yang menyulitkan pemahaman pengguna komputer. Menurut KBBI,
idiom merupakan ‘konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna
unsurnya’. Makkai (dalam Khak, www.balaibahasa.org) mengemukakan bahwa
idiom adalah bentuk yang (1) mengandung lebih dari satu bentuk bebas minimum, (2)
mempunyai makna harfiah, dan (3) juga mempunyai makna yang berbeda yang hanya
dapat diberikan untuk bentuk itu secara keseluruhan.
Bentuk idiom pada Senarai Padanan Istilah dan Glosarium Istilah Teknologi
Informasi mungkin adalah tangan-tangan carong (Mike Boom). Agak sulit
menemukan kosakata aslinya di internet sebab yang lebih dikenal ialah boom mic.
Untuk lebih memahami maksud istilah ini, berikut ilustrasinya.
Gambar 1. Boom Mic
105
Kemudian ada juga istilah yang entah dapat dikategorikan sebagai idiom atau tidak,
tetapi mengandung konotasi seksual yang jauh berbeda dengan makna yang
dikandung oleh istilah aslinya. Istilah tersebut adalah barang tetek tengah (Odds).
Apakah yang dimaksud ialah rasio (odds ratio)? Bagaimana dengan tulang punggung
radio (radio trunking), apakah maknanya setara dengan tulang punggung keluarga?
Lalu bagaimana juga dengan kabel tersedak (impregnated cable), apakah konotasinya
sama dengan “orang yang tersedak”?
4.2.2 Analisis dengan Teori Mediamorfosis
“Perubahan bukanlah sesuatu yang paling dinanti-nanti atau benar-benar bisa diprediksi. Bahkan bagi para investor yang merangsang berbagai perubahan teknologi dan sosial, membayangkan masa depan berarti menghadirkan masalah yang penuh teka-teki. Namun demikian, walaupun kegelisahan seperti itu seringkali muncul sebagai akibat perubahan, manusia tampaknya memiliki kecenderungan yang luar biasa untuk menyerap dengan cepat berbagai ide, produk, dan jasa baru begitu semuanya dirasa cocok dengan definisi-definisi pribadi dan kulturalnya atas realitas.” (Fidler, 2003:1)
Kutipan di atas merupakan pandangan awal Fidler menyikapi perubahan dan
evolusi teknologi-teknologi baru media. Ia menerangkan betapa komputer pribadi
memiliki dampak yang revolusioner bagi perkembangan media cetak. Visi media
masa depan yang telah digagasnya perihal grafis halaman berita yang diolah dengan
mesin komputer dianggap telah mereduksi banyak hal dalam proses produksi sebuah
berita. Hal penting yang turut dikemukakannya sebagai pandangan awal ialah bahwa
visi masa depan selalu berada pada kutub kepastian, kemungkinan, serta
kemustahilan untuk diwujudkan.
106
Dalam konteks pengindonesiaan istilah teknologi informasi, mediamorfosis
yang ditulis oleh Fidler menerangkan dengan jelas dampak evolusi teknologi bagi
kehidupan suatu bangsa. Demi menghindarkan diri dari ketertinggalan teknologi, atau
demi sinkronisasi kemajuan media teknologi di negara bersangkutan, pemerintah
setempat pun melakukan berbagai cara. Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah
Indonesia ialah dengan merumuskan perlunya istilah teknologi informasi yang
fungsinya dapat dipahami dengan mudah oleh kalangan pengguna komputer pemula.
Ketika Inpres No. 2 Tahun 2001 dirilis, Indonesia telah berada di fase media
cetak dan elektronik yang pesat. Masing-masing dari keduanya telah memiliki patron
tersendiri, semisal media cetak dengan Kompas, Tempo, Republika, dan Intisari serta
media elektronik dengan RCTI, SCTV, TPI, dan Indosiar. Meskipun demikian,
pemerintah tampaknya memiliki visi ke depan terutama oleh intensitas penggunaan
komputer pribadi serta munculnya ranah teknologi baru yaitu internet. Situasi ini
dianggap sebagai suatu fenomena yang harus diadopsi dengan cepat agar Indonesia
dapat menyeimbangkan diri khususnya dalam bidang pengembangan sumber daya
manusia.
Atas dasar inilah, pengindonesiaan istilah TI dianggap sebagai salah satu cara
mempercepat penguasaan (bahasa) teknologi di Indonesia. Meskipun tidak dijelaskan
secara eksplisit, kebijakan pemerintah tersebut nyatanya bertujuan jangka panjang
dan dapat disimpulkan berdasarkan sasaran awal pengguna yang diisyaratkan di
dalam Inpres No. 2 Tahun 2001. Siswa SMA sederajat dianggap sebagai tonggak
107
penggunaan komputer sebab pada tingkat ini para siswa telah dijejali dengan materi
teknologi informasi dan komunikasi.
Proses Mediamorfosis
Koevolusi
Semua bentuk komunikasi, sebagaimana akan kita lihat, berkelindan dengan
susunan sistem komunikasi manusia dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam
kebudayaan kita (Fidler, 2003:36). Setiap bentuk baru begitu muncul dan
berkembang menurut Fidler dalam beberapa waktu dan tingkatan yang beraneka
ragam akan memengaruhi perkembangan setiap bentuk lain yang telah ada. Oleh
karena itu, koevolusi dan koeksistensi bukan rangkaian evolusi dan pergantian sebab
kekayaan-kekayaan teknologi komunikasi yang sekarang kita terima begitu saja tidak
akan mungkin terwujud jika kelahiran setiap medium baru terjadi bersamaan dengan
kematian medium terdahulu.
Internet di Indonesia muncul sekitar tahun 1988. Protokol internet (IP) di
Indonesia pertama kali didaftarkan oleh Universitas Indonesia (UI-NETLAB) pada 24
Juni 1988 dengan nomor (192.41.206/24), lima tahun setelah protokol rangkaian
pusat internet diubah dari NCP menjadi TCP/IP. Jika merunut pada garis waktu
komunikasi manusia seperti yang dikemukakan oleh Fidler, keberadaan internet
berikut berbagai teknologi pendukungnya menandai masuknya Indonesia pada
mediamorfosis besar ketiga yakni bahasa digital.
Koevolusi internet sebagai media baru membawa serta yang disebut oleh
Fidler sebagai kode-kode komunikator yaitu bahasa. Bahasa, tanpa harus
108
dibandingkan satu sama lain, menurut Fidler telah menjadi agen perubahan yang
paling berpengaruh dalam rangkaian evolusi manusia. Sebagaimana diketahui,
perkembangan bahasa lisan dan tulis melahirkan dua transformasi besar, atau
mediamorfosis dalam komunikasi manusia. Masing-masing dari dua jenis bahasa ini
oleh Fidler dianggap bertanggung jawab terhadap penataan ulang dan ekspansi besar-
besaran kesadaran manusia sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya
peradaban dan kebudayaan modern (2003:37).
Internet dalam konteks ini merupakan agen dari mediamorfosis besar ketiga.
Ia merupakan bentuk khusus dari perangkat elektronik yang telah mengadopsi jenis
bahasa baru yang dianggap akan memengaruhi evolusi komunikasi dan peradaban
secara radikal. Bahasa baru ini merupakan lingua franca komputer dan berbagai
jaringan telekomunikasi global. Jenis bahasa baru ini disebut sebagai bahasa digital.
Kemunculan bahasa digital tidak serta terjadi seperti membalikkan telapak
tangan. Prosesnya bermula jauh di awal abad ke-19 ketika Charles Babbage
merumuskan asas-asas matematika dasar perhitungan digital sebagai bentuk prototipe
komputer digital modern yang kemudian dilanjutkan dengan kisah telegraf Samuel
Morse yang mengalahkan kecepatan kuda poni dalam pengiriman berita. Setelah itu,
kehadiran listrik serta penemuan telepon oleh Alexander Graham Bell menjadi
jembatan berikutnya yang memberikan kesadaran bagi orang-orang bahwa telepon
bisa menyambung komunikasi lisan antara individu-individu tanpa kelambatan atau
kerumitan. Komunikasi radio atau gelombang elektromagnetik yang dibawa serta
oleh perangkat telegraf tanpa kabel Marconi pada tahun 1899 ke Amerika
109
menimbulkan satu lagi agen perubahan teknologi sebelum akhirnya radio komersial
dan televisi menandai era elektronik sebagai tahap akhir memasuki abad komputer.
Dua perkembangan antara periode 1989 dan 1994 –Mosaic dan World Wide
Web- barangkali merupakan faktor-faktor yang terpenting dalam popularitas
mendadak internet (Fidler, 2003:153). Tanpa Mosaic dan World Wide Web, atau
padanan-padanannya, komersialisasi meluas Net1 tidak akan mungkin. Protokol-
protokol internet dan kode bahasa perintah memberikan kepada para insinyur jaringan
yang berpengalaman lingkungan perkembangan yang fungsional, tetapi protokol dan
bahasa tersebut jelas tidak mudah pemakaiannya bagi pengguna-pengguna nonteknis.
Oleh karena itulah Mosaic muncul dengan antarmuka grafis (GUI) yang dinamis dan
memberikan kemudahan bagi setiap orang yang memiliki keterampilan dasar
komputer kemampuan untuk menciptakan dan memakai peta jalan visual yang mudah
diikuti menuju sejumlah besar informasi yang tersimpan pada World Wide Web.
Prinsip yang dikembangkan oleh Mosaic dalam memudahkan pengoperasian
internet sejalan dengan prognosis yang dikemukakan oleh Kukulska-Hulme perihal
pendekatan komunikatif bagi para pengguna komputer. Koevolusi media komunikasi
telah menuntut penggunanya untuk menguasai perangkat teknologi terbaru, termasuk
menguasai fungsi-fungsi yang terkandung di dalam perangkat tersebut. Hanya saja,
ketika sejumlah perintah di dalam perangkat teknologi tersebut tidak dapat dipahami
1 Net sebenarnya adalah suatu jaringan longgar ribuan jaringan komputer yang saling terhubung. Tidak ada badan pemerintah atau komersial yang memiliki Net atau secara langsung memperoleh keuntungan dari operasinya. Jaringan ini tidak memiliki presiden, CEO, atau kantor pusat. Dan walau tadinya didanai oleh pemerintah AS, pengembangannya telah berlangsung secara lebih organik daripada birokratik (Fidler, 2003:150).
110
oleh para penggunanya maka harapan ideal akan tercapainya pemenuhan kebutuhan
komunikasi terbaru akan menjadi pupus.
Dalam kaitannya dengan penguasaan perangkat teknologi, indikasi perubahan
bahasa terlihat tidak hanya ketika bahasa dijadikan sebagai alat penyampai berita,
tetapi juga ketika bahasa menjadi motif untuk mencari berita dan menjadi alat
komunikasi. Toledo (2007:84-92) menyoroti perbedaan antara dua kelompok
komunikan dalam hal penggunaan teknologi digital sebagai media komunikasi.
Mengacu pada model yang dikembangkan oleh Marc Prensky tentang warga digital
dan turis digital, Toledo mengelaborasi fenomena kesenjangan penggunaan teknologi
digital antara siswa dengan guru.
Secara umum, ringkasan yang dikemukakan oleh Toledo dalam makalahnya
menyinggung perbedaan antara siswa sebagai warga digital dengan guru sebagai
turis/imigran digital menggunakan kriteria sebagai berikut: pertama, warga digital
ialah mereka yang lahir dalam era teknologi digital dan familiar menggunakannya,
sedangkan turis/imigran digital ialah mereka yang terpengaruh dengan penggunaan
teknologi digital; kedua, berdasarkan umur, warga digital ialah pengguna teknologi
yang berumur di bawah tiga puluh tahun, yang lahir pada era teknologi digital,
sedangkan turis/imigran digital ialah pengguna teknologi yang berusia di atas tiga
puluh tahun yang tidak lahir pada era teknologi digital; ketiga, berdasarkan
kompetensi yang dimiliki, warga digital ialah mereka yang mencari dan mendapatkan
sumber utama informasi mereka pada dunia digital seperti komputer, video, dan
111
internet, sedangkan turis/imigran digital ialah mereka yang mencari dan mendapatkan
sumber utama informasi mereka pada dunia cetak.
Jika dibandingkan dengan situasi yang ada di Indonesia, fenomena warga atau
turis/imigran digital semestinya dibedakan. Penyebabnya jelas, Indonesia cenderung
terbelakang, khususnya dalam bidang teknologi. Selain itu, batasan umur tiga puluh
tahun untuk menyebut seseorang sebagai warga ataupun turis/imigran digital di
Indonesia tidak relevan karena kehadiran teknologi khususnya komputer dan internet
serta penggunaannya secara terbatas baru terjadi pada akhir tahun 1990-an (Putra,
2013:2).
Fenomena yang diintrodusir oleh Toledo di atas, jika membayangkannya
sebagai sebuah komplementer, tampaknya merupakan penjelasan logis atas teori
mediamorfosis yang dikemukakan oleh Fidler. Menurut Fidler, mediamorfosis
bukanlah sekadar teori sebagai cara berpikir yang terpadu tentang evolusi teknologi
media komunikasi. Mediamorfosis mendorong ke arah pemahaman bahwa semua
bentuk media merupakan bagian dari sebuah sistem yang saling terkait, dan mencatat
berbagai kesamaan dan hubungan yang ada antara bentuk-bentuk yang muncul di
masa lalu, masa sekarang, dan yang sedang dalam proses kemunculannya. Media
baru tidak akan muncul begitu lama. Dan ketika bentuk-bentuk media komunikasi
yang baru muncul, bentuk-bentuk terdahulu biasanya tidak mati –terus berkembang
dan beradaptasi.
Pada Language and The Internet (2001 dan 2006), Crystal secara rinci
mendedah perspektif keilmuan linguistik baru berupa internet yang merupakan
112
kompromi antara komunikasi lisan, tulisan, audio, dan visual dalam satu wadah yang
sama. Konklusi yang dapat dimunculkan terkait fleksibilitas bahasa dalam buku ini
ialah bahwa bahasa berkembang menurut bentuk dan caranya diekspresikan. Gaya
bahasa surat elektronik (e-mail), grup obrolan (chatgroups), atau yang terbaru
obrolan video (videochat) bervariasi satu sama lainnya.
Bahasa yang digunakan di internet, atau yang disebut oleh Crystal sebagai
‘netspeak’ (2006:19) merupakan salah satu variasi bahasa yang berbeda sama sekali
dengan variasi bahasa sebelumnya. Sebagian kalangan mungkin berpendapat bahwa
perkembangan internet yang luar biasa turut berpengaruh terhadap ‘kesucian’ bahasa
sehingga menganggapnya bersifat destruktif (Ginting, 2010)2. Namun jika mengacu
pada pendapat Crystal sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa anggapan destruktif pada
bahasa internet disebabkan oleh penggunaan pembanding yang salah, bahasa tulis
akademis versus bahasa tulis internet, sementara bahasa internet berbentuk “written
speech”, percakapan tertulis. Di samping itu, latah penyebutan destruktivitas internet
juga disebabkan oleh generalisasi terburu-buru bahwa bahasa internet itu semuanya
sama. Padahal, internet merupakan struktur yang terdiri atas genre yang berbeda-
beda, yang dengan demikian penggunaan bahasa di dalamnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Bahasa dalam sebuah surat elektronik (e-mail) tidak serta merta sama
dengan bahasa sebuah grup obrolan (chatgroups). Demikian pula bahasa pesan instan
(instant messaging) berbeda dengan bahasa yang digunakan pada blog (blogging).
2 Ginting menanggapi pandangan Prof. Dr. Esther Kuntjara tentang maraknya penggunaan bahasa alay. Menurut Ginting, anggapan bahwa bahasa alay “rusak-rusakan, kacau, dan rumit” tidaklah bijaksana mengingat EYD pada awal kemunculannya juga merupakan ejaan yang rumit.
113
Proses koevolusi media di Indonesia telah terjadi dan berkembang
mengikuti pola yang lazim terjadi di belahan dunia lainnya. Pengindonesiaan istilah
TI sebagai salah satu bentuknya merupakan salah satu bentuk keterlibatan
pemerintah, tidak hanya dalam konteks pengembangan teknologi informasi, tetapi
juga dalam rangka pemertahanan bahasa Indonesia. Konteks netspeak seperti
dikemukakan oleh Crystal di atas mungkin berbeda dengan pengembangan istilah
yang diinisiasi oleh pemerintah. Akan tetapi keduanya memiliki garis besar yang
sama yakni sinkronisasi kemajuan teknologi informasi.
Kode-kode komunikator yang berkembang dalam pengindonesiaan istilah TI
ialah perihal peningkatan status bahasa Indonesia dalam penggunaannya sehari-hari.
Inpres No. 2 Tahun 2001 menegaskan niat pemerintah untuk mempertahankan
kelangsungan bahasa Indonesia secara lokal. Peralihan teknologi dari cetak ke
elektronik hingga ke komputer mendorong pemerintah untuk mempersiapkan diri dan
warganya untuk terlibat dalam gambaran yang disebut oleh McLuhan sebagai
“perkampungan global” (Fidler, 2003:146). Pesannya jelas, bahasa Indonesia harus
bertahan di kalangan masyarakatnya sendiri, atau mimpi baiknya, menjadi lebih
populer di negeri sendiri dibandingkan dengan lingua franca bahasa dunia, bahasa
Inggris.
Proses koevolusi dalam praktik pengindonesiaan istilah TI terjadi dalam
beberapa tahap. Pertama, pemerintah merumuskan aturan hukum yang melandasi
kegiatan tersebut yang diwujudkan oleh Inpres No. 2 Tahun 2001. Kedua, pemerintah
membentuk Tim Perumus yang terdiri atas Pokja Pembakuan Istilah, Pokja Perangkat
114
Lunak dan Keras, serta Pokja Sosialisasi dan Implementasi. Ketiga, pemerintah
mempublikasikan hasil rumusan dalam bentuk Panduan Pembakuan Istilah TI
berbahasa Indonesia yang diikuti oleh penyusunan Glosarium Istilah TI berbahasa
Indonesia.
Teori Difusi Rogers (dalam Fidler, 2003:19—23) menyatakan bahwa ciri-ciri
sebuah inovasi sebagaimana yang dirasakan para anggota masyarakat menentukan
tingkat pengadopsiannya. Lima sifat inovasi yang dikemukakan Rogers berkaitan
dengan teori difusinya menunjukkan bahwa keberhasilan bentuk komunikasi baru
mana pun tergantung pada kenyamanan dan kemudahan komunikasi baru itu
dirasakan dalam kehidupan orang. Lima sifat inovasi tersebut yaitu keuntungan
relatif, kesesuaian, kompleksitas, keterpercayaan, serta kelaziman. Di luar kelima
sifat tersebut, Fidler menambahkan sebuah norma baru dalam sifat suatu inovasi yaitu
pengenalan.
Dalam sejarah sistem komunikasi manusia, bentuk-bentuk baru jarang sekali
diadopsi tanpa hubungan-hubungan pengenalan dengan berbagai bentuk terdahulu
atau yang sudah ada (Fidler, 2003:23—24). Menurutnya, bentuk-bentuk media
komunikasi modern telah memperlihatkan pola yang sama. Fidler menyatakan bahwa
seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan setiap bentuk komunikasi baru sejak
semula jelas merupakan pengembangan lebih lanjut dari bentuk yang lebih dulu
muncul ke bentuk berikutnya yang berbeda dari segala jenisnya. Rangkaian
transformasi dan adaptasi ini pada kenyataannya merupakan proses kompleks yang
dalam banyak hal dapat dibandingkan dengan evolusi spesies. Bentuk-bentuk media
115
baru yang sukses, persis seperti spesies baru, tidak muncul begitu saja tanpa asal usul.
Kesemuanya membutuhkan rantai penghubung dengan masa lalu (Fidler, 2003:25—
26).
Pengindonesiaan istilah TI berbahasa Indonesia sebagai sebuah inovasi dalam
rangka pengintegrasian/pemertahanan bahasa Indonesia dalam bidang teknologi
berbenturan langsung dengan lima sifat inovasi yang dikemukakan oleh Rogers serta
satu sifat tambahan yang diusulkan oleh Fidler. Keuntungan Relatif sebagai sifat yang
pertama berhubungan dengan potensi pemasaran aplikasi berbahasa Indonesia. Heru
Nugroho dalam rilis ristek (4/2/2002) menyatakan bahwa Pokja Sosialisasi dan
Implementasi yang dipimpinnya pada waktu itu mengundang unsur swasta untuk
mencari sinergi antara pemerintah dan swasta dalam rangka implementasi Inpres No.
2 Tahun 2001. Kesesuaian sebagai sifat yang kedua berhubungan dengan ketepatan
istilah TI berbahasa Indonesia dalam berbagai aplikasi yang tersedia. Ketiga,
Kompleksitas terkait dengan manfaat yang diperoleh dari penggunaan istilah TI
berbahasa Indonesia: memudahkan atau menyulitkan? Keempat, Keterpercayaan
berhubungan dengan kemampuan istilah TI berbahasa Indonesia dalam
merepresentasikan kebutuhan informasi pengguna. Yang terakhir, Kelaziman
berhubungan erat dengan intensitas penggunaan suatu istilah TI yang awalnya dirasa
janggal namun akhirnya digunakan secara luas oleh para pengguna seperti unduh dan
unggah.
Usulan Fidler yakni pengenalan inovasi berhubungan langsung dengan
sosialiasi dan implementasi istilah TI berbahasa Indonesia di kalangan pengembang,
116
pengecer, serta pengguna teknologi informasi. Seperti diketahui, tindak lanjut Inpres
No. 2 Tahun 2001 tidak sekadar melibatkan para ahli dan praktisi bahasa asal
Indonesia, tetapi juga bekerjasama dengan para ahli serta praktisi asal Malaysia dan
Brunei Darussalam yang diklaim telah lebih dulu melakukan kegiatan serupa.
Hasilnya, Tim Perumus kemudian merilis Panduan Pembakuan Istilah TI dengan
melampirkan Senarai Padanan Istilah yang berisi 629 lema. Padanan-padanan
tersebut kemudian dipublikasikan dan memperoleh berbagai macam respon dari
masyarakat.
Tanggapan terbanyak biasanya menyoroti aspek kelaziman padanan hingga
peluang penggunaan padanan tersebut dalam suatu aplikasi. Indra Sosrodjojo,
Direktur PT Andal Software saat dihubungi oleh detikinet, Jumat (6/1/2006),
mengatakan bahwa pemakaian bahasa Indonesia baku untuk software dan istilah-
istilah teknologi informasi (TI) lainnya, dinilai kurang sosialisasi. Istilah-istilah TI
yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia baku itu, menurut Indra malah
menimbulkan kebingungan. Itu terjadi karena istilah-istilah tersebut kurang dikenal
masyarakat.
Menurut Indra, pihaknya selama ini memang membuatkan manual berbahasa
Indonesia untuk software yang diproduksinya. Namun, bahasa yang digunakan
memang bukan bahasa baku, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. "Kita
lihat berdasarkan pasarnya. Untuk aplikasi-aplikasi yang ditujukan untuk pasar
menengah ke atas, kita pakai bahasa Inggris. Tapi untuk pasar bawah, seperti dalam
produk 'Saudagar', kita pakai bahasa Indonesia," papar Indra. "Tapi bahasanya adalah
117
yang dipakai sehari-hari. Kalau ada istilah yang sulit dicari padanannya, kita biarkan
dalam bahasa aslinya," imbuhnya. Menurutnya buku manual harusnya tidak membuat
bingung. "Jadi terminologi yang digunakan harusnya menghindari kerancuan. Kalau
buku manual malah membingungkan, buat apa?" ujarnya.
Berbeda dengan Indra, Djarot Subiantoro, Wakil Presiden Direktur
perusahaan software lokal PT Sigma Cipta Caraka berpendapat, jika memang ada
keharusan untuk membuat buku manual software dalam bahasa Indonesia, harusnya
ada peraturan yang mengatur secara keseluruhan, end-to-end. "Jangan setengah-
setengah, akan membingungkan bagi industri," kata Djarot.
"Seperti dulu, pernah ada aturan bahwa PC (personal computer) harus
pakai bahasa Indonesia, tapi kemudian tidak ada kelanjutan. Akhirnya aturan itu
malah jadi persyaratan saja, sehingga pengerjaannya asal-asalan. Hanya jadi alat bagi
aparat untuk menyalahkan," paparnya. Djarot mengatakan, selama ini pihaknya
membuat buku manual dalam dua bahasa. "Untuk user manual kita pakai bahasa
Indonesia. Tapi untuk technical manual kita pakai bahasa Inggris," papar Djarot.
"Bahasanya kita pilih yang banyak dimengerti orang, supaya memudahkan,"
imbuhnya.
Jika mengikuti konsep keutuhan, idealnya buku manual memang perlu dibuat
dalam bahasa Indonesia. "Bikin buku manual itu tidak mudah. Dalam satu bahasa saja
belum tentu lengkap, apalagi kalau harus dua bahasa," ujar Djarot. Kalau melihat
kebutuhan pasar, Djarot mengatakan bahwa pengguna sistem yang kompleks pada
umumnya tidak kesulitan dengan buku manual berbahasa Inggris. Selain itu,
118
pemakaian bahasa Inggris untuk buku manual juga memudahkan saat mereka menjual
software ke luar negeri.
Konvergensi
Mata rantai evolusi media salah satunya tergambar pada proses konvergensi.
Dwyer (2010) dalam bukunya berjudul Media Convergence mengetengahkan
persoalan metamorfosis yang dialami oleh media, khususnya perubahan wadah
komunikasinya. Dalam buku yang terdiri atas enam bab ini, Dwyer menjelaskan
tentang penafsiran atas konvergensi media, media tradisional yang beralih menjadi
media online, kepemilikan media, penikmat wahana baru ini, serta masalah jaringan
broadband. Hal pokok yang dikemukakan Dwyer ialah bahwa transformasi media
meliputi penyediaan infrastruktur, hadirnya kebijakan komunikasi, serta masalah
informasi dan demokrasi media.
Computer-mediated communication/internet-mediated communication atau
Komunikasi Berperantarakan Komputer-Internet (Harimansyah, 2013), merupakan
bentuk nyata peralihan media berkomunikasi dari analog ke digital, dari cetak ke e-
paper dan online. Menurut Harimansyah, Komunikasi Berperantarakan Komputer-
Internet (KBKI) di dunia siber dapat dianggap sebagai genre baru dalam
berkomunikasi. Bentuk komunikasi di dunia siber menggabungkan fitur yang ada dari
media tulisan dan percakapan yang semuka, tetapi menjadi campuran yang lebih
sederhana dari keduanya.
Komunikasi berperantarakan komputer-internet sebagai dampak yang
dihadirkan oleh konvergensi media dirasakan tidak hanya pada skala makro peralihan
119
dari media cetak menuju ke media online, namun sejalan dengan pandangan
Harimansyah di atas juga berpengaruh terhadap pola dan gaya komunikasi pengguna
media bersangkutan. Keberadaan internet sebagai media komunikasi yang baru
memunculkan pula gaya bahasa baru yang oleh beberapa ahli disebut berbentuk
writing that reads like conversation (Davis dan Brewer, 1997:2), atau written speech
(Crystal, 2001:25).
Konvergensi media merupakan konsep yang dipopulerkan oleh Nicholas
Negroponte pada tahun 1979. Dalam kuliah kelilingnya untuk pengumpulan dana
pembangunan gedung laboratorium media di MIT, Negroponte mengungkapkan
bahwa semua teknologi komunikasi sedang bersama-sama memasuki titik genting
metamorfosis yang hanya dapat dipahami dengan tepat jika didekati sebagai subjek
tunggal. Sejak saat itu, gagasan bahwa industri-industri ini secara bersama-sama
menciptakan berbagai bentuk komunikasi baru, melahirkan banyak pemikiran tentang
masa depan media massa dan komunikasi manusia (Fidler, 2003:39).
Fidler menjelaskan bahwa hampir semua komputer pribadi yang dijual dewasa
ini menawarkan kepada penggunanya kemampuan untuk menjalankan CD-ROM
yang memadukan berbagai media telekomunikasi (2003:38). Teks dan potongan-
potongan gambar dipadukan dengan klip-klip audio dan video, serta peluang untuk
melakukan sambungan langsung dengan jaringan global dan akses luas pada
himpunan-himpunan informasi tekstual dan audio/visual. Gagasan bahwa berbagai
macam teknologi dan bentuk media hadir bersamaan, yang dikenal sebagai
120
konvergensi media, menurut Fidler tampaknya sekarang hampir menjadi sesuatu yang
lumrah, yang sebelumnya merupakan khayalan semata.
Negroponte dan kolega-koleganya di MIT diyakini termasuk yang pertama
kali mengakui bahwa konvergensi industri media dan teknologi digital pada akhirnya
akan mengarah pada bentuk-bentuk yang dikenal sebagai komunikasi multimedia
(Fidler, 2003:39). Multimedia, atau juga dikenal sebagai media campuran pada
umumnya didefinisikan sebagai medium yang mengintegrasikan dua bentuk
komunikasi atau lebih. Dalam konteks ini, multimedia dapat berupa kombinasi antara
media cetak dengan elektronik, antara elektronik dengan web, atau gabungan di
antara ketiganya.
Di Indonesia, perkembangan teknologi termasuk terlambat (Epkamarsa,
2014). Amerika sudah mulai menggunakan internet sejak 1960-an dan dapat
digunakan secara luas pada tahun 1990, sedangkan di Indonesia penggunaan internet
baru dimulai pada tahun 1988 dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1998.
Meskipun lebih cepat dari Amerika dalam penyebarluasan penggunaan internet, hal
ini lebih disebabkan oleh infrastruktur teknologi global yang tidak semahal dan
sejarang di era 1960-1990.
Konvergensi media di tahap awal terkait erat dengan transisi media dari cetak
ke elektronik dan seterusnya. Digitalisasi media komunikasi lantas menjadi suatu
bentuk inovasi yang mendorong perubahan dari teknologi analog ke digital. Grant
dan Wilkinson (konvergensi.komunikasi.or.id) berpendapat bahwa terdapat dua fitur
perkembangan teknologi yang secara spesifik menjadi inti perwujudan konvergensi
121
media, yaitu teknologi digital dan jejaring komputer. Dengan dua fitur teknologi di
atas, menjadi jelas bahwa dimensi teknologi dalam konvergensi merujuk pada
kemampuan teknologi digital untuk menyimpan, memanipulasi, dan memodifikasi
segala jenis informasi di dalam komputer. Kemudian melalui internet, segala macam
perangkat berbasis komputer dapat saling terhubung untuk saling berbagi segala jenis
konten informasi tersebut.
Konten yang dibagikan tentu saja tersusun dalam format multimedia seperti
yang dijelaskan sebelumnya. Contoh media konvergen yang berisi konten multimedia
ini misalnya koran online Kompas.com. Melalui website, koran Kompas menjadi
media konvergen yang dapat memuat berita dalam format teks, suara, dan video,
bahkan dapat menyediakan wadah interaktif bagi komunitas pembacanya dalam
format blog bernama Kompasiana.
Di tahap berikutnya, konvergensi media tidak dapat dilepaskan dari
konvergensi kepemilikan media (konvergensi.komunikasi.or.id). Tren kepemilikan
media di Indonesia dikuasai oleh beberapa media besar, seperti grup MNC yang
memiliki RCTI, Global TV, MNC TV, Sindo TV (Televisi), koran Sindo (cetak),
Okezone (online), serta jaringan Trijaya FM (radio). Kemudian ada Media Group
yang menaungi Media Indonesia, Lampung Post, Borneonews, Prioritas (cetak),
Metro TV (televisi), dan MediaIndonesia.com, MetroTVNews.com, serta WideShot
(online). Ada pula grup PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) milik Bakrie & Brothers
yang memiliki stasiun televisi Antv, TVOne, BV Sport, Viva+ dan Sport One, serta
portal berita online VIVA.co.id. Di luar ketiganya, terdapat satu lagi korporasi yang
122
juga melakukan konvergensi kepemilikan yakni PT Trans Corporation dengan bidang
penyiaran Trans TV, Trans7, Detik TV (CNN Indonesia), detikCom, Majalah Detik,
CNNIndonesia.com, Trans Sinema Pictures, serta Transvision.
Hal penting yang harus dicermati dari peristiwa konvergensi adalah esensi
konvergensi bersangkutan. Asumsi-asumsi umum bahwa konvergensi dewasa ini
akan mengarah pada semakin terjadinya pengurangan bentuk komunikasi, atau
akhirnya pada kematian bentuk-bentuk yang ada, seperti surat kabar dan majalah,
tidak didukung oleh bukti hostoris (Fidler, 2003:41). Bukannya mengonsolidasikan
atau menggantikan bentuk-bentuk terdahulu, bentuk-bentuk yang lebih baru
cenderung bersifat khas dan menambah pada media campuran (multimedia).
Fidler lebih lanjut mengelaborasi dua kesalahan umum lainnya yakni
keyakinan bahwa konvergensi adalah sesuatu yang baru pada masa ini dan bahwa hal
itu pertama-tama menyangkut merger. Padahal pada kenyataannya, konvergensi
selalu menjadi esensi evolusi dan proses mediamorfosis. Konvergensi berskala besar
sebagaimana yang terjadi dewasa ini, mungkin terjadi hanya sekali, namun bentuk-
bentuk media yang ada saat ini pada kenyataannya merupakan hasil dari konvergensi-
konvergensi berskala kecil yang tidak terhitung banyaknya, yang seringkali terjadi
sepanjang waktu. Menurut Fidler (2003:42), konvergensi lebih menyerupai
persilangan atau perkawinan, yang menghasilkan transformasi atas masing-masing
entitas yang bertemu dan penciptaan entitas baru.
Konvergensi dalam kegiatan pengindonesiaan istilah TI pada prinsipnya
mengupayakan integrasi bahasa Indonesia di dalam berbagai media dan perangkat
123
teknologi komunikasi. Bahasa Indonesia hendak diposisikan tidak sebagai pengantar
dalam user manual saja, tetapi juga menjadi bahasa antarmuka (interface) setiap
aplikasi yang ada di ranah teknologi informasi di Indonesia. Mengikuti mekanisme
Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI) dalam hal pemadanan istilah baru,
pengindonesiaan istilah TI diupayakan menambah wilayah penggunaan kosakata
bahasa Indonesia tidak terbatas pada bidang yang sudah ada tetapi juga berkontribusi
pada aplikasi atau perangkat teknologi mutakhir.
Konvergensi dengan demikian berlangsung pada tataran kode dan alat. Kode
dalam hal ini ialah bahasa, sedangkan alat merujuk pada software maupun hardware
yang terintegrasi dengan bahasa Indonesia sebagai antarmukanya. Language Interface
Pack (LIP) yang dipakai di Sistem Operasi Windows merupakan salah satu contoh
konvergensi bahasa Indonesia di dalam sistem operasi komputer. Beberapa contohnya
dapat diilustrasikan sebagai berikut.
124
Gambar 2. Windows Explorer dalam Bahasa Asal
Gambar 3. Windows Explorer dalam Bahasa Indonesia
Gambar 4. Panel Kontrol dalam Bahasa Asal
125
Gambar 5. Panel Kontrol dalam Bahasa Indonesia
Gambar 6. Peringatan Log Off dalam Bahasa Asal
126
Gambar 7. Peringatan Log Keluar dalam Bahasa Indonesia
Gambar 8. Properti Komputer dalam Bahasa Asal
127
Gambar 9. Properti Komputer dalam Bahasa Indonesia
Selain pada sistem operasi komputer, konvergensi bahasa juga dapat
ditemukan pada aplikasi-aplikasi web semisal Google, Facebook, blog, situs resmi
pemerintah, portal berita, website akademik dan sebagainya. Di halaman muka mesin
pencari Google berdomain co.id, terdapat empat pilihan bahasa penelusuran bagi para
pengguna yaitu bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Basa Jawa, serta Basa Bali. Di
halaman awal Facebook, terdapat 91 pilihan bahasa yang dapat dipilih oleh para
pengguna media sosial tersebut. Bahasa Indonesia, bahasa Melayu, serta Basa Jawa
turut serta menjadi bagian di dalamnya. Pada beberapa portal berita online, pembaca
ditawari untuk memilih bahasa pengantar di dalam suatu berita, Indonesia atau
Inggris, seperti yang terdapat pada situs berita2bahasa.com.
Yang patut dicermati dari peristiwa konvergensi bahasa di Indonesia ialah
bahwa tidak semua padanan yang diusulkan oleh Pusat Bahasa baik dalam Senarai
128
Padanan Istilah maupun Glosarium istilah TI diiikuti dengan ketat oleh para
pengembang aplikasi. Terbukti, dalam LIP Windows di atas khususnya pada Panel
Kontrol terdapat beberapa bagian yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yaitu Color Management, Device Manager, Indexing Options, Internet
Options, Mail, Parental Controls, RemoteApp and Desktop Connections, Speech
Recognition, Windows Card Space, Windows Mobility Center, serta Windows
Update. Selain itu terdapat juga kombinasi antara bentuk asli bahasa Inggris dengan
padanannya dalam bahasa Indonesia yang terkesan janggal yaitu AutoMain
(AutoPlay), ini mengingatkan pada inkonsistensi bentuk swa- dengan oto/auto dalam
glosarium istilah TI (swasimpan = autosave; swaskor = autoscore; autoulir =
autothread).
Bila dicermati dalam senarai padanan istilah dan glosarium istilah TI, baik
istilah color maupun management telah memiliki padanan tersendiri, demikian pula
device maupun manager, termasuk juga index dan options; bahkan diksi-diksi
seterusnya yang tersebut di atas masing-masing telah memiliki padanan. Oleh sebab
itu, menimbulkan keingintahuan kemudian ketika istilah-istilah tersebut tidak
dipadankan ke dalam bahasa Indonesia oleh pengembang LIP Windows.
Spekulasinya bisa jadi terkait potensi pemasaran istilah tersebut atau karena sebab
yang lain seperti yang diindikasikan dalam Teori Difusi Rogers.
Pada sistem operasi yang lebih kecil seperti Android, terdapat juga beberapa
istilah yang belum dipadankan ke dalam bahasa Indonesia. Yang dijadikan sampel
kali ini ialah Android 2.3.6 Gingerbread. Istilah-istilah tersebut yaitu Download,
129
Flight Mode, Wireless, Tethering and Portable Hotspot, Virtual Private Network
(VPN), Dial, Wallpaper, Non-Market, Update, Back Up, Restore, Reset, Input,
Output, serta TalkBack. Padahal, bila dicermati, padanan bahasa Indonesia untuk
istilah-istilah tersebut ada dan digunakan di beberapa aplikasi lain. Unduh, mode
terbang, nirkabel, sambung, perbarui, cadangkan, masukan, serta keluaran
merupakan beberapa padanan yang dapat diajukan sebagai contoh.
Meskipun demikian, penggunaan istilah asli di dalam perangkat tersebut dapat
dianalisis dengan mempertimbangkan aspek ruang (space) yang tersedia pada layar
ponsel Android tersebut serta pemahaman istilah asli oleh para pengguna. Istilah reset
misalnya yang terdiri atas lima huruf tentu membutuhkan ruang yang lebih sempit
dibandingkan dengan bentuk set ulang atau atur ulang yang lebih panjang. Kemudian
istilah Wi-Fi dan Bluetooth, jika dipadankan dalam bahasa Indonesia tentu akan
menimbulkan kebingungan mengingat kedua bentuk ini merupakan istilah yang sudah
dikenal luas.
Kompleksitas
Selama masa perubahan besar, sebagaimana kita alami saat ini, segala sesuatu
di sekeliling kita mungkin tampak dalam kondisi kacau, chaos, dan untuk sebagian
besar, memang itulah yang terjadi (Fidler, 2003:42). Chaos menurut Fidler adalah
komponen penting perubahan. Dari kondisi chaos, lahir gagasan-gagasan baru yang
mentransformasikan dan menghidupkan sistem-sistem.
Prinsip utama teori chaos kontemporer adalah gagasan bahwa kejadian-
kejadian yang terkesan tidak signifikan atau variasi-variasi awal yang remeh dalam
130
sistem-sistem yang mengalami chaos, seperti cuaca dan ekonomi, dapat memicu
peningkatan eskalasi kejadian-kejadian tidak terduga yang akhirnya mengarah pada
kejadian-kejadian yang melahirkan dampak atau membawa bencana besar. Sistem-
sistem yang mengalami chaos pada dasarnya anarkis. Sistem-sistem itu menunjukkan
ketidakpastian yang nyaris tidak berujung dengan pola-pola jangka panjangnya yang
tidak terduga yang menjelaskan alasan tidak seorang pun mampu memprediksikan
secara akurat teknologi-teknologi media baru dan bentuk-bentuk komunikasi yang
akan sukses dan yang akan gagal.
Kepentingan chaos bagi pemahaman atas mediamorfosis dan perkembangan
media baru dalam teori pada kenyataannya kurang dibandingkan dalam hubungannya
dengan konsep terkait lainnya –kompleksitas. Penelitian yang dilakukan di Institute
Santa Fe mengarah pada beberapa pandangan penting mengenai proses
mediamorfosis. Ketika mempelajari perilaku sistem-sistem yang kompleks, para
ilmuwan menemukan bahwa kekayaan interaksi yang terdapat dalam sistem-sistem
kehidupan memungkinkannya menjalani pengorganisasian diri secara spontan dalam
merespon kondisi-kondisi yang berubah. Dengan kata lain, sistem-sistem yang
kompleks bersifat adaptif, yaitu bahwa sistem-sistem itu hanya merespon kejadian-
kejadian secara pasif seperti batu yang menggelinding karena gempa bumi. Sistem-
sistem itu secara aktif berusaha mengarahkan apapun yang terjadi untuk mendapatkan
keuntungan demi dirinya.
Dengan mengakui bahwa sistem komunikasi manusia pada kenyataannya
merupakan sebuah sistem yang adaptif dan kompleks, kita dapat melihat bahwa
131
semua bentuk media hidup dalam dunia yang dinamis dan saling bergantung. Ketika
muncul tekanan-tekanan eksternal dan penemuan-penemuan baru diperkenalkan,
setiap bentuk komunikasi dipengaruhi oleh proses pengorganisasian diri yang bersifat
intrinsik, yang muncul secara spontan dalam sistem tersebut. Sama seperti spesies
yang berkembang demi kelangsungan hidup yang lebih baik, demikian jugalah yang
dilakukan oleh bentuk-bentuk komunikasi dan perusahaan-perusahaan media yang
ada. Proses inilah yang menjadi esensi mediamorfosis.
Kompleksitas dalam konteks pengindonesiaan istilah TI bermula dari upaya
pemerintah untuk melakukan intervensi pada sistem-sistem komunikasi yang telah
mapan (status quo) di Indonesia. Eksistensi bahasa Inggris sebagai lingua franca
komputer telah mengakar tajam di kalangan para praktisi maupun pengguna teknologi
informasi. Sistem yang terbangun kemudian membentuk suatu infrastruktur yang
baku dalam berbagai bidang: pengembangan aplikasi, pemasaran, konsumsi oleh
pengguna maupun pengembangan keilmuan komputer.
Indonesia sendiri bukanlah termasuk negara yang memulai perkembangan
teknologi dan lebih mengikuti arus global dalam perkembangan teknologi
(Epkamarsa, 2014). Konsekuensinya, Indonesia mengadopsi secara utuh berbagai
macam istilah teknis dalam bidang teknologi informasi yang notabene berbahasa
Inggris. Di sisi lain, pemerintah memiliki misi menjaga keberlangsungan bahasa
Indonesia dengan cara mengintegrasikannya di bidang teknologi informasi.
Subbidang yang kemudian disasar oleh pemerintah ternyata merupakan salah satu
elemen penting infrastruktur TI di Indonesia, yaitu aspek bahasa. Disebut penting
132
karena aspek ini berpengaruh terhadap elemen infrastruktur lainnya baik itu ekonomi,
sosial, pendidikan dan sebagainya. Dari titik inilah kondisi chaos bermula.
Berbagai protes muncul di kalangan pengembang, praktisi, maupun pengguna
istilah TI. Keberatan awal muncul karena adanya asumsi bahwa pemerintah
membakukan padanan istilah TI ke dalam bahasa Indonesia, padahal bila dicermati
Inpres No. 2 Tahun 2001, keberatan tersebut kurang tepat karena dalam konsideran
poin c dinyatakan bahwa padanan berbahasa Indonesia yang dirilis oleh pusat bahasa
merupakan alternatif pilihan bahasa, bukan bahasa satu-satunya. Keberatan
berikutnya muncul dari kalangan praktisi (penerjemah TI) perihal kelaziman padanan.
Ryan (https://support.gengo.com) mempertanyakan padanan istilah TI yang dianggap
sering menimbulkan kerancuan di kalangan penerjemah karena dianggap tidak
lumrah, asing, atau janggal. Akan tetapi, keluhan Ryan ditanggapi oleh Firman Tahar
dengan menyatakan bahwa pemilihan kata sebagai padanan terjemahan istilah TI
bergantung pada pesanan klien, sehingga seorang penerjemah tidak terikat untuk
menggunakan padanan istilah TI milik pusat bahasa. Kalau pun kemudian harus
menggunakannya, hal itu bukan masalah yang besar sebab laman resmi pemerintah
serta media massa terkemuka turut menggunakannya dengan jangkauan pemirsa yang
lebih luas.
Masih dari laman yang sama, keluhan juga muncul di kalangan pemrogram
(programmer) karena padanan istilah TI bahasa indonesia sebagian besar berukuran
lebih panjang dari istilah aslinya jika disematkan di layar suatu aplikasi. Kritik yang
diajukan menunjuk pada kepraktisan padanan jika dikembangkan dalam suatu
133
program komputer. Sementara itu, Roekminto (http://www.kompasiana.com/)
mengajukan kritik tentang perlunya realisasi pembentukan sebuah lembaga
penerjemahan. Menurutnya, ini didasarkan pada fakta bahwa penggunaan bahasa
Inggris dan bahasa asing lain (dalam konteks ini adalah komputer dan aplikasinya)
secara terus menerus akan menempatkan Indonesia pada satu subordinasi sistem
global. Dengan demikian sangat mudah bagi kapitalis global maupun penguasa
teknologi untuk menekan, salah satu contohnya adalah ketergantungan yang tinggi
pada pemakaian sistem operasi (operating system) Windows. Padahal sudah banyak
piranti lunak yang berbasis nirbayar, salah satunya adalah Linux, yang memiliki
potensi untuk dikembangkan lebih lanjut karena memiliki peluang untuk menjadi
sistem operasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ketergantungan yang tinggi
itulah yang mengakibatkan Indonesia mengalami kesulitan dalam meningkatkan
kemampuan untuk mengartikulasikan gagasan-gagasan politis, ideologi maupun
kebudayaan bagi kepentingan Indonesia di tingkat regional maupun internasional
termasuk di dalamnya kebijakan dalam bidang TI.
Dari bidang pendidikan, pemadanan istilah TI ke dalam bahasa Indonesia
akan menimbulkan kebingungan bagi para pendidik maupun siswa dalam memilih
bahasa padanan yang digunakan di kegiatan belajar mengajar. Di satu sisi,
penggunaan padanan bahasa Inggris dalam kegiatan pembelajaran tentu saja sudah
tepat secara teknis sebab hampir semua istilah TI berbahasa Inggris. Hal ini demi
keseragaman pemahaman antara siswa dengan gurunya serta dengan perangkat
teknologi yang ada. Di sisi lain, padanan istilah TI bahasa Indonesia oleh pemerintah
134
ditujukan sebagai bantuan bagi pengguna pemula dan kalangan siswa dalam
mengoperasikan komputer untuk keperluan sehari-hari. Pada titik inilah, pilihan
terhadap keduanya menjadi pilihan yang dilematis.
Bila ditelusuri berdasarkan postingan yang ada di web, kondisi chaos ini
masih berlangsung hingga sekarang. Masih terdapat tarik ulur penggunaan istilah ti di
kalangan pihak-pihak yang berkepentingan baik terhadap istilah asli maupun
padanannya dalam bahasa Indonesia. Istilah-istilah bahasa Inggris ingin
dipertahankan karena pada kenyataannya bahasa inilah yang mendominasi bidang
teknologi informasi dewasa ini. Statistik yang dirilis oleh w3techs.com pada tanggal
20 Januari 2015 menunjukkan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa konten
terbanyak yang digunakan di website dengan persentase 53,8%, sedangkan bahasa
Indonesia berada di urutan ke-19 dengan persentase 0,5% di bawah bahasa Vietnam
dan Swedia. Sebaliknya, kebijakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai padanan
istilah TI merupakan salah upaya pemantapan posisi bahasa Indonesia, terlebih bila
menyikapi statistik di atas atau bila menyimak ulasan Crystal dalam Language Death
perihal keberlangsungan suatu bahasa.
Kembali pada sistem-sistem yang adaptif dan kompleks, kebijakan
pengindonesiaan istilah TI tidak secara frontal dan terus menerus ditentang oleh
berbagai kalangan. Pada akhirnya, seperti yang dirumuskan, semua bentuk media
hidup dalam dunia yang dinamis dan saling bergantung. Tekanan-tekanan eksternal
yang muncul dan diikuti oleh diperkenalkannya temuan-temuan baru menimbulkan
gejolak, namun lantas diikuti oleh proses pengorganisasian diri yang bersifat
135
intrinsik, yang muncul secara spontan dalam sistem tersebut. Demikian pula halnya
dengan respon terhadap istilah TI berbahasa Indonesia. Akhir-akhir ini di berbagai
media sudah dapat ditemukan penggunaan padanan-padanan istilah tersebut secara
wajar. Kesan asing atau janggal terhadap beberapa padanan istilah mungkin tetap ada,
akan tetapi itu tidak menghentikan keberlanjutan penetrasi padanan istilah TI dalam
berbagai perangkat atau aplikasi teknologi yang tersedia.
Istilah TI Bahasa Indonesia Saat Ini
Pada tahap perkembangan mana kita sekarang berada? Kalimat tersebut
merupakan salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh fidler ketika menguraikan
Hukum 30 Tahun Paul Saffo (2003:13). Menurutnya, ketika kita berusaha
mencermati masa depan komunikasi, tampak bahwa pertanyaan kritis yang perlu
diajukan berkaitan dengan kemunculan teknologi-teknologi media adalah pada tahap
perkembangan manakah teknologi-teknologi itu berada. Saffo telah mengungkapkan
bahwa rentang waktu yang dibutuhkan gagasan-gagasan baru agar benar-benar
meresap ke dalam sebuah kebudayaan lazimnya rata-rata mencapai tiga dekade.
Masing-masing dekade memiliki pola tipikal yang berbeda satu sama lain. Lantas
bagaimana dengan istilah TI berbahasa Indonesia saat ini?
Pengindonesiaan istilah TI telah memasuki dekade yang kedua sejak dirilis
pertama kali di tahun 2001. Telah genap enam belas tahun berbagai padanan istilah ti
berbahasa Indonesia ditolak, dicemooh, atau bahkan dianggap “tabu” di beberapa
kalangan. Namun meskipun demikian, perlahan tapi pasti berbagai padanan tersebut
mulai digunakan baik itu oleh pengguna, praktisi, maupun pengembang. Mengikuti
136
tren dekade kedua Hukum 30 Tahun Paul Saffo, tahun-tahun ini merupakan masa
yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penetrasi padanan-padanan
istilah ti di berbagai lapisan masyarakat.
Walaupun demikian, pemerintah selaku inisiator yang bertanggung jawab
pertama kali atas keberlangsungan padanan istilah ti berbahasa Indonesia tidak boleh
terlena dengan tren positif dekade kedua ini. Saffo telah mengingatkan bahwa
karakteristik masa depan selalu berada pada kutub gravitasi pasti, mungkin, serta
mustahil. Implikasi-implikasi sosial, politik, dan ekonomi merupakan beberapa aspek
yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi pengindonesiaan istilah
TI.
Selain Saffo, ada juga Winston yang mengingatkan perihal akselerator dan
penghambat teknologi (dalam Fidler, 2003:28—34). Dalam pandangan Winston,
akselerator yang mendorong perkembangan berbagai teknologi media baru adalah
kebutuhan sosial yang muncul sebagai akibat perubahan (supervening social
necessities) yaitu kebutuhan perusahaan, tuntutan akan teknologi-teknologi lain,
penetapan regulasi atau hukum, serta kekuatan-kekuatan sosial masyarakat. Di
samping itu, Winston juga mengemukakan Hukum Penindasan Potensi Radikal
sebagai kontra dari akselerator teknologi. Menurutnya, hukum ini merupakan
penghambat yang memperlambat dampak teknologi baru yang dapat menggoyahkan
kemapanan sosial atau perusahaan. Kategorinya sama dengan akselerator yakni
kebutuhan perusahaan, tuntutan akan teknologi-teknologi lain, penetapan regulasi
atau hukum, serta kekuatan-kekuatan sosial masyarakat. Bedanya, empat kategori
137
yang kedua bertendensi negatif dan melakukan perlawanan terhadap perubahan yang
diusulkan. Istilah-istilah TI berbahasa Indonesia telah mengalami hal tersebut, dan
frekuensi penolakan yang berkurang tidak berarti bahwa segenap lapisan masyarakat
setuju dengan padanan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah selaku pemangku
kebijakan pertama sudah selayaknya memperhatikan peringatan-peringatan yang
dikemukakan oleh kedua ahli tersebut di atas.
4.2.3 Relevansi antara Pendekatan Komunikatif dengan Pembelajaran Bahasa
Indonesia pada Sekolah Menengah Atas
Kebijakan pengindonesiaan istilah komputer yang tertuang dalam Inpres
Nomor 2 Tahun 2001 yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk Senarai Padanan
Istilah dan Glosarium Istilah Teknologi Informasi menyasar pada dua kalangan
pengguna yaitu kalangan pelajar sekolah menengah umum (pemula) dan kalangan
mahasiswa jurusan ilmu komputer. Terkait dengan kebijakan tersebut, diperlukan
adanya upaya integrasi materi peristilahan teknologi informasi ke dalam masing-
masing tingkatan agar istilah-istilah asing yang telah diindonesiakan dapat diterima
dan dipakai oleh para pengguna. Salah satu upaya yang kemudian dilakukan oleh
Pemerintah ialah menyusun materi pembelajaran khususnya di tingkat SMA yang
dapat mengakomodasi kebutuhan pemahaman siswa akan istilah-istilah teknologi
informasi. Dalam hubungannya dengan bahasa sebagai media pengembangan istilah,
materi pembelajaran tersebut diimplementasikan pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia Kelas X Kurikulum Terpadu Satuan Pendidikan (KTSP).
138
Data yang akan digunakan sebagai rujukan dalam analisis ini ialah Senarai
Padanan Istilah. Beberapa istilah di dalamnya dianggap sesuai untuk dijadikan contoh
dalam materi terkait teknologi informasi yang dipadukan dengan kompetensi menulis
karangan eksposisi. Adapun perangkat pembelajaran yang menjadi acuan ialah Buku
Guru Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia Jilid I (untuk SMA dan MA kelas
X) KTSP 2006 yang memuat Silabus dan RPP terkait. Alasan pemilihan materi dalam
KTSP ialah karena selain relevan, kurikulum ini oleh Anies Baswedan direncanakan
untuk diterapkan kembali mulai Semester Genap Tahun Ajaran 2015/2016.
Kerangka kerja yang akan dilaksanakan pada bagian ini ialah dengan terlebih
dahulu memaparkan perangkat pembelajaran yang memuat materi teknologi
informasi, kemudian mensimulasikan istilah-istilah yang terdapat dalam Senarai
Padanan Istilah sebagai bagian dari materi pelajaran. Pemilihan istilah-istilah yang
dijadikan sampel mengacu kepada penelitian Darnis (2012) perihal ketermanfaatan
Pedoman Umum Pembentukan Istilah dalam pembentukan istilah bahasa Indonesia
dan penelitian Sari (2014) perihal tanggapan mahasiswa Surakarta terhadap
pengindonesiaan istilah asing bidang komputer.
Deskripsi Perangkat Pembelajaran
Materi pembelajaran istilah teknologi informasi dalam KTSP 2006 terdapat
pada mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X Semester Ganjil. Standar Kompetensi
yang dituntut pada bidang ini ialah kemampuan siswa untuk mengungkapkan
informasi dalam berbagai bentuk paragraf (naratif, deskriptif, ekspositif). Alokasi
139
waktu yang tersedia untuk masing-masing kompetensi dasar ialah empat jam
pelajaran (4 JP).
Pada Kompetensi Dasar menulis paragraf eksposisi, siswa diminta untuk
membaca teks bertopik teknologi informasi. Setelah mengidentifikasi karakteristik
paragraf eksposisi, siswa kemudian menginventarisasi istilah-istilah/kata kajian
bidang teknologi informasi dalam teks, menjelaskan artinya, dan menerapkan
beberapa di antaranya dalam kalimat secara tepat. Siswa juga menginventarisasi dan
mengklasifikasikan kata-kata berimbuhan asing beserta kata penghubung yang
terdapat di dalam teks.
Simulasi Pembelajaran Istilah Teknologi Informasi
I. Apersepsi
Guru membuka pelajaran dengan menanyakan kepada siswa siapa yang /tidak
mempunyai e-mail, suka membuka internet, sering chatting/surfing. Bila perlu
guru juga menjelaskan bahwa istilah-istilah teknologi informasi seperti e-mail,
chatting, surfing, copy, dan lain-lain telah memiliki padanan dalam bahasa
Indonesia. Setelah itu, guru memperdalam pertanyaan ke beberapa siswa: situs
yang sering diakses, manfaat yang diperoleh dari internet, dampak negatifnya,
dan sebagainya. Kemudian guru mengajak siswa untuk menyadari bahwa
teknologi informasi harus dikuasai karena mempunyai peran sangat penting
dalam era globalisasi.
140
II. Inti
a. Siswa membaca teks dengan topik teknologi informasi yang dikembangkan
secara eksposisi.
ADA TIKUS DI DALAM KOMPUTERPernahkah Anda menemukan tikus di komputer pribadi Anda? Atau
yang lebih menggelikan, menyentuh dan menyeret-nyeretnya di atas meja kerja? Bagi Anda yang terbiasa bekerja dengan komputer pribadi (PC), mungkin Anda sudah memahami maksud redaksi ini. Tapi bagi sebagian yang lain, Anda mungkin menganggap bahwa pertanyaan di atas terlalu mengada-ada.
Yang dimaksud dengan tikus pada alinea pertama ialah mouse. Dunia secara global telah mengenalnya dengan istilah demikian. Namun tahukah Anda bahwa di Indonesia mouse telah dipadankan sebagai tetikus? Ya, t-e-t-i-k-u-s. Hewan pengerat ini akhirnya “naik kelas” menjadi salah satu bagian penting teknologi informasi di Indonesia setelah Pemerintah melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2001 menginstruksikan pemadanan istilah teknologi informasi berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Bersama istilah ini, turut dipadankan pula 628 istilah asing lainnya di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi serta Kementerian Pendidikan Nasional.
Namun, mengapa tetikus? Mengapa bukan maus saja? Pertanyaan ini akan serupa dengan mengapa copy menjadi salin, cut menjadi gunting, folder menjadi pelipat, footer menjadi pengaki, atau server menjadi peladen. Itu telah menjadi keheranan massal yang lazim bagi para pengguna komputer di Indonesia. Sebabnya, kita sudah terlanjur “jatuh cinta” pada bahasa Inggris yang ada di layar komputer.
Sayangnya, perasaan cinta tersebut oleh pemerintah dinilai sebagai sesuatu yang justru mengancam daya saing Indonesia di kancah global, baik itu dari faktor bahasa maupun kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Upaya menjembatani penguasaan akan teknologi bagi masyarakat pun harus dilakukan dengan menyasar pada kendala pertama yang dihadapi, yakni bahasa teknologi. Dalam konteks ini, yang dimaksud tentu saja adalah bahasa Inggris. Atas dasar inilah, istilah bahasa Inggris perlu diindonesiakan dengan mekanisme seperti yang diatur dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI).
Yang sekarang kita temukan di lapangan, berbagai padanan bahasa Indonesia telah banyak digunakan baik pada aplikasi komputer, sistem operasi handphone atau tablet, termasuk pada saat berselancar di internet. Awalnya kita sulit untuk menerima bentuk-bentuk semacam batal (cancel), surel (e-mail), rumpi (chat), luring (offline), daring (online), unduh (download), serta
141
unggah (upload). Istilah-istilah bahasa Indonesia tersebut justru terdengar asing ketika konteks yang dibicarakan adalah teknologi.
Namun seiring waktu, kita perlu bersepakat dengan pemerintah perihal pengindonesiaan istilah tersebut. Hanya saja, memang terdapat banyak hal yang harus diubah. Misalnya, istilah yang terlanjur populer, jika harus diindonesiakan sebaiknya dalam bentuk pelafalan saja semisal delete menjadi delet, zoom menjadi zum, atau copy menjadi kopi. Toh selama ini ketiganya juga dilafalkan secara Indonesia namun tetap dipahami oleh para penuturnya. Nah, jika Anda setuju dengan pendapat ini bisa jadi besok atau lusa tidak akan ada lagi “tikus” yang bersemayam di komputer pribadi Anda. Yang ada tinggal maus. Selamat belajar!
b. Siswa menginventarisasi istilah-istilah teknologi informasi dalam teks,
menjelaskan artinya, dan menerapkan beberapa di antaranya dalam kalimat
secara tepat.
Perintahnya:
1) Temukan istilah-istilah teknologi informasi pada teks bacaan di atas!
2) Cocokkan dengan tanda panah istilah-istilah asing berikut dengan
padanannya dalam bahasa Indonesia!
Access PindaiAccount TampilanBold PerbaruiItalic TebalDisplay SpasiScan SuntingUpdate AksesEdit AkunFile Huruf MiringSpace Berkas
3) Buatlah 10 kalimat dengan pilihan-pilihan istilah sebagai berikut!
Akun tombol gantiAkses alamat jawabAnimasi aplikasi cetakSusun batal ulang
142
Rumpi klik jedaTutup salin pikselSunting potong tetikusBuka unduh jaringanEnter hapus instalKeluar berkas lanskapPelipat huruf perangkat kerasFormat layar penuh kotak masuk
c. Pada pertemuan kedua (90 menit), siswa menulis karangan bertopik teknologi
informasi dengan paragraf-paragrafnya bersifat ekspositif.
d. Siswa saling menukarkan pekerjaannya dengan teman untuk disunting.
III. Penutup (Internalisasi dan Refleksi)
143
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang dilakukan diperoleh simpulan
sebagai berikut.
1. Kendala penggunaan istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia bersumber
dari faktor pelaku teknologi (praktisi, pengembang, pengguna) serta faktor
padanan istilah yang dihasilkan. a) Penelitian-penelitian terdahulu menjelaskan
bahwa penggunaan bahasa Inggris yang terlanjur melekat pada aplikasi komputer
dan sejenisnya membuat penerimaan praktisi dan para pengguna komputer
terhadap istilah berbahasa Indonesia menjadi rendah. Keengganan untuk beralih
menggunakan istilah berbahasa Indonesia salah satunya dipicu kekhawatiran
bahwa istilah tersebut justru akan membingungkan ketika diterapkan dalam
penggunaan sehari-hari. Masalah kepopuleran istilah asing menjadi alasan
penolakan terhadap istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia. Di samping
itu, penolakan para praktisi terhadap pengindonesiaan istilah juga merujuk pada
kegagalan Jerman dan Prancis dalam melaksanakan kegiatan yang sama. Yang
lebih meresahkan, penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) menunjukkan bahwa
hanya 33,39% dari 629 istilah teknologi informasi pada Senarai Padanan Istilah
yang dikenal oleh kalangan mahasiswa. Padahal istilah-istilah tersebut adalah
istilah asli berbahasa Inggris yang notabene diasumsikan lebih populer daripada
144
padanannya dalam bahasa Indonesia. Lantas berapa persentase kepopuleran istilah
teknologi informasi berbahasa Indonesia? b) Yang kedua, faktor padanan istilah
dianggap masih mengandung berbagai masalah. Kajian dengan menggunakan
Pendekatan Komunikatif menunjukkan bahwa kendala pemahaman terhadap
istilah-istilah teknologi informasi berbahasa Indonesia berasal dari istilah-istilah
yang memiliki bentuk serupa, makna budaya yang terkandung dalam istilah
tertentu, pelafalan yang keliru, singkatan, sinonim, istilah semi teknis, kata-kata
ambigu, keterangan yang bertumpuk, istilah dwibahasa yang identik, serta ekspresi
idiomatik.
2. Relevansi hasil penelitian tentang kendala penggunaan istilah komputer berbahasa
Indonesia dengan pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas
terletak pada kemampuannya untuk diintegrasikan dalam materi pembelajaran
teknologi informasi di Kelas X. Istilah-istilah teknologi informasi berbahasa
Indonesia dapat dijadikan sebagai suplemen dalam kompetensi menulis paragraf
eksposisi. Pertama kali, istilah-istilah tersebut dijadikan sebagai kerangka
pengembangan teks eksposisi. Kemudian di dalamnya secara eksplisit dijelaskan
perihal kegiatan pengindonesiaan istilah. Proses ini dimaksudkan agar siswa tidak
sekedar memahami teknik pengembangan paragraf eksposisi semata, tetapi juga
mengenalkan kepada mereka kebijakan pemerintah dalam bidang pembinaan
bahasa sekaligus memberikan gambaran beberapa padanan istilah teknologi
informasi. Kedua, dalam rangka menekankan pemahaman para siswa terhadap
istilah yang telah dipadankan maka dapat digunakan berbagai teknik pembelajaran
145
kosakata seperti kata dari gambar atau banding kata. Teknik kata dari gambar
dapat dilakukan dengan menunjukkan gambar suatu perangkat teknologi atau
kegiatan bermediumkan teknologi. Dari gambar yang ada, siswa dapat
menyebutkan atau mencatat berbagai istilah yang berhubungan dengan perangkat
atau kegiatan tersebut. Teknik banding kata dapat dilakukan dengan menjejerkan
istilah TI berbahasa asing dengan padanannya dalam bahasa Indonesia. Siswa
kemudian diminta untuk mencocokkan istilah asing tersebut dengan padanan yang
ada. Setelah tahap ini dilewati, siswa kemudian diminta untuk membuat kalimat-
kalimat yang berkaitan dengan teknologi informasi dengan pilihan istilah-istilah
yang telah disediakan sebelumnya. Terakhir, siswa kemudian diminta untuk
mengembangkan paragraf eksposisi dengan topik teknologi informasi.
5.2 Saran
Oleh karena keterbatasan waktu dan objek kajian, penelitian ini masih
menyisakan bagian-bagian yang terbuka untuk diteliti lebih lanjut. Penelitian
perencanaan bahasa juga dapat dilakukan dengan memandang teknologi sebagai
ranah lain di samping wacana lisan maupun tulisan. Pandangan-pandangan David
Crystal khususnya dalam Internet Linguistics maupun Language Death dapat
membantu dalam mengembangkan penelitian dimaksud.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan
kebijakan khususnya pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Kontribusi
utama terletak pada pengungkapan padanan-padanan yang bermasalah ditinjau dari
146
pendekatan komunikatif. Kemudian, medan gravitasi antara norma preskriptif bahasa
di tangan pemerintah dengan norma deskriptif bahasa di tangan pengguna dapat
didamaikan dengan menelaah lebih teliti tidak hanya aspek pemertahanan bahasa
tetapi juga aspek komunikatif bahasa ketika diaplikasikan dalam suatu ranah tertentu.
Pemerintah selaku pemangku kebijakan bahasa memiliki kepentingan dalam
mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia di era globalisasi. Meskipun demikian,
upaya ini tidak harus kemudian menjadikan bahasa Indonesia sebagai penghambat
dalam pengoperasian perangkat teknologi.
147