bab tujuh (chapter seven) penafsiran alkitab (biblical ... filemembaca, mempelajari dan merenungkan...
TRANSCRIPT
Bab Tujuh (Chapter Seven) Penafsiran Alkitab (Biblical Interpretation)
Paulus mengirim surat kepada Timotius:
Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu,
karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua
orang yang mendengar engkau. (1 Timotius 4:16, tambahkan penekanan).
Setiap pelayan harus ingat hal ini di dalam hatinya, sambil memperhatikan, pertama-
tama kepada dirinya sendiri, dan meyakini bahwa ia menjadi teladan kesucian.
Kedua, ia harus memperhatikan ajarannya dengan cermat, karena keselamatan kekal
baginya dan keselamatan kekal bagi orang yang mendengarkannya tergantung pada hal
yang dia ajarkan, seperti tulisan Paulus pada ayat di atas.1 Jika seorang pendeta
memegang doktrin palsu atau menolak berkata kebenaran kepada orang-orang, maka
akibatnya bisa membawa kehancuran kekal baginya dan orang-orang lain.
Tetapi, pelayan pemuridan tak punya alasan untuk mengajar doktrin palsu, karena
Allah telah memberinya Roh Kudus dan FirmanNya untuk memimpinnya kepada
kebenaran. Sebaliknya, pelayan yang bermotif keliru sering hanya meniru ajaran-ajaran
populer dari pelayan lain, tanpa ia sendiri mempelajari Firman, dan ia cenderung
melakukan kesalahan doktrin dan pengajarannya. Tindakan aman bagi pelayan dalam hal
itu adalah memurnikan hatinya, sehingga ia yakin bahwa motifnya hanya untuk (1)
menyenangkan Allah, dan (2) membantu orang-orang untuk siap berdiri di hadapan
Yesus, bukannya menjadikan dirinya kaya, kuat atau populer. Juga, ia harus tekun belajar
Firman Tuhan sehingga ia memahami secara menyeluruh dan seimbang tentang hal itu.
Paulus juga bersurat kepada Timotius,
Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang
tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu. (2
Timotius 2:15).
1 Jelas, Paulus tidak percaya kepada keselamatan kekal yang tanpa syarat, jika tidak ia mungkin telah
mengatakan kepada Timotius, orang yang diselamatkan, bahwa ia perlu melakukan sesuatu, agar keselamatannya.terjamin.
Membaca, mempelajari dan merenungkan Firman Tuhan haruslah menjadi disiplin
yang terus dilakukan oleh seorang pendeta. Roh Kudus akan menolongnya mengerti
Firman Tuhan dengan lebih baik ketika ia rajin belajar, sehingga dapat dijamin ia akan
“menangani firman kebenaran dengan akurat.” Satu masalah besar dalam gereja sekarang
adalah kesalahan penafsiran Firman Tuhan oleh pelayan, sehingga menyesatkan orang-
orang yang diajarinya. Kesalahan itu menjadi masalah serius. Yakobus ingatkan,
Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru;
sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih
berat. (Yakobus 3:1).
Karena itu, pelayan pemuridan harus tahu cara penafsiran Firman Tuhan dengan benar,
demi memahami dan menyampaikan arti dengan akurat maksud tiap teks yang diberikan.
Menafsirkan Firman Tuhan dengan benar dilakukan dengan cara yang sama dengan
menafsirkan perkataan orang lain dengan benar. Jika ingin mengerti dengan akurat
maksud seorang penulis atau pembicara, kita harus terapkan aturan-aturan khusus dalam
membuat tafsiran, yakni aturan-aturan sesuai akal-sehat. Dalam bab ini, kita akan
perhatikan tiga aturan penting dalam menafsirkan Alkitab secara gamblang, yakni (1)
Bacalah dengan pemahaman otak, (2) Bacalah berdasarkan konteks, dan (3) Bacalah
dengan jujur.
Aturan #1: Bacalah dengan pemahaman otak. Tafsirkan apa yang anda baca
secara apa adanya jika apa yang anda baca tidak jelas dinyatakn maksudnya
agar dipahami sebagai bermakna kiasan atau simbolik.
Seperti karya-karya sastra lain, Alkitab penuh dengan gaya bahasa metafora, hiperbola
dan antropomorfisme. Tiap gaya bahasa itu harus dipahami sebagaimana adanya.
Gaya bahasa metafora adalah perbandingan kemiripan-kemiripan antara dua benda
yang tak sama. Alkitab mengandung banyak metafora. Satu metafora terdapat dalam
perkataan Kristus selama Perjamuan Terakhir:
Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat,
memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan
berkata: "Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan,
mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah,
kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang
ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” (Matius 26:26-28).
Apakah Yesus bermaksud bahwa roti yang Ia berikan kepada murid-muridNya adalah
tubuhNya dalam arti sebenarnya dan bahwa anggur yang mereka minum adalah
darahNya dalam arti sebenarnya? Akal sehat menyatakan Tidak. Alkitab berkata bahwa
Yesus memberi mereka roti dan anggur; Alkitab tidak menyatakan penggantian menjadi
daging dan darah, dalam arti sebenarnya. Petrus dan Yohanes, yang hadir pada
Perjamuan Terakhir itu, tak pernah menulis hal itu dalam surat-surat mereka, dan tak
mungkin murid-murid makan daging dan minum darah seperti orang kanibal!
Ada orang berpendapat, “Tetapi Yesus berkata bahwa roti dan anggur adalah tubuh
dan darahNya, maka saya percaya apa yang Yesus katakan!”
Yesus juga pernah berkata bahwa Ia adalah pintu (lihat Yohanes 10:9). Apakah Ia
benar-benar jadi pintu yang ada engsel dan tombolnya? Yesus pernah berkata bahwa Ia
adalah pokok anggur dan kitalah carang-carangnya (lihat Yohanes 15:5). Apakah Yesus
benar-benar jadi pokok anggur? Apakah kita benar-benar jadi carang-carang pohon
anggur? Yesus pernah berkata bahwa Ia adalah terang dunia dan roti yang turun dari
sorga (lihat Yohanes 9:5; 6:41). Apakah Yesus juga sinar matahari dan roti?
Jelas, semua ungkapan di atas adalah gaya bahasa metafora, yakni perbandingan dua
hal yang pada dasarnya tidak sama namun memiliki beberapa kemiripan. Dalam hal lain,
Yesus bagaikan pintu dan pokok anggur. Pernyataan-pernyatan Yesus pada Perjamuan
Terakhir adalah metafora juga. Anggur bagaikan darahNya (dalam beberapa hal). Roti
bagaikan tubuhNya (dalam beberapa hal).
Perumpamaan oleh Kristus (Christ’s Parables)
Beberapa perumpamaan dari Kristus memakai gaya bahasa simili, yang sama dengan
gaya bahasa metafora, namun simili selalu memakai kata seperti, layaknya atau
demikianlah. Simili memberi pelajaran rohani juga dengan membandingkan kemiripan
antara dua hal yang sebenarnya tidak sama. Itu yang penting diingat ketika kita
menafsirkannya; jika tidak kita bisa keliru mencari arti dalam tiap detil pada tiap
perumpamaan. Metafora dan simili selalu mencapai tempat di mana kemiripan berakhir
dan ketidakmiripan dimulai. Misalnya, jika saya berkata kepada istri saya, “Matamu
bagaikan kolam air”, maksud saya adalah matanya biru, dalam dan menarik. Saya tidak
bermaksud, ikan dapat berenang di matanya, burung mendarat di atasnya, dan airnya
membeku selama musim dingin.
Coba perhatikan tiga perumpamaan Yesus berikut, semuanya simili, yang pertama
perumpamaan tentang Pukat:
"Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama pukat yang dilabuhkan di laut,
lalu mengumpulkan berbagai-bagai jenis ikan. Setelah penuh, pukat itupun diseret
orang ke pantai, lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam
pasu dan ikan yang tidak baik mereka buang. Demikianlah juga pada akhir zaman:
Malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari orang benar, lalu
mencampakkan orang jahat ke dalam dapur api; di sanalah akan terdapat ratapan
dan kertakan gigi. (Matius 13:47-50).
Apakah kerajaan sorga dan pukat pada dasarnya sama? Sama sekali tidak! Keduanya
sangat jauh berbeda, namun ada beberapa kemiripan. Ketika ikan dipilih dan dipisahkan
dalam dua kategori, yang dikehendaki dan yang tak dikehendaki, ketika ditarik dari
sebuah pukat, maka hal itu bagaikan dalam Kerajaan Allah. Suatu hari orang jahat dan
orang benar, yang kini hidup bersama, akan dipisahkan. Tetapi, di situlah tak ada
kemiripannya. Ikan berenang; manusia berjalan. Nelayan memisahkan ikan. Malaikat
akan memisahkan orang-orang yang jahat dari antara orang-orang yang baik. Ikan dinilai
dari sebaik apa citarasanya setelah dimasak. Manusia dinilai sesuai ketaatan atau
ketidaktaatannya kepada Tuhan. Ikan yang baik dimasukkan dalam kemasan dan ikan
yang tidak baik dibuang. Orang benar akan mewarisi Kerajaan Allah dan orang jahat
akan dibuang ke neraka.
Perumpamaan di atas adalah contoh sempurna tentang bagaimana metafora dan simili
merupakan perbandingan yang tak sempurna karena hal-hal yang dibandingkan pada
dasarnya tidak mirip. Kita tak ingin mengartikan lebih jauh maksud si pembicara, dengan
asumsi bahwa ketidakmiripan adalah sebenarnya kemiripan. Misalnya, kita tahu bahwa
“ikan yang baik” berakhir jadi masakan, dan “ikan yang buruk” kembali masuk air untuk
berenang. Yesus tak menyebutkan hal itu! Ini akan bertentangn dengan maksudNya.
Perumpamaan unik itu tidak mengajarkan (tak peduli kata orang) strategi “penginjilan
pukat”, di mana kita coba menjaring tiap orang masuk ke gereja, yang baik dan yang
buruk, apakah mereka mau datang atau tidak! Perumpamaan ini tidak mengajarkan
bahwa pantai adalah tempat terbaik untuk bersaksi. Perumpamaan ini tidak membuktikan
bahwa Pengangkatan Gereja terjadi saat berakhirnya Masa Kesukaran. Perumpamaan ini
tidak mengajar bahwa keselamatan kita adalah murni pilihan berdaulat oleh Allah karena
ikan pilihan dalam perumpamaan itu tak terkait dengan alasan pemilihannya. Jangan
paksakan untuk mencari arti yang tak perlu ke dalam perumpamaan yang Yesus
ceritakan!
Tetap Berjaga-Jaga (Remaining Ready)
Berikut ini adalah Perumpamaan Sepuluh Gadis yang Yesus ceritakan:
Pada waktu itu hal Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil
pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antaranya bodoh dan
lima bijaksana. Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak
membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana itu membawa pelitanya
dan juga minyak dalam buli-buli mereka. Tetapi karena mempelai itu lama tidak
datang-datang juga, mengantuklah mereka semua lalu tertidur. Waktu tengah
malam terdengarlah suara orang berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia!.
Gadis-gadis itupun bangun semuanya lalu membereskan pelita mereka. Gadis-gadis
yang bodoh berkata kepada gadis-gadis yang bijaksana: Berikanlah kami sedikit
dari minyakmu itu, sebab pelita kami hampir padam. Tetapi jawab gadis-gadis yang
bijaksana itu: Tidak, nanti tidak cukup untuk kami dan untuk kamu. Lebih baik
kamu pergi kepada penjual minyak dan beli di situ. Akan tetapi, waktu mereka
sedang pergi untuk membelinya, datanglah mempelai itu dan mereka yang telah
siap sedia masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin, lalu pintu
ditutup. Kemudian datang juga gadis-gadis yang lain itu dan berkata: Tuan, tuan,
bukakanlah kami pintu! Tetapi ia menjawab: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan
hari maupun akan saatnya. (Matius 25:1-13).
Apakah pelajaran utama dari perumpamaan di atas? Pelajarannya ada pada kalimat
akhir: Berjaga-jagalah untuk kedatangan Tuhan, karena Ia mungkin saja menunda lebih
lama dari yang anda harapkan. Itulah pelajarannya.
Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, Yesus berbicara kepada murid-muridNya
yang terdekat (lihat Matius 24:3; Markus 13:3), yang taat mengikutiNya saat itu. Jadi,
jelaslah arti dari perumpamaan itu, yakni bisa saja Petrus, Yakobus, Yohanes dan
Andreas tidak berjaga-jaga saat Yesus datang kembali. Karena itu Yesus mengingatkan
mereka. Sehingga, perumpamaan itu mengajarkan bahwa mereka yang kini siap menanti
kedatangan Kristus bisa saja tidak siap ketika Ia benar-benar datang kembali. Kesepuluh
gadis pada awalnya berjaga-jaga, tetapi lima gadis tidak berjaga-jaga. Seandainya
mempelai laki-laki kembali lebih segera, maka kesepuluh gadis mungkin saja telah
memasuki pintu menuju ruang pesta perkawinan.
Tetapi, apa artinya menjadi lima gadis bodoh dan lima gadis bijak? Apakah hal itu
membuktikan hanya setengah jumlah dari orang-orang yang mengaku percaya yang akan
berjaga-jaga ketika Kristus kembali? Tidak.
Apakah arti minyak? Apakah minyak melambangkan Roh Kudus? Tidak. Apakah
minyak mengungkapkan kepada kita bahwa hanya mereka yang telah dibaptis dengan
Roh Kudus akan membuat mereka masuk ke sorga? Tidak.
Apakah kembalinya mempelai laki-laki di tengah malam mengungkapkan bahwa
Yesus akan kembali di tengah malam? Tidak.
Mengapa mempelai laki-laki tidak meminta gadis-gadis bijak untuk mengenali kelima
gadis bodoh yang ada di depan pintu? Jika mempelai laki-laki meminta gadis-gadis bijak
untuk mengenali kelima gadis bodoh, mungkin seluruh maksud dari perumpamaan ini tak
tercapai, karena gadis-gadis bodoh akhirnya dapat masuk.
Mungkin ketika gadis-gadis bodoh tak lagi menyalakan lampu dan tertidur, sehingga
orang-orang percaya yang bodoh mulai berjalan dalam kegelapan rohani dan rohaninya
tertidur, dan akhirnya mereka dihukum. Mungkin hal serupa terjadi saat pesta perkawinan
dalam perumpamaan itu dan perkawinan Anak Domba nanti; tetapi begitulah pemahaman
orang, tanpa memaksakan arti ke perumpamaan itu atau ke detil-detilnya.
Menghasilkan Buah (Bearing Fruit)
Mungkin tafsiran terjelek yang pernah saya dengar mengenai perumpamaan Kristus
adalah penjelasan seorang pengkhotbah tentang Perumpamaan Gandum dan Lalang.
Pertama, mari kita baca perumpamaan berikut:
Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya:
"Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih yang baik di
ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan
benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi. Ketika gandum itu tumbuh dan mulai
berbulir, nampak jugalah lalang itu. Maka datanglah hamba-hamba tuan ladang itu
kepadanya dan berkata: Tuan, bukankah benih baik, yang tuan taburkan di ladang
tuan? Dari manakah lalang itu? Jawab tuan itu: Seorang musuh yang
melakukannya. Lalu berkatalah hamba-hamba itu kepadanya: Jadi maukah tuan
supaya kami pergi mencabut lalang itu? Tetapi ia berkata: Jangan, sebab mungkin
gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarkanlah
keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata
kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas
untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku." (Matius
13:24-30).
Inilah penjelasan si pengkhotbah:
Ternyata, ketika gandum dan lalang mulai berbulir, keduanya kelihatan persis
sama. Tak seorangpun dapat mengenali jika keduanya gandum atau lalang. Itulah
caranya dalam dunia dan di gereja. Tak seorangpun bisa mengenali siapa orang-
orang Kristen sejati dan siapa orang-orang yang tidak percaya. Keduanya tak dapat
dikenali dari cara hidup mereka, karena banyak orang Kristen tidak menaati Kristus
lebih dari orang-orang yang tidak percaya. Hanya Allah mengetahui hati mereka,
dan Ia akan memisahkan mereka pada akhirnya.
Tentunya, penjelasan tersebut bukan maksud dari Perumpamaan Gandum dan Lalang!
Ternyata, hal di atas mengajarkan bahwa orang percaya memang sangat berbeda dengan
orang yang tak percaya. Perhatikanlah, hamba-hamba menyadari bahwa lalang telah
ditanam ketika gandum menghasilkan biji-bijinya (lihat ayat 26). Lalang tak
menghasilkan buah, dan itulah cara mudah untuk mengenali lalang. Menurut saya, adalah
penting Yesus memilih lalang yang tak berbuah untuk menggambarkan orang-orang jahat
yang akhirnya dikumpulkan dan dilemparkan ke neraka.
Hal penting dari perumpamaan itu jelas: Orang yang benar-benar diselamatkan
menghasilkan buah; orang yang belum diselamatkan tidak menghasilkan buah.
Walaupun Allah tidak menghukum orang jahat namun ketika ia hidup di tengah-tengah
orang yang diselamatkan, kelak nanti Ia akan memisahkannya dari orang-orang benar
dan melemparnya ke neraka.
Yesus sebenarnya menjelaskan perumpamaan itu, sehingga kita tak perlu mencari
artinya di luar penjelasanNya:
Maka Yesuspun meninggalkan orang banyak itu, lalu pulang. Murid-murid-Nya
datang dan berkata kepada-Nya: "Jelaskanlah kepada kami perumpamaan tentang
lalang di ladang itu." Ia menjawab, kata-Nya: "Orang yang menaburkan benih baik
ialah Anak Manusia; ladang ialah dunia. Benih yang baik itu anak-anak Kerajaan
dan lalang anak-anak si jahat. Musuh yang menaburkan benih lalang ialah Iblis.
Waktu menuai ialah akhir zaman dan para penuai itu malaikat. Maka seperti lalang
itu dikumpulkan dan dibakar dalam api, demikian juga pada akhir zaman. Anak
Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan mengumpulkan
segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan dari
dalam Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah
akan terdapat ratapan dan kertakan gigi. Pada waktu itulah orang-orang benar akan
bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka. Siapa bertelinga,
hendaklah ia mendengar! (Matius 13:36-43).
Gaya Bahasa Hiperbola (Hyperbole)
Gaya bahasa yang lazim ditemukan dalam Alkitab adalah hiperbola. Hiperbola adalah
pengungkapan yang dilebih-lebihkan yang sengaja dibuat untuk memberi penekanan.
Ketika seorang ibu berkata kepada anaknya, “Ibu panggil kamu seribu kali untuk pulang
makan malam”, ini adalah kalimat bergaya bahasa hiperbola. Contoh gaya bahasa
hiperbola dalam Alkitab adalah kalimat Yesus tentang pemenggalan tangan kanan:
Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu,
karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu
dengan utuh masuk neraka. (Matius 5:30).
Jika Yesus berkata dengan arti sebenarnya berarti setiap kita yang berbuat dosa dengan
memakai tangan kanan harus memenggal tangan itu, maka kita semua pasti kehilangan
tangan kanan! Sudah tentu, masalah dengan dosa tidak pada tangan kita. Mungkin, Yesus
mengajar bahwa dosa dapat membawa kita ke neraka, dan cara menghindari dosa adalah
melenyapkan cobaan dan hal-hal yang membuat kita tersandung.
Gaya Bahasa Antropomorfisme (Anthropomorphism)
Gaya bahasa ketiga dalam Alkitab adalah antropomorfism, ungkapan sifat-sifat
manusia yang dikenakan kepada Allah agar kita dapat memahamiNya. Misalnya,
Kejadian 11:5:
Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-
anak manusia itu. (Kejadian 11:5).
Mungkin inilah antropomorfisme karena tak mungkin Allah yang maha-tahu benar-
benar bebergian dari sorga dan turun ke Babel untuk menyelidiki orang-orang yang
sedang membangun menara!
Banyak sarjana Alkitab menganggap setiap pernyataan Alkitab yang menggambarkan
bagian-bagian tubuh Allah, seperti lengan, tangan, hidung, mata dan rambut, sebagai
antropomorfisme. Sudah tentu, kata mereka, Allah yang maha-kuasa tidak sebenarnya
memiliki anggota-anggota tubuh seperti yang dikatakan oleh manusia. Tetapi, saya tidak
setuju karena beberapa alasan. Pertama, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa kita
telah diciptakan dalam gambar dan rupa Allah:
Berfirmanlah Allah : "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa
Kita." (Kejadian 1:26, tambahkan penekanan).
Sebagian orang berkata bahwa manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah
hanya dalam arti bahwa manusia memiliki kesadaran-diri, tanggung-jawab moral,
kemampuan untuk menalar dan lain-lain. Tetapi, ada pernyataan yang sangat mirip
dengan Kejadian 1:26, hal yang terdapat pada beberapa pasal kemudian:
Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki
menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya. (Kejadian 5:3,
tambahkan penekanan).
Jadi, penampakan fisik Set mirip dengan ayahnya. Jika itu maksud Kejadian 5:3, sudah
tentu ungkapan yang persis sama berarti hal yang sama dalam Kejadian 1:26. Akal sehat
dan penafsiran yang jelas berkata bahwa hal itu benar.
Juga, kita punya beberapa gambaran tentang Allah melalui para penulis Alkitab yang
melihatNya. Misalnya, Musa, bersama tujuh-puluh tiga orang Israel, melihat Allah:
Dan naiklah Musa dengan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para
tua-tua Israel. Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu
yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit
yang cerah. Tetapi kepada pemuka-pemuka orang Israel itu tidaklah diulurkan-Nya
tangan-Nya; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum. (Keluaran 24:9-
11).
Bila anda bertanya kepada Musa apakah Allah memiliki tangan dan kaki, apa yang
mungkin dikatakannya?2
Nabi Daniel juga mendapatkan visi dari Allah Bapa dan Allah Anak:
Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut
Usianya [Allah Bapa]; pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih
seperti bulu domba; kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang
berkobar-kobar; suatu sungai api timbul dan mengalir dari hadapan-Nya; seribu kali
beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya.
Lalu duduklah Majelis Pengadilan dan dibukalah Kitab-kitab. ….. Aku terus
melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit
seorang seperti anak manusia [ Allah Anak]; datanglah ia kepada Yang Lanjut
Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan
dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa,
suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang
kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan
musnah. (Daniel 7:9-10, 13-14).
Jika ditanyakan kepada Daniel, apakah Allah memiliki rambut putih dan memiliki
bentuk yang membuatNya sanggup duduk di tahta, apa yang mungkin dikatakanNya?
Dengan demikian, saya yakin bahwa Allah Bapa memiliki bentuk yang mengagumkan
2 Musa juga pernah melihat punggung Allah ketika Ia “berjalan berdampingan.” Allah memegang tanganNya
sehingga menghalangi Musa agar tidak dapat melihat wajahNya; lihat Keluaran 33:18-23.
yang mirip dengan bentuk seorang manusia, walaupun Ia tak berasal dari daging dan
darah, namun roh (lihat Yohanes 4:24).
Bagaimana dapat membedakan bagian Alkitab yang harus ditafsirkan dalam arti
sebenarnya dan bagian yang harus ditafsirkan secara kiasan/simbolis? Hal itu mudah
dilakukan bagi siapapun yang berpikir secara logis. Tafsirkan segala sesuatu apa adanya
jika tak tidak ada alternatif lain daripada menafsirkan yang tertulis secara
kiasan/simbolis. Misalnya, para nabi Perjanjian Lama dan kitab Wahyu penuh
simbolisme, sebagian dijelaskan, sebagian tak dijelaskan. Tetapi simbolisme tak sulit
dikenali.
Aturan #2: Bacalah berdasarkan konteks. Setiap perikop harus ditafsirkan
dengan memperhatikan perikop-perikop di sekitarnya dan keseluruhan Alkitab.
Konteks sejarah dan budaya harus juga diperhatikan sedapat mungkin.
Membaca Alkitab tanpa mempertimbangkan konteks langsung dan konteks Alkitabiah
mungkin jadi penyebab kesalahan penafsiran.
Mungkin saja kita mau agar Alkitab berkata sesuatu yang kita inginkan dengan cara
mengisolasi ayat-ayat Alkitab dari konteksnya. Misalnya, apakah anda tahu bahwa
Alkitab berkata bahwa Allah tidak ada? Dalam Mazmur 14 kita baca, “Tidak ada Allah ”
(Mazmur 14:1). Tetapi, jika kata-kata itu ditafsirkan dengan tepat, kita harus
membacanya dalam konteksnya: “Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada
Allah." (Mazmur 14:1, tambahkan penekanan). Kini, ayat itu muncul dengan arti yang
berbeda!
Contoh lain: Saya pernah dengar ada pengkhotbah yang menyatakan agar orang-orang
Kristen perlu “dibaptis dengan api.” Ia mulai berkhotbah dengan membaca kata-kata
Yohanes Pembaptis dalam Matius 3:11: “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda
pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan
aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus
dan dengan api.”
Berdasarkan ayat itu, ia mengembangkan khotbahnya. Saya ingat ia berkata, “Tidaklah
cukup bila kalian dibaptis dengan Roh Kudus! Yesus juga ingin membaptiskan kalian
dengan api, seperti yang diserukan oleh Yohanes Pembaptis!” Selanjutnya ia jelaskan
bahwa saat kita telah “dibaptis dengan api”, kita mendapat semangat untuk bekerja bagi
Tuhan. Akhirnya ia mengajak maju orang-orang yang ingin “dibaptiskan dengan api.”
Sayangnya, pengkhotbah itu melakukan kekeliruan klasik dengan membuat ayat
Alkitab keluar dari konteksnya.
Apa maksud Yohanes Pembaptis ketika ia berkata bahwa Yesus akan membaptis
dengan api? Untuk mencari jawaban, kita perlu baca dua ayat sebelum ayat itu, dan satu
ayat setelah ayat itu. Kita mulai dengan dua ayat sebelumnya. Yohanes berkata:
Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah
bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi
Abraham dari batu-batu ini! Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap
pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke
dalam api. (Matius 3:9-10, tambahkan penekanan).
Pertama, kita pelajari bahwa hari itu sebagian pengikut Yohanes adalah orang-orang
Yahudi yang menganggap keselamatan mereka berdasarkan garis keturunannya. Jadi,
khotbah Yohanes bersifat penginjilan.
Kita juga pelajari, Yohanes mengingatkan bahwa orang yang belum selamat beresiko
akan dibuang ke dalam api. Tampaknya kita dapat berkesimpulan bahwa “api” yang
disebut di ayat 10 adalah api yang sama di ayat 11.
Fakta itu menjadi lebih jelas ketika dalam ayat 12:
Alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya
dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan
dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan." (Matius 3:12, tambahkan
penekanan).
Pada ayat 10 dan ayat 12, api yang disebut oleh Yohanes adalah api neraka. Pada ayat
12, ia secara kiasan menyatakan bahwa Yesus akan membagi orang-orang menjadi dua
kelompok, yakni kelompok gandum, yang Ia akan “kumpulkan ke dalam lumbung”, dan
kelompok debu jerami, yang akan dibakarNya “dalam api yang tidak terpadamkan.”
Dengan melihat ayat-ayat sekitarnya, maksud Yohanes pada ayat 11 adalah Yesus
akan membaptiskan orang-orang apakah dalam Roh Kudus jika mereka orang-orang
percaya, atau dengan api jika mereka orang-orang tak percaya. Karena itu masalahnya,
maka kita tak perlu berkhotbah kepada orang-orang Kristen agar mereka dibaptis dengan
api!
Dengan keluar dari konteks ayat-ayat ini, kita harus juga perhatikan bagian lain dalam
Perjanjian Baru. Bisakah kita memperoleh contoh dalam Kisah Para Rasul di mana
orang-orang Kristen konon “dibaptis dengan api”? Tidak. Yang terdekat adalah gambaran
Lukas mengenai hari Pentakosta ketika murid-murid dibaptis dengan Roh Kudus dan
lidah-lidah api yang sewaktu-waktu muncul di atas kepala mereka. Tetapi Lukas tak
pernah berkata bahwa inilah “baptisan dengan api.” Dan, adakah teguran atau perintah
dalam suratan-suratan kepada orang-orang Kristen untuk “dibaptis dengan api”? Tidak.
Karena itu, cukup kita simpulkan bahwa orang Kristen tak perlu mencari baptisan dengan
api.
Injil Sesat yang Berasal Dari Alkitab (A False Gospel Derived From the
Scripture)
Karena para pengkhotbah dan guru tak memperhatikan konteks, mereka sering salah
menyampaikan Injil itu sendiri; mereka salah menafsirkan Alkitab. Karena itu,
berkembanglah ajaran sesat mengenai kasih karunia Allah.
Misalnya, pernyataan Paulus tentang keselamatan sebagai hasil kasih karunia dan
bukan hasil pekerjaan, dalam Efesus 2:8, telah disalahgunakan untuk mendukung injil
sesat, karena konteks diabaikan. Paulus menuliskan:
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil
usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang
yang memegahkan diri. (Efesus 2:8-9).
Banyak orang terfokus khusus pada pernyataan Paulus tentang keselamatan oleh kasih
karunia, yakni pemberian, dan bukan hasil usaha. Berbeda dengan kesaksian ratusan ayat
Alkitab, banyak orang berkata bahwa tak ada hubungan antara keselamatan dan kesucian.
Maka, sebagian orang berkata bahwa pertobatan tak perlu dilakukan demi keselamatan.
Ini contoh klasik bagaimana Alkitab disalahtafsirkan karena konteksnya diabaikan.
Pertama, perhatikan apa yang dikatakan dalam keseluruhannya oleh perikop yang
tengah dibahas. Paulus tidak berkata bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia, tetapi
kita diselamatkan oleh kasih karunia melalui iman. Iman adalah sebagian dari persamaan
keselamatan yang setara dengan kasih karunia. Alkitab berkata bahwa iman tanpa
perbuatan adalah tak berguna, mati, dan tak dapat menyelamatkan (lihat Yakobus 2:14-
26). Jadi, Paulus tidak mengajarkan bahwa kesucian tidak relevan dalam keselamatan. Ia
berkata bahwa hasil usaha kita bukan hal yang menyelamatkan kita; dasar keselamatan
kita adalah kasih karunia Allah. Kita tak pernah diselamatkan tanpa kasih karunia Allah,
tetapi jika kita merespon kasih karunia Allah dengan iman, keselamatan sebenarnya
terjadi dalam kehidupan kita. Hasil keselamatan adalah ketaatan, buah dari iman yang
sungguh-sungguh. Dengan memperhatikan konteks tidak lebih dari ayat berikutnya, maka
hal itu sudah didukung dengan bukti. Paulus katakan:
Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan
pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di
dalam nya. (Efesus 2:10).
Alasan Roh Kudus memulihkan kita, dan kita jadi ciptaan baru dalam Kristus, adalah
karena kita dapat berjalan dengan pekerjaan baik dalam ketaatan. Jadi, persamaan
keselamatan oleh Paulus kelihatan seperti berikut ini:
Kasih Karunia + Iman = Keselamatan + Ketaatan
Jadi, kasih karunia ditambah iman sama dengan (atau menghasilkan) keselamatan
ditambah ketaatan. Ketika kasih karunia Allah ditanggapi dengan iman, hasilnya selalu
adalah keselamatan dan pekerjaan yang baik.
Namun mereka yang memelintir perkataan Paulus dari konteksnya membuat rumusan:
Kasih karunia + Iman – Ketaatan = Keselamatan
Jadi, kasih karunia ditambah iman tanpa (atau minus) ketaatan sama dengan (atau
menghasilkan) keselamatan. Menurut Alkitab, rumusan ini adalah sesat.
Bila kita lebih membaca konteks perkataan Paulus, kita juga temukan bahwa situasi di
Efesus sama dengan situasi di manapun Paulus berkhotbah. Yakni, orang-orang Yahudi
mengajari para petobat baru yang bukan orang Yahudi di zaman Paulus sehingga mereka
harus disunat dan menaati beberapa aspek seremonial Hukum Taurat Musa jika mereka
ingin diselamatkan. Dalam konteks sunat dan pekerjaan seremonial, Paulus ingat ketika
ia menulis tentang pekerjaan-pekerjaan yang tak menyelamatkan kita (lihat Efesus 2:11-
22).
Jika kita baca lebih lanjut, dengan lebih memahami konteks surat Paulus kepada
jemaat Efesus, jelas terlihat bahwa Paulus percaya kesucian adalah hal penting bagi
keselamatan:
Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun
jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. Demikian
juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono--karena hal-hal ini
tidak pantas--tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur. Karena ingatlah ini baik-baik:
tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah
berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah. Janganlah
kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang
demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka. (Efesus 5:3-6,
tambahkan penekanan).
Jika Paulus percaya bahwa kasih karunia Allah akhirnya menyelamatkan orang yang
sundal, cemar atau serakah, ia takkan pernah menuliskan kata-kata ini. Pengertian yang
dimaksudkan oleh Paulus dari kata-katanya dalam Efesus 2:8-9 hanya dapat dipahami
dengan benar dalam konteks seluruh suratnya kepada jemaat Efesus.
Kegagalan Total Jemaat Galatia (The Galatian Fiasco)
Demikian juga, kata-kata Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia ditafsirkan
keluar dari konteksnya. Hasilnya menyebabkan penyimpangan Injil, hal yang ingin
dikoreksi oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia.
Tema keseluruhan surat Paulus kepada jemaat di Galatia adalah “Keselamatan dengan
iman, dan bukan dengan pekerjaan Hukum Taurat.” Tetapi, apakah maksud Paulus agar
pembacanya berkesimpulan bahwa kesucian tak diperlukan untuk masuk dalam Kerajaan
Allah? Tentu tidak.
Pertama, perlu dicatat bahwa Paulus sekali lagi menyerang orang-orang Yahudi yang
datang ke Galatia dan mengajar para petobat baru bahwa mereka tak dapat selamat jika
tidak disunat dan menaati Hukum Taurat Musa. Paulus berkali-kali menyebut masalah
tentang sunat dalam suratnya, karena sepertinya itu jadi penekanan utama para ahli
peraturan Yahudi (lihat Galatia 2:3, 7-9, 12; 5:2-3, 6, 11; 6:12-13, 15). Paulus tak peduli
dengan jemaat di Galatia yang terlalu taat pada perintah-perintah Kristus; ia peduli
kepada mereka yang tak lagi beriman dalam Kristus untuk keselamatan mereka, tetapi
dalam sunat dan dalam tiap upaya mereka yang tidak penting dalam mematuhi Hukum
Taurat Musa.
Ketika kita perhatikan keseluruhan konteks surat Paulus kepada jemaat di Galatia, ia
menulis pada pasal 5:
Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak
hidup di bawah hukum Taurat. Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan,
kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri
hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian,
kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan
kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal
yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (Galatia
5:18-21, tambahkan penekanan).
Jika Paulus ingin menyampaikan kepada jemaat di Galatia bahwa mereka mungkin
saja tidak suci dan tidak masuk ke sorga, maka tak mungkin ia menulis kata-kata itu.
Pesannya bukanlah agar orang-orang yang tidak suci dapat masuk ke sorga, tetapi mereka
tak dapat diselamatkan, yakni mereka yang tak peduli kasih karunia Allah dan
pengorbanan Kristus dengan coba mendapatkan keselamatannya melalui sunat dan
Hukum Taurat Musa. Bukan sunat, tetapi iman kepada Yesus, yang membawa
keselamatan yang mengubah setiap orang percaya menjadi ciptaan baru yang suci:
Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru,
itulah yang ada artinya. (Galatia 6:15).
Jadi, betapa penting kita memahami konteks ketika menafsirkan Alkitab. Cara Injil
bisa disalahartikan melalui Firman Tuhan adalah pengabaian konteks. Kita bisa terheran-
heran dengan hati “para pelayan” yang membuat tafsiran secara gamblang sehingga hal
itu harus dilakukan tanpa tergesa-gesa.
Misalnya, saya pernah mendengar ada pengkhotbah yang berkata bahwa kita tak
boleh menyebut murka Allah ketika mengabarkan Injil, karena Alkitab berkata,
“kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan” (Roma 2:4). Menurutnya,
cara benar untuk menyampaikan Injil adalah hanya membicarakan kasih dan kebaikan
Allah. Tampaknya, cara itu akan membawa orang-orang untuk bertobat.
Tetapi ketika kita baca konteks ayat yang dikutip oleh pengkhotbah itu dari Roma
pasal kedua, ternyata ayat-ayat Alkitab menyebutkan hal tentang penghakiman dan
kemarahan suci Allah! Konteks langsung mengungkapkan bahwa tidak mungkin arti
yang Paulus maksudkan adalah perkataan si pengkhotbah tadi:
Tetapi kita tahu, bahwa hukuman Allah berlangsung secara jujur atas mereka yang
berbuat demikian. Dan engkau, hai manusia, engkau yang menghakimi mereka
yang berbuat demikian, sedangkan engkau sendiri melakukannya juga, adakah
engkau sangka, bahwa engkau akan luput dari hukuman Allah ? Maukah engkau
menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-
Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun
engkau kepada pertobatan? Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat,
engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan
hukuman Allah yang adil akan dinyatakan. Ia akan membalas setiap orang menurut
perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik,
mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram
kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada
kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman. Penderitaan dan kesesakan akan
menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi
dan juga orang Yunani, (Roma 2:2-9, tambahkan penekanan).
Acuan Paulus kepada kebaikan Allah adalah kebaikan yang Allah tunjukkan saat Ia
menunda kemarahan! Dan orang heran bagaimana pendeta dapat memperjelas pernyataan
yang janggal menjadi konteks yang lebih besar dari Alkitab, yang di dalamnya ada
banyak contoh dari pengkhotbah yang mengingatkan orang-orang berdosa untuk bertobat.
Konsistensi Alkitab (Scripture’s Consistency)
Karena ilham dari satu Pribadi, pesan Alkitab seluruhnya konsisten. Maka itu kita bisa
meyakini konteks untuk membantu menafsirkan arti yang Allah maksudkan pada perikop
tertentu. Allah tidak berkata sesuatu dalam satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain,
dan bila tampak Allah berkata sesuatu, kita terus belajar sampai penafsiran kedua ayat tadi
menjadi selaras. Misalnya, dalam Khotbah di Atas Bukit, bisa saja awalnya Yesus agak
membuat kontradiksi, bahkan mengoreksi, hukum moral dalam Perjanjian Lama.
Misalnya:
Kamu telah mendengar firman: “Mata ganti mata dan gigi ganti gigi.” Tetapi Aku
berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,
melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi
kirimu. (Matius 5:38-39).
Yesus mengutip langung dari Hukum Taurat Musa, lalu membuat pernyataan yang
tampak bertentangan dengan Hukum itu. Bagaimana kita menafsirkan perkataanNya?
Apakah Allah telah merubah pikiranNya terhadap masalah moralitas mendasar? Apakah
balas dendam adalah perilaku yang bisa diterima di masa perjanjian lama, bukan di masa
perjanjian baru? Konteksnya akan mendukung.
Yesus khusus berbicara kepada murid-muridNya (lihat Matius 5:1-2), orang-orang
yang sebelumnya mendapat pengetahuan Firman Tuhan dari ahli-ahli Taurat dan orang-
orang Farisi yang mengajar di sinagoga-sinagoga. Di sinagoga, murid-murid
mendengarkan Hukum Taurat yang menyebutkan, “Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi”;
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah membelokkan arti perintah itu dengan
mengabaikan konteksnya. Allah tidak ingin perintah itu ditafsirkan sebagai syarat bagi
umatNya untuk selalu melakukan pembalasan pribadi untuk hal-hal kecil. Tenyata, Ia
berkata dalam Hukum Taurat Musa bahwa pembalasan adalah hak Tuhan (lihat Ulangan
32:35), dan umatNya harus berbuat baik kepada musuh mereka (lihat Keluaran 23:4-5).
Namun ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi mengabaikan perintah-perintah itu dan
menafsirkan sendiri tentang hukum Allah tentang “mata ganti mata”, yakni hukum yang
memberi mereka hak balas dendam pribadi.3 Mereka mengabaikan konteks.
Perintah Allah tentang “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” terdapat dalam konteks
perintah-perintahNya yang membuat keadilan di pengadilan Israel (lihat Keluaran 21:22-
24; Ulangan 19:15-21). Membuat aturan untuk sistem pengadilan itu adalah pewahyuan
tentang ketidaksetujuan Allah akan balas dendam pribadi. Hakim-hakim yang netral,
yang memeriksa bukti, jauh lebih mampu mengadili dibandingkan orang-orang yang
tersudut dan tertuduh. Allah berharap agar pengadilan dan para hakim bersikap netral
dalam menjatuhkan hukuman sesuai kejahatan. Sehingga “mata ganti mata dan gigi ganti
3 Harus dicatat juga bahwa Yesus berkata sebelumnya dalam khotbahNya bahwa jika kebenaran dari
pendengarNya tidak mengungguli kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, maka mereka tidak akan masuk sorga (lihat Matius 5:20). Yesus kemudian melanjutkan dengan mengungkapkan beberapa cara tertentu di mana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tak memilikinya.
gigi.”
Dengan demikian, kita dapat selaraskan hal yang kontradiktif. Yesus membantu para
pengikutNya, yakni orang-orang yang mendengarkan ajaran sesat sepanjang hidupnya,
untuk memahami kehendak Allah bagi mereka dalam hal balas dendam pribadi, yang
disebut dalam Hukum Taurat Musa, namun artinya telah dibelokkan oleh orang-orang
Farisi. Yesus tidak membuat kontradiksi dengan Hukum Taurat yang diberikanNya
kepada Musa. Ia hanya mengungkapkan pengertian aslinya.
Hal itu juga membuat kita memahami kehendak Yesus bagi kita terkait dengan
perselisihan, yang bisa saja dibawa ke pengadilan. Allah tidak mengharapkan bangsa
Israel untuk mengabaikan apapun pelanggaran yang diderita oleh sesama orang Israel,
jika tidak Ia tak mungkin membuat sistem peradilan. Demikian juga, Allah tidak ingin
orang-orang Kristen mengabaikan apapun pelanggaran yang diderita oleh sesama orang
percaya (atau orang-orang yang tidak percaya). Perjanjian Baru mensyaratkan orang
Kristen yang masih berseteru untuk tak memerlukan mediasi dari sesama orang percaya
(lihat 1 Korintus 6:1-6). Dan bisa saja orang Kristen memanggil orang tak percaya ke
pengadilan sekuler terkait dengan perselisihan atas kejahatan besar. Kejahatan besar
termasuk memukul mata atau gigi! Kejahatan kecil adalah hal-hal yang Yesus sebutkan,
seperti menampar pipi, atau tuntutan penyelesaian masalah kecil (seperti baju anda), atau
dipaksa berjalan sejauh satu mil. Allah ingin umatNya untuk meniruNya dan
menunjukkan kasih karunia yang luar-biasa kepada orang berdosa dan orang jahat yang
tak punya akal sehat.
Dengan ungkapan di atas, ada orang percaya yang bermaksud baik yang, dengan
asumsi bahwa dia taat kepada Yesus, menolak memberi tekanan hukum untuk
menghadapi orang yang kedapatan mencuri dari mereka. Mereka anggap orang percaya
itu sedang “memberikan pipi lain”, ketika ternyata orang percaya itu memberi
kesempatan si pencuri untuk mencuri lagi, sehingga si pencuri mengetahui tak ada
konsekwensi bagi kejahatan. Orang Kristen demikian tidak berjalan dalam kasih terhadap
orang lain, sehingga akan membiarkan barangnya dicuri oleh pencuri yang sama! Allah
ingin pencuri untuk menanggung kejahatannya melalui pengadilan dan pertobatan.
Namun ketika seseorang menyerang anda dengan kejahatan kecil, seperti menampar pipi,
jangan tuntut dia ke pengadilan atau berbalik menamparnya. Tunjukkan belas-kasihan
dan kasih kepadanya.
Penafsiran Perjanjian Lama dengan Memperhatikan Perjanjian Baru
(Interpreting the Old in Light of the New)
Tafsirkanlah ayat-ayat dalam Perjanjian Baru dengan memperhatikan Perjanjian
Lama, dan juga tafsirkanlah ayat-ayat dalam Perjanjian Lama dengan memperhatikan
Perjanjian Baru. Misalnya, sejumlah orang percaya yang tulus hati telah membaca
peraturan tentang makanan dari Musa, dan menyimpulkan bahwa orang-orang Kristen
harus membatasi makanan sesuai peraturan itu. Tetapi, jika mereka baca dua perikop
dalam Perjanjian Baru, maka akan ditemukan bahwa peraturan tentang makanan dari
Musa tidak berlaku bagi mereka yang dalam Perjanjian Baru:
Maka jawab-Nya [Yesus]: "Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak
tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak
dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya,
lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal.
(Markus 7:18-19)
Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang
yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan oleh tipu
daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka. Mereka itu
melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah
supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang
telah mengenal kebenaran. Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan
suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab
semuanya itu dikuduskan oleh Firman Allah dan oleh doa. (1 Timotius 4:1-5).
Dalam perjanjian baru, kita tidak tunduk pada Hukum Taurat Musa, tetapi kepada
Hukum Kristus (lihat 1 Korintus 9:20-21). Walaupun Yesus mendukung aspek-aspek
moral Hukum Taurat Musa (sehingga memasukkan aspek-aspek itu ke dalam Hukum
Kristus), baik Yesus dan para rasul tidak mengajarkan orang-orang Kristen untuk wajib
menaati peraturan tentang makanan di zaman Musa.
Tetapi, jelas orang-orang Kristen mula-mula membuat orang-orang Yahudi bertobat,
yang menaati aturan tentang makanan di zaman pejanjian lama oleh karena ketetapan
budaya mereka (lihat Kisah Para Rasul 10:9-14). Dan ketika orang-orang bukan Yahudi
mulai percaya kepada Yesus, orang-orang Kristen Yahudi mula-mula meminta mereka
mengikuti secara terbatas aturan tentang makanan dari zaman Musa, murni untuk
menghormati tetangga mereka orang-orang Yahudi yang mungkin saja merasa
tersinggung (lihat Kisah Para Rasul 15:1-21). Dengan demikian, tak ada salahnya orang-
orang Kristen yang mengikuti raturan tentang makanan di zaman Musa selama mereka
tidak percaya bahwa menaati aturan itu bukanlah hal yang menyelamatkan mereka.
Sebagian orang Kristen mula-mula juga yakin bahwa memakan daging yang telah
dipersembahkan kepada berhala adalah keliru. Paulus mengajarkan orang-orang percaya
yang berpikir (seperti dirinya) untuk berjalan dalam kasih kepada saudara-saudara
mereka yang “lemah iman” (lihat Roma 14:1), dan tak melakukan hal yang membuat
mereka mengingkari kata-hatinya. Jika ada orang berpantang makanan sebagai
keyakinannya di hadapan Allah (meskipun keyakinan itu tak berdasar), hormati dia atas
pengabdiannya, bukan mengecamnya karena kesalah-pahamannya. Demikian juga, orang
yang berpantang makanan tertentu, sebagai keyakinan pribadinya, tak akan mengecam
orang yang tidak berpantang. Kedua kelompok orang itu harus berjalan bersama dalam
kasih, karena sudah tentu Allah memerintahkan hal itu (lihat Roma 14:1-23).
Dalam hal apapun, karena Alkitab merupakan pewahyuan yang terus berlaku, kita
harus selalu menafsirkan pewahyuan lama (Perjanjian Lama) dengan terang pewahyuan
baru (Perjanjian Baru). Tak satupun pewahyuan yang Allah pernah berikan itu
bertentangan; pewahyuan selalu melengkapi.
Konteks Budaya dan Sejarah (Cultural and Historical Context)
Jika mungkin, perhatikan juga konteks budaya dan sejarah dari perikop-perikop
Alkitab yang kita pelajari. Dengan mengetahui aspek-aspek unik tentang budaya,
geografi dan sejarah dari satu latar-belakang Alkitab, maka kita mendapat dukungan
untuk memperoleh pandangan yang mungkin telah hilang dari kita. Tentu, kita perlukan
buku-buku penunjang selain Alkitab. Pelajaran Alkitab yang baik dapat mendukung kita
di bidang tersebut.
Beberapa contoh tentang bagaimana informasi sejarah atau budaya dapat
membingungkan kita ketika membaca Alkitab:
1). Kita terkadang membaca dalam Alkitab tentang orang-orang yang menaiki atap
rumah (lihat Kisah Para Rasul 10:9) atau turun melalui atap (lihat Markus 2:4). Kita jadi
tahu bahwa pada masa Alkitab, atap rumah di Israel umumnya datar, dan sudah ada anak
tangga di bagian luar rumah yang menuju ke atap itu. Bila kita tak tahu hal itu, maka kita
terbayang ada tokoh dalam Alkitab berjalan-jalan di atap dan memegangi cerobong
rumah!
2). Kita baca Markus 11:12-14 bahwa Yesus mengutuki pohon ara karena pohon itu
tak berbuah, meskipun “saat itu bukan musim berbuah ara.” Kita jadi tahu bahwa pohon
ara biasanya berbuah bahkan saat bukan musim berbuah ara, sehingga Yesus tetap
konsisten dalam perkataanNya.
3). Kita baca dalam Lukas 7:37-48 tentang wanita yang memasuki rumah seorang
Farisi di mana Yesus sedang makan. Alkitab berkata bahwa ketika wanita itu berdiri di
belakang Yesus, sambil menangis, ia mulai membasahi kakiNya dengan air matanya,
menyeka kakiNya dengan rambutnya, dan mencium dan mengurapi kakiNya dengan
minyak wangi. Kita heran bagaimana itu dapat dilakukan ketika Yesus duduk di meja
sambil makan. Apakah wanita itu merangkak di bawah meja? Bagaimana ia sanggup
menembus kaki-kaki orang-orang yang sedang makan?
Jawabannya ada dalam pernyataan Lukas bahwa Yesus sedang “bersandar ke meja”
(Lukas 7:37). Di masa itu, orang-orang terbiasa makan dengan bersandar pada sisi tubuh
di lantai di sekeliling meja rendah, menyandarkan diri pada satu lengan dan menyuap
mulut dengan lengan dan tangan lain. Dalam posisi tubuh itu, Yesus dimuliakan oleh
wanita itu.
Hal itu juga membuat kita mengerti bagaimana Yohanes dapat bersandar ke dada
Yesus pada saat Perjamuan Tuhan untuk bertanya kepadaNya. Yohanes berbaring pada
satu sisi dengan membelakangi Yesus, dan ia bersandar ke dada Yesus untuk bertanya
secara tak langsung (lihat Yohanes 13:23-25). Lukisan terkenal dari DaVinci tentang
Perjamuan Terakhir, yang menunjukkan Yesus duduk di meja dengan enam murid di sisi
kiri dan enam murid di sisi kanan; sang pelukis lalai membuat lukisan itu tanpa
mendasarkan pada Alkitab. Da Vinci perlu tahu konteks sejarah!
Pertanyaan Umum tentang Pakaian (A Common Question tentang Clothes)
Saya sering mendapat pertanyaan dari pendeta-pendeta di seluruh dunia, yakni:
“Apakah bisa diterima bila wanita Kristen memakai celana panjang, bila dilihat bahwa
Alkitab melarang wanita memakai pakaian pria?”
Pertanyaan yang baik untuk dijawab dengan menerapkan aturan penafsiran yang jelas
dan melalui konteks budaya.
Pertama, kita periksa larangan dalam Alkitab bagi wanita yang memakai pakaian pria
(dan sebaliknya):
"Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki
janganlah mengenakan pakaian perempuan, sebab setiap orang yang melakukan hal
ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu. (Ulangan 22:5).
Kita harus bertanya, “Apa maksud Allah memberikan perintah ini? ”Apa maksudNya
membuat wanita tidak boleh memakai celana panjang?
Tidak, bukan itulah maksudNya, karena tak ada pria di Israel memakai celana panjang
ketika Allah dulunya mengatakan hal tersebut. Celana panjang tidak dianggap sebagai
pakaian pria atau pakaian siapapun. Kenyataannya, pakaian pria pada masa Alkitab
tampak lebih mirip pakaian wanita sekarang ini! Itulah sedikit informasi sejarah dan
budaya yang mendukung kita dalam menafsirkan dengan benar apa yang hendak Allah
katakan.
Jadi apa yang dulu menjadi maksud Allah?
Kita baca bahwa siapapun yang memakai pakaian yang dipakai oleh lawan jenisnya
merupakan kekejian bagi Tuhan. Tampaknya hal itu sangat serius. Jika seseorang
memakai selendang wanita dan menaruhnya di kepalanya selama tiga detik, apakah
tindakan itu menjadi kekejian bagi Tuhan? Iini tampak meragukan.
Agaknya, Tuhan menentang orang yang sengaja berpakaian sehingga ia tampak sama
dengan lawan jenisnya. Mengapa ada orang mau melakukan hal itu? Hanya karena ia
ingin menggoda lawan jenisnya, yakni penyimpangan seks yang disebut transvestitisme.
Saya kira, kita bisa paham bagaimana hal itu dianggap kekejian bagi Tuhan.
Jadi, tak bisa langsung disimpulkan bahwa memakai celana panjang bagi wanita
adalah keliru, sesuai Ulangan 22:5, jika ia tidak melakukan hal itu sebagai penyimpangan
seksual. Selama ia masih kelihatan sebagai wanita, ia tak berdosa dengan memakai celana
panjang.
Sudah tentu, Alkitab mengajarkan agar wanita berpakaian sopan (lihat 1 Timotius 2:9),
dan ia tidak layak memakai celana panjang ketat dan memunculkan lekuk tubuh (seperti
juga baju atas dan rok ketat) karena pakaian demikian dapat merangsang pria. Banyak
pakaian yang dipakai oleh wanita di negara-negara Barat sangat tak layak dan menjadi
pakaian yang dipakai oleh wanita tuna susila di negara-negara berkembang. Wanita
Kristen tak boleh memakai pakaian di depan umum dengan maksud untuk tampil “seksi.”
Beberapa Pemikiran Lain (A Few Other Thoughts)
Menariknya, saya tak pernah mendapat pertanyaan dari pendeta-pendeta di China
tentang wanita yang memakai celana panjang. Mungkin karena sebagian besar wanita di
China sudah lama memakai celana panjang. Saya ditanyai mengenai wanita dan celana
panjang oleh para pendeta yang melayani di negara-negara di mana kebanyakan orang
tidak memakai celana panjang. Ini menunjukkan prasangka budaya yang sifatnya pribadi.
Juga ada hal menarik. Saya tak pernah mendapat pertanyaan serupa oleh pelayan
wanita di Myanmar, tempat di mana pria memakai rok tradisional, yang disebut longgi.
Lagi-lagi, pakaian wanita dan pakaian pria bervariasi dari satu budaya ke budaya lain,
sehingga kita harus hati-hati agar tidak memaksakan pemahaman budaya kita pada
Alkitab.
Saya heran mengapa begitu banyak pria, yang berharap wanita untuk tidak memakai
celana panjang berdasarkan Ulangan 22:5, merasa tidak wajib menerapkan Imamat 19:27
bagi diri mereka. Mereka berkata,
Janganlah kamu mencukur tepi rambut kepalamu berkeliling dan janganlah engkau
merusakkan tepi janggutmu. (Imamat 19:27).
Dengan mengabaikan Imamat 19:27, bagaimana bisa pria mencukur janggut
pemberian Tuhan, sebagai ciri perbedaan pria dari wanita, lalu pria menuduh wanita yang
bercelana panjang sebagai mencoba tampil seperti pria? Pendapat itu tampak agak
munafik!
Di lain pihak, informasi sejarah membuat kita lebih mengerti maksud Tuhan dalam
Imamat 19:27. Mencukur tepi rambut kepala berkeliling adalah bagian dari ritual agama
penyembah berhala. Allah tak ingin umatNya tampak seperti menyembah patung berhala.
Siapa yang Berbicara (Who is Speaking?)
Kita harus selalu paham siapa yang berbicara dalam satu perikop tertentu, karena
informasi kontekstual akan membantu kita dengan benar dalam menafsirkan perikop itu.
Walaupun segala sesuatu dalam Alkitab diilhamkan untuk ada dalam Alkitab, bukan
segala sesuatu dalam Alkitab adalah Firman Tuhan yang diilhami. Apa maksudnya?
Banyak perikop Alkitab mencatat perkataan orang yang tidak diilhami. Karena itu, kita
tak boleh beranggapan bahwa segala sesuatu yang diucapkan oleh orang-orang dalam
Alkitab diilhami oleh Allah.
Misalnya, beberapa kesalahan pengutipan kata-kata Ayub dan teman-temannya seolah-
olah kata-kata tersebut diilhami Allah. Ada dua alasan mengapa ini keliru. Pertama,
dalam tigapuluh-empat pasal, Ayub dan teman-temannya berdebat. Mereka tak mencapai
kesepakatan. Jelaslah, bukan segala sesuatu yang mereka katakan merupakan Firman
Tuhan yang diilhamkan karena Allah Sendiri tidak membuat pertentangan.
Kedua, pada penutup kitab Ayub, Allah Sendiri berbicara, dan Ia menghardik Ayub
dan teman-temannya karena mengatakan hal-hal yang tidak benar (lihat Ayub 38-42).
Kita harus melakukan langkah pencegahan yang sama ketika membaca Perjanjian
Baru. Dalam beberapa hal, Paulus tegas menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu dari
tulisannya hanyalah pendapatnya sendiri (lihat 1 Korintus 7:12, 25-26, 40).
Siapa yang Dituju? (Who is Being Addressed?)
Kita bertanya siapa yang berbicara dalam satu perikop Alkitab, dan juga catat siapa
yang dituju. Bila kita tak melakukannya, bisa saja kita tafsirkan bahwa sesuatu tak
berlaku bagi kita, yang ternyata berlaku bagi kita. Atau, kita tafsirkan sesuatu yang
berlaku bagi kita yang sebenarnya tak berlaku bagi kita.
Misalnya, ada orang menuntut janji yang terdapat dalam Mazmur 37, dengan meyakini
bahwa ayat itu berlaku padanya:
Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu. (Mazmur 37:4).
Tetapi, apakah janji itu berlaku bagi setiap orang yang membaca atau mengetahui ayat
itu? Tidak, jika kita baca konteksnya, ternyata ayat itu hanya berlaku bagi orang-orang
tertentu yang memenuhi lima syarat:
Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan
berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan
kepadamu apa yang diinginkan hatimu. (Mazmur 37:3-4).
Jadi, betapa penting sekali kita mengetahui kepada siapa sesuatu ditujukan.
Contoh lain adalah:
Berkatalah Petrus kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan
mengikut Engkau!" Jawab Yesus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap
orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-
laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau
ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus
kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang,
sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia
akan menerima hidup yang kekal.” (Markus 10:28-30).
Ungkapan “menerima kembali seratus kali lipat” sangat populer di beberapa kalangan
ketika seseorang memberi uang untuk membantu seorang penginjil. Tetapi, apakah janji
itu berlaku bagi orang-orang tersebut? Tidak, hal itu ditujukan kepada orang-orang yang
sebenarnya meninggalkan keluarga, ladang pertanian, atau rumah untuk mengabarkan
Injil, seperti yang dilakukan oleh Petrus, yang bertanya kepada Yesus apa kira-kira upah
yang didapatkan olehnya dan murid-murid lainnya.
Hal yang menarik, tampaknya orang yang selalu berkhotbah tentang pengembalian
seratus kali lipat tampaknya terokusk pada rumah dan ladang, dan bukan pada anak-anak
dan penganiayaan yang juga dijanjikan kepada mereka! Sudah tentu, Yesus tidak
menjanjikan bahwa barangsiapa yang meninggalkan rumahnya akan mendapat ganti
seratus rumah. Ia berjanji, bila mereka meninggalkan keluarga dan rumahnya, para
anggota keluarga rohani yang baru akan membuka rumah mereka sebagai tempat tinggal.
Murid-murid sejati tak peduli dengan kepemilikan karena mereka sendiri tak memiliki
apapun —mereka hanyalah pengelola milik Allah.
Teladan Akhir (A Final Example)
Ketika orang-orang membaca “Khotbah Yesus di Atas Bukit Zaitun” dalam Matius
24-25, sebagian mereka keliru menganggap bahwa Ia berbicara kepada orang yang belum
selamat, sehingga mereka keliru menyimpulkan bahwa apa yang dikatakanNya tak
berlaku bagi mereka. Mereka membaca Perumpamaan Hamba yang Tidak Setia dan
Perumpamaan Sepuluh Gadis, seolah-olah kedua perumpamaan itu ditujukan bagi orang-
orang tidak percaya. Tetapi, seperti sudah dikatakan, kedua perumpamaan itu ditujukan
kepada murid-murid terdekat Yesus (lihat Matius 24:3;Mark 13:3). Karena itu, jika
Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas perlu diberi peringatan akan kemungkinan
mereka tidak siap ketika Yesus kembali, demikian juga kita diberi peringatan. Peringatan
Yesus dalam “Khotbah Yesus di Atas Bukit Zaitun” juga berlaku bagi setiap orang
percaya, bahkan mereka yang tidak berpikir demikian oleh karena mereka tidak mencatat
siapa yang dituju oleh Yesus.
Aturan #3 Bacalah dengan Jujur. Jangan paksakan teologi anda dalam suatu
teks. Jika anda baca hal yang bertentangan dengan keyakinan anda, jangan coba
ubah Alkitab, tetapi ubah keyakinan anda.
Kita sering melakukan pendekatan ke Alkitab dengan kecenderungan yang sudah ada
di pikiran kita sebelumnya. Karena itu, seringkali kita sangat sulit membaca Alkitab
dengan jujur. Kita tinggalkan cara pemaksaan keyakinan kita kepada Alkitab, bukannya
membiarkan Alkitab membentuk teologi kita. Kita kadang memburu ayat-ayat Alkitab
yang mendukung doktrin-doktrin kita, dan tak peduli ayat-ayat yang menentang
keyakinan kita. Ini disebut sebagai “pembuktian lewat teks”.
Baru-baru ini, saya temukan contoh pemaksaan teologi ke dalam sebuah teks. Ada
seorang guru membaca Matius 11:28-29, kutipan yang sangat terkenal dari Yesus:
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi
kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena
Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (Matius
11:28-29)
Lalu, guru itu menjelaskan bahwa Yesus menawarkan dua kelegaan berbeda. Pertama
(tampaknya), kelegaan keselamatan dalam Matius 11:28, dan kedua, kelegaan pemuridan
dalam Matius 11:29. Kelegaan pertama diperoleh bila kita datang pada Yesus; kelegaan
kedua diperoleh bila kita berserah padaNya sebagai Tuhan, atau memikul kukNya.
Namun, apakah pengertian itu yang Yesus maksudkan? Bukan, itu hanya pemaksaan
arti ke dalam teks yang tidak dinyatakan secara gamblang atau secara tersirat. Yesus tidak
berkata bahwa Ia menawarakan dua kelegaan. Ia menawarkan kelegaan kepada mereka
yang letih-lesu dan berbeban-berat, dan cara mendapatkan kelegaan satu-satunya adalah
memikul kuk Yesus, yakni berserah kepadaNya. Jelas, arti itulah yang Yesus maksudkan.
Mengapa guru itu menafsirkan demikian? Karena pengertian yang jelas dari perikop
itu tak sesuai dengan keyakinannya bahwa ada dua jenis orang Kristen yang pasti ke
sorga -- orang percaya dan murid. Sehingga ia tidak menafsirkan perikop ini dengan
jujur.
Tentunya, seperti kita lihat bagian-bagian lain dari ayat-ayat Alkitab dalam buku ini
saat kita perhatikan teologi tersebut, bahwa penafsiran guru itu tak sesuai dengan konteks
kelegaan yang Yesus ajarkan. Dalam Perjanjian Baru, tidak ada ayat yang mengajarkan
tentang dua jenis orang Kristen yang pasti ke sorga, yakni orang percaya dan murid.
Setiap orang percaya sejati adalah murid. Orang yang bukan murid bukan orang percaya.
Pemuridan adalah buah dari iman yang sungguh-sungguh.
Usahakanlah baca Alkitab dengan jujur, dengan hati yang murni. Bila kita mau
lakukan demikian, hasilnya nanti berupa kesungguhan hati dan ketaatan yang lebih
kepada Kristus.