bab v analisa dan pembahasan - core.ac.uk · dengan kondisi yang sangat minimalis serta saluran...
TRANSCRIPT
84
BAB V
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian mengenai ruang permukiman Kampung Batik kali ini,
dilakukan pengamatan mengenai perkembangan tipologi sejak tahun 1945
sampai dengan 2014. Dalam kurun waktu yang cukup panjang tersebut
dibuat periode waktu yang bertujuan untuk mempermudah pelacakan dan
penganalisaan mengenai perubahan yang terjadi. Periode waktu itu dibuat
berdasarkan waktu di mana Kampung Batik mengalami perubahan yang
terlihat nyata disebabkan oleh peristiwa yang terjadi pada masa tersebut.
Dari pengamatan awal yang dilakukan, didapat periode waktu yang sesuai
untuk penganalisaan, yaitu sebelum tahun 1945, tahun 1945 sampai 1960,
tahun 1961 sampai tahun 1997, 1998 sampai tahun 2006, serta tahun 2007
sampai dengan 2014. Pada gambar V.1 ini merupakan fase waktu yang
dibuat berdasarkan kejadian penting di Kampung Batik.
Gambar V.1 Fase Terjadinya Kejadian-Kejadian Penting di Kampung Batik Sumber: analisa, 2014
85
5.1 Kampung Batik Sebagai Kampung Kota
Menurut lokasinya, Kampung Batik yang berada di Kelurahan
Rejomulyo, Kecamatan Semarang Timur ini merupakan kampung yang
berada di tengah kota dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Secara fisik,
kampung ini memiliki keberagaman yang juga tinggi, mulai dari luas lahan
sampai pada gaya pada fasad tiap rumahnya. Hal tersebut pula yang
menjadikannya terlihat tidak teratur. Menurut pengakuan Bapak Giri (82
tahun) warga asli Kampung Batik, keadaan demikian memang sudah
berlangsung lama, bahkan sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Mayoritas
penduduk kampung yang merupakan golongan ekonomi menengah ke
bawah yang tidak dapat memerhatikan kualitas hidupnya. Terlihat dari
keadaan di Kampung Batik yang kurang sehat. Tempat pembuangan sampah
dengan kondisi yang sangat minimalis serta saluran drainase lingkungan
yang tidak mengalir dengan lancar. Bukti-bukti ketidakteraturan yang ada
pada Kampung Batik dapat dilihat pada gambar V.2.
86
Gambar V.2 Beberapa ketidakteraturan pada fasilitas umum di Kampung Batik Semarang Sumber: dokumentasi pribadi, 201
87
Jika tampilan fisik Kampung Batik mencerminkan suatu permukiman
yang tidak layak huni, berbeda dengan keadaan non fisik yang terlihat di
kampung ini. Keadaan kampung batik dengan sebagian kegiatan ekonomi
dilakukan secara mandiri, menyebabkan timbulnya rasa persaudaraan yang
lebih tinggi. Kampung ini pun berproses dan berubah secara dinamis sesuai
dengan inisiatif yang dilakukan oleh warganya, tanpa campur tangan pihak
luar. Sebagai contoh adalah penambahan tinggi muka jalan lingkungan di
Kampung Batik, beberapa kali kegiatan peninggian dilakukan mandiri oleh
warga, hanya sesekali saja warga melakukan pengajuan proposal pada
pemerintah.
Berdasarkan analisa dan pembahasan di atas mengenai keadaan
fisik dan non fisik yang terlihat di Kampung Batik, sangat jelas bahwa
kampung ini dikategorikan sebagai kampung kota yang sangat khas dan
memiliki ciri yang berbeda pada permukiman yang ada lainnya. Keadaan
yang terlihat itu pun terjadi bukan hanya pada masa sekarang di fase 5, tetapi
sudah sejak jaman sebelum kemerdekaan yang mayoritas dihuni oleh para
pribumi pada fase 1, tepatnya antara tahun 1930 sampai 1945.
5.2 Kampung Batik Sebagai Permukiman Produktif
Suatu permukiman dapat dikatakan produktif jika terdapat kegiatan
industri rumahan dan industri kecil yang terus beroperasi di dalamnya. Saat
ini Kampung Batik merupakan salah satu dari banyaknya permukiman
88
produktif yang ada di Semarang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aktifitas
pembuatan serta penjualan batik khas Semarang di lokasi tersebut. Kegiatan
industri ini dilakukan di semi open space pada rumah pemilik usaha karena
modal yang masih terbatas. Para pekerja yang bekerja di industri tersebut
juga merupakan tetangga dan kerabat dari pemilik usaha. Pada gambar V.3
berikut ini merupakan salah satu kegiatan produksi batik di Kampung Batik.
Gambar V.3 Salah Satu Kegiatan Produksi Batik di Kampung Batik Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Sebenarnya, usaha skala kecil dan rumahan yang ada di Kampung
ini belum berlangsung lama, yaitu mulai terjadi di fase 5, pada tahun 2006
ketika batik khas Semarang mulai digerakkan kembali oleh pemerintah.
Pemerintah memilih lokasi pelatihan di Kampung Batik karena kampung ini
bernama Batik. Di Semarang banyak kampung yang dinamai berdasarkan
kegiatan yang dilakukan oleh warga di dalamnya. Pada masa fase 1,
Kampung Batik sendiri dulunya pernah memiliki satu pengusaha batik yang
cukup besar usahanya di masa penjajahan Belanda, sampai akhirnya hilang
tanpa jejak sekitar tahun 1940an akhir, dan yang tersisa hanyalah lokasi
89
usahanya (lihat gambar V.5). Selain itu, sebenarnya Kampung Batik hanya
sebuah kampung persinggahan tempat pedagang batik yang berasal dari
Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan. Wajar saja hal tersebut terjadi, karena
lokasi Kampung Batik yang berdekatan dengan pusat perdagangan di masa
itu, yaitu Pasar Johar dan Pasar Yaik. Oleh karena alasan tersebut juga yang
menyebabkan kampung ini dinamakan sebagai Kampung Batik. Hampir
sebagian besar kampung kota di Semarang memiliki nama yang sesuai
dengan kegiatan yang ada di dalamnya.
Gambar V.4 Area di Kampung Batik yang Melakukan Kegiatan Industri pada fase 1 Sumber: analisa, 2014
Oleh karena itu, Kampung Batik dapat dikatakan permukiman
produktif pada saat setelah tahun 2006 hingga sekarang, dimana mulai
Saluran drainase
Fasilitas umum
Hunian +tempat usaha
Hunian
90
banyak muncul pengusaha kecil dan rumahan yang melakukan produksi
batik. Itu pun hanya di sebagian ruas jalan di Kampung Batik, tidak
menyeluruh pada seluruh wilayahnya (lihat gambar V.5).
Gambar V.5 Area di Kampung Batik yang Melakukan Kegiatan Industri pada tahun 2014 Sumber: analisa, 2014
Hunian +tempat usaha Tempat usaha
Gudang
Fasilitas umum
Hunian
Saluran drainase
91
5.3.1 Land Use
Tata guna lahan atau land use menjadi aspek yang paling dinamis
perubahannya. Perubahan tersebut dapat berupa pergantian fungsi lahan,
penambahan, maupun pengurangan lot-lot bangunan dari bentukan awal.
Untuk kasus Kampung Batik ini sendiri, fungsi dari lahan memang tidak
banyak berubah. Sejak masa Kyai Pandan Arang meletakkan Central
Bussiness District kota Semarang di area Bubakan, Kampung Batik ini sudah
menjadi permukiman penduduk, terutama penduduk pribumi yang aktif
melakukan kegiatan di CBD tersebut.
Kota Semarang sendiri telah mengalami perkembangan yang cukup
terlihat nyata sampai saat ini. Menurut teori ekspresi keruangan kota (Yunus,
2000), kota Semarang cenderung mengikuti tipologi bentuk yang
berkembang seperti bentuk gurita atau bintang. Hal tersebut dikarenakan
Gambar V.6 Peta Kota Semarang tahun 1930
Sumber: kitlv.nl (diakses 15 Maret 2014)
92
jaringan jalan dan moda transportasi yang membentuk perluasan dan
perkembangan pada area-area yang baru.
Sedangkan apabila dilihat pola perkembangan tata guna lahan kota,
menurut Chapin (1975), kota Semarang mengikuti pola kosentris yang berarti
bahwa Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat
di tengah kota dan merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan
politik. Pusat kota tersebut dikelilingi oleh zona-zona lainnya yang melingkar
mengikuti pola yang ada di pusatnya. Berdasarkan hal tersebut, pada fase 1
di era sebelum kemerdekaan, Kampung Batik termasuk zona nomor 3
dimana kampung ini merupakan area permukiman untuk buruh serta
PETA KOTA SEMARANG TAHUN 2012
Gambar V.7 Ekspresi keruangan kota Semarang
Sumber: semarangkota.go.id (diakses 15 Maret 2014), analisa (2014)
93
pedagang di sentra perdagangan kota Semarang seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini:
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penduduk kampung ini
sebagian besar bermatapencaharian sebagai pedagang dan buruh di
berbagai sektor. Seperti kebanyakan permukiman pribumi pada umumnya,
rumah-rumah pada fase 1 sekitar tahun 1930 tersebut cenderung berada
pada lahan yang kecil dengan beberapa rumah memiliki halaman depan yang
sempit. Ada pula sebagian kecil warga yang tidak memiliki halaman depan
rumah, dikarenakan rumah tersebut tidak berpagar dan jalan lingkungan di
depannya difungsikan juga menjadi halaman depan. Selain karena memang
petak-petak lahan yang sempit, pada masa itu ada peraturan dari pemerintah
Belanda yang dirumuskan oleh Thomas Karsten untuk memerhatikan aspek
kesehatan dengan memanfaatkan pencahayaan dan penghawaan yang
maksimal. Hal ini yang menjadikan warga untuk memiliki lubang penghawaan
dan pencahayaan alami di tiap sisi rumahnya, sehingga menyebabkan
Gambar V.8 Lokasi Kampung Batik Ditinjau dari Pola Tata Guna Lahan Kota Semarang Tempo Dulu
Sumber: analisa (2014), kitlv.nl (diakses 15 Maret 2014)
94
prosentase lahan yang dapat terbangun semakin mengecil. Pada fase 1
tersebut, tatanan petak-petak lahan warga sudah diatur oleh pemerintah
Belanda dalam program perbaikan kampung di tahun 1920an awal. Sehingga
petak-petak lahan yang ada sudah disesuaikan dengan standar kecukupan
warga menengah ke bawah. Penduduk juga tidak memiliki sisa lahan untuk
dimanfaatkan sebagai toilet. Untuk kebutuhan sehari-hari, penduduk
setempat memanfaatkan toilet umum yang ada di dalam kampung tersebut.
Toilet umum pada masa itu berfungsi tidak hanya untuk mandi, tetapi
dimanfaatkan pula untuk mencuci pakaian. Toilet tersebut dikelola oleh
pemerintah yang memiliki kantor perwakilan di sebelah toilet umum tersebut.
Toilet umum tersebut dijamin kebersihan dan kesehatannya dikarenakan hal
tersebut merupakan kebutuhan vital dari warga yang difasilitasi oleh
pemerintah saat itu.
Dari penjelasan di atas tersebut, dapat dilihat bahwa figure ground
yang ada di Kampung Batik didominasi oleh urban solid yang keseluruhannya
termasuk dalam kategori massa bangunan dengan fungsi permukiman milik
penduduk pribumi dengan luas lahan yang sempit. Berikut merupakan peta
figure ground Kampung Batik pada fase 1
95
Selain urban solid yang mendominasi berupa bangunan rumah
tinggal milik warga, terlihat pada gambar V.9 di atas, masih terdapat urban
void Kampung Batik ini. Urban void yang ada pada kampung ini berupa
halaman depan maupun belakang rumah, lorong antar rumah warga, ruang
terbuka publik yang dimanfaatkan warga sebagai tempat berinteraksi, serta
jalan lingkungan yang ada pada area kampung. Untuk lebih lengkap dan
jelasnya, dapat dilihat pada gambar V.10.
Berdasarkan urban void yang juga membentuk space pada area
Kampung Batik ini, terdapat titik-titik dimana space tersebut memiliki arti lebih
bagi warga, sehingga terbentuk sebuah place yang erat kaitannya dengan
Gambar V.10 Analisa urban solid Kampung Batik pada fase 1, tahun 1930-1945 Sumber: analisa (2014)
Gambar V.9 Analisa urban solid Kampung Batik pada fase 1, tahun 1930-1945 Sumber: analisa (2014)
Urban solid berupa blok massa bangunan,
berupa rumah-rumah warga Kampung
Batik
Ruang serambi, pertemuan antara ruang
publik dan privat
Blok ruang kosong di tengah bangunan
Jalan raya dan lapangan, berfungsi sebagai
ruang publik
96
aktivitas sosial warga. Pada gambar V.11 berikut merupakan titik sebaran
place yang ada di Kampung Batik pada fase 1.
Dari penjelasan mengenai aspek-aspek yang membentuk tata guna
lahan di Kampung Batik pada fase 1, didapatkan peta tata guna lahan pada
fase 1 ini. Berikut merupakan peta tata guna lahan pada fase 1.
Gambar V.11 Analisa place Kampung Batik pada fase 1, tahun 1930-1945 Sumber: analisa (2014)
Place terbentuk karena imageability yang
ada pada bangunan yang berada di
depannya. Bangunan yang berupa toilet
umum ini mampu memberikan kualitas fisik
yang lain dibanding yang ada di sekitarnya
Place yang terbentuk juga karena
imageability pada bangunan yang berada di
depannya. Bangunan yang berupa langgar
atau mushola ini mampu memberikan
kualitas fisik yang lain dibanding sekitarnya
Place yang terbentuk berdasarkan susunan yang berbeda dari yang ada di sekitarnya yaitu berupa
ruang terbuka cukup luas, sehingga mudah untuk dikenali. Ruang ini biasa digunakan sebagai area
berinteraksi antar warga, yaitu olahraga dan bermain.
Gambar V.12 Tata guna lahan pada fase 1, tahun 1930 sampai 1945 Sumber: analisa, 2014
Hunian +tempat usaha
Fasilitas umum Hunian
Saluran drainase
97
Pada fase 1 yang merupakan era sebelum kemerdekaan, Kampung
Batik merupakan kampung yang memiliki pemuda dengan semangat juang
tinggi untuk menjaga harga diri negara Indonesia. Hal ini terbukti dengan
terbakar habisnya Kampung Batik pada Pertempuran Lima Hari tahun 1945
yang merupakan bentuk ketakutan dari pihak Jepang akan gigihnya
perlawanan pemuda di kawasan Kampung Batik dan sekitarnya. Kampung
Batik dihujani serangan bom yang meledakkan kurang lebih 250 rumah yang
ada saat itu.
Gambar V.13 Puing-puing bekas terbakarnya Kampung Batik Sumber: Warta Indonesia edisi 3 November 1945, dalam buku Sejarah Pertempuran Lima Hari di
Semarang (1977)
Akan tetapi, dari sekian banyak rumah yang terbakar, terdapat satu
rumah yang tidak terbakar, yaitu milik Bapak Kastoeri yang berada di Jalan
Batik Gedong. Walaupun rumah tersebut berdinding anyaman bambu, tetapi
rumah tersebut dapat terselamatkan karena memiliki jarak yang sangat
renggang dengan rumah di sekitarnya (Suara Merdeka edisi 22 Maret 1984).
98
Gambar V.14 Rumah Bapak Kastoeri, satu-satunya dari 250 rumah di Kampung Batik yang tidak terbakar pada Oktober 1945
Sumber: Suara Merdeka edisi 22 Maret 1984
Gambar V.15 Rumah Bapak Kastoeri sudah berubah menjadi rumah tinggal yang lebih modern
Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Berdasarkan kejadian pengeboman tersebut, mengakibatkan adanya
perubahan pada Kampung Batik pada masa selanjutnya, yaitu fase 2 di tahun
1946 sampai 1960. Pada masa pasca kebakaran akibat Pertempuran Lima
Hari tersebut, banyak penduduk yang meninggalkan rumahnya untuk
menyelamatkan diri. Sebagian besar dari penduduk mengungsi ke area
Hunian FASE 2
(1946-1960)
Hunian FASE 5
(2006-2014)
99
pengungsian yang letaknya tidak jauh dari kampung Batik sampai suasana
membaik. Pada masa itu, terdapat satu area pada kampung Batik yang pada
mulanya merupakan ruang terbuka hijau, kemudian dijadikan sebagai area
pemakaman darurat untuk korban kebakaran di wilayah tersebut (lihat
gambar V.16).
100
Gambar V.16 Area di Kampung Batik yang merupakan eks pemakaman darurat korban kebakaran
Sumber: analisa, dokumentasi pribadi, 2014
Hunian
Saluran drainase FASE 1
1930-1945
FASE 2
1946-1960
Hunian
101
Pada fase ini pula, saat keributan akibat pengeboman tersebut
mereda, hanya sebagian kecil warga yang kembali ke Kampung Batik dan
membangun rumahnya lagi. Banyak lahan kosong yang ditinggal oleh
penghuninya. Akan tetapi, lebih banyak pula pendatang baru yang
mengambil lahan-lahan milik penduduk yang meninggalkannya pasca
kebakaran. Bahkan pemakaman darurat yang dibuat oleh warga juga tidak
bertahan lama bertahan di tempatnya. Disebabkan akan kebutuhan lahan
yang tinggi, warga terdesak untuk menggunakan lahan pemakaman sebagai
permukiman baru untuk mereka. Tidak hanya lahan bekas pemakaman,
daerah yang dahulu merupakan teras belakang dari permukiman petinggi
Belanda pun turut dijadikan sebagai permukiman (lihat gambar V.16).
Menurut Bapak Giri (82 tahun), warga asli Kampung Batik,
pemanfaatan lahan kosong ini bukan tanpa ijin dari pemerintah. Pemerintah
telah menyetujui pengalihfungsian lahan tersebut dikarenakan keadaan saat
itu yang darurat dibutuhkan tempat tinggal setelah sekian lama warga
mengungsi di tempat-tempat yang jauh dari Kampung Batik. Ditambah lagi
dengan beralihnya peraturan pemerintah dari kekuasaan Belanda ke
kekuasaan pemerintah Indonesia, menyebabkan peraturan mengenai
permukiman belum dirumuskan.
102
Gambar V.17 Daerah yang merupakan garis sepadan sungai kini berubah menjadi permukiman Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Hunian
Saluran drainase
FASE 1
1930-1945
FASE 2
1946-1960
Hunian
103
Dari penjelasan mengenai keadaan pada Kampung Batik di fase 2,
ditemukan perubahan pada tata guna lahan di kampung ini. Penambahan
rumah-rumah di area selatan Kampung Batik ini secara jelas mengubah
figure ground yang ada pada fase sebelumnya, baik itu dari aspek urban solid
maupun urban void. Berikut merupakan analisa figure ground pada Kampung
Batik di fase 2.
Dari analisa tersebut dapat dilihat bahwa penambahan blok massa
bangunan pada Kampung Batik ini disebabkan oleh pengaruh sosial di mana
adanya kebutuhan akan tempat tinggal darurat pada masa peralihan
kekuasaan yang menyebabkan kekacauan di segala aspek, termasuk juga
pada peraturan mengenai tata guna lahan permukiman di Kota Semarang.
Dengan penambahan blok massa bangunan, secara otomatis dibutuhkan
pula jalur jalan sebagai akses menuju area urban solid yang baru tersebut.
Jalur jalan baru yang muncul itu membentuk urban void yang baru pula,
seperti yang terlihat pada gambar V.19 di bawah ini.
Gambar V.18 Analisa urban solid pada fase 2, tahun 1946-1960 Sumber: analisa, 2014
Ada tambahan area urban solid yang
cukup luas di sebelah selatan kampung.
Urban solid tambahan tersebut masih
termasuk dalam kategori blok massa
bangunan, yang berupa rumah-rumah milik
warga.
104
Dengan adanya penambahan blok massa bangunan dan jalur jalan
yang baru, berpengaruh pula pada urban place yang ada pada fase 1. Ruang
terbuka yang biasa digunakan sebagai tempat interaksi sosial warga menjadi
hilang. Sehingga warga beralih memanfaatkan badan jalan untuk tempat
berinteraksi (lihat gambar V.20).
Pada era pasca kemerdekaan ini, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, belum terbentuknya peraturan yang jelas mengenai tata ruang
permukiman. Sehingga pada masa ini, tidak ada yang dapat menjamin
Gambar V.19 Analisa urban void pada fase 2, tahun 1946-1960 Sumber: analisa, 2014
Ruang serambi atau teras, pertemuan antara
ruang publik dan privat
Blok ruang kosong di tengah bangunan
Urban void yang dikategorikan sebagai jalan
raya, difungsikan untuk kepentingan publik
Gambar V.20 Analisa lokasi place di Kampung Batik pada fase 2, tahun 1946-1960 Sumber: analisa, 2014
Place terbentuk karena imageability yang
ada pada bangunan yang berada di
depannya. Bangunan yang berupa toilet
umum ini mampu memberikan kualitas fisik
yang lain dibanding yang ada di sekitarnya
Place yang terbentuk juga karena
imageability pada bangunan yang berada di
depannya. Bangunan yang berupa langgar
atau mushola ini mampu memberikan
kualitas fisik yang lain dibanding sekitarnya
Pembentuk place ini pun masih imageability yang terbentuk atas bangunan langgar/ mushola yang
terletak di depannya. Selain itu pula, lokasi yang sering digunakan sebagai tempat berkumpul warga ini
merupakan lokasi pengganti dari ruang terbuka yang telah dialihfungsikan sebagai permukiman
105
keberadaan fasilitas sosial di area permukiman, terutama untuk kelas
menengah ke bawah. Fasilitas sosial yang ada pada Kampung ini sangat
terbatas pada fasilitas yang dianggap sangat vital keberadaannya, yaitu
fasilitas ibadah dan kantor Kelurahan.
Dari beberapa analisa yang dilakukan pada fase ini, yang merupakan
fase peralihan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Indonesia,
didapatkan tata guna lahan yang terbentuk. Berikut merupakan peta tata
guna lahan pada fase dua, antara tahun 1946 sampai tahun 1960.
Semakin lama, semakin padat pula pendatang yang bertempat
tinggal di Kampung Batik. Terlebih lagi di era tahun 1960an, pada fase ini
banyak sekali terjadi perubahan kepemilikan rumah. Masa dimana saat itu
banyak kaum Tionghoa bermigrasi ke kota besar untuk tetap dapat bertahan
Gambar V.21 Tata guna lahan pada fase 2 tahun 1946 sampai 1960 Sumber: analisa, 2014
Sumber: analisa, 2014
Hunian +tempat usaha
Fasilitas umum Hunian
106
hidup sekaligus melebarkan bisnis yang biasa digeluti oleh kaum tersebut.
Hal ini juga berdampak di Kampung Batik, di mana banyak keluarga
Tionghoa yang berpindah ke rumah-rumah yang ada di kampung Batik.
Bahkan sampai saat ini, masih terdapat beberapa keluarga Tionghoa yang
tetap bertahan di Kampung Batik. Pada fase ini pula, Kampung Batik tidak
memiliki rumah yang difungsikan juga sebagai tempat usaha dikarenakan
intensitas peralihan kepemilikan lahan yang cukup tinggi di fase ini, antara
tahun 1960 sampai 1990an. Selain itu, akibat dari peralihan kepemilikan
lahan yang lainnya adalah perubahan luas lahan yang terbangun di Kampung
ini. Setelah perginya pemerintahan Belanda dari Indonesia, peraturan-
peraturan yang dibuat oleh pihak Belanda tidak lagi dipedulikan oleh warga,
termasuk peraturan mengenai penghawaan dan pencahayaan alami yang
harus masuk ke dalam rumah secara maksimal. Sehingga banyak warga
yang melebarkan rumahnya ke bagian lahan yang masih kosong. Hal
tersebut mengakibatkan jarak antar bangunan rumah warga menjadi semakin
kecil. Kondisi kampung pun terlihat semakin kumuh dengan menurunnya
kepedulian terhadap kondisi kesehatan warga.
Pada fase ini pula terjadi perluasan kawasan Kampung Batik ke arah
timur laut. Kampung tersebut dulunya bernama Kampung Widoharjo.
Kampung ini pada masa di fase 1 memiliki satu rumah yang memiliki usaha
batik yang cukup besar. Ada beberapa warga Kampung Batik yang menjadi
buruh batik di pengusaha tersebut. Perluasan area Kampung Batik ini juga
107
termasuk dalam salah satu kebijakan baru pemerintah kota mengenai
peluasan kota Semarang dan penambahan kelurahannya.
Berdasarkan kejadian yang ada di Kampung Batik pada fase 3,
antara tahun 1960 sampai 1990an, dapat dilakukan analisa figure ground
yang dibagi menjadi dua, yaitu urban solid dan urban void. Pada gambar
V.21 di bawah ini dapat dilihat secara jelas mengenai analisa tersebut.
Dari gambar yang tersaji di atas, terlihat bahwa urban void yang ada
pada kampung ini mengalami penurunan pada luasannya. Hal ini akibat dari
urban solid yang semakin berkembang dan mengurangi keberadaan urban
void, terutama urban void yang bersifat semi publik yaitu halaman rumah dari
warga. Untuk melihat lebih detail mengenai kategori urban void pada fase 3,
dapat dilihat pada gambar V.23 di bawah ini.
Area urban solid pada fase ini mengalami
peningkatan. Terlihat dari gambar bahwa
blok-blok massa bangunan semakin
berhimpitan. Hanya tersisa sedikit massa
bangunan yang memiliki jarak dengan
massa yang berada di sebelahnya.
Gambar V.22 Analisa urban solid pada fase 3, tahun 1961-1997 Sumber: analisa, 2014
108
Pada fase ini, titik-titik place yang dimanfaatkan oleh warga kampung
tidak berubah dari fase sebelumnya. Lokasi yang ada sebagian besar berada
di area yang berdekatan dengan fasilitas sosial yang ada di kampung
tersebut. Berikut merupakan gambar titik-titik area yang merupakan urban
place pada fase 3:
Berdasarkan penjelasan dan analisa mengenai kejadian pada fase 3,
didapatkan peta tata guna lahan sebagai berikut.
Gambar V.23 Analisa urban void pada fase 3, tahun 1961-1997 Sumber: analisa, 2014
Ruang serambi atau teras, pertemuan antara
ruang publik dan privat
Blok ruang kosong di tengah bangunan
Urban void yang dikategorikan sebagai jalan
raya, difungsikan untuk kepentingan publik
Place terbentuk karena imageability yang
ada pada bangunan yang berada di
depannya. Bangunan yang berupa kantor
Kelurahan menyebabkan kesibukan yang
tinggi di area sekitarnya
Place terbentuk akibat identitas jalan
tersebut merupakan jalan dengan dimensi
paling lebar di Kampung Batik. Selain itu,
jalan tersebut merupakan jalan dimana
terdapat bekas langgar/ mushola yang
dahulu ramai dikunjungi, sehingga
identitasnya masih terus melekat
Pembentuk place ini pun masih imageability yang terbentuk atas bangunan langgar/ mushola yang
terletak di depannya. Selain itu pula, lokasi yang sering digunakan sebagai tempat berkumpul warga ini
merupakan lokasi pengganti dari ruang terbuka yang telah dialihfungsikan sebagai permukiman
Gambar V.24 Analisa lokasi place di Kampung Batik pada fase 3, tahun 1961-1997 Sumber: analisa, 2014
109
Pada fase berikutnya, ketika tahun 1997, dimana terjadi krisis
moneter besar-besaran yang melanda Indonesia. Inflasi yang begitu cukup
memberikan pengaruh kepada Kampung Batik. Keadaan politik yang sangat
kacau menjadikan peraturan yang ada mengenai tata ruang permukiman
diacuhkan oleh warga. Keadaan Kampung Batik terlihat tidak berkembang.
Yang menjadi pemikiran sebagian besar warga di kampung tersebut adalah
cara untuk tetap bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi. Tidak sedilkit
dari warga yang memilih untuk pulang kampung ke daerah asalnya karena
mendapat pemutusan tenaga kerja dari kantor tempatnya bekerja. Tetapi,
ada sedikit warga yang kemudian membuka usaha rumahan guna
mempertahankan hidup di kota Semarang. Sehingga, tata guna lahan yang
ada pada tahun 1997an terlihat munculnya kembali usaha rumahan warga
Fasilitas sosial Hunian
Gambar V.25 Kampung Batik pada fase 3, tahun 1961-1997 Sumber: analisa, 2014
Gudang
110
akibat pemutusan tenaga kerja. Usaha yang ada pada tahun 1997 itu adalah
usaha pembuatan sepatu dan warung makan. Pada fase ini pun mushola-
mushola yang ada di sekitar Kampung Batik disentralkan pada satu tempat
untuk mengurangi biaya perawatan yang cukup mahal. Selain hal-hal yang
telah disebutkan sebelumnya, efek dari krisis ekonomi ini adalah tidak banyak
berubahnya area lahan yang terbangun, karena pada masa tersebut harga
bahan bangunan melambung tinggi. Yang terlihat justru banyak rumah-rumah
dengan keadaan yang buruk, sehingga tidak mampu bertahan dan akhirnya
rubuh tidak dapat dipertahankan.
Dari penjelasan di atas mengenai keadaan pada Kampung Batik di
fase 4, ditemukan perubahan pada tata guna lahan di kampung ini. Analisa
terhadap figure ground urban solid dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Analisa urban void, selalu saling berkaitan dengan urban solid.
Dengan adanya pengurangan pada bagian urban solid, menyebabkan
adanya tambahan urban void pada fase ini. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
pada gambar V.27 di bawah ini.
Urban solid pada fase ini masih didominasi oleh
blok massa bangunan
Gambar V.26 Analisa urban solid di Kampung Batik pada fase 4, tahun 1998-2005 Sumber: analisa, 2014
111
Untuk perubahan titik-titik pada urban place di fase ini, dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan penjelasan mengenai kejadian di Kampung Batik pada
fase 4 serta analisa yang dilakukan pada figure ground dan place, didapatkan
tata guna lahan kampung ini. Berikut merupakan peta tata guna lahan
Kampung Batik pada fase 4, di tahun 1998 sampai 2005.
Ruang serambi, merupakan peralihan area
publik ke area privat yang semakin berkurang
Blok ruang kosong di tengah bangunan
Urban void yang dikategorikan sebagai jalan
raya, difungsikan untuk kepentingan publik
Gambar V.27 Analisa urban void pada fase 4, tahun 1998-2005 Sumber: analisa, 2014
Place terbentuk karena imageability yang ada
pada bangunan yang berada di depannya.
Bangunan yang pada fase tersebut berfungsi
sebagai balai RW. Potensi place terbentuk
juga dikarenakan adanya susunan yang
berbeda pada space di area tersebut, yaitu
ukurannya yang cukup luas.
Place terbentuk akibat identitas jalan tersebut
yang merupakan jalan dengan dimensi paling
lebar di Kampung Batik. Area ini pun
dimanfaatkan oleh warga Kelurahan Rejomulyo
untuk kegiatan upacara kemerdekaan serta
peringatan Pertempuran Lima Hari yang
menjadikan Kampung Batik sebagai saksi
bisunya.
Pembentuk place ini pun masih imageability yang
terbentuk atas bangunan langgar/ mushola yang
terletak di depannya. Selain itu pula, lokasi yang
sering digunakan sebagai tempat berkumpul warga
ini merupakan lokasi pengganti dari ruang terbuka
yang telah dialihfungsikan sebagai permukiman
Gambar V.28 Analisa lokasi place di Kampung Batik pada fase 4, tahun 1998-2005 Sumber: analisa, 2014
112
Kampung Batik tidak mengalami perubahan tata guna lahan yang
berarti sampai pada tahun 2006 di mana dibangkitkannya kampung Batik
menjadi kampung sentra industri batik. Pelatihan kegiatan membatik aktif
dilakukan di kampung Batik dengan peserta mayoritas berasal dari kampung
tersebut. Dengan giatnya pemerintah melakukan pelatihan kepada warga,
akhirnya lambat laun kegiatan industri pembuatan batik di kampung ini mulai
terlihat. Pada fase ini, satu per satu warga mulai membuka workshop serta
showroom di rumah mereka. Pemerintah pun turut andil dalam penataan
kampung ini menjadi kampung cagar budaya yang dijadikan pula sebagai
salah satu tujuan pariwisata kota Semarang.
Sampai saat ini, showroom dan workshop banyak terlihat di
sepanjang jalan Batik Gedong. Jalan ini merupakan lokasi yang dianggap
Hunian +tempat usaha
Fasilitas umum Hunian
Gambar V.29Tata guna lahan pada fase 4 tahun 1998 sampai 2005 Sumber: analisa, 2014
Sumber: analisa, 2014
113
strategis oleh warga untuk dijadikan showroom sekaligus workshop batik. Di
tahun 2014, kurang lebih terdapat delapan showroom yang sudah berdiri di
jalan Batik Gedong. Jalan Batik Gedong menjadi tempat strategis digunakan
sebagai showroom dikarenakan ukuran lahan rumah yang cukup besar bila
dibandingkan dengan ukuran lahan di sebagian besar area di Kampung
Batik. Menurut Bapak Abdul Wahab yang sejak lahir tinggal di Kampung
Batik, beberapa saudagar pemilik toko di jalan M.T Haryono pada era
sebelum kemerdekaan memiliki rumah di Batik Gedong yang menyambung
hingga tokonya di M.T Haryono. Nama jalan Batik Gedong pun menunjukkan
status sosial orang-orang yang bermukim di dalamnya, yaitu gedong yang
berarti orang kaya.
Akibat dari munculnya showroom dan workshop yang ada di
Kampung Batik sejak tahun 2006, kebutuhan akan tambahan ruang dalam
bangunan rumah semakin tinggi. Warga yang mayoritas keadaan
ekonominya cenderung menengah ke bawah tersebut tidak dapat
mengekspansi lahan yang dimiliki. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan
adalah dengan menghilangkan ruang serambi atau teras yang dimiliki untuk
diubah menjadi ruang tambahan dalam rumah. Walaupun hal tersebut tidak
sesuai dengan peraturan pemerintah mengenai KDB dan KLB pada
permukiman padat, pemerintah tidak melakukan tindakan nyata terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian besar warga Kampung Batik.
114
Pada gambar V.30 di bawah ini dapat terlihat bahwa figure ground Kampung
Batik di fase 5 didominasi oleh urban solid.
Seperti fase-fase yang sebelumnya, dengan adanya penambahan
urban solid pada Kampung Batik, pasti akan mengurangi area yang
dikategorikan sebagai urban void. Area yang berkurang tersebut sebagian
besar adalah area ruang serambi atau pekarangan di depan rumah warga.
Ada pula beberapa bagian dari blok kosong di tengah bangunan yang turut
berkurang. Berikut merupakan gambar urban void pada fase 5, di tahun 2006
sampai dengan 2014.
Urban solid pada fase ini mengalami
penambahan pada sisi lahan yang menghadap
jalan. Sebagian besar rumah menghilangkan
teras rumahnya untuk dijadikan ruang dalam
rumah. Semua urban solid masih termasuk
dalam kategori blok massa bangunan.
Gambar V.30 Analisa urban solid pada fase 5, tahun 2006-2014 Sumber: analisa, 2014
Gambar V.31 Analisa urban void pada fase 5, tahun 2006-2014 Sumber: analisa, 2014
Ruang serambi atau pekarangan, merupakan
ruang transisi yang bersifat semi publik.
Urban void ini berkurang sangat banyak bila
dibanding dengan kategori sebelumnya
Blok ruang kosong di tengah bangunan, yang
mulai berkurang keberadannya. Bersifat
privat.
Urban void yang dikategorikan sebagai jalan
raya, difungsikan untuk kepentingan publik
115
Dengan semakin padatnya Kampung Batik, kebutuhan akan ruang-
ruang publik sebagai tempat berinteraksi antar warga pun semakin tinggi.
Akan tetapi perhatian pemerintah mengenai fasilitas-fasilitas sosial yang
diperlukan oleh warga sangat kurang. Sehingga yang muncul adalah ruang-
ruang kosong berupa jalan raya dan area bekas rumah yang dirobohkan
dimanfaatkan warga sebagai ruang bersama untuk bermain atau sekedar
bersosialisasi. Pada gambar di bawah ini terdapat titik yang menjadi place
bagi warga di fase 5.
Gambar V.32 Analisa lokasi place di Kampung Batik pada fase 5, tahun 2006-2014
Place terbentuk karena imageability yang ada
pada bangunan yang berada di depannya.
Bangunan yang pada fase tersebut berfungsi
sebagai balai RW. Potensi place terbentuk
juga dikarenakan adanya susunan yang
berbeda pada space di area tersebut, yaitu
ukurannya yang cukup luas.
Place terbentuk akibat identitas jalan tersebut
yang merupakan jalan dengan dimensi paling
lebar di Kampung Batik. Area ini pun
dimanfaatkan oleh warga Kelurahan Rejomulyo
untuk kegiatan upacara kemerdekaan serta
peringatan Pertempuran Lima Hari yang
menjadikan Kampung Batik sebagai saksi
bisunya.
Pembentuk place ini adalah identitas dan
susunan. Dalam blok massa yang padat di Jalan
Batik Malang ini, terdapat satu ruang terbuka
yang bisa dimanfaatkan warga untuk berkumpul,
berolahraga, maupun bermain. Selain itu, tidak
lebih dari 7 meter dari ruang terbuka ini, terdapat
satu-satunya masjid di Kampung Batik.
Pembentuk place ini adalah identitas dan
susunan. Dalam blok massa yang padat di Jalan
Batik Krajan Baru ini, terdapat satu ruang
terbuka yang merupakan bekas rumah yang
dirubuhkan. Kebutuhan akan ruang terbuka
menyebabkan banyak anak-anak dan warga
yang memanfaatkan area ini untuk kegiatan
yang bersifat publik, seperti bermain dan
berolahraga
116
Berdasarkan penjelasan yang mengenai figure ground dan urban
place di atas, didapatkan peta tata guna lahan Kampung Batik pada fase 5
(lihat gambar V.33)
Menurut pembahasan di atas mengenai tata guna lahan Kampung
Batik, dapat diambil kesimpulan bahwa tipologi perkembangan yang terjadi
pada tata guna lahan tersebut sebagian besar merupakan pada intensitas
jumlah lahan yang berpengaruh pada figure ground dari Kampung Batik.
Intensitas jumlah lahan terbangun di kampung ini semakin bertambah besar
di tiap tahunnya dengan faktor pengaruh yang berbeda. Pada fase pertama,
penyebab terbentuknya figure ground yang seperti itu adalah peraturan
pemerintah Belanda mengenai permukiman. Saat proses perebutan
kekuasaan Indonesia atas Belanda berpindah ke Jepang, peraturan
Gambar V.33 Tata guna lahan pada fase 5, tahun 2006-2014 Sumber: analisa, 2014
Sumber: analisa, 2014
Hunian +tempat usaha
Fasilitas umum Hunian
Gudang
Tempat usaha
117
mengenai permukiman itu tidak diperhatikan oleh warga. Kekacauan politik
terjadi dimana-mana. Sampai pada saat Indonesia merdeka, faktor
perubahan tata guna lahan pun turut berubah. Tidak ada peraturan
pemerintah yang benar-benar mengikat mengenai permukiman. Selain itu,
faktor ekonomi pun menjadi faktor yang juga banyak berpengaruh.
Banyaknya urbanisasi ke kota Semarang pada tahun 1960an karena letak
kampung Batik yang dekat dengan pusat perdagangan menjadikan kampung
Batik sebagai lokasi strategis untuk kamar dan rumah sewa bagi pedagang
atau buruh rantau, secara tidak langsung mengubah pola tatanan rumah milik
warga. Mulai dari fase 3 tersebut, hubungan antar warga hanya sebatas
interaksi sosial, karena sebagian besar warga tidak memiliki hubungan
kekerabatan. Setelah itu pada tahun 2006, yang mana Kampung Batik telah
menjadi kampung wisata industri yang tersohor di Semarang, sehingga
menjadikan warganya untuk lebih mendayagunakan rumah dan lahannya
untuk mengembangkan industri batik. Pada fase ini, terdapat pula hubungan
kohesi antar warga, dimana adanya hubungan yang terjalin akibat adanya
kegiatan industri di kampung tersebut. Hubungan tersebut salah satunya
adalah hubungan antara pemilik usaha dengan pekerja.
Berdasarkan penjelasan mengenai analisa tata guna lahan, didapat
perubahan yang terjadi pada lahan milik warga. Berikut merupakan salah
satu rumah hasil pengamatan di lapangan yang mengalami perubahan pada
tata guna lahannya di tiap fase.
118
Gambar V.34 Hasil amatan lapangan tata guna lahan pada salah satu rumah di Kampung Batik Sumber: analisa, 2014
Dari keseluruhan wilayah yang termasuk dalam area Kampung Batik,
terdapat satu bagian wilayah yang telihat perubahan tata guna lahannya.
Area tersebut adalah area ruas jalan Batik Gedong. Batik gedong berada di
sisi sebelah barat Jalan M.T Haryono, merupakan akses penghubung antara
area luar dan area dalam kampung. Pada gambar V.35, terlihat perubahan
area ruas jalan Batik Gedong pada tiap fase waktunya.
119
Gambar V.35 Perubahan tata guna lahan Batik Gedong Sumber: analisa, 2014
keyplan
Hunian +tempat usaha Tempat usaha
Gudang
Fasilitas umum
Hunian
120
5.3.2 Street Plan
Kampung Batik kampung yang berada di tengah kota dengan
kepadatan yang sangat merupakan tinggi. Berdasarkan jenisnya, kampung
batik sendiri termasuk dalam unplanned settlement. Permukiman ini terbentuk
secara alami tanpa perencanaan. Pada awal pembentukannya, biasanya
permukiman seperti ini melakukan penyesuaian terhadap sesuatu yang
menjadi patokan utama. Dalam kasus ini, yang menjadi patokan adalah jalan
besar yang mengapit kampung, dapat dilihat pada gambar 35.Sampai pada
tahun 1920an awal di mana adanya program dari pemerintah saat itu yang
dipimpin oleh Belanda, yaitu perbaikan kampung. Perbaikan ini mencakup
tata guna lahan beserta jaringan jalannya. Akan tetapi, perbaikan tersebut
tetap mengikuti keadaan permukiman yang telah ada sebelumnya. Jaringan
jalan yang terbentuk tidak dapat diubah begitu saja. Hanya penataan ulang
dimensi jalan yang diperbaiki. Saat ini, dua jalan yang mengapit Kampung
Batik itu bernama Jalan MT Haryono yang merupakan jalan kolektor
sekunder dan Jalan Widoharjo yang merupakan jalan arteri sekunder (lihat
gambar V.36).
121
Gambar V.36 Jalan raya yang mengapit Kampung Batik Sumber: analisa, 2014
Dari gambar di atas terlihat, jaringan jalan lingkungan yang ada di
Kampung Batik memiliki alur sejajar dan tegak lurus mengikuti arah jalan
utama di bagian timur dan baratnya. Selain itu pula, jaringan jalan lingkungan
tersebut juga terbentuk karena penyesuaian terhadap kapling-kapling rumah
milik penduduk. Secara garis besar, skema jaringan jalan yang ada di
Kampung Batik terlihat seperti gambar V.37 yang ada di bawah ini.
Gambar V.37. Skema jaringan jalan di Kampung Batik Sumber: analisa, 2014
Jalan di lingkungan Kampung Batik
Jalan MT. Haryono dan Jalan
Widoharjo
122
Jaringan jalan merupakan penyokong terjadinya pergerakan dari arah
dalam menuju luar maupun sebaliknya, begitu pula yg terjadi pada Kampung
Batik. Pada kampung ini, jaringan jalan sudah mulai terbentuk sejak masa
dahulu di tahun 1800an ketika Kyai Pandan Arang meletakkan pusat
perdagangan di sekitaran Bubakan. Menurut analisa, terbentuknya jaringan
jalan ini berdasarkan konflik sosial. Teori konflik dari Coser (1956)
mengatakan bahwa manusia selalu memiliki dua sisi, kerjasama dan konflik.
Pada kampung ini sangat mungkin terjadi kasus seperti ini yang mana
diakibatkan oleh konflik sosial antar pemilik lahan dan akhirnya solusi dari hal
tersebut adalah melakukan kompromi terhadapnya. Adanya kebutuhan
pribadi dari masing-masing pemilik rumah untuk memiliki semi publik space
serta akses menuju rumah, sehingga muncullah teras rumah yang juga
akhirnya lambat laun membentuk sebagai jalan.
Secara garis besar, yang terlihat pada jaringan jalan di Kampung
Batik ada pada gambar V.37 di atas. Akan tetapi, kenyataannya yang ada
adalah ruas-ruas jalan yang menghubungkan area di kampung ini berbelok-
belok. Hal ini juga merupakan penyesuaian terhadap bangunan serta lahan
yang sudah ada terlebih dahulu. Ada pula ruas jalan yang terbentuk akibat
kebutuhan akan aksesibilitas menuju suatu tempat yang dianggap penting di
kampung ini.
Sistem pola jaringan jalan yang terbentuk di Kampung Batik ini
adalah pola grid. Pola grid ini terlihat karena jalan-jalan yang terbentuk
123
memanjang arah horizontal dan vertikal dan menghasilkan pola geometri
yang teratur. Gambar di bawah ini menunjukkan sistem pola jaringan jalan di
Kampung Batik
Gambar V.38 Sistem pola grid pada jaringan jalan di Kampung Batik
Sumber: analisa, 2014
Dari sistem pola jaringan jalan yang telah dianalisa, dapat pula dilihat
linkage visual yang ada pada Kampung Batik ini. Kampung Batik yang
didominasi oleh bangunan permukiman yang saling berhadapan membentuk
suatu visual khusus dan membentuk sebuah ruang di dalamnya. Ruang
tersebut merupakan salah satu elemen dari linkage visual. Gambar V.38 di
bawah ini merupakan ilustrasi dari koridor yang ada di Kampung Batik, yang
merupakan salah satu elemen linkage visual
124
Gambar V.39 Ilustrasi koridor sebagai elemen visual linkage pada Kampung Batik
Sumber: analisa, 2014
Pada fase 1 di tahun sebelum 1945, jaringan jalan sudah terbentuk
dengan pola yang tidak jauh berbeda sampai masa kini. Hal ini diperkuat
dengan adanya peta yang tercetak tahun 1945 yang digunakan oleh pasukan
militer Belanda untuk melakukan pertahanan-pertahanan di setiap titik di kota
Semarang. Pada gambar V.40 di bawah ini terlihat jaringan jalan yang ada di
Kampung Batik pada masa itu.
Gambar V.40 Jaringan jalan di Kampung Batik pada tahun 1945 Sumber: media.kitlv.nl (diakses 15 Maret 2014)
Lokasi Kampung
Batik
125
Pada masa sebelum kemerdekaan, ada aturan dari pemerintah
Belanda yang menyebutkan bahwa satu meter di belakang bahu jalan
merupakan tanah milik lingkungan. Sehingga dimensi jalan bisa menjadi lebih
lebar dari yang sesungguhnya. Ilustrasi dimensi jalan yang ada pada fase 1,
antara tahun 1930 sampai tahun 1945 tersebut dapat dilihat pada gambar
V.40
Gambar V.41 Ilustrasi dimensi jalan Batik Gedong pada fase 1, tahun 1930-1945
Sumber: analisa, 2014
Pada masa itu pun masih banyak terdapat selokan yang tidak ditutup
serta terdapat pula saluran drainase yang terhitung cukup lebar yang
FASE 1
(1930-1945)
Saluran drainase
Hunian
126
melewati Kampung Batik ini. Lokasi saluran drainase pada masa sebelum
kemerdekaan tersebut dapat dilihat pada gambar V.42.
Gambar V.42 Lokasi saluran drainase yang berada pada Kampung Batik pada fase 1, tahun 1930-1945
Sumber: analisa, 2014
Dari pembahasan mengenai jaringan jalan pada fase 1, tahun 1930
sampai 1945, serta pembahasan tata guna lahan pada sub bab 5.3.1, dapat
dilihat bahwa jaringan jalan yang ada pada masa itu terbentuk akibat aktivitas
yang ada di dalamnya. Fasilitas sosial sangat berpengaruh pada kategori
jenis jalan yang ada di Kampung Batik ini. Fasilitas sosial yang banyak
digunakan oleh warga menjadikan kategori jalan menjadi jalan lingkungan
utama. Hal tersebut dikarenakan lalu lintas yang padat pada ruas jalannya.
Sehingga kebutuhan akan dimensi jalan yang lebar pun tinggi. Pemerintah
pun melihat adanya kebutuhan tersebut. Sampai pada akhirnya melakukan
Saluran drainase
Hunian
127
peraturan seperti yang sudah dijelaskan pada gambar V.41 di atas. Berikut
adalah klasifikasi jaringan jalan menurut Perda Kota Semarang Nomor 6
Tahun 2004 berikut dengan gambar peta jaringan jalan yang ada pada fase 1
di Kampung Batik menurut Perda Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2004.
Jalan Batik : jalan lokal sekunder (jalan lingkungan utama)
Jalan Batik Gedong : jalan lingkungan primer (jalan lingkungan
utama)
Jalan Batik Umbul : jalan lingkungan primer (jalan lingkungan
utama)
Jalan Batik Krajan : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Tengah : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Malang : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Gayam : jalan lingkungan sekunder
128
Gambar V.43 Jaringan Jalan pada fase 1 di tahun 1930-1945
Sumber: analisa, 2014
Pada fase 2, sungai kecil yang merupakan saluran drainase yang
memanjang dari utara ke selatan dan berada di tengah jalan lingkungan itu
diberi penutup oleh pemerintah Belanda di akhir penguasaannya di
Indonesia. Sampai pada akhirnya pasca perebutan kekuasaan Belanda dan
Jepang yang meyebabkan Kampung Batik terbakar, sungai yang memanjang
dari timur menuju barat pun turut diberi penutup (lihat pada gambar V.44).
Hal ini merupakan inisiatif warga yang membutuhkan lahan untuk dijadikan
permukiman yang terletak di sebelah selatan sungai seperti yang sudah
dijelaskan pada sub bab 5.3.1.
Jalan lingkungan
Jalan lingkungan utama
Saluran drainase Hunian
Fasilitas sosial
129
Gambar V.44 Jalan lingkungan yang dahulu merupakan saluran drainase
Sumber: maps.google.com (diakses tanggal 10 Maret 2014), analisa, dan dokumentasi pribadi, 2014
Dari pembahasan mengenai jaringan jalan pada fase 2, tahun 1945
sampai 1960, serta pembahasan tata guna lahan pada sub bab 5.3.1, dapat
dilihat bahwa jaringan jalan yang ada pada masa itu terbentuk akibat aktivitas
yang ada di dalamnya. Fasilitas sosial masih berpengaruh pada kategori jenis
jalan yang ada di Kampung Batik ini, seperti yang sudah terjadi pada fase 1.
Fasilitas sosial yang banyak digunakan oleh warga menjadikan kategori jalan
menjadi jalan lingkungan utama. Peraturan pemerintah Belanda mengenai
penataan jaringan jalan masih dijalankan oleh warga, karena memang belum
ada peraturan resmi yang mengubah peraturan yang sudah ada sebelumnya.
FASE 1
Saluran drainase
Hunian
130
Berikut adalah klasifikasi jaringan jalan menurut Perda Kota Semarang
Nomor 6 Tahun 2004, beserta peta pada fase 2 di Kampung Batik.
Jalan Batik : jalan lokal sekunder (jalan lingkungan utama)
Jalan Batik Gedong : jalan lingkungan primer (jalan lingkungan
utama)
Jalan Batik Umbul : jalan lingkungan primer (jalan lingkungan
utama)
Jalan Batik Krajan : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Krajan Baru : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Tengah : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Malang : jalan lingkungan primer(jalan lingkungan utama)
Jalan Batik Gayam : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Kubursari : jalan lingkungan sekunder
131
Gambar V.45 Jaringan Jalan pada fase 2 di tahun 1946-1960 Sumber: analisa, 2014
Seiring berjalannya waktu, beberapa puluh tahun peninggalan
pemerintahan Belanda, peraturan yang ada sudah mulai tidak dipatuhi oleh
masyarakat setempat. Sekitar tahun 1960, peraturan mengenai pengurangan
lahan milik warga untuk bahu jalan sudah mulai dilupakan. Banyak
masyarakat yang memajukan terasnya sampai berhimpit dengan selokan
(lihat pada gambar V.46)
Selain di jalan Batik Gedong, ada rumah-rumah di beberapa ruas
jalan yang juga memaksimalkan lahannya sampai batas yang paling luar,
seperti jalan Batik Krajan dan Batik Tengah. Lebar jalan eksisting pada dua
jalan tersebut adalah kurang lebih 1,5 meter. Padahal sebelumnya lebar dari
Jalan lingkungan
Jalan lingkungan utama
Hunian
Fasilitas sosial
132
kedua ruas jalan tersebut sekitar 2 – 2,5 meter atau dapat dilewati oleh becak
yang bersimpangan (lihat gambar V.45). Pada masa itu, becak masih
menjadi sarana transportasi utama di Kampung Batik ini.
Gambar V.46 Ilustrasi dimensi jalan Batik Krajan pada fase 1 sampai 2, di tahun 1930-1960 serta fase 3 sampai 5, di tahun 1961-2014
Sumber: analisa, 2014
Selain dua ruas jalan yang disebutkan di atas, penyempitan jalan
tersebut juga terjadi pada jalan Gedong di bagian barat yang pada fase 1
dan 2 di tahun 1930 sampai 1960 memiliki sebuah fasilitas sosial berupa WC
umum yang kemudian di fase berikutnya beralih fungsi menjadi balai
kelurahan. Perubahan fungsi tersebut dari yang fasilitas sosial yang rutin
Fase 1 dan 2,
1930 - 1960
Fase 3-5. 1961-2014
Peta fase 5
2006-2014 Peta fase 5
2006-2014
133
digunakan warga setiap hari, menjadi fasilitas sosial yang jarang digunakan
setiap hari. Warga menganggap bahwa dimensi jalan yang lebar tidak lagi
diperlukan pada area ini. Sehingga selain akibat dari kebutuhan ruang yang
tinggi, hal itu pula yang juga menyebabkan warga memaksimalkan lahannya
sampai bagian yang terluar. Akibat dari hal tersebut, ruas jalan yang semula
merupakan jalur lingkungan utama, mengalami perubahan kategori menjadi
jalan lingkungan.
Pada fase 3 ini merupakan fase dimana terjadinya perluasan pada
area Kampung Batik. Adanya peraturan baru dari pemerintah Indonesia untuk
tidak lagi menggunakan nama jalan pemberian Belanda, menjadikan jalan
Widoharjo yang awalnya merupakan nama jalan lingkungan di Kampung
Widoharjo, jadi difungsikan untuk jalan arteri sekunder yang berada di
sebelah barat kampung. Sebelumnya nama jalan tersebut adalah jalan Nibuw
Holland. Dan kemudian jalan yang ada pada Kampung Widoharjo berubah
menjadi jalan Batik Widoharjo. Penamaan jalan tersebut bersamaan dengan
masuknya Kampung Widoharjo ke wilayah Kampung Batik. Berikut
merupakan klasifikasi jalan pada Kampung Batik di fase 3 menurut Perda
Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2004.
Jalan Batik : jalan lokal sekunder (jalan lingkungan
utama)
Jalan Batik Gedong : jalan lingkungan primer (jalan lingkungan
utama)
134
Jalan Batik Krajan Baru : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Krajan : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Tengah : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Malang : jalan lingkungan primer (jalan
lingkungan utama)
Jalan Batik Widoharjo (barat) : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Widoharjo (timur) : jalan lingkungan primer (jalan lingkungan
utama)
Jalan Batik Gayam : jalan lingkungan sekunder
Jalan Batik Kubursari : jalan lingkungan sekunder
Pada gambar V.47 di bawah ini, dapat dilihat jaringan jalan pada fase
tiga, di tahun 1960-1997.
Gambar V.47 Jaringan jalan pada fase 3 di tahun 1961-1997 Sumber: analisa, 2014
Hunian Jalan lingkungan
Jalan lingkungan utama Fasilitas sosial
135
Untuk fase 4 dan fase 5 (tahun 1998-2014), tidak ada perubahan
yang terjadi pada kategori jenis jalan dan polanya. Perubahan pola jalan yang
terjadi pada kampung ini adalah dimensi lebar jalan yang mengalami
pengurangan. Hal ini terjadi dikarenakan kebutuhan akan lahan untuk
bangunan rumah tinggal sangat tinggi serta faktor dari lokasi fasilitas di
Kampung Batik yang rutin digunakan warga. Pada gambar di bawah ini
disajikan peta jaringan jalan pada fase 4 dan fase 5, tahun 1998-2014.
Gambar V.48 Jaringan jalan pada fase 4 di tahun 1998-2005 dan fase 5 di tahun 2006-2014
Sumber: analisa, 2014
Memang sebagian besar jalan lingkungan yang terdapat pada
kampung ini memiliki lebar kurang lebih 2 meter. Hanya jalan Batik Gedong
yang memiliki akses langsung ke jalan M.T Haryono dan jalan Batik Malang
yang merupakan akses menuju masjid serta lapangan yang memiliki lebar
jalan sekitar 5,5 meter. Selain itu, terdapat pula ruas jalan yang memiliki lebar
jalan sekitar 3 meter, yaitu jalan Batik Widoharjo dan jalan Batik Kubursari
FASE 4 (1998-2005)
FASE 5 (2006-2014)
Hunian Jalan lingkungan
Jalan lingkungan utama Fasilitas sosial
136
yang merupakan akses langsung menuju jalan Widoharjo yang berada di
sebelah timur jalan tersebut. Oleh karenanya, alat transportasi yang dapat
melintas pada sebagian besar ruas jalan di Kampung Batik adalah kendaraan
berdimensi kecil beroda dua dan tiga. Perubahan yang terjadi pada dimensi
jalan di tiap fase waktunya pun tidak mengubah alat transportasi yang dapat
melewati ruas jalan yang ada di Kampung Batik.
Pada gambar V.49 dan gambar V.50 di bawah ini, dapat dilihat
perbandingan alur sirkulasi yang umumnya dilakukan oleh warga Kampung
Batik dalam kesehariannya sejak tahun 1930an di fase 1 sampai dengan
tahun 2014 di fase 5.
137
Gambar V.49 Perbandingan alur sirkulasi kendaraan roda empat di Kampung Batik pada fase 1 dan fase 5 Sumber: analisa, 2014
FASE 5,
2006-2014
FASE 1,
1930-1945
Hunian
Alur sirkulasi
138
Gambar V.50 Perbandingan alur sirkulasi kendaraan roda dua dan roda tiga di Kampung Batik pada fase 1 dan fase 5 Sumber: analis, 2014
Peta fase 5,
2006-sekarang
Peta fase 1,
1930-1945
Hunian
Alur sirkulasi
139
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa tipologi perkembangan yang
terjadi pada jaringan jalan di Kampung Batik ini sangat terpengaruh oleh
faktor sosial. Dibalik itu, terdapat peraturan pemerintah yang ketat di awal-
awal fase. Sehingga ruas jalan terbentuk dan tertata rapi akibat dari
peraturan pemerintah pada masa pemerintahan Belanda tersebut. Setelah
kepemerintahan Belanda digantikan oleh Indonesia, peraturan-peraturan
yang masih ada tersebut tidak terlalu diperhatikan. Hal ini karena kurang
pedulinya pemerintah terhadap permukiman di kampung kota. Kemudian
ditambah adanya faktor sosial yang menjadi pencetus adanya jaringan jalan
di kampung ini di masa-masa berikutnya, yaitu jalan Krajan Baru dan jalan
Kubur Sari. Kebutuhan akan akses menuju area di luar kampung untuk
berinteraksi yang menghasilkan ruas jalan baru tersebut. Akan tetapi,
terdapat pula faktor ekonomi dalam perubahan jaringan jalan di kampung ini.
Kebutuhan akan lahan yang tinggi, tetapi tidak didukung oleh keadaan
finansial yang baik, menyebabkan warga untuk mengekspansi batas lahan
rumah melalui cara mengurangi jarak garis sepadan bangunan dengan bahu
jalan lingkungan tempat tinggalnya.
5.3.3 Architectural Style
Untuk mengetahui gaya rumah Kampung Batik yang asli memang
tidak mudah. Selain melakukan penelitian pada lokasi, yang sudah mulai
140
jarang terdapat rumah yang terbangun sejak masa dulu, pelacakan juga
dapat dilakukan dengan melakukan investigasi pada daerah-daerah yang
diduga memiliki kemiripan keadaan lingkungan dan warga yang menghuni,
salah satunya adalah kampung Senjoyo yang terletak di sebelah selatan
Kampung Batik. Kampung Senjoyo menjadi salah satu kampung yang
memiliki kemiripan dengan Kampung Batik karena kampung ini merupakan
kampung yang turut mendapat fasilitas perbaikan kampung oleh Pemerintah
Belanda di awal tahun 1920 (Locomotief,1930). Berikut adalah foto rumah
jaman dahulu yang masih tertinggal di Kampung Senjoyo, Jalan Dr. Cipto,
Gambar V.51 Rumah peninggalan jaman dulu di kampung Senjoyo Sumber: Remah-Remah Kisah Semarang, Rukardi (2012)
Menurut pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian, gaya
arsitektural bangunan di Kampung Batik pada masa sebelum kemerdekaan
mayoritas adalah gaya rumah jawa kampung. Rumah kampung dengan
dinding papan dan anyaman bambu dan atap joglo. Pada masa itu, rumah-
rumah tersebut memiliki halaman yang cukup luas untuk difungsikan sebagai
141
area bermain anak-anak. Untuk mengetahui jenis rumah yang ada di
Kampung Batik di fase 1 tahun 1930-1945, dapat dilihat pada gambar V.52 di
bawah ini.
Gambar V.52 Beberapa rumah yang tersisa dari masa fase 1, tahun 1930 sampai 1945 Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Pada tahun 1920an telah dilakukan program perbaikan kampung oleh
pemerintah pada masanya. Area di Kampung Batik yang semua tidak teratur
mulai diperbaiki, meliputi arah hadap bangunan, penghawaan dan
pencahayaan dalam rumah, serta ruang serambi pada rumah. Sehingga,
sejak masa tersebut, arah hadap bangunan pada Kampung Batik mengarah
ke jalan lingkungan.
Gambar V.53 Arah hadap bangunan di Kampung Batik Sumber: analisa, 2014
142
Rumah di kampung ini memang didominasi oleh papan kayu maupun
bambu. Rumah dengan dinding bata hanya dimiliki oleh kaum dengan
kemampuan ekonomi yang tinggi. Sedangkan kampung batik ini, sangat kecil
keberadaan kaum dengan kemampuan ekonomi tersebut. Hal tersebut pula
lah yang menyebabkan tidak adanya rumah yang terselamatkan saat terjadi
kebakaran pada tahun 1942 dan 1945 yang disebabkan oleh pihak Jepang
dan Belanda. Rumah-rumah di ludes terbakar dan hanya menyisakan satu
rumah yang terletak di Jalan Batik Gedong nomor 422. Walaupun ludes
terbakar, pembangunan kembali yang dilakukan oleh warga setempat masih
memanfaatkan puing-puing bekas kebakaran. Mereka membangun kembali
rumah mereka dengan gaya yang sama. Masih dengan dua daun pintu kayu
disertai dengan dengan jendela tinggi di sisi kanan kirinya, serta model atap
yang sama. Hanya saja warga sudah mulai menggunakan bata sebagai
dinding di bagian bawah menyatu dengan pondasi. Dinding yang terbangun
pada awal tahun 1950an ini merupakan gabungan dari bata di bagian bawah
dan papan kayu atau bambu di bagian atasnya. Pada gambar V.54 di bawah
ini dapat dilihat tipologi rumah yang ada di Kampung Batik sesuai dengan
yang sudah dideskripsikan sebelumnya.
143
Gambar V.54 Tipologi rumah di Kampung Batik pada fase 1 dan 2
Sumber: analisa, 2014
Dengan tipologi bentuk bangunan yang tidak jauh berbeda, zonasi
ruang yang ada pada rumah-rumah Kampung Batik di kedua fase tersebut
juga serupa. Berikut merupakan zonasi ruang dalam rumah di Kampung Batik
pada fase 1 sampai fase 2, di tahun 1930 sampai 1960
Gambar V.55 Zonasi ruang dalam rumah di Kampung Batik pada fase 1 dan 2 Sumber: analisa, 2014
Pada tahun-tahun berikutnya, dengan beralihnya pemilik lahan dan
rumah di Kampung Batik ini, terjadi pula perubahan pada gaya bangunannya.
Fase 1
1930-1945
Fase 2
1946-1960
jalan lingkungan
144
Dengan adanya pendatang dari etnis Tionghoa, mulailah penggunaan
dinding bata penuh pada bangunan di kampung ini.
Gambar V.56 Beberapa rumah etnis Tionghoa yang tersisa di Kampung Batik
Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Pada gambar V.55 di atas dapat dilihat gaya khas rumah tionghoa
yang cenderung tertutup, memiliki dinding dan pagar yang tinggi, turut
menambah keberagaman gaya fasad bangunan yang ada.
Sedangkan untuk rumah pribumi yang ada saat itu, sudah mulai
meninggalkan pintu jenis kupu tarung yang memiliki dua pintu yang
berukuran kecil. Rumah-rumah tersebut beralih menggunakan pintu tunggal
dengan dimensi yang lebih lebar. Ditambah lagi dengan elemen-elemen
geometris pada ornamen rumahnya, seperti pada lubang ventilasi dan
tritisannya. Rumah-rumah pada masa itu dapat dikategorikan sebagai rumah
dengan gaya art deco (Weber, 1985). Gambar V.56 di bawah ini
145
menunjukkan gaya art deco yang turut andil dalam tampilan fasad yang ada
di Kampung Batik ini.
Gambar V.57 Beberapa rumah bergaya art deco yang tersisa dari fase 3 di Kampung Batik Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Dari rumah-rumah yang dikategorikan bergaya art deco tersebut,
didapatkan suatu tipologi rumah pada fase tahun 1960an pada Kampung
Batik. Tipologi rumah di kampung tersebut pada fase 3 (1961-1997) ada pada
gambar V.58.
Gambar V.58 Tipologi rumah di Kampung Batik pada fase 3 Sumber: analisa, 2014
Fase 3
1961-1997
146
Berdasarkan tipologi rumah yang telah dianalisa sebelumnya, muncul
pula zonasi ruang dalam rumah pada fase 3 ini. Berikut merupakan zonasi
ruang dalam rumah di Kampung Batik pada tahun 1960an sampai 1990an
Gambar V.59 Zonasi ruang dalam rumah di Kampung Batik pada fase 3, tahun 1960-1997 Sumber: analisa, 2014
Gaya arsitektur art deco bertahan cukup lama di Kampung Batik.
Sampai pada tahun 1990an, perubahan gaya mulai terjadi lagi. Perubahan
tersebut mengarah ke gaya arsitektur yang lebih modern. Gaya bebas yang
tidak memiliki langgam tertentu. Yang jelas terlihat pada perubahan di masa
ini adalah ekspansi bangunan rumah yang dilakukan oleh warga. Sebagian
besar warga merasa memerlukan tambahan ruang pada rumahnya, sehingga
mengubah teras rumah menjadi ruang tamu maupun kamar tidur. Sebagian
besar warga hanya menyisakan antara 0,5 sampai 2 meter lahan yang
digunakan sebagai teras. Teras yang dahulunya tidak memiliki naungan pun
pada masa ini diberi tambahan berupa penutup atap. Pada gambar V.60 di
jalan lingkungan
147
bawah ini terlihat rumah-rumah yang ada pada fase 4, pada tahun 1990an
akhir sampai tahun 2000.
Gambar V.60 Beberapa rumah yang tersisa dari fase 4 (1997-2005) di Kampung Batik
Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Dari gambar tersebut di atas, didapatlah tipologi gaya rumah pada
fase 4. Berikut merupakan tipologi rumah di Kampung Batik pada tahun 1997
hingga 2005.
Gambar V.61 Tipologi rumah di Kampung Batik pada fase 4 Sumber: analisa, 2014
Pada fase 4 di atas, sudah mulai terlihat kebutuhan akan ruang di
dalam rumah yang semakin meningkat. Hal ini berkaitan dengan jumlah
penghuni di tiap rumah di Kampung ini yang juga semakin bertambah. Fungsi
Fase 4
1997-2005
148
rumah tinggal di kampung ini sebagian besar murni hanya digunakan sebagai
tempat tinggal. Berikut zonasi ruang dalam rumah tinggal di Kampung Batik
pada fase 4.
Gambar V.62 Zonasi ruang dalam rumah di Kampung Batik pada fase 4, tahun 1998-2005 Sumber: analisa, 2014
Sampai pada tahun 2006, dimana batik khas kota Semarang kembali
diprakarsai di Kampung Batik ini. Terdapat beberapa warga yang melihat
peluang usaha yang bagus dari industri batik tersebut, sehingga
memanfaatkan rumah tinggalnya untuk kegiatan usaha. Dengan ukuran
rumah yang tergolong kecil, warga yang memiliki usaha batik terpaksa
menyekat rumahnya dan mengalihfungsikan sebagai area usaha. Pada
gambar V.62 di bawah ini terlihat beberapa rumah yang memanfaatkan
rumahnya untuk kegiatan usaha, terutama industri batik rumahan.
jalan lingkungan
149
Gambar V.63 Beberapa rumah dengan fungsi tambahan sebagai tempat usaha pada fase 5 (2006-2014) di Kampung Batik
Sumber: dokumentasi pribadi, 2014
Dari gambar tersebut di atas, didapatlah tipologi gaya rumah pada
fase 5. Berikut merupakan tipologi rumah di Kampung Batik pada tahun 2006
hingga 2014.
Gambar V.64 Tipologi rumah di Kampung Batik pada fase 5
Sumber: analisa, 2014
Dan berdasarkan tipologi bangunan serta analisa, didapatkan zonasi
ruang dalam Kampung Batik di fase 5.
Fase 5
2006-2014
150
Gambar V.65 Zonasi ruang dalam rumah di Kampung Batik pada fase 4, tahun 1998-2005 Sumber: analisa, 2014
Berdasarkan pengamatan langsung yang telah dilakukan di lapangan
dan berdasarkan pada tipologi dasar rumah di Kampung Batik yang telah
dijelaskan di atas, akhirnya ditemukan gaya arsitektural pada masing-masing
rumah di Kampung Batik pada tahun 2014 ini. Berikut adalah sebaran tipologi
rumah di Kampung Batik.
Gambar V.66 Pemetaan tipe rumah di Kampung Batik berdasarkan fase waktu yang telah ditentukan
Sumber: analisa, 2014
jalan lingkungan
= tipe rumah fase 1
dan 2 = tipe rumah fase 3
= tipe rumah fase 4
= tipe rumah fase 5
151
5.4 Kesimpulan Pembahasan dan Analisa
Dari hasil analisa pada sub bab 5.1 sampai 5.3, didapatkan
kesimpulan dan temuan-temuan yang dijelaskan pada tabel V.1 di bawah ini:
152
Tabel V.1 Kesimpulan Analisa dan Pembahasan
Dasar Teori Data Analisa Penemuan
Tata guna lahan
- Teori Figure ground (Trancik, 1986) Terdiri dari 2 elemen,
urban solid dan urban
void
- Teori Place (Lynch, 1960) memiliki empat elemen pembentuk, identitas dan susunan, imageability, legibility, visual and symbol connection.
• Figure ground pada Kampung Batik didominasi oleh urban solid yang berupa blok massa bangunan
• Urban void pada Kampung Batik terdiri dari tiga kategori, yaitu jalan dan lapangan, ruang serambi atau pekarangan, dan inner block atau ruang terbuka di dalam bangunan
• Urban void yang ada didominasi oleh jalan dan lapangan
• Place yang ada di Kampung Batik ada yang terbentuk atas dasar identitas dan susunan, ada pula yang terbentuk berdasarkan imageability.
• Sebagian urban void yang berupa jalan dan lapangan dimanfaatkan warga sebagai ruang berinteraksi, sehingga dikategorikan sebagai place
• Semakin menurunnya jumlah urban void yang berupa ruang serambi atau pekarangan, menyebabkan place berada pada tempat yang bukan seharusnya dijadikan area berinteraksi
• Urban solid yang ada membentuk satu pola geometris yang berulang dan menghasilkan bentuk grid.
Jaringan jalan
- Teori pola jaringan jalan (Yunus, 2000) Terdapat enam tipe
jaringan jalan yaitu grid,
radial kosentris, angular,
organis, aksial, dan kurva
linier
• Pola jaringan jalan yang terbentuk adalah pola grid
• Di Kampung Batik terdapat dua kategori jalan, yaitu jalan lingkungan primer dan lingkungan sekunder. Ditambah satu ruas jalan lokal sekunder, yang merupakan jalan utama menuju area luar Kampung
• Linkage yang muncul pada
• Pola grid terbentuk mengikuti pola jalan besar yang mengapit Kampung Batik serta urban solid yang membentuk blok-blok massa dengan bentuk geometris.
• Terbentuknya kategori jaringan jalan tersebut disebabkan oleh intensitas penggunaan ruas jalan oleh warga serta letak fasilitas sosial
153
- Teori kategori jaringan jalan (Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2004) menurut dimensi, sifat, dan fungsi
- Teori linkage (Trancik, 1986) Linkage visual, struktural,
dan kolektif
Kampung Batik ini merupakan linkage visual dengan kategori koridor
• Linkage visual koridor terbentuk karena adanya susunan rumah-rumah yang saling berhadapan dan membentuk ruang di tengahnya.
Gaya arsitektural
(Carmona, 2003)
- Fasad bangunan - Tipologi gaya bangunan - Arah hadap bangunan
• Tidak ada keseragaman fasad bangunan pada tahun penelitian dilakukan
• Tipologi bangunan tiap fase didapat dengan pengamatan terhadap bangunan-bangunan yang tersisa saat penelitian dilakukan.
• Arah hadap bangunan semua mengarah menuju jalan lingkungan
• Keseragaman fasad bangunan pada fase 1 terjadi akibat adanya program perbaikan kampung oleh pemerintah
• Pada fase-fase berikutnya, fasad terlihat serupa di tiap-tiap rumahnya hanya karena adanya faktor sosial. Adanya pengaruh antar warga untuk memiliki fasad bangunan yang sedang populer pada masanya. Serta faktor ekonomi yang memaksa adanya perubahan fasad karena kebutuhan ruang yang bertambah
• Arah hadap bangunan yang mengarah menuju jalan lingkungan merupakan salah satu hasil dari program perbaikan kampung pada fase 1
154
Dasar Teori Data Analisa Penemuan
Kampung Kota
(Setiawan, 2010) memiliki
ciri yaitu: tidak teratur, tidak
aman, tidak nyaman, pola
cenderung organis,
swadaya masyarakat tinggi
• Rumah-rumah di Kampung Batik memiliki tapak serta bangunan yang beragam
• Fasilitas sosial yang tidak mencukupi menjadikan warga untuk memanfaatkan area-area kosong untuk dijadikan fasilitas sosial
• Banyak kegiatan-kegiatan di Kampung Batik yang diinisiasi oleh warga dan dilaksanakan oleh warga, seperti kerja bakti, meninggikan jalan lingkungan, dan pengajian.
• Pola permukiman tidak berbentuk organis, melainkan berbentuk grid
• Fasilitas yang ada di Kampung Batik pada saat dilakukan penelitian ini tidak memenuhi standar yang ditentukan pemerintah, seperti tidak adanya lapangan untuk umum.
• Pola grid yang muncul juga terbentuk secara natural, mengikuti pola dari jalan besar yang berbatasan langsung dengan Kampung Batik
Permukiman produktif
(Osman, 2012)
Memiliki ciri yaitu: tata
kelola ruang tidak jelas,
dilakukan di rumah atau
sekitar rumah, dilakukan di
open space atau di dalam
ruang semi permanen,
kegiatan tidak terdaftar
• Kegiatan membatik biasa dilakukan di teras yang terletak di depan rumah
• Sebagian besar pegawai batik merupakan tetangga maupun saudara dari pemilik usaha
• Kegiatan tersebut sudah didaftarkan ke dinas perindustrian kota Semarang
• Akibat keterbatasan lahan, kegiatan produksi dilakukan di bagian depan rumah, sekaligus untuk menarik minat pengunjung untuk berkunjung.
• Industri batik rumahan tersebut sudah terdaftar pada dinas perindustrian kota Semarang karena kegiatan pencanangan industri batik Semarang tersebut pada mulanya memang diprakarsai oleh pemerintah.
155
resmi di pemerintah
Sumber: analisa, 2014
156