bab v analisis hasil penelitiandigilib.uinsby.ac.id/710/8/bab 5.pdfanalisis hasil penelitian bab ini...
TRANSCRIPT
269
BAB V
ANALISIS HASIL PENELITIAN
Bab ini menganalisis dan membahas empat hal pokok yakni menyangkut: 1)
karakteristik vokasional dan nilai, 2) internalisasi nilai-nilai kewirausahaan di PPS
Pasuruan 3) peran kiai, pengurus dan ustadz dalam proses internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan dan 4) tingkat keberhasilan internalisasi nilai-nilai kewirausahaan.
A. Analisis Karakteristik Vokasional dan Nilai
1. Karakteristik Vokasional
Dalam paparan hasil penelitian telah diketengahkan bahwa tiap-tiap
individu secara alamiah memiliki bakat bawaan yang berbeda dengan
individu lain meski lahir dan hidup dalam satu keluarga. Bakat-bakat itu
terkait dengan minat dan tingkat kecepatannya dalam menyesuaikan
dengan kegiatan tertentu dan bakat ini lebih mengarah kepada masalah
keterampilan tertentu dan bukan menyangkut nilai-nilai. Nilai-nilai lebih
banyak dibangun melalui pembelajaran keseharian di lingkungan
pesantren dan lingkungan keluarga.
Temuan ini tidak terlalu baru karena pada dasarnya setiap individu
memiliki keunikan tersendiri sebagai bakat bawaan maupun nilai-nilai
sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Pembawaan dalam kajian
psikologi menyangkut seluruh kemungkinan-kemungkinan atau
270
kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu dan selama masa
perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan. Oleh karenanya guna
mengetahui berbagai bawaan seseorang kita hanya dapat mengetahui dari
prilaku nyata (actual ability) dari yang bersangkutan1. Prilaku-prilaku
nyata santri sebelum atau awal memasuki PPS Pasuruan yang terkait
dengan bakat bawaan adalah menyangkut prestasi-prestasi keterampilan di
keluarga seperti kemauan membantu orang tua ketika belum masuk
pesantren atau ketika liburan pondok, keinginan menguasai keterampilan
yang sama dengan orang tuanya serta kecepatan dalam menangkap
keterampilan yang diajarkan.
Bila merujuk pada jenis-jenis bakat yang dimiliki manusia pada
umumnya baik bakat akademik khusus, bakat kreatif-produktif, bakat seni,
bakat kinestetik/psikomotorik dan bakat sosial, temuan peneliti
menggambarkan bahwa ada dua katagori, pertama santri yang masuk di
PPS Pasuruan mulai tingkat Ibtidaiyah atau Istidadiyah bakat, minat dan
potensinya belum nampak sehingga nilai kewirausahaannya banyak
terbentuk melalui lingkungan keseharian di keluarga sementara melalui
lingkungan pondok pesantren masih relatif kecil, sedangkan motivasi
utama orang tua memasukan anaknya ke PPS Pasuruan pada umumnya
semata ingin anaknya menjadi anak yang sholeh, berilmu dan berakhlakul
karimah, sehingga orientasi utamanya adalah mencari ilmu seperti pada
1Siagian, Sondangn P. Manajemen Strategi dan Mengembangkan Prilaku Organisasional (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1992), 50
271
umumnya di pesantren. Kedua, santri yang masuk sudah pada jenjang
Tsanawiyah atau Aliyah merupakan santri yang berbakat dan memiliki
kemampuan dalam konteks prestasi akademiknya di pesantren. Ini dapat
dikatagorikan bakat jenis akademik dan kinestetik/psikomotorik. Hasil
penelitian juga memperlihatkan bahwa dalam usianya itu meskipun
keputusan pemilihan pesantren ditentukan oleh orang tua mereka, orang
tuanya pun sebenarnya juga beralasan karena memperhatikan potensi yang
dimiliki anaknya.
Kerelaan santri memasuki PPS Pasuruan meskipun banyak
didorong orang tua tetapi si anak sendiri memang sudah memiliki minat
dan bakat, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya keluhan anak ketika
harus mengikuti berbagai macam aturan dan kegiatan pembelajaran di
pesantren termasuk dalam menjalankan tugas di unit-unit usaha yang
dimiliki kopontren Sidogiri. Dengan demikian input dari pesantren ini
sebetulnya memiliki potensi positif yakni bakat yang dibawa sejak kecil
berupa tingginya minat belajar dan potensi kemandirian serta keterampilan
dalam mengerjakan kegiatan pembelajaran produktif dan aplikatif dalam
berbisnis berupa tanggungjawab dalam memegang unit-unit usaha
kopontren. Dengan kata lain potensi keahlian vokasional santri telah
dimiliki sejak sebelum santri memasuki PPS Pasuruan.
Dengan karakter yang demikian, PPS Pasuruan sebenarnya telah
memiliki santri dengan potensi yang baik, dan karena potensi itu terkait
272
dengan keterampilan-keterampilan maka sebagaimana pengakuan para
ustadz tentang pembelajaran dan paraktek di dunia kerja melalui berbagai
macam unit usaha yang dimiliki oleh kopontren Sidogiri tidak mengalami
kesulitan bahkan cenderung berkembang pesat, terbukti dengan semakin
banyaknya unit-unit usaha baru yang dimiliki kopontren Sidogiri.
2. Karakteristik Nilai
Selain karakteristik yang bersifat keterampilan bawaan, santri juga
mempunyai karakteristik yang terkait dengan hasil pembelajaran dari
masing-masing keluarga (hasil interaksi). Dalam penelitian ditemukan
bahwa santri yang masuk PPS Pasuruan berasal dari keluarga yang
berbeda profesi, ada yang sebagai pegawai negeri, pedagang, petani,
nelayan dan lain sebagainya. Pekerjaan atau profesi orang tua santri
memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap potensi nilai-nilai yang
dimiliki santri. Pembelajaran keseharian di lingkungan keluarga ketika
santri pulang rumah karena liburan pondok berkontribusi dalam
menumbuhkan potensi nilai-nilai kewirausahaan berupa kepercayaan diri
dan motivasi dengan tingkatan yang masih abstrak, yang bersumber dari
pembiasaan melalui proses pengindraan, yang diikuti oleh perubahan sikap
yang lebih positif yang berujung pada tahap keyakinan yang masih labil,
dan belum sampai pada tingkatan kesadaran.
273
Temuan penelitian menunjukan, bahwa keluarga yang berprofesi
sebagai wirausaha lebih dapat mempengaruhi nilai-nilai yang berkembang
atas nilai kewirausahaan santri dibandingkan dengan orang tua yang
berprofesi selain wiraswasta, akan tetapi nilai-nilia itu tidaklah terlalu
berarti, yakni relatif masih abstrak, labil dan masih pada tingkatan
keyakinan yang belum mantap.
Perbedaan nilai tersebut umum terjadi mengingat budaya keluarga
yang berbeda, dan nilai ini terbentuk bukan karena bawaan melainkan
akibat proses pembelajaran selama di rumah. Temuan ini merupakan hal
yang wajar sebab dikatakan dalam kajian ini bahwa nilai adalah sebagai
reaksi sikap akibat respon situasi. Sementara disebutkan, bahwa sikap
adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap
respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengan
individu itu sendiri. Sedangkan sikap diartikan sebagai pernyataan atau
pertimbangan evaluatif mengenai objek, orang atau peristiwa,2 maka wajar
bahwa antara individu dari kalangan keluarga yang berbeda juga memiliki
karakteristik sikap atau nilai yang berbeda pula.
Yang ingin ditegaskan dalam analisa ini bahwa nilai itu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: 1) tidak dibawa sejak lahir, 2) selalu berhubungan
dengan obyek, 3) tertuju pada satu obyek atau sekumpulan objek, 4) dapat
2 Robbins, S.P. Organizational Behavior, New Jersey, Sixth Edition, Englo Wood Cliffs, (Printice Hall Inc, 1996), 54
274
berlangsung lama atau sebentar, 5) mengandung faktor perasaan dan
motivasi. Memperhatikan ciri sikap yang demikian, sebenarnya sikap yang
dimiliki seseorang akan berkembang tergantung beberapa faktor yang
mempengaruhi. Nilai seseorang dapat berkembang atau berubah
tergantung dari dua faktor utama yakni faktor internal (fisiologis dan
psikologis) dan faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma-norma,
hambatan dan pendorong). Dengan demikian nilai seseorang dapat
dipengaruhi oleh orang tua, ustadz dan anggota kelompok yang intensif
berkomunikasi. Manusia menyeleksi aktivitasnya berdasarkan nilai yang
dipercayainya.3
Berdasarkan analisa dan kajian di atas, dapat dikatakan bahwa
terdapat unsur-unsur bawaan dari santri tetapi lebih bersifat non nilai. Hal
ini sedikit berbeda dengan pemikiran psikologi klasik sebagaimana aliran
nativisme yang berpihak pada faktor bawaan (nature) yang menganggap
bahwa unsur bawaan itu dapat juga berupa nilai-nilai. Nilai dipandang
sebagai proses regenerasi dari sifat-sifat bawaan yang dimiliki seseorang.
Dengan demikian faktor keturunan dianggap faktor penting dalam
kepemilikan nilai. Cara pandang ini tampak dalam sejumlah aliran
psikologi kepribadian yang menjelaskan nilai sebagai kontinuitas dari
proses psikologi lainnya seperti sikap dan keyakinan pada diri seseorang.
3 Kadarusmadi, Upaya Orang Tua dalam Menata Situasi Pendidikan dalam Keluarga, Disertasi, PPS IKIP Malang, 1996), 33
275
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa, nilai bukanlah unsur
bawaan, melainkan kondisi yang terlahir dari proses interaksi dari
ligkungan, sementara kondisi bawaan lebih kepada potensi keterampilan-
keterampilan terlepas dari nilai-nilai. Sebagai contoh santri yang memiliki
bakat dalam bidang tertentu, dia hanya merasakan punya kemampuan
dengan bidang tertentu itu, tetapi tidak dirasakan sebagai suatu yang
berharga atau dianggap sebagai kapital berharga yang dapat terus menerus
dikembangkan dan dimodifikasi sehingga dihargai sebagai sesuatu yang
akan dapat menolong hidupnya.
Sedangkan nilai-nilai kewirausahaan lebih banyak sebagai produk
yang terlahir dari interaksi intensif dalam lingkungan, dengan demikian
temuan ini lebih sesuai dengan pemikiran psikologi yang berpijak pada
aliran empirisme yang menempatkan faktor lingkungan (nature) sebagai
faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan nilai-nilai dari diri
seseorang.
Dengan kata lain, karakteristik yang dimiliki santri PPS Pasuruan
memungkinkan sekali dengan pola pembelajaran yang menginternalisasi
nilai-nilai kewirausahaan sedemikian rupa dapat diarahkan menjadi
seorang santri yang entrepreneur yang handal sebagaimana yang
diinginkan oleh para pendiri dan pengasuh pesantren Sidogiri.
276
B. Analisis Proses Internalisasi Nilai-Nilai Kewirausahaan di PPS
Pasuruan
Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab paparan data dan
temuan penelitian di atas, bahwa PPS Pasuruan merupakan pesantren salaf
dengan ciri sebagaimana pesantren salaf lainnya. Secara umum bahwa
fungsi yang menonjol pada pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan
agama, namun penelitian di PPS Pasuruan ini menunjukan fakta bahwa
pesantren dapat menerapkan berbagai peranan sosial kemasyarakatan
secara lebih luas. Sebagaimana dikatakan oleh Siradj menyebutkan
pesantren sangat bisa diharapkan memainkan peran pemberdayaan
(empowerment) dan transformasi masyarakat secara efektif.4 Siradj
mengatakan bahwa pesantren dapat memberikan sedikitnya lima peran
atau peran pada pembangunan masyarakat. Pertama, peran instrumental
dan fasilitator. Hadirnya pesantren tidak hanya sebagai lembaga
pendidikan dan keagamaan saja, tetapi juga sebagai lembaga
pemberdayaan umat5. Pernyataan Sirad ini dapat di ketahui di PPS
Pasuruan.
Kedua, peran mobilisasi. Pesantren merupakan lembaga yang
berperan dalam mobilisasi masyarakat. Peranan ini jarang dimiliki
lembaga atau perguruan lainnya. Hal ini terjadi karena pesantren dibangun
4 Siradj, Said Agiel, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. (Jakarta: Pustaka Hidayah. 1999). 62 5 Ibid. 64
277
atas dasar kepercayaan masyarakat, pesantren adalah tempat yang tepat
untuk menempuh aklak dan budi pekerti yang baik, selain itu pesantren
sebagai lembaga yang dipercaya dan dihormati oleh masyarakat karena
kekarismaan sang kiai.
Ketiga, peran sumberdaya manusia. Dalam sistem pendidikan yang
dikembangkan oleh pesantren sebagai upaya optimalisasi potensi yang
dimilikinya. PPS Pasuruan memberikan pelatihan khusus kepada santri
atau diberikan tugas magang di beberapa tempat yang sesuai dengan
pengembangan lembaga ekonomi pesantren. Dalam konteks ini juga, PPS
Pasuruan melakukan pengiriman guru tugas di bebagai daerah untuk
mengembangkan agama dan menjadi mubaligh di berbagai daerah, selain
itu juga memberikan peluang luas kepada alumni untuk memegang suatu
unit usaha yang dimiliki kopontren yang berada di luar lingkungan
pesantren.
Keempat, sebagai agent of development. Pesantren dilahirkan untuk
memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakat yang
tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral melalui transformasi
nilai yang ditawarkan pesantren. Kehadirannya bisa disebut sebagai agen
perubahan sosial (agent of social changes) yang selalu melakukan
pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan
politik, pemiskinan ekonomi, dan pemiskinan ilmu pengetahuan. Dalam
278
penelitian di PPS Pasuruan upaya pesantren sebagai agen pembangunan
ini ditunjukan dalam pendidikan dan ekonomi.
Kelima, sebagai center of excellence. Salah satu misi awal
didirikannya pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran dan
pengetahuan agama Islam ke seluruh pelosok tanah air yang berwatak
pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial
masyarakat. Tugas sebagai pusat penyebaran agama ini dilaksanakan oleh
PPS Pasuruan dalam bentuk pengabdian masyarakat melalui pengiriman
guru tugas sebagai mubaligh ke daerah pedalaman dan pembukaan
madrasah baru di berbagai daerah.
Tidak terlepas dari lima peran tersebut di atas, salah satunya adalah
peran sumberdaya manusia dalam bidang pendidikan dan ekonomi, maka
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di PPS Pasuruan
menunjukan bahwa proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan terhadap
para santri menggunakan tiga jalur, yakni jalur pendidikan diniyah, jalur
pengajian kitab salaf dan jalur lembaga ekonomi.
1. Madarasah Diniyah
Berkaitan dengan madrasah diniyah bahwa PPS Pasuruan
memiliki lembaga pendidikan madrasah yang diberi nama Madrasah
Miftahul Ulum (MMU). Hingga saat ini MMU memiliki empat
279
jenjang tingkatan, yaitu Istidadiyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan
Aliyah. Dan sampai saat ini pula sistem pendidikannya masih
menggunakan dan mempertahankan sistem pendidikan diniyah tanpa
menggunakan sistem pendidikan persekolahan formal. Sebagaimana
yang dipaparkan pada data di atas, pendidikan diniyah adalah
pendidikan yang berciri khas pendidikan agama Islam yang tujuan
utamanya adalah mengembangkan agama atau misi dakwah
penyebaran nilai-nilai ajaran agama Islam yang di dalamnya terdapat
dorongan kemandirian dan bekerja keras. Pesantren adalah lembaga
sosial keagamaan atau lembaga dakwah yang menekankan kepada
amar ma’ruf nahi munkar dalam segala aspek termasuk pendidikan.
Sebagai lembaga pendididkan dengan sistem pendidikan Islam, PPS
Pasuruan juga mengembangkan misi dakwah melalui kegiatan
pendidikan, seperti pengiriman guru tugas di daerah lain yang salah
satu tugasnya adalah dengan membuka madrasah baru.6
Dalam sistem pendidikan diniyah di PPS Pasuruan dalam
kaitannya dengan internalisasi nilai-nilai kewirausahaan adalah pada
setiap jenjang pendidikan terdapat mata pelajaran fiqih muamalah
yang berkaitan dengan entrepereneurship atau kewirausahaan, yang
lebih khusus lagi adalah pada jenjang pendidikan Aliyah Jurusan
6Akbar, Sa’dun, Prinsip-Prinsip dan Vektor-Vektor Percepatan Proses Internalisasi Nilai Kewirausahaan (Studi Pada Pendidikan Visi Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung , (Bandung: Disertasi Program Pasca Sarjana: Universitas Pendidikan Indonesia), 2000.
280
Muamalah, karena pelajaran yang diberikan selain mata pelajaran
pada umumnya, juga ada beberapa mata pelajaran yang menunjang
ke arah pembentukan kewirausahaan, misalnya ilmu ekonomi mikro-
makro, ilmu akutansi, ilmu ekonomi syariah dan sebagainya. Selain
itu ketika para santri melakukan praktek lapangan, maka mereka
langsung diterjunkan di lembaga ekonomi Sidogiri baik BMT-
MMU, BMT-UGT maupun kopontren. Dalam penelitian ini juga
ditemukan bahwa kiai menjadi pusat pendidikan di PPS Pasuruan,
karena kurikulum pendidikan dibuat dan dikembangkan sendiri oleh
kiai bersama para ustadz pengajarnya sesuai dengan visi dan misi
pesantren khususnya dalam penyusunan kurikulum yang berbasis
kewirausahaan.
Dengan tersedianya SDM yang memadai di PPS Pasuruan,
banyak upaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan dengan mengembangkan kurikulum pesantren dalam
rangka membuat pesantren sejajar dengan lembaga pendidikan yang
lain khususnya sesuai dengan misi pesantren. Adapun strategi yang
dilakukan PPS Pasuruan dalam meningkatkan mutu kualitas
pendidikan diniyah berbasis kewirausahaan adalah sebagai berikut:
(1) sinkronisasi kurikulum pendidikan di pesantren dengan
pendidikan formal yang berorientasi pada pengembangan
kewirausahaan, (2) dalam melaksanakan pendidikan, baik
281
pendidikan umumnya diniyah maupun pendidikan kewirausahaan
menggunakan pendekatan sistemik disamping dengan sistem
sorogan, bandongan, hafalan dan halaqah (3) melakukan
standarisasi (kualifikasi) tenaga pendidik, (4) menggunakan strategi
participative decision making, (5) pembelajaran kewirausahaan
memiliki visi terbentuknya komunitas yang taat kepada ajaran Islam,
memiliki pengetahuan umum, keterampilan semangat kerja dan
kemandirian dan yang melandasinya adalah nilai ekonomi dan nilai
spiritual (6) melakukan evaluasi kinerja program pendidikan, dan (7)
mengimplementasikan stategi promosi (syiar) pesantren.
Strategi tersebut cukup efektif dalam proses internalisasi nilai-
nilai kewirausahaan santri dan mengembangkan pendidikan
kewirausahaan dengan didukung oleh lembaga ekonomi yang ada.
Paling menarik dalam penelitian ini adalah strategi sinkronisasi
kurikulum pendidikan di pesantren dengan pendidikan formal yang
berorientasi pada pengembangan kewirausahaan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin di pesantren
Nurul Jadid Paiton Probolinggo.7
Dalam keseluruhan proses pembelajaran, kurikulum bisa
dimaknai sebagai rencana kegaiatan pembelajaran The curiculum is
generaly difined as a plan developed to facilitate the 7Baharuddin, Hasan. Manajemen Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Pondok Pesantren , Studi kasus di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Proboinggo, (Malang, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Malang. 2006)
282
teaching/leaning process under the direction and guidance of a
school, college or university and iss staff memers.8 Jadi kurikulum
dianggap sebagai satu rencana yang dikembangkan untuk
mendukung proses mengajar/belajar di dalam arahan dan bimbingan
sekolah/madrasah, akademi atau universitas. Bahkan secara sangat
sederhana kurikulum dapat dimaknai sebagai mata dan isi pelajaran.
Menyadari bahwa kurikulum sebagai koridor interaksi antara
ustadz dengan santri merupakan ciri utama pendidikan di pesantren,
kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan
atau pengajaran, karena setiap praktek pendidikan diarahkan pada
pencapaian tujuan yang dikehendaki, baik yang terkait dengan
penguasaan pengetahuan, pengembangan kepribadian, maupun
peningkatan ketrampilan tertentu, maka guna proses pencapaian itu
diperlukan kejelasan tujuan pembelajaran, bahan ajar, metode, alat
maupun model evaluasinya.
Nilai sebagai sebuah pemikiran atau konsep mengenai apa
yang dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya. Nilai
juga sebagai kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam
tindakannya, maka sebenarnya sebuah nilai bisa jadi dapat berupa
suatu keyakinan relegius, kebebasan, kesenangan, ketentuan (etos),
kejujuran, kesederhanaan, keterikatan dan sebagainya. Nilai terkait
8 Turner, R Kerry, Pearce, David and Bateman, Environmental Economics An Elementory. (Harverter Wheatsbeaf: 1994). 22.
283
dengan pandangan positif tentang sesuatu, seseorang yang
menganggap bahwa entrepreneur merupakan pilihan yang baik
dibanding bekerja pada orang lain (menjadi pegawai) ini merupakan
indikasi bahwa nilai-nilai tentang entrepereneur telah terinternalisasi
dalam diri seseorang itu.9
Dengan pemahaman nilai yang demikian maka proses
penyadaran nilai (pembentukan nilai) merupakan aktivitas yang
komplek karena berlangsung secara integral dalam keseluruhan
kegiatan pembelajaran seseorang. Dengan kata lain pembentukan
nilai dapat terjadi mulai dari pembelajaran di keluarga, di lingkungan
pergaulan maupun lingkungan pesantren serta budaya pesantren
yang berkembang.
Oleh karena itu berbeda dengan pengembangan pola pikir dan
keterampilan. Pembelajaran nilai lebih terkait dengan fungsi afektif.
Diungkapkan Winkel, bahwa pembelajaran nilai adalah
pembelajaran menghayati suatu obyek melalui alam di sekolah,
melalui alam perasaannya, mekipun pengalaman ajar dinilai sebagai
penilaian spontan tetapi sangat bermakna bagi proses membangun
perasaan yang pada gilirannya menginternalisasikan suatu nilai.10
Sebagaimana temuan penelitian di PPS Pasuruan dalam proses
pembelajaran santri lebih banyak mengikuti pebelajaran di kelas 9Ekosusilo.M, Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multi Kasus di SMA Negeri I, SMA Regina Pacis dan SMA Al-Islam I Surakarta, (Sukoharjo, Univet Bantara Press, 2003). 78-79 10Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. (Yogjakarta: PT. Grafindo, 1991). 45
284
dengan penataan saling berhadapan antara ustadz dengan santri,
kecuali pelajaran produktif yang lebih memanfaatkan kelas yang
telah disetting sebagai tempat praktek. Secara umum setting model
ini tidak ada masalah dalam proses penanaman nilai, selain kelas
yang memadai, alat-alat pratek yang mendukung dalam peningkatan
skill santri. Namun demikian karena nilai itu berkaitan dengan
belajar afeksi yang lebih banyak terkait dengan proses kerja
pengahayatan dan proses ini sangat terkait dengan alam perasaan,
maka strategi dan orientasi pembelajarannya tentu berbeda dengan
pembelajaran yang menekankan pada peningkatan kecakapan
vokasional atau keterampilan semata.11
Tehnik pembelajaran di PPS tidak secara khusus
menggambarkan teknik pembelajaran nilai, mengingat pembelajaran
kewirausahaan semestinya lebih terfokus pada pembelajaran nilai
atau pembelajaran sikap yang ini termasuk dalam rana afeksi, sesuai
dengan hasil penelitian, teknik yang digunakan ustadz dalam
pembelajaran kewirausahaan adalah lebih banyak klasikal dengan
model ceramah dan praktik peningkatan keterampilan untuk mata
diklat produktif. Sebenarnya ada beberapa pendekatan pembelajaran
yang bisa menjadi alternatif bagi PPS Pasuruan yakni pembelajaran
11 Ibid. 67
285
dengan teknik indoktrinasi, teknik moral reasoning, teknik
meramalkan konsekuensi, teknik klarifikasi dan teknik internalisasi.
Sementara nilai kewirausahaan yang dipahami oleh pengelola
PPS Pasuruan adalah terkait dengan kemampuan membuka dan
mengelola usaha setelah lulus dari pesantren, yang dalam hal ini
kemudian dimaknai bahwa pencapaian kemampuan itu akan dapat
diperoleh apabila pembelajaran memiliki skill yang memadai dan
implikasinya berupa kemampuan santri dalam mengelola dan
mengembangkan unit usaha yang dimiliki pesantren.
Pemaknaan semacam itu memberikan indikasi bahwa
kebanyakan entrepreneur lebih dimaknai sebagai seorang yang
mengelola usaha. Implikasinya pesantren berusaha bagaimana
membekali dan mengarahkan para santri ke arah sana, dengan kata
lain pemaknaan kewirausahaan itu lebih mengarah pada kemampuan
berbisnis (business skill). Padahal apabila dikaitkan dengan banyak
pemikiran seperti Scumpeter seorang wirausaha, bahwa
kewirausahaan tidak selalu dimaknai sebagai seorang pedagang
(businessman) atau seorang manajer tetapi ia adalah orang yang
unik, pembawaannya pengambil risiko dan memperkenalkan produk-
produk inovatif dan teknologi baru ke dalam perekonomian.
Demikian pula hasil studi Moreland yang mengungkapkan bahwa
masalah kewirausahaan bukan sekedar keterampilan bisnis tetapi
286
lebih kepada pembentukan nilai-nilai positif yang terbangun dalam
kepribadian seseorang.12
Pemaknaan nilai kewirausahaan yang demikian dari para
pengelola pesantren ini, implikasinya terhadap berbagai kebijakan
dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang ada di pesantren,
terutama dalam penyusunan program pendidikan baik intrakurikuler
maupun ekstrakurikuler. Implikasi itu misalnya bagaimana muatan
dan model strategi pembelajaran yang mengabaikan pembelajaran
nilia-nilai, pembelajaran terfokus pada mata diklat produktif, serta
model-model praktik usaha yang lebih mengejar omset penjualan
dari pada proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan santri itu
sendiri.
Beberapa tahap yang dapat dilalui dalam proses pembelajaran
ini adalah (1) tahap transformasi nilai, dalam tahap ini ustadz hanya
menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik
kepada santri yang semata-mata bersifat komunikasi verbal; (2)
tahap transaksi nilai, yakni suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan
melakukan komunikasi dua arah atau interaksi antara ustadz dengan
santri yang bersifat interaksi timbal balik secara aktif. Dalam tahap
ini ustadz tidak hanya memberikan informasi tentang nilai-nilai
tetapi juga terlibat dalam proses menerima dan melaksanakan nilai-
12 Moreland. N, Entrepreneurship and Higher Education: An Employability Perspective, Leoning and Employability, Ltsn, Generic Centre, 2000.
287
nilai itu; (3) tahap transinternalisasi, pada tahap ini jauh lebih dalam
dan juga melibatkan tidak hanya aspek pisik tetapi juga menyangkut
sikap mental kepribadian baik bagi ustadz maupun santri. Dalam hal
ini telah dilaksanakan oleh PPS Pasuruan hanya masih diperlukan
penyempurnaan.
Proses transinternalisasi ini mulai dari yang sederhana sampai
yang komplek, yaitu (1) menyimak (receiving) yakni kegiatan santri
untuk bersedia menerima stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang
dikembangkan dalam sikap afektifnya; (2) menanggapi (responding)
yakni kesediaan santri untuk merespon nilai-nilai yang dia terima
dan sampai tahap memiliki kepuasan untuk merespon nilai-nilai
tersebut; (3) memberi nilai (valuing) sebagai lanjutan dari aktivitas
merespon nilai menjadi santri yang mampu memberikan makna baru
terhadap nilai-nilai yang diyakini kebenarannya; (4) mengorganisasi
nilai (organization of value) yakni aktivitas santri untuk mengatur
berlakunya sistem nilai yang dia yakini sebagai kebenaran dalam
prilaku kepribadiannya sendiri sehingga ia memiliki yang berbeda
dengan orang lain; (5) karakteristik nilai yakni dengan membiasakan
nilai-nilai yang benar yang telah diyakini dan yang telah diorganisasi
dalam prilaku kepribadiannya sehingga nilai-nilai itu menjadi ciri
kepribadiannya.
288
Ada fenomena menarik pada penelitian ini bahwa ada
keterbatasan yang mendasar dari kurikulum di PPS ini yakni masih
lemahnya pengembangan materi pelajaran atau kitab salaf yang
berorientasi pada pembentukan nilai-nilai enrepreneurship, tidak ada
mata diklat yang secara khusus dirancang untuk mengembangkan
nilai-nilai kewirausahaan yang ada hanya terdapat pada penyajian
pengelolaan usaha dan industri melalui kopontren, yang itupun lebih
kepada upaya peningkatan keterampilan berbisnis yang dalam
penelitian lebih mengarah kepada “businesship” dari pada
kewirausahaan.
Tentang pentingnya pendidikan dalam pembentukan santri
yang berjiwa kewirausahaan ini juga didukung oleh peneliti
Wahjoedi. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pendidikan
menjadi sarana penting dalam pembentukan sikap, karakter, minat
dan motivasi dalam wirausaha. Pendidikan juga terbukti menjadi
penyumbang penting dalam upaya pengentasan kemiskinan. Artinya
dengan pendidikan maka kemiskinan akan dapat dikurangi secara
sistematis.13 Secara eksplisit hasil penelitian ini menunjukan bahwa
salah satu alternatif untuk menciptakan output santri yang
13Wahjoedi, Kemiskinan Pasca Krisis di Indonesia, Analisis Segi Ekonomi, Pendidikan, dan Solusi Kebijakan, Jurnal Pendidikan, Fakultas Ekonomi dan Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang, Jurnal Penelitian dan Pendidikan Tahun 14, No: 2 Desember, 2004
289
entrepreneur adalah dengan melalui pendidikan yang disinergikan
dengan pembentukan lembaga ekonomi pesantren.
2. Pengajian Kitab Salaf
Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang memiliki ciri
sebagai suatu unsur yang unik, yakni adanya kiai, masjid dan
asrama. Ketiga unsur inilah yang disebut sebagai unsur pesantren.14
Selanjutnya Jaelani juga mengemukakan bahwa pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu:
kiai, atau ustadz yang mendidik serta mengajar, masjid dan pondok
atau asrama. Ketiganya mencakup kegiatan-kegiatan yang disebut
Tri Darma pesantren, yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah
SWT, pembangunan keilmuan yang bermanfaat, dan pengabdian
terhadap agama, masyarakat dan negara.15
Dhofier menjelaskan bahwa pesantren memiliki sistem
pendidikan dan pengajaran non klasikal, yang dikenal dengan nama
bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah. Bandongan adalah
sistem pengajaran dimana kiai atau ustadz membaca kitab (mbalah)
dihadapan para santri sedangkan santri mendengarkan, memberi
tanda baca kata per kata, kalimat per kalimat, kemudian
menterjemahkan kalimat-kalimat dalam kitab sehingga
14Jaelani, A Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan Islam dan Pengembanagan Perguruan Agama. (Jakarta: Darmaga. 1983)’ 53 15 Ibid. 55.
290
mempermudah untuk memahami isi kitab. Sedangkan sorogan
adalah sistem pembelajaran dimana santri membawa kitab dihadapan
kiai atau ustadz dan kiai atau ustadz membacakannya, kemudian
santri membaca sendiri kitab yang telah dibacakan kiai atau ustadz
tersebut dan giliran kiai atau ustadz yang mendengarkan,
memperbaiki bacaan dan menyempurnakan kalimat-kalimat yang
dibaca oleh santri.
Selain bandongan dan sorogan, yang ketiga adalah hafalan
yaitu sistem pengajaran dimana santri diberi tugas oleh kiai atau
ustadz untuk menghafalkan materi tertentu, setelah hafal, santri
menghadap kiai untuk menyetorkan kemampuan hafalannya, kiai
atau ustadz menyimak dan membetulkan hafalan santri tersebut
secara seksama. Sedangkan musyawarah adalah sistem pengajaran di
pesantren yang dilakukan dengan cara diskusi materi pelajaran yang
telah diberikan oleh kiai atau ustadz. Musyawarah juga dilakukan di
pengajian ini dengan cara membahas masalah yang ada dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan sudut pandang, misalnya ilmu
fiqih, ilmu aqidah, ilmu tafsir dan lain sebagainya.16
Selain metode tersebut hasil penelitian ini menemukan adanya
metode pengajian umum yaitu kiai atau ustadz yang mengkaji dan
seluruh santri yang mendengarkan. Arti tentang metode pengajian
16 Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai . (Jakarta: Penerbir LP3S, 1982). 44-45
291
ini Zuhairini menyatakan bahwa pesantren adalah tempat murid-
murid atau santri mengaji agama Islam dan sekaligus diasramakan di
tempat itu. 17
Berkaitan dengan strategi internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan melalui pengajian kitab salaf, berdasarkan hasil
penelitian bahwa pengajian kitab salaf yang dilakukan di pesantren
Sidogiri tidak jauh berbeda dengan pesantren lainnya dimana kitab
yang digunakan meliputi, al-Qur’an, hadits, aqidah, fiqih dan akhlak
dengan metode bandongan, sorogan, halaqoh dan hafalan. Hanya
saja di PPS Pasuruan kitab yang dipakai untuk proses internalisasi
nilai-nilai kewirausahaan menggunakan kitab fiqih muamalah
misalnya fath}ul qori<b, fath}ul mu’i<n, fath}ul waha<b, i’a<natut talibi<n
dan sebagainya.
Yang paling menarik dalam penelitian ini bahwa setiap kiai
atau ustadz yang mengajarkan kitab salaf (mbalah) mereka selalu
menekankan budaya STAF (siddiq, tabligh, amanah dan fathanah),
memberikan doktrin dan motivasi tentang pentingnya kemandirian,
bekerja keras, meningkatkan etos kerja dan sebagainya. Hal inilah
yang sangat berpengaruh pada mindset santri dalam mengembangkan
semangat kemandirian selain keteladanan seorang kiai. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Akbar di pesantren Darut Tauhid
17 Zuhairini,Dkk. Sejarah Pendidikan Islam . (Jakarta: Dirjend Binbag a Islam Departemen Agama. 1986). 89
292
Bandung dimana secara khusus prinsip-prinsip internalisasi nilai
kewirausahaan yang ditemukan dalam penelitian tersebut antara lain:
(1) keyakinan santri yang tinggi pada Allah dapat mengembangkan
keberanian, kepercayaan diri, kemauan kerja keras, dan optimisme,
dan (2) latihan ikhtiar dapat menghilangkan malu berusaha, rendah
diri dan dapat mengembangkan keberanian, kepercayaan diri,
optimisme, krja keras dan kemandirian.18 Pemberian motivasi,
semangat bekerja keras, kemandirian setiap pengajian serta
ketauladanan kiai dan para ustadz inilah yang efektif dalam
membangun jiwa kewirausahaan santri.
3. Lembaga Ekonomi
Proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan yang dilakukan
PPS Pasuruan melalui lembaga ekonomi adalah pembelajaran
kepada santri dengan diberi tanggung jawab untuk mengelola dan
mengembangkan suatu unit usaha yang di miliki kopontren Sidogiri,
melakukan praktek di lembaga ekonomi dan kesempatan untuk
menanamkan saham.
Pembelajaran model ini termasuk katagori pembelajaran
dengan pengalaman yang oleh Mumford diistilahkan sebagai
concrete experience yaitu suatu aktivitas atau pengalaman seseorang
18Akbar, Sa’dun. Prinsip-Prinsip dan Vertor-Vektor Percepatan Proses Internalisasi Nilai Kewirausahaan (Studi Pada Pendidikan Visi Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung), Disertasi Program asca Sarjana : Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2000
293
secara langsung,19 atau diidentikan dengan pembelajaran feeling atau
sensing, yaitu menghadirkan suatu penerimaan berdasarkan
pengalaman. Dari kajian ini dapat diungkapkan bahwa bagi seorang
calon entrepreneur pengalaman mengelola usaha merupakan
pembelajaran penting guna meningkatkan kecakapan bisnisnya.
Model pembelajaran pengelolaan usaha semacam ini akan
bermakna apabila ada muatan pengembangan sikap atau nilai
kewirausahaan, bukan sekedar pengembangan keterampilan
mengelola usaha. Hasil penelitian yang dilakukan melalui
pembelajaran ini hanya menghasilkan beberapa keterampilan santri
terutama dalam hal peningkatan pengalaman pembuatan produk,
melayani konsumen atau pelanggan, pengelolaan keuangan mengatur
personalia dan sebagainya. Namun belum banyak terkait dengan
pembentukan nilai-nilai kewirausahaan yang sebenarnya.
Pembelajaran pengelolaan usaha semacam ini bila dikaitkan
dengan pemikiran Choueke dan Amstrong masih dalam kategori
pembelajaran dalam rangka pengembangan Business Skill dan belum
terkait dengan Entrepreneur skill,20 dalam pemikiran kedua ahli itu,
pembelajaran yang terkait dengan peningkatan kemampuan berbisnis
(business skill) akan mencakup muatan materi management,
Finansial skill. Marketing Skill, operational skill dan human 19 Mumford, Mencetak Manajer Andal Melalui Coacing dan Mentoring, {Jakarta: PPM, 1996) 45. 20 Choueke dan Amstrong, The Learning Organization in Small and Medium size Enterprises, A Destination or a Journey, International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research Vol.4 (2), 1988, 129-140
294
resources skill. Sementara yang menyangkut pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan berwirausaha mencakup materi-materi
terkait dengan peningkatan keativitas, inovasi, kemampuan
menghadapi risiko, kemampuan mengidentifikasi peluang,
kemampuan mengembangkan visi ke depan, serta interpretasi
keberhasilan wirausaha.
Dalam praktek pengelolaan usaha di PPS Pasuruan, terdapat
beberapa kebijakan yang dirasakan bisa kontra produktif terhadap
pembentukan nilai-nilai, seperti peran ustadz yang dominan masih
mencarikan order, hanya disuruh untuk menjaga unit usaha tertentu,
mereka sepertinya menjadi pegawai belum berwenang sepenuhnya
dalam pengelolaan suatu usaha.
Terkait dengan temuan penelitian bahwa kemudahan atau
keberhasilan untuk mencari order di awal pembelajaran pengelolaan
usaha, kebermaknaannya dalam menumbuhkan motivasi santri lebih
sedikit dibanding dengan motivasi yang ditimbulkan dari kesulitan
atau kegagalan yang dialaminya. Maka berbagai fasilitas yang
diberikan oleh para ustadz pembimbing bila tidak dibarengi dengan
diskusi-diskusi intensif dengan santri bisa kontraproduktif dalam
rangka pengembangan nilai-nilai kewirausahaan.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa yang menjadi dasar
pendirian lembaga ekonomi di PPS Pasuruan adalah motivasi sosial,
295
yakni motivasi untuk meringankan beban penderitaan ekonomi yang
dialami oleh warga pesantren dam masyarakat sekitar yang masih
tergolong miskin. Namaun realitas menunjukan bahwa
perkembangan ekonomi mayarakat sekitar PPS Pasuruan belum
sepenuhnya nampak keseimbangannya dengan perkembangan
ekonomi pesantren, namun perannya tidak bisa dinafikan karena
tidak hanya memberikan manfaat secara sosial ekonomi saja akan
tetapi dapat menjadi sarana pendidikan santri dalam mewujudkan
output yang entrepreneur.
Melalui pemberdayaan ekonomi tersebut, maka PPS dapat
melakukan pembelajaran kewirausahaan. Nadjib mengatakan bahwa
pembelajaran kewirausahaan yang berbasis agrobisnis yang
dilaksanakan di pesantren dapat meningkatkan semangat kerja
komunitas pesantren, dan selanjutnya semangat kerja dapat
meningkatkan kemandirian pesantren. Maka semangat kerja menurut
komonitas pesantren adalah kemauan atau bernafsu untuk bekerja
yang ditandai dengan rajin bekerja, bekerja keras, tekun, sabar, dan
tidak muda putus asa dan bertanggungjawab. Sedangkan
kemandirian menurut mereka adalah kemampuan untuk mengurus
296
atau mengatasi kepentingan diri sendiri tanpa bantuan atau tidak
bergantung kepada orang lain.21
Penelitian Akbar di pondok pesantren Darut Tauhid
menunjukan bahwa pondok pesantren ini telah berhasil
mengembangkan miniatur masyarakat yang entrepeneur yang
Islami.22 Penelitian ini juga memberikan kesimpulan bahwa
keteladanan kiai menjadi salah satu faktor yang mempercepat proses
intrnalisasi nilai-nilai kewirausahaan. Hal ini sebagaimana yang
terjadi di PPS Pasuruan.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa
masyarakat PPS Pasuruan mampu diarahkan oleh pesantren dari
perekonomian secara konvensional menjadi perekonomian secara
kooperatif dalam bentuk koperasi, selanjutnya juga dapat diarahkan
oleh pesantren untuk menggunakan ekonomi Islami. Sistem ekonomi
Islami dapat diketahui dari beberapa jenis akad kerja sama antara
lembaga ekonomi pesantren dengan nasabah atau anggota koperasi
dengan menggunakan dua sistem, yakni sistem ekonomi kerakyatan
berbasis koperasi dan sistem ekonomi Islam berbasis syariah.
21 Nadjib, Moh. Makna Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Agrobisnis, Semangat Kerja dan Kemandirian Komunitas Pondok Pesantren (Studi Kasus pada Pondok Pesantren Sirojut Tholibin Blitar), Disertasi, Program Studi Pendidikan Ekonomi: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang, 2009 22 Ibid
297
C. Analisis Peran Kiai, Pengurus dan Ustadz dalam Proses Internalisasi
Nilai-nilai Kewirausahaan
1. Peran Kiai
Hasil penelitian di PPS Pasuruan ini menemukan bukti bahwa
kepemimpinan kiai memiliki peran penting di pesantren, termasuk peran
dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan pada santri.
Kepemimpinan kiai di PPS Pasuruan adalah kepemimpinan
campuran antara kepemimpinan tradisional yang pengabsahannya berasal
dari keturunan terdahulu dan kepemimpinan legal formal yang
pengabsahannya berdasarkan aturan yang berlaku. Kasus di PPS Pasuruan
yang menjadi kiai pengasuh pesantren adalah keturunan kiai sebelumnya,
baik menggunakan nasab anak maupun nasab menantu. Namun demikian
legalitas kepemimpinan kiai dikuatkan oleh keputusan Majlis Keluarga
yang salah satu tugasnya adalah menentukan keputusan dalam penentuan
pengasuhan pesantren.
Dalam penelitian di PPS Pasuruan menunjukan, bahwa kiai
memiliki peran besar dalam proses internalisasi nilai-nilai kewirausahaan.
Dalam penelitian tersebut menggambarkan adanya keterlibatan kiai
sebagai motivator dan pengambil kebijakan tertinggi dalam pesantren.
Selain itu kemampuan kiai dalam melakukan modernisasi pada
manajemen PPS Pasuruan tanpa meninggalkan ciri khas tradisi yang ada.
Hal ini dapat dipahami karena dalam tata nilai yang diyakini pesantren ada
298
kaidah yang berbunyi “al-muh}a<faz{atu ‘ala al-qadi{<m al-s}a<lih} wa al-akhdhu
bi al-jadi}<d al-as}lah}”, yang artinya mempertahankan nilai-nilai lama yang
baik dan menerima nilai-nilai yang baru yang lebih baik. Dengan demikian
maka pesantren tetap akan berupaya mempertahankan tradisi lamanya
sebagai lembaga pendidikan yang mempertahankan nilai lama sebagai
tafaqqahu fid di<n dan tetap menerima perubahan ke arah modernisasi pada
beberapa aspek pendidikan dan aspek ekonomi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sujianto, bahwa modernitas
kiai memberikan peran terhadap tingkat pastisipasi anggota koperasi di
pesantren di Blitar. Penelitian ini menemukan bahwa kiai memiliki sikap
modern, maka ketauladanannya diharapkan dapat membangun partisipasi
anggota kopersai.23 Penelitian ini juga menyebutkan bahwa sikap kiai yang
memiliki ciri-ciri modernitas individu mampu meningkatkan kinerja
kopontren. Modernitas dalam penelitian ini adalah sikap kiai dalam
melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke arah kemajuan.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Choir yang
membicarakan tentang pembaharuan manajemen pesantren menemukan
bahwa pembaharuan PPS Pasuruan dilatarbelakangi oleh adanya kemauan
kiai, tersedianya SDM dan adanya tuntutan kondisi perkembangan
23 Sujianto, Agus Eko, Pengaruh Pembinaan Anggota Modernitas Kyai, Kinerja Pengurus dan Partisipasi Anggota terhadap Kinerja Koperasi Pondok Pesantren di Kabupaten di Kabupaten Tulungagung. (Disertasi: Program Studi Pendidikan Ekonomi: Program Pasca Sarjana: Universitas Negeri Malang. Malang, 2009)
299
pesantren yang berubah.24 Peneliti juga menemukan bahwa kiai selaku
pengasuh pesantren memegang wewenang yang makro dalam
mengendalikan garis-garis besar program pesantren, sedangkan pengurus
memegang wewenang mikro yaitu kewenangan operasional dalam
pelaksanaan kegiatan keseharian di PPS Pasuruan. Penelitian ini juga
menemukan bahwa kiai telah melakukan berbagai pembaharuan mengenai
kepemimpinan dengan menggunakan manajemen terbuka.
Secara ringkas penelitian di PPS Pasuruan ini menunjukan peran
penting kiai dalam pengembangan pendidikan, namun peran kiai ini
terbatas pada pemberi restu, pengambil keputusan tertinggi, namun tidak
mengenai secara langsung kegiatan pendidikan secara umum di pesantren.
Kiai lebih banyak berkonsentrasi pada pengajaran (pengajian) kitab salaf
di pesantrennya dengan memberikan doktrin, motivasi dan semangat
tentang pentingnya kemandirian dan meniru sifat-sifat Muhammad saw.
Sehingga urusan pendidikan secara umum diserahkan kepada pengurus
lembaga pendidikan pesantren yang sudah ada. Peran dibalik layar ini
menunjukan bahwa dalam pengembangan pendidikan pada umumnya
peran kiai lebih banyak berkonsentrasi pada masalah ibadah, pengajian,
pembinaan mental roahaniyah masyarakat.
Sedangkan peran kiai dalam proses internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan melalui lembaga ekonomi di PPS Pasuruan, dalam
24 Choir, Abu, Pembaharuan Manajemen Pondok Pesantren: Studi Kasus Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan , (Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Malang, Malang, 2002)
300
penelitian ini ditemukan bahwa selain kiai sebagai pemrakarsa berdirinya
lembaga ekonomi, motivator juga memberikan suritauladan kepada
komunitas pesantren khususnya para santri dengan ikut serta menanamkan
sahamnya di lembaga ekonomi Sidogiri. Peran kiai tersebut sangat efektif
dalam membentuk jiwa kewirausahaan santri sekaligus mampu
memberdayakan lembaga ekonomi yang ada. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sujianto di atas.
2. Peran Pengurus
Penelitian ini menunjukan bahwa ada peran komonitas pesantren
dalam upaya internalisasi nilai-nilai kewirausahaan di PPS Pasuruan. Yang
dimaksud dengan komonitas pesantren dalam penelitain ini adalah
pengurus dan ustadz. Pengurus adalah sekelompok ustadz dan santri senior
yang diberi tugas oleh kiai untuk menjalankan tugas manajemen
pesantren. Tugas pengurus adalah tugas struktural yang diberikan kyia
untuk menjalankan fungsi menajemen di pesantren. Sedangkan ustadz
adalah para pengajar yang membantu kiai dalam menjalankan tugas
mendidik, mengajar dan melaksanakan pengajian di pesantren. Pada
beberapa kasus, kiai juga dipanggil ustadz oleh para santri dan masyarakat,
meskipun demikian dalam penelitian ini yang dimaksud ustadz adalah
para guru yang membantu pengasuh pesantren dalam melaksanakan tugas
pendidikan di pesantren.
301
Pengurus pesantren memiliki peran sangat penting dalam proses
internalisasi nilai-nilai kewirausahaan santri, hal ini dikarenakan pengurus
ikut menyusun kurikulum pendidikan pesantren bersama-sama dengan
para kiai. Selain itu pengurus memiliki wewenang makro yakni wewenang
dalam menentukan garis-garis besar program pesantren termasuk program
pendidikan.
Pengurus pesantren juga memiliki peran sangat penting dalam
pemberdayaan ekonomi pesantren yang dapat menaunjang dalam proses
internalisasi nilai-nilai kewirausahaan santri. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa pengurus PPS Pasuruan telah terbukti berhasil
menggerakan santri dan masyarakat Sidogiri untuk membuat lembaga
ekonomi yang dimotori oleh pesantren. Peran pengurus ini terlihat sejak
awal dalam merespon keresahan masyarakat, merumuskan pemecahan
masalah dengan kiai, mempelajari sistem ekonomi alternatif, mendirikan
koperasi, memobilisasi santri, mengerakan masyarakat sekitar pesantren,
dan melakukan pengelolaan lembaga ekonomi. Semua proses panjang
tersebut dilakukan oleh pengurus PPS Pasuruan baik BMT-MMU, BMT-
UGT maupun Kopontren Sidogiri.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sujianto
tentang pengaruh pembinaan anggota, modernitas kiai, kinerja pengurus
dan partisipasi anggota terhadap kinerja koperasi pesantren di kabupaten
Tulungagung menemukan, bahwa kinerja pengurus dapat memotivasi
302
anggota untuk berpartisipasi aktif dalam koperasi pesantren selain itu
prestasi pengurus dalam mengelola koperasi pesantren berpengaruh pada
kinerja pesantren.25 Oleh karenanya kualitas pengurus tidak dapat
diabaikan dalam pengelolaan lembaga ekonomi pesantren. Hal ini telah
dilakukan oleh kopontren Sidogiri dengan melakukan berbagai macam
diklat secara periodik bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait.
3. Peran Ustadz
Peran yang tidak kalah penting dalam proses internalisasi nilai-
nilai kewirausahaan adalah ustadz. Ustadz adalah pelaku utama dalam
proses transformasi knowlige kepada santri baik di lembaga pendidikan
diniyah maupun pengajian kitab salaf. Kualitas para ustadz sangat
menentukan hasil proses internalisasai nlai-nilai kewirausahaan pada
santri. Oleh karena itu salah satu upaya yang dilakukan PPS Pasuruan
untuk meningkatkan kualifikasi ustadz dilakukan pembinaan-pembinaan
dan diklat dalam rangka menunjang profesionalisme dan kinerja sebagai
tenaga pengajar atau ustadz.
Sedangkan peran para ustadz dalam proses internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan melalui lembaga ekonomi dibagi atas tiga kelompok yaitu,
pertama ustadz yang tergabung dalam kepengurusan lembaga ekonomi
PPS Pasuruan, kedua ustadz yang tidak tergabung dalam kepengurusan
25 Sujianto, Agus Eko, Pengaruh Pembinaan Anggota Modernitas Kyai, Kinerja Pengurus dan Partisipasi Anggota terhadap Kinerja Koperasi Pondok Pesantren di Kabupaten Tulungagung. Disertasi: Program Studi Pendidikan Ekonomi: Program Pasca Sarjana: Universitas Negeri Malang. Malang, 2009
303
lembaga ekonomi PPS Pasuruan tetapi menjadi guru di PPS Pasuruan, dan
ketiga ustadz yang mengajar di madrasah filial di luar PPS Pasuruan. Peran
ustadz pada kelompok pertama adalah sangat besar, mulai dari membuat
rencana bersama-sama kiai, merumuskan sistem ekonomi pesantren,
mendirikan lembaga keuangan syariat BMT-MMU dan membentuk
kepengurusan. Kelompok yang kedua ini adalah para ustadz yang menjadi
pengikut pendiri pertama dengan cara memberikan saham pada BMT-
MMU. Sedangkan kelompok ketiga adalah para ustadz dari madrasah
ranting yang kemudian mengikuti jejak langkah ustadz di madrasah induk,
mereka menjadi penabung di BMT-MMU.
D. Analisis Tingkat Keberhasilan Internalisasi Nilai-nilai Kewirausahaan
1. Perkembanagan Nilai Kewirausahaan
Sebagaimana dalam paparan hasil penelitian, nilai-nilai yang
berkembang pada santri dan lulusan PPS Pasuruan adalah terkait dengan
nilai kepercayaan (konfiden)diri yang disebabkan oleh kemampuan dirinya
dalam hal hasil karya phisik (produk) maupun kemampuan dalam
mengelola unit usaha. Hasil pembelajaran di lingkungan pesantren telah
banyak meningkatkan skill berupa keterampilan atau kecakapan dalam
menyelesaikan pekerjaan produksi sesuai dengan bakat dan minat yang
dipilih santri (vokasional skill) maupun kemampuan dalam mengelola serta
mengembangkan sebuah unit usaha, dan kemampuan ini telah
304
menumbuhkan kepercayaan diri dalam mengerjakan berbagai order dan
pekerjaan yang diterimanya dari pelanggan serta dalam pelayanannya
terhadap pelanggan. Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah nilai-nilai
yang berkembang berikut diuraikan lebih terperinci.
a. Kepercayaan diri
Sebagaimana hasil temuan peneliti, kepercayaan diri santri
tumbuh karena kecakapan vaksionalnya yang memadai dan ini telah
menimbulkan kepercayaan diri para santri dan alumni PPS Pasuruan,
terlepas dari penyebab utama kepercayaan diri itu muncul, untuk
menjadi seorang entrepreneur masalah ini merupakan pilar utama yang
harus dimiliki. Karenanya keyakinan atas kemampuan diri sendiri
haruslah menjadi nilai yang pasti mesti terinternalisasi dalam diri
seorang entrepreneur. Hal ini banyak didukung para ahli yang
mendalami bidang kewirausahaan seperti Meridith, Merelland, Zimmer
dan Scoborough,.26 Kepercayan diri yang dimaksud adalah terkait
dengan bagaimana seorang dengan energi dan kemampuan yang
dimiliki berkeyakinan kuat serta optimis bahwa segala keputusan yang
diambilnya yang terkait dengan pngembangan pengelolaan usahanya
tanpa keragu-raguan akan berhasil melalui usahanya yang sungguh-
sungguh.
26 Meridith, N, The Practice Of Entrepreneurship International Labor Organization, (Genewa, 1998), 34
305
Kepercayaan diri sebagai nilai terminal dapat dikembangkan
melalui instrumental berupa keyakinan, ketidak tergantungan,
individualitas dan optimisme. Dalam paparan hasil penelitian
diungkapkan bahwa rata-rata tingkat kepercayaan diri santri dan alumni
PPPS Pasuruan cukup menonjol, baik kepercayaan diri itu terkait
dalam hal hasil karya phisik (produk) maupun kemampuan dalam
mengelola dan mengembangkan unit usaha. Hal ini dapat dibuktikan
dengan semakin berkembangnya unit usaha yang dimiliki kopontren
Sidogiri maupun order-order yang ada baik dari interanal pesantren
maupun dari luar pesantren. Hasil pembelajaran di pesantren telah
banyak meningkatkan skill berupa keterampilan santri baik dalam
melayani konsumen maupun memproduksi produk-produk baik berupa
air mineral kemasan, caos tomat maupun produk lainnya termasuk jasa
printing. Khusus untuk jasa printing atau percetakan yang dalam
pemikiran Anwar skill sejenis ini masuk dalam katagori kecakapan
vokasional (vocational skill) atau yang dikenal juga dengan kecakapan
kejujuran.27
Pada umumnya para alumni pesantren dalam proses melayani
konsumen maupun pengerjaan produk sangat konfiden, ini dirasakan
oleh alumni setelah mereka benar-benar mampu membuat para
konsumen puas dengan pelayanannya walaupun sebelumnya merasa
27 Anwar, Pendidikan Kecakapan Hidup (life Skills Education) : Konsep dan Aplikasi, (Bandung, Alfabeta, 2004), 22
306
ragu akan kemampuannya. Sebagaimana pernyataan Abdul Harist kelas
II Aliyah yang bertugas menjaga ritail dalam suatu wawancara dengan
penulis pada tanggal 24 Maret 2013 sebagai berikut:
Ketika saya masih di kelas III Aliyah, setiap kali liburan saya pasti membantu Aba saya menjaga toko bangunan yang dimiliki Aba dan saat itu saya melayani para pembeli. Awalnya saya merasa pesimis jangan-jangan para pembeli kurang puas dengan apa yang saya lakukan sebagaimana pangalaman yang saya peroleh di pesantren karena saya memegang satu ritail di pesantren. Ternyata tanpa saya sadari katanya Aba saya cukup baik dalam melayani para konsumen. Sehingga sejak itu setiap kali liburan dan membantu Aba saya cukup puas dengan apa yang saya lakukan dalam melayani konsumen.
Demikian juga yang dirasakan oleh Nur Hidayat, alumni pondok
pesantren Sidogiri yang dulu bertugas di penerbitan buku, dalam
wawancaranya pada tanggal 22 April 2013 sebagai berikut:
Ketika saya di pesantren Sidogiri saya berada di zona komplek khusus santri yang merangkap sebagai tenaga pengelola kopontren dan saat itu saya bertanggungjawab dalam mengelola percetakan. Dan tidak lama saya lulus dari Aliyah dan boyong dari pondok saya membuka usaha kecil-kecilan yaitu sablon. Awalnya saya kurang percaya diri dalam mengerjakan order dari konsumen apakah saya mampu atau tidak ya? Berkat kebiasaan yang saya lakukan di pesantren itu akhirnya lama-kelamaan saya optimis dan ternyata banyak pelanggan yang puas dan sekarang saya sudah punya mesin toko (mesin cetak ukuran satu folio), ya mudah-mudahan terus berkembang. Kepercayaan diri dalam dunia kewirausahaan sangat diperlukan
dan ini merupakan modal sangat berharga bagi pengembangan nilai-
nilai kewirausahaan lainnya. Dalam struktur pengembangan nilai-nilai
307
itu terdapat kecenderungan bahwa kepercayaan diri adalah sebagai nilai
yang dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai lainnya.
Kepercayaan diri yang terinternalisasi dalam diri santri
terbangun dalam kecakapan vokasional dan kecakapan akademik. Hal
ini juga senada dengan apa yang dikemukakan Ria, bahwa 50%
kepercayaan diri dipengaruhi oleh penguasaan materi dan sisanya
ditentukan oleh keberanian untuk mencoba.28
Hasil penelitian bisa dipahami mengingat proses pembelajaran
yang berkembang baik melalui pengembangan dan tanggungjawab unit
usaha yang dipegang santri adalah terkait dengan peningkatan
kemampuan para ustadz sebagai pendamping yang memadai
dibidangnya. Kecakapan akademik yang merupakan hasil dari training
dan pembinaan peningkatan kinerja juga menjadi faktor penunjang
kepercayaan diri santri mengingat sejak semula santri yang terjaring
(input) dalam pesantren Sidogiri adalah santri yang memiliki minat,
sedangkan kemampuan akademis hanya bersifat penempatan jenjang
pendidikan dan kelasnya saja tidak menentukan diterma tidaknya,
sehingga semua calon santri pasti akan diterima di pesantren ini.
Penelitian ini menemukan bahwa pembelajaran melalui praktek
pemegang unit usaha dengan berbagai strategi pembelajarannya tidak
hanya terbatas pada kemampuan dalam menginternalisasikan nilai
28 Ria. D.E. http/www.pikiran-rakyat.com/cetak, (diakses 15 Januari 2013).
308
kepercayaan diri santri yang terkontruks dari kecakapan vokasional dan
akademik santri namun juga mampu membangun nilai-nilai personal
santri, seperti rasa tanggungjawab, kejujuran, kemauan keras dan
sebagainya. Meskipun nilai kepercayaan diri merupakan modal dasar
yang penting, PPS Pasuruan juga telah mendisain dalam strategi
pembelajarannya sesuai dengan tujuan pendirian kopontren dan PPS
Pasuruan, dan strategi pembelajaran yang ada telah sampai
menjangkau pada nilai-nilai kontinyu yang bisa dibangun dari nilai
kepercayaan diri itu yakni nilai kreativitas, motivasi, pengambilan
risiko dan kepemimpinan.
Bila dikaitkan dengan hasil penelitian Moreland tentang
entrepreneurship and hingher education: an employability perspective,
dengan isu utama studi atas karakteristik seorang entrepreneur
berdasarkan tinjauan keperilakuan secara garis besar diperoleh temuan
bahwa kelebihan seseorang entrepreneur adalah dalam tiga karakter
penting yakni: 1) nilai personal berupa: honesty, duty, responsibility
dan ethical behavior, 2) risk-taking propensity dan 3) the need for
independence, success and achievement.29
Hal ini memberikan informasi bahwa tidak cukup dengan bekal
kemampuan vokasional, seseorang dapat menjadi entrepreneur yang
berhasil, tetapi dalam dirinya mesti tumbuh nilai-nilai personal yang
29Moreland. N, Entrepreneurship and Higher Education: An Employability Perspective, Leoning and Employability, (Ltsn, Generic Centre, 2003.) 34
309
sangat diperlukan, seperti nilai kejujuran, kemauan keras, kebebasan,
kecerdasan serta etika, sosial komunikatif, tanggung jawab, keberanian,
ketelitian dan daya tahan.
b. Kreativitas
Salah satu nilai yang mesti terinternalisasi dalam diri santri dan
alumni PPS Pasuruan adalah pandangan-pandangan positif dan
kesadaran nilai kreativitas. Dalam penelitian ini, masalah kreativitas
santri relatif sudah tumbuh dengan baik selain pengalaman-pengalaman
dalam berproduksi dan kreativitas dalam meyelesaikan produk juga
pada kreativitas rencana pengembangan usaha kedepan sudah cukup
baik.
Kreativitas idealnya menyangkut proses kemampuan seseorang
untuk memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan
dalam hidupnya, merumuskan hipotesis-hipotesis baru dan
mengkomunikasikan hasil-hasilnya serta sedapat mungkin
memodifikasi dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan
itu.30 Menurut ahli yang sama, kemampuan kreativitas itu dapat
ditingkatkan melalui dorongan yang kuat dari luar dirinya dan disadari
oleh kekuatan dalam dirinya.
30Torrace,E.P., The Faces and Forms of Creativity, Ventura, (California: Venture Country Superintendent of Shools Office, 1981). 78
310
Bagi seorang entrepreneur masalah kreativitas menjadi faktor
penentu keberhasilan sebagaimana disampaikan oleh Munawir. Temuan
penelitian tentang kreativitas lulusan menunjukan adanya
perkembangan yang berarti, strategi pembelajaran melalui praktek kerja
dan pembinaan-pembinaan cukup menyentuh pada aspek-aspek yang
dapat menumbuhkan nilai-nilai positif bagi perkembangan kreativitas.31
Ada beberapa penyebab mengapa nilai-nilai itu sudah begitu
berkembang dalam diri santri, selain memang pemahaman masalah ini
yang relatif sudah cukup dari ustadz pendamping dan pengelolanya,
komitmen dan tanggungjawab santri juga materi diklat yang dilakukan
secara periodik dan disajikan dengan baik, banyak memberikan materi
yang menekankan terhadap pengembangan nilai-nilai itu.
Sehingga secara formal masalah ini sudah tercakup dalam
deskripsi pembelajaran kewirausahaan pada kurikulum 2004 telah
dieksplisitkan sub kompetensi mengidentifikasikan sikap dan prilaku
entrepreneur, dengan kriteria kinerja yang lebih terperinci dan
dijelaskan sebagai berikut: Sikap kewirausahaan diidentifikasikan
berdasarkan disiplin, komitmen tinggi, jujur, kreatif dan inovatif,
mandiri, realistis. Prilaku wirausahawan diidentifikasi berdasarkan
kerja prestatif (selalau ingin maju), keberhasilan dan kegagalan
wirausahawan diidentifikasi berdasarkan sikap dan prilakunya.
31 Munawir.Y dkk, Standarisasi Tes Potensi Kewirausahaan Versi Indonesia Sebagai Penunjang Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi, (Hasil Penelitian, UNS Surakarta, 1999). 56
311
Pembelajaran di PPS Pasuruan sudah didisain ke arah
internalisasi nilai kreativitas yang menurut Lumpkin & Dess’s dalam
Purnomo kreativitas diidentikan dengan orang yang selalu berinovasi
dan selalu proaktif. Sikap ini mencirikan kemajuan kuat dari individu
dalam melakukan berbagai eksperimen, ingin selalu meningkatkan
tehnologi baik dalam produk maupun proses dan ingin selalu merubah
lingkungan dengan menawarkan produk atau proses baru yang lebih
kompetitif.32
Membelajarkan santri untuk menghargai nilai kreatif
sebagaimana diungkapkan Clark yakni melalui pendekatan holistik
dengan berdasarkan fungsi-fungsi berpikir, merasa, mengindra dan
instiusi. Clark menganggap bahwa kreativitas itu mencakup sintesis dari
fungsi-fungsi thinking, feeling, sensing dan intuiting.33
Thinking merupakan berfikir rasional dan dapat diukur serta
dikembangkan melalui latihan-latihan yang dilakukan secara sadar dan
sengaja. Feeling menunjukan pada tingkat kesadaran yang melibatkan
segi emosional. Ini merupakan proses aktualisasi diri, yaitu
dilepaskannya energi emosional dari individu untuk kemudian
dipindahkan kepada individu lain sehingga muncul respon emosional.
Sensing menunjukan pada suatu keadaan ketika dengan bakat yang ada
32 Purnomo, B., Analisis Hubungan Korelasional Pendidikan, Etnis, Jender, Pekerjaan Orang tua, dan Lingkungan Tempat Tinggal dengan Sikap Kewirausahaan Para Siswa Sekolah Menengah di Kota Jember, Disertasi tidak diterbitkan, (Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang, 2004). 33 Clark,B., Growing Up Giftend, (Ohio A Bell and Howel Information Company, 1988) 22
312
diciptakan suatu produk baru yang dapat dilihat atau didengarkan orang
lain. Ini dimungkinkan apabila memiliki perkembangan fisik, mental
dan keterampilan yang tinggi dibidang yang menjadi bakatnya. Intuiting
menuntut adanya tingkat kesadaran yang tinggi yang dihasilkan dengan
cara membayangkan, berfantasi dan melakukan trobosan ke daerah
prasadar dan tak sadar.
Dari berbagai uraian di atas dapat dikatakan bahwa proses
internalisasi nilai kreativitas pada santri tidak cukup dengan
mengandalkan model pembelajaran konvensional, tetapi perlu trobosan
pendekatan pembelajaran melalui berbagai strategi skenario
pembelajaran yang lebih menyentuh pada alam prasadar dan alam tak
sadar santri serta dengan perencanaan yang sistematis melibatkan santri
pada tahapan-tahapan proses itu.
Kreativitas juga dapat dikaji berdasarkan pendekatan sosiologis
berasumsi bahwa kreativitas individu merupakan hasil dari proses
interaksi sosial, dimana individu dengan segala potensi dan disposisi
kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu itu
berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peranan
keluarga.34
Upaya mempelajari kreativitas dengan menggunakan
pendekatan sosiologi, pertama-tama dilakukan oleh Kroeber pada tahun
34 Ali, M. & Asrori, M., Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta, P.T. Bumi Aksara, 2006) 66
313
1941 sebagaimana dalam karya tulisannya yang berjudul Conviguration
of Culture. Melalui pendekatan sosiologi ini Kroeber berusaha melacak
faktor-faktor sosiologis yang saling berkaitan dan mengelompokkannya
pada orang-orang yang memiliki kreativitas tinggi pada periode waktu
dan tempat tertentu dalam kurun sejarah, khususnya dalam sejarah
peradaban Barat. Dalam menganalisanya Kroeber menggunakan tiga
konfigurasi yaitu waktu, ruang dan derajat prestasi suatu peradaban.35
Berdasarkan analisis yang dilakukan, Kroeber mengambil suatu
kesimpulan bahwa munculnya orang-orang kreatif tinggi dalam sejarah
merupakan refleksi dari pola perkembangan nilai-nilai sosial yang
meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peranan keluarga. Kelahiran
mereka sebagai orang-orang yang berprestasi, kreatif luar biasa
dimungkinkan oleh kondisi ekonomi, politik, kebudayaan dan peranan
keluarga serta semangat pada zamannya yang kondusif.
Penelitian yang dilakukan oleh Gray pada tahun 1958, 1961 dan
1966, kembali menekankan dominannya peranan sosial dalam
pekembangan kreativitas.36 Dengan fokus perkembangan kebudayaan
Barat, Gray menemukan bahwa faktor-faktor ekonomi, sosial, politik
dan peranan keluarga yang kondusif menentukan dinamika dan irama
perkembangan kreativitas. Ditegaskan oleh Gray bahwa apabila faktor-
faktor itu berada dalam perananya yang positif maka akan dapat 35Supriyadi,D., Kreativitas dan Orang-orang Kreatif dalam Lapangan Keilmuan, Bandung, (Disertasi tidakditerbitkan, Fakultas Pasca Sarjana IKIP Bandung, 1989) 36Ibid 56
314
mendorong perkembangan kreativitas yang maksimal. Penelitian Narol
dan kawan-kawan yang dilakukan di India, China, Jepang dan negara-
negara Islam menunjukkan bahwa ada periode-periode tertentu dalam
setiap perkembangan kebudayaan yang dapat mendorong
berkembangnya kreativitas secara maksimal sehingga dapat muncul
orang-orang kreatif. Sebaliknya ada juga periodesasi tertentu yang
dapat mengekang perkembangan kreativitas.
Arieti mengemukakan beberapa faktor sosiologis yang kondusif
sebagai perkembangan kreativitas, yaitu tersedianya sarana-sarana
kebudayaan, keterbukaan terhadap keberagaman cara berfikir, adanya
keleluasaan bagi berbagai media kebudayaan, adanya toleransi terhadap
pandangan-pandangan yang divergen, dan adanya penghargaan yang
memadai terhadap orang-orang yang berpotensi.37
Bertitik tolak dari pemikiran pendekatan sosiologis serta
kreativitas, tampaknya peran pembelajaran di masyarakat melalui
budaya yang berkembang termasuk di dalamnya kondisi ekonomi
ternyata memiliki kontribusi terhadap tumbuh kembangnya budaya
kreatif. Hal ini cukup menarik apabila dikaitkan dengan nilai-nilai yang
akan dikembangkan dalam pesantren yang mengembangkan
kewirausahaan. Nilai itu ternyata tidak dapat berkembang dengan subur
manakala tidak ada dorongan dari lingkungan yang memang
37 Arieti, Creativity: The Magic Synthesis, (New York, Basic Book, 1976). 22.
315
menghargai nilai kreativitas, dengan tugas pengelola pesantren
sekarang khususnya pengelola kopontren dan BMT Sidogiri adalah
bagaimana melalui berbagai cara, selain muatan dan strategi
pembelajaran yang memang mutlak di-disain ke arah sana. Lingkungan
pesantren juga perlu dibudayakan pemberian penghargaan atas prestasi
kreatif para santrinya.
Mengingat usia pesantren Sidogiri yang sejak tahun 1961 sudah
mendeklarasikan sebagai pesantren entrepreneurship yang berarti sudah
berada pada tingkat cukup dewasa dan usia ini pada umumnya
seseorang telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam
pekerjaannya yang merupakan hasil berfikir logis dan aspek moralnya
juga telah berkembang, maka pendekatan yang mesti dilakukan dalam
memperlakukan mereka sesuai dengan pendidikan anak dewasa, bahkan
usia yang demikian itu oleh Jean Piaget dianggap sudah berada pada
tahap yang amat potensial bagi perkembangan kreativitasnya.38
Pembelajaran yang menginternalisasi nilai-nilai kreativitas,
haruslah mendorong santri untuk memiliki nilai-nilai positif terhadap
karakteristik kreativitas yaitu: 1) terdapat dorongan (drive) yang kuat
untuk mencari pengalaman baru, 2) selalu ingin terlibat dalam proses
kegiatan yang menantang, 3) ada kecenderungan menentang
kemampuan, 4) tidak dihantui ketakutan dalam mengambil keputusan,
38 Ali,M. & Asrori,M.,Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta, P.T. Bumi Aksara, 2006), 34
316
5) memiliki rasa keindahan dan humor, 6) memiliki kemampuan
berpikir yang divergen, 7) toleran terhadap ambiguitas, 8) peka atas
perubahan dan 9) energik dan simpatik karena memorinya kuat menatap
masa depan.
Untuk dapat menciptakan itu semua pembelajaran baik melalui
teori (diklat) maupun praktek haruslah membangun suasana belajar
yang dinamik-interaktif dimana hubungan ustadz dan santri bukan
sekedar hubungan stimulus-respon tetapi lebih kepada hubungan yang
mendalam, yang oleh Torrace dinamakan dengan hubungan kehidupan
sejati (a living relationship) serta hubungan yang saling menciptakan,
saling tukar pengalaman (coexperiencing).39
c. Motivasi
Keberhasilan menjadi entrepreneur sangat dipengaruhi oleh
seberapa besar motivasi yang bersangkutan untuk meraih apa yang
diinginkan. Dengan demikian bagaimana menginternalisasikan nilai-
nilai yang dapat membangkitkan, megaktifkan, memindahkan dan
menyalurkan prilaku ke arah yang diinginkan menjadi tuntutan dalam
proses pembelajaran di PPS Pasuruan.40
Karena motivasi ini sangat terkait dengan dorongan yang berada
pada diri individu yakni kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya
39Torrace,E.P., The Faces and Forms of Creativity, (Ventura, California, Venture Country Superintendent of Shools Office, 1981), 78 40Munawir.Y dkk, Standarisasi Tes Potensi Kewirausahaan Versi Indonesia Sebagai Penunjang Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi, (Hasil Penelitian, UNS Surakarta, 1999), 45
317
yang tinggi ke arah tujuan yang dikondisikan oleh kemampuan upaya
itu memenuhi kebutuhan individual, maka unsur upaya dan kebutuhan
mejadi faktor kunci seberapa kuat seorang individu dalam berusaha.
Dalam konteks kewirausahaan, motivasi yang terkait dengan kebutuhan
untuk berprestasi lebih dibutuhkan sebagai modal keberhasilan
mengelola usaha dan kebutuhan untuk berprestasi terkait dengan
dorongan yang kuat sekali untuk berhasil, mereka bergulat untuk
berprestasi pribadi bukannya untuk ganjaran sukses semata-mata,
mereka mempunyai hasrat untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik
atau lebih efisien dari pada yang telah dilakukan sebelumnya.41
Berdasarkan pemahaman di atas tampak jelas bahwa nilai-nilai
kewirausahaan sangat relevan dengan nilai-nilai menghargai kerja keras
untuk selalu melakukan hal yang lebih baik, dan bukan hanya
memikirkan ganjaran atau hasil semata. Mereka mencari situasi dimana
mereka dapat mencapai tanggung jawab pribadi untuk menemukan
pemecahan terhadap problem-problem dan menerima umpan balik yang
tepat atas kinerja mereka sehingga dapat diketahui dengan mudah
apakah mereka telah mencapai sesuatu yang lebih baik atau tidak.
Karena kewirausahaan bukanlah pekerjaan penjudi yang lebih
mendapatkan ganjaran karena kebetulan, tetapi mereka berhasil karena
mampu menyelesaikan tantangan dan menerima tanggungjawab pribadi
41Robbins, S.P. Organizational Behavior, New Jersey, (Sixth Edition, Englo Wood Cliffs, Printice Hall Inc, 1996) 90.
318
dengan penuh perhitungan. Itulah sebabnya maka pembelajaran
haruslah mampu menginternalisasi nilai-nilai agar dapat menghasilkan
lulusan yang sesuai harapan.
Peneliti menemukan bahwa keterampilan atau kecakapan
vokasional yang dimiliki santri merupakan faktor yang dapat
menumbuhkan kepercayaan diri dan kepercayaan diri ini juga telah
menjadi potensi untuk memotivasi santri dan alumni PPS Pasuruan
dalam upaya untuk membuka usaha meskipun masih perlu lebih
ditingkatkan lagi sehingga sesuai harapan. Hal ini bisa jadi dipengaruhi
oleh faktor baik internal dan bersifat bawaan sebagaimana dijelaskan
sebelumnya serta faktor eksternal sebagai hasil pembelajaran di
pesantren.
Dalam konteks strategi pembelajaran di pesantren baik secara
teori melalui diklat maupun praktek dengan pengelolaan usaha terdapat
fenomena bahwa order yang bersumber dari ustadz, lingkungan
pesantren dengan bimbingan proses pengerjaan produk yang intensif
terbatas dapat menambah kepercayaan diri santri dalam hal
memproduksi produk dan belum menyentuh pada aspek kepercayaan
diri yang terkait dengan pengembangan nilai-nilai positif terhadap
kreativitas pengelolaan usaha, dan motivasi serta pengembangan mental
atas risiko usaha. Bahkan kemudahan/keberhasilan untuk mencari order
di awal-awal penugasan pengelolaan usaha, kebermaknaannya dalam
319
menumbuhkan motivasi santri lebih sedikit dibanding dengan motivasi
yang ditimbulkan dari kesulitan atau kegagalan yang dilaluinya.
Berbeda dengan order yang didapatkan oleh santri sendiri yang bersal
dari lingkungan pesantren. Hal ini juga berbeda pada santri yang
memegang unit usaha ritail selain dapat menambah kepercayaan diri
juga muncul motivasi mengembangkan unit usaha dan adaya tanggung
jawab dalam mengembangkan unit usaha tersebut.
Memperhatikan hasil penelitian, pembelajaran yang diterapkan
di PPS Pasuruan tampaknya ingin menerapkan motivasi teori penentuan
tujuan dari Edwin Licke dalam Robbins yang mengemukakan bahwa
maksud untuk bekerja ke arah suatu tujuan merupakan suatu sumber
utama dari motivasi kerja. Ini dibuktikan dengan pencapaian target-
target penjualan dengan angka tertentu guna mendapatkan predikat
apakah santri nantinya layak menyandang entrepreneur pemula (bronze
entrepreneur), entrepreneur muda (siver entrepreneur), entrepreneur
madya (gold entrepreneur) maupun entrepreneur berlian (diamond
entrepreneur).42
Model ini cukup efektif dalam menumbuhkan motivasi santri
dalam mengejar tujuan-tujuan itu. Kebanyakan santri berlomba untuk
mencapai target-target guna mengejar prestasi entrepreneur-nya,
pengelola juga melakukan upaya guna mendorong pencapaian target-
42Robbins, S.P. Organizational Behavior, New Jersey, (Sixth Edition, Englo Wood Cliffs, Printice Hall Inc, 1996) 92.
320
target itu melalui kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan order,
seperti pemberian order dari pesantren atau order yang didapatnya
melalui jaringan yang sudah dibangun. Pendekatan ini satu sisi cukup
membantu santri termotivasi karena yang model ini mereka bisa terus
menggarap order dan otomatis akan mendapatkan penghasilan yang
lebih pasti. Hal ini sebagaimana diakui santri yang merasa sangat
terbantu dengan order-order dari ustadz atau pengelola misalnya
produksi air meneral, baju dan sarung atau buku-buku. “Saya memang
sangat senang karena selama praktek pengelolaan usaha tidak pernah
berhenti terus dapat order dan saya sangat senang bagaimana rasanya
mendapatkan uang dari karya sendiri.”
Setelah dikaji lebih jauh, model ini ternyata lebih efektif
meningkatkan kepercayaan diri santri yang berkaitan dengan
meningkatkan kecakapannya dalam memproduksi produk dan belum
banyak menyentuh nilai-nilai kewirausahaan yang lain. Karenanya
untuk lebih menginternalisasi nilai-nilai lainnya model ini perlu
diimbangi dengan pendekatan lain. Disisi lain kemudahan-kemudahan
yang diciptakan pengelola dan ustadz berefek pula pada lambatnya
nilai-nilai di luar kepercayaan diri itu, sebab order yang dari “dalam”
lebih merupakan simulasi dan bukan pengelolaan usaha yang
sebenarnya, karenanya model perlu dilengkapi dengan memberikan
321
kesempatan santri mencapai order yang sesungguhnya di luar pesantren
dan ustadz, tetapi tetap dalam pemantauan yang intensif.
d. Risiko
Salah satu nilai penting mesti terinternalisasi dalam diri calon
entrepreneur adalah keberanian mereka dalam menghadapi risiko. Para
entrepreneur pada umumnya menyukai risiko realistik karena mereka
ingin berhasil. Mereka mendapat kepuasan besar dalam melaksanakan
tugas-tugas yang sukar tetapi realistis yang menerapkan keterampilan-
keterampilan mereka. Jadi, situasi risiko kecil dan risiko tinggi
dihindari karena sumber kepuasan ini tidak mungkin terdapat pada
masing-masing situasi ini. Ringkasanya, entrepreneur menyukai
tantangan yang sukar namun dapat dicapai.43
Jika kewirausahaan ditimbulkan dari berbagai latar belakang
pendidikan, lingkungan keluarga dan pengalaman kerja, maka
kewirausahaan adalah proses dinamika dalam tahapan pencapaian
kesejahteraan dengan risiko waktu dan risiko lainnya. Entrepreneur
dikenal sebagai pengambil risiko (risk taker) sejati, hasilnya adalah
kemampuan mendapatkan keuntungan. Hal ini memiliki peranan
penting dalam penciptaan lapangan kerja.
Terdapat dua kelompok entrepereneur yang satu sama lain
berlawanan, yaitu kelompok” opportunist” dan kelompok “craft
43 Meridith, The Practice Of Entrepreneurship International, (Labor Organization, Genewa, 1988), 63.
322
entrepreneur”. Kelompok wirausahawan opportunist dicirikan oleh
rendahnya tingkat pendidikan (terutama pendidikan teknis) dan
kurangnya pengalaman manajerial, mereka enggan untuk menggunakan
bantuan dari luar dan melakukan reaksi terhadap perubahan berdasarkan
kebutuhan pasar katimbang proaktif dalam menciptakan usaha baru.
Sedangkan kelompok craft entreperneur adalah kelompok wirausaha
yang memiliki latar pendidikan yang tinggi, memiliki pengalaman
manajerial yang baik dan proaktif menciptakan usaha baru. Penilaian
situasi seorang entrepreneur berlainan sekali dari dua tipe orang di atas.
Perbedaan hakiki terletak pada kenyataan bahwa seorang entrepreneur
akan menilai kemungkinan sukses perusahaan itu secara sistematik dan
menyeluruh serta sampai keberanian mengambil risiko yang dapat
mempengaruhi kemungkinan tersebut.44
Kebanyakan ciri-ciri entrepreneur saling berkaitan. Hal ini
lebih-lebih berlaku pada prilaku pengambilan risiko. Beberapa kaitan
itu antara lain: 1) pengambilan risiko berkaitan dengan kreativitas dan
inovasi serta merupakan bagian penting dalam mengubah ide menjadi
realitas, 2) pengambilan risiko berkaitan dengan kepercayaan terhadap
diri sendiri. Semakin besar keyakinan seseorang pada kemampuan diri
sendiri, semakin besar pula keyakinannya terhadap kesanggupannya
mempengaruhi hasil dari keputusan-keputusannya dan semakin besar
44Glancey, Greig and Pattigrew, Entrepreneurial Dynamics in Small Business Service Firms, International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research (Vol 4 (3), 1998), 249-268
323
kesediaannya untuk mencoba apa yang dilihat orang lain berisiko, 3)
pengetahuan realistis kemampuan-kemampuan wirausaha juga sangat
penting. Realisme demikian akan membatasi kegiatan-kegiatan
kewirausahaan pada situasi-situasi yang dapat mempengaruhi hasilnya.
Seorang yang memiliki jiwa entrepreneur sudah pasti akan
memiliki kreativitas yang tinggi untuk menciptakan sesuatu yang belum
pernah ada atau sesuatu yang baru. Untuk itu dibutuhkan kemauan dan
keberanian untuk menghitung dan mengambil risiko yang moderat,
dalam arti mengambil risiko yang sesuai (tidak terlalu berat atau
ringan). Pendidikan dan pengetahuan juga mempengaruhi rasionalisasi
seseorang dalam menerima risiko kegagalan yang mungkin terjadi.
Sebaliknya dengan umur dan keluarga, makin tua umur seseorang yang
tidak diikuti dengan tambahan pengetahuan dan pengalaman menjadi
kemunduran pada diri seseorang dan berprilaku negatif yang dapat
menurunkan jiwa kewirausahaan.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat dikemukakan bahwa
yang paling utama dimiliki oleh seorang entrepreneur adalah
kesenangan untuk berusaha. Dari kesenangan berusaha inilah akan
timbul kreativitas untuk menciptakan suatu usaha serta keberanian
mengambil keputusan yang berisiko. Setelah usaha tersebut berjalan
maka timbul proses pembelajaran berdasarkan pengalaman-pengalaman
324
yang telah dijumpai atau dirasakan dan dari pengalaman-pengalaman
tersebut timbul suatu motivasi untuk mengembangkan usaha.
Hasil penelitian sebagaimana diungkapkan pada BAB IV rata-
rata para santri dan alumni PPS Pasuruan menunjukan bahwa tingkat
keberanian dalam meghadapi risiko cukup. Hal ini dikarenakan proses
pembelajarannya menitik beratkan pada praktek dengan mengelola
suatu usaha dan didisain untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai
tersebut. Sikap realistis seseorang pada risiko berkaitan erat dengan
kreativitas dan daya tahan, ini berimplikasi terhadap kemampuan dalam
mengkaji dan pengambilan keputusan atas peluang maupun tantangan
yang mengandung pertimbangan potensi berhasil maupun gagal.
Pembelajaran yang lebih efektif dalam menginternalisasikan
nilai-nilai adalah pembelajaran dengan pendekatan holistik, yakni selain
menerapkan model-model pelibatan, pengalaman langsung dan evaluasi
terus menerus selama proses. Model-model simulasi bisnis dapat
membantu peningkatan kreativitas, pengalaman langsung dapat
memacu kreativitas dan daya tahan dalam mengahadapi berbagai risiko
yang mingkin dihadapi. Model ini dapat membantu santri lebih positif
terhadap risiko, serta evaluasi selama proses merupakan masukan
dalam internalisasi nilai secara bertahap.45
45Winarno,A., Tinjauan Kritis Pendidikan Kejuruan Berbasis Kewirausahaan, Jurnal Manajemen, Akutansi dan Bisnis, 2 ( 2004), 5-16
325
Pemikiran ini selaras dengan temuan Charney, dkk dengan
penelitiannya The Impact of Kewirausahaan Educational: An
Evaluation of the Barger Kewirausahaan Program at the University of
Arizona 1995-1999, dengan isi yang diteliti adalah kelompok alumni
program kewirausahaan dan non kewirausahaan. Temuan menarik atas
penelitian ini adalah pndidikan kewirausahaan memiliki kontribusi yang
kuat terhadap kemampuan individu dalam hal keberanian menghadapi
risiko dalam memformulasikan spikulasi dalam bisnis. Dan secara rata-
rata para lulusan dari yang memperoleh pendidikan kewirausahaan
memiliki tiga kali kelebihan dibanding dengan yang non pendidikan
wirausahaan yakni dalam hal memulai membuka peluang bisnis baru
dan kontrol karyawan. Lulusan pendidikan enrepreneurship
menunjukan 25% lebih tinggi dalam probabilitas memasuki bisnis-
bisnis baru.46
e. Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam kewirausahaan memiliki kontribusi
penting. Seorang entrepreneur sukses haruslah mempunyai keinginan
yang kuat untuk mengendalikan kelompok dalam rangka pencapaian
tujuan organisasi usaha yang dikelolanya. Ia harus memiliki kemauan
kuat untuk melakukan komunikasi efektif, disiplin dan tanggung jawab.
46Charney, A.,dkk, The Impact of Entrepreneurship Education: An Evaluation of the Berger Entrepreneurship Program at the University of Arizona, 1985-1999, (Kansas City, The Kauffman Centre for Entrepreneurial Ladership, 2000), 23
326
Kepemimpinan mencakup suatu proses pengaruh, pemimpin
mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan.
Hasil penelitian memberikan informasi bahwa rata-rata santri
dan alumni pesantren Sidogiri nilai kepemimpinannya yang terkait
dengan kemampuan bekerjasama antara santri yang bertugas memegang
unit usaha produksi dengan santri yang memegang unit usaha ritail
memiliki perbedaan karakteristik yang unik. Santri yang memegang
unit usaha produksi memiliki kecenderungan lebih terpola dengan kerja
kelompok dan nilai-nilai yang terbangun lebih banyak kepemimpinan
dengan karakteristik menonjol kebutuhan afiliasi. Tipe semacam ini
dalam pengembangan kemampuan pengelolaan usaha tidak banyak
membantu, lulusan malah lebih cenderung saling tergantung dan ini
juga perlahan telah mendegradasi kemandirian dalam memimpin
kelompok.
Kemampuan santri yang memegang unit usaha ritail nilai
kepemimpinannya lebih baik, bisa jadi karena jenis kegiatan yang
selalu melayani kosumen dengan baik, tingkat kedisiplinan lebih
menonjol, lebih komunikatif dan tingkat solidaritas antar kawan yang
tinggi. Dengan karakteristik yang demikian pembelajaran santri dengan
memegang unit usaha produktif dalam membangun kemampuan
memimpin kelompok kerja selayaknya lebih menekankan kepada
peningkatan kemauan dan kemampuan dalam mengendalaikan
327
kelompok kerja, melalui proses pembelajaran yang lebih menekankan
pentingnya kemandirian kerja dan memimpin sebuah tim dengan
terlibat di dalam tim dengan posisi yang setara.
Penugasan yang lebih bersifat pembentukan tugas-tugas mandiri
dalam tanggungjawab (bukan dalam pengerjaan tugas teknis) untuk
program ini sangat dibutuhkan. Santri dengan skenario pembelajaran
tertentu harus dapat mengelola orang-orang yang bukan berasal dari
teman kelompok yang didisain di pesantren, tetapi bagaimana mereka
mengelola orang-orang yang menuntut dirinya menjadi pemimpin
kelompok dalam tanggungjawabnya yang lebih penuh.
Berbeda dengan santri yang memegang unit usaha produktif,
karakteristik kepemimpinan yang menonjol lebih kepada karakteristik
individualistik, yang bercirikan disiplin dalam pemanfaatan waktu, akan
tetapi cenderung kurang komunikatif, dengan tingkat solidaritas yang
rendah. Dengan demikian untuk program ini perlu dorongan
pembentukan nilai-nilai kepemimpinan tim melalui disain pembelajaran
yang mengedepankan penciptaan budaya kerja tim dan peningkatan rasa
solidaritas serta kemauan mendelegasikan tugas kepada orang lain
sebagai bagian dari karakteristik kepemimpinan yang diperlukan bagi
seorang entrepreneur.
Dalam entrepereneurship kepemimpinan yang diperlukan lebih
banyak kepada bagaimana menonjolkan kemampuan mengelola orang
328
lain. Tipe kepemimpinan pekerja keras tidak cukup dalam membangun
kinerja usahanya, ia harus mampu memotivasi tim, karenanya
pembelajaran mesti diarahkan pada internalisasi nilai-nilai yang terkait
dengan kemauan mendelegasikan wewenang dan tanggungjawab,
menghargai karya orang lain atau melihat sisi positif dari karya orang-
orang dalam tim.
Kepemimpinan berarti visi, pemberian semangat, antosiasme,
kasih sayang, kepercayaan, kegairahan, nafsu, ofsesi, konsistensi,
penggunaan simbol, perhatian dan pemberian motivasi. Dengan
demikian memperkuat visi kepemimpinan santri merupakan hal yang
penting yang mesti diperlukan dalam proses pembelajaran di PPS
Pasuruan.
2. Pengaruh Bisnis Orang Tua
Semenjak PPS Pasuruan ini didirikan sebagaimana dalam visi dan
misinya para lulusannya diharapkan dapat menjadi seorang entrepreneur,
dengan istilah sederhana menjadi juragan-juragan kecil. Hasil penelitian
terhadap para alumni sebagaimana dalam bab IV terdapat fenomena
menarik atas perkembangan nilai kewirausahaan pasca lulus dari PPS
Pasuruan yakni ketika mereka mendapat pembelajaran di keluarga.
Alumni yang memulai usaha di rumah dan memiliki jenis usaha
yang sama dengan orang tuanya, cenderung mengalami proses degradasi
329
nilai kewirausahaannya yakni semakin lama semakin ada kecenderungan
penurunan atas nilai-nilai terminal kewirausahaan seperti daya kreativitas,
motivasi dan sikap terhadap resiko. Hal ini tidak terjadi pada alumni yang
membuka usaha berbeda dengan orang tuanya. Untuk Alumni yang orang
tuanya bukan dari kalangan wirausaha nilai-nilai itu tidak banyak
mengalami perubahan setidaknya selama masa lulus dari PPS Pasuruan
sampai penelitian ini berlangsung.
Fenomena bahwa bagi santri yang membuka usaha sama dengan
usaha orang tua (keluarga) mendegradasi nilai kreativitas, motivasi dan
pengambilan resiko tampaknya bisa dipahami. Kreativitas sebagaimana
diungkapkan para informan, selama ini para alumni pesantren atau santri
aktif ketika liburan pesantren lebih banyak membantu mengerjakan order
yang diperoleh orang tuanya dari pada order yang didapatkannya sendiri,
bahkan orang tuanya pula yang mengatur pendapatan usaha keluarga itu.
Kondisi ini bagi peneliti dapat dipahami mengingat rata-rata
budaya keluarga yang menganggap anak bagaimanapun terampilnya
selama belum pisah dengan orang tuanya misalnya karena pernikahan akan
tetap menjadi subordinat orang tua, Mereka tidak memiliki banyak
kebebasan mengatur dirinya termasuk dalam mengelola usahanya. Bagi
anak apa yang dilakukan bukanlah bagian dari proses pembelajaran yang
baik dalam pengembangan nilai-nilai kewirausahaan, karena mereka tidak
ubahnya menjadi pekerja atau karyawan pada usaha orang tuanya. Bisa
330
jadi malah perkembangan nilai-nilai kewirausahaan lebih lemah dibanding
dengan bekerja pada orang lain.
Bagi anak yang usahanya berbeda dengan orang tuanya dalam
perkembangan nilai-niliai kewirausahaan ternyata lebih baik, seperti dalam
hal pengembangan kepercayaan diri, kreativitas, motivasi dan sikap
terhadap resiko. Nilai ini lebih berkembangan mengingat si anak
dibelajarkan oleh keadaan dimana mereka harus bertanggung jawab penuh
terhadap apa yang dia kerjakan. Bahkan motivasi terus dengan
mengembangkan gagasan-gagasan baru dari si anak semakin besar, ketika
dirasakan bahwa usaha yang dirintisnya dirasakan harus lebih baik dan
berkembang dibanding usaha orang tuanya. Dengan kata lain para lulusan
merasa bahwa orang tuanya akan menjadi pesaing dalam berusaha
meningkatkan kinerja bisnisnya masing-masing.
Fenomena ini menarik untuk dicermati mengingat betapa besar
kontribusi pembelajaran di rumah dalam mengembangakan nilai-nilai
kewirausahaan seseorang. Dalam berusaha mencapai tujuan pesantren
perlu ada kerja sama yang baik dengan para orang tua alumni atau santri
aktif terutama dalam hal pembelajaran di rumah saat mereka liburan yang
terkait dengan pengelolaan usaha yang dirintis santri. Ada perbedaan
pendekatan yang mesti dilakukan terhadap orang tua santri berdasarkan
perbedaan karakteristik usaha mereka. Sehingga diharapkan nilai-nilai
331
kewirausahaan yang terbangun selama di PPS Pasuruan dan berkembang
dengan baik sehingga dapat melahirkan seorang entrepreneur yang handal.
3. Visi Kewirausahaan Santri
Hasil penelitian menunjukan bahwa skill produktif yang tidak
diimbangi dengan nilai-nilai kewirausahaan dan pengetahuan yang belum
memadai tentang cara pengelolaan usaha kurang banyak membantu output
dalam merencanakan pengembangan usaha di masa depan (visi
kebisnisan). Hal ini bisa terjadi dikarenakan beberapa faktor yang terkait
dengan materi pembelajaran atau variasi diklat.
Dalam proses pendiklatan, santri mendapatkan tugas tanggung
jawab mengelola usaha tertentu, model pembelajaran pengelolaan usaha
semacam ini ternyata tidak cukup untuk membekali santri dalam
mengembangkan gagasan-gagasan pengembanagan usahanya ke depan.
Pembelajaran berdasarkan pengalaman yang berupa pengelolaan
usaha tidak dapat memberikan banyak kontribusi terhadap pengembangan
visi kewirausahaan santri. Visi kewirausahaan lebih terkait dengan
pengetahuan santri tentang masalah-masalah pengembangan kreativitas
dalam hal kebisnisan “businesship” dengan demikian sistem pendidikan di
pondok pesantren Sidogiri ini belum sepenuhnya memberikan peningkatan
visi kewirausahaan santri, masih diperlukan pembenahan lebih lanjut.
Visi kewirausahaan dapat tingkatkan melalui pembelajaran yang
memberikan pembekalan berupa pengetahuan tentang keahlian berbisnis.
332
Sedangkan keahlian berbisnis itu terkait dengan bidang management,
business plan, finansial skill, marketing skill, operational skill dan human
resources. Dengan demikian untuk melahirkan output santri yang memiliki
visi kewirausahaan tentu salah satu ikhtiarnya adalah bagaimana
pembelajaran di-disain dalam rangka memberikan bekal keahlian
dimaksud.47
Berikut pembahasan lebih terperinci menyangkut beberapa
kecakapan yang harus diperhatikan dalam pembelajaran di PPS Pasuruan
dalam rangka membangun visi kebisnisan santri dan alumni.
a. Manajemen (management)
Manajemen dalam kewirausahaan terkait dengan keterampilan
dan seni dalam pengelolaan sumberdaya yang dimiliki dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tugas yang terkait dengan
fungsi manajemen adalah menghubungkan sumberdaya tehnis dan
manusia semaksimal mungkin untuk mencapai sasaran perusahaan,
manajer tidak secara langsung terlibat dalam proses produksi, mereka
tidak memproduksi barang sendiri, tetapi mengarahkan para bawahan
untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.48
Hasil penelitian visi manajemen santri dan lulusan PPS
Pasuruan relatif cukup. Mereka banyak memahami bagaimana mereka
47Choueke dan Amstrong, The Learning Organization in Small and Medium size Enterprises, A Destination or a Journey, International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research Vol.4 (2), (1988), 129-140 48Kurtz,L.D & Boone, Louis E., Pengantar Bisnis, Terjemahan oleh Fadrinsiyah Anwar,dkk, (Jakarta, Airlangga, 2002), 35
333
merencanakan bisnisnya ke depan, tetapi mereka juga ada yang belum
mengetahui bagaimana mengorganisasi orang-orang dan sumberdaya
sebagai bagian dari tahapan membangun bisnis yang lebih berkembang
dikemudian hari. Hal ini dikarenakan mereka tidak hanya praktek di
lapangan dengan memegang salah satu unit usaha tetapi mereka benar-
benar bekerja dan bertanggung jawab dalam menjalankan usaha itu
dengan sebaik mungkin.
Pemahaman mereka terkait dengan manajemen tidak hanya
terkait dengan bagaimana membelanjakan dana yang dimiliki untuk
mengerjakan pesanan ataupun membuat produk yang dapat memuaskan
pelanggannya melalui tangannya sendiri, akan tetapi bagaimana mereka
mengelola suatu usaha itu dapat berjalan dengan stabil, mereka juga
mampu mengelola pekerjaan yang harus melibatkan orang lain terutama
terkait dengan bagaimana mengelola orang-orang itu. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh beberapa alumni PPS berikut juga memberikan
indikasi yang kuat mengenai keterlibatan visi manajemen bidang
pengelolaan orang-orang. Demikian pernyataan Sugiarto dan
Mohammad Amin pada tanggal 22 April 2013 sebagai berikut:
Saya belum memikirkan pengembangan seperti konveksi dengan menghitungnya dalam skala besar, pekerjaan yang sekarang ini saja, saya sudah kehabisan waktu, mau ngangkat karyawan saya masih kebingungan, selain hasil pekerjaan mereka belum tentu seperti yang saya harapkan, cara memberi gaji dengan penghasilan yang ada itu bagaimana tahu. Saya pinginnya mencari pegawai sebab kadang-kadang saya sendiri jenuh menjahit terus, tapi selain kawatir tidak dapat pegawai
334
yang cocok, saya juga tidak tahu bagainmana cara memberi gajinya., jangan-jangan kurang atau tidak sesuai. Saya juga ada keinginan untuk mengembangkan usaha dengan membuat baju-baju atau membuka usaha konveksi, kemudian menjual alat-alat menjahit, tapi saya tidak tahu bagaimana memulainya.49
Dalam wawancara lebih jauh, dapat diketahui bahwa masalah
yang mendasar dari pernyataan di atas adalah karena keterbatasan
pengetahuan mereka tentang bagaimana membuat perencanaan
pengelolaan orang-orang termasuk berbagai konsekwensinya. Masalah
ini sebenarnya merupakan gejala umum. Pendiri bisnis seringkali
memiliki kekuatan dibeberapa bidang tertentu, seperti pemasaran atau
hubungan antar relasi, tetapi mereka juga memiliki kekurangan di
bidang lain seperti keuangan atau bagaimana memnuhi pesanan, lebih
buruk lagi pada umumnya pembisnis kecil memulai dengan
pengetahuan yang serba terbatas.
Masalah keterbatasan pengetahuan manajemen juga tercermin
dari pernyataan Abdul Hayyi pada tanggal 24 April 2013 sebagai
berikut:
Sepertinya mendapatkan penghasilan dari wirausaha itu gampang, saya memang bisa membuat usaha sablon misalnya dari bahan yang ada di sekitar sini dan murah harganya, akan tetapi kan butuh modal juga, dari mana saya peroleh ? Kalau hutang kan masih mikir bayarnya, belum lagi barangnya belum laku kalau tidak kita tawar-tawarkan ke beberapa tempat, untuk itu kan butuh tenaga, kalau tenaga saya kan tidak mungkin, kecuali kalau punya tempat yang strategis, kalau sewa rasanya terlalu berat, jadi gak tahu ya bagaimana
49 Sugiarto, Muhammad Amin, Wawancara, (tanggal 22 April 2013)
335
memulainya, tetapi kalau ada orang pesan ke saya, pati saya kerjakan dengan baik.50
Berdasarkan informasi di atas, pembelajaran di PPS Pasuruan ini
harus dikelola dengan memperkaya pengetahuan santri pada bidang-
bidang fungsional bisnis, baik menyangkut manajemen personalia,
manajemen pemasaran, termasuk manajemen keuangan. Pengayaan
masalah ini dirasa penting mengingat rata-rata menurut hasil
pengamatan mendalam yang dilakukan peneliti, para alumni tidak
cukup referensi pengetahuan tentang cara-cara maupun model-model
pengelolaan sebuah bisnis terutama bila harus berhubungan dengan
pihak luar. Misalnya jika mereka menentukan pola penggajian
karyawan, penggalian sumber pendanaan, serta cara-cara menembus
pasar. Bekal memanajemeni suatu usaha tidak cukup keahlian teknis,
tetapi juga keahlian hubungan dengan manusia dan keahlian konseptual.
Keahlian-keahlian inilah yang mesti menjadi garapan dalam
perencanaan pembelajaran di PPS Pasuruan.
b. Perencanaan Bisnis (Business Plan)
Memulai usaha tentu memerlukan perencanaan yang matang.
Hal ini penting dalam upaya memperkecil resiko kerugian, karenanya
perencanaan bisnis menjadi faktor penting. Perencanaan bisnis pada
umumnya merupakan dokumen tentang target-target dan tujuan suatu
50 Abdul Hayyi, Wawancara, (pada tanggal 24 April 2013)
336
bisnis dan menerangkan secara jelas bagaimana dan kapan target-target
dan tujuan tersebut dapat dicapai. Ia merupakan panduan untuk
mencapai target bisnis itu sendiri atau dapat juga disebut sebagai peta
jalan (road map) untuk mengoperasikan bisnis.
Pada umumnya masalah penyusunan perencanaan bisnis
meskipun diakui penting manfaatnya, namun tidak sedikit para
pembisnis baru enggan membuatnya dengan berbagai alasan, bahkan
tidak cenderung melaksanakan kegiatan bisnis dengan trail and error.
Seorang pengusaha yang tidak bisa membuat perencanaan sebenarnya
sama dengan merencanakan kegagalan.51
Dengan demikian, banyak tujuan mengapa keahlian menyusun
perencanaan bisnis itu diperlukan antara lain: (1) Meyakinkan pihak
manajemen bisa jadi pemilik, atas rencana bisnis akan dijalankan
bahwa tahapan-tahapan aspek-aspek tertentu itu jika ditaati akan
memberikan harapan keuntungan, sekaligus dapat dijadikan alat dalam
rangka menjalin kerja sama dengan pihak lain. (2) Perencanaan bisnis
selain sebagai alat penuntun operasionalisasi bisnis juga sebagai alat
pengendali penting guna mencapai visi dan misi bisninsnya.
Hasil penelitian memberikan informasi bahwa kemampuan
kelulusan dalam menyusun perencanaan bisnis masih lemah, bahkan
tidak satupun informan memiliki dokumen ini meskipun mereka telah
51 Alma,B., Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum, (Bandung, Alfabeta, 1999), 43
337
membuka usaha di rumah-masing-masing, pengetahuan inipun relatif
terbatas. Dokumen perencanaan bisnis minimal mencakup informasi
tentang jenis usaha, pasar dan pemasaran, ini terkait dengan pasar
sasaran dan target-target, proses produksi, mesin dan peralatan yang
direncanakan untuk dipergunakan, perencanaan penggunaan karyawan,
keuangan terutama terkait dengan aliran kas (cash flow) bisnis serta
kemungkinan perluasan di masa depan. Hal ini disusun selain berangkat
dari hasil pengamatan yang mendalam, memperhatikan visi misi
bisnisnya serta pandangan ke depan berdasarkan kekuatan, kelemahan
serta tantangan dan peluang yang memungkinkan.
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, meskipun responden
tidak ada yang menyusun dokumen ini, hasil pengamatan dan
wawancara mendalam tampak bahwa pengetahuan hal-hal di atas masih
kurang, kecuali masalah pelayanan terhadap konsumen, proses produksi
dan pemahaman masalah mesin dan alat-alat. Dengan demikian
pembelajaran yang berlangsung diperlukan perhatian pada peningkatan
kemampuan menyusun perencanaan menjadi penting.
c. Kecakapan Pengelolaan Keuangan (Financial Skills)
Dalam bisnis kemampuan mengelola keuangan merupakan
kemampuan dasar yang harus dimiliki. Kecakapan pada bidang
pengelolaan keuangan terkait dengan kecakapan dalam membuat
keputusan bidang investasi, kemampuan dalam keputusan pemilihan
338
sumber pendanaan dan kemampuan dalam keputusan pembagian atau
alokasi keuangan.
Pengelolaan keuangan berkaitan dengan perencanaan pengadaan
dan penggunaan dana guna memaksimalkan nilai perusahaan yang
dalam hal ini kecakapan itu lebih terinci dapat dijelaskan sebagai
berikut: 1) peramal dan perencana, pembisnis dalam tugas ini harus
berkemampuan berinteraksi dengan bagian-bagian lain dalam
perusahaan guna memeperkirakan masa depan perusahaan dan
menetapkan rencana bersama untuk menentukan posisi masa depan
usahanya itu. Bagi pengusahawan pemula tugas ini terkait dengan
kemampuan membaca kebutuhan operasional usahanya.
Dalam penelitian dipeoleh informasi bahwa rata-rata
kemampuan lulusan PPS Pasuruan dalam masalah ini masih terbatas,
perencanaan usaha tidak berdimensi jangka panjang tetapi lebih bersifat
insidentil. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak mempunyai visi
yang jelas akan usahanya ke depan. 2) keputusan dalam investasi dan
pembiayaan, sebagai konsekwensi dari rencana bisnisnya, maka
keterampilan berikutnya yang harus dimiliki pembisnis adalah
menyangkut penyediaan dana guna mendukung pertumbuhan. Bisnis
yang berhasil pada umumnya memiliki keputusan yang tepat mengenai
bagaimana menambah alat-alat guna mendukung omzet penjualan yang
direncanakan, ia memerlukan modal kerja yang cukup. Karenanya
339
pemilihan sumber pendananaan untuk membiayai operasional usahanya
menjadi faktor penting. Pemahaman lulusan tentang sumber-sumber
pendanaan yang dapat menjadi alternatif pembiayaan perlu diberikan
dalam materi pembelajaran, termasuk berbagai konsekwensi ekonomi
atas keputusan tentang apakah internal ataupun yang bersumber dari
eksternal, utang atau ekuitas, jangka pendek atau jangka panajang. Ini
semua merupakan kecermatan yang mesti harus dimiliki para alumni
PPS Pasuruan, 3) pengendalian keuangan, kecakapan lain yang mesti
dimiliki lulusan pesantren adalah bagaimana mereka berkemampuan
dalam pengendalian keuangan, keputusan dana berapa yang harus
dialokasikan serta berapa perputaran dana yang harus dicapai,
merupakan faktor yang dapat menentukan tingkat pertumbuhan usaha.
Tidak hanya itu, dalam bisnis yang mulai tumbuh pengendalian
keuangan akan berfungsi sebagai dasar perencanaan kualitas
persediaan, pemanfaatan kapasitas mesin dan orang-orang serta sebagai
sumber motivasi bagi pencapaian target-target pertumbuhan, 4) alokasi
keuntungan, kecakapan dalam mengalokasikan keuntungan atau
pendapatan usaha memerlukan keterampilan tersendiri, pilihan apakah
keuntungan yang diperoleh itu untuk reinvestasi ataukah untuk
difersikasi bisnis, ini merupakan cakupan tugas yang mesti dilakukan
oleh pembisnis. Bahkan dalam perusahaan yang telah berkembang
keputusan ini akan menyangkut apakah keuntungan dibagi-bagi
340
pemegang saham ataukah ditahan. Ini semua akan berpengaruh
terhadap nilai perusahaan.52
Masalah kemampuan memanajemeni keuangan bagi seorang
entrepreneur terutama entrepreneur kecil menjadi persyaratan utama.
Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa masalah utama yang sering
dihadapi oleh para entrepreneur pemula terkait dengan keterbatasan
kemampuan mengelola keuangan. Dalam hal ini ketertiban administrasi
juga ditemukan bahwa pengetahuan satri tentang perencanaan keuangan
dan sistem akuntansi, seperti penyusunan cash flow, perhitungan harga
pokok, perhitungan laba rugi dan penyusunan neraca masih perlu
pembinaan.
d. Marketing Skills
Salah satu indikator visi kewirausahaan adalah meyangkut
keahlian dan pengetahuaannya dalam bidang marketing (pemasaran)
marketing skill terkait dengan jawaban atas pertanyaan darimana kita
berangkat, mau kemana dan bagaimana menghadapinya.53 Pernyataan
itu memberikan makna bahwa setiap bisnis yang dilakukan senantiasa
menyangkut perencanaan yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan
apa yang dimiliki. Hal ini penting untuk menentukan pijakan memulai,
serta sasaran-sasaran apa yang akan dicapai dan serta strategi apa yang
digunakan untuk mencapai itu. 52Weston,J.F& Brighan E.,F., Dasar-dasar Manajemen Keuangan, Terjemahan oleh Alfonsus Sirait, (Jakarta, Airlangga, 1993). 98 53Alma,B., Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum, (Bandung, Alfabeta, 1999), 76
341
Pembelajaran yang memberikan muatan pengetahuan tentang
keahlian pemasaran paling tidak bermuatan berbagai keterampilan yang
terkait dengan masalah-masalah: 1) analisis lingkungan dan peluang
pasar, 2) menentukan potensi dan pasar sasaran dan 3) memilih strategi
pemasaran yang efektif.54
Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan santri dan
lulusan pesantren Sidogiri dalam masalah ini masih kurang, mereka
masih kurang pengetahuan tertang berbagai langkah dalam membaca
peluang selain menawarkan produk atau keterampilan yang mereka
miliki. Dampaknya bahwa bagaimana mengelola bisnisnya menjadi
lebih baik di masa mendatang relatif kurang terencana. Mereka
melakukan apa yang sekarang bisa dilakukan dengan keterampilan yang
dimilikinya dan bukan mempersiapkan bagaimana pengembangan
kedepan. Hal ini dikarenakan selain order yang masih terbatas pada
kebutuhan internal pondok pesantren juga karena target-target yang
dibebankan kepada mereka kurang maksimal.
Dengan temuan ini tentu penyusunan mata diklat yang terkait
perlu memperhatikan sub kompetensi ini. Santri bukan tidak mau
membuat perencanaan marketing, tetapi pengetahuan tentang ini
memang masih terbatas.
54Winarno,A., Tinjauan Kritis Pendidikan Kejuruan Berbasis Kewirausahaan, Jurnal Manajemen, Akutansi dan Bisnis, 2 (2), (2004), 5-16
342
e. Operasional Skills
Kecakapan operasional berkaitan dengan kemampuan mengelola
orang dan mesin dalam mengubah bahan serta sumberdaya menjadi
barang dan jasa yang lebih berguna dan bernilai ekonomi. Kecakapan
ini sangat erat hubungannya dengan vokasional skill yakni kecakapan
yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu Kecakapan ini
dihubungkan dengan keterampilan dalam menggunakan alat atau mesin
dalam bidang tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian yang mendalam menunjukan,
bahwa kecakapan santri dan para alumni PPS Pasuruan dalam
menangani pekerjaannya yakni menggunakan alat-alat dalam rangka
menghasilkan produk dan jasa sangat memadai misalnya percetakan
dan produk air mineral dan percetakan. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa kecakapan yang sangat baik ini terbentuk selain
karena faktor bakat juga karena proses belajar mengajar (internalisasi)
yang terdisain dengan baik dengan didukung oleh ketersediaannya
ruang kerja, ruang praktek dan alat-alat yang memadai.
Para santri dan para alumni pesantren Sidogiri rata-rata memiliki
kecakapan yang baik hal ini bisa jadi karena pembelajaran mata diklat
produktif yang merupakan mata diklat utama. Apabila mata diklat dari
banyaknya jam yang disediakan memang mayoritas didominasi oleh
mata diklat produksi dan pengelolaan unit usaha ritail milik kopontren
343
Sidogiri. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam juga
diperoleh data bahwa skenario pembelajaran dalam mata diklat ini juga
tepat dalam rangka meningkatkan keterampilan pembelajaran.
Keterbukaan ustadz dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas
memproduksi barang dan penanganan unit usaha ritail sangat
mendukung dan memotivasi santri dalam menyelesaikan dan
mengembangkan pekerjaannya dengan lebih baik.
Mesin-mesin yang lebih baik dan waktu praktek (demonstrasi)
yang lebih banyak lebih unggul dalam kualitas produksinya. Demikian
pula tanggungjawab yang diberikan lebih dapat membangun mental
santri lebih disiplin dalam memegang unit usaha ritail dan pemanfaatan
alat atau mesin-mesin fasilitas pesantren Sidogiri.
f. Human Reosurces Skills
Kecakapan ini menyangkut kemampuan antar pribadi yang
memungkinkan seorang entrepreneur bekerja secara efektif dengan dan
melalui orang lain. Keahlian ini mencakup kemampuan berkomunikasi,
memotivasi dan memimpin karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugas
yang dibebankan. Dengan demikian visi kewirausahaan yang terkait
dengan masalah ini adalah bagaimana seorang entrepreneur memiliki
keterampilan dan komitmen yang jelas menyangkut pengelolaan orang
lain.
344
Fenomena menarik dalam mencermati hasil penelitian
menunjukan bahwa visi santri dan para alumni PPS Pasuruan yang
menyangkut pengelolaan orang lain masih kurang, bahkan untuk santri
yang bertugas membuat dan mendisain baju dan sarung “santri”
kecenderungan yang terjadi sebagai konsekwensi dari jenis vokasional
yang ditekuni telah membentuk lulusan sebagai pribadi yang lebih
individual dalam mengerjakan tugas-tugas pekerjaaannya. Sulit bagi
santri ini untuk mempercayakan sebagian pekerjaannya kepada orang
lain, mereka lebih bersikap individualis.
Karenanya kemampuan belajar dalam hal memimpin kelompok
terus menerus menjadi bagian yang tidak boleh terabaikan dalam
pembelajaran kewirausahaan sebab salah satu hambatan besar dalam
upaya mengembangkan usaha ke depan adalah menyangkut
ketidakmampuan seseorang dalam hal membagi tugas dan
mendelegasikan wewenang kepada orang lain, termasuk dalam
mengelola suatu tim.
Pengelolaan tim merupakan hal strategis mengingat kerjasama
tim merupakan kecenderungan yang terus berkembang dalam bisnis dan
organisasi lainnya. Saat ini kemampuan seseorang untuk bekerja secara
efektif sebagai anggota tim menjadi lebih baik dari pada bekerja
sendiri-sendiri. Kerjasama tim merupakan salah satu topik yang paling
sering dibahas dalam program pelatihan calon seorang entrepreneur.
345
Namun demikian kerjasama tim tidak boleh sampai memunculkan sikap
saling ketergantungan mengingat tujuan lembaga ekonomi Sidogiri
adalah melahirkan seorang entrepreneur yang mesti ada keberanian
bekerja sendiri. Fenomena ini terjadi pada santri yang bertugas di
produksi baju dan sarung santri disain kerja tim yang dibangun telah
membentuk ketergantungan. Sebagai konsekwensinya lulusan kurang
memiliki pengalaman yang cukup dalam mengelola sendiri usahanya.
Lebih jauh masalah pengelolaan sumberdaya manusia apabila
dikaitkan dengan fungsi manajerial terutama bagi para pembisnis yang
mulai berkembang diperlukan pengetahuan yang cukup tentang model-
model rekrutmen dan seleksi, pelatihan pegawai dan pedidikan,
memotivasi, tehnik kompensasi, promosi dan pergantian pegawai serta
pemahaman tentang kecenderungan sumberdaya manusia di masa yang
akan datang baik yang didorong oleh kecenderungan faktor demografi,
tenaga kerja, ekonomi maupun tuntutan gaya hidup pekerja.
E. Proposisi Temuan Hasil Penelitian
Bedasarkan analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka
proposisi hasil penelitian dapat dirinci sebagai berikut:
1. Individu secara alamiah memiliki bakat bawaan yang berbeda dengan
individu lain meskipun lahir dan hidup dalam satu keluarga, bakat-bakat itu
terkait dengan minat dan tingkat kecepatannya dalam menyesuaikan dengan
346
kegiatan tertentu dan bakat ini lebih mengarah kepada masalah keterampilan
dan bukan menyangkut nilai-nilai. Nilai-nilai lebih banyak dibangun melalui
pembelajaran di lingkungan pesantren dan di keluarga. Pembelajaran
keseharian di lingkungan keluarga saat liburan pondok berkontribusi cukup
besar dalam menumbuhkan potensi nilai-nilai kewirausahaan berupa
kepercayaan diri, motivasi dengan tingkat yang masih abstrak. Tidak
terdapat kaitan yang berarti antara lingkungan sosial atau pergaulan santri di
luar pesantren dengan nilai-nilai pada diri santri akan tetapi lingkungan di
dalam pesantren sangat besar kontribusinya dalam perubahan nilai-nilai
entrepeneurship santri di PPS Pasuruan.
2. Nilai-nilai pendidikan agama yang tersajikan dalam kitab klasik yang digali
melalui pendidikan pondok pesantren baik melalui pengajian kitab salaf
maupun madrasah diniyah yang dikolaborasikan dengan materi teori
ekonomi modern, kemudian diterapkan dalam pendidikan ekonomi pada
santri melalui lembaga ekonomi baik kopontren BMT-MMU maupun BMT-
UGT dengan didukung oleh upaya pengelompokan daerah asrama dengan
motivasi dan doktrin tentang pentingnya kemandirian, telah terbukti dapat
menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan santri di PPS Pasuruan.
3. Peran kiai dengan menerapkan pola kepemimpinan modern, terbuka,
menerapkan manajemen modern dan mau menerima perubahan, yang
disinergikan dengan peran anggota komonitas pesantren yang terdiri dari
pengurus dan ustadz, terbukti dapat mengembangkan pendidikan yang
347
berbasis life skill dan kewirausahaan dengan proses internalisasi nilai-nilai
kewirausahaan dan sekaligus dapat meningkatkan kinerja lembaga ekonomi
pondok pesantren, sehingga mampu menghasilkan output santri yang
entrepreneur dan memandirikan pesantren secara financial di PPS Pasuruan.
4. Visi kewirausahaan santri PPS Pasuruan satu sisi sudah dinilai baik dan sisi
lain ada yang belum sepenuhnya seperti yang diharapkan mengingat tidak
samanya manfaat materi diklat terhadap visi kewirausahaan. Pembelajaran
berdasarkan pengalaman yang berupa pengelolaan usaha tidak dapat
memberikan banyak kontribusi terhadap pengembangan visi kewirausahaan
santri. Visi kewirausahaan lebih terkait dengan pengetahuan santri tentang
masalah-masalah pengembangan kreativitas dalam hal kebisnisan
“businesship” dengan demikian sistem pendidikan di pesantren Sidogiri ini
masih diperlukan pembenahan lebih lanjut.
Berdasarkan proposisi minor tersebut di atas, maka proposisi mayor
yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah: “Proses internalisasi nilai-
nilai kewirausahaan melalui pendidikan diniyah, pengajian kitab salaf dan
lembaga ekonomi yang dimotori oleh kiai didukung oleh pengurus dan ustadz
mampu mencetak output santri yang entrepreneur dan sekaligus dapat
meningkatkan kesejahteraan anggota komunitas dan masyatrakat sekitar PPS
Pasuruan”.