bab v hasil 1. deskripsi lokasi penelitian · ppi (pengendalian penyakit infeksi) pemahaman...
TRANSCRIPT
54
BAB V
HASIL
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
a. Profil RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo berdiri pada saat pemerintahan
Belanda pada tahun 1917, pada saat itu masih berupa pos kesehatan
dengan keadaan yang sangat sederhana yang dipimpin oleh seorang dokter
dan dibantu oleh 2 orang pembantu yang masing masing bertugas
membantu pelayanan kesehatan dan membantu dokter apabila sewaktu
waktu tugas lapangan. Kemudian sejalan dengan usaha peningkatan segi
pelayanan kesehatan terhadap masyarakat berdasarkan Kepmenkes RI
Nomor : 51/ Menkes/SK / II/ 1979, RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
ditetapkan menjadi Rumah Sakit pemerintah kelas D dan pada tahun 1988
berubah status menjadi Rumah Sakit tipe C sesuai Kepmenkes RI Nomor
105/Menkes/SK/II/1988 tentang penetapan Peningkatan Kelas Beberapa
Rumah Sakit Umum Pemerintah Kelas D menjadi Rumah Sakit Umum
Pemerintah kelas C.
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Dati II Ponorogo ditetapkan
menjadi Unit Swadana Daerah berdasarkan Surat mendagri Nomor :
445/3952/PUOD tanggal 6 Desember 1994 dan perkembangan selanjutnya
Mendagri mengeluarkan Keputusan Nomor 445.35.540 tentang
Pengesahan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo
Nomor 11 tahun 1992 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah
55
Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo Nomor 1739 tahun 1996 tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo
Nomor 11 tahun 1992 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Daerah tingkat II Ponorogo menjadi Unit Swadana Daerah.
Sesuai dengan keputusan DPRD Kabupaten Ponorogo Nomor
06/PIMP. DPRD/2002 tentang nama Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Ponorogo dan dikuatkan oleh Keputusan Bupati Nomor 176
tahun 2002 tentang penetapan Prof. Dr. Harjono Soedigdomarto, Sp.OG
sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ponorogo,
mengingat pada saat itu rumah sakit belum mempunyai nama khusus.
Pada tahun 2003 Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono S
Ponorogo terakreditasi dalam 5 pelayanan, dan pada tanggal 28 Juli 2004
terjadi perubahan peningkatan kelas dari kelas C menjadi Kelas B non
pendidikan melalui Penetapan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo menjadi
RSUD kelas B Non pendidikan yang diikuti dengan penyempurnaa
organisasi dan tata kerja oleh Bupati Ponorogo No 11 tahun 2008 pada
tanggal 19 Nopember 2008 yang dilaksanakan pada tanggal 9 Januari
2009.
Berdasarkan UU no 44 tahun 2009 pasal ayat 3 menjelaskan bahwa
rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah harus
berbentuk unit pelaksana teknis daerah dengan pengelolaan Badan
Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pemberlakuan PPK BLUD (Penerapan Pola Pengelolaan
56
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah) RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
mulai tanggal 1 Januari 2012 berdasarkan Peraturan Bupati per 25 April
2011 nomor 545 tahun 2011 tentang penerapan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) atau secara
penuh pada Rumah Sakit Daerah (RSUD) Dr. Harjono S Ponorogo
dengan status sebagai PPK-BLUD.
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono S Ponorogo pada tanggal
15 Desember 2015 telah meraih Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 dari
KARS dengan predikat paripurna setelah melewati proses persiapan,
proses pembimbingan, survey simulasi dan yang terakhir penilaian dari tim
KARS dalam survey akreditasi selama 3 hari.
b. Visi :
Terwujudnya RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sebagai pilihan utama
pelayanan kesehatan bagi masyarakat kabupaten Ponorogo dan
sekitarnya.
c. Misi :
1. Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
2. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan sumber
daya rumah sakit baik medis paramedis maupun tenaga yang lain.
3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana rumah
sakit baik medis maupun non medis.
57
4. Memberikan kontibusi nyata untuk pendidikan dan pelatihan yang
terintegrasi dengan pelayanan dalam rangka meningkatkan SDM
dan IPTEK.
5. Meningkatkan koordinasi karyawan, pemerintah dan lembaga
masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama.
d. Tujuan dan Sasaran
1. Memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat dengan
mengoptimalkan pelayanan spesialistik.
2. Menjadi rumah sakit rujukan di Kabupaten Ponorogo dan
sekitarnya.
3. Sasaran adalah masyarakat Ponorogo khususnya dan masyarakat
sekitar Kabupaten Ponorogo pada umumnya.
e. Tugas Pokok
1. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdayaguna dan berhasil
guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang
dilaksanakan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan dan
pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan, dan
2. Melaksanakan pelayanan yang bermutu sesuai standar pelayanan
rumah sakit kelas B Non Pendidikan.
58
f. Struktur organisasi
Gambar 4.1 Struktur Organisasi RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
59
g. Kedudukan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo di peta Kabupaten
Ponorogo
Gambar 4. 2 Peta Kabupaten Ponorogo
h. Fasilitas Gedung
Konsep yang digunakan dalam penataan gedung dan lahan di
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo menggunakan konsep garden hospital
yaitu rumah sakit yang memadukan kesehatan dan lingkungan di
antaranya adalah rumah sakit yang memiliki lahan terbuka hijau,
penataan taman, menggunakan sistem pencahayaan alami,
60
menggunakan pendingin ruang alami melalui sirkulasi udara yang
memadai. Ruang terbuka hijau di rumah sakit ini selain difungsikan
sebagai ruang publik juga difungsikan sebagai area kesehatan alami
seperti jogging track yang secara tidak langsung menjadi akan menjadi
sarana yang menyehatkan. RSUD Dr. Harjono S Kabupaten Ponorogo
memiliki luas tanah 6,3 HA, dan luas bangunan 16.702,7625 meter
persegi. Tabel di bawah ini akan menjelaskan tentang gedung-gedung
yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
Tabel 4.1 Fasilitas gedung RSUD Dr.Harjono S Ponorogo.
No Nama gedung Jumlah gedung
1. Gedung Poliklinik 1
2. Gedung Manajemen 1
3. Gedung IGD 1
4. Gedung Radiologi 1
5. Gedung Laboratorium 1
6. Gedung ICU Bedah 1
7. Gedung Instalasi Bedah Sentral 1
8. Gedung Diklat 1
9. Gedung IRNA lantai I 1
10. Gedung IRNA lantai II 1
11. Gedung IRNA lantai III 1
12. Gedung Instalasi Rawat Intensif 1
13. Gedung Delima 1
14. Gedung Aster 1
15. Gedung Flamboyan 1
16. Gedung Mawar 1
17. Gedung Melati 1
18. Gedung Eria 1
19. Gedung Hemodialisa 1
20. Gedung Gudang Farmasi 1
21. Gedung Gudang Non Medis 1
22. Gedung Pemulasaraan Jenazah 1
23. Gedung Instalasi Gizi 1
24. Gedung Laundry 1
25. Gedung CSSD 1
26. Gedung IPS 1
27. Gedung Genset 1
61
28. Pos Jaga Utara 1
29. Pos Jaga Selatan 1
30. Pos Jaga Belakang 1
31. Gedung PONEK 1
32. Gedung Perawatan Paru 1
Gambar 4.3 Denah RSUD Dr. Harjono S Ponorogo Sumber : Humas RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo
i. Pelayanan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
RSUD Dr.Harjono S Ponorogo adalah salah satu rumah sakit rujukan
bagi sektor pelayanan kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta di
lingkungan Kabupaten Ponorogo yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang terdiri dari :
1. Pelayanan gawat darurat
2. Pelayanan rawat jalan
3. Pelayanan rawat inap
4. Pelayanan bedah sentral
62
5. Pelayanan persalinan dan perinatologi
6. Pelayanan intensif
7. Pelayanan radiologi
8. Pelayanan laboratorium patologi klinik
9. Pelayanan rehabilitasi medik
10. Pelayanan farmasi
11. Pelayanan gizi
12. Pelayanan transfusi darah
13. Pelayanan rekam medis
14. Pengelolaan limbah
15. Pelayanan administrasi manajemen
16. Pelayanan ambulans/kereta jenazah
17. Pelayanan pemulasaraan jenazah
18. Pelayanan laundry
19. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit
20. Pelayanan Diklat
21. Pelayanan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
22. Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
23. Pelayanan Hemodialisa
24. Pelayanan Endoscopy
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo juga memiliki 20 SMF (Staf Medis
Fungsional), 16 Instalasi, dan 18 poliklinik rawat jalan. Staf Medis Fungsional
yang ada meliputi :
63
1. Penyakit Dalam (Interna)
2. Kardiologi,
3. Paru
4. Bedah Umum
5. Bedah Syaraf
6. Orthopaedi dan Traumatologi
7. Obstetri dan Gynekologi
8. Anak
9. Anasthesi dan Reanimasi
10. Neurologi
11. Dokter Umum
12. Mata
13. THT
14. Kulit dan Kelamin
15. Patologi Klinik
16. Patologi Anatomi
17. Radiologi
18. Rehabilitasi Medis
19. Psikiatri
20. Gigi dan Mulut.
Instalasi yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo meliputi:
1. Instalasi Rawat Jalan
2. Instalasi Gawat Darurat
64
3. Instalasi Rawat Inap
4. Instalasi Rawat Inap Intensif
5. Instalasi Bedah Sentral
6. Instalasi Sterilisasi Sentral
7. Instalasi Pemeliharaan Sarana
8. Instalasi Laboratorium
9. Instalasi Farmasi
10. Instalasi Hemodialisa
11. Instalasi Rehabilitasi Medis
12. Instalasi Radiologi
13. Instalasi Gizi
14. Instalasi Penyehatan Lingkungan
15. Instalasi Promosi Kesehatan.
16. Instalasi Jenazah.
Poliklinik rawat jalan yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo meliputi:
1. Penyakit Dalam (Interna)
2. Kardiologi
3. Paru
4. Bedah Umum
5. Bedah Syaraf
6. Orthopaedi dan Traumatologi
7. THT
8. Obstetri dan Gynekologi
65
9. Anak
10. Tumbuh Kembang
11. Umum
12. Neurologi
13. Mata
14. Kulit dan Kelamin
15. Psikiatri
16. Psikologi
17. VCT
18. Gigi dan Mulut.
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo memiliki 387 tempat tidur yang
meliputi ruang rawat inap kelas I, II, dan III, sampai ruang rawat inap utama
dan VIP. Sedangkan untuk Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo memiliki 8 ruang operasi untuk operasi elektif dan 3 kamar operasi
di Gedung PONEK. Untuk Instalasi Rawat Intensif terdiri dari Ruang
Perawatan Intensive Care Unit (ICU) memiliki 10 tempat tidur, Ruang
Perawatan Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) memiliki 10 tempat tidur,
Neonatal Intensif Care Unit (NICU) memiliki 6 tempat tidur, Pediatric
Intensive Care Unit memiliki 8 tempat tidur, ruang perawatan Intermediate
(IMC) memiliki 14 tempat tidur dan HCU Bedah memiliki 16 tempat tidur.
Sumber daya manusia di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo berjumlah
total 636 orang terdiri dari 427 tenaga kesehatan dan 209 tenaga non kesehatan.
Tenaga dokter spesialis sebanyak 28 orang, tenaga dokter umum sebanyak 15
66
orang dan dokter gigi sebanyak 2 orang. Tenaga keperawatan sebanyak 288
orang yang terdiri dari tenaga perawat sebanyak 253 orang dan tenaga bidan 35
orang. Tenaga penunjang medik terdiri dari tenaga farmasi, gizi, laboratorium,
rehabilitasi medik dan radiografer. Tenaga farmasi terdiri dari 3 apoteker, 3
sarjana farmasi dan 28 asisten apoteker. Tenaga laboratorium 16 orang,
sedangkan tenaga radiografer sebanyak 9 orang. Di bawah ini disajikan tabel
tentang karakteristik sumber daya manusia di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
Tabel 4.2 Karakteristik Sumber Daya Manusia di RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo
No Jenis tenaga Jumlah
1. Medis
a. Dokter Spesialis
b. Dokter Umum
c. Dokter Gigi
28
15
2
2. Tenaga Keperawatan
a. Perawat
b. Bidan
253
35
3. Tenaga Non Keperawatan
a. Farmasi / Apoteker
b. Psikologi
c. Kesehatan Masyarakat
d. Analis
e. Gizi
f. Radiologi
g. Sanitarian
h. Fisioterapi
3
2
9
16
13
9
8
9
4. Tenaga Non Medis
a. Manajemen
b. Staf Administrasi
c. Keamanan / Satpam
d. Sopir
e. Pendorong pasien
f. Admisi pasien
g. Laundry
h. Instalasi Sterilisasi Sentral
i. Operator
22
64
15
6
10
30
10
4
6
67
j. PDE
k. Rekam Medik
l. IPS
3
18
20
Jumlah 636
Sumber : Profil RSUD Dr. Harjono S Ponorogo 2016
Peningkatan kualitas, efektifitas dan efesiensi tidak hanya tergantung
pada teknologi mesin-mesin modern, modal yang cukup dan adanya bahan
baku yang bermutu saja. Namun semua faktor tersebut tidak akan terjadi apa-
apa tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang baik dan bisa
mengembangkan kemampuan dan keahlian mereka serta dapat
menunjukkannya dalam peningkatan grafik produktivitas kerja.
Menguraikan sumber daya manusia, tidak lepas dari manajemen
sumber daya manusia itu sendiri. Manajemen sumber daya manusia merupakan
aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan agar sumber daya
manusia di dalam suatu organisasi dapat digunakan untuk mencapai tujuan.
Salah satu hal yang kongkrit untuk mendorong peningkatan produktivitas
sumber daya manusia adalah pendidikan dan pelatihan agar mampu
mengemban tugas dan pekerjaan dengan sebaik mungkin.
Pendidikan ini dimaksudkan untuk membina kemampuan atau
mengembangkan kemampuan berpikir para pegawai, meningkatkan
kemampuan mengeluarkan gagasan-gagasan pada pegawai sehingga mereka
dapat menunaikan tugas kewajiban dengan sebaik-baiknya. Waktu yang
diperlukan untuk pendidikan bersifat lebih formal. Sedangkan latihan lebih
mengembangkan ketrampilan teknis sehinga pegawai dapat menjalankan
pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Latihan berhubungan dengan pengajaran
68
tugas pekerjaan dan waktunya lebih singkat serta kurang formal.proses
penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan kemampuan
pegawai. Berikut beberapa pelatihan yang telah diselenggarakan oleh RSUD
Dr. Harjono S Ponorogo:
i. PPI (Pengendalian Penyakit Infeksi)
Pemahaman pengetahuan dan aplikasi PPI bagi seluruh karyawan
rumah sakit menjadi suatu keharusan dalam rangka memberikan pelayanan
yang bermutu (Patient Safety). Hal ini diperlukan salah satunya untuk
mencegah kejadian HAIs (Healthcare Associated Infections) yaitu infeksi
yang terjadi selama proses perawatan di rumah sakit atau di fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya, saat masuk pasien tidak ada infeksi atau tidak
dalam masa inkubasi, infeksi didapat di rumah sakit tapi muncul setelah
pulang, juga infeksi pada petugas kesehatan yang terjadi karena pekerjaan.
(Kem.Kes.RI 2007)
Oleh karena itu penting untuk dilaksanakan In House Training PPI
yang bertujuan untuk : (1) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman PPI
bagi karyawan, khususnya yang bekerja di Zona Resiko infeksi tingkat
tinggi dan Zona Resiko sangat tinggi. (2) Meningkatkan upaya pencegahan
penularan infeksi rumah sakit bagi pasien, keluarga, pengunjung dan
petugas/karyawan rumah sakit. (3) Meningkatkan mutu pelayanan rumah
sakit.
Sub Komite PPI bekerjasama dengan Bagian Pengembangan RSUD
Dr. Harjono S Ponorogo mengadakan In House Training PPI Dasar kepada
69
100 orang karyawan rumah sakit yang terutama bekerja di : (1) Zona Resiko
Tinggi : yaitu ruang perawatan penyakit infeksi, ruang perawatan penyakit
kronis, ruang tindakan, antara lain IGD, Instalasi Farmasi, Ruang perawatan
penyakit infeksi, Laboratorium klinik, patologi anatomi, kamar jenazah,
laundry. (2) Zona Risiko Sangat Tinggi : yaitu ruang isolasi airborne dan
MDR TB, ruang laboratorium infeksi, ruang ICU, kamar operasi, Teratai :
PICU, NICU, Poliklinik Paru. (3) ruang – ruang lain : seperti gizi, petugas
ambulance, dll.
ii. Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah proses untuk menciptakan dan
mengimplementasikan strategi, untuk meminimalkan kerugian akibat
kecelakaan pada manusia, sarana prasarana fasilitas dan keuangan rumah
sakit melalui identifikasi dan penilaian potensi kehilangan asset rumah sakit,
dan melakukan seleksi sesuai asumsi kerugian, transfer, mekanisme
pengendalian dan pencegahan. Manajemen risiko adalah proses strategis
untuk mengkreasikan dan menerapkan secara langsung untuk
meminimalisasi kejadian tidak diharapkan. Manajemen risiko adalah
pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun prioritas
risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya.
Pendekatan manajemen risiko difokuskan pada kejadian yang telah terjadi
(reaktif) dan potensial terjadi (proaktif) dengan menerapkan manajemen
risiko terintegrasi yang memprioritaskan keselamatan pasien, melalui revisi
pengembangan proses, fungsi dan layanan.
70
iii. Pelatihan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
Salah satu usaha peningkatan penampilan dari masing masing sarana
pelayanan seperti rumah sakit adalah dengan meningkatkan mutu pelayanan
di semua unit pelayanan, baik pada unit pelayanan medik, pelayanan
penunjang medik, ataupun pada unit pelayanan administrasi dan manajemen
melalui program jaminan mutu. Seperti diketahui Mutu Pelayanan Rumah
Sakit merupakan derajat kesempurnaan pelayanan Rumah Sakit untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat/konsumen akan pelayanan kesehatan yang
sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan profesi dengan
menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit secara
wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai
norma, etika, hukum dan sosio budaya, dengan memperhatikan keterbatasan
dan kemampuan pemerintah dan masyarakat sebagai konsumen.
Peningkatan mutu adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang
harus dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan dalam hal kualitas
produk dan jasa pelayanan yang diproduksi. Peningkatan mutu kualitas
pelayanan pada dasarnya adalah peningkatan mutu kualitas kerja dan proses
kegiatan untuk menciptakan kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh setiap
orang dari setiap bagian di RS.
Sehubungan itu perlu diingat bahwa Undang – Undang No: 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit, mengamanatkan tentang fungsi sosial Rumah
71
Sakit dan menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus
berlandaskan pada etika dan moral. Rumah Sakit harus selalu meningkatkan
pelayanannya, menerapkan prinsip keselamatan pasien, bersikap
profesional, menjaga mutu pelayanan, dan terbuka kepada masyarakat.
Mutu dan keselamatan pasien sebenarnya tertanam dalam kegiatan
pekerjaan sehari – hari dari tenaga kesehatan professional dan staf lainnya.
Pada waktu dokter dan perawat menilai kebutuhan pasien dan memberikan
asuhan diharapkan memahami bagaimana benar- benar dapat membantu
pasien dan mengurangi resiko. Demikian juga para manajer, staf pendukung
dan lainnya kiranya dapat menerapkan standar dalam pekerjaan sehari-hari
memahami bagaimana proses bisa lebih efisien, penggunaan sumber daya
lebih arif dan resiko fisik dikurangi, serta perencanaan, perancangan,
pengukuran serta analisa dan perbaikan proses klinis serta proses manajerial
harus secara terus menerus dikelola dengan baik dengan kepeimpinan jelas
agar tercapai hasil maksimal. Pendekatan ini juga memperhitungkan
keterkaitan antara mutu klinis dan manajemen. Sehingga upaya untuk
memperbaiki proses harus merujuk pada pengelolaan keseluruhan
manajemen mutu Rumah Sakit dengan pengawasan dari komite peningkatan
mutu dan keselamatan pasien.
Pelaksanaan kegiatan pelatihan Pokja PMKP dan Pokja SKP bekerja
sama dengan tim Diklat RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta yang diikuti oleh
peserta pelatihan sebanyak 60 orang yang terdiri dari anggota Pokja dan
Komite PMKP dan Pokja SKP. Pelatihan Pokja PMKP dan SKP
72
dilaksanakan sesuai jadwal yaitu selama 3 (dua) hari yaitu hari Senin s/d
Rabu 7 - 9 September 2015.
iv. Bantuan Hidup Dasar
Insiden akibat kerja, kematian mendadak, kecelakaan sering terjadi
di sekitar rumah sakit tidak pernah tahu kapan akan terjadinya. Oleh
karenanya diperlukan suatu pengetahuan dan ketrampilan apabila mendapati
kejadian tersebut. Seluruh karyawan rumah sakit hendaknya mampu serta
dituntut harus menguasai ketrampilan pada pertolongan pertama jika
menjumpai kejadian–kejadian yang bersifat emergensi terutama di
lingkungan rumah sakit. Angka keberhasilan terhadap kondisi tersebut
sangat ditentukan oleh keberhasilan pada pertolongan pertama, semakin
cepat dan tepat dalam memberikan pertolongan maka akan semakin baik
prognosa penyakit tersebut. Untuk itu maka dalam memberikan pelayanan
kesehatan baik oleh tenaga medis maupun non medis, haruslah
mengutamakan keselamatan pasien dengan didasari akan pengetahuan serta
ketrampilan pertolongan hidup dasar.
Tugas dan tanggung jawab karyawan RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo adalah meningkatkan pelayanan dalam bidang kesehatan, untuk
itu tim critical care RSUD dr. Harjono bermaksud mengadakan In House
Training, antara lain bantuan hidup dasar ( basic life support ) bagi
karyawan rumah sakit non medis.
Bantuan hidup dasar juga harus dikuasai oleh tenaga non medis di
rumah sakit, karena setiap saat mereka mungkin mendapati kejadian
73
mendadak emergensi saat mereka sedang bekerja di tempat kerja masing-
masing. Saat ini RSUD Dr. Harjono S mengisyaratkan semua karyawan
semua yang bekerja di rumah sakit baik medis, perawat dan non medis harus
mampu untuk melakukan pertolongan pertama bila menjumpai keadaan
mendadak baik oleh karena penyakit cardiovaskuler ataupun akibat
kecelakaan. In house training dilaksanakan pada tanggal 27 April s/d 5 Mei
2015 dengan jumlah peserta sebanyak 90 orang yang terdiri dari: 15 orang
satpam, 3 orang staf keuangan, 2 orang sataf tata usaha, 2 orang ahli gizi, 3
orang instalasi perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit, 6 orang
resepsionis/operator, 2 orang staf hubungan masyarakat, 5 orang TPP rawat
inap, 6 orang Sopir, 8 orang staf administrasi rawat jalan, 9 orang staf
administrasi rawat inap, 2 orang gudang non medis, 9 orang tenaga
pendorong.
v. Pelatihan ACLS ( Advance Cardivascular Life Support)
Tenaga medis dan keperawatan yang mempunyai kemampuan dan
ketrampilan tertentu yang disahkan oleh badan berwenang merupakan asset
bagi institusi dimana dia bekerja, karena akan menambah nilai bagi
akreditasi institusi. tak terkecuali tenaga medis dan paramedis yang bertugas
pada pelayanan yang sama, perlu mempunyai ketrampilan yang diakui
secara formal. Petugas pelayanan gawat darurat harus tetap dapat berpikir
cepat dan tepat dan sistimatis dalam menentukan tindakan pertolongan
terhadap penderita dalam kondisi antara hidup dan mati, terutama dalam 10
menit pertama dengan cara menentukan jenis tindakan, memilih prioritas,
74
bertindak sesuai prosedur, bekerja dan bertindak sebagai koordinator,
mampu berkomunikasi dalam sebuah tim kerja yang kompak.
Mengingat di Indonesia sebagian besar tenaga medis dan
keperawatan belum pernah mengikuti pelatihan dan belum memiliki
sertifikat di bidang pertolongan tingkat lanjut gawat jantung (Advance
Cardiavascular Life Support ). Pelaksanaan kegiatan pelatihan ACLS untuk
tenaga Dokter umum dan Keperawatan bekerja sama dengan tim PERKI
Cabang Surabaya yang diikuti oleh peserta pelatihan sebanyak 35 orang
yang terdiri dari dokter umum dan pelaksana keperawatan. Peserta yang
mengikuti pelatihan terdiri dari 3 orang Dokter Umum, 31 orang Tenaga
Perawat dan 1 orang tenaga bidan. Waktu pelatihan selama 3 (dua) hari, hari
Rabu sampai dengan Jumat tanggal 20 s/d 22 Mei 2015.
vi. Pelatihan Motivasi dan Budaya Kerja
Budaya kerja merupakan sistem nilai, persepsi, perilaku dan
keyakinan yang dianut oleh tiap individu karyawan dan kelompok karyawan
tentang makna kerja dan refleksinya dalam kegiatan mencapai tujuan
organisasi dan individual.
Budaya kerja penting dikembangkan karena dampak positifnya
terhadap pencapaian perubahan berkelanjutan di tempat kerja termasuk
peningkatan produktivitas ( kinerja ). Budaya kerja diturunkan dari budaya
organisasi. Budaya Organisasi itu sendiri merupakan sistem nilai yang
mengandung cita-cita organisasi sebagai sistem internal dan sistem eksternal
sosial. Hal itu tercermin dari isi visi, misi, dan tujuan organisasi. Dengan
75
kata lain, seharusnya setiap organisasi memiliki identitas budaya tertentu
dalam organisasinya. Dalam perusahaan dikenal sebagai budaya korporat
dimana di dalamnya terdapat budaya kerja.
Motivasi kerja dari setiap individu akan memberikan manfaat untuk
menjaga daya saing organisasi, juga untuk menjaga keberlanjutan usaha
dengan berkualitas. Artinya, kualitas merupakan jaminan untuk tetap eksis
selama-lamanya di dalam pasar yang penuh dinamika, perubahan, dan
kreativitas. Selama setiap orang fokus dan terbiasa bekerja dengan kualitas,
maka organisasi selalu akan berada pada posisi terdepan sebagai yang
terbaik.
Motivasi kerja dari setiap individu akan memberikan manfaat
akumulasi dalam soliditas kualitas organisasi. Apalagi, bila setiap individu
mampu membuang jauh-jauh ego pribadi, dan mampu bekerja dalam
kolaborasi, untuk menciptakan soliditas dalam setiap proses kerja; maka,
organisasi akan tumbuh dan berkembang dengan kecepatan dan kekuatan
yang selalu mengungguli para pesaing.
Sejalan dengan itu, agar dapat terlaksana dengan baik, harus ada
langkah-langkah yang harus diambil dari pihak manajemen dan proses
sosialisasi, sehingga budaya kerja yang ada dapat terinternalisasi dalam
setiap kegiatan pekerjaan sehari-hari. Dalam rangka mengaktualisasikan
budaya kerja sebagai ukuran sistem nilai dalam bekerja yang pertama kali
harus diupayakan adalah penanaman dalam sikap mental karyawan yang
meliputi pemahaman dan pelaksanaan dalam sikap dan pelaksanaan
76
pekerjaannya sehari-hari. Salah satu langkah yang diambil oleh manajemen
RSUD dr Harjono S Ponorogo adalah dengan Pelatihan Peningkatan
Budaya dan Motivasi Kerja. Kegiatan pelatihan ini bekerja sama dengan
Pusat Pengembangan Kebijakan Daerah Indonesia (PPKDI) yang diikuti
oleh peserta pelatihan sebanyak 200 orang yang terdiri dari seluruh bagian
yang ada di RSUD dr. Harjono S Ponorogo yang terbagi menjadi 2 sesi
dengan peserta sebanyak 180 orang pada sesi I, sedangkan pada sesi II
sebanyak 20 orang.
vi. Pelatihan Penggunaan APAR Bagi Karyawan RSUD dr Harjono S
Ponorogo.
Kejadian kebakaran adalah pengalaman pahit, dan pastinya semua
tidak ingin kejadian tersebut terjadi kembali, paling tidak bila terpaksa
terjadi bisa diantisipasi dan ditanggulangi sedini mungkin sehingga kerugian
seminimal mungkin atau tidak adanya jatuh kurban luka atau meninggal.
Karena kebakaran bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, untuk hal
tersebut beberapa waktu yang lalu RSUD dr Harjono S Ponorogo
mengadakan pelatihan, pelatihan tersebut berupa kejutan dimana tidak
diumumkan atau diberitahukan lebih dahulu, dengan maksud untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan serta kemampuan para pemberi
pelayanan (pegawai) mengenali APAR ( alat pemadam api sederhana),
sehingga bila sewaktu-waktu ada kejadian sudah siap, dan APAR bukan
sekedar hiasan yang menempel pada dinding-dinding ruangan.
77
vii. Pelatihan Effective Communication & Managing Service RSUD dr Harjono
S Ponorogo
Bertempat di Hotel Amaris Ponorogo diadakan Pelatihan Effective
Communication & Managing Service, acara dibuka oleh bapak direktur
RSUD dr Harjono Ponorogo drg. Prijo Langgeng T, MM. Dalam
sambutannya bapak direktur menyatakan pelatihan ini sudah mendesak,
dalam artian sangat dibutuhkan untuk menunjang serta meningkatkan mutu
pelayanan dalam sehari-hari di RSUD dr Harjono S Ponorogo, cara
komunikasi antar pelayan dengan yang dilayani, komunikasi antar sesama
pelayan, komunikasi antar pelayan dengan atasan sangat perlu diperbaharui,
bukannya selama ini kurang baik namun dirasa mengalami penurunan,
menurut bapak direktur ibarat bateri ponsel perlu diisi ulang agar kuat dan
semangat lagi, sekali lagi direktur menyatakan waktunya mendesak karena
masyarakat perlu mendapakan pelayanan yang prima yang manusiawi tanpa
terkecuali, meski suasana bulan Ramadhan diminta para pegawai yang
mengikuti pelatihan untuk tetap bersemangat dan tidak mengeluh, yakinlan
perjuangan ini bila dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah nilai puasa
yang sedang dijalan para peserta. Dan mengharap penuh supaya mengikuti
sampai acara selesai dan berharap bisa menimba ilmu dari narasumber
sebanyak-banyaknya.
viii. Pelatihan konseling testing atas inisiatif petugas /PITC (Provider Initiated
HIV Testing And Counseling) bagi dokter, perawat dan bidan di RSUD Dr.
78
Harjono S Ponorogo Bagi tenaga dokter dan perawat RSUD. Dr. Harjono
S. Ponorogo Tahun 2016.
Salah satu bentuk layanan tersebut adalah konseling dan testing HIV
sukarela (KTS/VCT) yang bertujuan selain untuk menegakkan diagnosis
untuk mendapatkan layanan, perawatan, pengobatan dan dukungan lain.
Namun, jumlah cakupan KTS/ VCT sampai saat ini masih tergolong rendah
untuk menjangkau populasi yang berisiko dan mengetahui status HIV
mereka. Peran tenaga kesehatan menjadi sangat penting dalam mendeteksi
status HIV karena banyak ODHA yang membutuhkan layanan kesehatan
namun belum diketahui status HIVnya.
Kegiatan KTIP (Konseling Testing atas Insiatif Petugas Kesehatan)
memudahkan dan mempercepat diagnosis HIV serta penatalaksanaannya
dan sudah berkembang luas di sejumlah negara dengan prevalensi HIV
tinggi. Dalam hal ini tentu saja pasien datang awalnya karena keluhan dasar
mereka tanpa tujuan untuk tes HIV. Ketika petugas kesehatan menemukan
indikasi klinis atau faktor risiko perilaku sudah seyogyanya didorong untuk
tes HIV. TB dengan risiko merupakan salah satu kasus yang harus didorong
dilakukan tes HIV karena TB merupakan Infeksi Opportunistik terbanyak
dari HIV/ AIDS.
Kegiatan pelatihan ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dengan jumlah peserta sebanyak 35 peserta meliputi
dokter, perawat, bidan. Waktu penyelenggaraan pelatihan selama 2( dua )
79
hari yaitu tanggal 18 dan 19 Mei 2016 bertempat di Aula Sidomukti RSUD
dr. Harjono S Ponorogo.
ix. Pelatihan program tuberkulosis strategi DOTS Bagi tenaga dokter dan
perawat RSUD. Dr. Harjono S. Ponorogo Tahun 2016
Pelatihan program tuberkulosis strategi DOTS Bagi tenaga dokter
dan perawat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ini dengan alasan
pemberantasan Tb sebenarnya telah dimulai sejak lama tetapi hasilnya
belum menggembirakan. Sebelum ada strategi DOTS (Directly Observe
Treatment Shortcourse) cakupan program sebesar 56% dengan angka
kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang
tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu,
kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB atau multi drug resistance
(MDR) terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara meluas. Setelah
dilakukan Pelatihan Program Tuberkulosis Strategi DOTS bagi tenaga
dokter dan perawat RSUD Dr. Harjono S. Ponorogo tahun 2016 diharapkan
peserta pelatihan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada pasien Tb di
Rumah Sakit. Kegiatan pelatihan ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dengan jumlah peserta sebanyak 35 peserta meliputi :
Dokter, Perawat, Bidan, Tenaga Laboratorium. Waktu penyelenggaraan
pelatihan selama 5( lima ) hari yaitu tanggal 23 s/d 27 Mei 2016 bertempat
di Aula Sidomukti RSUD dr. Harjono S Ponorogo.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) menyebutkan bahwa Badan Layanan
80
Umum (disingkat BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktifitas. BLU terdapat di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. BLUD di daerah disebut Badan Layanan Umum Daerah disingkat
BLUD. Status BLUD akan memberikan keleluasaan untuk merencanakan,
mengelola, dan mengendalikan semua urusan internal sehingga pengambilan
keputusan lebih fleksibilitas. Status BLUD juga memberikan kebebasan dalam
menyusun kegiatan atau program yang ada dalam renstra. Dengan status
BLUD, standar atau akreditasi organisasi akan mengacu pada kriteria
kelayakan, misalnya dalam hal keuangan mengacu pada Pola Pengelolaan
Keuangan BLUD.
Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua undang-undang
tersebut menjadi dasar instansi pemerintah untuk menerapkan pengelolaan
keuangan BLU. BLU diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam
pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Penganggaran berbasis kinerja
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara Pasal 68 dan Pasal 69 memberikan arahan baru bahwa
instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan
kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang
81
fleksibel dengan mengutamakan reformasi keuangan negara mengamanatkan
pergeseran sistem penganggaran dari tradisional menjadi pengganggaran
berbasis kinerja, agar penggunaan dana pemerintah menjadi berorientasi
pada output. Perubahan ini sangat penting karena kebutuhan dana yang makin
tinggi tetapi sumber daya pemerintah terbatas. Penganggaran ini dilaksanakan
oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Mewirausahakan pemerintah
(enterprising the government) adalah paradigma untuk mendorong peningkatan
pelayanan oleh pemerintah produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. BLUD
mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat untuk mewujudkan tugas-tugas pemerintah dan/atau pemerintah
daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa (pasal 3 Permendagri No 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah).
Karakteristik khusus yang membedakan antara Badan Layanan Umum
dengan unit organisasi atau institusi pemerintah lainnya yakni Badan Layanan
Umum merupakan instansi pemerintah yang menyediakan barang dan jasa
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Oleh karena BLU
menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat maka ada pendapatan yang
diperoleh oleh BLU dari biaya yang dibebankan kepada konsumennya.
Pendapatan BLU ini merupakan Penerimaan Bukan Pajak/PNBP sedangkan
pendapatan BLUD merupakan lain-lain Pendapatan Asli Daerah/PAD yang sah
bagi suatu daerah. Dalam birokrasi pemerintah ada begitu banyak organisasi
yang bertindak bukan sebagai penyedia barang dan jasa misalnya organisasi
82
pemerintah yang membuat regulasi, penegakan hukum/peradilan, pertahanan
dan sebagainya, sehingga organisasi ini tidak akan menerima pendapatan
langsung dari masyarakat atas layanan yang diberikan.
BLU harus menjalankan praktek bisnis yang sehat tanpa mengutamakan
pencarian keuntungan. Ini karakteristik yang sangat spesial sekali karena
instansi pemerintah diperkenankan untuk menerapkan praktek bisnis seperti
dalam yang umum dilakukan oleh dunia bisnis/swasta. Akan tetapi walaupun
diselenggarakan sebagaimana institusi bisnis, BLU tidak diperkenankan
mencari keuntungan (not-for-profit). BLU dijalankan dengan prinsip efisien
dan produktivitas. Karakteristik ini jauh berbeda dari instansi pemerintah biasa
yang dalam penyelenggaraan layanannya mengedepankan kepada penyerapan
anggaran yang sangat tinggi, terlepas kegiatan tersebut mencapai sasaran
dengan tepat atau tidak. Pada BLU penyerapan anggaran bukanlah target
karena surplus/kelebihan anggaran dapat digunakan kembali pada tahun
berikutnya untuk peningkatan kualitas layanannya.
Adanya fleksibilitas dan otonomi dalam menjalankan operasional BLU,
yakni: fleksibilitas dalam hal pengelolaan keuangan, fleksibilitas dalam
pengelolaan sumber daya manusia dan fleksibilitas dalam hal pengelolaan dan
pengadaan aset/barang.
BLU dikecualikan dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada
umumnya. Ketentuan ini merupakan semangat otonomi yang diberikan kepada
BLU untuk bisa melanggar ketentuan dalam keuangan negara. Contohnya
adalah BLU diperkenankan untuk menggunakan secara langsung
83
penerimaannya BLU dan beroperasi sebagai unit kerja kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum
yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh
instansi induk yang bersangkutan. BLU merupakan bagian perangkat
pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan
karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. Menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan
kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada
BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. Pejabat yang ditunjuk
mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian
layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa
mengutamakan pencarian keuntungan. Rencana kerja dan anggaran serta
laporan keuangan dan kinerja dari BLU disusun dan disajikan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan
dan kinerja kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah. BLU
mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktik bisnis yang
sehat.
2. Deskripsi SMART Service Admission
Proses admisi di rumah sakit itu bisa bersifat elektif dan gawat darurat
tergantung dari kasus yang ditemukan oleh dokter. Admisi yang bersifat elektif
84
biasanya pada pasien yang tidak mengalami sakit yang mendadak dan tidak
mengancam nyawa, sedangkan admisi yang bersifat gawat darurat itu bersifat
mendadak, mengalami trauma berat, penyakit dalam tahap lanjutan dan
penyakit yang mengancam nyawa pasien. Pelayanan Rumah Sakit yang
bermutu, yaitu yang berfokus pada keselamatan pasien dengan SMART
(senyum, menyambut, atensi, responsif dan terpadu) Service Admission di
mana pasien dan keluarga disambut dengan sikap tersenyum, diperhatikan
kebutuhan sesuai kondisi, diinformasikan dan dilayani sesuai dengan
kebutuhan secara terpadu, baik kebutuhan medis maupun non medis.
Pelayanan ini dimulai dari penyambutan pasien oleh petugas satpam,
identifikasi kebutuhan dan risiko jatuh di poliklinik rawat jalan, serta triase
kegawatan di instalasi gawat darurat sampai penyampaian informasi di tempat
pendaftaran pasien rawat inap yang merupakan upaya pelayanan inovasi yang
mengutamankan keselamatan pasien.
a. Satpam
Satpam merupakan singkatan dari Satuan Pengamanan, adalah satuan
kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi/proyek/badan usaha untuk
melakukan keamanan fisik (phycical security) dalam rangka penyelenggaraan
keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya. Satpam di RSUD dr. Harjono S
Ponorogo dalam struktur organisasi berada di bawah koordinasi dari Kepala
Sub Bagian Umum dan Perbekalan yang dikepalai oleh seorang Koordinator.
Satpam di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sebanyak 15 orang, dengan rata-rata
pendidikan SLTA dengan umur rata-rata 30 tahun. Dari keseluruhan satpam di
85
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo berjenis kelamin laki-laki, sudah pelatihan
pendidikan satpam dan SMART Service Admission.
Satpam merupakan petugas keamanan yang ada di RSUD Dr. Harjono
S Ponorogo. Di dalam struktur organisasi Rumah Sakit, ketenagaan satpam di
bawah koordinasi Bidang Tata Usaha, Sub Bagian Umum dan Perbekalan.
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo mempunyai satpam sejumlah 15 orang, dengan
area pengamanan seluas 6,3 HA. Satpam dalam SMART Service Admission
mempunyai peranan yang penting dalam menyambut dan melakukan skrining
visual pada saat ada pasien atau keluaga pasien atau tamu yang berkunjung di
RSUD Dr. Harjono S Ponororgo selain mempunyai Tugas pokok dan fungsi
yang telah ditetapkan. Peranan ini menjadi penting oleh karena satpam
merupakan orang yang pertama kali menyambut dan mengarahkan pasien dan
keluarga. Dan akan memberikan kesan pertama bagi pengunjung.
Satpam di RSUD Dr. Harjono Ponorogo mempunyai tugas pokok
antara lain :
1. Mentaati peraturan : dengan maksud menegakkan tata tertib yang berlaku di
lingkungan rumah sakit, khususnya menyangkut keamanan dan ketertiban
atau tugas-tugas yang lain yang diberikan oleh pimpinan, meliputi :
c. berpakaian lengkap.
d. Pengaturan penerimaan tamu.
e. Pengaturan parkir roda 2 dan roda 4
f. Mengatur penunggu pasien pada saat jam bezuk terutama pada malam
hari, maksimal satu orang pasien ditunggui oleh dua orang penunggu.
86
g. Menyalakan dan mematikan lampu selasar.
h. Disiplin waktu setiap pergantian shift/ jam jaga.
2. Melaksanakan penjagaan dengan maksud mengawasi keluar masuknya orang
atau barang atau keadaan yang merugikan dengan cara mengatur buka
tutupnya pintu gerbang rumah sakit serta mengatur kelancaran lalu lintas di
luar/ sekitar Rumah Sakit.
3. Mengadakan pengawalan uang atau barang jika diperlukan
4. Melakukan ronda/patroli di lingkungan rumah sakit menurut rute dan waktu
tertentu, dua kali setiap shift jaga dengan maksud mengadakan penelitian dan
pemeriksaan terhadap segala sesuatu yang tidak wajar pada tempatnya.
5. Mengambil langkah-langkah dan tindakan sementara bila terjadi suatu tindak
pidana antara lain:
a. mengamankan tempat kejadian perkara
b. menangkap/memborgol pelaku ( hanya dalam hal tertangkap tangan)
c. menolong korban
d. melapor/meminta bantuan polisi
6. Memberikan tanda-tanda bahaya atau keadaan darurat bila terjadi kebakaran,
bencana alam atau kejadian-kejadian lain yang membahayakan jiwa atau
harta benda orang banyak di sekitar rumah sakit.
7. Menertibkan pedagang yang berjualan di luar pagar area rumah sakit pada
pagi hari mulai jam 04.00 s/d 06.00 WIB.
8. Membantu anggota polisi lalu lintas mengatur kendaran keluar masuk area
rumah sakit pada pagi hari mulai jam 06.30 s/d 07.30 WIB.
87
9. Mengkoordinasikan tugas dan kegiatan satpam RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo.
10. Melaksanakan tugas-tugas lain yang berhubungan dengan ketertiban dan
keamanan lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono S Ponorogo.
Selain tugas pokok yang diuraikan di atas, terkait dengan peran Satpam
dalam SMART Service Admission, ada beberapa penambahan tugas satpam
meliputi :
1. Penyambutan di pintu gerbang terdepan oleh tenaga satpam yang memilah
dan mengarahkan pengunjung atau pasien dengan tujuan ke Instalasi Gawat
Darurat, ke gedung PONEK ke Poli Rawat Jalan atau ke Rawat Inap.
2. Di Instalasi Rawat Jalan atau Poliklinik pasien disambut oleh petugas satpam
kemudian dilakukan skrining keadaan umum dan risiko jatuh, kemudian
ditindaklanjuti oleh petugas Admisi di rawat jalan untuk mendapat prioritas
antrian didahulukan apabila beresiko jatuh atau lemah.
Di bawah ini disajikan gambar salah satu pos jaga satpam di pintu masuk
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo di pintu masuk sebelah selatan.
88
Gambar 4.4 Pos jaga satpam RSUD Dr. Harjono S Ponorogo di gerbang masuk.
b. Admisi
Unit admisi ini merupakan salah satu unit yang dapat membantu
meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan berbagai proses
palayanan di ruang perawatan, pasien dapat mengetahuinya melalui admisi
rawat inap. Pada bagian ini pasien dapat melihat bagaimana suatu tindakan
dilakukan melalui dokumentasi yang tersedia sehingga pasien mendapatkan
gambaran prosedur yang akan dilakukan terhadap dirinya. Seluruh unit di
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo telah terhubung dalam SIM ( Sistem Informasi
Manajemen) sehingga memudahkan untuk memperoleh data tentang riwayat
pasien melakukan kunjungan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, begitu pula
untuk pendaftaran pasien ataupun transaksi pembayaran atau keuangan. Admisi
di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo dahulu lebih dikenal dengan istilah TPP
(Tempat pendaftaran Pasien). Berjalannya waktu istilah TPP diubah menjadi
89
unit admisi semenjak persiapan Akreditasi RS versi 2012 versi KARS. Unit
admisi berada di bawah koordinasi Kepala Bagian Perencanaan dan Program
dan Kepala Sub Rekam Medis dan Informasi Medis. Unit admisi ini
bekerjasama dengan BPJS dalam memberikan pelayanan yang berkaitan
dengan penggunaan asuransi sesuai hak dan kewajibannya berdasarkan data-
data yang diperoleh secara online.
Pelayanan admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat
inap. Petugas admisi bertugas melayani pasien dan atau pengantar pasien untuk
melakukan pendaftaran atau memberikan general consent pada keluarga atau
pengantar pasien saat akan dilakukan rawat inap. Petugas admisi bertanggung
jawab menerangkan tentang hak dan kewajiban pasien saat berada di Rumah
Sakit. Petugas admisi rawat inap juga bertugas untuk mencarikan ruangan yang
telah disepakati untuk dilakukan rawat inap sesuai dengan informasi yang telah
tersedia tentang kamar pasien rawat inap. Tugas dan kewajiban ini telah
tercantum dalam daftar tugas pokok dan fungsi bagi tenaga admisi sesuai
dengan Kebijakan Direktur RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
1. Admisi rawat inap
Admisi rawat inap atau sebelumnya disebut dengan TPP ( Tempat
Pendaftaran Pasien), terdiri dari 9 petugas dengan 1 orang koordinator
terbagi menjadi 3 shift jaga meliputi pagi, siang dan malam. Petugas admisi
bertugas melayani pasien dan atau pengantar pasien untuk melakukan
pendaftaran dan memberikan general consent pada keluarga atau pengantar
pasien saat akan dilakukan rawat inap. Petugas admisi bertanggung jawab
90
menerangkan tentang hak dan kewajiban pasien saat berada di Rumah Sakit,
menerangkan atau menyampaikan dokter siapa sebagai dokter penanggung
jawab saat pasien dirawat atau dokter yang diinginkan sebagai dokter
penanggung jawab pasien sesuai dengan peraturan yang berlaku di RSUD
Dr. Harjono S Ponorogo, menyampaikan tentang bantuan bahasa, penitipan
barang berharga, pelayanan yang bisa diberikan dan yang tidak bisa
diberikan. Petugas admisi rawat inap juga bertugas untuk memberikan
informasi ruangan dan mencarikan sesuai pilihan pasien atau penanggung
jawab pasien juga sesuai peraturan yang berlaku.
Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu
masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32
meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor, 3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah
sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan,
hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas jaga telah
disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat istirahat petugas.
Untuk menerangkan kepada keluarga pasien yang akan dilakukan rawat inap
disiapkan 1 set meja dan kursi tetapi masih menjadi satu dengan petugas
administrasi admisi yang lain. Untuk memudahkan akses pasien atau
keluarga yang ingin mendapatkan informasi atau pelayanan admisi, separuh
dinding atas terbuat dari kaca dan dipasang papan nama yang cukup besar
sehingga bisa memberikan informasi yang memadai tentang lokasi admisi
91
rawat inap. Gambar di bawah ini menunjukkan tentang lokasi admisi rawat
inap.
Gambar. 4.5 Admisi Rawat Inap RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
2. Admisi rawat jalan
Admisi rawat jalan atau sebelumnya disebut dengan TPP rawat jalan
(Tempat Pendaftaran Pasien), terdiri dari 22 petugas dengan 1 orang
koordinator yang memberikan pelayanan pagi saja mulai jam 07.00 samapi
dengan jam 14.00 mulai hari Senin sampai dengan hari Sabtu. Admisi
Rawat Jalan hanya memberikan pelayanan di pagi hari saja oleh karena
poliklinik di RSUD hanya memberikan pelayanan saat pagi hari mulai jam
18.00 sampai dengan jam 14.00 setiap hari kerja, sedangkan hari Minggu
dan hari libur tutup. Petugas admisi terbagi menjadi petugas administrasi
dan petugas bagian informasi yang merangkap admisi yang melakukan
skrining pasien di rawat jalan. Petugas administrasi admisi bertugas
92
melayani pasien dan atau pengantar pasien untuk melakukan pendaftaran
dan memverifikasi keabsahan kepemilikan kartu peserta asuransi terutama
asuransi BPJS untuk penerbitan kartu bukti pemberian pelayanan. Selain itu
juga melakukan pendaftaran secara komputerisasi kunjungan pasien ke
poliklinik dan koordinasi dengan petugas rekam medis untuk menyiapkan
status rekam medis penderita di poliklinik yang dituju.
Gambar 4.6 Tempat informasi merangkap admisi rawat jalan di RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo.
Gambar di atas merupakan tempat informasi pasien rawat jalan, posisinya
tepat berada di tengah-tengah gedung Poliklinik menghadap pintu masuk
utama dan menghadap ke ruang tunggu antrian pasien poliklinik. Petugas
informasi ini berada di tempat ini hanya saat jam dinas pagi. Sedangkan jam
jaga siang dan malam tutup, oleh karena pelayanan poliklinik juga tutup.
93
Petugas informasi ini terdiri dari 2 orang petugas, yang melayani
sambungan telefon, melayani informasi bagi pasien dan pengunjung
poliklinik serta ada penugasan tambahan yaitu skrining pasien yang periksa
di Poliklinik. Meliputi pasien dengan kondisi sesak, risiko jatuh, gawat
darurat atau pasien yang perlu didahulukan antrian periksanya. Petugas
informasi ini sudah dibekali dengan teknik skrining visual, bantuan hidup
dasar bagi orang awam dan SMART Service Admission serta tata cara
berkomunikasi yang efektif.
Di bawah ini disajikan data kunjungan pasien ke Poliklinik rawat jalan tahun
2011 sampai dengan tahun 2015 di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, adalah
sebagai berikut :
Diagram : 4.1 Angka kunjungan pasien ke Poliklinik RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo tahun 2011-2015
Sumber : Data Rekam Medik RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tahun 2015
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
2011 2012 2013 2014 2015
kunjungan pasien lamakunjungan pasien barutotal kunjungan
94
c. Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat memberikan
tindakan yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar dapat
meminimalkan angka kematian dan mencegah terjadinya kecacatan yang tidak
perlu. Tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal pada pasien dalam
penanganan tingkat kegawatdaruratan sehingga mampu mencegah resiko
kecacatan dan kematian (to save life and limb).
IGD adalah suatu unit integral dalam satu rumah sakit dimana semua
pengalaman pasien yang pernah datang ke IGD tersebut akan dapat menjadi
pengaruh yang besar bagi masyarakat tentang bagaimana gambaran Rumah
Sakit itu sebenarnya. Fungsinya adalah untuk menerima, menstabilkan dan
mengatur pasien yang menunjukkan gejala yang bervariasi dan gawat serta
juga kondisi-kondisi yang sifatnya tidak gawat. IGD juga menyediakan sarana
penerimaan untuk penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, hal ini
merupakan bagian dari perannya di dalam membantu keadaan bencana yang
terjadi .
Instalasi Gawat Darurat buka 24 jam, merupakan salah satu unit
terdepan dari bagian pelayanan rumah sakit yang memberikan pelayanan pada
pasien gawat darurat/emergency dan false emergency bekerja sama dengan unit
terkait lainnya. Telah tersertifikasi ISO 9001: 2000 dan Akreditasi RS versi
2012 dari KARS dengan peringkat Paripurna. Selain menangani gawat darurat
umum juga menangani gawat darurat kebidanan dan kandungan. Data
95
kunjungan pasien di Instalasi Gawat darurat mulai dari tahun 2011 sampai
dengan 2015 disajikan dalam tabel di bawah ini:
Diagram 4.2 Angka kunjungan pelayanan Gawat Darurat di Instalasi Rawat
Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tahun 2011-2015.
Sumber : Data Rekam Medik RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
Kemampuan pelayanan Instalasi Gawat Darurat meliputi : mampu
menangani pasien gawat darurat, tidak darurat, darurat tidak gawat, dan pasien
tidak gawat, tidak darurat oleh karena penyakit tertentu seperti : gangguan
pernafasan, gangguan susunan saraf pusat, gangguan sistem kardiovaskuler,
trauma, berbagai luka, patah tulang, infeksi, gangguan metabolisme, keracunan,
kerusakan organ dll. Di bawah ini disajikan gambar mengenai triase atau
13500
14000
14500
15000
15500
16000
16500
17000
17500
18000
18500
2011 2012 2013 2014 2015
kunjungan
2011
2012
2013
2014
2015
96
pemilahan pasien yang dilakukan saat penerimaan pasien yang berkunjung di
Instalasi Gawat Darurat.
Gambar 4.7 Pelaksanaan triase di Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo.
Fasilitas Instalasi Rawat Darurat dengan Akses masuk 2-3 mobil, Ruang
Tunggu, Pendaftaran RM, dan administrasi IGD dengan computerized system,
Ruang Triase, ruang Resusitasi, Ruang jaga Petugas IGD, Farmasi, Unit Transfusi
Darah, Laboratorium, Ruang Radiologi, Ruang Gips dan Observasi untuk
monitoring dan stabilisasi. Alat penunjang yang tersedia di Instalasi Gawat
Darurat meliputi : ECG Record dan Monitor, Defibrilator, Nebulizer and Suction
Pump, Syring Pump, serta sarana penunjang lain yang siap pakai.
Gambar di bawah ini menyajikan tentang penerimaan pasien baru di
Instalasi Gawat Darurat melalui akses masuk yang mudah dilewati oleh mobil
penghantar pasien.
97
Gambar 4.8 Penerimaan pasien baru yang dilakukan oleh tenaga pendorong
pasien melalui akses masuk Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo
3. Sajian Data Admisi dengan SMART Service Admission
a. Karakteristik Informan
Dalam penelitian di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ini peneliti
melibatkan beberapa informan yaitu orang-orang yang dipandang mengetahui
tentang permasalahan yang dihadapi dan dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan dalam proses penelitian. Informan penelitian ini adalah
98
pemangku kepentingan atau orang yang terlibat langsung dalam kegiatan
SMART Service Admission di mana peran mereka langsung berpengaruh
pada pelaksanaan SMART Service Admission yaitu : Kepala Bidang
Pelayanan Penunjang sekaligus Sekretaris Akreditasi, Kepala Bagian Tata
Usaha Usaha, Kepala Sub Bagian Humas Dan Publikasi, Kepala Sub bagian
Umum dan Perbekalan, Kepala Instalasi Gawat Darurat, Satpam, Koordinator
TPP, perawat di Instalasi Rawat Darurat, Dokter Jaga di Instalasi Rawat
darurat staf admisi rawat jalan dan rawat inap, dan pasien atau pengantar
pasien sejumlah 21 orang.
1. S1 adalah seorang satpam berjenis kelamin laki laki berumur 34 tahun
dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun, berstatus kepegawaian
tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) pendidikan
terakhir SLTA, sudah pernah mengikuti pelatihan Basic Life Support
untuk orang awam dan pelatihan SMART Service Admission.
2. S2 adalah seorang satpam berjenis kelamin laki laki berumur 30 tahun
dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun, berstatus kepegawaian
tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) pendidikan
terakhir SLTA sudah pernah mengikuti pelatihan Basic Life Support
untuk orang awam, pelatihan SMART Servcse Admission.
3. S3 adalah seorang satpam berjenis kelamin laki laki berumur 40 tahun
dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun, status kepegawaian
tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD) pendidikan
99
terakhir SLTA, sudah pernah mengikuti pelatihan Basic Life Support
untuk orang awam, pelatihan SMART Servise Admission.
4. Ad1 adalah seorang koordinator tenaga admisi berjenis kelamin
perempuan berumur 56 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama
lebih dari 33 tahun berpendidikan SLTA, berstatus Pegawai Negeri Sipil,
sudah pernah pelatihan SMART Servcse Admission.
5. Ad2 adalah seorang tenaga admisi rawat inap berjenis kelamin laki laki
berumur 25 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama 3 tahun
berpendidikan DIII Keperawatan, berstatus karyawan kontrak kegiatan,
sudah pernah pelatihan BCLS, SMART Service Admission.
6. Ad3 adalah seorang tenaga admisi rawat inap berjenis kelamin perempuan
berumur 50 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih dari 5
tahun berstatus Pegawai negeri Sipil, berpendidikan SLTA belum pernah
pelatihan SMART Service Admission.
7. Ad4 adalah seorang tenaga informasi yang merangkap sebagai tenaga
admisi rawat jalan, berjenis kelamin perempuan berumur 27 tahun dengan
masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 3 tahun, berpendidikan
SLTA, berstatus kepegawaian tenaga kontrak Badan Layanan Umum
Daerah ( BLUD) dan sudah pernah pelatihan SMART Service Admission.
8. P1 adalah seorang perawat jaga IRD, berjenis kelamin laki laki berumur
46 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 25 tahun,
berpendidikan Sarjana Keperawatan, berstatus kepegawaian Pegawai
negeri Sipil dan sudah pernah Pelatihan Basic Cardiac Life Support,
100
Basic Trauma Laife Support, Pembacaan Elekrokardiogram, Advance
Cardiac Life Support dan SMART Service Admission.
9. P2 adalah seorang Kepala Instalasi Rawat Darurat berjenis kelamin laki
laki berumur 47 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih
kurang 24 tahun, berpendidikan terakhir Sarjana Keperawatan, berstatus
kepegawaian Pegawai negeri Sipil dan sudah pernah Pelatihan Basic
Cardiac Life Support, Basic Trauma Life Support, Pembacaan
Elekrokardiogram, Advance Cardiac Life Support, Pelatihan Emergency
Nursing, Pelatihan Kegawatdaruratan dan SMART Service Admission.
10. D1 adalah seorang dokter jaga IRD berjenis kelamin perempuan berumur
53 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 4 tahun,
berpendidikan terakhir Magister Manajemen, berstatus kepegawaian
Pegawai negeri Sipil dan sudah pernah Pelatihan Basic Cardiac Life
Support, Advance Cardiac Life Support,
11. K1 adalah seorang pasien penyakit Diabetes Mellitus, berjenis kelamin
perempuan yang sedang kontrol di klinik Penyakit Dalam dan merupakan
pasien lama sejak 2011 yang berumur 57 tahun.
12. K2 adalah seorang keluarga pasien penderita gagal ginjal kronis berjenis
kelamin perempuan yang sering dirawat di RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo maupun rawat jalan sejak tahun 2010, berumur 50 tahun.
13. K3 seorang pasien penyakit Thalassemia, berjenis kelamin laki laki yang
sedang dirawat di ruang Rawat Intermediate dan merupakan pasien lama
sejak 2015 yang berumur 24 tahun, berpendidikan SLTA.
101
14. K4 seorang keluarga pasien penyakit penderita Gagal Ginjal Kronis yang
dirawat di Ruang Perawatan Intensif, berjenis kelamin perempuan
merupakan pasien lama sejak 2014 yang berumur 37 tahun, pendidikan
terakhir SLTA.
15. K5 seorang pasien hipertensi , berjenis kelamin laki laki yang sedang
dirawat di ruang perawatan Intermediate dan merupakan pasien lama
sejak 2011 yang berumur 55 tahun, pendidikan terakhir SLTA.
16. PP adalah seorang pendorong pasien berjenis laki laki berumur 42 tahun
dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih kurang 2 tahun,
berpendidikan terakhir SLTA berstatus kepegawaian tenaga kontrak
kegiatan dan belum pernah Pelatihan SMART Service Admission.
Berdasarkan data dan informasi di atas disajikan dalam bentuk matriks
berikut ini :
Matriks 4.1
Karakteristik Informan Penelitian
No Inisial Umur
(tahun)
Jenis
kelamin
Tingkat
pendidikan
Pekerjaan
1. S1 34 Laki laki SLTA Satpam
2. S2 30 Laki laki SLTA Satpam
3. S3 40 Laki laki SLTA Satpam
4. Ad1 56 Perempuan SLTA Admisi
5. Ad2 25 Laki laki DIII
Keperawatan
Admisi
6. Ad3 50 Perempuan SLTA Admisi
7. Ad4 27 Perempuan SLTA Admisi
merangkap
petugas
informasi
8. P1 46 Laki laki Sarjana
Keperawatan
Perawat jaga
IRD
9. P2 45 Laki laki Sarjana
Keperawatan
Kepala Instalasi
Rawat Darurat
102
10. D1 53 Perempuan S2 Dokter jaga IRD
11. K1 57 Perempuan SD Pasien
12. K2 50 Perempuan SLTA Keluarga Pasien
13. K3 24 Laki laki SLTA Pasien
14. K4 37 Perempuan SLTA Keluarga Pasien
15. K5 55 Laki Laki SLTA Pasien
16. PP1 42 Laki laki SLTA Pendorong
Pasien
Sumber : Data Primer, diolah bulan April 2016
Sebagian informan merupakan karyawan RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo yang terlibat dalam dalam program SMART Service Admission,
dengan tingkat pendidikan informan bervariasi, sebagian besar berpendidikan
SLTA, dan sebagian kecil berpendidikan DIII dan sarjana, juga melibatkan
pasien yang sedang kontrol di poliklinik atau keluarga yang mengantar, dan
juga pasien yang sedang dirawat. Informan yang terlibat dalam penelitian
berjumlah 9 orang berjenis kelamin laki - laki dan 7 orang informan berjenis
kelamin perempuan. Aspek psikologis dan biologis perlu diperhatikan dalam
mengelola sumber daya menusia khususnya karyawan perempuan. Informan
yang dipilih dalam penelitian ini tidak disengaja untuk memilih informan laki
laki lebih banyak daripada perempuan, sehingga secara kebetulan jumlah
informan laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Rentang usia informan
antara usia 24 tahun hingga 57 tahun. 60% karyawan yang menjadi informan
dalam penelitian berusia lebih dari 40 tahun. Karyawan dengan usia lebih tua
akan semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa, dalam arti semakin
bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin mampu mengendalikan
emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang berbeda
103
darinya dan semakin dapat menunjukkan kematangan intelektual dan
psikologis. Lamanya bekerja para informan di RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo bervariasi mulai dari yang paling sedikit selama 3 tahun dan yang
paling lama selama 33 tahun. Asumsi yang sering berlaku dan diyakini adalah
pegawai yang cukup senior dipandang memiliki kinerja dan kualitas
pelayanan yang lebih tinggi dibandingkan pegawai junior yang masih perlu
dikembangkan dan dibina lagi. Tidak menutup kemungkinan yang terjadi
adalah seseorang yang berstatus sebagai pegawai baru lebih dapat bekerja
dengan menunjukkan kinerja yang baik daripada pegawai yang telah lama
bekerja.
Karakteristik informan yang berasal dari pasien rawat jalan, rawat
inap dan penunggu pasien dilihat berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, dan pekerjaan yang terdapat pada tabel 5.2. Berdasarkan
data di atas didapatkan 4 informan berasal dari pasien dan 1 orang penunggu
pasien Rawat inap.
Informan kunci adalah orang-orang yang sangat memahami
permasalahan yang diteliti. dalam penelitian ini antara lain:
1. T1 adalah seorang Kasubbid Umum dan Perbekalan berjenis
perempuan berumur 57 tahun dengan masa kerja di rumah sakit
selama lebih kurang 30 tahun, berpendidikan terakhir Sarjana Ilmu
Sosial Politik berstatus kepegawaian Pegawai Negeri Sipil dan sudah
pernah Pelatihan ADUM, Master Of Training, Perencanaan
kebutuhan Tenaga Kesehatan dan SMART Service Admission.
104
2. T2 adalah seorang Kepala Bagian Tata Usaha berjenis laki laki
berumur 55 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih
kurang 7 tahun, berpendidikan terakhir Sarjana Hukum berstatus
kepegawaian Pegawai Negeri Sipil dan sudah pernah Pelatihan
SMART Service Admission.
3. PM adalah seorang Kepala Bidang Penunjang Medik berjenis
perempuan berumur 48 tahun dengan masa kerja di rumah sakit
selama lebih kurang 7 tahun, berpendidikan terakhir Magister
Kesehatan berstatus kepegawaian Pegawai Negeri Sipil, sekretaris
Akreditasi Rumah Sakit dan merupakan motor penggerak dan
penggagas dalam SMART Service Admission.
4. WM adalah seorang Wakil Direktur Pelayanan Medik berjenis laki
laki berumur 55 tahun dengan masa kerja di rumah sakit selama lebih
kurang 5 tahun, berpendidikan terakhir Magister Of Science berstatus
kepegawaian Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan data dan informasi di atas disajikan dalam bentuk matriks
berikut ini :
Matriks 4.2
Karakteristik Informan Kunci dalam Penelitian
No Inisial Umur
(tahun)
Tingkat pendidikan Pekerjaan
1. T1 55 Sarjana Kepala Bagian Tata
Usaha
2. T2 57 Sarjana Kepala Sub Bagian
Umum dan Perbekalan
3. PM 48 S2 Kepala Bidang
105
Penunjang Medik
4. WM 55 S2 Wakil Direktur
Pelayanan Medik
Sumber : Data Primer, diolah bulan April 2016.
b. Sajian Data Tentang Admisi Dengan SMART Service Admission secara Fisik.
Pelaksanaan SMART Service Admission sangat didukung adanya
fasilitas-fasilitas fisik yang ada di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Sesuai
dengan alur dari SMART Service Admission, fasilitas fisik ini meliputi :
1. Pos Jaga Satpam
Dari hasil wawancara dengan subyek penelitian yang berprofesi
sebagai satpam, diperoleh data bahwa keadaan fisik bangunan satpam
sangat tidak menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service
Admission terutama pos jaga satpam yang berada di pintu masuk utama
rumah sakit. Pos satpam ini menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung,
karena pintu membelakangi pintu masuk utama rumah sakit, sehingga
harus memutar. Selain posisi pintu yang tidak mendukung, apabila satpam
tidak keluar dari pos, komunikasi dengan pasien atau pengantar pasien bisa
dilakukan melalui jendela kaca. Jendela kaca ini bersifat permanen
sehingga tidak bisa dibuka, sedangkan bagian yang terbuka ada di bagian
atas sehingga menyulitkan saat berkomunikasi, karena sebagian besar
tidak mendengar apa yang disampaikan oleh satpam. Apabila ada pasien
atau tamu yang datang, respon menyambut terhadap kedatangan menjadi
lama, karena satpam harus keluar dari gedung, memutar keluar baru bisa
menemui pasien tersebut. Pada saat menyambut dan melakukan skrining
106
visual akan menyebabkan antrian mobil yang ada di belakangnya karena
harus memberhentikan mobil tersebut untuk melihat pasien dari dekat dan
memerlukan waktu dalam beberapa menit. Masalah ini akan memicu
kemacetan, oleh karena di depan pintu masuk RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo merupakan jalan raya utama yang menghubungkan Kabupaten
Ponorogo dan Kabupaten Pacitan. Saat satpam (S2, 30 tahun) diajukan
pertanyaan tentang bagaimana pemurut informan tentang keadaan pos
satpam in dan Adakah kesulitan-kesulitan saat menjalankan tugas. Seperti
yang terdapat dalam hasil wawancara berikut ini : “Posnya ndak terbuka
dari pintu masuk Bu, pintunya ada di belakang, kalo mau lihat pasien yang
baru datang susah Bu, harus keluar dulu, seharusnya pos satpam
menghadap ke utara atau ke barat”(S2, 30 tahun).
Saat diajukan pertanyaan : “Kalau menurut anda, pos satpam itu harusnya
seperti apa?”. Maka jawaban yang diberikan oleh satpam adalah :
“Pos satpam seharusnya terbuka seperti teras tidak seperti pos
yang sekarang ini. Atau seperti pos jaga yang ada di Kodim itu
lho…. Lha pos satpam kita seperti ini. Apalagi pintunya ada di
bagian belakang bangunan. Pos seperti ini menyulitkan, terus
lubang kacanya juga di atas, untuk berbicara dengan pasien atau
pengunjung tidak bisa”.
(S1, 34 tahun).
Salah satu tugas satpam dalam SMART Service Admission adalah
memilah pasien secara visual, saat pasien baru datang melewati gerbang
depan rumah sakit. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh satpam saat
melakukan tugasnya seperti yang terungkap dengan pertanyaan : “Dengan
kondisi pos satpam yang seperti ini apa kendala-kendala yang dialami?”.
Berikut tanggapannya : “Agak sulit memilah pasien Bu, pintu posnya ada
107
di belakang, kalau melihat pasien harus muter. Kalo mobil pasien
dihentikan terlalu lama nanti jalanan depan rumah sakit macet. Terutama
pas jam-jam sibuk”.( S3, 40 tahun)
Selain akses keluar masuk pos satpam yang sulit, pos satpam ini
mempunyai ukuran yang relatif kecil dibandingkan dengan bangunan
yang lain. Ukuran pos satpam di pintu utama ini sebesar 6 meter persegi.
Dilengkapi dengan meja dan kursi untuk berjaga, tetapi terlihat berjejal
dan penuh. Untuk membantu pergantian sirkulasi udara tersedia 1 kipas
angin yang terpasang di dinding. Di dalam pos satpam ini tersedia televisi
14 inchi, sarana komunikasi berupa telepon dengan akses telepon antar
ruangan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo saja, handy talky dan senter.
Pos satpam ini belum dilengkapi dengan CCTV dan belum ada sarana
kamar kecil. Sehingga apabila ada keperluan buang air kecil atau buang air
besar harus keluar area pos satpam ke tempat yang terdekat yaitu di IRD.
Hal ini didukung oleh data hasil wawancara sebagai berikut, saat diajukan
pertanyaan: “Menurut bapak, bagaimana kesan pos satpam ini, apakah
sudah cukup nyaman saat bekerja.”. Jawaban yang disampaikan adalah :
“Ruangan pos satpam ini sempit Bu, dan terasa sumpek”.
Ruangannya sudah kecil terus kamar mandinya ngga ada Bu…..
Kalo mau pipis saja harus ke IRD. Ya lumayan, meskipun tidak
terlalu jauh tetapi mengganggu. Dibanding dengan pos satpam
yang pernah saya lihat, ini termasuk kecil Bu….. Panas lagi Bu
terutama siang hari.”
( S3, 40 tahun)
Salah satu sarana alternatif untuk memudahkan pada saat
penyambutan pasien dan untuk mendukung pelaksanaan SMART Service
Admission adalah dengan menyiapkan tempat duduk untuk jaga satpam di
108
depan pos satpam. Tetapi alternatif ini banyak dikeluhkan oleh satpam,
karena di depan pos satpam ini tidak ada sarana pelindung. Apabila
menjelang siang hari, tempat jaga terkena sinar matahari langsung
sehingga terasa panas dan tidak nyaman apalagi kalau turun hujan, petugas
akan kehujanan. Alternatif ini tidak disepakati dan ditinggalkan oleh
satpam dengan alasan kendala di atas. Saat diajukan pertanyaan: “Menurut
pendapat bapak, bagaimana kalau untuk alternatif lain juga untuk
memudahkan pada saat penyambutan pasien dan untuk mendukung
pelaksanaan SMART Service Admission adalah dengan menyiapkan
tempat duduk untuk jaga satpam di depan pos satpam?”. Jawaban yang
disampaikan adalah : “Kalo duduk di depan pos jaga ya panas Bu…. Mulai
jam 10 aja sudah mulai panas. Gak ada iyup-iyupnya. Apalagi kalo hujan,
sudah pasti kehujanan”. (S1, 34 tahun). Pernyataan ini didukung juga
pernyataan informan lain yang terkait, sebagai berikut :“Yang jelas kalo
siang ya kepanasan Bu, kalo hujan ya kehujanan. Ya males jaga di depan
Bu”. (S2, 30 tahun). Pernyataan informan lain yang terkait adalah :
“Teman-teman pada ngga mau Bu, karena di depan pos satpam ini kan
ngga ada payonnya. Yang jelas ya panas kalo siang, kalo hujan ya
kehujanan. (S3, 40 tahun).
2. Admisi
Unit Admisi atau yang sebelumnya disebut dengan Tempat
Pendaftaran Pasien adalah satu unit yang yang bertugas menerima pasien
109
rawat inap atau pasien rawat jalan berdasarkan kebutuhan pelayanan
kesehatannya yang disesuaikan dengan misi dan sumber daya rumah sakit
tergantung pada asesmen kebutuhan pasien dan skrining pada kontak
pertama. Unit admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat inap.
Unit admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari Instalasi Rawat
Darurat. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu
masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32
meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor, 3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah
sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan,
hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Menurut petugas admisi
rawat inap, fasilitas yang tersedia di unit admisi rawat inap ini kurang
memadai. Salah satunya adalah belum adanya pendingin ruangan. Suasana
ruangan terasa panas apalagi hanya dikurangi dengan 2 kipas angin
dinding. Sesuai pernyataan informan saat ditanyakan bagaimana pendapat
informan saat ditanyakan tentang kenyamaan ruang admisi, seperti hasil
wawancara berikut ini : “Ruangannya kurang nyaman Bu…. Terasa panas.
Dua kipas angin dinding ini ndak cukup mengurangi rasa panas.” (Ad1,
56 tahun). Didukung oleh pernyataan informan lain, seperti hasil
wawancara di berikut ini : “Kalo siang rasanya panas Bu. Apalagi kalo
menghadapi keluarga pasien yang kritis…. Sudah hawanya panas terus
keluarganya spanneng. Rasanya ngga nyaman” (Ad3, 50 tahun).
110
Pernyataan di atas didukung oleh pernyataan informan lain , seperti hasil
wawancara di bawah ini :
“Kalo hawanya panas, menerangkan ke keluarga pasien rasanya
ndak nyaman. Apalagi isiannya banyak. Keluarga pasien juga
males berlama-lama. Paling njawabnya iya-iya gitu, atau wis maut
aku mas sing penting ndang sehat;”.
( Ad2, 25 tahun).
Selain kenyamanan ruangan, fasilitas dasar yang tersedia di unit
admisi rawat inap sudah cukup memadai. Luas ruangan yang ada dianggap
petugas sudah memadai dengan jumlah petugas yang berjaga. Selain itu
juga sudah disiapkan fasilitas kamar mandi di dalam unit. Berikut
pernyataan yang disampaikan informan saat dikonfirmasi tentang
kelengkapan fasilitas ruang admisi, seperti hasil wawancara berikut ini :
“Lumayan luas ruangannya, sudah cukup kok. Kamar mandi dalam juga
ada. Kalo perlu buang air kecil tidak perlu keluar ( Ad1, 56 tahun).
Didukung juga oleh pernyataan dari informan yang lain, seperti yang
tertulis berikut ini : “Cukup luas kok Bu….. yang penting cukup untuk
tempat komputer, printer, dan formulir-formulir yang diperlukan dan meja
kursi. Kamar mandi dalam sudah ada.”( Ad3, 50 tahun). Didukung juga
oleh pernyataan dari informan yang lain, seperti yang tertulis berikut ini :
“Sampun cekap Bu….. dibanding dengan jumlah petugasnya sudah
lumayan luas. (Ad2, 25 tahun).
Menurut subyek penelitian, fasilitas yang mendukung pelayanan
yang dirasakan kurang adalah perangkat komputer dan printer. Perangkat
komputer yang ada di unit admisi sejumlah 3 buah, 2 buah perangkatnya
masih berfungsi dengan baik meskipun usianya sudah tua, sedangkan
111
masih ada 1 perangkat komputer yang rusak dan belum diperbaiki atau
diganti. Printer yang tersedia di unit admisi ada 2 buah, berupa printer
hitam putih. Kekurangan printer yang dimaksud adalah printer dengan
scanner, apabila sore atau malam hari digunakan untuk memperbuat
salinan dokumen pasien yang diperlukan saat rawat inap untuk persyaratan
asuransi kesehatan terutama BPJS. Berikut pernyataan yang disampaikan
informan saat dikonfirmasi tentang kelengkapan fasilitas administrasi di
ruang admisi terutama fasilitas komputer, seperti hasil wawancara di
bawah ini :
“Di sini kami sangat memerlukan komputer baru karena yang ada
cuman 2 saja. Itu saja komputer yang dibawa dari rumah sakit lama
saat pindahan dulu. Dan itu sangat mempengaruhi pelayanan saat
jam-jam sibuk. Selain itu juga perlu printer yang bisa fotokopi itu
lho Bu. Kalo pasiennya datang sore atau malam hari dan perlu
fotokopi untuk persyaratan BPJS seperti KTP, KK, Kartu BPJS jadi
repot, karena tempat fotokopinya sudah tutup, dan adanya lumayan
jauh. Kan kasihan.”
(Ad1, 56 tahun).
Diungkapkan juga oleh informan yang lain, seperti yang disampaikan
dalam pernyataan di bawah ini :
“Komputernya sudah lemot Bu….. perlu yang baru. Kalo bisa
ditambahi lagi, karena yang sekarang ini masih kurang kalo pas
jam-jam sibuk. Komputernya dipake bareng-bareng apalagi kalo
lagi error. Printernya juga perlu ditambah lagi bu, yang bisa
fotocopi.”
(Ad.3, 50 tahun)
Hal yang sama diungkapkan juga oleh informan yang lain dengan
pertanyaan yang sama, seperti yang disampaikan dalam pernyataan di
berikut ini : “Komputernya cuma dua Bu……. Kalo lagi pasien rame,
pelayanannya lama, belum lagi kalo komputernya ngadat. Jadi repot.”
(Ad2, 25 tahun).
112
Di unit admisi ini sudah ada tempat tersendiri untuk menerangkan
dan pengisian formulir-formulir persyaratan rawat inap. Permasalahan
sarana prasarana yang ada adalah tempat pelayanan admisi terutama untuk
memberikan penjelasan General Consent, hak dan kewajiban pasien serta
pengisian formulir-formulir untuk kelengkapan rawat inap dirasakan
kurang memadai. Pendapat petugas admisi saat ditanyakan tentang fasilitas
ruangan yang tersedia yang digunakan untuk tempat wawancara dengan
keluarga pasien, seperti wawancara berikut ini : “Tempat untuk wawancara
dengan keluarga pasien sudah ada Bu… cuman kurang luas dan kurang
nyaman, karena apabila siang hari terasa panas” (Ad1, 56 tahun).
Hal yang sama diungkapkan juga oleh informan yang lain dengan
pertanyaan yang sama, seperti yang disampaikan dalam pernyataan di
bawah ini : “Menerangkan hak dan kewajiban pasien terasa ndak nyaman
karena selain panjang kalo suasananya sedang panas, sebenarnya ya ndak
papa sih cuman mengurangi kenyamanan Bu….”. (Ad2, 25 tahun)
Admisi rawat jalan adalah bagian dari unit admisi yang mengelola
pasien yang ingin mendapatkan pelayanan rawat jalan, baik itu poliklinik
atau pemeriksaan penunjang. Untuk bagian pendaftaran pasien dan
skrining pasien berada di gedung yang terpisah. Di kebijakan yang telah
dikeluarkan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tempat menurunkan pasien
dan pengantar, mempunyai lokasi yang berbeda. Pasien diturunkan di
pintu masuk utama gedung Poliklinik dan dilakukan skrining visual oleh
petugas admisi. Sedangkan keluarga pasien bisa langsung menuju ke
113
tempat pendaftaran pasien. Kebijakan ini dibuat untuk mencegah antrian
yang panjang di tempat pendaftaran pasien yang akan menyebabkan
ketidaknyamanan pasien. Petugas admisi rawat jalan ini hanya ada satu
orang, berada di Bagian Informasi dan juga merupakan petugas informasi.
Sehingga mempunyai tugas ganda sebagai tenaga admisi dan juga sebagai
tenaga yang memberikan informasi kepada pasien dan pengunjung. Tugas
ganda ini dirasakan tidak terlalu memberatkan. Tetapi kadang-kadang agak
merepotkan apabila ada dua tugas yang berbarengan. Di bawah ini
disajikan hasil wawancara dengan subyek penelitian saat diajukan
pertanyaan tentang kendala-kendala yang dialami saat menjalankan tugas
sebagai petugas informasi merangkap petugas admisi rawat jalan, seperti
yang disajikan di bawah ini :
“Sebagai petugas informasi saya tidak merasa kesulitan melakukan
skrining pasien yang datang. Karena saya hanya menilai secara
visual dan sedikit mencatat, pasien mana yang perlu didahulukan,
atau pasien mana yang harus dianjurkan ke IGD.
Permasalahannya muncul apabila saya sedang menerima telepon
sedangkan ada pasien yang perlu bantuan, sehingga saya harus
bisa memprioritaskan mana yang harus saya lakukan.”
(Ad4, 27 tahun)
Fasilitas yang tersedia untuk admisi rawat jalan menurut subyek
penelitian dianggap sudah memadai. Karena saat melakukan skrining
visual pasien, petugas tidak memerlukan sarana dan prasarana yang
kompleks. Seperti formulir untuk skrining visual, formulir risiko jatuh,
pita kuning untuk disematkan di lengan pasien apabila dinilai berisiko
untuk jatuh dan kartu untuk pasien yang didahulukan hanya saja
memerlukan kursi roda yang lebih banyak yang terpusat di bagian
114
informasi, sehingga apabila ada pasien atau pengantar pasien yang
memerlukan bisa segera dilayani. Pendapat petugas admisi rawat jalan
saat ditanyakan tentang fasilitas yang mendukung dalam pelaksanaan tugas
admisi rawat jalan, seperti yang tercantum dalam hasil wawancara berikut
ini :
“Kalo fasilitas apa ya yang kurang? Kayaknya sudah memadai.
Seperti formulir-formulir yang digunakan bisa ngebon di gudang.
Apa ya yang kurang? Oh iya kursi roda Bu….. kursi rodanya
sebenarnya sudah banyak tetapi sepertinya perlu ditambah lagi.
Karena kadang-kadang pas pasiennya banyak, kekurangan kursi
roda.”
(Ad4, 27 tahun)
3. Instalasi Gawat Darurat
Fasilitas yang tersedia untuk Instalasi Gawat Darurat menurut
subyek penelitian ada yang menganggap sudah memadai, ada yang
menganggap kurang memadai jika dilihat dari jumlah, jenis dan kualitasnya.
Di bawah ini disajikan hasil wawancara dengan subyek penelitian, saat
diajukan pertanyaan tentang bagaimana pendapat informan tentang
kelengkapan fasilitas atau sarana prasarana yang ada di Instalasi Gawat
Darurat, seperti yang tertulis di bawah ini:
“Fasilitas atau sarana dan prasarana yang ada di IGD saya rasa
sudah cukup memadai untuk melayani pasien baik kualitas maupun
jumlahnya. Setting ruangan juga sudah memadai, apalagi dengan
perombakan yang terakhir ini. Cuman ada satu hal yang dirasa
kurang yaitu depo farmasi. Depo farmasi sebelum perombakan
sudah ada di dekat IGD, sekarang tidak ada. Apalagi di IGD juga
tidak ada floorstock sekarang. Sehingga kalo mau meresepkan
harus ke apotik 24 jam, yang ada di sebelah IGD. Itu perlu waktu
yang relatif lama. Dan akan sangat mempengaruhi kualitas
pelayanan.”
(D1, 53 tahun)
115
Fasilitas yang kurang memadai menurut subyek penelitian
meliputi triase pasien. Ruang triase pasien ini ada di depan pintu masuk IGD
dan ada di ruang yang terbuka, tidak ada penghalangnya sama sekali saat
memeriksa pasien. Di bawah ini disajikan hasil wawancara dengan subyek
penelitian saat diajukan pertanyaan sarana prasarana yang kurang memadai
di IGD, seperti yang tertulis di bawah ini:
“Sarana prasarana di IGD sudah cukup memadai untuk pelayanan
terhadap pasien. Ada satu yang kurang yaitu tempat triase pasien.
Tampilan ruang triase ini saya rasa kurang etis, karena melakukan
triase di tempat yang terbuka. Seharusnya ada di tempat yang
khusus dan tertutup. Selain ruang triase, untuk penataan ruangan
kurang memadai dan kurang sesuai standar.”
(P1, 46 tahun)
Sarana dan prasarana yang terkait dalam mendukung terhadap
kualitas pelayanan IGD meliputi farmasi, radiologi dan laboratorium.
Selain itu juga penataan ruang IGD yang dirasa kurang sesuai standar yang
ada. Baik itu menurut standar akreditasi rumah sakit maupun pedoman
penyelenggaraan Instalasi Gawat Darurat. Saat diajukan pertanyaan kepada
informan tentang kendala-kendala saat memberikan pelayanan di IGD
terutama tentang fasilitas pendukung pelayanan yaitu farmasi seperti salah
satunya adalah ketidaktersediaan depo farmasi yang berada di area IGD
sangat mempengaruhi penanganan pasien emergensi, seperti yang tertulis di
bawah ini:
“Kualitas pelayanan IGD juga sangat dipengaruhi oleh sarana dan
prasarana penunjang yang mendukung seperti farmasi, radiologi
dan laboratorium. Dulu depo apotik ada di area IGD sehingga
apabila memerlukan obat yang sifatnya emergensi sangat
memudahkan pelayanan. Karena di IGD tidak ada persediaan obat.
Tetapi sekarang ini depo apotik ditiadakan, digabung dengan apotik
24 jam. Meskipun lokasinya tidak begitu jauh tetapi akan memakan
116
waktu. Belum lagi kalau ada tambahan obat. Jadi keluarga pasien
bolak balik. Hal seperti ini akan menyebabkan response time IGD
memanjang.”
(P2, 47 tahun)
Tidak kalah pentingnya adalah persiapan branchart dan kursi roda yang
diperlukan untuk menerima pasien. penempatan alat-alat transportasi ini
belum tersimpan di area tersendiri masih bergabung dengan area triase.
“Jumlah branchart yang ada sudah cukup untuk pelayanan selama
ini. Meskipun pasiennya rame tapi masih cukup kok Bu. Cuman
kalo untuk persiapan pasien yang overload ya ngga cukup. Karena
dipinjam di ruangan. Kita kan ndak boleh nolak pasien”.
(PP, 42 tahun).
Mekanisme perencanaan ruangan atau instalasi sudah dilakukan tiap
tahunnya di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo. Bahkan ahir-akhir ini
dilakukan 1-2 tahun sebelum tahun berjalan. Meskipun perencanaan sudah
dilakukan dalam perumusan RKU (Rencana Kerja Unit) tetapi realisasi tetap
mengacu pada skala prioritas, dan pemenuhannya memerlukan waktu yang
lama, walaupun RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sudah berbentuk BLUD
dan ada keleluasaan dalam pengelolaan keuangan/barang BLUD pada batas-
batas tertentu yang dapat dikecualikan dari ketentuan yang berlaku umum.
c. Sajian Data Tentang Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission
Hampir seluruh informan menyatakan bahwa RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo pelayanan kesehatan yang diberikan sudah baik.. Keberlangsungan
pelayanan kesehatan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo telah menekankan pada
aspek kesatuan dan keutuhan dari bagian-bagian keseluruhan yang
bekerjasama.
117
Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission sangat didukung
oleh beberapa unit-unit yang terkait dalamnya. Hal ini sesuai dengan alur dari
SMART Service Admission dan unit unit yang terlibat di dalamnya meliputi :
1. Satpam
Pelaksanaan SMART Service Admission selain berasal dari hasil
pengamatan juga hasil wawancara dengan subyek penelitian yang berprofesi
sebagai satpam, diperoleh data bahwa pelayanan satpam kurang menunjang
dalam pelaksanaan SMART Service Admission. Selain terkait dengan
keberadaan pos jaga satpam yang menyulitkan satpam untuk keluar dari pos
jaga juga kurangnya koordinasi dalam pelaksanaannya. Apabila ada pasien
yang datang, respon menyambut terhadap kedatangan menjadi lama, karena
satpam harus keluar dari gedung, memutar keluar baru bisa menemui pasien
tersebut. Berikut sajian hasil wawancara dengan informan saat diajukan
pertanyaan tentang bagaimana cara melakukan pemilahan pasien/ triase
visual pada pasien yang baru datang di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo,
seperti yang tertulis di bawah ini :
“Agak sulit memilah pasien Bu, pintu posnya ada di belakang, kalau
melihat pasien harus muter. Kalo mobil pasien dihentikan terlalu
lama nanti jalanan depan rumah sakit macet. Terutama pas jam-jam
sibuk”.
( S3, 40 tahun)
Salah satu informan menyampaikan tentang kurang sesuainya desain pos
satpam saat diajukan pertanyaan tentang pendapatnya yang berkaitan
dengan bentuk desain bangunan pos satpam dikaitkan dengan tugas satpam
saat memilah pasien, seperti hasil wawancara di berikut ini : “Desain pos
satpam ini memang kurang mendukung terhadap pelaksanaan SMART
118
Service Admission, sudah dilakukan perencanaan untuk perombakan tetapi
menunggu anggaran.” (T2, 55 tahun).
Pengusulan terhadap perubahan bentuk pos satpam sudah pernah
diusulkan oleh koordinator satpam, tetapi belum ada tindak lanjut dari pihak
manajemen. Sesuai dengan pernyataan subyek penelitian saat diajukan
pertanyaan bagaimana mekanisme yang dilakukan saat mengetahui desain
bangunan satpam tidak sesuai dengan harapan pengguna, sesuai hasil
wawancara sebagai berikut :“Bangunan yang ada ini sebenarnya tidak sesuai
dengan bentuk pos jaga satpam pada umumnya. Pengusulan sudah pernah
dilakukan tetapi sampai sekarang belum ada perubahan.” (S3, 40 tahun).
Pelaksanaan penyambutan pasien dan keluarga bisa dimodifikasi
dengan penempatan satpam di beberapa titik penurunan pasien atau di IGD
untuk pasien gawat darurat dan di bagian informasi untuk pasien rawat
jalan, dengan jumlah satpam 15 orang dirasakan masih memadai. Salah satu
pertanyaan yang diajukan adalah : “Karena ada kendala dengan desain pos
satpam, apakah ada solusi atau pemecahan masalah yang dilakukan,
mengingat jumalah satpam cukup memadai?” berikut ini pernyataan subyek
penelitian terkait dengan pertanyaan tersebut di atas :
“Tenaga satpam yang jaga pagi sebenarnya cukup apabila salah
satu orang jaga di IRD dan satunya lagi jaga di bagian informasi.
Jadwal keliling kan hanya 2 kali Bu... Jadi tidak terlalu
mengganggu.”
(S3, 40 tahun)
Pernyataan yang senada juga disampaikan informan yang lain saat
ditanyakan masalah tersebut di atas. Berikut pernyataannya :
119
“Satpam sebenarnya juga bisa duduk di IGD di dekat pintu masuk
untuk membantu pelayanan pasien. Daripada ada di dalam pos
satpam saja dan ndak bisa melakukan skrining visual pasien yang
baru datang. Kan kurang efektif”
( P2, 47 tahun)
Saat diajukan pertanyaan mengenai koordinasi dengan bagian terkait
tentang usulan di atas, apakah sudah dilakukan koordinasi, berikut
pernyataannya : “Kami sebenarnya mau kalau jaga di informasi atau di IGD,
tetapi sampai sekarang tidak ada instruksi kepada kami untuk jaga di sana.”
(S1, 34 tahun). Pernyataan yang senada juga disampaikan kepada informan
yang lain saat ditanyakan masalah tersebut di atas. Berikut pernyataannya :
“Selama ini setelah program SMART Service Admission ini tidak
pernah lagi ada rapat yang melibatkan satpam Bu…. Sehingga kita
juga tidak tahu bagaimana yang kurang atau yang perlu diperbaiki
atau kalo ada aturan yang baru.” (S3, 40 tahun).
Keterbatasan pos jaga satpam di pintu masuk dan kesulitan-
kesulitan yang dialami satpam saat mengarahkan pasien dan keluarga tetapi
kesan keluarga pasien terhadap keramahan satpam cukup baik. Pertanyaan
yang diajukan kepada pelanggan atau keluarga pasien tentang pelayanan
yang diberikan satpam, diberikan jawaban oleh informan sebagai berikut :
“Satpamnya ramah kok Bu, pas saya ketemu dan waktu saya tanya-tanya ya
sabar kok” (K2, 50 tahun).
Pada saat observasi yang dilakukan oleh peneliti, peneliti tidak
berhasil menemui koordinator satpam yang tercatat sebagai penanggung
jawab. Saat ditanyakan kepada anggota satpam yang lain, berikut
penjelasannya :“Koordinator satpam jaganya selalu jaga pagi Bu, tapi
datangnya hanya sesekali apabila ada undangan rapat atau ada panggilan
120
saja. Itu aja kalau kita butuh harus telefon dulu.” ( S1, 34 tahun). Peneliti
juga melakukan konfirmasi kepada petugas satpam yang lain mengenai hal
tersebut di atas, berikut penjelasannya : “ Kalau ibu ingin menemui
koordinatornya, ibu tunggu aja di sini, kira-kira agak siangan. Kalau jam
segini biasanya belum datang.”
Kemudian peneliti melakukan observasi selama 5 hari.
Pengamatan ini dilakukan pada saat shift jaga pagi sesuai shift koordinator.
Hasil yang didapatkan saat pengamatan, koordinator satpam tidak berada
di tempat selama dinas berlangsung. Saat dikonfirmasi tentang adanya
surat teguran secara tertulis, anggota satpam lain tidak mengetahuinya.
Langkah selanjutnya peneliti menemui atasan langsung untuk melakukan
konfirmasi mengenai hal ini kepada informan T1 dan T2. Berikut uraian
yang disampaikan saat konfirmasi kepada atasan langsung satpam:
“Petugas satpam selalu siap di tempat terutama pos jaga depan, sebagai
pos utama, sesuai jadwal masing-masing.” (T2, 57 tahun). Berikut ini
pernyataan yang lain dari atasan langsung satpam mengenai hal tersebut di
atas: “
“Jadwal jaga satpam dibuat oleh Kasubbag Umum dan
Perbekalan dikoordinasikan dengan koordinator satpam.
Jadwalnya tidak tetap tetapi berubah ubah pasangannya, biar tidak
jenuh dan berganti-ganti pasangannya. Selama ini juga sudah
dilakukan evaluasi kegiatan satpam setiap saat. Bahkan setiap 3-4
bulan selalu kita kumpulkan untuk koordinasi.”
( T1, 55 tahun)
Saat ditanyakan tentang kecukupan tenaga satpam berkaitan dengan tugas
pokok dan peran serta satpam dalam SMART Service Admission, informan
kunci menyampaikan :
121
“Sebenarnya memang sangat diperlukan peran satpam dalam
SMART Service Admission dan menyambut kedatangan pasien,
tetapi tenaga satpam di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo ini sangat
kurang dibandingkan dengan luas rumah sakit, baik luas bangunan
maupun luas areanya.”
(T1, 55 tahun)
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, berikut pernyataan dari informan
kunci yang lain :
“Tenaga satpam ini kesemuanya tenaga kontrak baik tenaga
kontrak BLUD maupun kontrak kegiatan. Sebenarnya kalo tenaga
yang di depan harusnya banyak, tetapi yang di dalam area rumah
sakit harus lebih banyak lagi tidaka hanya 3-4 seperti sekarang ini.
Gedung RSUD ini kan banyak sekali dan luas, sehingga perlu
pengawasan masing-masing unit atau masing-masing gedung.”
Kalau dengan 15 orang ya…. Tenaganya sangat kurang dengan
kondisi RS yang seperti ini.”
(T2, 57 tahun)
Berkaitan dengan motivasi kerja dan perilaku satpam, peneliti
menanyakan kepada informan kunci tentang permasalahan tersebut di atas,
berikut pernyataannya :
“Ada. Tetapi sifatnya subyektifitas dari mereka masing-masing.
Selama ini kami melihat itu…. Ya… semacam gap di dalam
satpam itu sendiri. Karena ada perbedaan ada yang tua dan ada
yang muda-muda. Ya itu tadi. Apa ada meri atau apa. Kok enak?
Begitu juga dengan kehadiran. Mungkin yang banyak berperan
yang muda-muda. Waduh gimana ya…. Termasuk koordinator,
itu yang sulit, kalau dibilangi ya cuma enggih-enggih gitu, tapi
nggih ra kepanggih. Sepertinya dia kurang bisa mengkoordinir.
Kalo status, status tenaga satpam tidak ada yang berstatus pegawai
negeri, kesemuanya adalah tenaga kontrak, baik pegawai kontrak
BLUD maupun kontrak kegiatan. Kalau untuk pendapatan selain
gaji, satpam juga mendapatkan pooling. Tetapi selain itu tidak
mendapatkan workload atau penghasilan yang lain. Lha mungkin
karena itu, banyak yang mempunyai problem, banyak yang
mempunyai pekerjaan sambilan. Ya seperti itu permasalahannya.
Permasalahan yang kompleks.
(T2, 57 tahun).
122
2. Admisi
Unit admisi terdiri dari admisi rawat inap dan admisi rawat jalan.
Admisi rawat jalan melayani pasien yang ingin mendapatkan pelayanan di
poliklinik rawat jalan ataupun instalasi penunjang. Pada unit ini pasien dan
keluarga dijelaskan bagaimana proses pasien melakukan suatu pendaftaran
sampai dengan menerima pelayanan yang dituju sampai dengan pasien
mendapatkan informasi tentang rawat inap atau rawat jalan. Di rawat jalan
selain dilakukan pendaftaran tetapi juga bisa dilakukan penerbitan SEP
(Surat Elegalibilitas Pelayanan) pelayanan rawat jalan bagi pemegang
asuransi kesehatan BPJS. Tetapi tempatnya terpisah dengan tempat
pendaftaran pasien dan penerimaan pasien. Berikut disampaikan pernyataan
informan saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana pendapat informan
terhadap proses pendaftaran rawat jalan, seperti yang hasil wawancara di
bawah ini:
“ Pendaftaran pasien sama pendaftaran BPJS ngga sama tempatnya.
Antrinya lama saat di BPJS. Kalo pasiennya ngga ikut antri.
Soalnya pasiennya diturunkan dulu di ruang tunggu Poliklinik ngga
ngikut antri”
(K2, 50 tahun)
Berikut pernyataan informan yang lain saat diajukan pertanyaan
tentang bagaimana pendapat informan terhadap proses pendaftaran rawat
jalan, seperti yang hasil wawancara di bawah ini:
“Untuk pendaftaran.. untuk bagian pendaftaran bagus.. lancar,
nggak ada hambatan apa-apa..... Kalau untuk bagian pendaftaran
lancar-lancar saja, nggak ada hambatan. Apalagi sekarang pasien
langsung ngantri di depan poli, hanya keluarga yang antri di loket.
Jadi pasiennya ndak ikut capek. Yang lama ngantri itu di BPJS
123
untuk pembuatan surat jaminannya yang agak lama. Karena
pasiennya banyak.”
(K4, 37 tahun)
Admisi rawat inap melayani pasien yang akan dilakukan rawat inap.
Pada unit ini pasien dan keluarga dijelaskan bagaimana proses pasien
melakukan suatu pendaftaran sampai dengan menerima pelayanan yang
dituju sampai dengan pasien mendapatkan informasi tentang rawat inap.
Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang bagaimana
kesan yang diterima informan saat melakukan pendaftaran rawat jalan,
seperti hasil pernyataan di bawah ini: “Waktu mendaftar pasien rawat inap,
saya ditanya punya kartu BPJS atau umum, juga dijelaskan tentang
persyaratan-persyaratan yang harus dilengkapi mbak. Petugasnya nerangkan
satu-satu.” (K3, 24 tahun)
Sesuai standar pelayanan admisi, admisi rumah sakit selain
melakukan pendaftaran pasien juga mengidentifikasi penggunaan asuransi
kesehatan, salah satunya adalah penerbitan jaminan rawat inap atau disebut
dengan SEP (Surat Elegalibilitas Peserta). Penerbitan SEP belum bisa
dilakukan di Admisi rawat inap. Pelayanan yang dilakukan masih bersifat
pendaftaran pasien. Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan
tentang bagaimana proses administrasi pasien rawat inap yang berstatus
peserta BPJS seperti hasil wawancara berikut ini :
“Pembuatan SEP belum bisa di admisi rawat inap. Hanya bisa
dilakukan di admisi rawat jalan. Jam kerjanya hanya jaga pagi. Jadi
kalo datangnya sore, ya besok paginya. Kalo pasiennya rawat inap
ya nanti hanya diberikan jaminan pelayanan sementara. Setelah
sampai di ruangan dibuatkan pengantar rawat inap dari ruangan
yang ditempati ke admisi rawat jalan untuk pembuatan SEP
124
terutama pasien BPJS. Kendala yang sering ditemui, petugas
admisi rawat inap tidak bisa langsung memverifikasi kepesertaan
BPJS dari pasien yang dilayani. Sehingga sulit saat pemberian
layanan apakah sesuai hak peserta BPJS atau umum.”
(Ad3, 50 tahun)
Seluruh unit di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo telah terhubung
dalam SIM (Sistem Informasi Manajemen) sehingga memudahkan untuk
memperoleh data tentang riwayat pasien melakukan kunjungan di RSUD
Dr. Harjono S Ponorogo, begitu pula untuk pendaftaran pasien ataupun
transaksi pembayaran atau keuangan atau disebut juga dengan Billing
System. Untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan berbagai
proses palayanan di ruang perawatan, pasien dapat mengetahuinya melalui
admisi rawat inap. RSUD Dr. Harjono S Ponorogo tersedia billing system
untuk mempercepat tahapan pelayanan kepada masyarakat. Billing system
merupakan suatu bentuk program aplikasi komputer yang digunakan untuk
melakukan transaksi baik rawat inap maupun rawat jalan serta penunjang
medis lainnya secara online. Dengan adanya sistem ini data hanya perlu
dimasukkan dari satu bagian layanan saja dan secara otomatis bagian
layanan yang lain akan mencatatnya. Hal ini tentu akan memberikan
kemudahan dan menambah kecepatan dalam prosedur pelayanan kepada
pasien terutama pada bagian admisi. Berikut pernyataan informan saat
diajukan pertanyaan tentang peran sistem komputerisasi dalam
meningkatkan kelancaran pemberian layanan admisi, seperti pernyataan di
bawah ini:
“Dengan sistem komputerisasi sangat membantu untuk
mendapatkan informasi tentang kunjungan pasien dan data data
dasar lain yang diperlukan. Selain itu bagian lain yang melakukan
125
input data, langsung bisa kita terima, terutama yang berkaitan
dengan pembayaran. Untuk input data yang berkaitan dengan data
hasil pemeriksaan penunjang belum bisa. Cuman data di komputer
ini kadang-kadang tidak sama karena ada yang kurang teliti
memasukkannya. Terutama tentang keadaan pasien. kadang pasien
sudah pulang tetapi di komputer masih ada. Belum dilogin pulang.”
(Ad2, 25 tahun)
Sesuai dengan standar APK ( Aksesibilitas dan Kontinuitas
Pelayanan) di standar akreditasi rumah Sakit versi KARS tahun 2012,
sistem pelayanan admisi di RSUD Dr.Harjono S Ponorogo diakui cukup
baik ditandai dengan RSUD Dr. Harjono Ponorogo terakreditasi dengan
peringkat paripurna. Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan
tentang kualitas pelayanan yang diberikan unit admisi, sesuai dengan
pernyataan informan penelitian di bawah ini : “Untuk pelayanannya
menurut saya itu sudah bagus, karena kita sudah lulus paripurna, sudah
terstandar akreditasi, berarti kualitas pelayanan sudah bagus, sudah sesuai
dengan SPO yang ada”. ( Ad1, 56 tahun)
Meskipun diakui bahwa pelayanan sudah cukup baik tetapi ada
beberapa keluhan-keluhan dari pelanggan terhadap pelayanan di admisi
rawat inap terutama tentang cara berkomunikasi dan penyampaian terhadap
pasien ataupun keluarga pasien. Sesuai dengan pernyataan subyek penelitian
di bawah ini :
“ ….. itu tergantung masing-masing orangnya, ada yang galak ada
juga yang baik tapi untuk sekarang ini pelayanan terhadap pasien
sudah bagus, misal saja ada yang kurang baik itu maklum namanya
juga melayani orang banyak mungkin maksud dia baik tapi ternyata
kita yang menerimanya kurang baik kan bisa saja..”
(K5, 55 tahun)
126
Kendala-kendala yang dihadapi saat melayani pasien di admisi
adalah persediaan formulir-formulir yang diperlukan saat pasien rawat jalan
ataupun pasien rawat inap. Ketersediaan formulir di gudang non medis
sangat terbatas. Hal ini akan mempengaruhi respon petugas saat melayani
pasien atau keluarga di bagian admisi. Perencanaan permintaan barang
cetakan selalu terencana tetapi tetap ada kendala dalam penyediaan di unit.
Berikut pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang kendala-
kendala yang dialami dalam administrasi admisi, seperti pernyataan subyek
penelitian di bawah ini:
“Formulir-formulir ini sering kehabisan stok, padahal kita selalu
memerlukannya setiap saat. Kita sebenarnya selalu menyiapkan
permintaan 1 bulan sebelumnya. Mungkin karena formulirnya
sering gonta ganti dengan yang baru ya…. Sehingga cepet habis
stok di gudang. Ya kalo habis terpaksa kita fotokopi. Itu kita
lakukan kalo bener-bener habis.”
(Ad1, 56 tahun)
Selain kendala dalam penyediaan barang cetakan, kendala lain di
admisi rawat inap ataupun rawat jalan adalah ketersediaan rekam medik
sesuai dengan pasien yang akan menerima pelayanan rawat inap atau rawat
jalan. Hal ini disebabkan karena lokasi penyimpanan berkas rekam medis
berada di gedung yang berbeda dan lokasinya cukup jauh. Permasalahan
muncul apabila berkas rekam medis belum ada sedangkan pasien sudah
menunggu cukup lama. Selain itu berkas rekam medis belum kembali ke
tempat penyimpanan atau bagian Filling karena masih terkendala pengisian
berkas yang belum lengkap atau masih dilakukan verifikasi oleh tim
verifikator BPJS. Berikut pernyataan subyek penelitian yang terkait tentang
127
ketersediaan berkas rekam medis, pada saat pasien lama melakukan
kunjungan di rawat jalan ataupun kunjungan IGD untuk rawat inap :
“……. Kalo pasien sudah waktunya kontrol, tapi Rekam medis
masih belum kembali, nah itu repotnya. Kita harus nelpon satu satu
dimana nyantolnya. dan itu perlu waktu. Itu kalo rawat jalan. Kalo
rawat inap, penyimpanan rekam medis kan di gedung Filling. Lha
itu kan jauh. Kadang-kadang kita kumpulin dulu, kalo udah dapet
beberapa baru diambil. Kalo ngambilnya satu satu…. Waduh capek
mbak… belum lagi kalo malem hari. Belum lagi kalo pasiennya
her opname trus baru pulang…. Itu juga repot.”
(Ad1, 56 tahun)
Selain yang diuraikan di atas kendala-kendala yang dihadapi saat
melayani pasien di admisi adalah kekurangan tenaga yang ada di admisi saat
malam hari, seperti yang disampaikan informan di bawah ini :
“ Kalo kerjasama dalam tim tidak ada masalah Bu. Permasalahannya
mungkin yang jaga malem yang sering mengeluh. Karena yang jaga
cuma 1 orang, kalo 2 orang kan bisa bergantian, yang 1 melayani
yang satu istirahat, selain itu juga lebih cepat nanti melayaninya.”
(Ad2, 25 tahun)
Saat ditanyakan tentang permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan pembagian jasa pelayanan dalam remunerasi, salah satu informan
menyampaikan :
“ Keluhannya JM sama yang lama sama yang baru kok berbeda. Itu
katanya temen-temen. Wah ini baru masuk kok sudah segini-segini.
Saya yang sudah lama di sini kok cuma segini, jauh di bawahnya.
Ada temen-temen yang punya pendapat seperti itu. Takutnya nanti
akan mempengaruhi pelayanan. Kalo saya sendiri sih tidak masalah,
yang penting disyukuri saja.
(Ad2, 25 tahun)
Hal yang senada juga disampaikan oleh informan yang lain di
Admisi rawat jalan, saat ditanyakan tentang permasalahan pembagian jasa
pelayanan.
128
3. IRD
Pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat
memberikan tindakan yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok
orang agar dapat meminimalkan angka kematian dan mencegah terjadinya
kecacatan yang tidak perlu. Tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal
pada pasien dalam penanganan tingkat kegawatdaruratan sehingga mampu
mencegah resiko kecacatan dan kematian. Pendapat yang disampaikan oleh
informan tentang respon petugas di IGD saat memberikan pelayanan
disampaikan oleh K2 seperti pernyataan berikut ini :
“Ibu saya sudah lama menjadi pelanggan RSUD karena sering cuci
darah. Kadang-kadang langsung ke HD (hemodialisa), tapi kalo
tiba-tiba sesak… yo tak bawa ke IGD aja biar cepet ditangani. Ibu
saya yo langsung ditangani kok”.
(K2, 50 tahun).
Saat diajukan pertanyaan “Bagaimana sambutan dan pelayanan di IGD saat
jam-jam dinas yang rawan?”, jawaban yang dikemukakan subyek penelitian
seperti yang tertulis berikut ini :
“Pelayanan penerimaan pasien sudah baik dan cepat tanggap.
Meskipun saya datangnya malam menjelang pagi tapi petugasnya
juga sudah siap di tempat. Ngga ada juga petugasnya yang tidak
ramah, semuanya ramah ramah dan ditangani dengan cepat.“
(K1, 57 tahun)
Fokus asuhan dasar diberikan oleh pemberi asuhan yang berpusat
kepada pasien dilakukan mulai pasien datang dengan pemberian informasi
kepada pasien atau keluarga tetap diberikan kepada pasien mulai dilakukan
saat pemilahan pasien di IGD. Pernyataan yang disampaikan informan saat
ditanyakan tentang bagaimana proses pemilahan pasien yang ada di IGD
seperti yang dikemukakan berikut ini :“Pasien yang datang di IGD selalu
129
dilakukan triase sesuai kategori. Dan dilakukan tindakan sesuai dengan
kegawatannya. Semuanya ini selalu diberitahukan kepada keluarga pasien.”
(P1, 46 tahun). Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan
yang lain, berikut pernyataannya :
“Pemberian pelayanan admisi di IGD saya kira sudah sesuai dengan
standar, karena kita selalu berpegang pada SPO, baik itu SPO
Triase, SPO Transfer bahkan kalo ada penundaan pelayanan,
semuanya selalu diinformasikan kepada pasien atau keluarganya.”
(P2, 47 tahun).
Tentang pelayanan yang diberikan di IGD ada beberapa keluhan-
keluhan dari pelanggan terhadap pelayanan di IGD terutama tentang
pelayanan administrasi dan pelayanan farmasi. Pernyataan yang
disampaikan informan saat ditanyakan tentang bagaimana pendapat
informan terhadap proses peresepan obat yang dilakukan di IGD, seperti
yang ditulis di bawah ini :
“…… mbolak mbalik mbak kalo beli obat. Waktu mau diinfus, mau
disuntik kan dikasih resep sama dokternya. Beli obatnya keluar
stelah itu mbalik ke IGD, setelah dari IGD mbalik lagi ke kasir.
Pokoknya mbolak mbaliklah mbak. Dulu ngga begitu lho, baru-
baru ini saja. Harusnya kan ngga begitu.”
(K2, 50 tahun).
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan lain
tentang pelayanan yang seharusnya bisa dilakukan di IGD tetapi harus
dirujuk ke rumah sakit lain. Berikut pernyataan yang disampaikan oleh
informan saat ditanyakan tentang bagaimana pelayanan IGD terutama
penanganan kasus-kasus emergensi bedah dan bedah orthopedi :
“Pelayanan di IGD masih ada kendala, kasus emergensi yang
seharusnya bisa dilakukan di sini, dan masuk IGD, ternyata tidak
bisa dilakukan. Contohnya kasus bedah dan kasus Orthopaedi.
130
Tidak bisa dilakukan cyto di sini. Salah satunya karena belum ada
OK cyto di IGD. Ada OK di IGD tapi miliknya Bedah Saraf.
Masyarakat Ponorogo pengennya ditangani, hal ini menimbulkan
image bahwa RSUD belum bisa menangani dengan cepat”
(P2, 47 tahun)
Pernyataan yang disampaikan informan tentang kendala-kendala
saat menjalankan SMART Service Admission di IGD saat ditanyakan
tentang selain keterbatasan tenaga perawat yang melayani terutama saat
proses pemilahan pasien tetapi juga pelatihan-pelatihan yang diperlukan
petugas di triase belum pernah ada, seperti yang disampaikan oleh subyek
penelitian berikut ini :
“Di IGD petugas yang khusus menangani triase belum ada. Selain
itu juga belum ada tempat khusus yang memadai untuk triase.
Karena keterbatasan tenaga ini, jadi proses triase dilakukan di saat
pasien sudah masuk ke IGD. Yang seharusnya dilakukan di
depan, di triase maksudnya, langsung masuk ke dalam. Sampai di
dalam kasusnya non kegawatandaruratan. Nah stelah ditangani
ternyata tidak masuk dalam penjaminan BPJS. Karena begitu
datang langsung dilabelling dan didokumentasikan. Selain itu
khusus di triase kemampuan dalam klasifikasi penyakit dari segi
SDM belum menguasai. ”
(P2, 47 tahun)
Berikut adalah pernyataan informan saat dikonfirmasi tentang bagaimana
respon keluarga saat pemilahan pasien gawat dan tidak gawat menurut
pengalaman informan di IGD :
“Saya kira pasien dan keluarga menerima kalau yang tidak gawat
darurat ditangani di ruang non urgent, tapi kalo dari awal sudah
disampaikan, adanya miss komunikasi bisa diperkecil bila
dilakukan skrining awal.”
(P1, 46 tahun)
Salah satu pernyataan dari informan saat ditanyakan bagaimana
perencanaan yang dilakukan IGD tentang usulan pelatihan-pelatihan yang
131
diperlukan untuk tenaga IGD. Berikut pernyataannya : “Perencanaan dalam
RKU sudah ada tentang usulan pelatihan, terutama pelatihan triase sesuai
anjura surveyor KARS kemarin saat akreditasi tetapi masih menunggu
realisasi.” ( P2, 47 tahun). Kekurangan tenaga di IRD saat transfer pasien
intra hospital dapat dipenuhi dengan adanya tenaga pendorong. Sedangkan
pengelolaan tenaga pendorong ini tidak di bawah koordinasi dari Instalasi
Rawat Darurat sehingga mempersulit dalam pengelolaan dan pelaksanaan.
Berikut adalah pernyataan informan saat diajukan pertanyaan tentang peran
serta tenaga pendorong dalam pelaksanaan pelayanan di IRD, seperti yang
disampaikan berikut ini :
“Sesungguhnya tenaga pendorong sangat membantu untuk
pelayanan IGD karena bisa mengcover tenaga IGD untuk
mengurusi persediaan dan prasarana di IRD juga untuk persiapan
transfer pasien. tetapi status pengelolaan tenaga pendorong ini
belum jelas, maksudnya belum masuk ke bagian IGD.” Hal
seperti ini sangat mempengaruhi dalam pengelolaan jasa. Karena
masalah remunerasi seperti ini juga menjadi kendala dan
mempengaruhi semangat kerja. Kalo dengan score index yang
sama harusnya sama dapatnya, tidak seperti sekarang.”
(P2, 47 tahun)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja pemberi
pelayanan yang terkait dalam pelaksanaan SMART Service Admission yang
berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan dalam memberikan pelayanan,
kedisplinan, jenjang karir dan punishment serta evaluasi kinerja di Instalasi
Gawat Darurat. Berikut pernyataan dari informan saat diajukan pertanyaan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petugas dalam
melaksanakan SMART Service Admission adalah sebagai berikut :
“Belum tertata dengan baik dari bagian ke bagian. Mulai satpam
saja dalam penyambutan pasien belum menjiwai. Kenapa kok
132
belum menjiwai? Karena kurangnya pengetahuan, kemampuan dan
rewardnya. Karena yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi,
rewardnya sama. Jenjang karirnya sama. Yang disiplin dengan
yang tidak disiplin semuanya sama. Karena punishment juga
belum ada. Harusnya ada ketentuan atau alat ukur untuk evaluasi
kinerja dengan obyektif dan terbuka, sehingga semua orang bisa
mengetahuinya.”
(P2, 47 tahun)
Pernyataan yang senada juga disampaikan oleh informan sebagai tenaga
pendorong pasien, berikut pernyataannya :
“ Saat pasien ada yang datang, ini petugasnya ngga ada. Lho kok
ngga ada? Lha itu petugasnya lagi istirahat ngopi. Lha tapi itu
kesadaran masing-masing Bu, kalo istirahat ya gentian, jangan
semuanya ngga ada. Kalo masalah kesejahteraan, ya dibilang
cukup ya cukup, dibilang kurang ya kurang, sulit mengatakannya
Bu. Ya mohonlah kesejahteraan kami ini diperhatikan biar
sebandinglah.”
(PP, 42 tahun)
4. Pasien dan Keluarga
Dari hasil wawancara dengan informan penelitian baik pasien atau
penunggu pasien didapatkan data bahwa hampir keseluruhan subyek
penelitian menyatakan bahwa pemberian pelayanan pada saat awal masuk
rumah sakit atau admisi sudah mempunyai sistem yang cukup baik.
Keberlangsungan sistem pemberian pelayanan admisi di RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo telah menekankan pada aspek kesinambungan dan
keutuhan dari bagian-bagian yang terkait dalam pemberian pelayanan
admisi baik pasien rawat jalan maupun rawat inap. Berikut kutipan
pernyataan informan mengenai sistem pelayanan admisi di RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo adalah sebagai berikut: “Pelayanan yang dulu dengan
sekarang sebenarnya mampir sama Bu, tapi sekarang ini pelayanannya
133
lebih baik dan cepet langsung ditangani. Pemberitahuan masuk ke kamar
pasien juga cepet kok.” (K5, 55 tahun).
Menurut subyek penelitian, pelayanan yang diberikan mulai dari
tempat pendaftaran sudah lebih baik dibandingkan dengan yang
sebelumnya. Respon terhadap pasien dalam memberikan pelayanan juga
dirasakan lebih cepat. Keramahan petugas terhadap pasien atau keluarga
yang datang berkunjung juga lebih baik. Berikut pernyataan yang
disampaikan oleh subyek penelitian saat ditanyakan tentang kualitas
pelayanan di admisi :
“Pelayanan penerimaan pasien sudah baik dan cepat tanggap.
Meskipun ibu saya datangnya malam menjelang pagi tapi
petugasnya juga sudah siap di tempat. Ngga ada juga petugasnya
yang tidak ramah, semuanya ramah ramah dan ditangani dengan
cepat.“
(K2, 57 tahun)
Berikut ini adalah pernyataan pelanggan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
tentang pemberian penjelasan oleh petugas tentang pelayanan yang harus
diterima di IGD :
“Setiap akan dilakukan tindakan di IGD saya juga diberitahu, kalo
masih nunggupun saya juga dikasih tau kok. Kalo yang kemarin itu
waktu kamar masih penuh saya diberitahu harus menunggu dulu.
Kalo itu saya ya maklum wong pasiennya juga banyak.”
(K1, 57 tahun)
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan yang lain, berikut
pernyataannya :
“Saya kira pelayanannya sudah bagus semua, Contohnya kalo pas
kamarnya penuh ya mesti dikasih tau kok, kita mau menunggu
sampe kamarnya tersedia atau gimana. Dan kalo nerangkan juga
sabar sabar kok petugasnya. Saya kan sudah langganan dari dulu.
Ibu saya kan rutin HD.”
(K2, 50 tahun)
134
Berikut ini adalah pernyataan pelanggan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
tentang kesan terhadap pelayanan diterima saat dilakukan pendaftaran rawat
inap :
“Kalo sekarang ini ndaftar pasien rawat inap jadi agak lama mbak…
lembaran yang harus ditandatangani lebih banyak mbak. Juga
banyak yang dijelaskan ke kami, seperti peraturan-peraturan, trus
kalo nitip barang juga ada aturannya. Tapi ya ngga papa, wong
demi kebaikan kok.”
(K4, 37 tahun)
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan yang lain, berikut
pernyataannya :
“Sekarang petugasnya muda-muda, ya dokternya ya perawatnya, ya
yang petugas di depan muda-muda semua, gek semuanya sabar-
sabar ndak ada yang galak kaya dulu. Kalau menurut saya sih
bagus ya, kalau kekurangannya kayaknya nggak, dokternya semua
bagus, perawatnya juga enak, gitu aja. Hehehehe.”
(K3, 24 tahun)
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan informan yang lain di bawah
ini, berikut pernyataannya :
“Pelayanannya lebih bagus yang sekarang mbak… Sekarang ada jam
kunjungnya, trus setiap berapa menit sekali ada pemberitahuan
lewat speaker, trus kamar mandinya juga bersih, pokoknya
semuanya jadi lebih baik kok mbak… cuman kalo pas pulang,
administrasinya agak lama, jadi harus lebih sabar.”
(K1, 57 tahun)
135
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan hasil penelitian Kualitas Pelayanan Admisi Dengan
SMART Service Admission Di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo meliputi deskripsi
karakteristik pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD dr
Harjono S Ponorogo, deskripsi masalah-masalah yang berhubungan dengan
admisi pasien rawat inap dan rawat jalan di RSUD dr. Harjono S Ponorogo dan
faktor pendukung dan penghambat kualitas pelayanan admisi dengan SMART
Service Admission dalam memberikan kepuasan masyarakat di RSUD dr Harjono
S Ponorogo. Saat pengambilan data yang melibatkan informan kunci, beberapa
informan kunci justru kurang bisa memberikan jawaban yang terkait dengan
SMART Service Admission. Ini berarti pemangku kebijakan yang terkait belum
memahami secara baik terutama segi filosofi SMART Service Admission. Berikut
uraian pembahasannya :
1. Admisi dengan SMART Service Admission
SMART Service Admission berawal dari perubahan paradigma
pelayanan kesehatan yang berkembang dengan pesat, yang dulunya berfokus
pada pemberi pelayanan telah beralih menjadi berfokus pada keselamatan
pasien, di mana rumah sakit wajib menjaga keselamatan pasien secara
konsisten dan terus menerus. Kegiatan SMART Service Admission merupakan
proyek baru yang sebelumnya belum dilaksanakan di RSUD dr Harjono S
Kabupaten Ponorogo, perubahan paradigma pasien Centered Care yang
136
menuntut pelayanan kesehatan memfokuskan semua pelayanan berfokus pada
keselamatan pasien. Perubahan tersebut membuat proyek SMART Service
Admission yang intinya menyambut, mengidentifikasi kebutuhan pasien,
mengedukasi dan membuat kesepakatan dengan pasien dan keluarga, serta
harus memprioritaskan pelayanan mendahulukan pasien dengan tingkat
kegawatdaruratan tinggi, memerlukan kemampuan koordinasi, konsolidasi, dan
staffing untuk mewujudkanya. Konsep SMART Service Admission ini
merupakan salah satu konsep pelayanan berfokus pada pasien, di mana
kebutuhan pasien merupakan pusat yang akan dilakukan asuhan secara terpadu
mulai pasien dan keluarga memasuki kawasan Rumah Sakit. SMART Service
Admission adalah pengelolaan pasien yang akan rawat jalan dan rawat inap,
sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu pasien dan keluarga
mendapat sambutan yang ramah dengan senyum, disambut dengan
menskrining risiko serta memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan prioritas
kegawatdaruratan, menginformasikan tentang kondisi pasien tindakan dan
pengobatan yang akan diberikan.
Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam SMART Service
Admission meliputi pemenuhan sumber daya manusia, pemenuhan sarana
prasarana dan alur pemberian pelayanan SMART Service Admission.
a. Satpam
Satpam dalam SMART Service Admission mempunyai peran ganda
yakni sebagai tenaga keamanan dan juga sebagai tenaga yang pertama kali
menyambut pasien dan keluarga di pintu gerbang RSUD Dr. Harjono S
137
Ponorogo sekaligus melakukan skrining visual untuk memilah pasien yang
berkunjung ke rawat jalan, gawat darurat ataupun ke pelayanan PONEK.
Tugas satpam juga mengarahkan pasien dan atau keluarga ke tempat
pelayanan yang dituju, tugas ini merupakan tugas tambahan yang diberikan
kepada satpam selain tugas pokok dan fungsi sebagai tenaga pengamanan.
Permasalahan yang muncul dengan peran ganda ini adalah kekurangan
tenaga satpam, apabila ditinjau dari jumlah satpam yang ada dibandingkan
dengan luas bangunan dan luas area pengamanan.
Keadaan fisik bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk
mendukung pelaksanaan SMART Service Admission terutama pos jaga
satpam yang berada di pintu masuk utama rumah sakit. Pos satpam ini
menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung, karena pintu membelakangi
pintu masuk utama rumah sakit, sehingga harus memutar. Selain posisi pintu
yang tidak mendukung, apabila satpam tidak keluar dari pos, komunikasi
dengan pasien atau pengantar pasien bisa dilakukan melalui jendela kaca.
Jendela kaca ini bersifat permanen sehingga tidak bisa dibuka, sedangkan
bagian yang terbuka ada di bagian atas sehingga menyulitkan saat
berkomunikasi, karena sebagian besar tidak mendengar apa yang
disampaikan oleh satpam. Apabila ada pasien atau tamu yang datang, respon
menyambut terhadap kedatangan menjadi lama, karena satpam harus keluar
dari gedung, memutar keluar baru bisa menemui pasien tersebut. Pada saat
menyambut dan melakukan skrining visual akan menyebabkan antrian mobil
yang ada di belakangnya karena harus memberhentikan mobil tersebut untuk
138
melihat pasien dari dekat dan memerlukan waktu dalam beberapa menit.
Masalah ini akan memicu kemacetan, oleh karena di depan pintu masuk
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo merupakan jalan raya utama yang
menghubungkan Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan.
Pengusulan terhadap perubahan bentuk pos satpam sudah diusulkan
oleh koordinator satpam, tetapi belum ada tindak lanjut dari pihak
manajemen. Sesuai dengan pernyataan subyek penelitian saat diajukan
pertanyaan bagaimana mekanisme yang dilakukan saat mengetahui desain
bangunan satpam tidak sesuai dengan harapan pengguna. Pengusulan
perubahan ini salah satunya disesuaikan dengan Pedoman Bangunan Dan
Prasarana Rumah Sakit Kelas B dari Direktorat Bina Pelayanan Penunjang
Medik Dan Sarana Kesehatan Sub Direktorat Bina Sarana Dan Prasarana
Kesehatan Tahun 2012.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan
Umum Daerah, dijelaskan bahwa Badan Layanan Umum Daerah yang
selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau
Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah
daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan BLUD, yang
selanjutnya disingkat PPK-BLUD adalah pola pengelolaan keuangan yang
139
memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-
praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan
keuangan daerah pada umumnya. Pada BAB II pasal 2 ayat 7 disebutkan
bahwa dalam menyelenggarakan dan meningkatkan layanan kepada
masyarakat, BLUD diberikan fleksibilltas dalam pengelolaan keuangannya.
Sehingga apabila menganut aturan di atas, perencanaan dan realisasi
perubahan pos satpam bisa segera dilakukan mengingat RSUD Dr. Harjono
S Ponorogo sudah berbentuk PPK BLUD (Penerapan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah) RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
mulai tanggal 1 Januari 2012 berdasarkan Peraturan Bupati per 25 April
2011 nomor 545 tahun 2011 tentang penerapan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) atau secara penuh pada
Rumah Sakit Daerah (RSUD) Dr. Harjono S Ponorogo dengan status
sebagai PPK-BLUD dan perpindahan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo dari
lokasi lama ke lokasi baru sudah dijalani selama hampir 5 tahun ( terhitung
sejak 11 November 2011). Sesuai dengan keleluasaan dan fleksibilitas
keuangan yang dimiliki oleh perangkat kerja pemerintah daerah yang
berbentuk BLUD, seharusnya bisa segera terealisasi untuk menunjang
peningkatan kualitas admisi.
Perilaku satpam dalam memberikan pelayanan SMART Service
Admission, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan yaitu :
140
ketidakdispinan, ketidakhadiran dan keenganan dalam memberikan
pelayanan terkait dengan SMART Service Admission serta kurangnya
pengawasan dan evaluasi dari pihak yang berwenang. Selain permasalahan
di atas juga adanya ketidakpuasan yang dialami oleh satpam dalam
penerimaan reward berupa jasa pelayanan. Hal ini disebabkan adanya
pemahaman yang kurang sehingga menyebabkan perbedaan persepsi di
tataran pemberi pelayanan langsung. Ketidakpuasan ini muncul karena
adanya “gap” antara kelompok junior dan kelompok senior. Dan adanya
perbedaan dalam pelaksanaan beban kerja dari masing-masing individu.
Menurut Lawrence W Green (1988), perilaku manusia berasal dari
dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha
untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku manusia
(human behavior) merupakan reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun
bersifat kompleks. Pada manusia khususnya terdapat bentuk-bentuk perilaku
instinktif (species-specific behavior) yang didasari oleh kodrat untuk
mempertahankan kehidupan. Perilaku manusia merupakan hasil dari pada
segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya
yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Faktor
penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun
eksternal (lingkungan). Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya
merupakan refleksi berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan,
keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.
141
Perilaku manusia yang muncul dari kelompok satpam sangat
dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor di luar perilaku. Determinan
kesehatan dalam hal ini yang sangat berkaitan adalah faktor predisposisi
yang merupakan penyebab perubahan perilaku. Ketidakhadiran,
ketidakdisiplinan dan keenganan ini berawal dari predisposing factor yaitu
adanya ketidakpuasan akan reward yang mereka terima sebagai bentuk
pengakuan. Selain itu disebabkan motivasi kinerja yang kurang pada
kelompok satpam kerena pengawasan dan evaluasi yang rendah.
b. Unit admisi
Unit Admisi atau yang sebelumnya disebut dengan Tempat
Pendaftaran Pasien adalah satu unit yang yang bertugas menerima pasien
rawat inap atau pasien rawat jalan berdasarkan kebutuhan pelayanan
kesehatannya yang disesuaikan dengan misi dan sumber daya rumah sakit
tergantung pada asesmen kebutuhan pasien dan skrining pada kontak
pertama. Unit admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat inap.
Unit admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari Instalasi Rawat
Darurat. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu
masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32
meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor, 3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah
sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin ruangan,
hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Menurut petugas admisi
rawat inap, fasilitas yang tersedia di unit admisi rawat inap ini kurang
142
memadai. Salah satunya adalah belum adanya pendingin ruangan. Suasana
ruangan terasa panas apalagi hanya difasilitasi dengan 2 kipas angin dinding.
Kekurangan fasilitas yang dimiliki oleh unit admisi rawat inap dan
rawat jalan sifatnya hampir sama dengan bagian satpam.
Kekuranglengkapan sarana dan prasarana sudah melewati pengusulan dan
belum dilakukan perubahan atau penambahan, sedangkan hal tersebut
bersifat sangat penting dalam peningkatan kualitas pelayanan di admisi.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 61 tahun 2007
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan
Umum Daerah BAB II pasal 3 yang berbunyi PPK-BLUD bertujuan
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain sarana dan prasarana yang kurang memadai, dari hasil
wawancara juga didapatkan permasalahan tentang SIMRS (Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit) yang belum bisa memberikan informasi yang
terintegrasi akuntabel dan transparan secara lebih lengkap, yang bisa
meningkatkan pelayanan admisi. Sistem informasi Manajemen sudah
berjalan baik di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo, tetapi hanya memberikan
informasi dasar tentang data pasien baik rawat jalan maupun rawat inap,
belum mampu mengintegrasikan keseluruhan informasi yang diperlukan di
rumah sakit. Selain itu pelayanan administrasi pasien BPJS yang akan rawat
inap tidak bisa dilakukan saat itu juga terutama tentang penerbitan SEP dan
143
verifikasi keanggotaan, hanya bisa dilakukan di admisi rawat jalan, yang
hanya memberikan pelayanan di shift pagi. Sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2013 Pasal 3 Tentang
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit bahwa Setiap Rumah Sakit harus
melaksanakan pengelolaan dan pengembangan SIMRS. Dijelaskan juga di
ayat 4 bahwa Pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan SIMRS harus
mampu meningkatkan dan mendukung proses pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit yang meliputi:
1. kecepatan, akurasi, integrasi, peningkatan pelayanan, peningkatan
efisiensi, kemudahan pelaporan dalam pelaksanaan operasional;
2. kecepatan mengambil keputusan, akurasi dan kecepatan identifikasi
masalah dan kemudahan dalam penyusunan strategi dalam pelaksanaan
manajerial;
3. budaya kerja, transparansi, koordinasi antar unit, pemahaman sistem dan
pengurangan biaya administrasi dalam pelaksanaan organisasi.
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit yang selanjutnya
disingkat SIMRS adalah suatu sistem teknologi informasi komunikasi yang
memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan Rumah
Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi
untuk memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan merupakan bagian
dari Sistem Informasi Kesehatan. Sistem Informasi dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan pelayanan data dan informasi dengan lebih produktif,
transparan, tertib, cepat, mudah, akurat, terpadu, aman dan efisien,
144
khususnya membantu dalam memperlancar dan mempermudah
pembentukan kebijakan dalam meningkatkan sistem pelayanan kesehatan
khususnya dalam bidang penyelenggaraan Rumah Sakit. Pernyataan di atas
juga didukung dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 61 tahun
2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan
Layanan Umum Daerah BAB XIII pasal 115 yang tentang Akuntansi,
Pelaporan Dan Pertanggungjawaban menjelaskan bahwa BLUD menerapkan
Sistem Informasi Manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan praktek
bisnis yang sehat. Setiap transaksi keuangan BLUD dicatat dalam dokumen
pendukung yang dikelola secara tertib.
b. Instalasi Gawat Darurat
Pada proses pre admission yang sifatnya elektif belum bisa
dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
Penerimaan pesanan dari pasien atau keluarga yang ingin membuat
perjanjian pertemuan dengan dokter di rawat jalan juga belum bisa
dilakukan, karena meskipun sudah ada SIMRS (Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit) tetapi belum bisa menghasilkan data online.
Salah satu penyebabnya adalah belum tertatanya sistem informasi dan
tenaga di Instalasi Gawat Darurat yang belum memadai. Selain itu sistem
antrian yang diberlakukan di rawat jalan masih bersifat manual belum
komputerisasi. Kelemahan dari sistem admisi ini adalah belum bisa
dilakukan penjadwalan dan perencanaan pada penerimaan pelayanan.
145
Sesuai dengan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar
Akreditasi Versi 2012 Komisi Akreditasi Rumah Sakit tentang Akses Ke
Pelayanan & Kontinuitas Pelayanan Admisi Ke Rumah Sakit standar
APK 1 menyebutkan bahwa pasien diterima sebagai pasien rawat inap
atau didaftar untuk pelayanan rawat jalan berdasarkan pada kebutuhan
pelayanan kesehatan mereka yang telah diidentifikasi dan pada misi serta
sumber daya rumah sakit yang ada. Skrining dapat terjadi di sumber
rujukan, pada saat pasien ditransportasi emergensi atau apabila pasien
tiba di rumah sakit. Hal ini sangat penting bahwa keputusan untuk
mengobati, mengirim atau merujuk hanya dibuat setelah ada hasil
skrining dan evaluasi. Hanya rumah sakit yang mempunyai kemampuan
menyediakan pelayanan yang dibutuhkan dan konsisten dengan misinya
dapat dipertimbangkan untuk menerima pasien rawat inap atau pasien
rawat jalan. Apabila rumah sakit memerlukan data tes skrining atau
evaluasi sebelum penerimaan dan pendaftaran ditetapkan dalam
kebijakan tertulis.
Prinsip Admisi gawat darurat ini adalah melayani pasien gawat
darurat yang sifatnya cedera atau penyakit akut yang tidak bisa ditangani
di rawat jalan. Pada penanganan gawat darurat yang pertama adalah
proses triase. Triase bisa dilakukan secara visual dan dilakukan di ruang
triase. (Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan IGD 2014). Triase
dilakukan di ruang terbuka di depan IGD dan dilakukan oleh perawat
jaga triase yang merangkap perawat jaga di IGD. Sesuai dengan
146
Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012
Komisi Akreditasi Rumah Sakit tentang Akses Ke Pelayanan &
Kontinuitas Pelayanan Admisi Ke Rumah Sakit, Standar APK.1.1.1
dijelaskan bahwa pasien dengan kebutuhan darurat, mendesak, atau
segera diberikan prioritas untuk asesmen dan pengobatan. Pasien dengan
dengan kebutuhan darurat, mendesak, atau segera emergensi,
diidentifikasi dengan proses triase berbasis bukti. Bila telah diidentifikasi
sebagai keadaan dengan kebutuhan darurat, mendesak, atau segera
(seperti infeksi melalui udara/airborne), pasien ini sesegera mungkin
diperiksa dan mendapat asuhan. Pasien-pasien tersebut didahulukan
diperiksa dokter sebelum pasien yang lain, mendapat pelayanan
diagnostik sesegera mungkin dan diberikan pengobatan sesuai dengan
kebutuhan. Proses triase dapat termasuk kriteria berbasis fisiologik, bila
mungkin dan tepat. Rumah sakit melatih staf untuk menentukan pasien
yang membutuhkan asuhan segera dan bagaimana memberikan prioritas
asuhan. Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa triase dilakukan oleh
perawat atau dokter yang sudah terlatih. Sedangkan petugas yang jaga di
triase belum pernah dilatih triase, hanya memiliki sertifikat PPGD saja
atau ATLS dan ACLS.
Mekanisme perencanaan pelatihan bagi tenaga baik perawat
ataupun dokter di Instalasi Gawat Darurat sudah dilakukan oleh kepala
Instalasi Gawat Darurat sebelum 1 tahun berjalan. Realisasi dari
perencanaan yang diajukan unit sangat terkait dari perencanaan program.
147
Keseluruhan dari perencanaan ini dirangkum dan dianalisa kemudian
dimasukkan dalam DPA ( Daftar Pengusulan Anggaran). Keleluasaan
penatausahaan keuangan di Badan Layanan Umum Daerah sangat
membantu dalam realisasi perencanaan dan program. Tetapi dalam
kenyataannya keleluasaan ini masih terbatas oleh aturan-aturan lain yang
tumpang tindih sehingga menyebabkan kelambanan dalam pengambilan
keputusan. Penatausahaan keuangan dapat diketahui pada RBA (Rencana
Bisnis Anggaran) pada BLUD yang berlandaskan pada pelaksanaan
Bisnis yang sehat tanpa mengejar keuntungan atau nirlaba. Menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan Umum Daerah
pasal 67 dijelaskan bahwa pengeluaran biaya BLUD diberikan
fleksibilitas dengan mempertimbangkan volume kegiatan pelayanan.
Fleksibilitas pengeluaran biaya BLUD merupakan pengeluaran biaya
yang disesuaikan dan signifikan dengan perubahan pendapatan dalam
ambang batas RBA yang telah ditetapkan secara definitif. RBA
merupakan penjabaran lebih lanjut dari program dan kegiatan
BLUD dengan berpedoman pada pengelolaan keuangan BLUD.
Sesuai dengan Standar Akreditasi RS versi KARS tahun 2012 di
standar APK 1 bahwa pasien rawat inap dan rawat jalan diterima
berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan yang telah diidentifikasi
melewati skrining pada kontak pertama. Tata cara penerimaan ataupun
skrining pasien rawat jalan atau skrining pasien gawat darurat tercantum
148
dalam kebijakan RS, pedoman atau panduan atau SPO (Standar prosedur
Operasional) yang disyahkan oleh Direktur RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo. Penerbitan kebijakan ini selain merupakan salah satu syarat
dalam akreditasi RS tetapi juga merupakan perubahan paradigma Patient
Centered Care dan juga utuk meningkatkan kualitas pelayanan yang
merupakan salah satu syarat sebagai BLUD yang harus selalu
meningkatkan kinerja.
Perencanaan pasien pulang (discharge planning) belum
dilakukan secara optimal meskipun sudah ada formulir Clinical Pathway
yang didalamnya sudah tercantum perencanaan pengobatan sampai
dengan perencanaan pulang. Banyak permasalahan yang muncul dalam
ini. Salah satunya adalah keengganan dalam melengkapi dokumen rekam
medik dengan alasan terlalu banyak yang ditulis. Juga banyak sekali
perubahan-perubahan dokumen rekam medik yang dilakukan, baik dari
segi jumlah ataupun jenis formulir. Perubahan formulir yang sering ini
sesuai dengan kebutuhan akreditasi, kadang-kadang menimbulkan
keengganan dalam melengkapinya.
Sesuai dengan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar
Akreditasi Versi 2012 Komisi Akreditasi Rumah Sakit tentang Akses
Ke Pelayanan & Kontinuitas Pelayanan Admisi Ke Rumah Sakit,
Standar APK.3 tentang Pemulangan Pasien, Rujukan Dan Tindak Lanjut
menjelaskan tentang ketentuan merujuk atau memulangkan pasien
berdasarkan atas status kesehatan dan kebutuhan pelayanan selanjutnya.
149
Ada ketentuan atau kriteria bagi pasien untuk siap untuk dipulangkan dan
apabila diperlukan, perencanaan untuk merujuk dan memulangkan pasien
dapat diproses lebih awal dan apabila perlu mengikutsertakan keluarga.
b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan admisi pasien rawat inap
dan rawat jalan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
Unit admisi terdiri dari admisi rawat inap dan admisi rawat jalan. Admisi
rawat jalan melayani pasien yang ingin mendapatkan pelayanan di
poliklinik rawat jalan ataupun instalasi penunjang. Sedangkan
permasalahan yang muncul di admisi rawat jalan dan rawat inap adalah
sebagai berikut :
1. Admisi Rawat Jalan
Masalah-masalah yang muncul di admisi rawat jalan salah
satunya adalah ketersediaan rekam medik sesuai dengan pasien yang
akan menerima pelayanan rawat inap atau rawat jalan. Hal ini
disebabkan karena lokasi penyimpanan berkas rekam medis berada di
gedung yang berbeda dan lokasinya cukup jauh. Permasalahan muncul
apabila berkas rekam medis belum ada sedangkan pasien sudah
menunggu cukup lama. Selain itu sebagian berkas rekam medis belum
kembali ke tempat penyimpanan atau bagian Filling karena masih
terkendala pengisian berkas yang belum lengkap atau masih dilakukan
verifikasi oleh tim verifikator BPJS. Hal ini tidak sesuai dengan standar
kualitas mutu pelayanan RSUD Dr. Harjono S Ponorogo adalah
150
pengembalian status rekam medis adalah 2 x 24 jam sehingga belum
terlaksana dengan sempurna.
Ketenagaan admisi rawat jalan merangkap petugas informasi.
Petugas admisi rawat jalan ini hanya ada satu orang, berada di Bagian
Informasi dan juga merupakan petugas informasi. Sehingga mempunyai
tugas ganda sebagai tenaga admisi dan juga sebagai tenaga yang
memberikan informasi kepada pasien dan pengunjung. Tugas ganda ini
dirasakan tidak terlalu memberatkan. Tetapi kadang-kadang agak
merepotkan apabila ada dua tugas yang berbarengan. Menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah
pasal 67 BAB IV tentang Prinsip Tata Kelola, Pasal 31 menjelaskan
bahwa BLUD beroperasi berdasarkan pola tata kelola atau peraturan
internal, yang memuat antara lain: struktur organisasi, prosedur kerja,
pengelompokan fungsi yang logis, pengelolaan sumber daya manusia.
Pada pasal 32 dijelaskan tentang pengelolaan sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf d, merupakan
pengaturan dan kebijakan yang jelas mengenai sumber daya manusia
yang berorientasi pada pemenuhan secara kuantitatif dan
kualitatif/kompeten untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi
secara efisien, efektif, dan produktif.
2. Admisi Rawat Inap
151
Masalah-masalah yang muncul di admisi rawat inap salah
satunya adalah Penerbitan SEP (Surat Elegalibilitas Peserta) belum bisa
dilakukan di Admisi rawat inap. Penerbitannya ini hanya bisa
dilakukan di admisi rawat inap. Masalah yang muncul penyebabnya
antara lain karena belum adanya jaringan yang bisa dipergunakan.
Tetapi yang lebih penting adalah kekurangmampuan petugas yang ada
di admisi rawat inap, berdasarkan pengamatan peneliti saat penelitian.
Di admisi rawat inap belum sepenuhnya paham tentang tugas yang
harus dilakukan sebagai tenaga admisi, karena masih merupakan hal
yang baru saat persiapan akreditasi rumah sakit. Pola pikir bahwa unit
admisi adalah unit yang tugasnya hanya mendaftar pasien, baik pasien
yang perlu rawat inap ataupun pasien yang melakukan kunjungan di
IGD. Sesuai dengan Standar Akreditasi RS versi KARS tahun 2012 di
standar APK 1 tentang Admisi ke Rumah Sakit dijelaskan Pasien
diterima sebagai pasien rawat inap atau didaftar untuk pelayanan rawat
jalan berdasarkan pada kebutuhan pelayanan kesehatan mereka yang
telah di identifikasi dan pada misi serta sumber daya rumah sakit yang
ada. Maksud dan Tujuan APK.1 ini adalah menyesuaikan kebutuhan
pasien dengan misi dan sumber daya rumah sakit tergantung pada
keterangan yang didapat tentang kebutuhan pasien dan kondisinya lewat
skrining pada kontak pertama. Skrining dilaksanakan melalui kriteria
triase, evaluasi visual atau pengamatan, pemeriksaan fisik atau hasil
dari pemeriksaan fisik, psikologik, laboratorium klinik atau diagnostik
152
imajing sebelumnya. Skrining dapat terjadi disumber rujukan, pada saat
pasien ditransportasi emergensi atau apabila pasien tiba di rumah sakit.
Hal ini sangat penting bahwa keputusan untuk mengobati, mengirim
atau merujuk hanya dibuat setelah ada hasil skrining dan evaluasi.
Hanya rumah sakit yang mempunyai kemampuan menyediakan
pelayanan yang dibutuhkan dan konsisten dengan misinya dapat
dipertimbangkan untuk menerima pasien rawat inap atau pasien rawat
jalan. Apabila rumah sakit memerlukan data tes skrining atau evaluasi
sebelum penerimaan dan pendaftaran ditetapkan dalam kebijakan
tertulis. Proses admisi pasien rawat inap ke rumah sakit untuk
pelayanan dan untuk pendaftaran pelayanan rawat jalan distandarisir
lewat kebijakan dan prosedur tertulis, hal ini sudah tercantum dalam
kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Direktur RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo berupa kebijakan, Pedoman/Panduan dan SPO tentang admisi
rawat inap. Staf yang bertanggungjawab untuk proses admisi
seharusnya mengenal dan sudah biasa melaksanakan prosedur tersebut.
Kebijakan dan standar prosedur operasional ini mengatur tentang
Pendaftaran rawat jalan atau proses admisi rawat inap,
admisi langsung dari pelayanan gawat darurat ke unit rawat inap
dan proses dalam menahan pasien untuk keperluan observasi.
Peningkatan pengetahuan staf admisi rawat inap belum secara
optimal dengan dilakukan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan
admisi, sedangkan kebutuhan terhadap hal ini sangat mendesak,
153
berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan admisi rumah sakit.
Sesuai dengan Standar Akreditasi RS versi KARS tahun 2012 di
standar KPS1 (Kualifikasi Dan Pendidikan Staf ) menjelaskan tentang
kewajiban rumah sakit dalam menetapkan pendidikan, ketrampilan,
pengetahuan dan persyaratan lain bagi seluruh staf. Pimpinan rumah
sakit menetapkan persyaratan khusus bagi posisi staf. Mereka
menetapkan tingkat pendidikan, ketrampilan, pengetahuan dan
persyaratan lain yang diperlukan sebagai bagian dari upaya
memproyeksikan susunan staf untuk memenuhi kebutuhan pasien.
Pimpinan mempertimbangkan faktor berikut ini dalam
memproyeksikan/mengestimasi kebutuhan staf sesuai misi rumah sakit,
perpaduan antara pasien yang dilayani oleh rumah sakit dengan
kompleksitas serta kepelikan kebutuhan mereka, jenis pelayanan yang
disediakan oleh rumah sakit, teknologi yang digunakan oleh rumah
sakit dalam asuhan pasien. Rumah sakit mematuhi peraturan
perundangan yang berlaku yang menetapkan tingkat pendidikan,
ketrampilan, atau persyaratan lainnya bagi staf atau dalam menetapkan
jumlah staf atau perpaduan staf bagi rumah sakit. Pimpinan
menggunakan misi rumah sakit dan kebutuhan pasien sebagai
persyaratan tambahan terhadap peraturan perundangan yang berlaku.
Kemampuan dalam melakukan standar di atas didukung oleh status
rumah sakit yang telah berbentuk BLUD, Menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
154
Pengelolaan Keuangan Badan Badan Layanan Umum Daerah BAB X
Pendapatan Dan Biaya BLUD pasal 60 dijelaskan bahwa Pendapatan
BLUD dapat bersumber dari: jasa layanan, hibah, hasil kerjasama
dengan pihak lain, APBD, APBN dan lain-lain pendapatan BLUD yang
sah. Hal ini masih didukung dengan pasal 67 yang menjelaskan bahwa
pengeluaran biaya BLUD diberikan fleksibilitas dengan
mempertimbangkan volume kegiatan pelayanan dan fleksibilitas
pengeluaran biaya BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan pengeluaran biaya yang disesuaikan dan signifikan dengan
perubahan pendapatan dalam ambang batas RBA yang telah ditetapkan
secara definitif.
c. Faktor pendukung dan penghambat kualitas pelayanan admisi dengan
SMART Service Admission dalam memberikan kepuasan masyarakat
di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo adalah :
i. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi yang juga sebagai faktor penghambat dalam
pelaksanaan SMART Service Admission yang berkaitan dengan satpam
salah satunya adalah sikap satpam dalam memberikan pelayanan SMART
Service Admission. Ada beberapa hal yang terkait dengan organisasi
terutama rendahnya evaluasi kebijakan yang diberlakukan di RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo yang dalam hal ini adalah evaluasi pemberlakuan
SMART Service Admission. Permasalahan yang muncul yaitu:
155
ketidakdisiplinan, ketidakhadiran dan keenganan dalam memberikan
pelayanan terkait dengan SMART Service Admission. Selain permasalahan
di atas juga adanya ketidakpuasan yang dialami oleh satpam dalam
penerimaan reward berupa jasa pelayanan. Hal ini disebabkan adanya
pemahaman yang kurang sehingga menyebabkan perbedaan persepsi di
tataran pemberi pelayanan langsung. Ketidakpuasan ini muncul juga
karena adanya “gap” antara kelompok junior dan kelompok senior. Dan
adanya perbedaan dalam pelaksanaan beban kerja dari masing-masing
individu. Faktor individual yang mempengaruhi sikap satpam dalam
pelaksanaan SMART Service Admission adalah faktor status dan
senioritas. Faktor status kerja dalam hal ini banyak mendorong untuk
mencari pekerjaan sampingan. Dalam pengamatan peneliti, ada beberapa
satpam yang mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebagai pedagang air
mineral, tukang ojek, pedagang pulsa dan tukang becak motor. Seorang
koordinator satpam mempunyai pekerjaan sambilan sebagai pedagang air
mineral sehingga banyak menyita waktu. Hal ini mempengaruhi kinerja
dengan kehadirannya yang rendah, selain pengawasan yang rendah pula.
Ghiselli dan Brown menjelaskan tentang faktor-faktor yang menimbulkan
kepuasan dalam bekerja, salah satunya adalah mutu pengawasan, berkaitan
dengan hubungan antara karyawan dan pihak pimpinan angat penting
dalam meningkatkan produktifitas kerja. Kepuasan karyawan dapat
ditingkatkan salah satunya dengan perhatian dari pimpinan ke bawahan,
sehingga karyawan merasa dirinya merupakan bagian penting dari
156
organisasi kerja. Sedangkan menurut Gilmer (1966) menjelaskan tentang
faktor yang mendukung kepuasan kerja antara lain kesempatan untuk maju
dan gaji. Faktor pendapatan lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan dan
jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang
yang diperolehnya.
Di Instalasi Gawat Darurat yang merupakan salah satu rangkaian
dalam pelayanan SMART Service Admission juga ada permasalahan yang
terkait dengan pengelolaan jasa pelayanan. Mereka menganggap masalah
remunerasi merupakan salah satu kendala dan mempengaruhi semangat
dalam bekerja. Adanya ketidaktahuan dan kekurangtransparan dalam
pembagian jasa menyebabkan menurunnya kualitas kinerja.
Dalam Sutrisno (2012) menjelaskan bahwa kepuasan kerja
karyawan merupakan masalah penting yang diperhatikan dalam
hubungannya dengan produktivitas kerja. Selain itu ketidakpuasan sering
dikaitkan dengan tingkat tuntutan dan keluhan pekerjaan yang tinggi.
Pekerja dengan tingkat ketidakpuasan yang tinggi lebih mungkin untuk
melakukan sabotase atau tindakan yang merugikan. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian bahwa ada kehadiran satpam yang rendah dan keengganan
satpam untuk melakukan tugas-tugas yang telah dibebankan terutama
tugas tambahan selain sebagai tenaga keamanan. Penurunan motivasi kerja
terjadi juga pada petugas yang jaga di IGD dan tenaga pendorong, dengan
pergi ke warung kopi di saat-saat jam dinas dengan alasan karyawan yang
rajin dan tidak rajin memperoleh reward yang sama. Meskipun perilaku
157
ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil karyawan saja. Karyawan yang
tidak rajin atau sering tidak masuk dengan alasan yang tidak jelaspun tidak
mendapatkan peringatan atau punishment.
Terkait dengan hal di atas, permasalahan ini tidak terjadi pada pada
petugas admisi. Hanya berupa keluhan ketidakpuasan dalam pembagian
jaga terutama antara junior dan senior. Tetapi tidak menyebabkan masalah
pada pelayanan. Petugas admisi sebagian besar adalah wanita. Peran
wanita dalam pemenuhan kebutuhan keuangan keluarga hanya bersifat
membantu, tidak seperti seorang laki-laki yang bertugas sebagai pencari
nafkah, sehingga permasalahan yang terkait dengan pendapatan tidak
terlalu kentara dirasakan.
ii. Faktor pendukung (enabling factors)
Faktor pendukung (enabling factors) dalam hal ini adalah
ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana yang diperlukan kualitas
pelayanan admisi dengan SMART Service Admission. Konsep yang
digunakan dalam penataan gedung dan lahan di RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo menggunakan konsep garden hospital yaitu rumah sakit yang
memadukan kesehatan dan lingkungan di antaranya adalah rumah sakit
yang memiliki lahan terbuka hijau, penataan taman, menggunakan sistem
pencahayaan alami, menggunakan pendingin ruang alami melalui sirkulasi
udara yang memadai. Ruang terbuka hijau di rumah sakit ini selain
difungsikan sebagai ruang publik juga difungsikan sebagai area kesehatan
alami seperti jogging track yang secara tidak langsung menjadi akan
158
menjadi sarana yang menyehatkan. RSUD Dr. Harjono S Kabupaten
Ponorogo memiliki luas tanah 6,3 HA, dan luas bangunan 16.702,7625
meter persegi. Fasilitas jaga satpam ada 3 tempat pos jaga meliputi pos
jaga utara, pos jaga selatan (pintu masuk utama) dan pos jaga belakang.
Bangunan pos satpam ini termasuk bangunan dengan kualitas bagus dan
kokoh, karena termasuk bangunan yang baru. Umur bangunan kira-kira 5
tahun, semenjak didirikan.
Sedangkan keadaan bentuk fisik bangunan satpam sangat tidak
menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service Admission
terutama pos jaga satpam yang berada di pintu masuk utama rumah sakit.
Pos satpam ini menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung, karena pintu
membelakangi pintu masuk utama rumah sakit, sehingga harus memutar.
Selain posisi pintu yang tidak mendukung, apabila satpam tidak keluar
dari pos, komunikasi dengan pasien atau pengantar pasien bisa dilakukan
melalui jendela kaca. Jendela kaca ini bersifat permanen sehingga tidak
bisa dibuka, sedangkan bagian yang terbuka ada di bagian atas sehingga
menyulitkan saat berkomunikasi, karena sebagian besar tidak mendengar
apa yang disampaikan oleh satpam.
Selain akses keluar masuk pos satpam yang sulit, pos satpam ini
mempunyai ukuran yang relatif kecil dibandingkan dengan bangunan
yang lain. Ukuran pos satpam di pintu utama ini sebesar 6 meter persegi.
Dilengkapi dengan meja dan kursi untuk berjaga, tetapi terlihat berjejal
dan penuh. Untuk membantu pergantian sirkulasi udara tersedia 1 kipas
159
angin yang terpasang di dinding. Di dalam pos satpam ini tersedia televisi
14 inchi, sarana komunikasi berupa telepon dengan akses telepon antar
ruangan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo saja, handy talky dan senter.
Pos satpam ini belum dilengkapi dengan CCTV dan belum ada sarana
kamar kecil.
Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari pintu
masuk Instalasi Rawat Darurat. Luas gedung admisi rawat inap sebesar 32
meter persegi. Fasilitas yang ada meliputi meja kursi kantor, 3 set
komputer, 2 buah printer hitam putih, 1 pencetak kartu kunjungan rumah
sakit dan almari. Ruangan ini belum dilengkapi dengan pendingin
ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas
jaga telah disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat
istirahat petugas. Untuk menerangkan kepada keluarga pasien yang akan
dilakukan rawat inap disiapkan 1 set meja dan kursi tetapi masih menjadi
satu dengan petugas administrasi admisi yang lain. Untuk memudahkan
akses pasien atau keluarga yang ingin mendapatkan informasi atau
pelayanan admisi, separuh dinding atas terbuat dari kaca dan dipasang
papan nama yang cukup besar sehingga bisa memberikan informasi yang
memadai tentang lokasi admisi rawat inap. Selain kenyamanan ruangan,
fasilitas dasar yang tersedia di unit admisi rawat inap sudah cukup
memadai. Luas ruangan yang ada dianggap petugas sudah memadai
dengan jumlah petugas yang berjaga. Selain itu juga sudah disiapkan
fasilitas kamar mandi di dalam unit. fasilitas yang mendukung pelayanan
160
yang dirasakan kurang adalah perangkat komputer dan printer. Perangkat
komputer yang ada di unit admisi sejumlah 3 buah, 2 buah perangkatnya
masih berfungsi dengan baik meskipun usianya sudah tua, sedangkan
masih ada 1 perangkat komputer yang rusak dan belum diperbaiki atau
diganti. Printer yang tersedia di unit admisi ada 2 buah, berupa printer
hitam putih. Kekurangan printer yang dimaksud adalah printer dengan
scanner, apabila sore atau malam hari digunakan untuk memperbuat
salinan dokumen pasien yang diperlukan saat rawat inap untuk persyaratan
asuransi kesehatan terutama BPJS.
Tempat informasi pasien rawat jalan yang merangkap sebagai
tempat skrining awal pasien di Poliklinik pada admisi rawat jalan,
posisinya tepat berada di tengah-tengah gedung Poliklinik menghadap
pintu masuk utama dan menghadap ke ruang tunggu antrian pasien
poliklinik. Petugas informasi ini berada di tempat ini hanya saat jam dinas
pagi. Sedangkan jam jaga siang dan malam tutup, oleh karena pelayanan
poliklinik juga tutup. Petugas informasi ini terdiri dari 2 orang petugas,
yang melayani sambungan telefon, melayani informasi bagi pasien dan
pengunjung poliklinik serta ada penugasan tambahan yaitu skrining pasien
yang periksa di Poliklinik. Sedangkan untuk gedung administrasi admisi
rawat jalan ada di 2 tempat, yaitu tempat untuk pendaftaran pasien dan 1
tempat lagi untuk pendaftaran dan penerbitan SEP bagi pemegang kartu
BPJS. Kedua gedung ini letaknya berdekatan dan ada ruang tunggu pasien
yang sudah memakai pendingin ruangan demi kenyamanan pelanggan.
161
Fasilitas yang tersedia untuk admisi rawat jalan menurut subyek
penelitian dianggap sudah memadai. Karena saat melakukan skrining
visual pasien, petugas tidak memerlukan sarana dan prasarana yang
kompleks. Seperti formulir untuk skrining visual, formulir risiko jatuh,
pita kuning untuk disematkan di lengan pasien apabila dinilai berisiko
untuk jatuh dan kartu untuk pasien yang didahulukan Hanya saja
memerlukan kursi roda yang lebih banyak yang terpusat di bagian
informasi, sehingga apabila ada pasien atau pengantar pasien yang
memerlukan bisa segera dilayani.
Fasilitas Instalasi Rawat Darurat dengan Akses masuk 2-3 mobil,
Ruang Tunggu, Pendaftaran RM, dan administrasi IGD dengan
computerized system, Ruang Triase, ruang Resusitasi, Ruang jaga Petugas
IGD, Farmasi, Unit Transfusi Darah, Laboratorium, Ruang Radiologi,
Ruang Gips dan Observasi untuk monitoring dan stabilisasi. Alat
penunjang yang tersedia di Instalasi Gawat Darurat meliputi : ECG
Record dan Monitor, Defibrilator, Nebulizer and Suction Pump, Syring
Pump, serta sarana penunjang lain yang siap pakai.
Fasilitas yang kurang memadai menurut subyek penelitian meliputi
triase pasien. Ruang triase pasien ini ada di depan pintu masuk IGD dan
ada di ruang yang terbuka, tidak ada penghalangnya sama sekali saat
memeriksa pasien. Penataan ruang IGD yang dirasa kurang sesuai standar
yang ada, baik itu menurut standar akreditasi rumah sakit maupun
pedoman penyelenggaraan Instalasi gawat Darurat. Salah satunya adalah
162
ketidaktersediaan depo farmasi yang berada di area IGD sangat
mempengaruhi penanganan pasien emergensi.
iii. Faktor pendorong (reinforcing factors)
Sebagai faktor penguat (reinforcement factor) meliputi kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur yang berbentuk Surat keputusan,
panduan atau pedoman yang memberikan arahan terhadap suatu
permasalahan. Selain itu juga penerbitan SPO-SPO yang berguna untuk
memudahkan penyamaan persepsi terhadap pelaksanaan atau
implementasi suatu kegiatan. Hal ini untuk meningkatkan kualitas
pelayanan khususnya admisi di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
Penerbitan SK Direktur tentang pelaksanaan SMART Service Admission
untuk menjawab permasalahan yang timbul yaitu penurunan kepuasan
pelanggan. Penyebab utamanya adalah kurang baiknya sikap petugas dan
kurang jelasnya informasi yang didapatkan dalam menerima pelayanan,
salah satu contohnya adalah SPO tentang triase, SPO Penerimaan pasien di
rawat jalan.
Banyak hal yang mempengaruhi kepuasan pasien, antara lain:
kelancaran saat pendaftaran, waktu tunggu yang relatif pendek, pelayanan
cepat, ramah, disambut dengan sapaan yang sopan, ketrampilan dan
perawatan petugas medis bagus, profesional, ruangan bersih, fasilitas
lengkap. Sebaliknya hal-hal yang mempengaruhi ketidakpuasan pasien,
antara lain: karyawan pendaftaran datang terlambat, pelayanan lambat,
163
tidak disambut dengan sapaan yang sopan, mengobrol sendiri, waktu
tunggu lama, nada suara petugas medis tinggi, keramahan kurang, ruangan
kurang luas, belum ada sekat, ruang tunggu kurang, jarak dari ruangan
admisi rawat inap ke ruang filling terlalu jauh.
Menurut Tjiptono (dalam Harcahyani G, 2010) Pengukuran
kualitas jasa model service quality didasarkan pada skala multi item yang
dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan serta
kesenjangan di antara keduanya pada 5 dimensi kualitas jasa (keandalan,
daya tanggap, kepastian, empati, berwujud). dimana kepuasan pasien
meliputi: reliability atau kehandalan, assurance atau jaminan, tangibles
atau wujud nyata, empathy atau perhatian, dan responsiveness atau
kepedulian.
164
BAB VI
KESIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang Kualitas Pelayanan
Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD dr Harjono S Ponorogo
dapat disimpulkan :
a. Karakteristik Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
1. Satpam
Peran Satpam dalam pelaksanaan SMART Service Admission
kurang efektif. Satpam dalam SMART Service Admission mempunyai
peran ganda yakni sebagai tenaga keamanan dan juga sebagai tenaga
yang pertama kali menyambut pasien dan keluarga di pintu gerbang
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo sekaligus melakukan skrining visual
untuk memilah pasien yang berkunjung ke rawat jalan, gawat darurat
ataupun ke pelayanan PONEK. Tugas satpam juga mengarahkan
pasien dan atau keluarga ke tempat pelayanan yang dituju.
Keadaan fisik bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk
mendukung pelaksanaan SMART Service Admission terutama pos
jaga satpam yang berada di pintu masuk utama rumah sakit. Pos
satpam ini menyulitkan satpam untuk keluar dari gedung, karena pintu
165
membelakangi pintu masuk utama rumah sakit, sehingga harus
memutar.
2. Admisi rawat inap dan rawat jalan
Unit admisi terdiri dari admisi rawat jalan dan admisi rawat
inap. Unit admisi rawat inap berada di depan sebelah kiri dari Instalasi
Rawat Darurat. Gedung admisi rawat inap berada di depan sebelah
kiri dari pintu masuk Instalasi Rawat Darurat. Ruangan ini belum
dilengkapi dengan pendingin ruangan, hanya dilengkapi dengan 2
kipas angin dinding. Menurut petugas admisi rawat inap, fasilitas yang
tersedia di unit admisi rawat inap ini kurang memadai. Salah satunya
adalah belum adanya pendingin ruangan. Suasana ruangan terasa
panas apalagi hanya dikurangi dengan 2 kipas angin dinding.
Masalah-masalah yang muncul di admisi rawat inap salah satunya
adalah Penerbitan SEP (Surat Elegalibilitas Peserta) belum bisa
dilakukan di Admisi rawat inap. Penerbitannya ini hanya bisa
dilakukan di admisi rawat inap. Masalah yang muncul penyebabnya
antara lain karena belum adanya jaringan yang bisa dipergunakan.
Tetapi yang lebih penting adalah kekurangmampuan petugas yang ada
di admisi rawat inap, berdasarkan pengamatan peneliti saat penelitian.
Sistem informasi Manajemen sudah berjalan baik di RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo, tetapi hanya memberikan informasi dasar
tentang data pasien baik rawat jalan maupun rawat inap, belum
mampu mengintegrasikan keseluruhan informasi yang diperlukan di
166
rumah sakit. Selain itu pelayanan administrasi pasien BPJS yang akan
rawat inap tidak bisa dilakukan saat itu juga terutama tentang
penerbitan SEP dan verifikasi keanggotaan, hanya bisa dilakukan di
admisi rawat jalan, yang hanya memberikan pelayanan di shift pagi.
3. Instalasi Gawat Darurat
Proses admisi dengan SMART Service Admission di Instalasi
Gawat Darurat cukup efektif, meskipun proses triase kurang memadai.
Pada proses pre admission yang sifatnya elektif belum bisa dilakukan
di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
Penerimaan pesanan dari pasien atau keluarga yang ingin membuat
perjanjian pertemuan dengan dokter di rawat jalan juga belum bisa
dilakukan, karena meskipun sudah ada SIMRS (Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit) tetapi belum bisa menghasilkan data online.
Proses triase dapat termasuk kriteria berbasis fisiologik, bila
mungkin dan tepat. Rumah sakit melatih staf untuk menentukan
pasien yang membutuhkan asuhan segera dan bagaimana memberikan
prioritas asuhan. Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa triase dilakukan
oleh perawat atau dokter yang sudah terlatih. Sedangkan petugas yang
jaga di triase belum pernah dilatih triase, hanya memiliki sertifikat
PPGD saja atau ATLS dan ACLS.
Perencanaan pasien pulang (discharge planning) belum
dilakukan secara optimal meskipun sudah ada formulir Clinical
167
Pathway yang didalamnya sudah tercantum perencanaan pengobatan
sampai dengan perencanaan pulang
b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan admisi pasien rawat inap dan
rawat jalan di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
1. Fasilitas gedung di admisi rawat inap kurang nyaman dan kurang
memadai.
2. Fasilitas pendukung pelaksanaan administrasi masih kurang, seperti
komputer dan printer.
3. Ruangan untuk memberikan penjelasan kepada keluarga pasien
kurang luas dan kurang nyaman.
4. Petugas informasi merangkap petugas admisi rawat jalan.
5. Unit filling berjauhan dengan unit admisi rawat inap.
6. Verifikasi kepesertaan asuransi kesehatan BPJS belum bisa dilakukan
di admisi rawat inap.
7. Pelatihan tentang admisi belum dilakukan terhadap petugas admisi.
8. Sistem Informasi Manajemen belum sesuai
9. Sistem antrian terutama di Rawat jalan masih manual.
10. Jumlah tenaga admisi kurang memadai
d. Faktor pendukung dan penghambat kualitas pelayanan admisi dengan
SMART Service Admission dalam memberikan kepuasan masyarakat di
RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
168
1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi yang juga sebagai faktor penghambat dalam
pelaksanaan SMART Service Admission yang berkaitan dengan satpam
salah satunya adalah sikap satpam dalam memberikan pelayanan SMART
Service Admission. Ada beberapa hal yang terkait dengan organisasi
terutama rendahnya evaluasi kebijakan yang diberlakukan di RSUD Dr.
Harjono S Ponorogo yang dalam hal ini adalah evaluasi pemberlakuan
SMART Service Admission. Permasalahan yang muncul yaitu:
ketidakdisiplinan, ketidakhadiran dan keenganan dalam memberikan
pelayanan terkait dengan SMART Service Admission. Selain permasalahan
di atas juga adanya ketidakpuasan yang dialami oleh satpam dalam
penerimaan reward berupa jasa pelayanan, sedangkan faktor individual
yang mempengaruhi sikap satpam dalam pelaksanaan SMART Service
Admission adalah faktor status dan senioritas.
Di Instalasi Gawat Darurat yang merupakan salah satu rangkaian
dalam pelayanan SMART Service Admission juga ada permasalahan yang
terkait dengan pengelolaan jasa pelayanan. Mereka menganggap masalah
remunerasi merupakan salah satu kendala dan mempengaruhi semangat
dalam bekerja. Adanya ketidaktahuan dan kekurangtransparan dalam
pembagian jasa menyebabkan menurunnya kualitas kinerja.
2. Faktor pendukung (enabling factors)
Faktor pendukung (enabling factors) dalam hal ini adalah
ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana yang diperlukan kualitas
169
pelayanan admisi dengan SMART Service Admission. Fasilitas jaga
satpam ada 3 tempat pos jaga meliputi pos jaga utara, pos jaga selatan
(pintu masuk utama) dan pos jaga belakang. Bangunan pos satpam ini
termasuk bangunan dengan kualitas bagus dan kokoh, karena termasuk
bangunan yang baru. Sedangkan keadaan bentuk fisik bangunan satpam
sangat tidak menunjang untuk mendukung pelaksanaan SMART Service
Admission, juga pos satpam ini belum dilengkapi dengan CCTV dan
belum ada sarana kamar kecil.
Gedung admisi rawat belum dilengkapi dengan pendingin ruangan,
hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas jaga telah
disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat istirahat petugas.
Selain kenyamanan ruangan, fasilitas dasar yang tersedia di unit admisi
rawat inap sudah cukup memadai. Luas ruangan yang ada dianggap
petugas sudah memadai dengan jumlah petugas yang berjaga. Selain itu
juga sudah disiapkan fasilitas kamar mandi di dalam unit.
Tempat informasi pasien rawat jalan yang merangkap sebagai
tempat skrining awal pasien di Poliklinik pada admisi rawat jalan. Fasilitas
yang tersedia untuk admisi rawat jalan sudah memadai.
Fasilitas Instalasi gawat darurat sudah mempunyai sarana
pelayanan yang memadai, tetapi untuk pelayanan triase dirasakan kurang
karena ruangan triase berada di area terbuka, tidak ada penghalang sama
sekali sehingga akan mengganggu privasi pasien. Penataan ruang IGD
yang dirasa kurang sesuai standar yang ada, baik itu menurut standar
170
akreditasi rumah sakit maupun pedoman penyelenggaraan Instalasi gawat
Darurat. Salah satunya adalah ketidaktersediaan depo farmasi yang
berada di area IGD sangat mempengaruhi penanganan pasien emergensi.
3. Faktor pendorong (reinforcing factors)
Sebagai faktor penguat (reinforcement factor) meliputi kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur yang berbentuk Surat keputusan,
panduan atau pedoman yang memberikan arahan terhadap suatu
permasalahan. Selain itu juga penerbitan SPO-SPO yang berguna untuk
memudahkan penyamaan persepsi terhadap pelaksanaan atau
implementasi suatu kegiatan.
Banyak hal yang mempengaruhi kepuasan pasien, antara lain:
kelancaran saat pendaftaran, waktu tunggu yang relatif pendek, pelayanan
cepat, ramah, disambut dengan sapaan yang sopan, ketrampilan dan
perawatan petugas medis bagus, profesional, ruangan bersih, fasilitas
lengkap. Sebaliknya hal-hal yang mempengaruhi ketidakpuasan pasien,
antara lain: karyawan pendaftaran datang terlambat, pelayanan lambat,
tidak disambut dengan sapaan yang sopan, mengobrol sendiri, waktu
tunggu lama, nada suara petugas medis tinggi, keramahan kurang, ruangan
kurang luas, belum ada sekat, ruang tunggu kurang, jarak dari ruangan
admisi rawat inap ke ruang filling terlalu jauh.
Kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission
di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo dengan menggunakan lima dimensi
kualitas pelayanan, yaitu dimensi kehandalan (reliability), dimensi daya
171
tanggap (responsiveness), dimensi jaminan (assurance), dimensi perhatian
(empathy) dan dimensi bukti langsung (tangibles) diperoleh kesimpulan
bahwa kualitas pelayanan admisi RSUD Dr. Harjono S Ponorogo termasuk
dalam kategori kualitas pelayanan yang baik. Pada dimensi bukti
langsung (tangibles) adanya peningkatan kualitas fisik dan kelengkapan
fasilitas, jaminan bila terjadi kesalahan, ruang tunggu dan ruang pelayanan
yang nyaman serta pelayanan yang tepat waktu di RSUD Dr. Harjono S
Ponorogo
B. Implikasi
1. Implikasi Teoritis
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah teori
perubahan perilaku Lawrence Green yaitu menganalisis perilaku manusia
dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi
oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor
di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri
ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor. Berangkat dari analisis penyebab
masalah kesehatan, Green membedakan adanya determinan masalah
kesehatan tersebut, yakni faktor Predisposisi (predisposing factors),
faktor-faktor Pemungkin (enabling factors), faktor-faktor Penguat
(reinforcing factors). Faktor predisposisi (predisposing factors), yang
mencakup pengetahuan, sikap dan sebagainya. Faktor pemungkin
(enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja,
172
misalnya ketersedianya alat alat kesehatan, alat alat kantor, pelatihan dan
sebagainya. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini
meliputi undang- undang, peraturan-peraturan, keputusan Direktur, SPO,
Panduan dan Pedoman dan lain sebagainya.
Begitu pula dalam pelaksanaan SMART Service Admission di
RSUD dr Harjono S Ponorogo ini sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor
tersebut yaitu :
a. faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi yang juga sebagai faktor penghambat dalam
pelaksanaan SMART Service Admission yang berkaitan dengan sikap
sebagian petugas dalam memberikan pelayanan SMART Service
Admission. Ada beberapa hal yang terkait dengan organisasi terutama
rendahnya evaluasi kebijakan yang diberlakukan di RSUD Dr. Harjono
S Ponorogo yang dalam hal ini adalah evaluasi pemberlakuan SMART
Service Admission, ketidakpuasan dalam penerimaan reward berupa
jasa pelayanan, sedangkan faktor individual yang mempengaruhi dalam
pelaksanaan SMART Service Admission adalah faktor status dan
senioritas.
b. faktor Pemungkin (enabling factors)
Faktor pendukung (enabling factors) dalam hal ini adalah
ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana yang diperlukan kualitas
pelayanan admisi dengan SMART Service Admission. Bangunan pos
satpam ini termasuk bangunan dengan kualitas bagus dan kokoh, karena
173
termasuk bangunan yang baru. Sedangkan keadaan bentuk fisik
bangunan satpam sangat tidak menunjang untuk mendukung
pelaksanaan SMART Service Admission, juga pos satpam ini belum
dilengkapi dengan CCTV dan belum ada sarana kamar kecil.
Gedung admisi rawat belum dilengkapi dengan pendingin
ruangan, hanya dilengkapi dengan 2 kipas angin dinding. Untuk petugas
jaga telah disiapkan 1 kamar mandi dalam, tetapi belum ada tempat
istirahat petugas. Selain kenyamanan ruangan, fasilitas dasar yang
tersedia di unit admisi rawat inap sudah cukup memadai. Luas ruangan
yang ada dianggap petugas sudah memadai dengan jumlah petugas
yang berjaga.
Fasilitas Instalasi gawat darurat sudah mempunyai sarana
pelayanan yang memadai, tetapi untuk pelayanan triase dirasakan
kurang karena ruangan triase berada di area terbuka, tidak ada
penghalang sama sekali sehingga akan mengganggu privasi pasien.
Penataan ruang IGD yang dirasa kurang sesuai standar yang ada, baik
itu menurut standar akreditasi rumah sakit maupun pedoman
penyelenggaraan Instalasi gawat Darurat. Salah satunya adalah
ketidaktersediaan depo farmasi yang berada di area IGD sangat
mempengaruhi penanganan pasien emergensi.
c. faktor Penguat (reinforcing factors).
Sebagai faktor penguat (reinforcement factor) meliputi
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktur yang berbentuk
174
Surat keputusan, panduan atau pedoman yang memberikan arahan
terhadap suatu permasalahan. Selain itu juga penerbitan SPO-SPO
yang berguna untuk memudahkan penyamaan persepsi terhadap
pelaksanaan atau implementasi suatu kegiatan.
2. Implikasi Metodologis
Penelitian ini berjudul tentang Kualitas pelayanan Admisi dengan
SMART Service Admission di RSUD dr Harjono S Ponorogo.
Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah
Kualitas Pelayanan Admisi dengan SMART Service Admission di RSUD
dr. Harjono S Ponorogo, Bagaimana admisi pasien rawat inap dan rawat
jalan di RSUD dr. Harjono S Ponorogo dan apa faktor pendukung dan
penghambat kualitas pelayanan admisi dengan SMART Service Admission
dalam memberikan kepuasan masyarakat di RSUD dr. Harjono S
Ponorogo.
Perlu dilakukan penelitian lain berupa kombinasi antara penelitian
kualitatif dan kuantitatif dan lebih diperluas lagi penelitian tentang kualitas
pelayanan rumah sakit secara keseluruhan untuk mendapatkan informasi
yang lebih mendalam sehingga dapat dilihat dengan lebih jelas kualitas
pelayanan rumah sakit dengan SMART Service Admission untuk
mendukung status rumah sakit yang berbentuk BLUD.
3. Implikasi Empiris
175
Pemahaman tentang penyelenggaraan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah masih belum memadai. Salah
satunya penyelenggaraan PPK BLUD di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo
ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
Ponorogo dan sekitarnya sebagai pelanggan melalui fleksibilitas
pengelolaan keuangan. Berdasarkan hasil penelitian maka perlu dilakukan
penelitian selanjutnya yang cakupannya lebih luas yaitu tentang pengaruh
motivasi kerja dan kepuasan kerja terhadap kualitas pelayanan di RSUD
Dr Harjono S Ponorogo dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah.
C. Saran
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, bahan
masukan, sebagai dasar dan langkah awal evaluasi berkala dalam
pemantauan kualitas pelayanan dan bahan pertimbangan dalam
penyusunan rencana peningkatan kualitas pelayanan kesehatan terhadap
pasien terutama admisi di RSUD dr. Harjono S Ponorogo.
2. Sebagai bahan pertimbangan evaluasi pelaksanaan kebijakan SMART
Service Admission, mencatat kekurangan atau hambatan pelaksanaan
SMART Service Admission agar kualitas pelayanan RSUD dr. Harjono
Ponorogo terutama bagian admisi menjadi lebih baik lagi.
3. Sebagai sumber informasi dan bahan evaluasi dalam rancangan evaluasi
pelaksanan PPK BLUD di RSUD Dr. Harjono S Ponorogo.
176
DAFTAR PUSTAKA
Anwika, Y. 2013. Peran Pelatih Program Pelatihan Keterampilan Bermusik
Dalam Meningkatkan Motivasi Dan Kemandirian Musisi Jalanan
(Kasus Di Rumah Musik Harry Roesli (RMHR) Kota Bandung)
Universitas Pendidikan Indonesia. http//repository.upi.edu. ( diakses 14
Pebruari 2016).
Azam, M. 2007. Sistem Informasi Admisi Pasien Rawat Inap Untuk Membantu
Pengambilan Keputusan Klinis Dan Administrasi Di Badan Rumah
Sakit Umum Daerah ( RSUD ) Dr. H . Soewondo Kabupaten Kendal.
Tesis. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi
Sistem Informasi Manajemen Kesehatan. Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang ( diakses tanggal 28 Januari 2016).
Astrini, S.2009 . Usulan Pembakuan Secara Administratif Standard Operating
Procedure (SOP) Kegiatan Perawatan Non Bedah Instalasi Gawat
Darurat RSUD. dr. Moewardi Surakarta Dengan Metode Time Study.
Skripsi. Surakarta. : Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik, Universitas
Sebelas Maret, Juli 2007. (Diakses 28 Januari 2016).
Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan, edisi III Jakarta: PT Bina
Rupa Aksara.
Bagyono. 2006. Teori dan Praktek Hotel Front Office. Solo : CV Alfabeta.
Banerjee, A.T et al. 2015. Factor Facilitating the Implementation of Church-
Based Health Promotion Programs for Older Adults : A Qualitative Study
Guided by the Precede-Proceed Model. American Journal of Health
Promotion. Women’s College Reasearch Institute. University of Toronto.
Canada. ( Diakses tanggal 15 Maret 2016)
Darsono, A. 2001. Kantor Depan Hotel (Hotel Front Office). Jakarta : PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Harcahyani, G. 2010. Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan
Pasien Yang Dimoderasi Oleh Variabel Nilai. Tesis. Program Pasca
Sarjana Program Studi Magister Manajemen Universitas Pembangunan
“Veteran” Nasional Yogyakarta. (diakses 28 Januari 2015).
Hendrayani, L. 2000. Pelaksanaan Sistem Admisi Rawat Inap Di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja Jakarta-Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. (diakses
18 Februari 2015).
Green, LW. 1988. Policies For Decentralization And Development Of Health
Education. Center For Health Promotion Research And Development.
177
Houston. Texas (diakses 20 Februari 2015).
Green, LW. 2006. A Framework For Planning And Evaluatipn : PRECEDE-
PROCEED Evolution and Application of the Model.10esans journees de
santé publique. Montreal, Quebec.( Diakses tanggal 18 Februari 2016).
Ilyas, Y. 2004. Perencanaan SDM Rumah Sakit. cetakan kedua. Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan FKM UI Depok, Jakarta.
Indonesia. 2009. Undang Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit.
Indrawati, F.L. 2015. Penggunaan pelayanan Skrining Infeksi Menular Seksual
(IMS) Pada Waria di Kota Yogyakarta. Tesis. Program Pasca Sarjana
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Jacobalis, S. 1993. Beberapa Teknis dalam Manajemen Mutu, Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Jane, P. 2012. Developing Targeted Health Service Interventions Using the
PRECEDE-PROCEED Model : Two Australian Case Studies. Nursing
Reasearch & Practice. Universitas Fullerton. California State.
Joint Commission International Accreditation Standards for Hospital. 2013. JCI
Acrreditation Manual 5th
Edition. Oakbrook Terrace Illinois. USA
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. 2012. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar
Akreditasi Versi 2012 Edisi 1. Jakarta.
Kurniawati. N. 2014. Upaya Peningkatan Kelangsungan Pemakaian Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta Berdasarkan Analisis Faktor Perilaku Pada
Pasangan Usia Subur Di Wilayah Kabupaten Mojokerto. Tesis. Program
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Surabaya Fakultas Kesehatan
Masyarakat Program Magister.. Universitas Airlangga (diakses 18
Pebruari 2015).
Mulyadi, I. Jan Carlzon Sang Pencetus Moments of Truth.
http://www.marketing.co.id/Common/File.ashx?Id=5301 (13 Januari
2015).
Octovina, P. 2015. Meningkatkan Kepuasan Masyarakat Terhadap Mutu
Pelayanan Rumah Sakit Yang Mengutamakan Keselamatan Pasien
Melalui SMART Service Admission. Proyek Perubahan Instansional.
Badan Pendidikan dan Pelatihan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Pahlevi, W. 2009, Analisis Pelayanan Pasien Rawat Inap di Bagian Admisi RSUD
Budhi Asih. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
178
Depok (13 Januari 2015).
Pratiwi, F. 2003. Analisis Kebutuhan Pelayanan Informasi Pendaftaran Rawat
Inap Pasien Umum di Rumkital Mintoharjo-Jakarta Pusat. Tesis.
Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Depok (13 Januari 2015).
Robbin SP dan Judge . 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat
Rumah Sakit Umum Daerah RSUD dr. Harjono S Ponorogo. 2015. Keputusan
Direktur RSUD dr Harjono S Kabupaten Ponorogo Nomor
445/9/I.1/I/2015 Tentang SMART (Senyum, Menyambut, Atensi,
Responsif, Terpadu) Service Admission di RSUD dr. Harjono S
Ponorogo.
Rumah Sakit Umum Daerah RSUD dr. Harjono S Ponorogo. 2015. Keputusan
Direktur RSUD dr Harjono S Kabupaten Ponorogo Nomor
445/9/I.2/I/2015 Tentang Pemberlakukan SMART Service Admission di
RSUD dr. Harjono S Ponorogo.
Rumah Sakit Umum Daerah RSUD dr. Harjono S Ponorogo. 2015. Panduan
Triage di RSUD dr. Harjono S Ponorogo.
Stewart, LM. 2015. Hospital Mental Health Admissions in Women after
Unsuccessful Infertility Treatment and In Vitro Fertilization: An
Australian Population-Based Cohort Study. Hospital Mental Health
Admissions in Women after Unsuccessful Infertility Treatment and In
Vitro Fertilization: An Australian Population-Based Cohort Study. PLoS
ONE 10(3): e0120076. ( Diakses 20 Pebruari 2016).
Sulaeman, ES. 2015. Metode Penelitian Kualitatif dan campuran dalam
Kesehatan Masyarakat. Cetakan pertama. Surakarta : UNS Press
Suryanti, N. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Lamanya Waktu
Proses Pendaftaran Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Pondok Indah.
Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Depok ( Diakses 13 Januari 2015).
Sutrisno,E, 2012 , Sumber daya manusia, Surabaya; Gramedia
Syamsi, I. 2007. Efisiensi, Sistem dan Prosedur Kerja. Edisi Revisi. cetakan 2.
Jakarta: Bumi Aksara.
Tarmoezi, T& Manurung, H. 1999. Professional Hotel Front Liner (Hotel Front
Office). Jakarta : Kesaint Blanc.
179
Tjandra, Y 2004. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Edisi ke 2 Jakarta :
Universitas Indonesia, Depok.
Wasisto, B. 1994. Peningkatan Mutu Pelayanan RS. Cermin Dunia Kedokteran.
White, KM et al. 2015. Using A Theory Of Planned Behaviour Framework To
Explore Hand Hygiene Beliefs At The 5 Critical Moment Among
Australian Hospital Based Nurses. BMC Haelth Services Research.
Australia (Diakses tanggal 2 Maret 2016).
Wibowo, 2013, Perilaku dalam Organisasi, Jakarta PT.Raja Grafido Persada.
Wijono, D. 1997. Manajenen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan.
Airlangga University Press.
Wijono, D. 1999. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan vol 2. Airlangga
University Press.
Wikipedia, Pengertian Pelayanan Rawat Inap, diakses tanggal 12 Januari 2016
Tania,Anastasia,2013, Pengaruh Motivasi Kerja dan Kepuasan kerja terhadap
komitmen organisasional karyawan PT DAI KNIFE di Surabaya,Agora
Vol.1 No.3 ( Diakses tanggal 19 Juni 2016).
Yudha, Putu. 2013, Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan sektor
publik dengan in-rde performance dan innovative performance sebagai
variabel mediasi. E jurnal akuntansi ,Univ.Udayana, diakses tanggal 15
Juni 2016.
.