bacaan untuk anak setingkat sd kelas 4, 5, dan...
TRANSCRIPT
Bacaan untuk AnakSetingkat SD Kelas 4, 5, dan 6
3Kementerian Pendidikan dan KebudayaanBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Berbendi-Bendi di Bukittinggi
Dedi Arsa
MILIK NEGARA
TIDAK DIPERDAGANGKAN
BERBENDI-BENDI DI BUKITTINGGI
Penulis : Dedi ArsaPenyunting : Amran PurbaIlustrator : Iggoy El FitraPenata Letak : Ilham Yusardi
Diterbitkan pada tahun 2017 olehBadan Pengembangan dan Pembinaan BahasaJalan Daksinapati Barat IVRawamangunJakarta Timur
Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangIsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.
PB398.209 598 1ARSb
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Arsa, DediBerbendi-Bendi di Bukittinggi/Dedi Arsa; Amran Purba (Penyunting). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.viii; 56 hlm.; 21 cm.
ISBN: 978-602-437-211-8
CERITA RAKYAT-SUMATRAKESUSASTRAAN- ANAK
iii
Sambutan
Sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal yang santun, ramah, saling menghormati, arif, bijaksana, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, dan kasar tanpa mampu mengendalikan diri. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang terkenal ramah, santun, toleran, serta berbudi pekerti luhur dan mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas cendekia, bijak bestari, terampil, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan karakter bangsa yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Penguatan pendidikan karakter bangsa dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang memumpunkan ketersediaan bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Bahan bacaan berkualitas itu dapat digali dari lanskap dan perubahan sosial masyarakat perdesaan dan perkotaan, kekayaan bahasa daerah, pelajaran penting dari tokoh-tokoh Indonesia, kuliner Indonesia, dan arsitektur tradisional Indonesia. Bahan bacaan yang digali dari sumber-sumber tersebut mengandung nilai-nilai karakter bangsa, seperti nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
iv
prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai karakter bangsa itu berkaitan erat dengan hajat hidup dan kehidupan manusia Indonesia yang tidak hanya mengejar kepentingan diri sendiri, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan alam semesta, kesejahteraan sosial masyarakat, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila jalinan ketiga hal itu terwujud secara harmonis, terlahirlah bangsa Indonesia yang beradab dan bermartabat mulia.
Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang Pembelajaran, Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar beserta staf, penulis buku, juri sayembara penulisan bahan bacaan Gerakan Literasi Nasional 2017, ilustrator, penyunting, dan penyelaras akhir atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi khalayak untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional dalam menghadapi era globalisasi, pasar bebas, dan keberagaman hidup manusia.
Jakarta, Juli 2017Salam kami,
Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
v
Pengantar
Sejak tahun 2016, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melaksanakan kegiatan penyediaan buku bacaan. Ada tiga tujuan penting kegiatan ini, yaitu meningkatkan budaya literasi baca-tulis, mengingkatkan kemahiran berbahasa Indonesia, dan mengenalkan kebinekaan Indonesia kepada peserta didik di sekolah dan warga masyarakat Indonesia. Untuk tahun 2016, kegiatan penyediaan buku ini dilakukan dengan menulis ulang dan menerbitkan cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ditulis oleh sejumlah peneliti dan penyuluh bahasa di Badan Bahasa. Tulis-ulang dan penerbitan kembali buku-buku cerita rakyat ini melalui dua tahap penting. Pertama, penilaian kualitas bahasa dan cerita, penyuntingan, ilustrasi, dan pengatakan. Ini dilakukan oleh satu tim yang dibentuk oleh Badan Bahasa yang terdiri atas ahli bahasa, sastrawan, illustrator buku, dan tenaga pengatak. Kedua, setelah selesai dinilai dan disunting, cerita rakyat tersebut disampaikan ke Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk dinilai kelaikannya sebagai bahan bacaan bagi siswa berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. Dari dua tahap penilaian tersebut, didapatkan 165 buku cerita rakyat. Naskah siap cetak dari 165 buku yang disediakan tahun 2016 telah diserahkan ke Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk selanjutnya diharapkan bisa dicetak dan dibagikan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Selain itu, 28 dari 165 buku cerita rakyat tersebut juga telah dipilih oleh Sekretariat Presiden, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, untuk diterbitkan dalam Edisi Khusus Presiden dan dibagikan kepada siswa dan masyarakat pegiat literasi.
vi
Untuk tahun 2017, penyediaan buku—dengan tiga tujuan di atas dilakukan melalui sayembara dengan mengundang para penulis dari berbagai latar belakang. Buku hasil sayembara tersebut adalah cerita rakyat, budaya kuliner, arsitektur tradisional, lanskap perubahan sosial masyarakat desa dan kota, serta tokoh lokal dan nasional. Setelah melalui dua tahap penilaian, baik dari Badan Bahasa maupun dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, ada 117 buku yang layak digunakan sebagai bahan bacaan untuk peserta didik di sekolah dan di komunitas pegiat literasi. Jadi, total bacaan yang telah disediakan dalam tahun ini adalah 282 buku. Penyediaan buku yang mengusung tiga tujuan di atas diharapkan menjadi pemantik bagi anak sekolah, pegiat literasi, dan warga masyarakat untuk meningkatkan kemampuan literasi baca-tulis dan kemahiran berbahasa Indonesia. Selain itu, dengan membaca buku ini, siswa dan pegiat literasi diharapkan mengenali dan mengapresiasi kebinekaan sebagai kekayaan kebudayaan bangsa kita yang perlu dan harus dirawat untuk kemajuan Indonesia. Selamat berliterasi baca-tulis!
Jakarta, Desember 2017
Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S.Kepala Pusat PembinaanBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
vii
SEKAPUR SIRIH
Buku yang ada di tangan pembaca sekarang telah mengalami proses yang cukup melelahkan. Saya harus terbang dua kali ke Ibukota Negara Indonesia untuk merampungkannya. Saya juga harus mempelajari sebuah program penata-letak yang tidak pernah saya kenali sebelumnya untuk merampungkan perevisiannya.
Buku ini lahir berkat budi baik banyak orang. Kepada pemerintah Indonesia, lewat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, saya ucapkan terima kasih. Saya juga sangat berterima kasih kepada Iggoy el Fitra, ilustrator buku ini. Saya juga berterima kasih kepada Ilham Yusardi yang membantu saya menata-letak naskah awal buku ini. Arahan selama saya menyelesaikan buku ini saya peroleh dari istri saya, Widya Fransiska, dan keponakan saya Livia Bayanaka dan Hasnah Nurul Ilmi. Saya juga berterima kasih kepada kedua anak saya, Fatimah Azzahra dan Ibrahim Hosen Arrayyan yang memberi saya semangat luar biasa untuk menyelesaikan buku ini. Secara khusus, buku ini saya dedikasikan untuk mereka berdua.
Sebagai penutup, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu di halaman yang terbatas ini. Biarlah nama-nama mereka saya sebutkan dalam hati. Semoga bantuan yang mereka berikan dibalasi Allah yang Maha Kaya. Semoga kelapangan hidup menyertai kita semua. Semoga buku ini berguna. Amin!
Penulis Dedi Arsa
viii
DAFTAR ISI
Sambutan .............................................................. iiiPengantar ............................................................ vSekapur Sirih ......................................................... viiDaftar Isi .............................................................. vi1. Bukittinggi Kota yang Permai ........................... 12. Berkeliling Kota dengan Bendi .......................... 133. Apa itu Bendi? ................................................. 194. Asal-Usul Bendi ............................................... 215. Nama-Nama Lain untuk Bendi .......................... 296. Apakah Bendi-Bugi Itu? ................................... 317. Kusir Bendi Si Pemegang Kendali ...................... 358. Bagian-Bagian Bendi ....................................... 399. Berapa Harga Sewa Bendi? .............................. 4310. Terminal Bendi ................................................ 4511. SIM untuk Kusir Bendi ..................................... 4712. Bagaimana Bendi di Masa Kini? ........................ 49Biodata Penulis ..................................................... 53Biodata Penyunting ............................................... 55Biodata Ilustrator.................................................. 56
1
1. Bukittinggi Kota yang Permai
Pak Sutan Bara sudah hampir 10 tahun menjadi
dosen di Universitas Leiden. Di sana dia mengajar
pelajaran Bahasa Indonesia. Murid-muridnya banyak,
dari berbagai negara.
Universitas Leiden itu terletak jauh nun di negeri
Belanda. Di mana itu Belanda? Nun, jauh di Eropa sana.
Negeri yang terkenal memiliki banyak kincir angin besar.
Dulu negeri itu pernah menjajah bangsa kita, tetapi
sekarang bangsa kita bersahabat baik dengan bangsa
Belanda.
Kini Pak Sutan Bara akan pindah kerja ke Jakarta,
ibukota negara Indonesia. Setelah 10 tahun mengabdi
di negeri orang, sekarang dia ingin mengabdi kepada
negaranya sendiri.
***Sebelum menjalankan tugas mengajar di Jakarta, ia
kebetulan mendapat hari libur istimewa 3 bulan lamanya.
Waktu cuti itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pak
Sutan Bara untuk melihat orang tuanya, saudara-
saudaranya, dan kampung halamannya, Minangkabau.
2
Minangkabau berada di bagian tengah pulau
Sumatra. Sekarang namanya Sumatra Barat. Daerahnya
terdiri atas daerah pegunungan dan daerah pesisir
pantai yang indah dan menawan.
Daerah pegunungannya berhawa sejuk. Di sana
terdapat banyak gunung tinggi. Baik yang masih
menyemburkan api maupun yang tidak. Ada Gunung
Marapi, Gunung Talang, Gunung Singgalang, Gunung
Tandikat, Gunung Sago, Gunung Kerinci, Gunung
Pasaman, Gunung Talamau, dan gunung-gunung
lainnya. Di luar gunung-gunung tinggi dan besar itu,
ada juga barisan-barisan pegunungan menjulang yang
disebut Bukit Barisan.
Di samping gunung, ada juga danau berair jernih
dan sejuk. Di antaranya yang terkenal, Danau Maninjau,
Danau Singkarak, Danau Di Atas, Danau Di Bawah, dan
danau-danau lainnya. Barisan pegunungan dan danau-
danau yang terhampar itu menghadirkan pemandangan
alam cantik.
Sementara daerah di pesisir pantai penuh dengan
teluk dan tanjung yang tidak kalah indah. Pantainya
ada yang berpasir putih, berpasir coklat, dan berpasir
kuning. Ada yang berombak besar, ada juga yang
3
berombak kecil saja. Di lepas pantai itu ada pulau-pulau
kecil yang tidak kalah cantik. Dibandingkan dengan
daerah pegunungan, memang daerah pantai agak
sedikit panas.
***
Pak Sutan Bara memiliki istri yang cantik dan baik,
namanya Bu Sutan Bara. Untuk selanjutnya Pak Sutan
Bara dan Bu Sutan Bara kita panggil Pak Sutan dan Bu
Sutan saja, ya! Mereka memiliki dua orang anak yang
ceria dan sopan. Satu perempuan, satu laki-laki. Yang
perempuan bernama Ara, yang laki-laki bernama Hosen.
Hosen dan Ara lahir di Belanda. Ara berumur 9
tahun sementara Hosen berumur 7 tahun. Sekalipun
mereka lahir dan besar di negeri orang, ayah dan ibu
mereka tetap mengajarkan bahasa Indonesia dan cara
pergaulan orang Indonesia kepada mereka berdua.
Apa saja tentang Indonesia selalu diajarkan Pak Sutan
dan Bu Sutan kepada kedua anaknya. Mereka memang
orang tua yang baik sekali.
Selama 10 tahun di negeri orang, Ara dan Hosen
tidak pernah pulang ke negerinya sendiri. Kini akhirnya
dapat juga menjenguk kampung halaman. Mereka
4
sangat senang, sekalipun ada sedihnya juga karena
harus meninggalkan teman-temannya yang ada di
negeri Belanda.
Dari Belanda, Pak Sutan dan keluarganya akan
langsung ke Sumatera Barat. Selama berlibur, mereka
akan tinggal di rumah gadang milik nenek. Rumah
gadang nenek sangat indah, bergonjong dua seperti
tanduk kerbau. Itu merupakan rumah adat tradisional
Minangkabau lho. Unik dan indah. Kakek sudah
meninggal sejak lama, jadi nenek hanya tinggal sendiri
saja. Kasian ya nenek. Beliau pasti sangat senang anak
dan cucunya pulang menjenguk.
Rumah gadang nenek itu terletak di Bukittinggi.
Kota yang terkenal dengan Jam Gadangnya itu lho.
Baru kali ini Ara dan Hosen pulang ke Bukittinggi. Kota
ini merupakan tempat ayah dan ibu mereka berasal. Oh
ya, Bukittinggi juga merupakan tempat kelahiran Bung
Hatta. Proklamator negara kita yang terkenal hebat
dan sederhana itu. Di kota ini terdapat patung besar
Bung Hatta. Juga ada istana, rumah, dan perpustakaan
Bung Hatta. Kini, Kota Bukittinggi tentu saja telah juga
menjadi kota Hosen dan Ara pula, sekalipun mereka
lahir di negeri Belanda.
5
Kota Bukittinggi adalah kota perbukitan yang sejuk
hawanya. Sebelum sampai di Bukittinggi, Pak Sutan dan
keluarga harus melewati Kota Padang dulu, ibukota
Provinsi Sumatra Barat. Kota yang terkenal dengan
6
pantainya yang indah dan bengkoangnya. Ya, kota ini
dikenal sebagai Kota Bengkoang karena hanya di sinilah
bengkoang banyak tumbuh. Kamu tahu bengkoang,
nggak? Itu lho, buah manis dan putih, yang baik untuk
kesehatan. Berbeda dengan Bukittinggi yang berhawa sejuk,
Padang adalah kota yang panas. Ara dan Hosen langsung mengeluh ketika baru menjejakkan kaki turun dari pesawat di Bandara Internasional Minangkabau di Kota Padang. Mereka tiba di Kota Padang ketika mahatari memang sedang tegak di atas kepala.
“Panas, panas, panas!” kata Ara. Hosen langsung mencopot jaket musim dingin yang
dipakainya sejak dari Belanda. Di Belanda memang sedang berlangsung musim dingin. Kamu tahu apa itu musim dingin? Musim tempat salju turun ke bumi. Dingin sekali! Di negara kita tidak ada musim dingin. Di negera kita hanya ada musim hujan dan musim kemarau.
Pak Sutan dan Bu Sutan hanya tersenyum melihat kedua anaknya merasa kepanasan. Pak Sutan dan Bu Sutan pun sebenarnya juga merasa kepanasan. Mereka sudah lama tinggal di Belanda, jadi agak terkejut dengan iklim tropis di daerah khatulistiwa.
***
7
Dari bandara, mereka naik taksi ke Bukittinggi.
Jaraknya hanya dua jam perjalanan. Melewati beberapa
daerah yang indah dengan pemandangan alamnya,
seperti Kayutanam dan Padangpanjang.
“Rumah nenek masih jauh, Yah?” tanya Ara, ketika
baru saja sampai di Padangpariaman, tempat banyak
kelapa dihasilkan. Kamu tahu untuk apa kelapa? Banyak
gunanya, terutama untuk diambil buahnya, lalu diperas
santannya untuk masakan, santan yang putih itu lho.
“Tidak jauh, dua jam lagi juga kita sampai,” kata
Bu Sutan. Ara dan Hosen memejamkan mata dalam
pelukan ibunya. Mereka kemudian tertidur nyenyak
selama dalam perjalanan.
Sementara Pak Sutan dan Bu Sutan asyik menikmati
pemandangan. Pemandangan di Ranah Minang memang
indah dan menawan. Tiada henti Pak Sutan dan Bu Sutan
terkagum-kagum pada alam kampung halaman. Mereka
asyik melongokkan kepala di jendela taksi melihat
keindahan alam sepanjang perjalanan dan merasakan
hawa sejuknya.
Setelah mencapai daerah pegunungan, hawa
sejuk menyerbu masuk ke dalam taksi. Hawa sejuk itu
membuat Ara dan Hosen semakin lelap. Sementara
8
Pak Sutan dan Bu Sutan merasa sayang jika harus
tidur di perjalanan. Tentu saja, kalau tertidur, mereka
melewatkan menyaksikan indahnya pemandangan.
Mereka melewati Lembah Anai dengan pemandangan
air terjun yang keluar dari sela-sela perbukitan. Di
Padangpanjang, mereka melihat tiga gunung kukuh
besar yang saling bergandengan: Tandikat, Marapi, dan
Singgalang. Gunung Marapi masih sering menyemburkan
abu. Itu membuat daerah-daerah di sekitarnya menjadi
subur. Setelah sampai di Padangpanjang, tidak lama
lagi mereka akan sampai di Bukittinggi.
Sesampainya di Bukittinggi, mereka langsung
menuju ke rumah nenek. Nenek menyambut mereka
dengan bahagia. Nenek senang bertemu cucu-cucunya
untuk pertama kalinya. Terobati rindu yang telah
ditanggung bertahun-tahun lamanya. Oh, betapa
bahagia.
***
Nenek telah menyiapkan hidangan istimewa untuk
anak dan menantunya, juga untuk kedua cucunya yang
lucu. Hidangan istimewa itu adalah gulai itik cabai hijau.
Apa itu gulai itik cabai hijau? Kamu pernah mencicipi
masakan super enak itu nggak?
9
Keistimewaan gulai ini terletak pada kuahnya yang
sangat kental berbumbu cabe hijau yang cukup pedas.
Saking kentalnya sehingga berpenampilan menggumpal
dan tidak encer seperti opor ataupun kare. Aromanya
juga sedap menggoda selera.
Pak Sutan dan Bu Sutan makan dengan bersemangat.
Kerinduan pada kampung halaman terobati dengan gulai
itik cabai hijau itu. Unik lagi gulai ini adalah kekentalan
kuahnya bukan berasal dari santan, tetapi dari kemiri
yang jadi salah satu bumbu masakan ini. Santan tidak
digunakan agar itiknya lebih segar. Tentunya kuah ini
10
berwarna kehijauan karena penggunaan cabe hijau
tadi. Apalagi jika makannya ditambah dengan rebus
daun pucuk ubi.Saking bersemangatnya, Pak Sutan dan Bu Sutan
makan dengan berkeringat. “Sudah lama Ayah tidak merasakan masakan seenak ini,” kata Pak Sutan.
“Iya, enak sekali, Nenek pintar sekali memasak,” kata Bu Sutan pula. Dimakan dengan nasi putih yang mengepul, gulai itik cabai hijau itu memang akan terasa sangat nikmat.
Sementara Ara dan Hosen mencoba masakan itu sedikit saja. Belum lagi sampai di mulut Hosen sudah berteriak-teriak
“Pedas, pedas, pedas!” sembari cepat-cepat mengambil minuman. Ara juga begitu, “Enak, tetapi pedas sekali ya Nek,” kata Ara kepada neneknya.
“Iya, orang Minang memang suka sekali pedas,” kata nenek lembut. “Justru pedas akan membuat kita bersemangat dan kuat!” kata nenek lagi, kali ini dengan tersenyum.
Ara dan Hosen memang belum terbiasa dengan masakan pedas. Jadi, Ara dan Hosen kemudian dibuatkan telur dadar saja oleh nenek. Mereka pun senang dan
makan dengan lahap.
11
Telur dadar yang dibikin nenek tidak kalah sedap.
Setelah makan bersama, Pak Sutan dan Bu Sutan
lalu beristirahat. Perjalanan dari Belanda memang
melelahkan. Sementara itu, Ara dan Hosen masih akan
bercerita panjang dengan nenek sampai larut tiba,
tentang apa saja, terutama nenek ingin tahu tentang
negeri Belanda.
12
13
2. Berkeliling Kota dengan Bendi
Setelah beristirahat seharian, besoknya, Pak Sutan mengajak Ara dan Hosen berkeliling kota. Matahari di Kota Bukittinggi ketika itu tidak garang. Angin pun berhembus semilir lembut. Untuk itu, sangat cocok buat berjalan-jalan.
“Ibu juga ikut, ya!” kata Bu Sutan sambil mengenakan selendang.
Pak Sutan tidak menelepon taksi ataupun menyewa mobil sewaan. Kali ini, Pak Sutan ingin mengajak Ara dan Hosen naik angkutan lain. Angkutan yang Ara dan Hosen sama sekali belum pernah menaikinya.
Apakah itu?Ara dan Hosen jadi penasaran. “Naik apakah kita, Ayah?” kata Ara ingin tahu.“Naik helikopter?” kata Husen sambil mengacungkan
tangan ke udara.“Tidak bosan naik pesawat?” timpal Bu Sutan. “Lihat saja nanti!” kata Pak Sutan.
***Rumah nenek dekat dengan jalan raya kota. Ketika
mereka keluar dari halaman depan, telah berhadapan
langsung dengan jalan yang besar.
14
Tidak berselang lama, kebetulan lewat kereta kuda di jalan itu.
Tak ... tik ... tak ... tik ... tuk. Tak ... tik ... tak ... tik ... tuk. Dari jauh sudah terdengar suara sepatu kuda. “Nah, itu dia. Kita naik itu saja!” kata Pak Sutan
kepada kedua anaknya.“Mana-mana?” kata Ara dan Hosen serempak ingin
tahu. Begitu menyaksikan kereta kuda lewat di hadapan mereka, Ara dan Hosen amat bergirang hati. Di Belanda mereka tidak pernah naik kereta kuda sekalipun. Hanya pernah melihat saja. Suatu kali, ketika mereka berlibur ke London, Ibu kota Inggris.
Di London, mereka pernah melihat kereta kuda. Kereta kuda besar dan indah. Keretanya yang dihias batu-batu permata. Kudanya juga dipakaikan pakaian yang menarik hati. Kereta kuda yang dikendarai ibu ratu dan sang raja. Itu terjadi ketika ada perayaan kerajaan.
Pak Sutan menyetop kereta kuda itu dengan melambaikan tangan kanannya.
“Bendi, bendi!” kata Pak Sutan memanggil. Kling klong kling klong, bunyi klakson bendi.Kereta kuda itu pun menepi. Kling klong kling klong,
bunyi klakson bendi itu sekali lagi.
15
Ara dan Husen merasa semakin heran, tetapi juga penasaran dengan yang disebut ayahnya dengan ‘bendi’ itu. Suara klaksonnya juga aneh.
Di kota mereka ternyata banyak juga kereta kuda berseliweran. Baru saja mereka akan naik, telah lewat lagi satu kereta kuda yang lain.
Kling klong kling klong, bunyi klakson kereta kuda lain itu.Kling klong kling klong, dibalas pula oleh kereta kuda yang mereka tumpangi.
Pak Sutan dan Bu Sutan duduk di bangku belakang. Bangku belakang saling berhadapan. Sementara Ara dan Hosen duduk di samping Pak Kusir. Mereka menghadap ke depan. Melihat yang berlari kencang, membawa kereta itu melaju, begitu kuat.
Ekor-ekor kuda yang panjang mengenai kaki Ara dan Hosen. Mereka tertawa-tawa geli, kadang sedikit meringis jika lecutannya bertambah keras ketika kuda berlari semakin cepat. Ara kadang membunyikan belnya jika lewat di jalanan yang ramai. Bel yang tadi mereka kira sebagai klakson.
Kling klong kliong klong, begitu bunyi bel kereta kuda itu, cukup enak didengar, bukan?
Jika lari kuda mulai pelan, Pak Kusir melecuti kuda
dengan cemetinya.
16
“Jangan Pak, nanti kudanya kesakitan!” kata Ara merasa kasihan. Pak Kusir hanya tersenyum menanggapi kecemasan Ara.
“Tidak apa-apa, Ara, Pak Kusir melecut kuda biar bendi ini bisa kencang larinya. Lecutannya juga pelan saja kok!” kata Pak Sutan menenangkan kekhawatiran
Ara.
17
18
19
3. Apa itu Bendi?
“Kenapa Ayah memanggil kereta kuda itu bendi?”
tanya Ara tiba-tiba.
“Iya, kenapa Yah?” Hosen turut bertanya juga.
Pak Sutan sama sekali tidak terkejut dengan
pertanyaan kedua anaknya. Mereka memang baru
sekali ini mendengar nama bendi.
“Di sini, kereta kuda namanya bendi!” kata Pak
Sutan menerangkan.
“Bendi?” Hosen melongo.
“Apa itu bendi, Ayah?” tanya Ara pula.
“Bendi itu, sejenis kereta penumpang beroda dua
yang ditarik kuda,” kata Pak Sutan lebih lanjut.
Kling klong kling klong.
Ara dan Hosen membunyikan bel bendi itu sekali lagi
dengan bergirang hati. Pak Sutan semakin bersemangat
untuk bercerita.
20
21
4. Asal-Usul Bendi
Pada masa dahulu, untuk menghubungkan antar daerah yang jauh, hanya terdapat jalan setapak kecil. Lewat jalan itulah, orang-orang lalu-lalang mengangkut barang.
Kondisi jalannya tidak memadai. Masih jalan tanah. Jalannya juga belum dikeraskan dan sempit sehingga hanya memungkinkan perjalanan dan pengangkutan ditempuh dengan jalan kaki dan dengan kuda.
Akan tetapi, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengendarai kuda. Sementara orang-orang kebanyakan ke mana-mana hanya berjalan kaki.
Sebagai alat angkutan, kuda ada dua jenisnya. Kuda beban dan kuda tunggangan. Kuda beban digunakan untuk mengangkat beban atau disebut kuda beban. Kuda yang dipakai untuk pengangkutan beban ini biasanya adalah jenis ‘kuda sawah’, kuda dengan ukuran tubuh yang lebih kecil. Kuda ini biasanya sedikit saja lebih besar dari keledai sehingga bukan merupakan kuda yang unggul.
Oleh orang Minang, istilah ‘kuda sawah’ ini juga dipakai sebagai sesuatu yang bermakna lemah, atau
tidak dapat diandalkan kekuatannya.
22
“Akan tetapi, sekalipun terbilang kuda yang lemah,
kuda beban bisa mengangkut barang sebanyak 1 sampai
dengan 1,5 kuintal lho” timpal Pak Kusir yang juga ikut
nimbrung sambil mengendalikan kudanya.
“Berapa beratnya itu, Yah?” tanya Ara penasaran.
“Ya, seberat Ara ditambah Hosen ditambah Ibu
juga,” kata Pak Sutan menjelaskan dengan bercanda.
“Sementara kuda tunggangan hanya mungkin
mengangkut paling banyak dua orang dewasa,” jelas
Pak Kusir lagi. Kali ini Pak Kusir yang gantian bercerita.
Pak Sutan cukup diam mendengarkan menikmati
pemandangan kota yang sudah lama ditinggalkannya.
“Kalau anak-anak tentu bisa banyak diangkut?”
kata Ara.
“Bisa seratus,” kata Hosen ngawur.
“Bisa saja,” kata Bu Sutan menimpali dengan
gemas.
“Kuda-kuda juga digunakan dalam perang,” kata
Pak Kusir. “Kuda digunakan sebagai kendaraan tempur
membawa tentara Belanda. Kuda juga digunakan untuk
membawa senjata-senjata mereka. Sebaliknya, bangsa
kita juga menggunakan kuda untuk keperluan yang
sama.”
23
“Pada masa itu,” kata Pak Kusir menyambung cerita, “memelihara ternak, terutama kuda, diajarkan dengan saksama, begitu pula cara mengendarainya.”
“Kondisi ini terus berlanjut hingga alat angkutan semakin baik, yaitu dengan dibangunnya jalan raya yang lebih bagus.”
“Oh, begitu,” kata Ara dan Hosen serempak.
Dari mana Kuda-kuda Itu Berasal?“Dari mana ya kuda-kuda itu berasal?” kata Ara
penasaran. Pak Kusir dengan sabar mulai menjelaskan.“Di Minangkabau, kuda dikembangkan di peternakan
kuda di beberapa daerah, seperti di Airtabit, Limbukan, Mungo dan Andalas, dan Sungai Naning.”
“Di mana itu, Pak?” kata Ara.“Nanti Bapak bawa Ara ke sana,” kata Pak Kusir
menjanjikan, “tidak jauh kok!”.Pak Kusir lalu melanjutkan:“Di antara daerah-daerah pusat kuda itu, Tanjung
Aro adalah di antara daerah yang menghasilkan kuda yang paling terkenal. Kuda dari Tanjung Aro dianggap sama terkenalnya dengan kuda dari Sikabu-kabu.”
“Itu kuda yang bagus ya Pak?” kata Pak Sutan menimpali cerita Pak Kusir.
24
“Iya, kuda jenis ini adalah hasil persilangan kuda
setempat dengan kuda dari tanah Batak. Kuda yang
kuat dan tinggi sehingga tidak jarang dibawa masuk ke
gelanggang pacu.”
“Oh, masih ada festival pacu kuda?” tanya Pak
Sutan
“Oh, masih, diadakan sekali setahun.”
“Ara dan Hosen, suka tidak melihat kuda balapan?”
“Suka, Yah, suka!” kata mereka serentak.
“Tunggu saja. Tidak lama lagi akan ada festival
pacu kuda lagi di Bukittinggi!” kata Pak Kusir.
“Hore!” teriak Ara dan Hosen.
Pak Kusir lalu melanjutkan ceritanya lagi.
“Di Minangkabau, kawasan peternakan kuda itu
disebut sebagai padang-bakudo atau padang berkuda.
Kuda-kuda dipelihara dengan cara dilepaskan di padang
pengembalaan atau padang rumput itu.”
“Wah, pasti senang main kejar-kejaran di situ,”
kata Hosen memotong cerita.
“Iya, tentu saja. Dalam kawasan peternakan itu
sekaligus terdapat klinik hewan. Klinik itu adalah tempat
pengobatan bagi kuda-kuda yang terserang penyakit,”
kata Pak Kusir.
25
Pak Kusir terus bercerita. Ceritanya membuat Hosen dan Ara merasa gembira. Sementara itu, bendi terus melaju di jalan raya. Bendi melewati Jam Gadang, melewati Istana Bung Hatta, melewati Lubang Jepang, melewati Ngarai Sianok, melewati Rumah Bung Hatta, dan melewati banyak tempat indah dan bersejarah lainnya.
Lalu Siapa yang Membangun Jalan Raya?Penjajah Belandalah membangun jalan raya di
Minangkabau. Anak bangsa kita yang mereka paksa bekerja. Kerja paksa zaman Belanda itu namanya rodi.
Ingat-ingat ya!Kerja paksa membuat bangsa kita sengsara, tetapi
manfaatnya juga ada. Kita bisa menikmati jalan raya yang lebih bagus dan lapang dari yang sebelumnya tersedia.
Di Minangkabau, jalan raya pertama-tama dibangun Belanda adalah untuk keperluan perang. Belanda menaklukkan Ranah Minang dengan cara perang lho. Jalan raya dibangun untuk memudahkan penyerangan Belanda itu. Dengan adanya jalan raya pengangkutan senjata juga lebih gampang. Tentara-tentara mereka akan dapat bergerak cepat untuk menyerang bangsa kita.
26
Kemudian, jalan raya juga dibuat untuk keperluan
perdagangan. Tanah Minang merupaan negeri yang
subur karena negeri itu menghasilkan banyak hasil
bumi. Hasil-hasil bumi itu laku dijual di pasar dunia.
Ada rempah-rempah, ada kopi, ada teh, ada karet, ada
tembakau, dan lain sebagainya. Jalan raya dibangun
untuk memudahkan pengangkutan hasil-hasil bumi itu.
Sejak jalan raya dibuat lebar dan bagus, maka
banyaklah muncul alat angkutan. Jauh sebelum ada
mobil dan kereta api yang kita kenal sekarang, alat
angkutan terlebih dahulu bersifat tradisional, berupa
pedati dan bendi.
Untuk mengangkut barang digunakan pedati.
Pedati bisa mengangkut barang dalam jumlah besar.
Pedati ini ada yang ditarik kerbau, ada juga yang ditarik
sapi. Akan tetapi, di Ranah Minang, pedati lebih banyak
ditarik kerbau.
Kenapa begitu? Itu dikarenakan kerbau lebih kuat
daripada sapi. Badan kerbau juga lebih besar sehingga
beban yang dapat ditarik kerbau juga lebih banyak.
Selain itu, kerbau memiliki tanduk yang panjang jauh
melebihi tanduk sapi. Kalau di jalan bertemu harimau,
kerbau tidak akan takut melawannya. Sebab di Ranah
27
Minang, jalan yang menghubungkan satu daerah dengan
daerah lain itu melewati hutan yang lebat. Hutan Bukit
Barisan yang hijau dan asri. Dulu, di hutan-hutan itu
masih banyak tinggal harimau. Harimau Sumatera yang
terkenal sangat ganas. Sekarang harimau sudah diburu
orang yang jahat sehingga sudah hampir punah.
Pedati yang ditarik kerbau itu memang sangat
cocok untuk pengangkutan barang. Tidak saja untuk
jarak dekat, tetapi juga bisa menghubungkan satu
kota dengan kota lainnya yang jaraknya jauh. Hanya
saja, pedati tidak begitu elok jika digunakan untuk
pengangkutan manusia.
Untuk mengangkut manusia yang lebih tepat
digunakan adalah bendi. Kereta beroda dua yang ditarik
kuda!
28
29
5. Nama-Nama Lain untuk Bendi
Di Indonesia sendiri ada bermacam-macam nama
untuk kereta kuda. Di Minangkabau disebut dengan
nama bendi. Kling klong kling klong!
Di daerah lain namanya lain lagi, ada yang
menyebutnya sado, dos, atau dokar. Di Jawa Tengah
namanya andong. Yang namanya paling terkenal adalah
delman.
Sekalipun namanya berbeda di tiap-tiap daerah,
pada umumnya bentuk dan fungsinya sama. Hanya
terdapat sedikit perbedaan saja. Perbedaan itu misalnya
pada posisi duduk dan jumlah penumpangnya. Ada
yang penumpangnya duduk berhadapan dan ada yang
penumpangnya duduk saling membelakangi. Ada yang
bisa memuat penumpang dalam jumlah yang banyak,
dan ada yang hanya bisa memuat penumpang dua saja.
Penemunya adalah seorang insinyur Belanda
pemilik bengkel besi di Batavia, yang sekarang bernama
Jakarta itu lho. Nama insinyur itu adalah Frederik
Charles Theodorus Deeleman. Wah, hebat ya Bapak itu!
30
31
6. Apakah Bendi-Bugi Itu?
Cikal-bakal bendi di Minangkabau sendiri adalah bugi. Bugi merupakan kereta kuda roda dua juga, tetapi tanpa tingkap atau atap. Penumpangnya juga sangat terbatas, hanya bisa memuat dua penumpang lho.
Bugi lebih cendrung menjadi kendaraan pribadi ketimbang kendaraan orang ramai. Oleh sebab itu, bugi hadir sebagai alat angkutan kalangan elit sehingga terkesan mewah. Hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang memiliki bugi. Bugi dijadikan lambang status para pemiliknya.
Bugi lalu digantikan oleh bendi. Bendi adalah kereta roda dua yang ditarik kuda juga. Akan tetapi, perbedaannya bahwa keretanya memiliki tingkap atau atap. Yang terpenting bahwa penumpangnya juga bisa dimuat jauh lebih banyak.
Setelah digantikan bendi, kini bugi tinggal sebagai barang antik. Bugi lamo, namanya. Bugi lamo oi bugi lamo..., he he he.
Sebagai barang antik, bugi kini hanya hanya digunakan untuk acara pesta pernikahan. Untuk mengarak kedua mempelai keliling kota dengan diiringi musik daerah. Bugi kadang juga digunakan untuk
32
merayakan pengangkatan penghulu. Penghulu yang
baru diangkat juga diarak keliling kota agar diketahui
orang ramai.
Sekali setahun, dalam acara pacu kuda, bugi juga
diperlombakan. Pacu bugi termasuk yang ditunggu-
tunggu penonton. Jika biasanya pacu kuda hanya kuda
yang berpacu, kini kuda itu diberi keretanya. Penonton
senantiasa gembira dan senang hati terhibur oleh pacu
bugi.
Masa-Masa Kejayaan Bendi
Di Minangkabau, bendi berkembang pesat setelah
jalan raya ada. Ketika jalan raya sudah bagus, kota-kota
pun turut tumbuh. Bendi menjadi primadona angkutan
umum di kota-kota besar seperti Padang, Bukittingi,
Solok, Padangpanjang, dan Payakumbuh.
Pertumbuhan bendi terbilang sangat pesat. Pada
1892, di Bukittinggi hanya terdapat 125 bendi. Lalu,
bendi tumbuh empat kali lipat pada tahun 1904 sehingga
menjadi 531 bendi. Di kota lainnya, di Payakumbuh
hanya ada 33 bendi tahun 1885. Akan tetapi, angka itu
melonjak menjadi 969 tahun 1903, dan terus bertambah
hingga menjadi 1.200 pada tahun 1904.
33
Betul kan, cepat sekali pertambahan bendi ya.
Jalan-jalan raya kota jadi penuh dengan bendi. Bendi
berlalu-lalang memenuhi ruang kota. Kling klong kling
klong, bunyi belnya terdengar di mana-mana. Kota-kota
juga jadi ramai dan riuh oleh suara terompah kuda.Tak
tik tak tik tuk ...!
Bendi tidak lagi hanya melayani rute dekat dari pasar
ke pasar di dalam kota, tetapi bahkan juga melayani
rute perjalanan yang jauh menuju menghubungkan satu
kota dengan kota lainnya.
Bendi bahkan bisa melewati jalan-jalan menanjak
dan menurun yang terjal sekalipun, seperti jalur
menanjak di Lembah Anai dan jalur menanjak dari
Padangpanjang ke Solok.
34
35
7. Kusir Bendi Si Pemegang Kendali
Pengendara bendi dinamakan kusir. Kita memanggil
Pak Kusir. Pak Kusir harus pandai mengendalikan
kuda agar lurus larinya. Pak Kusir yang pandai akan
mengantarkan penumpangnya dengan selamat sampai
ke tujuan.
Pak Kusir kadang-kadang memiliki pembantu.
Pembantunya itu Anak-Bendi namanya. Anak-Bendi
itu bertugas membawa kuda-kuda merumput ketika
bendi tengah beristirahat. Anak-Bendi juga bertugas
menyabitkan rumput untuk makan kuda. Oleh karena itu,
jika kuda tidak diberi makan, dia akan malas berjalan.
Dia akan menjadi lapar. Jika dia lapar, jalannya jadi
pelan sekali. Pak Kusir akan jadi sering melecutnya.
“Huh, kasian!” kata Ara.
“Cup, cup, cup..., makan yang banyak ya kuda!”
Ara mengelus-elus ekor kuda dengan mesra ketika kuda
beristirahat di tempat pemberhentian.
Selain memberi makan kuda, Anak-Bendi juga harus
memberi kuda minum. Seperti kita, agar tidak kehausan
kuda juga harus minum. Kalau sampai kehausan, kuda
bisa mati di tengah perjalanan membawa penumpang.
36
Kuda akan rebah di tengah jalan. Kalau rebah-kuda,
bendi yang dibawanya akan ambruk. Penumpangnya
juga jatuh. Terjadilah kecelakaan. Uh, semoga saja
tidak terjadi ya!
Selain itu, bendi-bendi yang banyak itu biasanya
dimiliki oleh induk semang. Induk semang ini adalah
orang kaya yang memiliki bendi-bendi tersebut. Dia
mempekerjakan banyak kusir. Jadi, Pak Kusir bekerja
pada induk semang itu.
“Kakek ayah dulu adalah induk semang bendi!”
“Iya, Yah?”
“Iya, karena itulah Ayah bisa sekolah tinggi-tinggi,”
kata Pak Sutan.
“Lalu bisa jadi dosen di Belanda,” kata Bu Sutan
pula.
“Hosen ingin jadi induk semang juga, boleh?”,
kata Hosen memonyongkan mulutnya. Tingkah Hosen
itu membuat Ara, Pak Sutan dan Bu Sutan tertawa
terpingkal-pingkal. Pak Kusir juga ikut tertawa melihat
tingkah Hosen yang lucu dan menggemaskan.
37
38
39
8. Bagian-Bagian Bendi
Bendi terbuat dari kayu. Kayu-kayunya harus dari jenis yang kuat. Apalagi kayu-lengannya yang panjang itu, harus yang terkuat agar tidak mudah patah. Begitupun untuk tingkap atau atapnya, harus dibuat dari papan yang bagus pula supaya tidak mudah bocor. Pembuatannya dilakukan oleh tukang kayu yang pandai.
Lalu, pada bendi itu juga terdapat kursi. Ada kursi depan tempat Pak Kusir duduk mengendalikan kuda. Karena kursi itu cukup panjang, bisa juga memuat satu orang dewasa lagi di samping Pak Kusir. Ada juga kursi penumpang yang berbanjar dua baris ke belakang, yang bisa memuat empat orang.
“Jadi, berapa orang penumpang yang bisa dimuat sebuah bendi?” tanya Bu Sutan ber-matematik.
“Lima orang!” jawab Ara cepat, bersemangat.Setelah rumah-rumahnya selesai dibuat, lalu dihias
dengan ukiran-ukiran Minangkabau yang terkenal itu. Selain ukiran, dihias lagi dengan bordiran-bordiran emas di atas kain berwarna cerah.
Untuk membuat bendi semakin terlihat menarik dan cantik, bendi dilengkap dengan benda-benda lain seperti lonceng dari kuningan mengkilap yang berada
40
persis di samping Pak Kusir. Ada juga uncang yang terbuat dari kain tempat Pak Kusir meletakkan duit dari penumpang. Lalu, ada pengait untuk menggantungkan
cemeti (cambuk).
Lalu, yang tidak kalah penting adalah wadah
penampung yang terletak di bagian bawah kereta.
Wadah itu supaya kotoran kuda tidak berserakan
di jalan raya. Wadah itu dibersihkan secara berkala
agar penumpang tidak mencium aroma yang tidak
mengenakkan.
Di bagian belakang kereta juga terdapat pintu kecil
untuk keluar-masuk penumpang. Di bawah pintu itu, ada
sadel sebagai jenjang untuk memudahkan penumpang
naik dan turun.
Selanjutnya, roda bendi terbuat dari kayu yang
juga harus kuat. Belakangan, agar tidak ribut di jalan
raya, roda bendi dilapisi dengan karet-ban. Jadi, lembut
deh bunyinya!
Setelah keretanya selesai dihias, kudanya juga
tidak lupa dipercantik. Badan kuda hingga ke lehernya
dipasangkan tali kekang. Kepala kuda diberi jambul dari
kain warna-warni. Kain itu bergerak ketika kepala kuda
41
bergerak. Indah sekali terlihat.
Supaya kuda berjalan lurus, tidak menengok kiri dan
kanan, mata kuda ditutup dengan kain yang menyerupai
bentuk kacamata. Namanya kacamata-kuda. Pada
kepala kuda juga terdapat untaian lonceng-lonceng
kecil yang nyaring berbunyi ketika kuda berlari semakin
kencang.
“Kenapa kaki kuda juga bisa berbunyi kencang
sekali ketika berjalan, Yah?” tanya Hosen tiba-tiba.
Hosen berpikir, mungkin pada kaki kuda itu ada pula
lonceng atau bel.
“Itu karena kuda menggunakan sepatu dari besi,”
kata Pak Sutan, menjawab keingintahuan anaknya.
Pak Kusir lalu menerangkan lebih banyak lagi: “Ya,
kuda memang memakai terompah khusus, terompah
dari besi. Ladam kuda namanya. Ladam kuda dibuat di
tempat khusus pula. Nama tempatnya adalah tempat
pengempaan besi. Dulu tempat pengempaan besi banyak
di kota ini. Sekarang tidak banyak lagi karena jumlah
bendi terus berkurang,” kata Pak Kusir sedih.
“Agar tidak mudah lepas, terompah besi itu
42
dipakukan ke kaki kuda,” kata Pak Kusir lebih lanjut.
“Ih, sakit...,” kata Ara meringis.
“Sakit sekejap saja, buktinya kuda bisa berlari
dengan kencang menggunakan terompah itu,” Pak Kusir
menjelaskan.
43
9. Berapa Harga Sewa Bendi?
Oya, tidak ada tarif khusus untuk penyewaan bendi. Pemerintah juga tidak menerapkan tarif untuk sewa jarak tertentu. Ongkosnya atau sewanya bergantung pada kesepakatan antara kusir bendi dan calon penumpangnya saja.
Kesepakatan mengenai ongkos itu bisa dicapai lewat tawar-menawar, yang kadang-kadang juga bisa berjalan alot. Kalau pandai menawar, sewanya bisa murah.
Biasanya ongkosnya juga tidak mahal kok. Kalau ongkos untuk jarak dekat, 1--2 kilometer, biasanya tidak lebih dari Rp10.000--Rp15.000.
Sementara itu, jika jarak tempuhnya agak jauh, 3--5 kilometer misalnya, maka ongkosnya berkisar
Rp20.000--Rp30.000 saja. Tidak mahal, bukan?
44
45
10. Terminal Bendi
Tahukah kamu, kalau bendi juga punya terminal
pemberhentian? Seperti bus saja ya!
Begitu Pak Sutan dan Pak Kusir menjelaskan apa-
apa saja tentang bendi secara bergantian. Tanpa terasa
bendi telah membawa mereka melintasi pasar kota di
samping Jam Gadang. Di sini dulu adalah terminal bendi.
“Bendi ada terminalnya juga?” kata Ara ingin tahu.
“Iya, seperti bus, dulu bendi punya terminal khusus,”
kata Pak Sutan. Pak Sutan lebih jauh menjelaskan: “Di
terminal itulah bendi-bendi berhenti. Di terminal itu
bendi-bendi berjejer menunggu penumpang. Terminal
itu juga menjadi tempat mangkal para kusir sambil
memperbaiki bagian-bagian bendi yang rusak atau
memberi makan dan minum kudanya.”
“Iya, betul. Di Sumatra Barat, terminal bendi
terdapat nyaris di setiap kota, di Kota Padang, di
Payakumbuh, Padangpanjang, dan Solok juga ada,”
begitu Pak Kusir menimpali.
46
“Di Bukittinggi sendiri terminal bendi ada di dekat
Jam Gadang. Iya, di sini ini. Dulu luas karena bendi
dulu banyak. Sekarang bendi tinggal sedikit, maka
terminalnya juga kecil saja,” timpal Pak Kusir lagi.
47
11. SIM untuk Kusir Bendi
Di zaman dulu kusir bendi juga ada SIM-nya lho.
“SIM? Apa itu SIM, Yah?” tanya Ara tak tahu. Hosen
manggut-manggut saja seolah-olah tahu segalanya,
padahal mana dia tahu. Sementara itu, Bu Sutan tampak
menikmati keingintahuan kedua anaknya yang besar.
“SIM itu Surat Izin Mengemudi,” kata Pak Sutan
menjelaskan. “Kalau kita ingin berkendara, harus
memiliki SIM terlebih dahulu.”
“Sekarang sudah tidak lagi karena kehadiran bendi
sudah tidak penting lagi ...,” kata Pak Kusir dengan
nada suara terdengar sedih.
48
49
12. Bagaimana Bendi di Masa Kini?
Alat transportasi modern yang berasal dari dunia
maju lalu mulai masuk ke Sumatera Barat, terutama
mobil dan kereta api. Perlahan-lahan keduanya
menggantikan alat angkut tradisional seperti bendi.
Angkutan mobillah yang mula-mula merebut hati
masyarakat. Mobil didatangkan pertama kali dari
Singapura pada tahun 1896. Tidak sampai dengan 30
tahun kemudian telah terdapat lebih dari 7000 angkutan
mobil di Sumatera Barat.
Angkutan mobil juga tumbuh seiring terus
tumbuhnya jalan raya. “Mobil/Otonya bagus-bagus,
dipakai orang untuk tambangan yang kadang-kadang
diisi dengan segala rupa barang, seperti ikan, barang,
dan sebagainya,” kata Pak Kusir menjelaskan.
Bersamaan kemunculannya dengan mobil, kereta
api juga hadir sebagai alat angkutan baru di Sumatera
Barat. “Keberadaan kereta api ini menjadi dorongan
besar bagi arus orang dan barang ke kota-kota, termasuk
ke Bukittinggi ini,” kata Pak Kusir lagi. Pak Sutan juga
ikut mendengarkan penjelasan Pak Kusir.
50
Setelah itu, kendaraan umum semakin banyak
bermunculan. Ada bus, ada oplet, ada angkot, ada
minibus, ada bemo, dan ada pula becak-motor, serta
banyak lagi yang lain.
“Juga ada pesawat terbang!” kata Hosen
mengepak-ngepakkan tangan. Semua orang tertawa
senang melihat tingkahnya. Akhirnya, perlahan-lahan
bendi jadi tersisih. Huh, jadi sedih!
Dengan hadirnya alat-alat angkutan baru itu,
bendi terus-menerus berkurang. Zaman menjadi tidak
berpihak lagi kepadanya.
Bendi tidak jarang juga dianggap mengganggu
keindahan kota karena kotorannya. Jalur untuk bendi
semakin sempit, terjepit oleh lalu-lalang kendaraan lain
yang memang lebih kencang.
Untuk dapat terus mempertahankan bendi,
pemerintah memanfaatkan bendi untuk pariwisata.
Bendi Pariwisata namanya, seperti yang sedang kita
tumpangi ini.
Bendi menarik minat pelancong karena dia unik
dan kuno. Para turis senang sekali jika naik bendi. “Jika
berjalan-jalan ke Bukittinggi, jangan lupa naik bendi!”
kata Pak Kusir menutup penjelasannya.
51
Ara dan Hosen mengangguk-angguk tanda mengerti. Bendi yang mereka tumpangi telah berada kembali di depan rumah nenek.
Pak Sutan dan Bu Sutan turun lebih dulu. Lalu Ara dan Hosen juga turun tidak lama setelah itu. “Sampai jumpa lagi Pak Kusir. Terima kasih!” kata Ara dan Hosen serempak, sambil melambaikan tangan kepada Pak Kusir. “Sampai jumpa, Anak-anak!” kata Pak Kusir dengan gembira.
“Ara dan Hosen tidak berterima kasih juga pada bendinya?” kata Bu Sutan.
“Oh iya, terima kasih bendi!” kata Hosen“Terima kasih ya bendi, biarpun zaman terus
berubah, kamu harus terus ada dan lestari ya!” kata Ara pula, yang semakin bijak saja.
Pak Sutan dan Bu Sutan membimbing tangan Ara dan Hosen menuju rumah. “Asyik jalan-jalannya?” tanya Pak Sutan kepada mereka berdua.
“Asyik dong!” kata Bu Sutan senang. Besok kita jalan-jalan lagi ya, Yah!” kata Ara. “Ke mana lagi kita besok, Yah?” tanya Hosen“Rahasia!” kata Pak Sutan dan Bu Sutan serempak,
mereka saling tersenyum.
SELESAI
52
53
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Dedi ArsaPonsel : 085263940425Pos-el : [email protected] Facebook : Deddy ArsyaAlamat Kantor : -Bidang Keahlian : Sejarah dan Sastra
Riwayat Pekerjaan/Profesi:
1. Dosen di STKIP Payakumbuh (2012-se-karang)
2. Dosen Luar Biasa IAIN Bukittinggi (2015-sekarang)
3. Editor freelance di penerbit Visigraf (2013-2014)
4. Editor freelance di penerbit Kabarita (2015)
5. Editor freelance di penerbit Basabasi (2017)
54
Judul Buku dan Tahun Terbit:
1. Odong-odong Fort de Kock (2013)
2. Mendisipl inkan Kawula Jajahan (2017)
3. Rajab Syamsudin Penabuh Dulang (2017)
4. Penyair Revolusioner (2017)
Informasi Lain: Lahir di Bayang, Sumatera Barat, 15 Desember 1987. Menulis sajak, cerita pendek, cerita anak, tinjauan buku dan film, esai-esai kesejarahan dan seni, di berbagai koran, majalah, dan jurnal, di antaranya: Buku puisi tunggal pertamanya Odong-odong Fort de Kock (Padang: Kabarita, 2013), merupakan nominasi 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2013 dan terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik tahun 2013 versi Majalah TEMPO.
55
BIODATA PENYUNTING
Nama : Amran PurbaAlamat Kantor : Jalan Daksinapati Barat IV
Rawamangun, Jakarta TimurAlamat Rumah : Jalan Jati Mangga No. 31 Kelurahan
Jati, Pulo Gadung, Jakarta Timur
Riwayat Pendidikan:S-1 : Sarjana Bahasa Indonesia dari Universitas Sumatera Utara tahun 1986S-2 : Magister Linguistik dari Universitas Sumatera Utara tahun 2005
Riwayat Pekerjaan:1. Anggota penyusun KBBI sejak tahun 1986--20002. Penyuluh Bahasa sejak tahun 1992--sekarang3. Penyunting Bahasa sejak tahun 1991--sekarang4. Ahli Bahasa sejak tahun 1992--sekarang5. Peneliti Bahasa sejak tahun 1993--sekarang
56
BIODATA ILUSTRATOR
Nama : Iggoy El FitraPonsel : 082174515906Bidang Keahlian : Ilustrasi Riwayat Pendidikan : S1 Sastra Jepang Universitas Bung Hatta
Riwayat Prestasi:
1. Juara III Lomba Foto Tour de Singkarak (TdS) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2010).
2. Juara I Anugerah Pewarta Foto Indone-sia (APFI) V (2014).
Informasi Lain: Iggoy El Fitra lahir dengan nama Fitra Yogi, lahir di Kota Padang, Sumatera Barat, 3 Juli 1981. Ia adalah jurnalis foto Indonesia yang bekerja untuk Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA. Beberapa foto jurnalismenya memenangkan penghargaan kompetisi foto nasional dan pernah dimuat dalam publikasi internasional, antara lain Majalah Time, Arabnews, ABC News, dan Washington Post. Selain itu, ia menulis cerpen, puisi, dan strip komik untuk surat kabar lokal.
Buku nonteks pelajaran ini telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud Nomor: 9722/H3.3/PB/2017 tanggal 3 Oktober 2017 tentang Penetapan Buku Pengayaan Pengetahuan dan Buku Pengayaan Kepribadian sebagai Buku Nonteks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan sebagai Sumber Belajar pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.